Anda di halaman 1dari 15

LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK (LKPD)

Satuan Pendidikan : SMA Negeri 1 Sukoharjo


Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : X/Gasal
Materi Pokok : Teks Hikayat (Karakteristik Hikayat
dan
Karakterisasi dan Plot pada Hikayat
dan
Cerpen)

A. IDENTITAS
Kelas : _________________________________
Kelompok : _________________________________
Nama Anggota/Presensi : 1. _______________________________
2. _______________________________
3. _______________________________
4. _______________________________
5. _______________________________
6. _______________________________
7. _______________________________
8. _______________________________
9. _______________________________

B. CAPAIAN KOMPETENSI DAN INDIKATOR

Capaian Kompetensi Indikator Pencapaian Kompetensi


3.7 Mengidentifikasi nilai-nilai 3.3.1 Menganalisis karakteristik hikayat
dan isi yang terkandung 3.3.2 Membandingkan karakterisasi dan plot
dalam cerita rakyat (hikayat), pada hikayat dan cerpen
baik lisan maupun tulis
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Melalui diskusi kelompok dan pengamatan hikayat, peserta didik dapat menganalisis
karakteristik hikayat dengan kritis dan bertanggung jawab
2. Melalui diskusi kelompok dan pengamatan hikayat, peserta didik dapat
membandingkan karakterisasi dan plot pada hikayat dan cerpen dengan kritis dan
bertanggung jawab

D. PETUNJUK PENGGUNAAN
1. Berdoalah sebelum mengerjakan!
2. Tulislah nama kelas, kelompok, dan anggota!
3. Pahami kompetensi dasar, indikator, dan tujuan pembelajaran yang harus dicapai!
4. Baca dan cermati setiap uraian perintah dalam LKPD sebelum menjawab pertanyaan-
pertanyaan dalam LKPD!
5. Diskusikan setiap pertanyaan bersama anggota kelompok dengan menerapkan tiga
dimensi profil pelajar Pancasila—bergotong royong, bernalar kritis, dan kreatif!
6. Tulislah hasil diskusi ke dalam lembar jawaban!
7. Penulisan tidak boleh disingkat, gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
sesuai kaidah kebahasaan!
8. Periksa kembali hasil pekerjaan dan selesaikan tugas tepat waktu!
9. Presentasikan hasil pekerjaan di depan kelas!
10. Setelah mempresentasikan hasil pekerjaan, kumpulkan LKPD untuk dinilai dan
dikoreksi!

E. URAIAN KEGIATAN
1. Bacalah hikayat dan cerpen di bawah ini, kemudian jawablah soal-soal yang
diberikan!
2. Diskusikanlah jawaban bersama anggota kelompok!
3. Catatlah hasil diskusi pada sebuah kertas folio!
4. Tulislah hasil diskusi menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai
kaidah kebahasaan!
5. Presentasikan secara lisan hasil diskusi di depan kelas!
6. Kelompok lain mencermati presentasi dan memberikan tanggapan, pertanyaan,
maupun saran!
F. LATIHAN SOAL
Bacalah hikayat berikut ini!
Hikayat Bayan Budiman
Sebermula ada saudagar di negara Ajam. Khojan Mubarok namanya, terlalu amat
kaya, akan tetapi ia tiada beranak. Tak seberapa lama setelah ia berdoa kepada Tuhan
maka saudagar Mubarok pun beranaklah istrinya seorang anak laki-laki yang diberi nama
Khojan Maimun.
Setelah umurnya Khojan Maimun lima tahun maka diserahkan oleh bapaknya
mengaji kepada banyak guru sehingga sampai umur Khojan Maimun lima belas tahun. Ia
dipinangkan dengan anak saudagar yang kaya, amat elok parasnya, namanya Bibi Zainab.
Hatta beberapa lamanya Khojan Maimun beristri itu, ia membeli seekor burung bayan
jantan. Maka beberapa di antara itu ia juga membeli seekor tiung betina, lalu dibawanya
ke rumah dan ditaruhnya hampir sangkaran bayan juga.
Pada suatu hari, Khojan Maimun tertarik akan perniagaan di laut, lalu minta
izinlah dia kepada istrinya. Sebelum ia pergi, berpesanlah ia pada istrinya itu, jika ada
barang suatu pekerjaan, mufakatlah dengan dua ekor unggas itu, hubaya-hubaya jangan
tiada, karena fitnah di dunia amat besar lagi tajam daripada senjata.
Hatta beberapa lama ditinggal suaminya, ada anak Raja Ajam berkuda lalu
melihatnya rupa Bibi Zainab yang terlalu elok. Berkencanlah mereka untuk bertemu
melalui seorang perempuan tua. Maka pada suatu malam, pamitlah Bibi Zainab kepada
burung tiung itu hendak menemui anak raja itu. Maka bernasihatlah ditentang
perbuatannya yang melanggar aturan Allah Swt. Maka marahlah istri Khojan Maimun
dan disentakkannya tiung itu dari sangkarnya dan dihempaskannya sampai mati.
Lalu Bibi Zainab pun pergi mendapatkan bayan yang sedang berpura-pura tidur.
Maka bayan pun berpura-pura terkejut dan mendengar kehendak hati Bibi Zainab pergi
mendapatkan anak raja. Maka bayan pun berpikir bila ia menjawab seperti tiung maka ia
juga akan binasa. Setelah ia sudah berpikir demikian itu maka ujarnya, “Aduhai Siti yang
baik paras, pergilah dengan segeranya mendapatkan anak raja itu. Apa pun hamba ini
haraplah tuan, jikalau jahat sekalipun pekerjaan tuan, insyaallah di atas kepala hambalah
menanggungnya. Baiklah tuan sekarang pergi, karena sudah dinanti anak raja itu. Apatah
dicari oleh segala manusia di dunia ini selain martabat, kesabaran, dan kekayaan?
Adapun akan hamba, tuan ini adalah seperti hikayat seekor unggas bayan yang dicabut
bulunya oleh tuannya seorang istri saudagar.”
Maka berkeinginanlah istri Khojan Maimun untuk mendengarkan cerita tersebut.
Maka bayan pun berceritalah kepada Bibi Zainab dengan maksud agar ia dapat
memperlalaikan perempuan itu. Hatta setiap malam, Bibi Zainab yang selalu ingin
mendapatkan anak raja itu, dan setiap berpamitan dengan bayan. Maka diberilah ia cerita-
cerita hingga sampai 24 kisah dan 24 malam. Burung tersebut bercerita, hingga
akhirnyalah Bibi Zainab pun insaf terhadap perbuatannya dan menunggu suaminya
Khojan Maimum pulang dari rantauannya.
Burung bayan tidak melarang, malah dia menyuruh Bibi Zainab meneruskan
rancangannya itu, tetapi dia berjaya menarik perhatian serta melalaikan Bibi Zainab
dengan cerita-ceritanya. Bibi Zainab terpaksa menangguh dari satu malam ke satu malam
pertemuannya dengan putera raja. Begitulah seterusnya sehingga Khojan Maimun pulang
dari pelayarannya.
Bayan yang bijak bukan sahaja dapat menyelamatkan nyawanya, tetapi juga dapat
menyekat isteri tuannya daripada menjadi isteri yang curang. Dia juga dapat menjaga
nama baik tuannya serta menyelamatkan rumah tangga tuannya.

Identifikasilah karakteristik hikayat di atas!


No Karakteristik Kutipan Teks
.
Bacalah hikayat dan cerpen di bawah ini!
Hikayat Si Miskin
Asalnya raja kayangan dan jadi demikian karena disumpahi oleh Batara Indera.
Terlantar di negeri Antah Berantah dan keduanya sangat dibenci orang. Setiap kali
mereka mengemis di pasar dan kampung, mereka dipukuli dan diusir hingga ke hutan.
Oleh yang demikian, tinggallah dua suami istri itu di hutan memakan batang kayu dan
buah-buahan.
Hatta beberapa lamanya maka istri si Miskin itu pun hamillah tiga bulan lamanya.
Maka istrinya menangis hendak makan buah mempelam yang ada di dalam taman raja
itu. Maka suaminya itu pun terketukkan hatinya tatkala ia di Keinderaan menjadi raja
tiada ia mau beranak. Maka sekarang telah mudhorot. Maka baharulah hendak beranak
seraya berkata kepada istrinya, “Ayo, hai Adinda. Tuan hendak membunuh kakandalah
rupanya ini. Tiadakah tuan tahu akan hal kita yang sudah lalu itu? Jangankan hendak
meminta barang suatu, hampir kepada kampung orang tiada boleh.”
Setelah didengar oleh istrinya kata suaminya demikian itu maka makinlah sangat
ia menangis. Maka kata suaminya, “Diamlah tuan, jangan menangis! Berilah kakanda
pergi mencaharikan tuan buah mempelam itu, jikalau dapat oleh kakanda akan buah
mempelam itu kakanda berikan pada tuan.”
Maka istrinya itu pun diamlah. Maka suaminya itu pun pergilah ke pasar
mencahari buah mempelam itu. Setelah sampai di orang berjualan buah mempelam maka
si Miskin itu pun berhentilah di sana. Hendak pun dimintanya takut ia akan dipalu orang.
Maka kata orang yang berjualan buah mempelam, “Hai miskin. Apa kehendakmu?”
Maka sahut si Miskin, “Jikalau ada belas dan kasihan serta rahim tuan akan
hamba orang miskin hamba ini minta diberikan yang sudah terbuang itu. Hamba hendak
memohonkan buah mempelam tuan yang sudah busuk itu barang sebiji sahaja tuan.”
Maka terlalu belas hati sekalian orang pasar itu yang mendengar kata si Miskin.
Seperti hancurlah rasa hatinya. Maka ada yang memberi buah mempelam, ada yang
memberikan nasi, ada yang memberikan kain baju, ada yang memberikan buah-buahan.
Maka si Miskin itu pun heranlah akan dirinya oleh sebab diberi orang pasar itu berbagai-
bagai jenis pemberian. Adapun akan dahulunya jangankan diberinya barang suatu hampir
pun tiada boleh. Habislah dilemparnya dengan kayu dan batu. Setelah sudah ia berpikir
dalam hatinya demikian itu maka ia pun kembalilah ke dalam hutan mendapatkan
istrinya.
Maka katanya, “Inilah tuan, buah mempelam dan segala buah-buahan dan makan-
makanan dan kain baju. Itupun diinjakkannyalah istrinya seraya menceriterakan hal
ihwalnya tatkala ia di pasar itu. Maka istrinya pun menangis tiada mau makan jikalau
bukan buah mempelam yang di dalam taman raja itu. “Biarlah aku mati sekali.”
Maka terlalulah sebal hati suaminya itu melihatkan akan kelakuan istrinya itu
seperti orang yang hendak mati. Rupanya tiadalah berdaya lagi. Maka suaminya itu pun
pergilah menghadap Maharaja Indera Dewa itu. Maka baginda itu pun sedang ramai
dihadap olehsegala raja-raja. Maka si Miskin datanglah. Lalu masuk ke dalam sekali.
Maka titah baginda, “Hai Miskin, apa kehendakmu?”
Maka sahut si Miskin, “Ada juga tuanku.” Lalu sujud kepalanya lalu
diletakkannya ke tanah, “Ampun Tuanku, beribu-ribu ampun tuanku. Jikalau ada
karenanya Syah Alam akan patuhlah hamba orang yang hina ini hendaklah memohonkan
buah mempelam Syah Alam yang sudah gugur ke bumi itu barangkali Tuanku.”
Maka titah baginda, “Hendak engkau buatkan apa buah mempelam itu?”
Maka sembah si Miskin, “Hendak dimakan, Tuanku.”
Maka titah baginda, “Ambilkanlah barang setangkai berikan kepada si Miskin
ini.”
Maka diambilkan oranglah diberikan kepada si Miskin itu. Maka diambillah oleh
si Miskin itu seraya menyembah kepada baginda itu. Lalu keluar ia berjalan kembali.
Setelah itu maka baginda pun berangkatlah masuk ke dalam istananya. Maka segala raja-
raja dan menteri hulubalang rakyat sekalian itu pun masing-masing pulang ke rumahnya.
Maka si Miskin pun sampailah kepada tempatnya. Setelah dilihat oleh istrinya akan
suaminya datang itu membawa buah mempelam setangkai. Maka ia tertawa-tawa. Seraya
disambutnya lalu dimakannya.
Maka adalah antaranya tiga bulan lamanya. Maka ia pun menangis pula hendak
makan nangka yang di dalam taman raja itu juga. Demikian juga si Miskin mendapat
nangka di kebun raja itu untuk istrinya yang mengidam itu.
Adapun selama istrinya si Miskin hamil maka banyaklah makan-makanan dan
kain baju dan beras padi dan segala perkakas-perkakas itu diberi orang kepadanya.
Dan pada ketika yang baik dan saat yang sempurna, pada malam empat belas hari
bulan maka bulan itu pun sedang terang-tumerang maka pada ketika itu istri si Miskin itu
pun beranaklah seorang anak lelaki terlalu amat baik parasnya dan elok rupanya. Anak itu
dinamakan Marakarmah, artinya anak di dalam kesukaran.
Hatta maka dengan takdir Allah Swt. menganugerahi kepada hamba-Nya. Maka si
Miskin pun menggalilah tanah hendak berbuat tempatnya tiga beranak itu. Maka
digalinyalah tanah itu hendak mendirikan tiang teratak itu. Maka tergalilah kepada
sebuah telaju yang besar berisi emas terlalu banyak. Maka istrinya pun datanglah melihat
akan emas itu. Seraya berkata kepada suaminya, “Adapun akan emas ini sampai kepada
anak cucu kita sekalipun tiada habis dibuat belanja.”
Ia menjadi kaya dan menempah barang-barang keperluannya—kendi, lampit,
utar-utar, pelana kuda, keris, dan sebagainya. Sekembalinya dari menempah barang-
barang itu dia mandi berlimau, menimang anaknya dan berseru, “Jikalau sungguh-
sungguh anak dewa-dewa hendak menerangkan muka ayahanda ini, jadiIah negeri di
dalam hutan ini sebuah negeri yang lengkap dengan kota, parit dan istananya serta
dengan menteri, hulubalang, rakyat sekalian dan segala raja-raja di bawah baginda,
betapa adat segala raja-raja yang besar!”
Kabul permintaan itu dan si Miskin menjadi raja bertukar nama Maharaja Indera
Angkasa dan istrinya bertukar nama Ratna Dewi dan negeri itu dinamakan Puspa Sari.
Identifikasilah karakteristik tokoh hikayat tersebut!
Nama Tokoh Karakteristik Tokoh
Watak Tokoh Masalah yang Cara Tokoh
Dihadapi Tokoh Menyelesaikan
Masalah

Uraikan alur cerita dalam hikayat tersebut dengan bantuan bagan berikut!

Dari Tungku Perapian, Ibu dan Aku Melipat Kenangan


Farizal Sikumbang
Ibu duduk menjongkok di depan tungku perapian yang disusun dari batu bata
usang, sedikit berlumut hijau dan kehitaman. Ibu sedang memasak nasi di atas tungku itu
dengan menggunakan kayu dan daun kelapa yang sudah mengering. Periuk tua yang
bagian bawahnya sudah sangat menghitam dan sedikit peot itu mengepulkan asap putih
kehitaman. Sesekali penutup periuk nasi terlihat melompat-lompat ketika air mendidih.
Dari tangga rumah kayu yang turun ke dapur ini, aku juga melihat dua mata Ibu
berair. Lalu perlahan menetes ke pipi. Itu pasti bukan karena asap dari tungku yang
membuat mata Ibu perih. Tetapi sesungguhnya, karena Ibu memikirkan Abang Usman.
Jadi, ini tidak ada hubungannya, antara berairnya mata Ibu dengan asap dari tungku
perapian itu.
Asap dari tungku perapian itu sesekali juga berlari ke wajahku. Membuatku
terbatuk dan sedikit sesak napas. Juga membuat bingkai foto Ayah yang terpajang tepat di
atas dinding puncak tangga tempat aku duduk sesekali seperti diselimuti kabut. Kabut
yang berputar-putar. Dan bila begitu maka aku akan rindu sosok ayah.
Ayah kami meninggal puluhan tahun silam. Pada masa perang antara gerilyawan
pemberontak dengan tentara pusat. Ketika itu aku masih sangat kecil. Kabarnya, Ayah
mati tertembak oleh tentara. Ayah kami dulu seorang gerilyawan. Sehabis Ayah
meninggal, Ibu bekerja menghidupi kami dari hasil pertanian dan berladang. Sawah kami
tidak terlalu luas. Hanya tiga petak. Tapi Ibu bilang cukuplah untuk kebutuhan hidup
kami saat itu.
Sekarang aku sudah duduk di bangku SMA kelas dua, dan kakak laki-lakiku yang
bernama Usman, yang usianya satu tahun lebih tua dariku, putus sekolah satu tahun yang
lalu. Entah mengapa dia malas sekali sekolah. Padahal Ibu sudah sering membujuknya,
tapi dia tetap saja bersikeras hati tidak mau lagi sekolah.
“Untuk apa sekolah, nanti jadi petani atau peladang juga. Kampung ini tak ada
gunanya ijazah. Apa pergi ke hutan perlu ijazah?” gugatnya pada Ibu suatu hari.
“Tapi pendidikan itu perlu supaya kau jangan bodoh.”
“Aku tidak bodoh, Bu. Aku sudah bisa mencari uang.”
“Tapi....”
Belum tuntas Ibu berbicara, ia sudah pergi.
Sejak putus sekolah, ia jarang pulang ke rumah. Sekali seminggu ia baru kembali
sembari membawa uang untuk Ibu. Jumlahnya lumayan besar, yang membuat Ibu tentu
senang. Tapi, setiap ia kembali pergi, Ibu merasa uang yang diberikannya seperti
menyiksa Ibu. Ibuku sebenarnya lebih senang ia setiap hari ada di rumah kami mengurus
ladang.
“Ia seperti bapakmu, keras kepala. Kemauannya tak bisa dicegah,” keluh Ibu
suatu hari.
Pada suatu hari yang lain, entah hari apa, kami baru tahu jika Abang Usman
bekerja sebagai kernet mobil pengangkut kayu di kampung seberang. Katanya, kerjanya
mengangkat kayu-kayu ke atas truk.
Bulan-bulan berikutnya tubuh Abang Usman semakin membesar. Otot-otot
lengannya tampak kekar dan bidang dadanya menonjol ke depan. Mungkin itu akibat
pekerjaanya mengangkat beban berat setiap hari. Selain itu, Abang Usman memiliki
postur tubuh yang lebih dari laki-laki seusianya. Ia juga mulai terlihat gagah meski
kulitnya semakin hitam.
***
Sekolah SMA-ku berada di kampung seberang. Jaraknya sekitar dua kilometer
dari rumahku. Murid-murid di sana berasal dari berbagai kampung dari satu kecamatan.
Di kelasku yang siswanya berjumlah dua puluh orang itu, tidak ada satu pun yang satu
kampung denganku. Mereka berasal dari kampung lain. Dan, kebetulan dari mereka
berasal dari kampung yang sama. Misalnya, Puhan, Sakti, dan Mariam, mereka bertiga
berasal dari Kampung Atek. Salim, Dika, dan Burhan berasal dari Kampung Pulau,
kemudian Johan, Sukri, dan Saidah berasal dari Kampung Lambada, tempat Abang
Usman selama ini tinggal. Dan dari mulut mereka pula, aku sering mendengar kabar yang
kurang baik tentang Abang Usman.
“Aku tidak menyangka jika kakak laki-lakinya seorang preman,” bisik Mariam
suatu pagi di dalam kelas kami.
“Aku tidak berani mengganggu adiknya itu,” seru Puhan pula.
“Kudengar abangnya suka membentak orang di hutan. Ia suka menebang kayu
milik orang. Orang-orang tidak berani karena ayahnya dulu seorang gerilyawan,” tambah
Sakti.
“Berarti, adiknya itu jajan dengan uang haram,” balas Mariam lagi.
Sejak mendapat cerita yang tidak baik tentang Abang Usman di kelas, membuatku
muram dan kurang percaya diri di sekolah. Apalagi semakin hari berita perihal Abang
Usman juga menyebar pada siswa di kelas lain.
Ibu murka padanya suatu hari setelah kuceritaan pada beliau. Dan ketika Abang
Usman pulang, beliau mencercanya.
“Aku tidak suka anakku mencari uang dengan merugikan orang lain. Kudapat
kabar kau suka membentak orang di hutan. Suka mengambil kayu dari pohon orang,”
seru Ibu.
“Aku tidak menebang pohon. Aku hanya megambil dahan-dahan kayu. Lagian, di
hutan pohon-pohon tak terurus. Bahkan, aku tak yakin jika pohon-pohon itu mereka yang
menanam. Itu hutan, Bu, orang bisa saja mengaku-ngaku miliknya,” balasnya.
“Ayahmu mati dibunuh orang karena perang. Aku juga tidak mau kau mati
dibacok orang karena kau telah menebarkan permusuhan dengan orang,” ujar Ibu dengan
wajah pucat.
“Ibu tidak usah khawatir. Badanku kekar. Tubuhku besar. Sampai hari ini tidak
ada yang berani denganku. Di pinggangku, Bu, selalu tergantung parang dari baja. Aku
juga merasa sungguh beruntung, mereka mengenal Ayah. Tampaknya Ayah orang
disegani dulunya,” jawabnya sedikit tersenyum.
Ibu memantulkan wajah pucat padaku. Ibuku juga semakin kehabisan kata-kata
berbicaranya dengannya. Tapi di akhir pembicaraan Itu, Ibu masih sempat berujar pelan,
“Ayahmu dulu memang disegani, tapi ia tidak menjahati orang kampung. Jangan kau
salah gunakan namanya,” ujar Ibu dengan bibir bergetar.
Abang Usman tidak menyahut Ibu, ia pergi dengan gegas meninggalkan rumah.
Kebencian orang kampung seberang pada Abang Usman semakin deras mengalir
di telingaku di sekolah.
“Abangnya semakin berani di kampungku. Ia mulai berani memukul orang.”
“Banyak orang yang benci pada abangnya.”
“Sssst, kudengar sudah ada yang bersekongkol untuk menghabisinya.”
Aku sungguh ketakutan jika sesuatu yang buruk menimpa Abang Usman. Dan
pada hari-hari selanjutnya, aku dan Ibu lebih sering dibalut kecemasan padanya. Ibu
sungguh tidak ingin, jika Abang Usman mengalami kejadian yang buruk. Dan selalu,
setiap ia pulang ke rumah, Ibu merasa tenang.
Suatu hari, Ibu sangat memohon pada Abang Usman. “Aku ingin ini adalah hari
terakhirmu untuk tidak lagi pergi meninggalkan rumah. Tidak usahlah kau lagi bekerja di
hutan mengumpulkan kayu,” bujuk Ibu.
“Tidak, Bu, ini kerjaku. Hanya ini yang bisa mendapatkan uang dengan mudah.
Dahan-dahan kayu masih mudah didapatkan di hutan. Satu hari bisa dapat dua truk kayu.
Abang Karim, yang memiliki truk, sekaligus sopir truk sangat senang padaku,” jawabnya.
“Kita punya sawah, itu saja sudah cukup.”
“Aku anak laki-laki, Bu.”
Seperti dahulu-dahulu, ia tetap pergi meninggalkan rumah tanpa rasa cemas dan
rasa waswas. Ia tidak pernah peduli, jika aku dan Ibu sangat mencemaskannya.
Suatu petang Ibu terjatuh di sumur belakang rumah. Meski tidak terlalu parah, tapi
jalan Ibu sedikit pincang. Lutut Ibu berdarah karena tergores oleh lantai semen yang
kasar. Untungnya, dua piring kaca yang pecah tidak melukai Ibu.
“Kejadian buruk sedang terjadi. Aku cemas pada abangmu,” kata Ibu dengan
wajah pucat.
Aku, entah mengapa tidak percaya dengan dugaan Ibu. Aku tidak percaya antara
jatuhnya Ibu di sumur dengan nasib Abang Usman.
Menjelang magrib, Ibu masih menanggung perih terkilir di pergelangan kakinya.
Aku berjanji esok pagi akan membawa Ibu ke tukang urut di kampung seberang. Namun,
niat itu terpaksa tidak dapat aku wujudkan, karena tidak lama setelah waktu salat Magrib
usai, seseorang menggedor pintu rumah kami dengan keras.
“Buka pintu, buka pintu,” katanya.
Dengan gegas dan penuh tanya di kepala aku membuka pintu rumah. Aku lalu
mendapatkan seseorang dengan wajah asing menatapku dengan kecemasan.
“Usman, abangmu, mati dikeroyok orang,” katanya.
Mendengar kabar itu lututku bergetar. Ibu beringsut menuju ke arah pintu dengan
sangat tergesa.
“Usman, dikeroyok orang?” tanya Ibu.
“Ya, Bu, Usman meninggal,” jelasnya lagi.
Ibuku setengah berteriak memanggil nama Abang Usman, namun begitu cepat
ibuku sudah terkapar dan pingsan.
Proses pemakaman Abang Usman berjalan esok paginya. Tidak banyak pelayat.
Hanya tetangga dekat. Teman-teman sekolahku pun tidak ada yang datang. Ibu menangis
tidak henti-henti di pemakaman itu di sampingku. Usai pemakaman, di sepanjang malam,
Ibu sering menyebut nama Abang Usman di rumah kami.
***
Dan hari ini, dari atas tangga kayu yang menjulur ke dapur, aku melihat Ibu
mengusap dua matanya yang berair. Aku yakin, itu bukan karena asap dari tungku
perapian. Tapi karena kematian Abang Usman satu minggu yang lalu, yang masih
menyiksa Ibu.
Setelah membaca cerpen di atas, jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut!
1. Bagaimana latar belakang tokoh memengaruhi cerita?
2. Sudut pandang apa yang digunakan penulis dalam menyampaikan cerita?
3. Bagaimana alur yang dibangun dalam cerita?

Setelah membaca dan menjawab pertanyaan dari hikayat dan cerpen di atas,
identifikasilah karakterisasi dan plot pada hikayat dan cerpen dalam tabel berikut!
Karakteristik Hikayat Cerpen
Tema
Alur
Setting Tempat
Setting Waktu
Tokoh
Sudut Pandang
Penyelesaian
Konflik
LEMBAR JAWAB

Anda mungkin juga menyukai