Anda di halaman 1dari 5

1. Scene kematian kiyai masjid, semua agama di tetangga itu ikut berkabung.

2. Seseorang siap-siap pergi ke masjid untuk melakukan ibadat jumat.

3. Karena peraturan yang memaksa ruang luas masjid itu menjadi sempit, lantai dua digunakan
dan bahkan beberapa jemaat lain ada yang bersembahyang hingga ke serambi2 dan jalan-jalan di
bagian belakang masjid.

4. Konflik antara bocah-bocah memicu keributan dari lantai dua di balik jendela lalu kemudian
menjadi saling memaki ke luar untuk mencemooh mereka yang bersembahyang di bagian luar
masjid.

5. keributan begitu menggema sampai-sampai imam sendiri tidak bisa mendengar ayat yang dia
ucapkan, kesabaran ada batasnya, imam itu baru dijadikan imam dan belum berpengalaman, dan
tanpa sengaja menoleh ke belakang.

6. pria muda di balik langkan lantai dua mengintip karena curiga akan keheningan sang imam yang
berhenti berucap untuk memastikan apakah benar sang imam beranjak dari tanggung jawabnya.

7. Konflik kedua dipicu oleh pria muda yang jengkel melihat imam malah menoleh kemudian akan
menuai makian yang berujung emosi.

8. pada awalnya jemaat yang heterogen dengan patron-patron dari tiap idealis-nya berusaha
melerai, namun karena emosi memanas, mereka mencurahkan apa yang terpendam tentang
idealis mereka yang membenci idealis lain, contoh “Kau diam saja sekuler!” lalu, “Baju merah
keparat! Antek-antek PKI!”

9. di antara kemarahan mereka ada yang khawatir ikut nimbrung, dan memandangi saja makian-
makian antar fraksi itu bersumpah-serapah, sedang beberapa yang lain duduk berzikir (mereka
yang biasanya sudah berumur senja).

10. Marbot dan kiyai masjid berusaha mendinginkan suasana dengan memberi pengumuman di
mikrofon, namun suara mereka terbenam oleh orang-orang yang menenteng boombox memasuki
masjid dengan sebuah lagu propaganda mendengung seisi ruangan masjid bagian belakang.

11. riuh-nya pertikaian tentang siapa yang salah dan siapa yang benar sudah sangat meluas sampai
kepada paham-paham yang menjadi almamater setiap orang.

12. tiba-tiba pintu di serambi masjid kiri didobrak oleh seorang muda agamis dengan jubah dan
rambut jingga panjang dengan hunusan parangnya yang dia tenteng, diikuti pengikutnya yang
datang untuk menghakimi.
13. karena melihat kejadian hunusan parang, seorang aparat polisi yang tengah ikut beribadat
menodongkan pistolnya asal, dan pemuda berparang itu mengacungkan parangnya ke arah aparat
tersebut. “Jangan kau todong pistol mu! Dasar anjing aparat!” “jangan kau hunus parangmu dasar
antek-antek arab!”

14. sementara lagu kontroversial masih berlanjut semakin membara-bara keluar dari boombox
oleh pemuda-pemuda yang terhimpit kerusuhan.

15. kiyai sudah tak tahu harus bagaimana, mereka saling menyalahkan satu sama lain.

16. tetangga pada keluar menyaksikan kejadian tersebut.

17. Bisikan-bisikan dirasa sangat memalukan keluar dari penganut agama lain.

18. Lama-lama mereka mendesak saling dorong-mendorong satu sama lain.

19. Kiyai masjid menengahkan mereka untuk melerai kejadian saling dorong.

20. Aparat yang menodong pistol itu tanpa sengaja melepas pelatuknya sehingga “Dor” tertambat
di jidat marbot masjid yang memandang kericuhan di balik mimbar hingga terkapar tak berdaya,
sontak kejadian itu malah membuat massa semakin panas, termasuk si pengacung parang.

21. Kiyai masjid mendekat ke arah aparat itu dan tanpa disadari parang melayang ke leher kiyai
tersebut, dan pemuda agamis berjubah tadi tanpa sengaja telah menterpurukan sang kiyai.

22. ketika itu lah seorang sufi yang sejak tadi duduk di tangga menuju lantai dua, mulai berbicara
berterus-terang dan menjabarkan permasalahannya. Ketika itu keadaan sudah hening karena
terkejut dua orang penting masjid itu mati dalam satu waktu. Tepat sebelum ocehan saling
menyalahkan muncul kembali, sang sufi angkat bicara.
Sementara mentari pagi menyibak bunga-bunga yang perlahan membuka suara.
Hujan taktahan lagi menangisi tragedi. Kaki-kaki kemanusiaan sudah musnah, manusia
mengurung dirinya di balik besi. Di balik dinding dan menyesali segala peristiwa.
Seonggok darah yang menodai tangannya takkunjung dilupakan. Tangannya gemetar
membasuh muka, hingga merah penuh depresi. Pagi itu masih diam, sepi, cahaya yang
menyorot kisi pintu mulai turun perlahan. Burung tidak lagi menggema. Langit teramat
sunyi, begitu lemah dan mengenaskan.

Seorang pendeta berpakaian hitam, bertudung misterius, berjalan menuntun satu


barisan pembawa mayat. Mereka menyusuri jalan panjang menuju pemakaman. Pohon-
pohon yang menggugurkan lengan-lengannya, yang telah rapuh itu, mengawasi laju
mereka. Semua tangis tak terhenti. Tersedu-sedanlah sang ibu yang kehilangan anak laki-
lakinya. Tertunduklah seorang istri yang kehilangan suami tuanya. Janggut putih hangat itu
takmungkin lagi memberinya senyuman. Mulut jujur, perut lapar, mata indah, bahkan
wajah genitnya taksanggup dia rindukan. Dosa telah dihapuskan, kata pendeta itu. Tangisan
umat manusia akan dibayar surga dan keabadian, kebahagiaan dan harapan. Meski dengan
yakin bahwa sang pagi selalu teguh memberi tahu tentang keabadian yang telah pergi.

***

Malam itu purnama menyinari sepenuhnya jalanan kota. Seorang laki-laki muslim
mengaji dengan giat dibimbing ibunya yang baik hati. Setiap hari, wajahnya selalu penuh
senyum dengan aroma mata yang ramah. Tangan sang ibu dengan gigih menunjukkan
bagaimana seharusnya anak laki-laki itu membacakan. Dengung suara ibu itu menggema di
hati anak itu. Sampai menetes air matanya karena terharu. Ibu pun bertanya.

“Ada apa Nak?”

Anak itu masih melotot meneteskan air mata. Memandangi lilin yang menari, sebuah lilin
yang memiliki usia dan tidak abadi. Angin seakan memberinya irama untuk menari,
kepadanya bulan tersenyum, sebagaimana dia mengira bahwa, lilin pun bersenang-senang
di akhir hayatnya.

“Tidak..”
Anak itu berkata pada dirinya. Semakin giat dia memandangi lilin itu. Seolah dirinya telah
terlalu dekat, dengan angin yang memberinya suara, dan bulan yang menerangi dari luar
jendela, matanya mencari-cari setiap cahaya yang menembus hangat perasaannya. Apa
yang sebenarnya dilakukan lilin itu. Tidakkah dia seharusnya diam menahan sakitnya
kematian! Sang ibu kebingungan melihat anaknya. Perempuan yang masih muda, seorang
pengajar ngaji di sebuah panti. Menepuk pundak anak itu berusaha menyadarkan.

Siang itu sedikit panas yang membasahi rumput liar di padang. Perempuan muda
duduk di atas setirai kain bekas putih lusuh sambil menjaga makan siang, melihat anak-
anak kesayangannya berlarian. Rambutnya terayun dihajar hangatnya angin kemarau.

“Elvin gendut!”

Sembari daun-daun kuning tua berjatuhan menuruni bukit, seorang anak yang satu
mendorong bocah lain yang sedang melamun. Dia terguling seolah itulah keahliannya,
selain melamun seharian.

“Mana bisa kau mengejar kami kalau perutmu semakin besar!”

“Seperti balon!”

“Seperti

Anak gemuk yang bernama Elvin itu akan segera tahu bahwa salah satu teriakan itu keluar
dari mulut perempuan yang dia cintai. Dia segera bangkit dengan menahan topi longgarnya
menutupi sebagian besar cahaya, berniat mengejar anak-anak yang lain. Caranya berjalan
tidak beraturan, seperti seseorang yang tengah dimabuk alkohol. Atau dimabuk cinta.

“Kejar aku Elvin, maka kita akan berciuman!”

Elvin mendengar suara nyaring perempuan itu sekali lagi. Teman perempuan paling
nakal yang dimilikinya. Tubuhnya mungil dengan rambut yang bergelombang seakan
ayahnya adalah sejengkal lautan, dan ibunya adalah permata yang mewariskan matanya
yang hijau bersinar. Perempuan itu pertama kali ditemukan dalam keadaan tergeletak
bersimbah darah di satu perkampungan yang berhasil diporak-porandakan battalion tentara
berzirah. Satu kampung ludes dipenggal. Gadis yang malang. Ayah ibunya tidak ditemukan
hari itu, hingga malam menyingsing senjakala. Hujan akan segera tiba setelah gerimis ini
berhenti.

“Kita apakan gadis ini Maria?”


“Kita bawa pulang.”

“Mustahil! Penampungan takkan mau menerima satu anak lagi!”

“Kalau penampungan enggan, biar aku saja.”

“Jangan gila! Dengan apa kau akan memberinya makan!”

“Setidaknya dia akan hidup lebih lama.”

“Lalu mati?!”

“Akan kuusahakan memberinya makan dengan layak. Lagi pula, dua buah dadaku akan
sangat senang memberinya nutrisi.”

“Kamu suka sama lilin ini ya?” katanya sambil melempar senyum.

“bukan...”

“Hm?”

“Bukan lilin yang bersenang-senang.”

Lagi-lagi perempuan itu terpaku heran, tetesan air mata anak itu terus mengalir. Belum
beres dia melamunkan maksud anak itu yang melanjutkan kalimatnya, lemah namun serius.

“Api lah yang menari-nari di atas penderitaan seorang lilin. Sampai dia mati sempurna
membiarkan luka pada lilin-lilin itu.”

Anda mungkin juga menyukai