Anda di halaman 1dari 26

1

2
3
EKSISTENSI DAN PERANAN UNDAGI PANGARUNG
DALAM SEJARAH PERSUBAKAN DI BALI
I Nyoman Wardi
Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
wardi_ecoculture@yahoo.co.id
Abstrak
Makalah ini bertujuan mengungkap eksistensi dan peranan undagi pengarung
(ahli/tukang terowongan) dalam sejarah persubakan di Bali. Penelitian dilakukan dengan
pengumpulan data (undagi pengarung) dari prasasti-prasasti Bali Kuno. Untuk
mendapatkan informasi yang lebih lengkap tentang teknologi pengarung, pengumpulan
data juga dibantu dengan teknik observasi ke Museum Subak di Kabupaten Tabanan,
dan pengumpulan data Etnoarkeologi melalui wawancara mendalam (depth-interview)
dengan narasumber (tukang aungan) sebagai pelaku sejarah dalam persubakan di Bali.
Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif, kemudian diintepretasikan
dan hasilnya disintesiskan untuk mendapatkan gambaran umum tentang keberadaan
undagi pengarung di Bali.
Hasil kajian menunjukkan bahwa berdasarkan data yang terekam dalam prasasti,
keberadaan undagi pengarung sudah disebutkan secara eksplisit dalam prasasti Bali
Kuno awal, yaitu Prasasti Bebetin AI (Çaka 818 atau 896 M ). Eksistensi dan peranan
undagi pengarung pada Zaman Bali Kuno belakangan semakin kuat dan penting sejalan
dengan menguatnya keberadaan lembaga subak dan kebutuhan negara (kerajaan) pada
ekonomi agraris untuk menjaga stabilitas stok pangan (beras) dan sebagai komoditas
dalam perdagangan. Selain peralatan teknologi, sebagai seorang undagi (tukang) yang
profesional, maka pengalaman, kepemilikan pengetahuan teknis terkait dengan tanah,
geodesi dan hidrologi, serta pengetahuan kultural-spiritual sangat dibutuhkan dan
menentukan keberhasilannya dalam berkarya.
Hingga Era Modern ini keberadaan tukang aungan (undagi pengarung) di Bali
masih dapat disaksikan walaupun jumlahnya sangat langka dan nyaris punah. Teknologi
pembangunan terowongan (undagi pengarung) yang menghubungkan air sungai ke
lahan-lahan para petani yang sebelumnya dihadang oleh perbukitan, jurang, dan
rintangan alam lainnya, mempunyai peranan penting untuk meningkatkan kemakmuran
dan kesejahteraan masyarakat petani dan kestabilan ekonomi-politik pemerintahan sejak
zaman Bali Kuno. Atas keterampilan teknis dan jerih payahnya, serta resiko dan bahaya
alam yang dihadapinya, tampaknya para undagi pengarung sejak Zaman Bali Kuno
mendapatkan penghargaan (pendapatan) yang cukup layak. Hal ini diindikasikan dari
pajak pendapatan (drwya haji) yang dikenakan oleh penguasa kerajaan pada saat itu.
4
Kini sejalan dengan berkembanganya industri pariwisata, hasil karya para undagi
pengarung (aungan), dapat dijadikan sebagai atraksi budaya subak dalam rangka
pengembangan wisata agroekologi untuk menunjang pariwisata budaya di Bali.

Kata kunci : subak, air irigasi, undagi pengarung, wisata agroekologi

1. Pendahuluan
Menurut ahli geologi dari Belanda, yaitu Mohr ( dalam Geertz, C.1983: 38-42),
secara fisik ada empat unsur alam yang penting terkait dengan kegiatan pertanian,
khususnya budidaya padi sawah, yaitu : api, air, tanah dan udara. Api terkait dengan
aktivitas gunung berapi (vulkanisme) berkontribusi pada kesuburan tanah dan sebagai
pensuplai zat-zat makanan untuk tumbuh-tumbuhan. Air berkaitan dengan terbentuknya
danau vulkanis dan sungai-sungai pendek, air deras mengandung lumpur yang mengalir
dari lembah-lembah deretan gunung berapi menuju sawah atau hilir (samudera).
Lembah-lembah sungai yang kecil di celah-celah gunung berapi menjadi pendorong kuat
untuk menempatkan sawah di bentanglahan tersebut. Tanah dengan topografi yang
berbukit atau bergunung-gunung, dan landai dengan drainase yang baik terbentuk oleh
alur sungai di antara pegunungan, sangat cocok untuk pengembangan teknik irigasi
yang tradisional ( Bali: teknologi persubakan). Demikian pula udara terkait dengan iklim
khatulitiswa dengan suhu udara yang lembab dan curah hujan yang cukup memadai
dalam musim monsoon, merupakan pensuplai air untuk irigasi pertanian dan kegiatan
ekonomi dan budaya lainnya.
Tampaknya Bali sebagai pulau yang kecil dengan luas wilayah 5.636,66 km2,
kegiatan pertanian (subak) dan kulturnya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
pembatas ekologis tersebut. Di antaranya, subak dengan teknologi pengarungnya
(terowongan irigasi) harus dapat menembus bukit-bukit untuk dapat mengalirkan air
sungai ke lahan-lahan petani dari kawasan hulu (pegunungan.perbukitan) ke zone
tengah dan di hilir.
Gejala keberadaan subak pada Zaman Bali Kuno, di antaranya ditandai oleh
kehadiran kelompok undagi pengarung (tukang terowongan irigasi) yang telah
disebutkan dalam prasasti-prasasti Bali Kuno. Di antaranya, yaitu prasasti Sukawana
AI ( Çaka 804 ), prasasti Bebetin AI (Çaka818 ), dan prasasti lainnya (Goris, R.,1954:
5
53-55). Bahkan hingga di Era Modern ini, jasa dan hasil karya para undagi pengarung
(tukang aungan/terowongan irigasi) masih dinikmati oleh para petani di Bali. Sebagai
seorang undagi pengarung, selain terampil secara teknis, mereka mesti mempunyai
pengetahuan yang memadai terkait dengan tanah, geodesi, dan aspek lingkungan alam
lain. Demikian pula dalam melakukan tugasnya, berbagai tantangan, resiko dan bahaya
yang mesti dihadapi dalam proses membuat aungan (terowongan) tersebut. Atas jerih
payah, resiko dan bahaya yang dihadapinya, sudah sepatutnya mereka mendapatkan
penghargaan dari masyarakat dan pemerintah. Secara sosial ekonomi dan politik, peran
subak dan khususnya undagi pengarung pada Zaman Bali Kuno mendapatkan
penghargaan yang cukup penting. Dengan berkembangnya industri pariwisata di Bali,
khususnya pariwisata budaya, maka warisan budaya agroekologi tersebut (teknologi dan
hasil karya para undagi pengarung) dapat djadikan daya tarik wisata alternatif untuk
mendukung pariwisata budaya yang telah dikembangkan di Bali sejak tahun 1970-an.

2. Metodelogi
Penelitian dilakukan dengan pengumpulan data tentang undagi pengarung dari
prasasti-prasasti Bali Kuno. Karena data dalam prasasti sangat terbatas, maka untuk
mendapatkan informasi yang lebih lengkap tentang teknologi pengarung (undagi
pengarung), pengumpulan data juga dibantu dengan teknik observasi ke Museum
Subak di Kabupaten Tabanan, dan pengumpulan data Etnoarkeologi melalui wawancara
mendalam (depth-interview) dengan narasumber (tukang aungan) sebagai pelaku sejarah
dalam persubakan di Bali. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara deskriptif
kualitatif, kemudian data diintepretasikan dan hasilnya disintesiskan guna mendapatkan
gambaran umum tentang keberadaan undagi pengarung di Bali.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1. Subak dan Eksistensi Undagi Pengarung Dalam Prasasti Bali
Keberadaan subak dan undagi pengarung (tukang terowongan air irigasi)
merupakan dua komponen yang sangat terkait erat dalam dunia pertanian (agriculture).
Rekaman data prasasti yang memuat tentang persubakan, khususnya tentang undagi

6
pengarung cukup sering disebutkan, tetapi sangat sumir dan keterangannya sangat
terbatas.
Secara implisit gejala keberadaan subak, sudah ada disebutkan sejak prasasti Bali
Kuno pertama dikeluarkan oleh penguasa (raja) pada saat itu. Di antaranya, yaitu
prasasti Sukawana AI (Çaka 804), prasasti Bebetin AI (Çaka818 ), dan prasasti lainnya (
Goris, R.,1954: 53-55). Di antaranya, dalam prasasti Sukawana A.I (Çaka 804 atau 882
M) ada disebutkan :
“… sesan yalapna marhatuangna paneken di hyang api, kajadyan atithi. An ada
huma, parlak, padang, ngmal, kajadyan tmuan hyang tanda, tathapi tua bilang,
paneken ditu di satra, pyunyanangku kajadyan pamli pulu, tiker pangjakanyan
anak jalan almangen…” ( Goris, R. 1954: 53-54).

Artinya: ‘… sisa (harta kekayaan dari orang meninggal) yang diambil untuk ritual
kematian marhantu (penyucian roh/ngaben), agar dipersembahkan sebagai harta
kekayaan milik Dewa Api (Hyang Api), dijadikan biaya untuk penyambutan tamu
(atithi). Jika ada (harta warisan berupa harta tidak bergerak), yaitu huma (sawah), parlak
(kebun), padang (hamparan padang rumput), mmal (kebun campuran), agar dijadikan
ritual (piodalan) untuk Dewa Hyang Tanda. Tetapi jika ada (harta warisan) uang
(bilang/wilang), agar dipersembahkan untuk kebaikanku (pyunyanangku) ke satra
(pesanggrahan) sebagai biaya untuk membeli isi pulu (beras) untuk dimasak dan
membeli tikar bagi orang-orang bepergian (ngalu) yang kemalaman (menginap) di
sana…’.

Selain itu dalam prasasti Sukawana AI (Çaka 804) dan prasasti-prasasti Bali Kuno
lainnya cukup sering disebutkan adanya kegiatan manutu yang artinya menumbuk padi
(Bhs. Bali Lumrah: nebuk).

Berdasarkan teks prasasti di atas dan prasasti lainnya menunjukkan, bahwa sejak
awal Bali Kuno sudah dikenal tiga jenis lahan pertanian, yaitu pertanian basah yaitu
huma ( sawah), pertanian kering, yaitu parlak (kebun), padang (hamparan lahan yang
ditumbuhi semak dan rumput), dan mmal (kebun campuran). Pada sisi lain, penyebutan

7
pamli pulu (membeli isi tempayan /pulu atau beras) untuk dimasak pada teks prasasti
di atas menunjukkan, bahwa beras sudah menjadi komoditas yang diperjualbelikan di
pasaran. Artinya produksi beras di Bali sudah cukup maju. Lembaga tradisional yang
membudidayakan padi dan produksi beras di Bali yaitu Subak.

Sementara itu dalam prasasti Bebetin AI yang berangka tahun Çaka 818 atau 896
M (Goris, R., 1954: 55), untuk pertama kalinya sudah ada disebutkan keberadaan undagi
pengarung, yaitu tukang yang ahli membuat terowongan air irigasi. Undagi pangarung
juga disebutkan dalam prasasti Batuan (Çaka 944) bersama dengan undagi kayu (tukang
kayu), undagi watu (tukang batu), dan kelompok profesional lainnya (Goris, R., 1954:
96-97). Sebagai kelompok pekerja profesional (skillful labour), mereka tampaknya
mendapatkan pernghargaan (upah) yang memadai, dan mempunyai kedudukan penting
dalam masyarakat. Dalam Prasasti Batuan (Çaka 944), disebutkan bahwa undagi
pengarung dikenakan pajak pendapatan dari hasil profesinya, yaitu sebanyak satu
kupang ( kû 1) setiap tahun (hatmwang-hatmwang). Sebagai seorang undagi pengarung,
selain harus bermodalkan fisik dan mental yang kuat dan tangguh, ia mesti juga terampil
dan berpengetahuan. Dalam menunaikan tugasnya tersebut diperlukan peralatan
teknologi metalurgi (perlatan dari besi) dan alat-alat lain.

Hasil penelitian Arkeologi di Bali menunjukkan, bahwa produksi dan penggunaan


peralatan metalurgi (logam) diperkirakan sudah dikenal dari zaman logam (prasejarah),
dan dipandang sebagai pengaruh dari budaya Dong Son (Vietnam). Hingga kini,
komunitas subetnis Bali (soroh) yang menekuni profesi teknologi metalurgi dikenal
dengan sebutan pande. Terminologi pande tampaknya cukup sering disebutkan dalam
prasasti-prasasti Bali Kuno.

Terdapat minimal tiga kelompok pande pada Zaman Bali Kuno, yaitu : pande
bsi/wsi, pande mas, dan pande perunggu. Pande wsi/bsi (besi) memperoduksi alat-alat
teknologi pertanian, pande mas memproduksi assesori (alat perhiasan), seperti kalung,
gelang, cincin, dan perhiasan untuk arca dewa (pratima). Sementara itu, pande
perunggu memproduksi alat-alat perunggu seperi bejana (mangkuk) perunggu, dan juga

8
alat-alat musik perunggu (gambelan) tradisional. Bahkan dalam prasasti Pengotan AI
(Çaka 846 ) sudah disebut adanya Juru Pande ( Goris, R.1954: 67-68), yaitu petugas
kerajaan yang khusus mengurusi kelompok pande yang ada di Bali pada saat itu. Hal ini
menunjukkan pentingnya kedudukan profesi pande pada saat itu.

Terkait dengan keberadaan soroh pande besi, dalam prasasti Batur Pura Abang
(Çaka 933) disebutkan, alat-alat teknologi pertanian dan senjata yang diproduksi oleh
pande, seperti : kris (keris), kampit (pisau), lukay (sabit), wdung (wedung = golok),
wadung ( pacul kecil, sejenis tajak), linggis, kurug (baju zirah/baju perang), dan
peralatan lainnya (Goris, R.1954: 89).

Tampaknya para pande, khususnya pande besi itulah yang memenuhi kebutuhan
peralatan teknologi yang diperlukan oleh para undagi pengarung di Bali pada saat itu.
Berdasarkan ungkapan kata undagi pengarung tersebut, menunjukkan suatu gejala sudah
adanya organisasi (lembaga) yang bergerak dalam manajemen air untuk irigasi sawah
(subak) pada saat itu. Namun secara eksplisit, nama subak (lembaga pertanian
tradisional) dalam prasasti baru muncul belakangan, yaitu pada abad XI M (sejak zaman
pemerintahan Raja Marakata dan Anak Wungsu) yang merupakan putera dari pasangan
raja suami –istri, yaitu Udayana Warmadewa dengan Çrigunapriyadharmapatni
(Mahendradata/cicit Pu Sindok dari jawa Timur).

Secara harfiah kata subak yang berasal dari suwak (sibak) berarti ‘ membagi atau
mendistribusikan air’ untuk irigasi pertanian, khususnya dalam budidaya padi di sawah.
Berawal dari kata kerja “suwak atau subak” (membagi/mendistribusikan air), dalam
perkembangannya belakangan, kemudian menjelma menjadi nama sebuah organisasi
pertanian tradisional yang cukup popular di Bali, yaitu institusi Subak. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan organisai Subak di Bali punya hubungan
yang sangat erat dengan kegiatan manajemen air dalam budidaya padi di sawah, dan
dengan para undagi pengarung.

Kini lembaga Subak di Bali merupakan organisasi pertanian tradisional religius


yang struktur kepengurusannya terdiri atas :

9
(1) Pekaseh (Klian Subak) sebagai Kepala Subak;
(2) Pangliman (Patajuh) sebagai wakil yang membantu tugas pekaseh;
(3) Penyarikan sebagai juru tulis (sekretaris),
(4) Patengen sebagai bendahara;
(5) Kasinoman sebagai juru arah yang bertugas menyebarkan informasi penting
kepada krama (anggota subak) dan pengurus; dan
(6) Kliantempek sebagai kepala subsubak (klian tempekan subak);

Secara umum tugas dan fungsi subak yaitu sebagai berikut.

(1) Memberikan jaminan kepda para petani tidak akan kekurangan air;
(2) Mengawasi bendungan-bendungan secara efektif, bahwa tidak ada orang
yang mencuri atau mengalihkan saluran air ke tempat lain;
(3) Menangani konflik-konlik di antara krama (warga) subak; dan
(4) Menyelenggarakan ritual terkait dengan budidaya padi sawah
(Covarrubias,M.,1965 : 72).

Terminologi pakaseh diperkirakan berasal dari kata paka dan seh. Morfologi kata
seh atau juga disebut ser diperkirakan dari bentukan “ sa –air” (sa - = satu kesatuan,
dan air ( air atau yeh/ tukad/sungai) yang artinya satu kesatuan saluran air irigasi (air
sungai/tukad/yeh). Secara harfiah kata pakaseh berarti orang yang mengurus saluran air
irigasi untuk pertanian (budidaya padi sawah). Selain itu, lembaga Subak yang diketuai
oleh seorang pakaseh juga bertugas untuk menentukan pola tanam dan jenis varietas
padi yang mesti dibudidayakan dalam musim-musim tertentu. Demikian pula, lembaga
subak juga berhak menarik pajak atas jasa air yang telah dinikmati oleh para petani
dalam budidaya padi sawah, dan menetapkan sanksi ( denda uang, ritual-upakara, dan
sanksi jenis lain) atas pelanggaran awig-awig (aturan adat) subak yang telah disepakati
bersama. Pajak air untuk subak di Bali dewasa ini lazim disebut “pangwot” yang
hasilnya kemudian dipergunakan untuk biaya ritual subak, dan kepentingan lainnya.

Terkait dengan pajak air pangwot tersebut, dalam prasasti sering disebutkan
adanya jenis pajak rot. Di antaranya dalam prasasti Bebetin AII (Çaka 911) disebutkan

10
keberatan masyarakat Desa Banua Bharu atas kewajiban pajak rot yang harus
dibayarkan setiap tahun (hatmwang-hatmwang di bulan Caitra ) kepeda petugas
pemungut pajak kerajaan (mangilala drwya haji). Atas keberatan dan permohonan
tersebut, akhirnya sang raja suami-istri Çrigunapriyadharmapatni – Çri Udayana
Warmadewa memenuhi keinginan masyarakat desa (petani), dengan menurunkan pajak
rot yang sebelumnya sebesar mâsu 9 (sembilan uang mas suwarna) menjadi mâsu 7
(tujuh uang mas suwarna) ( Goris, R, 1954: 81).

Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa pajak rot yang dikenakan pada
zaman Bali Kuno identik dengan pajak pangwot yang dikenakan oleh lembaga subak
Zaman Bali belakangan, yaitu terkait dengan jasa pemafaatan sumberdaya air yang
diberikan oleh pemerintah (pakaseh) kepada para petani (krama subak). Sementara itu,
pajak tanah pertanian pada saat itu lazim disebut tikasan (tigasana) yang biasanya
dipungut oleh sedahan tingkat bawah (sedahan yeh/sedahan air) yang dibantu oleh
pekaseh, dan hasilnya diserahkan ke pemerintah setempat melalui lembaga sedahan
agung yang berada di bawah Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah).

Berdasarkan data tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa lembaga subak mungkin
sudah ada sejak Zaman Bali Kuno awal (abad IX M), dan mempunyai kaitan yang erat
dengan teknologi perundagian, khususnya teknologi pengarung (tukang terowongan).
Undagi pengarung merupakan suatu pekerjaan yang memerlukan keterampilan khusus,
dan jumlahnya cukup terbatas (langka). Undagi pengarung mendapat penghargaan
(upah) yang memadai terkait dengan profesinya dalam membuat terowongan untuk
penyaluran air sungai ke lahan pertanian yang dirintangi oleh bentuklahan perbukitan.
Dengan adanya terowongan air, hal ini memberikan kesempatan bagi para petani untuk
meningkatkan produksi pangan, khususnya budidaya padi sawah. Saluran air bentuk
terowongan diperkirakan juga dapat meminimalkan hilangnya air dalam perjalanan
menuju lahan pertanian Dapat diperkirakan luasan sawah di Bali niscaya bertambah,
produksi padi sawah meningkat, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat pun
cenderung meningkat. Demikian juga kestabilan stok pangan pemerintah kerajaan lebih

11
terjamin, serta kestabilan politik pemerintahan semakin mantap berkat jasa para
undagi pengarung dan subak.

3.2. Proses dan Teknik Pembangunan Aungan


3.3. Perhitungan Ukuran, Bentuk Terowongan, dan Tantangan Undagi Pengarung

Pada umumnya ukuran terowongan irigasi (aungan) ada beberapa, demikian pula
bentuknya. Hal ini sangat tergantung pada kondisi lingkungan alam di sekitarnya, dan
volume kebutuhan air irigasi. Menurut narasumber, ukuran panjang terowongan yang
sering dikerjakannya berkisar antara 700 m – 800 m, bahkan hingga 1,5 km – 3 km.
Menurut narasumber, ukuran lubang aungan yang normal pada umumnya, yaitu lebar (
L) sekitar setengah depa ( 0,80 m – 1,20 m), dan tinggi (T) lubang aungan satu depa ,
yaitu sekitar 1,80-m hingga tinggi maksimal 2 m. Namun jika ukuran debit air
(tukad/kali) kecil, jaraknya (dari sumber air ke lahan) pendek, dan lahan pertaniannya
yang sempit, maka dibuatkanlah aungan dengan ukuran kecil (khusus), dengan tinggi
lubang terowongan 0,60 – 1 meter, sedangkan lebarnya maksimal 0,80 cm. Untuk
membuat aungan yang kecil, pengerjaannya dilakukan dengan cara merayap atau
jongkok dengan menggunakan alat linggis (Wardi, 2005).

Menurut narasumber, mengenai bentuk lubang aungan minimal ada 3 tipe, yaitu (1)
bentuk huruf U terbalik ( ∩ ), (2) bentuk segi lima sama kaki dengan dinding kaki
terowongan lurus ke bawah (⌂), dan (3) bentuk segi lima sama kaki, tetapi dinding kaki
terowongan yang ke bawah miring ke dalam ( ). Lubang terowongan dengan bentuk
huruf U terbalik, merupakan bentuk yang paling normal, bila kondisi tanah dalam
kondisi yang baik atau normal ( tidak gembur, dan tidak keras). Bentuk segi lima sama
kaki lurus ke bawah pada umumnya dipakai jika tanah bagian dinding langit-langit
terowongan agak gembur. Sementara bentuk lubang terowongan segi lima sama kaki
yang miring ke dalam, dipakai jika semua struktur tanah (dinding atas dan samping kiri

12
dan kanan) kondisinya kurang bagus (agak gembur) (Narasumber: I Wayan Kuwug/75
th/13 Jan 2018).

Menurut narasumber, jika undagi memulai pekerjaannya, pada awalnya mereka


dapat menggali aungan sepanjang 2 meter per hari, karena tempat pembuangan tanah
galian masih gampang (dekat sungai), sehingga pengerjaannya lebih cepat. Tetapi
semakin ke dalam, seorang undagi (kelompok pekerja) paling banyak dapat 1,5 meter
per hari jika struktur tanah masih normal. Jika tanah keras (batu padas), seorang undagi
dengan kelompok kerjanya paling banyak dapat menggali 0,5 m per hari (cf: goa
pasraman purbakala Goa Gajah dan goa pasraman Candi Gunung Kawi-Gianyar :
struktur tanah batu padas).

Menurut narasumber, seorang tukang aungan (undagi pengarung) harus tahun


tentang ilmu tanah, dan teori matematik /ilmu ukur (matrik tradisional) atau geodesi
dalam proses membuat aungan. Demikian pula dia harus juga memiliki ilmu spiritual
dan intuisi yang tajam, karena tantangan dan gangguan yang dihadapinya cukup banyak,
bervariasi dan berat, baik berupa tatangan alam empirik (alam sakala), maupun
tantangan/gangguan dari alam transendental (alam niskala). Tantangan/gangguan
tersebut menyangkut resiko dan bahaya keselamatan fisik (sakit) dan jiwa (kematian),
dan terkait pula dengan kepercayaan masyarakat yang memberi kerja (konsumen). Jika
persyaratan itu tidak dimiliki dan dipahami, maka seorang undagi pengarung akan
sering mendapatkan masalah dan menemukan kegagalan dalam menggarap proyek
aungan tersebut. Akhirnya ia tidak lagi mendapatkan kepercayaan masyarakat, atau
yang bersangkutan kehilangan pekerjaan.

Menurut narasumber, ilmu lubang aungan itu ada dua, yaitu lubang (song)
Temulilingan (kumbang bunga), dan Song Bikul (Lubang Tikus). Lubang (Song)
Temililingan itu tunggal dan bentuknya lurus (tusing ngelah bedahan ke samping =tidak
punya lubang ke samping), sedangkan Song Bikul, dari luar tampak lurus, tetapi di
dalam, lubangnya (bedahnya) bercabang (ada song malingan = ada lubang tipuan) yang
bisa tembus ke atas, ke bawah, atau ke samping kanan dan/atau ke kiri. Menjadi

13
seorang undagi pengarung, ilmu bentuk lubang tikus (Song Bikul) inilah yang harus
dipelajari dan dikuasai, karena dalam membuat lubang terowongan, tantangan
(gangguan) di dalam tanah cukup banyak dan bervariasi, sehingga seorang undagi harus
selalu ada solusi (Narasumber: I Wayan Kuwug/75th /13 Jan 2018).

Lebih lanjut dinyatakan, ukuran yang sangat penting (geodesi) yang harus dipahami
dan diperhatikan seorang undagi pengarung, yaitu membuat ketepatan garis lurus,
derajat sudut belokan (nikung), garis lantai naik-turun, atau gradasi perbedaan tinggi
lantai dasar terowongan agar air dapat mengalir dengan tenang. Menurut Nang Lodra
(dalam Wardi, 2005), jika ia mulai menggali aungan dari titik bungas (intake), biasanya
dalam setiap perolehan menggali 10 meter kemiringan permukaan lantai aungan
diturunkan 25 Cm, atau setiap memperoleh 1 meter diturunkan 1 Cm. Tetapi menurut
narasumber narasumber Banjar Nyelati, menyatakan, bahwa untuk panjang aungan 1
km, turunya maksimal 1 m, atau setiap jarak 1 meter lantai dasar turunnya 1 mm.
Menurut narasumber, aungan tidak boleh terlalu miring. Jika gradasi lantai dasar
terowongan terlalu miring, maka arus air di dalam terowongan akan sangat deras dan
lantai dan dinding samping aungan akan cepat erosi, sehingga dinding-dinding aungan
akan jebol (runtuh), dan aungan tidak berfungsi optimal.

Gangguan dan resiko dalam membuat aungan tidak hanya bersifat sekala (empirik)
dari alam sekitar, seperti tertimbun runtuhan tanah/tebing, kondisi udara atau tanah di
dalam terowongan yang beracun (tanah werirang/belerang), tanah medang (bulu
bambu/gatal), tetapi juga dari alam niskala (alam transendental). Menurut narasumber,
gangguan cukup besar (mengkhawatirkan) yang sering dialami oleh para undagi
pengarung, yaitu gangguan dari Banjar Wong Abing ( Wong Samar, Wong Jin, Mamedi,
Syetan/Tonyo), dan gangguan makhluk gaib lain. Pada umumnya tanah yang ada di alam
yang masih asli (hutan, tebing, jurang, bukit, sungai/tukad, tegalan), dipandang tenget
(angker/kramat). Dalam menetralisir gangguan dan sifat-sifat negatif makhluk gaib
tersebut untuk menjadi positif, maka persembahan upakara (sesajen) dengan memohon
keselamatan, kerahayuan dan kesejahteraan (amertha) harus dilakukan (Narasumber: I
Wayan Kuwug/75 th/13 Jan 2018).

14
Demikian pengetahuan, tantangan, bahaya dan resiko yang sering dihadapi oleh
seorang undagi pengarung dengan perangkat pekerjanya.

3.4. Peralatan Teknologi dan Teknik Pengerjaan Membuat Aungan

Untuk membuat atau membangun sebuah aungan (terowongan), seorang undagi


pengarung (pengaung) memerlukan peralatan kerja dan bantuan beberapa orang tenaga
kerja pembantu (pengayah). Hasil wawancara dengan pengaung (undagi pengarung)
dan observasi yang telah dilakukan di Museum Subak Kabulaten Tabanan menunjukkan,
bahwa peralatan teknis pangarung dan fungsinya dapat diislutrasikan seperti pada tabel
berikut.

Tabel: Nama dan Jenis Peralatan Kerja Undagi Pengarung

No. Nama Alat Fungsi


1 Paganjing duhur (atas) Alat untuk mengukur beda tinggi permukaan
tanah. Alat yang tingginya sekitar 1 m dibuat
berkaki tiga (tripod) dari bambo yang dibelah.
Fungsinya seperti teodolit yaitu mengukur beda
tinggi dua buah titik terterntu di permukaan tanah.
Jarak bidik efektif alat ini maksimal 20 m.
Peganjing duhur merupakan satu unit peralatan
yang bagian-bagiannya terdiri atas : mit (corong),
petimbak sebagai alas dari corong, dan anyir atau
jalon
2 Peganjing dasar (bawah) Alat untuk mengukur beda tinggi (level) lantai
dasar aungan
3 Panyong (belicong) Alat utama untuk menggali tanah (lubang) aungan
4 linggis Alat penggali tanah aungan
5 udud Alat menggali tanah dan meratakan dinding

15
aungan
6 Tajak atau cangkul Alat untuk mencakul dan meratakan tanah galian
pendek dan kecil
7 Sepat gantung/lot Lot yang diisi benang digantung di dinding langit-
(unting-unting) langit aungan untuk menentukan arah lurus (
minimal 3 -6 baris lot dengan jarak antar
masing-masing lot 25 Cm
8 Sodo/sekop Alat untuk mengambil tanah galian
9 Damar Lampu/dammar yang berfungsi sebagai alat
sembe/penyembean ( penerangan ketika melakukan kerja di dalam
lampu tradisional ruang aungan, dan sebagai penanda kadar oksigen
sumbunya dibuat dari tanah di dalam aungan (terowongan)
benang/kapas yang
dipindal dan minyak
kelapa dengan wadah
coblong (bahan tanah
liat yang dibakar yang
permukaannya terbuka
dan mengecil ke kaki)
atau caratan (wadah dari
kendi)
9 Patok kayu Penanda titik (membuat profil aungan)
10 Tali benang Untuk garis pemetaan terowongan
11 Prapen (perapian pande) Perbengkelan untuk Alat menyervis peralatan
besi yang rusak karena tanah keras atau berbatu
12 Seleran/mistar kayu Alat untuk menggaris, meluruskan
13 Siku-siku kayu Alat untuk membuat garis nyiku (sudut)
14 busur plastik (alat Untuk mengukur dan menentukan besaran derajat
modern) sudut aungan

16
15 waterpass Untuk menentukan kesamaan tinggi sebuah
permukaan ruang/bidang
16 Seperangkat keranjang Alat untuk mengangkut tanah galian
/bakul anyaman bambu
17 Gedeg/ anyaman bambu Alat ini dipasang di depan mulut aungan untuk
yang dicat /dilabur putih memantulkan sinar matahari ke dalam terowongan
sehingga kondisi di dalam aungan tampak lebih
terang
18 Galah (batang) bambu Untuk mengukur kedalaman air sungai
(bendungan/empelan) yang akan diambil
(dialirkan ke terowongan) menuju lahan pertanian

Proses pembuatan terowongan air irigasi (aungan subak) selalu diawali dengan
persembahan sesajen kepada para dewa (terutama dewa penguasa tanah atau Ibu
Perthiwi, Dewa Air/Dewa Wisnu) dan makhluk gaib lain sebagai penghuni lingkungan
alam sekitarnya. Tujuannya agar selama proses pengerjaan aungan, undagi pengarung
beserta tenaga pembantunya dapat berjalan lancar, aman/selamat (rahayu) dan berhasil
(sukses). Bagi para undagi pengarung di Bali, selain persiapan fisik dan mental yang
harus kukuh (kuat), ritual persembahan sesajen ini dipandang sangat penting, karena
pekerjaan membuat aungan berlangsung cukup lama (tergantung pada panjang aungan
dan struktur tanah) dan penuh resiko dan bahaya.
Terkait dengan ritual persembahan sesajen tersebut dalam sebuah lontar Indik
Ngawung ( Suadnya, 1981: 39) disebutkan :
“ Nihan tingkahing makarya awungan, ana bantenia, ajengan putih kuning, taluh
bekasem, pencok kacang, daksina nia nyuh sudhamala, katipat kelan artha 1700,
muang tumpeng barak, tumpeng brumbun, manut warnaning tumpeng (pengayate
ring ibu perthiwi ” ( Bendesa K . Tonjaya, 1994: 11).
Artinya:
‘ Adapun perilaku dalam membuat terowongan, ada sesajennya, seperti sesajen
nasi warna putih dan kuning, telur asin, pencok kacang, daksina dari kelapa sudhamala,

17
ketupat 1 kelan (satu pasang = 6 biji katupat), uang kepeng (Chinese Coin), nasi
tumpeng berwarna merah dan nasi tumpeng warna brumbun (abu-abu), dan warnanya
disesuaikan dengan arah kosmis (dipersembahkan kepada Dewi Bhumi/Ibu Perthiwi) ‘.
Setelah ritual persembahan sesajen berlangsung, baru kemudian dilanjutkan
dengan pengukuran lintas terowongan dengan pemasangan patok (membuat profil) di
permukaan kontur tanah yang dimulai dari kibul ( outlet atau hilir) sampai ke tepi sungai
tempat rencana bungas/buka (intake = tempat pengambilan air sungai). Untuk
mendapatkan garis lurus, pada profil juga dipasangkan lot. Di sinilah fungsi peganjing
duhur, yaitu untuk mengukur perbedaan tinggi permukaan tanah antara satu titik dengan
titik lainnya. Jarak bidik efektif untuk peganjing ini maksimal 20 meter. Hal lain yang
juga diukur, yaitu titik dasar sungai, kedalaman air sungai dan tinggi permukaan air
sungai yang akan diambil/disalurkan (diukur kondisi air sungai pada musim kemarau).
Setelah diketahui perbedaan tinggi kontur permukaan antara di kibul (hilir/outlet) dan
bungas/ buka ( hulu/intake) atau ke titik tertinggi lahan, undagi pengarung dengan
perhitungan matematis tradisional, kemudian menghitung selisih (sisa) ketinggian
tersebut, selanjutnya dibagi dengan panjangnya jarak dari titik bungas ke kibul (lahan
yang akan dialiri air irigasi). Melalui perhitungan matematis tradisional itu, maka
didapat tingkat kemiringan dalam jarak dasar lantai yang harus dibuat dalam jarak
tertentu. Setelah pemasangan patok dan pembuatan profil dan penentuan calung (lubang
pembuangan tanah galian), maka pengerjaan aungan (membuat terowongan) segera
dimulai dari bungas/buka dan kibul secara simultan, atau dari bungas saja. Awal
menggali tanah juga disertai dengan ritual sesajen kecil yang disebut dengan ritual
ngendag.
Pekerajaan diawali dengan menggali dan membuat setengah lubang dari bagian
atas bungas. Setelah menggali dalam ketebalan (panjang) sekitar 2 meter dari tepi
sungai, baru kemudian dilanjutkan dengan penggalian lubang terowongan secara penuh
sesuai dengan yang telah ditetapkan. Jika lubang bungas masih dekat ke sungai, tanah
hasil galian dibuang ke sungai, tetapi jika lubang aungan sudah dalam, maka diperlukan
calung (lubang pembuangan tanah galian). Lubang calung dapat dibuat menembus
dinding atas terowongan hingga permukaan tanah, atau calung ke samping, jika di

18
kanan dan kirinya berupa jurang (Bhs. Bali: abing). Ukuran lubang calung biasanya
sesuai dengan lebar lubang aungan. Calung ke atas juga disebut bindu, dan ada dua
bentuknya, yaitu calung (bindu) yang lurus ke atas seperti lubang sumur, dan calung
berundak miring. Calung bentuk lubang sumur ke atas, tanah galian yang diwadahi
kerajang dikerek dengan tali, sedangkan bindu (calung) yang berundak-undang miring,
tanah galian diangkut (dipikul) oleh tenaga kerja pembantu (pengayah) secara manual.
Menurut Nang Lodran (dalam Wardi, 2005), dengan calung ke atas dengan jalan
berundak-undak miring pekerjaan menjadi lebih mudah dan lebih cepat daripada calung
(bindu) yang lurus seperti lubang sumur. Patok (profil permukaan) menjadi pokok
calung dan menjadi dasar perhitungan aungan, yaitu bagaimana caranya agar patok di
atas agar pas dan tembus di bawah (lubang aungan).
Menurut narasumber, calung ke samping dapat mempermudah dan mempercepat
pekerjaan jika dibandingkan dengan calung ke atas. Selain berfungsi membuang tanah
hasil galian, calung (calung/bindu atas) juga berfungsi sebagai ventilasi udara untuk
suplai oksigin dan cahaya, serta sebagai kontrol arah terowongan apakah sudah sesuai
dengan profil di permukaan. Tebal dinding langit-langit terowongan atau calung cukup
bervariasi, yaitu antara 5- 25 meter. Hal ini tergantung pada kondisi dan karakteristik
munduk (bukit) lingkungan alam sekitar. Menurutnya, pilihan ini sangat tergantung pada
tebal-tipisnya lapisan tanah dinding atas aungan hingga ke permukaan munduk (bukit).
Jika tanah di atasnya berupa carik (sawah), tanah dalam kondisi lembab atau basah, tebal
dari dinding atas goa hingga permukaan kontur tanah minimal tebalnya 10 m, namun
jika tanahnya keras (batu padas) ukurannya bisa lebih tipis (minimal 5 m). Demikian
pula, jarak antara satu calung dengan calung lain cukup bervariasi, yaitu antara 100 –
200 meter, jika kondisi terowongan lurus, atau 50 – 75 meter jika medan berat atau
munduk (bukit) berliku-liku. Pada masing-masing calung dapat dipekerjakan antara 4
hingga 6 orang tenaga kerja, yaitu undagi pemula dan tenaga pembantu penggali dan
pengangkut tanah galian. Jika tenaga kerja 6 orang, dua orang sebagai penggali
terowongan, dan 4 orang sebagai tenaga kerja pengangku tanah galian (Narasumber: I
Wayan Kuwug/75 th/13 Jan 2018).

19
Untuk membuat garis luruh terkait dengan arah terowongan, pada dinding langit-
langit terowongan digantung unting-unting (lot dengan tali benang), dan di lantai dasar
dipasang tanda paku kayu runcing, ujung lot dari atas harus bertemu dengan ujung
runcingan paku di bawah. Di dinding kiri atau kanan terowongan yang dicekakkan
dipasang lampu sembe/sentir. Menurut narasumber, bahan bakar lampu sembe harus
minyak kelapa dengan wadah coblong atau caratan (teko) dan tidak boleh minyak tanah,
karena jika menggunakan minyak tanah, undagi pengarung cepat merasa sesak nafas
dan batuk-batuk, sehingga mengganggu kelancaran pekerjaan. Untuk panjang satu
calung, minimal diperlukan penerangan 3 damar sembe. Jika menggali di sebelah kanan
terowong, maka damar sembe harus juga diletakan di sebelah kanan, atau sebaliknya
jika memanyong (menggali) di sebelah kiri, damar harus juga diletakkan di sebelah kiri.
Hal ini sangat penting agar dapat membuat garis sudut yang lurus (ngecek garis sudut).
Jarak satu lot (unting-unting) dengan lot yang lain 25 cm. Dalam membuat garis lurus
bisanya dipasang 6 lot berjajar dan bergantung di dinding atas (langit-langit) aungan.
Dengan demikian, jaraknya menjadi 25 cm x 6 = 150 cm atau 1,5 meter. Lot atau
unting-unting itu tidak boleh dicabut (dihilangkan), sebelum menggali sampai ke titik
unting-unting terakhir.
Lama pengerjaan sebuah terowongan sangat tergantung pada ukuran panjang
terowongan (aungan) jenis dan sifat kekerasan tanah, serta jumlah tenaga kerja yang
dilibatkan. Jenis tanah terowongan yang keras dan berbatu, penyelesaiannya tentu lebih
lama daripada tanah yang normal (tidak berbatu dan tidak keras). Seperti disebutkan di
atas, pada struktur tanah yang tidak keras dan tidak berbatu, satu regu kerja (4 orang)
dapat menggali lubang terowongan sekitar 1 m – 1,5 m per hari. Namun jika struktur
tanahnya keras, dalam satu hari satu regu kerja maksimal dapat menggali sepanjang 0,5
meter (Narasumber: I Wayan Kuwug/75 th/13 Jan 2018).
Berdasarkan pengalaman dan perhitungan tersebut dapat dibayangkan, bahwa jika
membuat aungan (terowongan) sepajang 1 km, dapat memakan waktu ber bulan-bulan
bahkan tahunan. Namun jika aungan sangat panjang (˃ 5 km), maka pengerjaannya
dapat dikerjakan oleh banyak tenaga kerja dengan sistem upah borongan per calung atau
per meter. Dalam hal ini beberapa undagi pengarung dapat berkongsi (narasumber I

20
Ketut Gunadi/Nang Lodra, dalam dalam Wardi, 2005). Perlu diketahui, bahwa dalam
mengerjakan aungan, para undagi dan pekerja pembantu (pengayah), biasanya membuat
bedeng dan menginap di lapangan. Selain alasan efisiensi dan efektivitas kerja, hal ini
disebabkan pula karena pada umumnya rumah para pekerja dan tukang aungan (undagi
pengarung) berada jauh dari lokasi kerja.
Besar kecilnya ukuran aungan yang dibuat oleh undagi sangat tergantung pada
beberapa faktor. Di antaranya, yaitu : (a) besaran debit air yang ada, (b) jarak sungai ke
lahan yang akan dialiri air, dan (c) pertimbangan kemampuan ekonomi petani
(membayar upah undagi) dan juga luasan lahan yang akan dialiri air.
Pekerjaan undagi pengarung dalam proses pengerjaan aungan tidak selalu mulus.
Dalam proses pengerjaan aungan, terkadang ditemukan beberapa permasalahan, seperti :
(a) di tengah terowongan bertemu batu besar yang menghadang, (b) di tengah-tengah
terowongan kondisi struktur tanah retak/pecah atau tanah sangat porus, dan (c) dua titik
aungan dari hulu (bungas) dan kibul tidak bertemu.
Untuk mengatasi bongkah batu besar yang menghadang di tengah lubang aungan,
jika memungkinkan undagi berusaha memecah batu tersebut. Jika tidak memungkinkan,
batu bongkahan dapat dikubur dengan menggali bagian bawahnya, atau dengan
membelokkan arah lubang aungan ke samping kanan atau ke kiri. Untuk tanah yang
porus dapat menyebabkan air yang dialirkan ke terowongan nanti tidak sampai di hilir,
karena terserap dalam tanah yang porus, dan segera harus membuatkan tabih (penguatan
dinding dengan PC dan kerangka) agar dinding tidak jebol. Kendala lainnya, yaitu di
dalam terowongan terkadang tanah mengandung gas racun belerang (tanah welirang).
Jika tanah mengandung gas racun, ciri-cirinya, yaitu nyala lampu sembe perlahan redup
dan akhirnya mati, atau udara terasa panas dan terasa sesak nafas. Jika bau racun itu
tidak terlalu keras, menurut narasumber biasanya diatasi dengan menyeret pelepah daun
pinang keluar-masuk secara berulang-ulang, atau menambahkan serbuk kapur (lime
stone) pada terowongan. Kekurangan oksigen ini bisa juga diatasi dengan membuat
ukuran lubang calung lebih besar atau menambah jumlah calung. Jika lubang
terowongan dari hulu (bungas/buka) sudah tembus ke hilir (kibul), setengah tanah
dinding lubang depan yang sebelumnya disisakan kemudian dijebol agar air mengalir.

21
Setelah aungan selesai dibuat, kemudian dilakukan upacara pemelaspasan
(pembersihan dan penguripan secara spiritual). Kemudian barulah dibuatkan bendungan
(empelan) sehingga permukaan air sungai naik dan mengalir ke terowongan hingga ke
lahan pertanian para petani. Perbaikan (nyervis) aungan dilakukan dalam waktu tertentu
bila ternyata aliran air kurang bagus (kurang optimal) dan tidak lancar (lantai tidak lurus
dan masih bergelombang) atau karena ada bagian dinding yang jebol.
Atas jerih payah dan tantangan pekerjaan yang cukup berat dan beresiko tersebut,
maka sudah sewajarnya seorang undagi pengarung (tukang terowongan irigasi subak)
mendapatkan penghargaan (upah) yang memadai. Seorang undagi pengarung, yaitu
Nang Lodra alias Ketut Gunadi (dalam Wardi, 2005), menuturkan, pada tahun 1977 ia
memperoleh upah menggali aungan Rp.2.500 per meter, sedangkan harga beras waktu
itu hanya Rp.250,-Rp.400,- per kwintal. Menurutnya, hasil pekerjaan tersebut cukup
memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, dan untuk biaya pendidikan
anak-anaknya.
Pada sisi lain, narasumber menyatakan, hasil jerih payah menjadi tukang aungan
(undagi pengarung) cukup lumayan. Hasilnya dua kali bahkan tiga kali lipat daripada
tukang ahli bangunan rumah, karena pekerjaan tersebut penuh resiko dan bahaya,
memubutuhkan keterampilan khusus yang cukup langka dan kekuatan fisik dan mental.
Menurut narasumber, harga beras sebagai kebutuhan dasar para pekerja selalu menjadi
patokan dalam perhitungan harga borongan sebuah aungan oleh seorang undagi
pengarung (tukang aungan). Artinya, jika harga beras di pasaran per kg naik, maka
harga borongan membuat aungan panjang per meternya cenderung juga akan naik.
Misalnya untuk zaman sekarang, panjang aungan 1 meter maju, harganya bisa
mencapai Rp.5 juta (jika struktur tanah yang normal/tidak batuan). Lebih lanjut
dinyatakan, keselamatan dan kesejahteraan para buruh aungan (pengayah) juga harus
mendapatkan perhatian khusus, agar mereka juga senang bekerja, karena perkejaan
membuat aungan tidak bisa hanya dilakukan oleh undagi pengarung. Menurut
narasumber, setelah kebutuhan pokok keluarga terpenuhi, uang upah hasil kerja
membuat aungan, juga masih ada sisa untuk dibelikan bibit ternak sapi (godel) satu
ekor(Narasumber: I Wayan Kuwug/75 th/13 Jan 2018), demikian tuturnya dengan lugu.

22
3.5. Pemanfaat Teknologi Pengarung Sebagai Daya Tarik Wisata Agroekologi

Hasil karya undagi pengarung (terowongan irigasi/aungan) dan peralatan


teknologinya dapat dijadikan atraksi wisata alternatif, khususnya terkait dengan
pengembangan agroekologi untuk menunjang pariwisata budaya yang telah
dikembangkan di Bali sejak tahun 1977. Dalam menggiring wisatawan menikmati
agroekologi, tentu harus ada promosi dalam media sosial (internet) dan kerjasama
antara pihak pemerintah (instansi yang terkait : Dinas Pariwisata, Dinas Pertanian)
dengan pihak hotel (PHRI) dan terutama dengan agen perjalanan wisata (travel agent),
dan dengan organisasi atau Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) yang ada di Bali
dengan melibatkan masyarakat lokal secara aktif. Aktivitas wisata agroekologi dapat
diawali dengan kunjungan ke Museum Subak yang ada di Bali ( Desa Sanggulan-
Tabanan atau di Gianyar), menyaksikan koleksi pameran dalam bentuk artefak/akofak
terkait dengan sistem irigasi, teknologi undagi pengarung, dan menyaksikan film
dokumenter tentang kegiatan subak. Kemudian wisatawan digiring ke sawah-sawah
yang ada terowongan irigasinya (seperti Subak Jatiluwih-Tabanan, dan subak lain),
sambil menyaksikan keindahan dan keasrian panorama sawah berundak, dan aktivitas
bertani yang ada di sekitarnya. Bila perlu para wisatawan juga dilibatkan dalam
kegiatan bertani, seperti membajak, menanam padi, memanen padi, dan kegiatan lainnya
yang memberikan pengalaman baru yang tidak pernah terlupakan baginya. Selain itu,
terowongan irigasi yang kondisinya masih bagus dan airnya masih mengalir dapat
dikembangkan sejenis rafting melewati tengah terowongan dan dilengkapi dengan
pemasangan lampu listrik atau lampu tradisional sepanjang terowongan. Dalam hal ini
mungkin diperlukan sedikit modifikasi lubang terowongan agar rafting boat dapat
melintas. Dengan demikian, kepuasan wisatawan atas kunjungannya di Bali tentu
mengesankan, peluang kerja, pendapatan dan kesejahteraan masyaraka petani dapat
ditingkatkan, dan retribusi bagi pemerintah dan lembaga desa juga dapat diraih untuk

23
pembangunan berkelanjutan. Demikian pula yang tidak kalah pentingnya, yaitu
kesadaran masyarakat atas identitas diri dan kebudayaan yang dimilikinya bertumbuh
semakin kuat. Hal ini dapat menjelma menjadi energi positif untuk memotivasinya
belajar bahasa-bahasa asing dan kebudayaan lokal dan berpartisipasi aktif turut
menjaga dan melestarikan warisan budaya yang mengandung kearifan lingkungan
tersebut.

4. Penutup
Berdasarkan data prasasti, keberadaan undagi pengarung sudah muncul sejak
zaman Bali Kuno awal (abad IX M), yaitu untuk pertama kalinya terungkap dalam
Prasasti Bebetin AI (Çaka 818 atau 896 M ). Eksistensi dan peranan undagi pengarung
pada Zaman Bali Kuno belakangan semakin kuat dan penting sejalan dengan
menguatnya keberadaan lembaga subak dan kebutuhan negara (kerajaan) untuk menjaga
stabilitas stok pangan (beras) dan sebagai komoditas perdagangan. Sebagai seorang
undagi (tukang) yang profesional, selain berpengalaman dan penguasaan peralatan kerja
(teknologi), maka kepemilikan pengetahuan teknis terkait dengan struktur tanah,
geodesi dan hidrologi, serta pengetahuan kultural-spiritual sangat dibutuhkan dan
menentukan keberhasilannya dalam berkarya. Hasil karya undagi pengarung (aungan
irigasi) di sekitar lahan sawah petani dengan peralatan teknologinya (artefak) di museum
subak, dapat dijadikan sebagai atraksi wisata agroekologi untuk mendukung wisata
budaya yang telah berkembang di Bali.

Daftar Pustaka

Bandrsa K. Tonjaya, I Nyoman Gde.1994. Dharma Pemaculan.Denpasar.


Covarrubias,M.,1965. “ Rice, Work , and Wealth ” dalam Island of Bali. Published by
Alfred A. Knope, INC.- New York. (p. 70-87).
Geertz,C.1983. Agricultural Involution : Ecological Change Process in Indonesia
(translation text in Indonesia).Published by University of California Press.
Goris, R,., 1954. Prasasti Bali I. N.V. Masa Baru, Bandung.
Mardiwarsito, L.,1981. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Penerbit Nusa Indah, Ende-Flores.

24
Suadnya, 1981. Awungan. P.U. Provinsi Bali
Wardi, I Nyoman, dkk. 2005. Melacak Teknologi Tradisional Bali Dalam Membuat
Terowongan. Laporan Penelitian Universitas Udayana, Denpasar-Bali.

Lampiran Gambar Aungan :

25
26

Anda mungkin juga menyukai