Anda di halaman 1dari 12

1.

Perbandingan Penelitian Survey Dan Eksperimen


Secara definitif, penelitian survey adalah jenis penelitian yang
mengumpulkan informasi tentang karakteristik, tindakan, pendapat dari
sekelompok responden yang representative yang dianggap sebagai populasi.
Penelitian Survei adalah suatu penelitian yang mengambil sampel dari suatu
populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang
pokok, lazimnya dengan menguji hipotesis. Data dalam survei analitik biasanya
merupakan data kuantitatif yaitu berupa angka, dengan maksud untuk menarik
kesimpulan dan menafsirkan data atau pengujian hipotesis. Statistik yang
digunakan adalah statistic inferensial, yaitu statistik yang digunakan untuk
menganalisis data sampel dan hasilnya akan digeneralisasikan/diinferensialkan
kepada populasi dimana sampel diambil (Islamy, 2019).
Penelitian survey juga merupakan penelitian yang dilakukan pada
populasi besar maupun kecil tetapi data yang dipelajari adalah data dari sample
yang diambil dari populasi tersebut sehingga ditemukan kejadian-kejadian relatif,
distribusi dan hubungan-hubungan antar variabel, sosiologis mau psikologis
(Panorama dan Muhajirin, 2017). Penelitian survey digunakan untuk
mendapatkan data dari tempat tertentu yang alamiah (bukan buatan) tetapi
peneliti melakukan perlakuan dalam pengumpulan datanya misalnya dengan
mengedarkan kuesioner, test, wawancara tertruktur dan sebagainya. Penelitian
survey biasanya tidak membatasi dengan satu atau beberapa variabel, peneliti
dapat menggunakan variabel serta populasi yang luas sesuai dengan tujuan
penelitian yang hendak dicapai (Haryanti, 2019).
Sedangkan penelitian eksperimen merupakan penelitian yang
dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya akibat dari "sesuatu" yang
dikenakan pada subjek selidik. Dengan kata lain penelitian eksperimen mencoba
meneliti ada tidaknya hubungan sebab akibat. Isaac dan Michael (dalam
Setyanto, 2015) menerangkan bahwa penelitian Eksperimen bertujuan untuk
meneliti kemungkinan sebab akibat dengan mengenakan satu atau lebih kondisi
perlakuan pada satu atau lebih kelompok eksperimen dan membandingkan
hasilnya dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan.
Caranya adalah dengan membandingkan satu atau lebih kelompok eksperimen
yang diberi perlakuan dengan satu atau lebih kelompok pembanding yang tidak
menerima perlakuan.
Pandangan lain mengungkapkan bahwa penelitian eksperimen merupakan
metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh treatment (perlakuan)
tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendali (Sukmadinata, 2004).
Dalam penelitian eksperimen peneliti harus membagi objek atau subyek yang
diteliti menjadi dua group yaitu group treatment atau yang memperoleh
perlakuan dan grup control yang tidak memperoleh perlakuan.
Clifford J. Drew (1984; 33) menyatakan bahwa riset eksperimen punya
sejarah yang lama dan kaya karena digunakan oleh berbagai disiplin, obat-
obatan, pertanian dan psikologi. adalah Ronald A. Fischer, figur yang disebut
sebagai bapak riset eksperimen untuk disiplin ilmu-ilmu social (social scienes)
karena karya-karyanya yang muncul pada awal-awal abad 20.
Riset ekperimen dan survei merupakan dua metode penelitian kuantitatif.
Dua metode tersebut pernah mengalami kejayaan di panggung sejarah penelitian
utamanya antara 1950-1960 sempat menggeser penelitian kualitatif rintisan
Malinowski atau Elton Mayo, tulis Wikipedia. .Eksperimen dan survei adalah
riset hypothesis testing (uji hipotesis)
Perbandingan penelitian survey dan eksperimen yaitu:
a. Penelitian Eksperimen: observasi dibawah kondisi buatan (artificial
condition), sehingga metode penelitian eksperimental ini dilakukan dengan
mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian serta adanya kontrol.
b. Penelitian Eksperimen: peneliti mengadakan manipulasi terhadap variable
yang diteliti, sedangkan pada Metode Deskriptif (survey) variable yang
diteliti berada dalam keadaan sebagaimana adanya
c. Penelitian Eksperimen: objek penelitian diatur lebih dahulu untuk diadakan
perlakuan-perlakuan, sedangkan Metode Deskriptif (survey) sifatnya adalah
ex post facto.
d. Penelitian Survey: kegiatan pengumpulan data yang umumnya di lapangan
dalam rangka mengkaji kebenaran, dimana tujuan akhirnya adalah untuk
memecahkan permasalahan yang timbul.
e. William C. Levin (1991; 41-42) membedakan dua bentuk hipotesis;
descriptive hiphotesis, lazim dipakai dalam riset survei, sedangkan
eksperimen menggunakan causal hiphotesis (John Creswell,1994; 10-11) .
f. Survei sering menggunakan sample sebagai representasi dari populasi
sementara eksperimen menggunakan variable; dependen, independen dan
variable kontrol.

Perbandingan Antara Indicator Reflektif Dan Formatif


Perumusan model pengukuran tergantung pada arah hubungan antara
variabel laten dan variabel manifesnya. Dalam hal pemodelan persamaan
struktural dikenal dua model pengukuran, yaitu model pengukuran reflektif dan
pengukuran formatif (Williams, 2009). Masing-masing memiliki karakteristik
yang berbeda. Penggunaan model reflektif lebih banyak dipakai karena sebagian
besar pengukuran dikembangkan dari penjabaran konsep menjadi indicator
(Purwanto, 2014). Pada kasus pengukuran tertentu, indikator-indikator
pengukuran memiliki sifat yang unik yang terpisah antara satu dengan lainnya.
Model pengukuran formatif mengakomodasi kasus ini.
Gambar 1. Model Indikator Reflektif dan Formatif

Dalam model reflektif, blok variabel manifes yang terkait dengan variabel
laten diasumsikan mengukur indikator yang memanifestasikan konstrak.
Indikator dilihat sebagai efek dari variabel laten yang dapat diamati secara
empirik. Misalnya konstrak kegigihan (hardiness) yang dimanifestasikan oleh
indikator komitmen, tantangan dan kontrol yang bersifat empirik karena nilainya
bisa kita ketahui melalui skor skala kegigihan.
Untuk model pengukuran reflektif, indikator terkait dengan variabel laten
yang sama harus memiliki varians bersama (covary). Ketiga indikator kegigihan
komitmen, tantangan dan kontrol, seperti contoh di atas, harus memiliki
keterkaitan yang ditunjukkan dengan nilai kovarians. Kovarians menunjukkan
adanya varians bersama yang dijelaskan ketiga indikator tersebut, yang
dinamakan dengan konstrak kegigihan.
Pada model reflektif, konsistensi internal harus diperiksa yang
mengasumsikan bahwa tiap indikator bersifat homogen dan unidimensional.
Koefisien alpha dan analisis faktor menunjukkan hal tersebut.
Dalam model formatif, setiap indikator empirik merepresentasikan
indikator yang dapat tidak homogen dan tidak unidimensional. Semua indikator
membentuk kombinasi persamaan regresi dalam menjelaskan konstrak latennya.
Semua indikator tidak harus memiliki varians bersama (kovarians) sehingga
mengeliminasi satu indikator tidak mengubah peranan indikator lainnya.
Contohnya dalam pengukuran stres kehidupan (life events stresor)
memuat indikator stres berupa stres finansial, pekerjaan, interpersonal dan
kesehatan. Keempat indikator ini membentuk stres individu. Masing-masing
indikator stres tidak terkait dengan yang lain. Semakin tinggi skor masing-
masing indikator stres, semakin tinggi stres kehidupan yang dialami oleh
individu.
Model pengukuran reflektif diakomodasi oleh software SEM seperti
LISREL, AMOS, MPLUS atau EQS. Software-software ini menggunakan bahan
analisis berupa kovarians. Di sisi lain, model pengukuran formatif diakomodasi
oleh program yang mengaplikasikan PLS (partial least square) seperti VisualPLS
atau SmartPLS yang menggunakan bahan analisis berupa varians. Dibandingkan
dengan analisis biasanya, PLS tidak banyak menuntut asumsi karena tidak
menggunakan estimasi maximum likelihood.

2. Kesalahan Tipe 1 Dan Tipe 2 yang Sering Muncul Di Penelitian Kuantitatif.


a. Survey
Desainnya sederhana, prosesnya cepat. Tetapi bila dilakukan dengan
sembrono, temuan survei ini cenderung superficial (dangkal) meskipun
dalam analisisnya peneliti menggunakan statistik yang rumit. Survei tidak
selalu identik dengan kuesioner (meski teknik pengumpulan data survei
seringkali menggunakan kuesioner karena berhubungan dengan sampel
berjumlah besar). Dalam praktiknya, terkadang pelaksanaan survei tidak
hanya menggunakan kuesioner atau angket, namun dilengkapi dengan
wawancara atau observasi.
Kesalahan yang sering dibuat oleh peneliti dalam penelitian survei ini
adalah terletak pada analisis data. Peneliti sering kali lupa bahwa apa yang
dikumpulkan melalui kuesioner ini adalah sekedar "persepsi tentang
sesuatu", bukan "substansi dari sesuatu". Karena itu, kalaupun peneliti
menggunakan analisis statistik yang cukup kompleks (misalnya korelasi atau
regresi) maka peneliti harus ingat apa yang dianalisisnya itu tetaplah
sekumpulan persepsi, bukan substansi.
b. Eksperimen
Eksperimen tidak hanya digunakan untuk menjelaskan hubungan
sebab akibat antara satu dan lain variabel, tetapi juga untuk menjelaskan dan
memprediksi gerak atau arah kecenderungan suatu variabel di masa depan.
Ini adalah eksperimen yang bertujuan untuk memprediksi.
Hal-hal yang mempengaruhi validitas internal dan eksternal dalam
penelitian eksperimen, disebut "Extraneous Variables" adalah variabel selain
variabel-variabel utama yang diteliti, yang mempengaruhi hasil akhir
penelitian (kesimpulan) jika tidak dikontrol. Borg & Gall mengutip
Campbell & Stanley (1963), lihat juga Malhorta (1977) menunjukkan ada 10
tipe variabel extraneous, yaitu: History, Maturation , Testing,
Instrumentation, Statistical regression, Differential selection, Experimental
mortality, Selection-maturation interaction, The John Henry Effect,
Experimental treatment diffusion.
1) History. Pada penelitian yang membutuhkan waktu relatif lama, ada
kemungkinan terjadi hal-hal yang mempengaruhi proses penelitian itu
sehingga hasil akhir penelitian tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh
(treatment) perlakuan, tetapi oleh hal-hal lain. Ketika terjadi kerusuhan
di Indonesia pada tahun 1998 (yang menandai jatuhnya rejim Soeharto),
banyak penelitian menjadi "kacau" karena terjadi perubahan-perubahan
mendasar di segala bidang (ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya).
2) Maturation. Pada saat penelitian berlangsung, ada kemungkinan para
subjek yang diteliti mengalami "pendewasaan" (maturation). Mereka
mungkin bertambah cerdas, bertambah terampil, lebih percaya diri dan
sebagainya. Jadi, hasil penelitian lagi-lagi tidak hanya akibat dari
treatment, tetapi juga dipengaruhi faktor maturation ini.
3) Testing. Dalam studi eksperimen yang menggunakan pretest dan postest,
ada kemungkinan subjek menjadi lebih tahu tentang test (terutama
postest), atau menjadi test wise. Maka, kalaupun ada kenaikan nilai test
(post > pre). Hal ini mungkin lantaran subjek menjadi lebih pintar alias
test wise. Bisa juga terjadi kualitas pre test tidak sama dengan kualitas
post test. Misalnya post test lebih mudah dari pada pre test, maka wajar
hasil post test lebih baik daripada hasil pre test-nya (lihat juga
"instrumentation").
4) Instrumentation. Ini berhubungan dengan kualitas instrumen penelitian.
Jika misalnya, pretest dibuat sangat sulit (tingkat kesukarannya tinggi),
sedangkan postest dibuat dengan tingkat kesukaran lebih rendah
(mungkin karena ketidaksengajaan) maka Jika pun hasil post > pre, hal
ini bukan dari hasil treatment, tetapi dari kesalahan instrumen itu.
Demikian pula bila kita telah menggunakan jenis instrumen. Misalnya,
untuk mengukur kemampuan psikomotorik diperlukan tes yang bersifat
kegiatan fisik ("melakukan suatu kegiatan"). Tetapi peneliti ternyata
hanya menggunakan tes tertulis. Misalnya, bukan kemampuan
psikomotorik yang diukur, tetapi kemampuan kognitif.
5) Statistical regression. Ini berhubungan dengan perhitungan statistik.
Bila kita membandingkan dua kelompok (misalnya kelompok
pengusaha kecil dan kelompok pengusaha menengah) dengan
memperlakukan "treatment" yang sama (misalnya pengenalan terhadap
manajemen usaha). Ternyata, setelah waktu tertentu, ada kecenderungan
kelompok yang mendapat "gain" lebih besar adalah kelompok
pengusaha kecil. Secara, "common sense" sebenarnya kita bisa mengerti
bila suatu perubahan lebih mudah terlihat di konteks "kecil" dari pada
melihat perubahan di konteks "yang lebih besar". Kenaikan Rp 1 juta ke
Rp 2 juta adalah kenaikan 100%. Tetapi kenaikan yang sama, Rp 1 juta,
dari Rp 1 milyar ke Rp 1.001.000.000,00 "hanya" 0,001%.
6) Differential selection. Dalam studi eksperimen yang membandingkan
dua kelompok (kelompok A dan B), peneliti harus "mengatur"
sedemikian rupa sehingga kelompok A sama dengan kelompok B
sehingga perbandingan bisa dilakukan secara baik. Tetapi kadang-
kadang karena satu dan lain hal, yang masuk ke kelompok A, misalnya,
rata-rata lebih baik daripada yang dikelompok B. Maka, ketika dua
kelompok ini dibandingkan di akhir penelitian, jelas sekali kelompok A
lebih baik dari kelompok B. Ini bukan karena treatment, tetapi karena
kesalahan pengelompokan.
7) Experimental mortality. Ini berhubungan dengan tingkat drop out subjek
penelitian. Jika satu per satu subjek mengundurkan diri dari penelitian,
lama-lama peneliti akan kekurangan subjek untuk diteliti. Mungkin
secara kuantitas jumlahnya masih cukup. Tetapi bila profile subjek
berubah drastis (kelompok tertentu masih banyak, kelompok lain
sebagai kelompok pembanding katakanlah tinggal satu orang),
penelitian praktis tidak mungkin dilanjutkan.
8) Selection-maturation interaction. Ini sama dengan nomor enam, tetapi
satu kelompok menjalani "pendewasaan" yang lebih cepat daripada
kelompok lainnya.
9) The John Henry Effect. Ini terjadi ketika kelompok kontrol (tidak diberi
treatment) berperilaku lebih giat, lebih rajin, dan sebagainya, daripada
kelompok eksperimen (kelompok yang diberi treatment). Hal ini
mungkin terjadi karena, misalnya, kelompok kontrol merasa bahwa
nantinya mereka akan "kalah" dibandingkan dengan kelompok
eksperimen. Perasaan "kalah" semacam ini bisa memacu kelompok
kontrol belajar dan bekerja lebih giat dari biasanya, katakanlah untuk
membuktikan bahwa mereka sama baiknya dengan kelompok
eksperimen.
10) Experimental Treatment Diffusion. Ini terjadi ketika kelompok kontrol
"belajar" dari kelompok eksperimen, baik sengaja maupun tidak, Jadi,
terjadi "perembesan" pembelajaran dari kelompok eksperimen ke
kelompok kontrol.

Semua variabel yang berhubungan dengan fenomena di atas harus


dikontrol oleh peneliti. Jika tidak, pasti akan terjadi kesalahan dalam
pengambilan kesimpulan. Adapun yang dimaksud dengan "dikontrol" adalah
diantisipasi sedini mungkin dan kemudian "dijaga" agar tidak mencemari
proses eksperimen. Misalnya, agar tidak terjadi efek "Differential Selection",
maka dua kelompok harus dipilih secara acak (random) untuk mencapai
pembagian yang fair. Agar tidak terjadi kesalahan karena faktor
"Instrumentation" atau "testing", maka instrumen harus diuji berulang-ulang
untuk mencapai validitas dan reliabilitas yang tinggi. Untuk menghindari
"experiment mortality", peneliti harus melibatkan jumlah subjek yang cukup
banyak. Dan sebagainya.

c. Kesalahan dalam Reflektif dan formatif


Pemilihan konstruk berdasarkan model indikator refleksif atau
formatif tergantung dari prioritas hubungan kausalitas antara indikator dan
variabel laten (Bollen 1989, dalam Ghozali 2012). Lebih lanjut dinyatakan
oleh Fornell dan Bookstein (1982) bahwa konstruk seperti “personalitas”
atau “sikap” umumnya dipandang sebagai faktor yang menimbulkan sesuatu
yang kita amati sehingga indikatornya bersifat refleksif. Sebaliknya jika
konstruk merupakan kombinasi penjelas dari indikator (seperti perubahan
penduduk atau baur pemasaran) yang ditentukan oleh kombinasi variabel
maka indikatornya harus bersifat formatif. Konstruk dengan indikator
refleksif mengasumsikan bahwa kovarian di antara pengukuran model
dijelaskan oleh varian yang merupakan manifestasi domain konstruknya.
Pada setiap indikatornya harus ditambah dengan error terms atau kesalahan
pengukuran. Adapun ciri-ciri dari konstruk dengan indikator refleksif yaitu;
arah hubungan kausalitas dari konstruk ke indikator, antar ukuran indikator
diharapkan saling berkorelasi, menghilangkan satu indikator dari model
pengukuran tidak akan merubah makna atau arti konstruk, menghitung
adanya kesalahan pengukuran (error) pada tingkat indikator, konstruk
memiliki arti yang surplus, perubahan pada indikator tidak menyebabkan
perubahan pada konstruk, perubahan pada konstruk mengakibatkan
perubahan pada indikator, indikator dapat dipertukarkan, indikator harus
memiliki konten yang sama dan indicator perlu memiliki tema yang sama,
indikator diharapkan memiliki kovarian satu sama  lainnya, indikator
disyaratkan memiliki anteseden dan konsekuen yang sama, dan skala skor
tidak menggambarkan konstruk. Konstruk dengan indikator formatif
mengasumsikan bahwa setiap indikatornya mendefinisikan atau menjelaskan
karakteristik domain konstruknya. Kesalahan pengukuran ditujukan pada
konstruk dan bukan pada indikatornya sehingga pengujian validitas dan
reliabilitas konstruk tidak diperlukan lagi. Adapun ciri-ciri dari konstruk
dengan indikator formatif yaitu arah hubungan kausalitas dari indikator ke
konstruk, antar indikator diasumsikan tidak berkorelasi (tidak diperlukan uji
konsistensi internal/cronbach alpha), menghilangkan satu indicator berakibat
merubah makna dari konstruk, kesalahan pengukuran diletakkan pada
tingkat konstruk (zeta), konstruk mempunyai makna surplus, perubahan pada
indikator mengakibatkan perubahan pada konstruk, perubahan pada konstruk
tidak menyebabkan perubahan pada indikator, indikator tidak dapat
dipertukarkan, indikator tidak harusmemiliki konten yang sama dan
indikator tidak perlu memiliki tema yang sama, tidak perlu ada kovarian
antar indikator, indikator tidak disyaratkan memiliki anteseden dan
konsekuen yang sama, dan skala skor tidak menggambarkan konstruk.
Menurut (Purwanto, 2014) ada dua pendekatan yang digunakan
untuk menentukan hubungan antara konstruk dan indikatornya, yaitu
hubungan reflektif dan hubungan formatif. Dalam riset di bidang manajemen
dan organisasi, indikator biasanya merupakan refleksi atau manifestasi dari
suatu konstruk. Dalam hubungan reflektif, konstruk merupakan variabel
independen yang mempengaruhi indikator-indikatornya. Faktor analisis
merupakan teknik yang sesuai untuk memodelkan hubungan reflektif
indikator dengan konstruknya.
Berkebalikan dengan model hubungan reflektif, dalam hubungan
formatif, item-item atau indikator-indikator membentuk konstruk, sehingga
item atau indikator merupakan variabel independen dan konstruk merupakan
variabel dependen. Dalam banyak kajian, model pengukuran formatif
memunculkan beberapa masalah. Pertama, konstruk atau variabel laten tidak
dapat diidentifikasi oleh indikator formatifnya. Sehingga, indikator reflektif
tetap diperlukan untuk mengidentifikasi konstruk. Kedua, karena indikator-
indikator formatif merupakan variabel independen yang mempengaruhi
konstruk, maka hubungan antar indikator tidak dapat dijamin tinggi sehingga
akan memunculkan konsistensi internal (Cronbach’s Alpha atau
reliabilitas)model pengukuran yang rendah. Rendahnya reliabilitas model
pengukuran akan berakibat bias dalam pengujian hipotesis (kesalahan tipe
II). Ketiga, indikator formatif suatu konstruk secara konseptual merupakan
manifestasi dari konstruk lain. Oleh sebab itu, penggunaan indikator formatif
mengabaikan hadirnya konstruk lain yang semestinya dapat dimunculkan
dalam model teoretikal atau dihipotesiskan. Penggunaan model pengukuran
reflektif untuk mengukur konstruk dan menguji hubungan antar konstruk
sangat disarankan dalam riset keperilakuan dan organisasi.
Referensi
Creswell, John W., Research Design Qualitative & Quantitative Approach, (London,
SAGE,1994) 
Drew, Clifford, J., Designing and Conducting Research: Inquring in Education and
Social Sciences, Boston, Allyn and Bacon, 1985
Islamy, Izzul (2019) Penelitian Survei Dalam Pembelajaran Dan Pengajaran Bahasa
Inggris, See discussions, stats, and author profiles for this publication at:
https://www.researchgate.net/publication/335223420
Levin, William C., Sociological Ideas, California, Wadsworth, 1991
Maya Panorama, dan Muhajirin, Pendekatan Praktis Metode Penelitian Kualitatif Dan
Kuantitatif. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2017
Nana syaodih sukmadinata.Metode Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rosda, 2004),
194.
Nik Haryanti, Metode Penelitian Ekonomi, Bandung: Manggu, 2019
Purwanto, BM. Beberapa Isu Pengukuran Konstruk dalam Riset Keperilakuan dan
Organisasi Benefit, Jurnal Manajemen dan Bisnis Volume 18, Nomor 1, Juni
2014, hlm. 1 – 4
Setyanto, A. Eko (2015), Memperkenalkan Kembali Metode Eksperimen dalam
Kajian Komunikasi, Jurnal Ilmu Komunikasi, VOLUME 3, NOMOR 1 , JUNI
2065: 37 - 48 38
Williams , Larry J., Vandenberg, Robert J., and Edwards, Jeffrey R. (2009), 12
Structural Equation Modeling in Management Research: A Guide for Improved
Analysis, The Academy of Management Annals, 3:1, 543-604.

Anda mungkin juga menyukai