Disusun oleh
Nanda Febylia (1102017167)
Dosen Pembimbing
dr. Rizky Ramadhana, Sp.An
KEPANITERAAN KLINIK
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 6-19 SEPTEMBER 2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................4
1. Definisi...............................................................................................................4
2. Manfaat..............................................................................................................4
3. Indikasi dan Pertimbangan.............................................................................4
4. Kontraindikasi..................................................................................................6
5. Persiapan...........................................................................................................7
6. Manajemen Anestesi.........................................................................................7
7. Perawatan Postoperative.................................................................................10
8. Kriteria Pulang...............................................................................................14
BAB III KESIMPULAN...........................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
Pada awalnya, operasi rawat jalan tidak diperhatikan, tetapi pada tahun 1960
mulai menjadi terkenal bersama dengan anestesi rawat jalan di rumah sakit umum.
Pada tahun 1985, Society of Ambulatory Anesthesia (SAMBA) didirikan, dan pada
tahun 1995, International Association of Ambulatory Surgery (IAAS) didirikan oleh
ahli bedah, ahli anestesi, perawat, dan manajer rumah sakit. Sejak itu, penggunaan
anestesi rawat jalan meningkat pesat; sekarang, 65-70% dari semua operasi di
Amerika Serikat dilakukan secara rawat jalan.
Tingkat penggunaan bedah rawat jalan semakin meningkat karena kemajuan
medis dan teknologi, termasuk perbaikan dalam anestesi dan analgesik untuk
menghilangkan rasa sakit, dan pengembangan dan perluasan tindakan minimal invasif
dan noninvasif (seperti operasi menggunakan laser, laparoskopi, dan endoskopi).
Seiring dengan kemajuan tersebut, pengenalan konsep fast-track recovery pada awal
1990-an memungkinkan pemulihan anestesia yang lebih cepat sehingga dengan
demikianmemungkinkan untuk pulang dari rumah sakit lebih dini dan mobilisasi post
operasi lebih cepat (Lee, 2017).
Terdapat beberapa keuntungan dalam bedah rawat jalan bila dibandingkan
dengan bedah rawat inap yaitu tingkat mortalitas dan morbiditas yang lebih rendah,
penjadwalanoperasi lebih fleksibel, tingkat pembatalan operasi yang lebih minimal,
waktu menunggu berkurang, tidak perlu memikirkan ketersediaan kamar di rumah
sakit, biaya rumah sakit lebih murah, dan risiko infeksi nosokomial menurun, serta
lebih nyaman bagi pasien karena pemulihan dapat dilakukan bersama dengan
keluarga dan dalam lingkungan yanglebih nyaman sehingga mengurangi stress dan
gangguan emosional. Hal ini memberikan keuntungan bagi pasien, penyedia layanan
kesehatan, third-party payers, dan rumah sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Merupakan tindakan anestesi pada penderita rawat jalan/ambulatory yang
direncanakan tindakan bedah dan memenuhi kriteria untuk dipulangkan pada hari
itu juga (Menkes RI, 2015). Anestesia dalam bedah rawat jalan atau one-day care
(ODC) adalah subspesialisitas dari anestesiologi dimana perawatan anestetik
preoperatif, intraoperatif, dan postoperatif dilakukansecara elektif dan dilakukan
pada hari yang sama dengan hari pembedahan. Pasien yang menjalani bedah
rawat jalan jarang sekali membutuhkan perawatan di rumah sakit dan pasien
cukup sehatuntuk dipulangkan dari fasilitas kesehatan kurang dari 24 jam setelah
tindakan bedah (Butterworth, et al., 2018).
2. Manfaat
Penerapan teknik ambulatory anesthesia dapat memberikan beberapa manfaat
kepada pasien yang bisa diperoleh antara lain adalah meminimalisir biaya,
mengurangi waktu pisah pasiendengan rumah dan keluarga, mengurangi waktu
menunggu saat pembedahan, dan mengurangi kemungkinan pasien terkena
hospital acquired infections. Ambulatory anesthesia juga hanya membutuhkan
tes laboratorium yang lebih sedikit pada pra dan pasca pembedahan serta
kebutuhan medikasi nyeri pasca pembedahan juga dapat berkurang serta
mengurangi Insiden Medication errors. Tidak seperti pembedahan rawat inap,
ambulatory anesthesia tidak bergantung pada ketersediaan kamar/ tempat tidur
pasien di suatu rumah sakit dan memberikan kemudahan bagi pasien untuk
memilih waktu pembedahan elektif mereka, serta mengurangi biaya perawatan di
ruang pemulihan
b. Kriteria Pembedahan
- Prosedur pembedahan dengan durasi satu setengah jam diperboleh-kan
untuk pelayanan bedah sehari. Bila durasi pembedahan lebih dari satu
setengah jam, beresiko terjadi perubahan hemodinamik mayor,
kemungkinan terjadi komplikasi operasi, memerlukan ¡mobilisasi lama
dan menggunakan analgesik parenteral/epidural tidak diperbolehkan
masuk dalam bedah sehari. Pembedahan superficial, bukan tindakan
bedah di dalam cranium, toraks atau abdomen (kecuali laparoskopi).
- Tidak memerlukan pelemas otot yang sempurna.
- Tidak banyak menimbulkan perubahan fisiologis.
- Diduga tidak menyebabkan perdarahan banyak.
- Kemungkinan komplikasi pasca bedah rendah sekali. Dan tidak
mempunyai risiko komplikasi major, contohnya seperti perdarahan dan
ketidakstabilan kardiovaskular.
- Pembedahan rongga abdomen atau toraks harus menggunakan teknik
pembedahan invasif yang minimal.
- Nyeri pasca pembedahan harus dikontrol dengan analgesik oral dan
dengan teknik anestesia regional atau lokal.
- Pasien dapat bergerak setidaknya sebelum dipulangkan.
c. Pertimbangan Sosial
- Pasien harus memahami prosedur dan persyaratan perawatan pasca
operasi dan menyetujui operasi rawat jalan.
- Ketika pasien dipulangkan ke rumah, ia harus didampingi oleh orang
dewasa yang bertanggung jawab yang dapat merawat mereka dalam 24
jam setelah operasi.
- Sangat penting bagi pasien dan perawat untuk memiliki akses mudah ke
telepon setelah pulang.
- Pasien tidak boleh mengemudi setidaknya 24 jam setelah anestesi atau
sedasi.
- Penting juga untuk berada dalam waktu 1 jam dari layanan medis
darurat dan untuk meminimalkan rasa sakit.
- Lingkungan rumah pasien harus sesuai untuk perawatan pascaoperasi.
d. Pertimbangan Medis
- Pemilihan pasien didasarkan pada status fungsional pasien pada saat
penilaian dan tidak selalu dibatasi oleh usia, indeks massa tubuh (BMI),
atau status American Society of Anesthesiologists. Sementara BMI
tinggi bukan merupakan kontraindikasi mutlak, pasien obesitas mungkin
memiliki masalah medis lainnya, seperti apnea tidur obstruktif (OSA).
Dalam kasus pasien obesitas, penilaian pra operasi harus cukup
menyeluruh untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit terkait
obesitas dan untuk mengecualikan mereka dengan penyakit penyerta
yang parah yang mungkin dikelola dengan lebih baik di rumah sakit.
- Pasien dengan penyakit kronis tetapi stabil lebih suka berada di rumah,
karena hal ini tidak terlalu mengganggu kehidupan sehari-hari mereka.
- Pasien dengan kondisi medis yang tidak stabil, seperti angina tidak
stabil atau diabetes yang tidak terkontrol, tidak sesuai untuk operasi
rawat jalan
4. Kontraindikasi
1) Penderita
- Bayi aterm dengan usia kurang dari 1 bulan
- Bayi preterm dengan umur kurang dari 46 minggu setelah konsepsi,
meskipun dengan kondisi sehat masih mempunyai risiko tinggi untuk
apneu post operatif
- Penderita dengan kelainan saluran pernafasan seperti
bronchopulmonary dysplasia atau bronchospasme, difficult airway dan
termasuk adanya OSA - Kelainan sistemik dengan terapi yang tidak
adekuat
- Adanya kelainan metabolik, diabetes, obesitas - Kelainan kompleks
pada jantung - Infeksi aktif (khususnya saluran pernafasan)
- Penderita dengan ASA III atau IV yang membutuhkan monitoring dan
perawatan post operatif secara kompleks atau khusus
2) Pembedahan
- Penatalaksanaan pembedahan dengan prosedur yang lama atau
kompleks
- Penatalaksanaan pembedahan dengan risiko perdarahan atau kehilangan
cairan (Menkes RI, 2015)
5. Persiapan
a) Persiapan Pasien
- Persiapan puasa. Persiapan puasa hendaknya dilakukan sesuai dengan
kondisi pasien dan rencana prosedur tindakan.
- Obat-obatan. Obat-obatan untuk terapi kardiovaskular, asma,
antikonvulsan dan anti nyeri hendaknya dilanjutkan sampai saat tindakan
operasi. Warfarin hendaknya dihentikan beberapa hari sebelum tindakan
untuk mengembalikan waktu prothrombin time menjadi normal. Diuretik
biasanya dihentikan pada saat pagi sebelum operasi.
- Inform consent untuk penjelasan tindakan anestesia dan pembedahan,
penjelasan tentang risiko tindakan anestesia dan penyulit yang mungkin
terjadi.
- Kelengkapan pemeriksaan fisik dan laboratorium.
b) Persiapan Anestesi.
- Persiapan anestesi baik alat, obat, kelengkapan mesin anestesi. Adapun
syarat obat-obat anestesi rawat jalan, yaitu :
• Induksi cepat dan lancar.
• Analgesia dan anesthesia cukup baik.
• Cukup dalam untuk pembedahan.
• Masa pulih sadar cepat.
• Komplikasi anesthesia pasca bedah minimal (mual, muntah, sakit
kepala, hipoksia).
- Persiapan obat emergency.
6. Manajemen Anestesi
a) Penilaian awal dan premedikasi
Penilaian awal untuk pasien pelayanan bedah sehari harus dilakukan
untuk menghindari pembatalan yang menyebabkan ketidaknyamanan bagi
pasien. Pemeriksaan:
- ASA I, usia kurang dari 40 tahun, tidak diperlukan pemeriksaan khusus.
- Pria usia lebih dari 40 tahun atau wanita usia lebih dari 50 tahun
diperlukan EKG.
- Usia lebih dari 65 tahun diperiksa fungsi ginjal (Arifin, 2015).
Premedikasi dalam pelayanan bedah sehari masih menjadi bahan
perdebatan. Sebelumnya karena tidak tersedianya benzodiazepine dengan
kerja pendek, penggunaannya dibatasi tetapi sekarang dengan adanya
midazolam, benzodiazepine dapat digunakan untuk pelayanan bedah sehari
terutama untuk pasien sadar. Midazolam harus diberikan pagi hari saat hari
operasi [(1-2 jam sebelum operasi(oral) dengan seteguk air atau 30 menit
sebelum pembedahan(IM)].
Untuk mencegah mual dan muntah, antiemetik pilihan adalah
dolasetron/ granisetron (jika tidak ada dapat digunakan ondansentron).
Karena efek sedative antiemetic seperti metoclopramide dan droperidol tidak
dipilih. Karena dapat menyebabkan lambat bangun.
Premedikasi dengan NSAID oral dapat sangat berhuna untuk
mengurangi kebutuhan analgsik opioid. Pemberian premedikasi secara oral
sama dalam pembedahan rutin.
b) Teknik anestesi
Anestesi General
a) Induksi
Propofol umum diberikan untuk induksi karena durasinya yang cepat,
depresi reflex faring dan menurunkan insiden PONV. Induksi propofol
2-2,5 mg/kgBB i.v lebih banyak digunakan dibandingkan tiopental 3-7
mg/kgBB i.v dengan alasan propofol efek sampingnya minimal dan
pulih sadarnya cepat. Nyeri pada suntikan propofol i.v dapat dikurangi
atau dihilangkan dengan memberikan lidokain 10-20 mg i.v
sebelumnya. Sevofluran juga dapat digunakan untuk induksi inhalasi
biasanya pada bayi dan anak.
b) Pengelolaan jalan nafas
Pemilihan untuk penggunaan anestesi umum dengan masker, LMA atau
intubasi tergantung oleh masing–masing penderita dan prosedur
tindakan. Penggunaan sungkup laring sering dilakukan mengingat
pemasangannya tidak memerlukan pelumpuh otot, asalkan puasa pasien
cukup waktunya. Penggunaan pelumpuh otot, kalaupun diperlukan
pilihan jatuh pada golongan nondepolarisasi kerja singkat misalnya
mivakurium (mivakron) atau rekuronium (esmeron). Dengan adanya
sungkup laring, maka penggunaan pelumpuh otot dan pipa trakes kian
berkurang.
c) Rumatan
Obat anestesi inhalasi dengan atau tanpa N2O dapat diberikan.
Penggunaan propofol, fentanyl, alfentanil atau remifentanil dapat juga
diberikan bersamaan. Penggunaan anestesi lokal dapat diberikan untuk
suplemen tambahan sebagai analgesik post operatif.
Anestesi Regional
Blok saraf regional seperti Bier's block dan anestesi lokal adalah
teknik yang mudah dan aman untuk pelayanan bedah sehari. Pada blok
seperti blok plexus brachial supraclavicular dimana terdapat resiko
pneumothoraks paska operasi harus dihindari.
Spinal/epidural: Walaupun spinal/epidural sekarang banyak digunakan
dalam pelayanan sehari tetapi terdapat resiko seperti nyeri kepala paska
pungsi dural (PDPH), retensi urin dan efek sisa blokade sensorik/motorik/
simpatis, tetapi masih direkomendasikan apabila:
- hanya menggunakan anestesi lokal kerja pendek atau intermediate
- spinal harus diberikan hanya dengan jarum ukuran kecil dengan jenis
dura separating needles.
Total Intravenous Anesthesia (TIVA)
Teknik ini digunakan apabila hanya menggunakan anestesi intravena
(tidak ada inhalasi, pelumpuh otot). Kombinasi pilihan untuk TIVA adalah
propofol + remifentanil.
c) Monitoring
Pemakaian monitoring standar sesuai dengan standar minimal ruang
operasi. Selain monitoring biasa, Bispectral index monitor untuk
menentukan kedalaman anestesi (untuk menghindari anestesi terlalu dalam)
lebih dipilih dalam pelayanan bedah sehari (tetapi masih menjadi
pertimbangan karena harganya mahal).
Selama anestesia berlangsung harus selalu diawasi :
- Pernapasan.
Tanda-tanda sumbatan jalan napas: napas berbunyi, retraksi otot dada,
napas paradoksal.
Tanda-tanda depresi pernapasan: napas yang dangkal sekali.
- Kardiovaskuler.
Hipertensi, hipotensi, syok, aritmia, bradikardia, takikardia, tanda-tanda
henti jantung.
- Warna: sianosis atau pucat
- Suhu: hipotermia, hipertermia.
Hal-hal tersebut diatas dapat terjadi selama pemeliharaan anestesia
berjalan dan harus segera diatasi.
7. Perawatan Postoperative
a. Nyeri
Bila nyeri terjadi post operatif dapat diberikan opioid. Bila sudah
sadar baik dapat diberikan oral parasetamol atau ibuprofen. Penggunaan obat
anti inflamasi non steroid (NSAID) saja relatif tidak efektif dalam
mengendalikan nyeri berat, sedangkan penggunaan analgesik narkotik saja
dapat menyebabkan berbagai efek samping pasca operasi, seperti mual,
muntah, pusing, dan konstipasi. Terapi analgesia multimodal atau seimbang,
atau penggunaan lebih dari satu metode pereda nyeri, dapat meningkatkan
efek analgesik sekaligus mengurangi efek samping yang terkait dengan obat
tertentu. Dengan demikian, pendekatan multimodal ini telah menjadi standar
dalam terapi kontrol nyeri untuk operasi bedah rawat jalan. Baru-baru ini,
prosedur skala besar yang terkait dengan nyeri pasca operasi yang parah,
seperti laparoskopi nephrectomy, prostatektomi, rekonstruksi bahu dan lutut,
dan histerektomi, semakin banyak dilakukan secara rawat jalan atau dengan
periode rawat inap yang singkat. Penggunaan perioperatif terapi analgesia
multimodal dengan analgesik narkotik dan non-narkotika dapat
meningkatkan kecepatan pemulihan cepat pasien dan meningkatkan tingkat
kepuasan.
Analgesik narkotik terus memainkan peran penting dalam
mengurangi nyeri akut pasca operasi. Namun, karena frekuensi laporan
operasi invasif minimal dengan nyeri pasca operasi yang relatif rendah terus
meningkat, demikian juga peran analgesik nonnarkotik sebagai agen
profilaksis. Lebih lanjut, NSAID, asetaminofen, ketamin, agonis alfa-2, dan
gabapentin telah digunakan secara meningkat dalam terapi analgesia
multimodal untuk mengontrol nyeri pasca operasi. Idealnya, kombinasi dari
analgesik non-narkotika ini akan digunakan untuk memastikan pereda nyeri
yang sangat baik dan pada akhirnya menghilangkan penggunaan analgesik
narkotik. Terapi analgesia multimodal meminimalkan nyeri pasca operasi,
mengurangi kerusakan organ akibat penggunaan analgesik narkotik, dan
memfasilitasi pemulihan dari anestesi; dengan demikian, telah menjadi
elemen penting dari operasi rawat jalan.
c. Pemulihan
Proses pemulihan dari anestesi dapat dibagi menjadi tiga tahap: awal,
tengah, dan akhir. Pemulihan dini mengacu pada periode antara bangun dari
anestesi dan pemulihan refleks pelindung dan kapasitas motorik. Sampai saat
ini, pasien tetap berada di PACU, di mana tanda-tanda vital dan saturasi
oksigen dipantau. Jika perlu, oksigen, analgesik, dan antiemetik dapat
diberikan. Sebagian besar rumah sakit yang melakukan operasi rawat jalan
memiliki unit step-down atau unit bedah rawat jalan yang membantu pasien
dalam tahap menengah dengan persiapan untuk pemulangan. Pasien dalam
fase pemulihan tengah tinggal di unit step-down dan dirawat di kursi
istirahat. Mereka dianggap siap untuk keluar ketika mereka mampu berjalan,
minum, dan buang air kecil. Keputusan transfer dari PACU ke unit step-
down biasanya mengikuti evaluasi yang dilakukan dengan menggunakan
sistem penilaian Aldrete yang dimodifikasi atau kriteria jalur cepat White.
Keterbatasan skor Aldrete yang dimodifikasi termasuk tidak mengatasi rasa
sakit, mual, atau muntah, yang merupakan efek samping umum dari
perawatan PACU. Skor Aldrete yang dimodifikasi juga tidak ideal untuk
menentukan pintasan jalur cepat dalam pengaturan rawat jalan atau pasien
yang menjalani anestesi regional. Ketika operasi sederhana dilakukan
dengan menggunakan anestesi short-acting, seperti propofol, sevofluran,
atau desfluran, ada banyak kasus di mana pasien pulih kesadaran,
pernapasan teratur, dan tanda-tanda vital stabil di ruang operasi. Penggunaan
perangkat pemantauan otak, seperti indeks bispektral, mungkin
menguntungkan, dengan tujuan awal untuk membantu titrasi menuju dosis
anestesi yang lebih rendah. Dalam kasus pemulihan dini seperti itu, metode
pelacakan cepat yang melibatkan pemindahan langsung pasien ke unit step-
down tanpa melewati PACU dapat diterapkan untuk mengurangi biaya
pengobatan. Kriteria fasttrack White digunakan untuk mengevaluasi
keputusan untuk menerima pasien ke unit step-down tanpa melalui PACU.
Skor 'WAKE' yang lebih baru diperkenalkan tidak hanya mencakup skor
Aldrete yang dimodifikasi (skor maksimum = 10), tetapi juga kriteria
"toleransi nol" untuk menilai nyeri pasca operasi, PONV, tremor, gatal, dan
gejala ortostatik (pusing, hipotensi). Skor WAKE tampaknya lebih cocok
untuk evaluasi dan tindak lanjut cepat pasien rawat jalan yang telah
menjalani anestesi regional, anestesi umum, atau MAC (Butterworth, et al.,
2018).
d. Kriteria Pemulangan
Kriteria pemulangan penderita termasuk tidak adanya hematom atau
perdarahan aktif, tanda vital yang stabil, mobilisasi dan analgesik yang
adekuat dan kemampuan untuk intake oral.
e. Antisipasi Rawat Inap
Harus disiapkan adanya perencanaan untuk rawat inap pada penderita
dengan kejadian khusus yang tidak memungkinkan untuk dilakukan
pemulangan.
8. Kriteria Pulang
Fast tracking adalah perpindahan pasien dari ruang operasi ke ruang
pemulihan fase II (step down) melalui post anesthesia care unit (PACU). Hal ini
akan mengurangi pengeluaran biaya dan membantu keluar rumah sakit lebih
awal.
Kriteria keluar rumah sakit pada pasien yang menjalani pelayanan bedah
sehari adalah;
- Tanda vital stabil lebih dari 30 menit
- Tidak terdapat mual (atau mual yang minimal) dalam 30 menit.
- Pasien berorientasi baik pada waktu, tempat, dan personal.
- Mampu duduk atau berjalan.
- Mampu menerima cairan secara oral tanpa muntah, dulu digunakan sebagai
kriteria utama, tetapi sekarang hanya dijadikan pilihan.
- Bebas nyeri (atau nyeri yang minimal) dengan analgesik oral.
- Kemampuan untuk mengeluarkan urin tidak dijadikan kriteria untuk pasien
yang diberikan GA tetapi masih menjadi bahan pertimbangan pada pasien
dengan spinal atau epidural.
- Tidak ada perdarahan aktif.
- Ditemani oleh orang lain yang dapat bertanggung jawab.
- Sebaiknya tetap tinggal di lingkungan yang terjangkau rumah sakit pada 24
jam pertama.
BAB III
KESIMPULAN
Anesthesiologists AS, 2017. Practice Guidelines for Preoperative Fasting and the Use
of Pharmacologic Agents to Reduce the Risk of Pulmonary Aspiration : Application
to Healthy Patients. Vol. 126.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP, 2015. Anestesi untuk
Pelayanan Bedah Sehari/Pembedahan Pasien dengan Rawat Jalan (One Day Surgery).
In: Anestesiologi. Semarang: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP.
Bajwa SJS, Sharma V, Sharma R, Singh AP. Anesthesia for Day-careSurgeries:
Current Perspectives. Med J DrDY Patil Univ. 2017;10(4):327– 33.
Butterworth, J. F., Mackey, D. C. & Wasnick, J. D., 2018. Morgan & Mikhail's
Clinical Anesthesiology. 6th ed. United States: McGraw-Hill Education.
Lee, J. H., 2017. Anesthesia for Ambulatory Surgery. Korean Journal of
Anesthesiology, 70(4), pp. 398-406.
Hall MJ, 2017. Ambulatory Surgery Data From Hospitals and Ambulatory Surgery
Centers, 15(102)
Menkes RI, 2015. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Anestesiologi dan
Terapi Intensif. Keputusan Menteri Kesehatan.
Said A. Latief,dkk. 2001. Anestesiologi. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. Hal: 121-123