Anda di halaman 1dari 17

Tugas Bahasa Indonesia

Nama : Aditya Rizky Saputra

No Absen : 01

Kelas : lX - A

Secarik Kisah Zainab & Fauzan

Suatu sore di sebuah desa kecil nan permai di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Tempat
dimana bubungan gunung Halimun Salak nampak menjulang pongah, mengawasi ratusan
petak sawah yang mulai menguning. Semilir angin meningkahi kicau burung, gemerisik bulir
padi mendendangkan sebuah simfoni alam nan merdu. Riak air sungai yang airnya sejernih
embun menggelegak menghantam batu-batu cadas, mengairi kebun-kebun milik warga yang
banyak ditanami sayuran segar berwarna hijau, sesegar udara yang memenuhi desa itu.

Sore hari, awan jingga nampak berarak menuruni punggung gunung, warna
lembayung nan lembut menghias seisi langit. Kepak sayap burung-burung prenjak yang
tengah pulang ke sarang mereka menggoreskan seberkas warna hitam di langit. Para petani
yang bekerja di kebun & sawah mulai beranjak menuju peraduan mereka dengan menenteng
cangkul & Ani-ani. Sisa-sisa peluh bertebaran di wajah mereka. Baju mereka dipenuhi noda
lumpur. Namun seberkas senyum menguar di wajah mereka yang nampak kendur oleh rasa
lelah, saat satu sosok yang mereka kenali berkelabat lewat di sisi pematang sawah sambil
menyunggingkan sebuah senyum hangat. Sosok itu nampak anggun mengenakan gamis
berwarna putih gading, jilbab yang ia kenakan mengayun lembut diterpa angin. Sosoknya
yang tinggi semampai nampak kontras dengan pemandangan disekitarnya. Sambil menenteng
lusinan buku yang berjejal rapi di dalam kantong plastik berwarna hitam perempuan berwajah
lembut itu terus mempercepat langkahnya.

Zainab namanya. Pemandangan ia tengah melintasi pematang sawah di pagi & sore
hari sudah tak asing lagi bagi para petani di dusun Suka Mukti desa Babakan, Cisalak. Zainab
melangkah tergesa menyusuri petak-petak sawah, langkahnya terhenti saat dirinya berada di
ambang pintu sebuah rumah berbentuk panggung nan sederhana yang letaknya tepat di ujung
sebuah cekungan yang memisahkan area persawahan dengan perkampungan warga. Zainab
mematung sejenak, dari dalam dinding bilik bambu gubug sederhana itu terdengar dengan
jelas suara yang teramat merdu bagaikan nyanian surgawi. Suara itu tengah melantunkan
potongan surat Al-Hujurat dengan lagham yang sangat indah. Sungguh suatu anugerah
tersendiri mendengar nyanyian surgawi itu di sore hari yang permai.

Zainab telah sering mendengar suara itu, namun ia masih tak dapat membendung
kebiasaannya menitikan air mata tiap kali ia mendengar lantunan ayat suci Al-Quran yang
mengalun merdu dari pemilik suara itu. Rasa syukur perlahan menyesap memenuhi hatinya.

“Assalamualaikum…” Lantunan indah itu seketika berhenti ketika Zainab mengetuk


daun pintu, derap langkah kaki yang tergopoh terdengar jelas di lantai kayu rumah panggung
itu. Ketika daun pintu terbuka nampaklah seraut wajah seorang remaja berusia sekitar 17
tahun yang tersenyum sambil menjawab salam. Pemuda itu mempunyai paras teramat
rupawan. Kejernihan akhlaknya nampak jelas dari sorot matanya yang teduh, wajahnya
bersih dan cerah, kopiah hitamnya nampak pas membingkai gurat wajahnya yang tegas.
Sosoknya nampak bersahaja dalam balutan baju koko berwarna putih. Pemuda itu tak lain
adalah adik angkat Zainab bernama Fauzan.

Lantai yang tersusun dari balok-balok bambu berdecit saat Zainab melangkah masuk
menuju ruang tamu kecil tempat lauk pauk & nasi telah tersaji di sebuah meja lesehan yang
telah disiapkan adiknya. Fauzan bergegas menuju dapur mengambil piring-piring & gelas-
gelas porselen serta sebakul nasi yang masih mengepul. Zainab sudah biasa dengan suasana
seperti ini, di gubug kecilnya hanya Fauzan yang bisa ia temui. Adiknya itu yang menyiapkan
makan malam, mengerjakan tugas-tugas rumah, sementara Zainab mengajar di sebuah TPA
di seberang desa. Setelah berdoa Mereka makan tanpa bersuara. Selepas membereskan
peralatan makan & menyapu lantai, Zainab & Fauzan berbincang sejenak. Tidak ada televisi
di rumah itu, dan memang itu keinginan mereka berdua. Hanya ada lusinan buku di rak kecil
yang menenpel dengan tembok di sudut ruangan.
“Kak, aku dapet undangan dari DKM Mesjid Al-Ikhlas buat ngisi acara sebagai Qori
di perayaan tahun baru islam. Acaranya malam minggu ini kak. Ini suratnya.” Fauzan
memberikan selembar surat kepada Zainab ada logo panitia PHBI & DKM Al-Ikhlas di
kopnya.

Zainab mebaca dengan seksama isi surat itu. Sudah ratusan jumlahnya kertas
semacam itu yang ia terima, baik ketika mereka masih tinggal di Jakarta maupun setelah
mereka pindah ke Sukabumi. Dari mulai mesjid agung, majlis Ta’lim, Ormas islam, bahkan
stasiun TV swasta telah memberi kehormatan untuk mengundang adiknya melantunkan suara
emasnya. Namun Zainab tak selalu memberi restu di setiap undangan yang diterima Fauzan.
Zainab tidak ingin adiknya itu terlampau sibuk menghadiri undangan yang tak ada habisnya,
sementara kegiatannya menimba ilmu di sekolah maupun di pesantren tak menyisakan
banyak waktu luang. Ia tahu adiknya itu lebih berminat mendalami ilmu Qur’an & Hadits,
serta Insya Allah dengan niat yang tulus ingin menjadi seorang Mufassir. Ia lebih senang
menghafal Al-Qur’an ketimbang mengasah suara emasnya. Dan juga hanya Zainab dan sang
khaliq yang tahu, bahwa di balik sikap Tawadhu-nya Fauzan menyimpan masa lalu yang
pahit. Yang dengan sekuat hati selalu ia sembunyikan di balik senyum hangatnya.

“Oke kakak ngizinin. Tapi pulangnya jangan kemaleman ya…” Ujar Zainab sambil
melipat kertas undangan itu.
“Acaranya Cuma sampai jam 12 malem kok. Kakak juga ikut yah”
“Insya Allah” jawab Zainab sembari tersenyum.

Dari luar kumandang Adzan Maghrib menyela pembicaraan mereka. Fauzan bergegas
menyambar kopiahnya dan setelah pamit, berlalu dari hadapan Zainab. Di luar, temannya
Farid sudah menunggunya, pemuda-pemuda di kampung memang rajin memakmurkan
mesjid. Dari balik jendela Zainab memperhatikan adik angkatnya itu yang berjalan
memunggunginya. Dalam hati ia berucap syukur, bocah yatim piatu yang telah menjadi adik
angkatnya dua belas tahun silam, kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang soleh.

Jemaah sudah berjejal di pelataran mesjid sejak ba’da Isya. Sebuah acara akbar yang
digelar di dusun kecil itu benar-benar telah menarik antusiasme warga. Anak-anak kecil
saling berlarian di halaman mesjid, para pedagang makanan & mainan turut menyemarakkan
acara itu dengan menggelar dagangan mereka sejak pukul 7 malam. Saat acara dimulai
seluruh tempat di mesjid besar itu telah penuh disesaki jemaah. Zainab duduk di barisan
depan, adiknya Fauzan nampak sibuk membagikan air mineral, kalungan name tag panitia
menggantung rendah di lehernya. Namun saat acara hendak dimulai adiknya itu tak nampak
lagi batang hidungnya. Mungkin ia tengah mempersiapkan diri untuk penampilannya nanti.
Pikir Zainab.

Acara pertama pembacaan ayat suci Al-Quran. Semua hadirin serentak terdiam.
Seorang remaja dengan setelan baju takwa serba putih menghambur ke podium dengan
menenteng Al-Quran. Seluruh hadirin tak ada yang memalingkan pandangannya dari sosok
itu. Begitupun Zainab. Ruangan jemaah wanita jadi ramai membicarakan sosok itu.

“Itu adikmu Fauzan kan? Ganteng banget yah dia” seru Iklima yang duduk di sebelah
Zainab. Zainab Cuma tersenyum mendengar komentar itu. Namun kali ini ia sedikit risih
dengan bisikan hatinya, karena bukan perasaan bangga seperti di masa lalu yang bertahta di
sana melainkan perasaan kagum serta entah apa, yang ia sendiri tidak tahu pasti. Namun satu
hal yang pasti baginya bahwa ia sendiri turut menirukan tingkah remaja-remaja putri di
ruangan itu dengan memandang penuh takjub akan sosok itu.

Suara Fauzan yang merdu menggema di tiap sudut altar mesjid. Ia membuka alunan
syahdu kalam ilahi dengan petikan surat Al-Hujurat yang tadi sore ia lantunkan dilanjutkan
surat Al-Alaq dan ditutup dengan indahnya petikan surat Al-Isro. Tak pelak ratusan jamaah
yang menghadiri acara itu mulai dari sesepuh adat, tokoh-tokoh agama, para kiayi pengasuh
ponpes, ustadz-ustadzah, asatidz-asatidzah tidak ada yang tidak menyeru nama Allah swt.
Setiap kali Fauzan mengambil jeda di tiap lantunannya. Semua terenyuh akan indahnya suara
itu. Tak sedikit yang sampai menitikan air mata.

Lantunan kalimat tayyibah membumbung seantero mesjid tatkala Fauzan selesai


dengan Tilawahnya. Fauzan nampak canggung menerima tatapan kagum dari para jamaah, ia
berjalan pelan menuju kerumunan panitia. Ketika MC mengambil alih Microphone, Fauzan
telah sibuk kembali mengarahkan teman-temannya untuk menyediakan tikar bagi jamaah
yang tidak mendapat tempat duduk. Ia belum cerita pada Zainab kalau sebenarnya ia jadi
ketua panitia di acara itu.

Siti Halimatus Sa’diyah. Biasa dipanggil Halimah. Zainab tahu dari gerak-gerik
Fauzan serta nalurinya sebagai seorang kakak, kalau adiknya itu diam-diam menaruh hati
pada gadis cantik berwajah sendu itu. Zainab tidak menilainya selintas lalu. Ia tahu dari pupil
mata Fauzan yang membesar atau ekspresi gugupnya tiap kali memandang Halimah. Ia juga
dulu pernah merasakan perasaan seperti itu saat masih SMA dulu. Cinta remaja. Tapi ia tahu
siapa Fauzan, adiknya itu hanya akan sebatas menjadi pengagum. Fauzan mungkin tak dapat
menepis rasa itu, cinta merupakan anugerah dari sang khaliq. Satu rasa yang tanpanya spesies
manusia di muka bumi ini akan punah. Karena tanpanya seorang ibu tak akan sudi menimang
buah hatinya, seorang ayah takkan rela membanting tulang mencari rizki halal untuk
keluarganya, dan sepasang kekasih takkan mengucap janji setia pernikahan. Namun cinta
antara lelaki & perempuan yang tidak dilandasi ikrar suci atas nama Allah swt. Akan
menimbulkan mudharat, adiknya yang tengah berusaha menjadi seorang hafidz dan telah
hafal 20 Juz Al-Qur’an tahu persis akan hal itu.

Zainab berusaha menahan gejolak hatinya tiap kali ia perhatikan Fauzan mencuri-curi
pandang ke arah Halimah & melemparkan sebuah senyum. Saat ia lihat wajah Fauzan yang
berbinar ceria saat senyum itu berbalas, entah kenapa hatinya terasa panas. Mereka berdua
terus mencari kesempatan untuk saling lempar senyum. Tak akan ada yang sadar kecuali
mereka yang benar-benar memperhatikan, karena momen itu sendiri tak pernah lebih dari
lima detik, dan juga berlangsung tak lebih dari setengah hitungan jari. Zainab paham bahwa
baik Fauzan maupun Halimah takkan pernah melakukan yang lebih dari itu. Bahkan
mengobrol berduapun mereka tidak berani.

Perasaan dingin seketika menjalari batin Zainab, membuat keningnya berdenyut. Ia


tak tahu sejak kapan rasa itu bercokol di hatinya. Ia berusaha berpaling. Namun hatinya kian
resah. Sambutan-sambutan dari tokoh-tokoh masyarakat yang membuat jenuh sebagian
jamaah telah usai. Tibalah di acara inti. Qasidah Asyroqol yang dilantunkan tim Marawis
menyambut kedatangan Al-Mukarom KH Zainal Muttaqien terdengar semarak. Zainab
melambai ke arah seorang panitia bernama Fitri yang bertugas membagikan snack di ruang
jemaah wanita
“Tolong panggilin Fauzan. Minta dia nganterin teteh pulang. Teteh tiba-tiba pusing”
Ujar Zainab, setengah berteriak karena suaranya nyaris hilang diantara keriuhan lantunan
Asyroqol.
Fitri balas menganggukkan kepalanya. Zainab segera menepi diantara riuh rendah lautan
manusia dan merasa tenang saat Fauzan menghampirinya di area parkir motor.

“Kakak serius mau pulang?” tanya Fauzan. Zainab mengangguk. Lama tinggal di
Sukabumi membuat logat bicara Fauzan sedikit berubah.
“Sayang sekali kak, padahal udah masuk acara inti. Emang kakak gak mau ngedengerin Pak
Kiai ceramah? jarang loh dia mau dateng ke kampung kita” Fauzan mencoba membujuk
Zainab, tapi dia lihat wajah kakaknya itu nampak pucat.
“Kakak pusing banget Zan, gapapa lah mungkin di lain waktu kakak bisa ngadirin acara
kayak gini lagi.”
“Ya udah. Fauzan anter pulang, tapi kakak tunggu dulu sebentar yah. Fauzan minjem motor
Cecep dulu.”

Tak lama Fauzan telah siap dengan motor Suzuki Smashnya dan mempersilahkan
Zainab naik di kursi penumpang. Malam itu pekat & berembun, jalan-jalan di sekeliling
mereka begitu sepi. Lengkingan suara jangkrik memecah kesunyian malam. Deru motor
mereka beradu dengan suara speaker mesjid yang dari kejauhan menggemakan suara KH
Zainal Muttaqien tengah mengumbar lelucon ringannya yang jenaka.

Fauzan mengantar Zainab hingga ke tepi pintu. “Makasih Zan Kamu udah nganter
kakak pulang. Sana kamu balik lagi aja ke mesjid, tenagamu lebih dibutuhkan di sana!”
“Gak usah lah kak. Fauzan disini aja nemenin kakak”
Zainab menggeleng kencang. “Gak zan, kamu harus balik ke mesjid. Kamu kan ketua
panitianya. Kamu harus bersikap amanah tiap kali diberi tanggung jawab. Kakak gak apa-apa
kok”
“Ya udah kak. Fauzan pamit dulu yah. Assalamualaikum”
“Walaikum salam.” Zainab memandang sosok itu hingga hilang di ujung jalan.

Purnama menggantung cerah di kaki langit. Di beranda kecilnya Zainab duduk


termenung. Lamunannya membawanya kembali ke masa dua belas tahun silam. Di malam
cerah berbintang seperti inilah ia pertama kali bersua bocah yatim piatu kumal (yang
kemudian menjadi adik angkatnya) yang tengah menangis sendirian di bawah atap tenda
darurat kamp pengungsian korban tsunami di Meulaboh, Nangroe Aceh Darussalam.

Tangis bocah itu tak jua mereda saat Zainab membawanya ke tendanya. Dalam
pelukan Zainab bocah itu terus terisak pelan. Dari wajahnya tergurat jelas kesedihan &
trauma mendalam. Akibat terlalu lelah bocah itu pingsan dalam rengkuhan Zainab. Paginya
setelah siuman ia & teman-teman relawan memberinya makanan & tempat bernaung
sementara.

Bocah itu berusia lima tahun saat Zainab temukan. Berondongan pertanyaan dari
orang-orang yang turut simpati padanya malah membuatnya takut. Ia tak mau membuka
mulutnya untuk berbicara, dan hanya mau disentuh oleh Zainab. Berhari-hari Zainab
menunggu hingga trauma yang dialami bocah itu hilang, saat bocah bermata bening itu
angkat bicara, Zainab baru sadar kalau ia butuh penerjemah. Bocah itu tak bisa berbahasa
indonesia dengan baik. Mungkin ia berasal dari lingkungan yang orang-orangnya hanya
menuturkan bahasa Aceh sebagai bahasa sehari-harinya.
Namanya Fauzan. Ia berasal dari sebuah kampung nelayan yang terletak persis di
pesisir barat pantai Meulaboh. Ia terseret ombak saat tengah menjaring ikan bersama
ayahnya. Ia kini tak tahu nasib kedua orangtua & kedua kakaknya. Kepada Zainab ia minta
tolong untuk dipertemukan dengan keluarganya. Permintaan yang sulit. Seluruh desa nelayan
sepanjang bibir pantai barat Aceh telah tersapu ombak. Nyaris tak ada yang tersisa. Bahkan
dari laporan ekspedisi relawan, banyak desa-desa nelayan yang lenyap tersapu tsunami.
Jikapun ada keluarga bocah ini yang masih hidup ia harus mencarinya kemana?

“Siapa nama ayah & ibumu? Serta kakak-kakakmu?.”


Bocah itu mencoba mengingat. Ia belum mulai bersekolah saat bencana dahsyat itu terjadi. Ia
tak tahu nama ayah & ibunya, di rumah ia biasa memanggil orangtuanya dengan sebutan Abi
& Umi Namun ia hafal nama kedua kakak laki-lakinya. Kakak sulungnya bernama Faqih,
yang kedua bernama Fajar. Tapi ia tak tahu nama lengkap mereka. Dengan data seperti itu
sulit bagi siapapun mencari diantara ratusan ribu pengungsi yang tersebar di ratusan titik
pengungsian. Belum lagi kondisi jalan yang rusak menyusahkan mereka untuk bepergian.
Rasanya nyaris mustahil menemukan kembali keluarga bocah malang ini.

“Kakak akan usahakan mencari keluargamu. Tapi sementara mereka belum


ditemukan kamu harus sehat dulu. makan yang banyak & jangan bersedih. Insya Allah kamu
akan dapat bertemu lagi dengan mereka.” Begitu ucapan Zainab kala itu. Namun berminggu-
minggu setelahnya, Fauzan tak mendapati usaha berarti dari Zainab selain menghubungi satu-
persatu post pengungsian menanyakan kalau-kalau ada salah satu pengungsi yang berasal dari
Desa Singkil, pesisir Barat Meulaboh. Dihari kesepuluh Fauzan memutuskan untuk mencari
keluarganya sendirian.

Jarak antara desa tempat tinggal Fauzan dengan kamp pengusngsian lebih dari 10 km.
Perjalanan yang cukup panjang apabila ditempuh dengan berjalan kaki. Namun entah
bagaimana Fauzan bisa sampai disana. Zainab kelimpungan mencari bocah itu. Dengan
menebeng mobil Pick Up milik UNHCR ia berangkat sendirian menjemput Fauzan.
Terlambat baginya karena sebuah prosesi penguburan massal tengah berlangsung disana.
Ratusan kantong mayat diturunkan dari mobil jenazah. Sebuah ceruk besar telah siap
menampung mayat-mayat itu dalam satu liang yang sama. Saat tiba disana ia melihat Fauzan
tengah meratap pilu di samping sebuah jenazah yang telah membusuk. Bocah itu terus
meraung-raung saat seorang relawan Prancis menggendongnya menjauhi mayat ayahnya.

Fauzan tak mau makan selama beberapa hari. Ia terus menangis, tangisnya yang
memecah heningnya malam kerap membuat Zainab terjaga. Ia rangkul bocah malang itu
dalam dekapannya, ia bisikkan senandung pengantar tidur ke telinga anak itu. Ia bisikkan
pada bocah itu bahwa ia tak perlu khawatir & takut, selama ada Zainab di sampingnya.

Bocah itu akhirnya tertidur pulas. Dalam keremangan lampu patromak yang
menggantung di tenda darurat. Perlahan Zainab membelai rambut bocah itu. Anak lelaki yang
tampan. Gumam Zainab. Dalam hati ia bertekad akan mengupayakan yang terbaik yang ia
punya untuk membuat bocah yatim piatu itu melupakan traumanya, mengembalikan
keceriaannya agar ia berani mentap masa depan.

Berbulan-bulan setelahnya hiruk-pikuk kehidupan masyarakat pengungsi telah


berlangsung normal. Dan gelombang bantuan internasional mulai surut. Anak-anak telah
kembali bersekolah, penduduk sudah mulai bisa mencari nafkah. Tiba saatnya bagi Zainab &
teman-temnnya dari perkumpulan relawan ACTA untuk pulang.
Fauzan menatapnya dengan tatapan yang tak bisa ia artikan saat Zainab tengah
membungkus barang-barangnya ke dalam sebuah koper. Dengan elastisitas anak-anak,
Fauzan telah kembali ceria & bermain dengan teman-teman sebayanya di pengungsian.
Selama masa-masa pemulihan psikisnya, Zainab tak pernah jauh dari Fauzan. Itu dirasa
cukup bagi zainab. Namun ia tahu pasti ia tak bisa meninggalkan Fauzan sendirian.

“Kakak mau kemana? Kakak jangan pergi! kalo kakak pergi Aku mau ikut kakak…”
teriak Fauzan dalam bahasa indonesia yang canggung.
Zainab tak bisa menjawab, kata-katanya seakan tercekat di kerongkongan. Ia pandangi bocah
sebatang kara itu, jauh di kedalaman hatinya ia ingin membawa bocah malang itu ke
kehidupannya. Mengasuhnya, memberinya kasih sayang, pendidikan yang layak & tempat
bernaung. Namun sebagian dirinya yang lain menyeangkalnya. Bagaimana ia bisa
menghidupi Fauzan kalau selama ini untuk makan dan biaya kuliah saja ia banyak berhutang.

Perkara mengadopsi anak korban tsunami bukan urusan mudah, Zainab harus
mengurus perizinan mulai dari Dinas Sosial sampai catatan sipil. Ia pasrahkan segalanya
kepada yang maha kuasa. Tiga hari sebelum kepulangannya, ia beristikharah. Dalam
istikharah singkatnya yang tak satupun berakhir dengan mimpi, membuat hatinya makin
mantap untuk mengadopsi Fauzan.

Akhirnya keputusan besar diambil gadis berdarah Jawa itu. Zainab membawa Fauzan
ke kehidupannya. Bersamaan dengan itu, ia sadar bahwa kehidupannya takkan pernah sama
lagi.

Zainab menjalankan peran sebagai seorang kakak, ibu, ayah, sekaligus teman, sama
baiknya dengan ia membagi waktunya untuk kuliah dan mencari nafkah. Ia tak pernah
kekurangan rasa kasih untuk dibagi pada adik angkatnya. Fauzan membalas kasih tulus itu
dengan caranya sendiri. Sejak ia menatap Zainab untuk kali pertama dan mendapat pelukan
hangat dari wanita berjilbab berwajah lembut itu, dalam hati ia berjanji bahwa wanita yang
selalu ia sebut namanya dalam setiap panjatan doa di sepanjang sisa umurnya itu, akan
menjadi orang yang paling ia hormati dan sayangi, juga hanya kepadanyalah baktinya
tercurah.

Saat malam hari rasa letih yang dirasakan Zainab luruh seketika tatkala mendengar
Fauzan melantun ayat suci Al-Quran dengan suara jernih serupa nyanyian surgawi. Ia rasakan
matanya tergenang merembes ke hatinya manakala Fauzan memanjat doa untuknya tiap kali
mereka hendak tidur. Berkali-kali ia kecup kening adiknya seraya mengucap syukur tak
terhingga kepada sang khaliq. Fauzan adalah hal terindah dalam hidupnya yang
dianugerahkan sang maha pencipta kepadanya, seorang wanita dengan masa lalu penuh dosa.

Tak banyak yang tahu kehidupan Zainab sebelum merantau ke ibukota. Semasa
remaja dulu ia terkenal bandel. Pergaulan bebas serta gaya hidup hedonis telah
menjerumuskannya ke dalam jurang tak bertepi. Tempat dimana ia telah tersuruk begitu
dalam & tak bisa kembali, karena memang tak ada jalan kembali selain pergi jauh
meninggalkan kisah hidupnya & menutupnya rapat-rapat. Selamanya.

Di usia lima belas tahun ia telah berteman dengan rok*k dan minuman keras. Pakaian
yang ia kenakan selalu mempertontonkan aurat, yang dengan penuh nista selalu ia
banggakan. Sejak dulu ia memang cantik. Tak heran banyak lelaki yang tertarik padanya.
Zainab remaja, yang tolol & labil dengan cerobohnya menukar kegadisannya dengan benda
laknat penukar kesenangan semu. Bukannya bertaubat ia malah semakin menjadi-jadi. Dari
satu pria hidung belang, ke pria hidung belang yang lain. Ia begitu menikmati, mendapati
dirinya yang masih pelajar SMA mampu mengenyam kemewahan yang hanya dapat
dirasakan segelintir kawan-kawannya. Hingga akhirnya seluruh perbuatan nistanya kembali
padanya melalui sebuah ‘Rezeki’.

Ia hamil. Kehamilan yang tak pernah diinginkan. Ia tak dapat menyembunyikan


perutnya yang kian membuncit dari hari kehari. Hingga menjelang kenaikan kelas ia diusir
tanpa hormat dari sekolahnya. Saat itu ia masih tegar. Surat DO-nya masih dapat ia
sembunyikan. Namun dari hari kehari kecemasan & rasa bersalah melingkupi hatinya.
Membuat ketegarannya tergerus, diganti berbagai fikiran negatif yang kemudian muncul. Ia
takut membayangkan ledakan amarah yang pasti didapatnya dari sang ayah yang berwatak
seperti singa. Juga ia tak sanggup melihat ibunya yang berhati lembut menangis tersedu-sedu.
Ia tak ingin membuat malu kedua oangtuanya. Maka di malam ulang tahunnya yang ke tujuh
belas yang seharusnya menjadi saat terindah buatnya, ia kabur dari rumah. Dengan bekal
uang seadanya ia melanjutkan hidup di ibukota. Bekerja serabutan. Bayi dalam
Kandungannya lahir prematur dan meninggal tak lama setelah menatap fananya dunia.

Ia begitu sedih & putus asa di malam pertama bulan ramadhan enam belas tahun yang
lalu itu. ia yang sendirian dalam isaknya, bersimpuh di atas sajadah panjang mesjid Baitul
Mu’min seraya memohon ampunan kepada sang khaliq. Ia bukan seorang saleh, dan sama
sekali tak pantas menerima ampunannya, namun ia tak pernah berputus asa akan rahmat
tuhannya. Sejak itu ia rasakan kehidupannya menjadi lebih mudah saat ia pasrahkan dirinya
kepada sang khaliq.

Tiap kali mengenang kronik kehidupannya di masa lalu, lantunan hamdallah selalu
terucap di bibir Zainab. Ia bersyukur bahwa Allah Swt, masih berbaik hati memberikan
hidayah kepadanya.

Bulan menggantung di sela gemerisik dedaunan. Malam yang syahdu. Tempias sinar
lembut menerpa wajah Zainab. Lamunannya kembali mengantarnya pada kisah masa lalunya.
Yang setelah kehadiran Fauzan menjadi lebih berarti.

Fauzan tumbuh menjadi anak yang soleh & penurut. Tragedi kelam dalam
kehidupannya serta kenyataan bahwa ia kini hidup sebatang kara di perantauan telah
menempanya menjadi pribadi yang lebih dewasa dari usianya. Zainab takkan pernah lupa
pada satu kejadian di suatu malam yang membuatnya mengucap ikrar pada dirinya sendiri
bahwa ia akan berusaha untuk membuat adiknya tersenyum apapun yang terjadi, meski ia
harus tertaih-tatih memegang janjinya.

Saat itu masa libur panjang sekolah, Zainab tak punya waktu untuk membagi
keceriaan dengan Fauzan di taman bermain ataupun tempat rekreasi. Fauzan tak pernah
mengeluh maupun merengek macam-macam. Sepanjang liburan Fauzan banyak mengisi
waktu senggangnya dengan bermain dengan anak-anak keturunan Aceh di sekitaran pasar
Jatinegara. Fauzan selalu pulang larut malam, entah apa yang dikerjakannya.

Malam hari Zainab yang tengah terlelap, terbangun dari mimpinya oleh suara lirih
Fauzan. Di dapatinya adiknya itu tengah duduk bersimpuh di sehelai sajadah sambil
mengahafal ayat-ayat suci Al-Qur’an. Adiknya itu nampak khusyu mengulang hafalannya,
Zainab menatap Fauzan dari atas ranjangnya dan ia tak dapat membendung perasaan haru
yang membuncah di dadanya yang seketika menerbitkan air mata di pelupuk matanya.

Kejadian itu terus terulang, malam demi malam, yang terus tergenapi menjadi
hitungan bulan. Fauzan telah menghafal 5 Juz Al-Qur’an. Kepada Zainab ia tuturkan bahwa
ia setiap hari belajar menghafal Al-Qur’an di TPA yang diasuh Ustadz Maulana.
“Kata pak Ustadz Maulana barang siapa yang dalam kalbunya terpatri Ayat-ayat Al-Qur’an
haram bagi api neraka menyentuh kulitnya, dan juga ia akan dapat syafaat untuk orang-orang
yang disayanginya. Fauzan ingin sekali suatu saat bisa mengkhatamkan hafalan Fauzan.
Fauzan niatkan pahalanya untuk kak Zainab, Umi dan Abi.” Tak terbayang rasa haru yang
membuncah di hati Zainab mendengar ucapan polos anak yatim piatu itu. Airmatanya tak
dapat lagi ia bendung. Ia dekap erat adik angkatnya itu sambil terus tersedu.

Fauzan benar-benar menjadi pelita sekaligus rahmat dalam kehidupan Zainab.


Dirasakannya batinnya semakin lekat menyebut asma Allah tiapkali ia dengar lantunan ayat
suci Al-qur’an dari suara adiknya yang begitu jernih. Ia terus berucap beribu syukur adiknya
tumbuh menjadi anak yang soleh.

Di usianya yang kesembilan, sebuah piala besar dipersembahkan Fauzan untuk sang
kakak. Dan menyusul puluhan yang lain, yang didapat adiknya dari berbagai lomba MTQ
yang diikutinya dari tingkat kecamatan hingga tingkat nasional. Bersamaan dengan itu
undangan datang silih berganti, diikuti Rezeki yang seakan tercurah tiada putus.

Di ulang tahunnya yang kesepuluh Fauzan mengucap satu permintaan yang membuat
Zainab sesak menahan ledakan haru. Fauzan ingin mengahajikan Zainab beserta kedua
orangtuanya. Tabungannya telah cukup untuk menunaikan niat baiknya itu. Di ruang tamu
rumah kontrakan mereka yang sempit Zainab memeluk erat adik angkatnya yang amat
dikasihinya itu. Baju koko putih yang dikenakan Fauzan basah oleh air mata zainab.

Segumpal awan hitam menutupi wajah sang rembulan yang terus mengintip Zainab
yang tengah termenung ditemani kenangan masa lalunya. Sebersit senyum terlukis di wajah
wanita berparas ayu itu. Fauzan adalah jawaban atas semua do’a yang ia panjatkan kepada
sang khaliq. Ia hadir memberi setitik keajaiban & harapan dalam kehidupan Zainab. Berkat
Fauzan hubungannya dengan kedua orangtuanya membaik.

Fauzan telah mengubahnya menjadi insan yang tawadhu. Adiknyalah alasan utama
kenapa ia sekarang duduk termenung disini, di gubug sederhana di desa nan permai di
pelosok kabupaten Sukabumi. Jika bukan karena janjinya untuk menuruti apapun keinginan
adiknya, mungkin ia takkan rela meninggalkan pekerjaannya yang telah mapan di Jakarta.

“Fauzan ingin tinggal di pesantren tempat dulu pak Ustadz Maulana belajar
menghafal Al-Qur’an. Kalo kakak ngizinin, lulus SD nanti Fauzan pengen sekolah sambil
mondok di sana.” Fauzan mengucapkan keinginan itu sambil menunduk, tak berani menatap
kakaknya. Selama tinggal bersama Zainab bisa dihitung dengan jari keinginan Fauzan yang
memberatkan kakaknya.

Tentu saja Zainab akan sangat kesepian apabila jauh dari adiknya. Itu adalah tahun
keenam Zainab mengadopsi Fauzan, ia telah dua kali gagal membina biduk rumah tangga.
Saat itu belum genap dua bulan lepas masa Iddah dari perceraiaan dengan suami keduanya.
Zainab masih merasa sedih, hanya karena ia tak bisa memberi lelaki tempramen keturunan
Bima itu seorang anak, ia diceraikan begitu saja. Dengan lelaki pertama lebih sadis lagi, ia
telah membeli serigala berbulu domba dalam karung. Ia dibohongi mentah-mentah, lelaki
yang mengaku lajang saat menikahinya ternyata sudah berkeluarga. Harapannya untuk
memiliki imam dalam hidupnya yang sepi kandas begitu saja.

“Kakak ngizinin kamu buat mondok di sana. Selama itu diniatkan untuk Tholabul
ilmu di jalan Allah.” Fauzan mengangguk riang sambil memeluk Zainab. Dua bulan
kemudian mereka telah berkemas meninggalkan hingar-bingar ibu kota.

Fauzan cepat beradaptasi dengan lingkungan barunya, rutinitas hariannya begitu


padat. Dari pukul 04.00 pagi hingga ba’da Ashar dihabiskannya di pesantren Salafi asuhan
KH. Abdul Munir. Kecuali pukul 07.30 s.d 13.00 saat ia menimba ilmu di sekolah formal,
seluruh waktunya tersita dengan duduk takzim mengisi ruangan majlis di serambi mesjid
ataupun bangunan reot pondok yang memiliki santri berjumlah lebih dari seratus itu. Disana
ia menimba berbagai macam ilmu mulai dari Fiqh, Hadits, Nahwu-Sharaf, sampai Tasawuf.
Sore hari ia pulang ke rumah untuk memasak makanan kesukaan kakaknya, serta
mengerjakan pekerjaan rumah tangga, untuk kemudian ke mesjid lagi mengisi pengajian dan
melanjutkan mengaji kitab kuning di pondok hingga larut malam.

Zainab tenggelam dalam rutinitasnya menjadi guru honorer di MI An-Nur serta


mengajar TPA di desa seberang. Seiring berjalannya waktu, Fauzan tumbuh menjadi anak
remaja yang ramah & periang. Teman-temannya banyak yang mengidolakannya. Zainab
sendiri tak terlalu hirau dengan perubahan yang terjadi pada adiknya. Namun ia tak dapat
memungkiri bahwa sekarang tubuh Fauzan yang tegap berisi telah melampaui tinggi
badannya. Dan adiknya itu yang berpenampilan kalem & sedehana selalu berhasil memikat
perhatian kaum hawa. Saat di tempat keramaian, di jalan menuju pasar, di ladang, di sekolah
maupun di pondok.

Bersamaan dengan itu Fauzan seperti membuat jarak dengan kakaknya, ia tak lagi
menyentuh lengan Zainab saat berpamitan, ia selalu menundukkan pandangannya di hadapan
kakaknya, pun saat mereka berjalan bersisian, Fauzan selalu mengambil jarak. Seketika
Zainab sadar bahwa betapapun dalam ikatan batin yang telah terjalin diantara mereka sebagai
kakak & adik, mereka tetaplah dua insan yang tidak memiliki pertalian darah. Adalah hal
wajar kalau Fauzan yang telah menghafal Al-Qur’an sejak kecil bersikap seperti itu kepada
Zainab, akhwat yang bukan mahramnya.

Malam kian larut, pekat yang merundung mega memunculkan kilau cahaya ribuan
bintang ditemani temaram cahaya sang rembulan di batas garis cakrawala. Semilir angin
berhembus menggoyang ranting-ranting pohon, burung malam terus memainkan lagunya.
Zainab terpekur sendirian di beranda gubug sederhananya. Kantuk yang perlahan menyergap
memaksanya beranjak ke peraduan, mengakhiri semua perenungannya malam itu. Sebelum
beranjak tidur tak lupa ia berwudhu dan shalat malam dua rakaat, tak berapa lama iapun larut
dalam lelapnya.

Fikiran bawah sadarnya tak dapat menerka pukul berapa adiknya memutar gerendel
kunci. Deritan lantai kayu rumah panggungnya mengikuti langkah kaki adiknya. Zainab
setengah tersadar saat adiknya merapatkan selimut tebal yang telah tersibak tak beraturan,
serta dengan lembut memegang keningnya, demi memastikan kondisi kakaknya baik-baik
saja. Zainab dapat merasakan punggung tangan adiknya begitu lembut & hangat menyentuh
leher, kening dan kedua pipinya. Mungkin tubuhnya memang panas karena masuk angin.
Dengan telaten Fauzan memakaikan kaus kaki dan menumpuk dua lembar selimut tebal
keatas tubuhnya.

Entah ia bermimpi atau tidak malam itu Fauzan terjaga di sisi pembaringannya, lepas
shalat malam adiknya itu larut dalam tafakkur panjangnya di atas selembar sajadah. Hingga
lengkingan suara muadzin terdengar membelah kesunyian fajar, Ia dapati Fauzan terlelap di
sisi ranjangnya. Seulas senyum terukir di wajah adiknya kala Zainab membangunkan Fauzan
yang nampak payah menahan kantuk.

“Kakak udah gak pusing lagi?”


Zainab hanya menjawab dengan seulas senyum, ingin rasanya ia membelai lembut kening
adiknya seperti yang ia lakukan dulu. Namun bahasa tubuh Fauzan menyiratkan kembali
tembok tak kasat mata yang selama setahun terakhir ini terus dibangun adik tercintanya.
“Alhamdulillah, kalo kakak sudah baikan”
Hening. Keduanya saling terdiam, tenggelam dalam fikiran masing-masing.

“Lebih baik Kakak hari ini gak usah ngajar dulu. Nanti Fauzan yang bilang ke bu Ismi
kalau kakak sakit.”
Zainab menggeleng keras. “Nggak kok, kakak nggak apa-apa. Cuma pusing sedikit doang,
paling Cuma masuk angin.”
Fauzan beranjak dari sisi kakaknya, menyambar kopiah yang tergantung di atas kusen
jendela, merapikan kancing kemejanya dan bergegas menuju surau.
“Fauzan pamit ya kak, Assalamualaikum…”
“Walaikum salam”

Iklima yang duduk di samping Zainab terus berceloteh nyaris di sepanjang perjalanan
panjang yang terentang antara Sukabumi-Serang. Meninggalkan desa kecil nan permai
tempat Zainab bermukim, menuju tempat wisata ziarah yang sudah direncanakan panitia
sejak jauh-jauh hari. Bersama rombongan majlis Ta’lim serta santri Ponpes, kafilah mereka
yang berjumlah dua ratus dua puluh orang, berjubelan mengisi delapan bus ber-AC menuju
empat lokasi sekaligus. Mereka akan mengunjungi makam para wali & alim ulama yang telah
berjasa menyebarkan agama islam di tanah sunda, terutama di daerah kesultanan Banten
Lama.

Sementara Iklima terus berceloteh ikhwal suaminya & kehidupan rumah tangganya
yang sama sekali tidak menarik untuk disimak, Zainab terus memandang ke arah jendela.
Menatap miris jalan-jalan yang berlubang di sana-sini. Akses utama menuju destinasi wisata
pantai mulai dari Anyer, Carita, hingga Sawarna nampak tak terawat. Sementara
pembangunan pabrik-pabrik berlangsung masif.

Saat melewati daerah Cilegon hati Zainab kian miris melihat bukit-bukit cadas
nampak gundul & bopeng sana-sini digerogoti mesin-mesin traktor yang bekerja tanpa henti
siang & malam. Mengeruk habis material tambang yang terkandung di dalamnya. Udara di
sana sungguh tidak ramah. Perpaduan antara polusi, kekeringan, serta kepengapan. Zainab
tak mau membayangkan suatu saat bukit-bukit hijau yang ada di desanya akan bernasib sama
seperti tempat muram itu.

Bus Marita yang ditumpanginya terus melaju, membelah areal persawahan yang
kering kerontang akibat kemarau berkepanjangan. Seorang petani berusia paruh baya, susah
payah mencangkul sepetak sawahnya di tengah sengatan sang surya. Upaya sia-sia untuk
menemukan sumber air bersih. Kontradiksi kembali muncul manakala ia melewati alun-alun
kota Serang. Pendopo Gubernur terlihat paling mencolok diantara bangunan lain.

Sementara bus terus melaju, pemandangan di sekitar Zainab berubah menjadi desa-
desa muram dengan rumah berdinding bilik bambu yang letaknya bersebelahan dengan
perumahan elit. Sebuah senyum sinis tersungging di bibir Zainab manakala ia melewati
sebuah bangunan yang namanya tak asing di benaknya “Ratu Hotel” mau tak mau ia jadi
teringat dengan berita basi ikhwal sebuah kasus yang menyeret orang nomor satu di Provinsi
yang memisahkan diri dari Jawa Barat di tahun 1999 ini.

Perjalanan yang ditempuh Zainab bersama sang adik berlangsung khidmat. Fauzan
berseru senang manakala bus yang ditumpanginya melewati daerah Banten Lama, tempat
rerentuhan benteng peninggalan kesultanan Banten teronggok menyedihkan. Benteng itu
telah menjadi saksi bisu pasang surutnya kerajaan islam di nusantara. Saksi sejarah yang kini
telah lapuk dimakan usia.

Mereka singgah di makam ulama besar, Raden Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal
dengan nama Fatahillah. Salah satu dari sembilan Wali songo yang berasal dari Banten.
Mereka berjejalan di antara para peziarah yang berasal dari berbagai daerah untuk sekadar
menengok makam sang wali.

Bus kembali melaju menuju destinasi ziarah selanjutnya. Zainab menyesali


keputusannya mengajak Fauzan ikut serta dalam wisata ziarah ini. Ia pandangi wajah adiknya
yang duduk di kursi depan, yang kini nampak pucat & tegang. Bukan karena mabuk,
melainkan karena pemandangan dari balik kaca jendela membuat adik tercintanya itu
terpaksa mengenang masa lalunya.

Selepas keluar dari komplek makam Fatahillah garis pantai yang membentang sejauh
Dua puluh Km lebih terhampar di hadapan mereka. Sebagian khafilah memekik girang,
setelah perjalanan panjang yang melelahkan ini mereka bisa berlarian di tengah deburan
ombak menikmati pantai berpasir putih. Sementara Fauzan terus memejamkan mata, raut
wajahnya nampak menahan kepedihan. Ingin rasanya Zainab menghambur memeluk adiknya,
tapi ia tahu ia tak bisa melakukannya.

Makam ulama besar Banten bernama Syeikh Muhammad Soleh Bin Abdurrohman
terletak di atas bukit setinggi lebih dari enam ratus meter. Peziarah yang hendak berkunjung
ke makam ulama yang wafat pada tahun 1550 M itu harus meniti ratusan anak tangga
sebelum sampai di puncak bukit. Banyak peziarah yang tak sanggup melanjutkan perjalanan
& memutuskan menepi ke gubug-gubug kecil yang bertebaran di sisi-sisi tebing yang
menjajakan minuman dingin & pemandangan indah dari atas bukit dengan view garis pantai
Anyer yang nampak membiru.

Zainab kewalahan mendaki puluhan anak tangga di hadapannya. Ia telah tersusul jauh
dengan rombongan. Rok panjang yang ia kenakan semakin mempersulit langkahnya.
Nafasnya tersengal-sengal kala kakinya menapak anak tangga entah yang keberapa. Semilir
angin menerpa wajahnya. Tepat di hadapannya ia dapati Fauzan tengah mematung sambil
menatap nanar garis pantai yang menghampar di bawah bukit beserta deburan ombak yang
memercikkan bau khas air laut.
Fauzan terus mematung di tempatnya, tak menyadari kawan-kawannya yang berjalan
melewatinya. Zainab mendongak menatap Fauzan, meski samar Zainab dapat melihat
kembali kepedihan itu. Kepedihan yang telah dua belas tahun berusaha dipendam adiknya di
dasar hatinya yang terdalam.

Zainab terpaku di tempatnya berdiri, jarak antara ia & adiknya hanya dipisahkan lima
ruas anak tangga. Nanar ia menatap Fauzan yang berusaha keras menyembunyikan
kesedihannya. Buku jarinya terkepal erat diantara celana panjangnya, bahunya bergetar hebat,
sorot matanya menggelap, & bibir merahnya terkatup rapat. Sosok itu bukanlah sosok yang
Zainab kenal selama lima tahun belakangan ini, itu bukan Fauzan yang tegar, periang &
Qanaah. Melainkan sosok bocah yatim piatu rapuh yang kehilangan segalanya, yang terus
menangis dalam pelukan Zainab. Sosok yang selalu memendam kerinduan tak bertepi di
setiap lantunan munajatnya. Sosok yang begitu mendamba kasih sayang kedua orangtuanya.

Zainab menyentuh bahu Fauzan dengan lembut, membuyarkan lamunan adiknya


sembari mengingatkan kalau mereka sudah tertinggal jauh dari rombongan. Biasanya Fauzan
akan menepis sentuhan itu, namun kali ini adiknya justru menggenggam erat jemari Zainab.
Tak mau melepaskan.

Mereka sampai di areal makam yang dipenuhi peziarah tepat pukul 11 siang. Fauzan
segera melepaskan cengkramannya, menatap Zainab dengan sorot mata yang tak dapat
ditafsirkan. Meminta maaf dengan suara pelan. Bibirnya terus melantun istighfar.
Pandangannya kembali ia tundukkan. Zainab tersenyum kecil, ada desiran di hati kecilnya.

Cakrawala berhias warna lembayung di sore nan cerah itu, kepak sayap burung camar
menggores seberkas warna hitam diantara hamparan awan yang berarak ringan. Debur ombak
saling timbul tenggelam, sahut-menyahut diantara gelak riang wisatawan yang berlarian
diantara jernihnya pasir putih. Biru laut yang menghampar tak bertepi sampai sejauh batas
mata memandang, menyuguhkan panorama indah tiada tara. Matahari yang mulai
menenggelamkan separuh raganya di garis cakrawala, menambah syahdu suasana sore itu.

Di sudut terjauh sisi pantai yang berjarak tak kurang lima puluh meter dari makam
ulama Banten yang baru saja selesai diziarahi rombongan kafilah, Fauzan nampak tengah
duduk termenung di atas sebongkah batu besar sehitam jelaga. Ia sendirian di tempat itu.
Sementara kawan-kawannya menikamti sunset sembari berlarian di pinggir pantai, meresapi
deburan ombak. Fauzan memilih menyendiri di tempat yang terlindung parit setinggi dua
meter itu, tempat Puluhan batu-batu cadas berjejalan mengisi tepiannya. Cipratan ombak
yang menghantam perut batu-batu granit yang sudah ada disana entah sejak kapan itu,
menampar wajah Fauzan yang terus tenggelam dalam laranya.

Lamunannya menghantarnya kembali pada kenangan masa kecilnya. Yang sekarang


nampak begitu jauh, seolah semua itu bukan lagi bagian dari masa lalunya. Masih terekam
dalam ingatannya suasana sore nan syahdu di bibir pantai Meulaboh yang selalu ia nikmati
bersama kakaknya. Mencari ikan, menyelam, melihat karang-karang yang menjadi rumah
bagi ikan badut, membantu ayahnya menyiapkan jaring dan melempar sauh ke tengah
birunya air dan berlarian di sepanjang tepian pantai ditemani kepak sayap burung camar. Ia
rindu akan itu semua. Ia rindu kakak-kakaknya, dan ia teramat rindu dekapan ayah dan
ibunya. Ia amat menyesal waktu telah mencabut hampir semua kenangannya. Kini bahkan ia
lupa wajah lembut Abi yang selalu memarahinya tiapkali ia dan kak Fajar pulang kemalaman
mencari teripang. Ia lupa wajah umi yang tiapkali hendak tidur selalu mendekapnya erat,
mengelus rambutnya & mengisahkan sebuah cerita pengantar tidur diselipi sepucuk nasihat
yang sampai sekarang terus terngiang dibenaknya. “Jadilah anak yang soleh. Tidak ada lagi
tujuan hidup manusia di muka bumi ini selain berharap Ridho Allah.”

Fauzan sekuat hati memendam dukanya. Ia tak mau larut dalam kesedihan yang telah
ia hapus sekian lama. Kerinduannya sudah tak dapat tertangguhkan. Saat matanya menyapu
lukisan mega yang berwarna keemasan, bibirnya berucap lirih.
“Umi… Abi… Kak Faqih, Kak Fajar… Fauzan kangen. Fauzan ingin bertemu kalian!!.” ia
tahu setetes air mata yang merambat pelan mengaliri pipinya akan membuatnya tak bisa
berhenti meratap. Ia tak pernah menangis sejak usianya delapan tahun. Ia tak mau menangis
demi satu orang dihidupnya. Sosok yang dengan ketulusan tanpa batas merengkuhnya dari
cengkraman nasib yang tak berbaik hati padanya. Namun kini ia telah kalah. Ia biarkan air
matanya mengucur deras, membuat dadanya sesak, Wajahnya ia sembunyikan diantara
lipatan kakinya. Ia terus terisak, hingga seseorang dengan lembut merengkuhnya seperti
ketika ia pertama kali bertemu sosok itu dua belas tahun silam.

Zainab menyesali kebodohannya, jika saja ia tahu, atau setidaknya ia lebih peduli
untuk mencari tahu tentang destinasi wisata ziarah yang akan dilaluinya bersama adiknya.
Sudah barang tentu ia lebih memilih untuk tidak ikut serta. Dan kini hatinya bergemuruh tak
karuan mendapati Fauzan sendirian dalam lamunannya, dengan nanar memandang birunya
air laut sambil menenggelamkan wajahnya menahan tangis yang telah lama ia pendam.

Zainab menghampiri kemudian merengkuh bahu adiknya, mengangkat wajah itu yang
kini basah oleh duka.
“Kamu tidak pernah sendirian, Zan! Kamu selalu punya kakak, kakak gak akan pernah
meninggalkanmu. Dan insya Allah kakak akan selalu ada untuk membuatmu bahagia. Kamu
gak boleh sedih lagi. Kamu harus tegar. Walau bagaimanapun hidup akan terus berlanjut,
apapun yang terjadi. Dan sebagai hambanya kita hanya bisa menerima apa yang telah
ditentukannya dengan hati yang ikhlas.” Zainab memandang wajah adiknya yang terus terisak
dalam pelukannya. Ia lupa betapapun sempurna sosok itu, ia masih tetaplah seorang remaja
17 tahun sebatang kara yang memerlukan perhatian & kasih sayang. Ia masihlah Fauzan
adiknya, yang selalu menatap iri tiapkali teman-temannya di antar jemput ayahnya ke
sekolah. Ia masihlah Fauzan adiknya, yang selalu memendam kerinduan untuk dapat terlelap
dalam dekapan ibunya.

“Maafin Fauzan, sudah buat kakak sedih. Fauzan janji ini akan jadi tangisan Fauzan
yang terakhir. Fauzan gak akan pernah nangis lagi. Demi apapun. Bahkan demi almarhum
Abi & Umi. Kecuali demi kakak Fauzan gak akan lagi meneteskan air mata. Insya Allah.”

Kanker serviks. satu dari tujuh wanita indonesia menderita penyakit yang gejalanya
tak kasat mata namun mematikan itu. Zainab tertunduk lesu mendengar vonis dokter atas
dirinya. Usia, jodoh, rezeki & ajal manusia sudah tertulis dalam ketentuan sang khaliq.
Namun demikian Zainab berfikir jika usianya takkan lama lagi. Ia tak dapat melawan
penyakitnya kecuali dengan mukjizat. Stadium 4, penyakit paling banyak membunuh wanita
di dunia, & ia tak sanggup untuk kemotherapy atau semacamnya. Yang bisa ia lakukan
sekarang adalah memperbanyak amalan saleh untuk bekal akhirat nanti.
Adiknya tak bersamanya saat ia menghadapi ganasnya penyakit yang terus
merongrong tubuhnya. Fauzan tengah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Al-Azhar,
Mesir. Universitas tertua di dunia yang telah banyak mencetak ulama handal. Dalam surat-
suratnya Fauzan banyak berkirim kabar seputar kehidupannya di negeri piramida. Tentang
asramanya, tentang tesisnya, tentang hobi barunya bermain basket, dan juga tentang kisah
teman-teman sesama mahasiswa. Disetiap suratnya Fauzan selalu mendoakan agar Zainab
senantiasa dalam lindungan Allah Swt. Serta mendoakan Fauzan agar bisa lulus kuliah tepat
waktu agar bisa segera pulang menemui kakaknya.

Zainab tak mau mengganggu keberlangsungan pendidikan adiknya. Ia tak pernah


mengabari Fauzan ikhwal penyakitnya. Ia tahu bagaimana sifat adiknya. Fauzan pasti akan
cemas, bahkan mungkin akan langsung terbang ke tanah air, cuti kuliah selama beberapa
bulan demi merawat kakaknya. Zainab tak ingin itu terjadi, selama ia bisa melakukan
sesuatunya sendiri, ia tak ingin menyusahkan siapapun.

Zainab sudah berhenti mengajar tiga bulan lalu, kini hidupnya ia habiskan dengan
memperbanyak ibadah dan zikir kepada Allah swt. Kadang dalam kesendiriannya ia
termenung memikirkan sisa hidupnya. Wajahnya kian pucat karena setiap hari penyakit ganas
itu terus bersarang menggerogoti daya tahan tubuhnya yang kian menurun. Dalam pada itu
kilasan masa lalunya kerap memenuhi fikirannya dalam satu dua adegan layaknya Scene film
yang tengah memutar adegan Flash Back. Dalam kilasan peristiwa itu sosok Fauzan tak
pernah terpisahkan.

Zainab masih ingat betul bagaimana Allah SWT. Mempertemukan ia dan adiknya
dalam sebuah nestapa ditengah bencana. Ia masih ingat wajah Fauzan saat masih kanak-
kanak. Menenteng kitab menuju surau, menghafal al-Quran sampai larut malam, Fauzan yang
berjanji takkan merengek menangisi kepergian keluarganya, namun masih kerap tersedu
sendirian dalam munajatnya. Juga takkan lekang dibenaknya sosok Fauzan remaja. Fauzan
yang ganteng & pintar. Fauzan yang selalu iabanggakan. Fauzan yang bercita-cita menjadi
seorang ulama. Seorang ahli Tafsir (Mufassir).

Mau tak mau kilasan itu memunculkan kembali adegan disaat ia melepas kepergian
adiknya. Saat itu hari Jumat. Hari yang selalu spesial bagi Fauzan & Zainab. Karna dihari itu
seluruh kegiatan pesantren diliburkan. Usai shalat jumat biasanya Fauzan dan zainab akan
pergi ke pasar, membeli bahan makanan untuk diolah di dapur sederhana mereka. Fauzan
bertugas mengolah masakan, sedang Zainab membantu hal-hal remeh seperti mengiris
bawang, mengulek sambal ataupun mencuci piring kotor. Usai memasak mereka melanjutkan
bersih-bersih rumah. Sore hari mereka bersepeda keliling kampung atau sekedar bercocok
tanam di sepetak kebun yang terletak di halaman rumah. Namun siang itu usai shalat jumat
mereka tak lantas istirahat. Ada kesibukan lain yang menyita waktu mereka. Fauzan akan
berangkat menuntut ilmu, di negeri yang tak terbayang jauhnya. Zainab masih ingat lambaian
tangan terakhir sebelum adiknya itu meninggalkannya di bandara. Fauzan tak tahu bahwa
setelah kepergiannya Zainab menangis tanpa henti.

Menjelang hari raya Idul Fitri Fauzan pulang. Zainab menyambutnya dengan
memasak makanan kesukaan adiknya, ia tak menjemput Fauzan di bandara. Kondisi fisiknya
tak memungkinnya melakukan hal itu. Saat tahu Fauzan akan datang, Zainab menunggu di
beranda rumah. Matanya berkaca-kaca saat ia mendapati Fauzan setengah berlari
menghampirinya dari ujung jalan. Tergopoh-gopoh menenteng dua buah koper berisi buku-
buku serta oleh-oleh untuk Zainab. Sosoknya terlihat tampan diusianya yang kini dua puluh
dua tahun. Zainab menghampiri Fauzan dengan perasaan haru. Fauzan tersenyum riang untuk
kemudian mencium tangan kakaknya dengan satu gerakan takzim, seolah berkata dalam
setiap sorot matanya bahwa ia amat merindukan kakaknya. Dan ia sangat bersyukur.

Malam itu suasana begitu takzim. Gema takbir saling bershutan disetiap sudut
kampung. Malam nampak sangat cerah dengan taburan bintang dan temaram sinar rembulan.
Zainab merasa hidupnya telah amat lengkap. Ia dianugerahi adik yang soleh. Juga kehidupan
yang bahagia. Namun tak ada yang tahu bahwa selama ini ia merasa amat kesepian. Tak ada
cinta dihatinya selain cintanya pada sang khaliq. Tak ada pula seorang yang diutus sang
khaliq untuk menjadi teman hidupnya untuk bersama merengkuh ridhonya. Tak ada kecuali
adiknya Fauzan. Zainab merasa ia telah selesai dengan semua urusan dunia. Usianya takkan
lama lagi.

Di sudut beranda gubug kecilnya, dimalam Lailatul Qadr itu ia menatap Fauzan lekat-
lekat. Adiknya itu tersenyum padanya untuk kemudian memulai perbincangan. Ada
kekhawatiran dalam sorot mata adiknya melihat kondisi Zainab sekarang. Zainab selalu
berusaha mengelak dengan berkata tidak ada apa-apa dan berkata bahwa ia baik-baik saja
setiap kali Fauzan mengkhawatirkannya. Namun kali ini Zainab tak dapat mengelak lagi.

“Tak ada yang perlu kamu khawatirin Zan. Kakak baik-baik aja. Dan akan terus baik
selama masih ada Allah di hati kakak,” Zainab mengatakannya dengan mimik pucat dan bibir
bergetar hebat.
“Masalah usia, rezeki, maupun jodoh semua sudah kehendaknya. Kakak tidak menyesal
sedikitpun dengan kehidupan yang kakak jalani. Kakak punya segalanya untuk disyukuri.
Dan yang terpenting kakak memiliki kamu. Adik yang soleh dan berbakti.” Zainab berusaha
tersenyum saat mengatakannya. Fauzan menyimak takzim. Nampak sekali dalam raut
wajahnya, adiknya itu sangat cemas dan khawatir.

“Teruslah jadi dirimu yang seperti ini Zan. Jangan berubah. Jangan sombong, meski
sudah berilmu. Tetap Tawadhu. Tetap Istiqomah dan Qanaah. Doakan kakak apabila kakak
sudah tidak lagi berada di sismu.”

Airmata Fauzan tumpah di malam yang syahdu itu. Ia tahu itu akan jadi nasihat
terakhir yang diberikan kakaknya untuk dirinya. Ia selalu memegang teguh nasihat kakaknya.
Ia tak lagi menangis untuk apapun kecuali untuk kakak tercintanya. Ia akan selalu berusaha
untuk menjadi seorang soleh lagi berguna untuk sesama. Ia akan terus memegang nasihat itu.
Juga janji yang ia ikrarkan sepuluh tahun yang lalu.

Fauzan dan Zainab masih sempat merayakan Idul Fitri terakhir mereka dengan
senyum kemenangan. Namun seminggu kemudian Zainab sakit parah hingga tak bisa
beranjak dari pembaringannya. Fauzan dengan setia merawat kakak tercintanya. Tak lama
kemudian Zainab berpulang keharibaan sang Khaliq. Fauzan amat bersedih namun disaat-saat
terakhir kebersamaan mereka, Zainab masih dapat memaksa Fauzan untuk berjanji agar
adiknya itu tak menangisi kepergiannya.

Fauzan tak berlama-lama meratapi kemalangannya. Setahun kemudian ia lulus dari


Universitas Al-Azhar dan melanjutkan studinya di negeri Arab. Dalam usia yang relatif muda
ia telah berhasil menelurkan banyak sekali kitab maupun tafsir Hadits yang kini menjadi
rujukan umat muslim bukan hanya di Indonesia melainkan di seluruh dunia.
“Semoga Allah Swt. Meridhoi segala yang aku perbuat. Dan semoga kakakku juga
ridho akan diriku.”
“Kakak selalu meridhoimu Zan. Kakak tak pernah menyesal mengurusmu sedari kecil.”
“Terimaksih kak. Terimakasih atas semuanya.”

Anda mungkin juga menyukai