Anda di halaman 1dari 18

1

TUGAS MIKROBIOLOGI INDUSTRI

FERMENTASI ANGGUR DENGAN BANTUAN BAKTERI


Saccaromyces cerevisiae

ANDINI
NRP. 01311940000032

Dosen Pengajar
Dr. techn. Endry Nugroho P., S.Si, MT.
Program Studi S1
Departemen Biologi
Fakultas Sains dan Analitika Data
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
2022
2

ABSTRAK

FERMENTASI ANGGUR DENGAN BANTUAN BAKTERI Saccaromyces cerevisiae

Abstrak
Wine merupakan minuman beralkohol yang biasanya terbuat dari jus anggur yang
difermentasi. Keseimbangan sifat alami yang terkandung pada buah anggur, menyebabkan
buah tersebut dapat difermentasi tanpa penambahan gula, asam, enzyme, ataupun nutrisi lain.
Wine dibuat dengan cara memfermentasi jus buah anggur menggunakan khamir dari type
tertentu. Yeast tersebut akan mengambil kandungan gula yang ada pada buah anggur dan
mengubahnya menjadi alkohol. Wine dibuat dari fermentasi anggur dengan
bantuan Saccharomyces cerevisiae. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai
OD optimal untuk fermentasi anggur dan karakteristik S. cerevisiase. Pembuatan kultur
starter dengan menggunakan media PDB (Potato Dextrose Broth) dan pengukuran OD
dilakukan selama 9 jam dengan menggunakan spektrofotometer. Lalu karakteristik S.
cerevisiase diamati dibawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 100x dan 400x. Hasil
praktikum menujukkan bahwa kultur starter yang digunakan untuk fermentasi etanol adalah
Saccharomyces cerevisiae yang berumur 6 jam dengan nilai OD tertinggi sebesar 0.963.

Kata kunci: Densitas, Saccharomyces cerevisiae , Wine.


3

DAFTAR ISI
ABSTRAK.........................................................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................... 4
1.3 Tujuan.........................................................................................................................5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................6
2.1 Fermentasi.................................................................................................................. 6
2.2 Mikroba Dalam Pembuatan Wine.............................................................................. 7
2.2.1 Botrytis........................................................................................................ 7
2.2.2 Saccharomyces............................................................................................ 7
2.2.3 Khamir (yeast )............................................................................................ 8
BAB 3 METODOLOGI.................................................................................................................. 10
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan...............................................................................10
3.2 Prosedur Penelitian...................................................................................................10
3.2.1 Pengamatan Saccharomyces cerevisiae.................................................................10
3.2.2 Pola Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae...........................................10
3.3 Pembuatan Wine.......................................................................................................10
3.3.1 Persiapan Buah Anggur.............................................................................10
3.3.2 Pemotongan dan Pemecahan..................................................................... 10
3.3.3 Pengepresan...............................................................................................11
3.3.4 Fermentasi................................................................................................. 11
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................................................... 12
4.1 Karakteristik Saccharomyces cerevisiae.................................................................. 12
4.2 Pola Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae..........................................................14
BAB V KESIMPULAN.................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................16
4

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia banyak dihasilkan berbagai jenis buah – buahan, salah satu jenis buah –
buahan yang ada di Indonesia adalah buah Anggur. Tanaman anggur (Vitis vinifera L.)
termasuk kedalam keluarga Vitaceae merupakan tanaman buah dengan habitus perdu
merambat. Buah anggur dikenal karena banyak mengandung senyawa polipenol dan
resveratol yang berperan aktif dalam berbagai metabolisme tubuh, mampu mencegah
terbentuknya sel kanker dan berperan sebagai senyawa antioksidan yang mampu menangkal
radikal bebas (Bagchi, et al., 2000; Lange, et al., 2004). Anggur merupakan buah yang cukup
populer dan banyak dikonsumsi oleh banyak orang, di Indonesia banyak ditanam terutama
didaerah Pulau Bali, tanaman ini mudah dibudidayakan dan cocok untuk iklim di Indonesia.
Buah anggur biasanya dapat dikonsumsi secara langsung dapat juga dibuat suatu produk
minuman hasil fermentasi buah anggur.
Wine merupakan minuman beralkohol yang biasanya terbuat dari jus anggur yang
difermentasi. Keseimbangan sifat alami yang terkandung pada buah anggur, menyebabkan
buah tersebut dapat difermentasi tanpa penambahan gula, asam, enzyme, ataupun nutrisi lain.
Wine dibuat dengan cara memfermentasi jusbuah anggur menggunakan khamir dari type
tertentu. Yeast tersebut akan mengambil kandungan gula yang ada pada buah anggur dan
mengubahnya menjadi alcohol. Perbedaan varietas anggur dan strain khamir yang digunakan,
tergantung pada type dari wine yang akan diproduksi (Johnson, 1989).Teknologi pengolahan
anggur menjadi wine pertama kali dikembangkan oleh orang Mesir pada tahun 2500 sebelum
Masehi. Dari mesir budidaya danteknologi pengolahan anggur masuk ke Yunani dan
menyebar ke daerah Laut Hitam sampai ke Spanyol, Jerman, Prancis, dan Austria. Sejalan
dengan perjalanan Columbus teknologi pengolahan dan budidaya anggur mulai menyebar ke
Mexico, Amerika Selatan, Afrika Selatan, Asia termasuk Indonesia, dan Australia.
Penyebaran ini juga menjadikan anggur mempunyai beberapa sebutan,seperti grape di
Amerika dan Eropa, putao di China, dan Anggur di Indonesia(Wahyu, 2004).
Wine dibuat dari fermentasi anggur dengan bantuan Saccharomyces cerevisiae. S.
cerevisiae adalah fungi mikroskopis bersel tunggal yang berasal dari
famili Saccharomycetaceae. Bakteri ini memiliki kemampuan untuk mengubah glukosa
menjadi alkohol dan CO2. Bakteri ini dapat tumbuh baik pada suhu 30°C dan pH 4 hingga
6 (semakin asam semakin baik). Bakteri ini merupakan bakteri anaerob fakultatif, yaitu
bisa tumbuh dengan atau tanpa oksigen. Proses respirasi dan fermentasinya dipengaruhi
oleh faktor eksternal, yaitu glukosa dan oksigen.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah,
1. Berapa nilai OD optimal untuk fermentasi anggur ?
2. Bagaimana karakteristik S. cerevisiase dibawah mikroskop cahaya ?
5

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah,
1. Untuk mengetahui nilai OD optimal untuk fermentasi anggur.
2. Untuk mengetahui karakteristik S. cerevisiase dibawah mikroskop cahaya.
6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fermentasi
Fermentasi berasal dari bahasa latin ferfere (Yunani) yang artinya mendidihkan, yaitu
berdasarkan dalam ilmu kimia terbentuknya gas-gas dari suatu cairan kimia yang
pengertiannya berbeda dengan air mendidih. Gas yang terbentuk tersebut diantaranya
karbondioksida (CO2) (Afrianti, 2004). Fermentasi merupakan perubahan kimiawi dari
senyawa-senyawa organik yang dilakukan oleh enzim hasil mikroorganisme. Mikroorganisme
yang berperan dalam proses fermentasi ini dari golongan khamir, kapang dan bakteri.
Fermentasi dari berbagai makanan dan minuman dapat melibatkan satu macam atau beberapa
mikroorganisme yang bekerja secara simbiotik (Aditiwati dan Kusnadi, 2013).
Proses Fermentasi merupakan suatu proses biokimia dimana terjadinya perubahan-
perubahan atau reaksi-reaksi kimia dengan bantuan mikroorganisme. Proses fermentasi terjadi
secara anaerob dengan mengubah glukosa menjadi alkohol. Setelah proses fermentasi
berlangsung, yang produk hasilkan adalah alkohol. Fermentasi oleh mikroorganisme,
misalnya Saccharomyces cerevisiae yang dapat menghasilkan etil alkohol (etanol) dan CO2
melalui reaksi sebagai berikut:

Pada umumnya reaksi ini merupakan dasar dari pembuatan minuman alkohol yaitu tape,
brem, dan anggur (Retno dkk., 2009). Pada saat fermentasi akan terjadi reaksi secara kimiawi
dan terdapat enzim yang akan berperan dalam fermentasi. Saat proses fermentasi terjadi gula
akan diubah menjadi alkohol karena terdapat enzim yang akan berperan yaitu enzim zimase
yang dihasilkan oleh Saccharomyces cerevisiae memiliki peran untuk memecah glukosa
menjadi alkohol dan CO2. Aktivitas enzim amilase akan mengubah pati menjadi maltosa,
enzim maltase akan menghidrolisis menjadi glukosa. Pada proses ini adalah proses yang
masih memerlukan oksigen, kemudian pada pembentukan alkohol proses yang terjadi tidak
memerlukan oksigen (Widyaningrum, 2009). Menurut Afrianti (2004) fermentasi berdasarkan
kebutuhan O2 yang dibedakan menjadi dua, yaitu :
Fermentasi aerob (proses respirasi) merupakan fermentasi yang membutuhkan oksigen.
Disimilasi bahan-bahan yang disertai dengan pengambilan oksigen. Semua mikoorganisme
memerlukan sumber energi untuk hidup. Sumber energi yang didapatkan berupa hasil
metabolisme dari bahan pangan, dimana mikroorganisme itu berada. Glukosa adalah bahan
energi yang digunakan mikroorganisme untuk tumbuh. Adanya oksigen, mikroorganisme
akan mencerna glukosa yang menghasilkan air, karbondioksida dan sejumlah besar energi.
Contoh : fermentasi asam asetat, asam nitrat dan sebagainya. Fermentasi anaerob merupakan
fermentasi yang tidak membutuhkan oksigen, mikroorganisme akan mencerna bahan energi
tanpa adanya oksigen. Energi yang dipecah hanya sebagian, yang dihasilkan dari pemecahan
energi adalah sebagian dari energi, karbondioksida dan air termasuk sejumlah asam laktat,
asetat, etanol, asam volatil, dan alkohol.
7

2.2 Mikroba Dalam Pembuatan Wine


2.2.1 Botrytis
Pada Buah Anggur Kapang Botrytis atau penyakit busuk pada buah anggur ada yang
dikehendaki tetapi ada pula tidak diinginkan, ini terutama tergantung pada cuaca. Kapang
yang dikehendaki adalah kapang yang berharga. Botrytis cinerea merupakan kapang yang
menyerang buah anggur memberi citarasa yang bagus dan dapat memberi rasa manis sehingga
membentuk alkohol dengan kadar tinggi. Botrytis cinerea membentuk lapisan abu-abu
kebiruan pada buah anggur, memberi dua macam efek yaitu dikehendaki dan ada yang tidak
dikehendaki. Apabila kelembaban tinggi (lebih dari 90 %) dalam waktu maksimum 24 jam
spora botrytis akan berkecambah dan kapang akan tumbuh dan dapat masuk ke dalam
jaringan buah. Apabila infeksi ini kemudian diikuti dengan periode kelembaban yang rendah
( 60% atau dibawahnya) dan apabila suhu antara 24°C dan 250°C buah anggur akan
mengkerut.
Cairan buah akan lebih manis karena menurunnya kadar air dari buah sehingga
konsentrasi gula akan meningkat dan akan memberikan wine yang berkualitas tinggi. Apabila
cuaca sangat lembab buah anggur akan pecah maka dapat terjadi infeksi oleh kapang botrytis
dan kapang lain yang senang dengan suasana lembab, Khamir, dan bakteri asam asetat yang
menyebabkan rasa manis pada cairan buah anggur hilang. Keadaan yang demikian tersebut
menyebabkan kualitas wine yang dihasilkan jelek. Buah anggur yang terinfeksi oleh kapang
Botrytis cinerea dapat menghasilkan wine yang berkualitas bagus sehingga mempunyai harga
yang tinggi di pasaran dunia. Wine yang terasa manis dan lebih lanjut tidak mengalami
fermentasi, maka jenis wine ini umumnya mengandung alkohol sekitar 12 - 14 % dengan
kadar gula 5 sampai 15 %. Suatu antibiotik yang dapat dihasilkan oleh botrytis yang disebut
botryticin mencegah pertumbuhan khamir sehingga menghambat proses fermentasi gula
menjadi alkohol. Gula 19 umumnya diubah oleh khamir menjadi alkohol. Kapang botrytis
juga menghasilkan metabolit-metabolit lain seperti gliserin yang mempengaruhi komposisi
dan citarasa wine. Gliserin yang dihasilkan sebesar 3 %, dan biasanya pada wine terdapat
gliserin kurang dari 1 %.
2.2.2 Saccharomyces
Saccharomyces termasuk jenis khamir. Dalam mengklasifikasikan khamir harus
diketahui sifat-sifat morfologisnya sedangkan sifat-sifat fisiologisnya diperlukan bagi ahli
mikrobiologis pangan. Sifat-sifat morfologi dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop
(Frazier, 1967). S. cerevisiae adalah fungi mikroskopis bersel tunggal yang berasal dari
famili Saccharomycetaceae. Bakteri ini dapat ditemukan pada buah yang sudah matang,
serangga, dan hewan berdarah panas. Reproduksi generatifnya dilakukan dengan
pembentukan askus dan askospora, sementara reproduksi vegetatif dilakukan dengan
pembentukan tunas. Bakteri ini memiliki kemampuan untuk mengubah glukosa
menjadi alkohol dan CO2. Bakteri ini dapat tumbuh baik pada suhu 30°C dan pH 4 hingga
6 (semakin asam semakin baik). Bakteri ini merupakan bakteri anaerob fakultatif, yaitu
bisa tumbuh dengan atau tanpa oksigen. Proses respirasi dan fermentasinya dipengaruhi
oleh faktor eksternal, yaitu glukosa dan oksigen. Kedua komponen tersebut berfungsi
untuk menghasilkan energi pada siklus krebs. Bakteri ini biasa dimanfaatkan dalam
pembuatan tape, roti, dan wine melalui proses fermentasi. Bakteri Saccharomyces cerevisiae
merupakan bakteri gram-positif dan gram-negatif. Dinding sel bakteri ini tersusun atas
peptidoglikan disakarida dan asam amino. Struktur lipid bilayer tersusun atas polar lipid dan
8

protein. Protein memiliki berbagai fungsi sebagai transportasi asam amino dan gula, ATPase,
dan sitoskeleton.
2.2.3 Khamir (yeast )
Khamir mempunyai ukuran lebih besar dari bakteri yaitu 20 mikron. Pertumbuhan dapat
secara uniseluler, tetapi juga dapat melakukan perkembanganbiakan dengan pertunasan.
Khamir dapat bermanfaat tetapi juga ada yang bersifat merusak bahan pangan. Khamir
terutama Saccharomyces cerevisiae dapat melakukan proses fermentasi bermanfaat untuk
pembuatan makanan dan minuman beralkohol misalnya bir, wine, roti, brem dan lain-lainnya.
Khamir yang merusak bahan pangan misalnya dapat menyebabkan kerusakan pada sirup, sari
buah, jeli, daging dan lain-lainnya.
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada wine pertama, keasaman atau
pH. Kapang, khamir dan bakteri asam laktat toleran terhadap asam pada pH 3,3 sampai 3,5
lebih rendah dari sebagian besar pH wine. Kedua, kadar gula, pada dry wine dengan kadar
gula rendah (sekitar 0,1 persen atau kurang ) jarang mengalami kerusakan oleh mikroba tetapi
dengan kadar gula 0,5 sampai 1,0 persen lebih mudah dirusak oleh mikroba. Ketiga,
konsentrasi alkohol. Toleransi mikroba terhadap alkohol bervariasi. Kadar alkohol 14 sampai
15 persen dapat menghambat kerusakan must oleh mikroba. Jenis Leuconostoc terhambat
pada kadar alkohol di atas 10 persen. Keempat, konsentrasi zat-zat tambahan. Jenis
Acetobacter dapat membentuk vitamin sendiri, tetapi bakteri asam laktat sangat
memerlukannya. Sumber dari zat-zat ini dapat berasal khamir wine yang melepaskan zat-zat
tersebut karena terjadi hidrolisis pada sel-sel khamir. Kelima, konsentrasi tannin. Tannin dan
gelatin yang ditambahkan untuk klarifikasi dapat mengurangi jumlah mikroba, tetapi
umummya dosis yang ditambahkan kurang mencukupi untuk menghambat pertumbuhan
mikroba.
Keenam, jumlah belerang dioksida yang terdapat. Untuk mencegah kerusakan
umumnya ditambahkan sebanyak 75 sampai 200 ppm. Efektivitas belerang oksida ini
tergantung pada jenis mikroba tersebut. Suhu penyimpanan. Kerusakan umumnya sangat
cepat pada suhu 200°C sampai 35°C. Kerusakan akan menurun dengan turunnya suhu
penyimpanan. Ketujuh, tersedianya udara. Dengan tidak adanya udara mencegah
pertumbuhan mikroba yang bersifat aerob, misalnya kapang, dan Acetobacter tetapi bakteri
asam laktat dengan baik dalam keadaan anaerob. Cairan buah anggur dapat merupakan tempat
pertumbuhan mikroba. Cairan buah anggur terasa manis mengandung 18 sampai 24 % gula,
pH antara 3 - 4, asam yang tertitrasi sebagai asam tartarat sekitar 3 - 8 gram per liter dan
mengandung belerang dioksida yang ditambahkan kedalamnya. Mikroba dalam wine sulit
hidup dari pada dalam cairan buah anggur, karena dalam wine terdapat alkohol (kadar alkohol
dalam wine 7 - 20 % v/v).
Mikroba yang terdapat dalam cairan buah anggur adalah khamir, bakteri asam asetat
dan laktat. Sedangkan kapang terutama hanya terdapat pada cairan buah anggur. Banyak
mikroba dapat tumbuh pada lapisan lilin yang terdapat pada bagian bunga anggur dan
mikroba ini akan terseleksi secara alami, ada yang dapat hidup terus atau akan mengalami
kematian. Beberapa macam mikroba dapat merusak anggur (wine) yang sedang dalam proses
fermentasi seperti misalnya Bacillus pembentuk spora. Khamir liar terdapat pada buah anggur
dan banyak juga terdapat pada tanah-tanah pekarangan/perkebunan anggur dan dengan
adanya bantuan lalat Drosophylla khamir dapat pindah ke buah anggur. Di antara khamir ini
9

adalah Saccharomyces yang mampu dapat tumbuh dalam sari buah anggur dan mampu
mengubah gula menjadi alkohol. Bahkan diantaranya dapat hidup sampai pada kadar alkohol
18 %. Bakteri yang terdapat sangat terbatas dan umumnya terdapat dua kelompok bakteri 1.
Bakteri asam laktat, diantaranya yang masuk dalam bakteri pembentuk asam laktat adalah
Lactobacillus (berbentuk batang panjang), Leuconostoc (batang pendek) dan bakteri
Pediococcus (bebentuk bulat). 2. Bakteri asam asetat atau Acetobacter terutama membentuk
asam asetat dan etil asetat Jadi dapat dikatakan relatif sedikit terdapat genus-genus mikroba
yang tumbuh pada buah anggur dan pada wine.
10

BAB 3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Praktikum ini dilakukan mulai tanggal 10-18 Oktober, di Laboratorium Mikrobiologi,
Departement Biologi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

3.2 Prosedur Penelitian

3.2.1 Pengamatan S. cerevisiae


Pengamatan Saccharomyces cerevisiae menggunakan mikroskop cahaya ntuk
mengetahui bentuk sel Saccharomyces cerevisiae , maka dilakukan pembuatan preparat basah
Saccharomyces cerevisiae pembentuk flok (Cappuccino dan Sherman, 2005). Pembuatan
preparat basah dilakukan dengan cara mengambil 1 ose inokulum Saccharomyces cerevisiae
dari media agar kemudian diletakkan dalam gelas preparat yang telah ditambahkan 1 tetes
aquades. Setelah itu gelas preparat ditutup dengan kaca penutup dan diamati di bawah
mikroskop dengan perbesaran 400 kali dan 1000 kali.
3.2.2 Pola Pertumbuhan S. cerevisiae
Metode sebagimana telah dilakukan oleh Cappuccino dan Sherman (2005). Untuk
mengetahui pola pertumbuhan S. cerevisiae kultur ditumbuhkan pada medium PDB (glukosa
20 g/L, yeast extract 10 g/L, pepton 20 g/L), kemudian diamati optical density (OD)
menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang (λ) 660 nm setiap1 jam selama 24
jam. Nilai OD menyatakan dengan jumlah sel yg tumbuh dalam medium PDB.

3.3 Pembuatan Wine


3.3.1 Persiapan Buah Anggur
Buah anggur yang akan dijadikan wine harus tetap dalam keadaan baik begitu sampai di
pabrik pembuatan wine, buah tersebut dalam keadaan segar, kulit buah tidak lecet atau
mengalami kerusakan. Buah yang dipetik diharapkan secepat mungkin tiba di pabrik. Apabila
pemetikan dilakukan secara mekanik umumnya dihancurkan dan ditambahkan belerang
oksida. Must kemudian diangkut ke pabrik dalam tangki tertutup agar terlindung terhadap
udara. Apabila buah anggur tersebut dipetik agak keras dan walaupun penanganannya dalam
waktu yang singkat kemungkinan akan terkontaminasi oleh mikroba. Buah anggur dijaga
dengan baik terutama dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kehilangan cairan buah. Buah
yang pecah mengakibatkan akan terjadi browning yang disebabkan oleh aktivitas enzim yang
terdapat di dalam cairan buah tersebut.
3.3.2 Pemotongan dan Pemecahan
Pengolahan buah anggur tesebut hendaknya secepat mungkin dilakukan begitu buah
tersebut sampai di pabrik pengolahan. Tahap permulaan biasanya dilakukan menghilangkan
tangkai-tangkainya dan kemudian dilakukan pemecahan bulir -bulir buah anggur tesebut.
Umumnya kedua proses ini dikerjakan dalam sebuah alat pemecah dan pemotong (crusher -
stemmer). Pada tangkai buah mengandung tannin memberikan rasa sepet (astringent), terasa
pahit, dan pada tangkai juga mengandung relatif abu tinggi ( mineral) dan asam yang tidak
dikehendaki dalam wine yang dibuat. Pemompaan anggur akan jauh lebih cepat apabila tidak
terdapat tangkai buah.
11

3.3.3 Pengepresan
Setelah tangkai buah anggur dihilangkan dan dihancurkan dan setelah penambahan
belerang dioksida ke dalam cairan buah (must), siap dilakukan pengolahan selanjutnya.
Apabila buah anggur putih yang akan dijadikan wine umumnya dilakukan pemisahan cairan
must atau cairan buah dari bahan-bahan padatnya (kulit, biji, dan bagian-bagian pulp) disebut
pomace. Apabila wine merah yang dihasilkan dan pemisahan cairan (wine) dari bahan
padatnya terjadi selama proses fermentasi dengan menggunakan peralatan yang sama. Cairan
buah (must) dapat disimpan dalam sebuah tangki yang besar dan dapat ditambahkan enzim
pemecah pektin untuk memecahkan jaringan-jaringan yang terdapat di dalamnya. Cairan
bebas ini dapat dikeluarkan dari bagian bawah tangki. Cairan buah yang diperoleh dengan
cara ini disebut free -run. lawannya disebut press-run. Umumnya diperoleh 60 sampai 70
persen cairan free run. Apabila cara ini tidak digunakan umumnya 41 dilakukan
mengumpulkan bagian free run yang diperoleh tanpa pengepresan atau dengan pengepresan
ringan dan kemudian digabungkan menjadi satu dengan bagian berikutnya yang dipres. Wine
yang dihasilkan dari hasil pengepresan mutunya lebih rendah karena mengandung tannin
tinggi.
3.3.4 Fermentasi
Fermentasi dilakukan dalam tangki. Tangki diisi tiga perempatnya, karena pada
permukaan cairan buah yang mengalami fermentasi terjadi buih akibat terbentuknya CO2 dan
terjadi pengembangan volume. Fermentasi hendaknya berlangsung dengan perlahanlahan
tetapi setelah dua belas sampai dua puluh empat jam fermentasi berlangsung dengan cepat.
Suhu awal lebih rendah pada fermentasi awal dan berlangsung lebih lambat. Karena pelepasan
panas pada waktu terjadinya proses fermentasi suhu naik, laju fermentasi meningkat. Apabila
fermentasi dilakukan di tempat yang sejuk, hilangnya panas dari dalam wadah mungkin cukup
umtuk mencegah naiknya suhu berlebihan pada fermentor. Pada umumnya kenaikan suhu
hendaknya dapat diatur. Menurut Frazier (1967) diperlukan sekitar 2 sampai 5 persen strain S.
cerevisiae yang dimasukan ke dalam cairan buah (must) untuk terjadinya fermentasi.
Untuk memperoleh pigmen merah dapat diekstrak dari kulit buah dengan pemanasan
dan kemudian ditambahkan kembali ke dalam cairan buah untuk memperoleh anggur merah.
Pencampuran ini dilakukan tidak kontinyu, sesuai dengan fermentasi alkohol yang
memerlukan keadaan anaerob. Suhu optimal dalam kisaran antara (23,90°C. - 26,70°C.) perlu
dipertahankan selama proses fermentasi untuk membuat anggur merah dan lama fermentasi 3
sampai 5 hari. Untuk membuat anggur putih memerlukan waktu fermentasi 7 sampai 14 hari
pada suhu 10 sampai 21,10 °C. Suhu yang terlalu tinggi menghambat perkembangan khamir
dan memungkinkan pertumbuhan mikroba lain misalnya bakteri lactobacilli yang dapat
menimbulkan kerusakan. Sedangkan suhu yang terlalu rendah perkembangan khamir wine
akan lambat sehingga memungkinkan khamir liar, bakteri asam laktat, dan mikroba-mikroba
yang lain tumbuh. Selama proses fermentasi keluar panas dan erat kaitannya dengan suhu
atmosfir sehingga diperlukan adanya pendingin.
12

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Saccharomyces cerevisiae

Gambar 1. S. cerevisiae dibawah mikroskop cahaya perbesaran 100x

Gambar 2. S. cerevisiae dibawah mikroskop cahaya (a) Perbesaran 400x (b) Perbesaran
100x (Purwodadi,2006).

Gambar 3. Pengamatan Saccharomyces cerevisiae pembentuk flok menggunakan


mikroskop magnetik dengan perbesarn 50x (Purwadi, 2006)
13

Berdasarkan praktikum ini, S. cerevisiae yang ditumbuhkan pada media PDB (Potate
Dextrose Broth) kemudian divorteks untuk mencampur sel dalam medium, sel terbukti tetap
membentuk flok (gumpalan sel) yang melayang dalam medium dan dapat mengendap di dasar
medium dalam waktu tujuh menit. Menurut Kida dkk. (1991) flokulasi yeast didefinisikan
sebagai agregasi yeast sel secara aseksual, reversible, dan tergantung pada kalsium yang
membentuk flok dimana terdiri dari sejumlah besar sel yang dengan cepat dapat mengendap
pada medium pertumbuhan cair
Berdasarkan Gambar 2, S. cerevisiae membentuk kumpulan sel yang berdekatan antara
satu dengan sel yang lain. Hal ini dikarenakan adanya flokulin yang melekat pada dinding sel
glikoprotein akan berikatan dengan α-manan karbohidrat dari sel yang lain (Teinissen dan
Steensma, 1995). Miki dkk (1982), menambahkan adanya ion Ca2+ yang berperan sebagi
kofaktor dalam mengaktifkan permukaan protein sehingga meningkatkan kemampuan lektin
untuk berikatan dengan α-manan karbohidrat. Oleh karena itu, penampakan Saccharomyces
cerevisiae pembentuk flok bila dilihat melalui mikroskop magnetik dalam bentuk tiga dimensi
adalah seperti pada Gambar 3.

Gambar 2. Koloni Yeast S. cerevisiae


Berdasarkan Gambar 4. Karakteristik S. cerevisiae ciri-ciri berwarna putih, menonjol,
berbentuk kokus, dan permukannya yang mengkilap, halus, serta licin dengan ukuran sekitar
1-5μm atau 20-25μm dengan lebar sekitar 1-10μm (Talaro dkk, 2012).
14

4.2 Pola Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae

Gambar 5. Nilai OD Saccharomyces cerevisiae Selama 9 Jam.


Pengamatan terhadap pola pertumbuhan S. cerevisiae bertujuan untuk mengetahui
terjadinya fase awal stasioner dimana jumlah sel paling maksimum. Pada fase ini, S.
cerevisiae digunakan sebagai kultur starter dalam fermentasi bioetanol karena dapat
mempersingkat fase adaptasi mikroba pada medium fermentasi sehingga dapat mempercepat
terjadinya proses fermentasi etanol. Pola pertumbuhan S. cerevisiae dapat dilihat pada
Gambar 5.
Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa S. cerevisiae mengalami fase lag pada jam
ke-0 sampai jam ke-1, kemudian mengalami fase log pada jam ke-1 sampai jam ke-6 dimana
sel tumbuh sangat cepat dan jumlah sel bertambah mengikuti kurva logaritmik. Pada jam ke-6
hingga ke-9 S. cerevisiae mengalami fase stasioner dimana jumlah sel relatif tetap karena
terbatasnya jumlah substrat sehingga sel hidup sama dengan sel yang mati. Menurut
Khongsey dkk. (2010) konsentrasi awal sel tertinggi adalah pada saat awal fase stasioner.
Oleh karena itu, pada penelitian ini kultur starter yang digunakan untuk fermentasi etanol
adalah S. cerevisiae yang berumur 6 jam yaitu berdasarkan hasil kurva pertumbuhan dimana
konsentrasi sel dianggap paling maksimal serta fase adaptasi sel terhadap medium fermentasi
selanjutnya dapat dipercepat sehingga proses fermentasi berjalan lebih cepat. Hal ini juga
didukung oleh penelitian Puspita (2020), yang menyatakan fase-fase pertmbuhan yeast ini
diperlukan untuk menjadi acuan dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan pemanfaatan
yeast untuk produksi alkohol atau nantinya digunakan sebagai single cell protein (SCP) dan
produksi biomassa sebagai kultur. Yeast yang digunakan sebagai prekultur untuk produksi
etanol atau kultur akan diambil pada fase eksponensial, yakni saat terjadi puncak
pertumbuhan maksimal. Dengan demikian akan diperoleh biomassa dalam jumlah yang
banyak. Pada produksi single cell protein akan dipanen saat yeast mengalami pertumbuhan
pada fase stasioner, dimana pertumbuhan sudah berhenti. Fase kematian S. cerevisiae tidak
teramati pada kurva karena pengukuran sel menggunakan OD dimana sel yang terbaca
merupakan total sel yang hidup dan mati.
15

BAB V KESIMPULAN

Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa isolasi yeast dapat diperoleh
dari minuman anggur merah. Hasil identifikasi yeast yang disolasi adalah Saccharomyces sp.
Fase pertumbuhan pada isolat; lag (0– 1 jam), eksponensial (1 – 6 jam), dan stasioner (6 – 9
jam). Kultur starter yang digunakan untuk fermentasi etanol adalah S. cerevisiae yang
berumur 6 jam dengan nilai OD 0.963, konsentrasi sel dianggap paling maksimal serta fase
adaptasi sel terhadap medium fermentasi selanjutnya dapat dipercepat sehingga proses
fermentasi berjalan lebih cepat.
16

DAFTAR PUSTAKA

Anjarwati DU dan Dharmawan AB. (2010). Identifikasi Vankomisin Resisten


Staphylococcus aureus (VRSA) Pada Membran Stetoskop Di Rumah Sakit Margono
Soekarjo Purwokerto. Mandala of Health,4(2) 90-91.
Afifurrahman, A., Samadin, K. H., & Aziz, S. (2014). Pola Kepekaan Bakteri Staphylococcus
aureus terhadap Antibiotik Vankomisin di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang. Majalah Kedokteran Sriwijaya, 46(4), 266-270.
Akihary, C. V., & Kolondam, B. J. (2020). Pemanfaatan gen 16s rRNA sebagai perangkat
identifikasi bakteri untuk penelitian-penelitian di Indonesia. Pharmacon, 9(1), 16-22.
Cetinkaya, Y., Falk, P., & Mayhall, C. G. (2000). Vancomycin-resistant enterococci.Clinical
microbiology reviews, 13(4) 686-707.
Clarridge III, J. E. (2004). Impact of 16S rRNA gene sequence analysis for identification of
bacteria on clinical microbiology and infectious diseases. Clinical microbiology
reviews, 17(4), 840-862.
Claesson, M.J., Cusack, S., O’Sullivan, O., Greene-Diniz, R., de Weerd, H., Flannery, E. et al.
(2011). Composition, variability, and temporal stability of the intestinal microbiota of
the elderly. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. (Supplement 1), 4586–4591
doi:10.1073/pnas.1000097107.
Dewa Gede Agung Widyadnyana, I Dewa Made Sukrama, dan I Wayan Suardana. (2015).
Identifikasi Bakteri Asam Laktat Isolat 9A dari Kolon Sapi Bali sebagai Probiotik
melalui Analisis Gen 16S rRNA. JS, 33 (2) 228-233.
Dey, P. (2018). Sanger Sequencing and Next-Generation Gene Sequencing: Basic Principles
and Applications in Pathology. In Basic and Advanced Laboratory Techniques in
Histopathology and Cytology (pp. 227-231). Springer, Singapore.
Farida H, Severin JA, Gasem MH, et al. Nasopharyngeal carriage of Streptococcus
pneumonia in pneumonia-prone age groups in Semarang, Java Island, Indonesia. PLoS
One, (4)1
Gauthier, Michel G. (2008). Simulation of polymer translocation through small channels: A
molecular dynamics study and a new Monte Carlo approach. Diss. University of Ottawa
(Canada).
Gill, S.R., Pop, M., DeBoy, R.T., Eckburg, P.B., Turnbaugh, P.J., Samuel, B.S. et al. (2006).
Metagenomic analysis of the human distal gut microbiome. Science, 1355–1359
doi:10.1126/science.1124234
Hiramatsu K, Hanaki H, Ino T, et al. Methicillinresistant Staphylococcus aureus clinical strain
with reduced vancomycin susceptibility. J Antimicrob Chemother 1997 (In press).
Harley, J.P. and Prescott, L.M. (2002) Laboratory Exercises in Microbiology. 5th Edition,
The McGraw-Hill Companies.
17

Hiramatsu K, Hanaki H, Ino T, et al. Methicillinresistant Staphylococcus aureus clinical strain


with reduced vancomycin susceptibility. J Antimicrob Chemother 1997 (In press).
Hugon, P., Dufour, J.-C., Colson, P., Fournier, P.-E., Sallah, K., Raoult, D. (2015). A
comprehensive repertoire of prokaryotic species identified in human beings. Lancet
Infect. Dis. 15, 1211–1219 doi:10.1016/S1473-3099(15)00293-5
Jakobsson, H.E., Jernberg, C., Andersson, A.F., Sjölund-Karlsson, M., Jansson, J.K.,
Engstrand, L. et al. (2010). Short-term antibiotic treatment has differing long-term
impacts on the human throat and gut microbiome. PLoS ONE 5, 6 (21)
doi:10.1371/journal.pone.0009836
Jernberg, C., Löfmark, S., Edlund, C. and Jansson, J.K. (2007) Long-term ecological impacts
of antibiotic administration on the human intestinal microbiota. ISME J, 3(1) 56–66
doi:10.1038/ismej.2007.3
Koenig, J.E., Spor, A., Scalfone, N., Fricker, A.D., Stombaugh, J., Knight, R. et al. (2011).
Succession of microbial consortia in the developing infant gut microbiome. Proc. Natl.
Acad. Sci. U.S.A., 108(Suppl1) 4578–4585 doi:10.1073/pnas.1000081107
Leclercq R, Dutka-Malen S, Duval J, Courvalin P. (2005). Gen resistensi vankomisin vanC
khusus untuk Enterokokus gallinarum. Kemoterapi Agen Antimikroba 1992; 36(2) 8- 9.
Mei, H., Wang, J., Che, H., Wang, R., & Cai, Y. (2019). The clinical efficacy and safety of
vancomycin loading dose: A systematic review and meta-analysis. Medicine, 98(43).
McNamara, D. R., & Steckelberg, J. M. (2005). Vancomycin. JAAOS-Journal of the
American Academy of Orthopaedic Surgeons, 13(2) 89-92.
Napitupulu, H., I. Rumengan., S.Wulur., E.Ginting., J. Rimper., dan Toloh, B. (2019).
Bacillus sp. sebagai Agensia Pengurai dalam Pemeliharaan Brachionus rotundiformis
yang menggunakan Ikan Mentah sebagai Sumber Nutrisi. Jurnal Ilmiah Platax, 7(1) 58-
169.
Navarro F, Courvalin P. (1994) Analisis pengkodean genD-Alanin-d-enzim terkait ligase
alanin dalam Enterococcus casseliflavus dan Enterococcus flavescens. Kemoterapi
Agen Antimikroba, 38(1) 788–93
Neish, A.S. (2009). Microbes in gastrointestinal health and disease. Gastroenterology, 36(12)
65–80 doi:10.1053/j.gastro.2008.10.080
Parathon, H., Kuntaman, K., Widiastoety, T. H., Muliawan, B. T., Karuniawati, A., Qibtiyah,
M.,& Vong, S. (2017). Progress towards antimicrobial resistance containment and
control in Indonesia. bmj, 358.
Raza, T., Ullah, S. R., Mehmood, K., & Andleeb, S. (2018). Vancomycin resistant
Enterococci: A brief review. J Pak Med Assoc, 68(5) 768-772.
18

Anda mungkin juga menyukai