Anda di halaman 1dari 5

Ayyuhal mukminun rahimakumullah

Pada kesempatan Jumat kali ini, khatib senantiasa tak lupa dan tak bosan-bosannya untuk mengajak
kepada para jamaah untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. Wasiat dalam
khutbah ini merupakan sebuah kewajiban bagi khatib, karena memang menjadi salah satu rukun dalam
khutbah Jumat. Jika khatib tidak memberi wasiat atau ajakan untuk bertakwa, maka hilanglah salah satu
rukun khutbah Jumat sehingga konsekuensi dari hal tersebut adalah tidak sahnya ibadah Jumat yang
dilakukan.

Selain sebagai salah satu rukun khutbah, ketakwaan juga memiliki peranan sangat vital dalam menjaga
diri kita untuk tetap berada pada jalur atau jalan benar yang telah ditentukan oleh Allah. Ketakwaan
akan mengarahkan kita senantiasa menapaki petunjuk Allah dengan mengerjakan segala perintah-Nya
dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan ketakwaan, kita akan memiliki bekal yang kuat dalam
mengarungi kehidupan dan Insyaallah akan menjadi hamba Allah yang disayangi dan dinaungi rahmat
serta ridha-Nya. Jika kita menjadi hamba yang disayang, pasti Allah akan terus menganugerahkan
nikmat dan rezeki sebagai modal kehidupan di dunia.

Ayyuhal mukminun rahimakumullah,

Dalam setiap tarikan nafas kita, sudah menjadi keniscayaan bagi kita untuk selalu menyadari bahwa
semua nikmat yang diterima dalam hidup ini merupakan anugerah dari Allah swt. Dengan kesadaran
ini, maka rasa syukur akan terus terpatri dalam diri sehingga fasilitas-fasilitas nikmat dan rezeki ini
akan bisa digunakan untuk mendukung kelancaran misi utama diciptakannya kita ke dunia ini. Lalu apa
misi utama kita berada di dunia ini? Allah telah menegaskan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah
atau menyembah Allah swt. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Ad-Dzariyat ayat 56:

Artinya: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”

Dengan menyadari misi utama kita ini, maka sudah seharusnya, tidak boleh sedikitpun terbesit dalam
hati bahwa ibadah yang harus kita lakukan merupakan sebuah beban. Jika ibadah yang kita lakukan
dirasa sebagai beban, maka sudah bisa dipastikan akan ada perasaan berat dan enggan untuk beribadah.
Kita perlu menyadari bahwa ibadah yang kita lakukan ini merupakan kebutuhan bagi kita untuk
memenuhi perintah Allah swt. Jika kita menjadikan amaliah ibadah kita sebagai sebuah kebutuhan dan
diniati dengan benar, maka tidak akan ada perasaan berat dalam hati. Semua akan terasa ringan
dilakukan. Lebih dari itu, semua ibadah yang kita lakukan dengan niat yang benar akan terasa nikmat
karena bisa menjadi media untuk menyambungkan frekuensi diri dengan Allah swt.

Ayyuhal mukminun rahimakumullah

Niat menjadi salah satu kunci utama dalam mewujudkan kenikmatan dalam beramal dan beribadah.
Niat menjadi kunci dalam menentukan kualitas setiap aktivitas dan juga bisa menjadi sumber
konsistensi atau keistiqamahan kita dalam menjalankannya. Semua ibadah juga akan dibalas sesuai
dengan apa yang diniatkan sebagaimana ditegaskan Rasulullah saw dalam haditsnya:

Artinya: “Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai
dengan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan atau
karena perempuan yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tujukan.” (HR. al-Bukhari
Muslim)

Niat juga akan bisa menentukan nilai dari ibadah yang kita lakukan. Niat bisa diibaratkan seperti angka
1 (satu) di depan angka 0 (nol). Semua angka 0 akan tidak memiliki nilai walaupun jumlahnya banyak.
Namun ketika di depannya diletakkan angka 1 maka angka 0 akan memiliki nilai. Semakin banyak nol
di belakang angka satu, maka akan semakin besar nilai yang dimiliki oleh angka 0 itu. Begitu juga
ibadah kita. Semua akan tidak ada nilainya ketika ibadah tidak diniati dengan benar. Semakin banyak
kita beribadah dengan niatan yang benar maka semakin tinggi nilai kualitas dan kuantitas ibadah yang
kita lakukan. Dengan tingginya nilai ibadah, maka peluang untuk diterima oleh Allah sangatlah tinggi.

Ayyuhal mukminun rahimakumullah

Selain menjadi pembeda antara amal yang bernilai ibadah dan amal yang tidak bernilai ibadah, dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, Rasulullah saw juga menegaskan pentingnya posisi
niat sampai dengan melebihi pentingnya perbuatan yang dilakukan itu sendiri:

Artinya: “Niat seorang mukmin lebih utama dari pada amalnya.”

Kemudian hadits ini juga diperkuat oleh hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim:
Artinya: “Sesungguhnya Allah mencatat berbagai kejelekan dan kebaikan , lalu Dia menjelaskannya.
Barangsiapa yang bertekad untuk melakukan kebaikan lantas tidak bisa terlaksana, maka Allah catat
baginya satu kebaikan yang sempurna. Jika ia bertekad lantas bisa ia penuhi dengan melakukannya,
maka Allah mencatat baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipatnya sampai lipatan yang banyak.”

Ayyuhal mukminun rahimakumullah

Mari, melalui momentum Jumat kali ini, kuatkan tekad kita kembali untuk senantiasa menata niat
dengan baik dalam menjalankan segala aktivitas kita di dunia. Banyak amal perbuatan yang tergolong
amal keduniaan, tapi karena didasari niat yang baik maka tergolong menjadi amal akhirat. Dan
sebaliknya, banyak amal perbuatan tergolong amal akhirat, tapi ternyata menjadi amal dunia karena
didasari niat yang buruk.

Semoga kita diberikan kekuatan oleh Allah swt untuk dapat senantiasa memiliki niat baik khususnya
dalam menjalankan ibadah yang menjadi misi dan tugas utama kita di dunia ini. Amin

Ayyuhal mukminun rahimakumullah

Di antara contoh profil dalam keikhlasan bisa kita jumpai dalam perjalanan hidup Rasul dan Nabi kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seluruh kehidupan Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah ikhlas mengharap perjumpaan dengan Allah Jalla wa ‘ala. Ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melaksanakan haji wada’, saat beliau di miqat Dzi Hulaifah, beliau mengenakan izar
dan rida yang putih dan bersih lalu menunaikan haji qiran. Di tempat itu beliau mengatakan,

“Ya Allah, (hamba mohon) haji yang tidak mengandung riya’ dan sum’ah.”
Demikianlah doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang demikian sangat layak dicontoh oleh
seorang muslim dalam setiap amalannya. Hendaknya ia sertakan saat ia belajar menimba ilmu, shalat,
puasa, haji, dan amalan ketaatan yang lainnya, doa untuk memperbaiki niat. Seorang muslim hendaknya
senantiasa memperbaiki niatnya. Karena niat senantiasa berbolak-balik dan berubah.

Hal-hal yang dapat merubah niat seseorang sangatlah banyak. Karena itu sangat dibutuhkan
kesungguhan dalam menetapkannya. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69).

Oleh karena itu, bersungguh-sungguh memperbaiki niat agar ikhlas karena Allah diperintahkan
sepanjang hidup kita.

Sesuatu yang menyedihkan, apa yang kita lihat di tengah masyarakat kita saat ini, terutama di saat-saat
umrah dan haji. Banyak para jamaah dalam beberapa kesempatan mereka memfoto diri mereka sendiri
sedangn berdzikir, berdoa mengangkat kedua tangannya, berpose dalam keadaan khusyuk. Kemudian
mereka sebarkan foto tersebut. Lalu dimana letak keikhlasan?! Mana niat yang baik?! Mana harapan
yang hanya menginginkan perjumpaan dengan Allah?! Kalau ia berfoto sengaja berpose demikian
dengan alas an untuk kenang-kenangan agar dilihat si fulan dan si fulan, tentu saja ini adalah bentuk
berharap pujian manusia.

Dengan demikian, ketidak-tahuan seseorang akan hakikat ikhlas dan lemahnya niat mereka untuk
berharap pertemuan dengan Allah sangatlah tampak dan menyebar di masyarakat. Oleh karena itu,
sangat perlu kita membaca berulang-ulang hadits

“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa
yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan atau karena
perempuan yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tujukan.

Anda mungkin juga menyukai