Anda di halaman 1dari 8

Ketoprak Klasik Gaya Yogyakarta “Ki Ageng Mangir”

Sebagai Media Pendidikan Karakter

Yohanes Kristiaji1, Sarwiji Suwandi2, dan Arif Setyawan3


1
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Yohaneskristiaji@student.uns.ac.id
2
Universitas Sebelas Maret Surakarta, sarwijiswan@staff.uns.ac.id
3
Universitas Sebelas Maret Surakarta, arifpbi2018@staff.uns.ac.id

Abstrak: Ketoprak merupakan salah satu seni pertunjukkan J aw a y ang menampilkan cerita
kehidupan masyarakat Jawa dan mengandung pesan serta nilai karakter yang sangat berguna untuk
kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter berguna untuk mengatur dan membina karakter
masyarakat khususnya para remaja. Hal tersebut dikarenakan banyaknya perilaku yang menyimpang
dan keluar dari nilai karakter luhur bangsa yang ditunjukkan oleh para remaja. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis nilai pendidikan karakter pada naskah ketoprak klasik gayaYogyakarta Ki Ageng
Mangir sebagai salah satu sarana dan media pendidikan karakter. Adapun sumber data pada penelitian
ini ad al ah n as k ah ketoprak Ki Ageng Mangir.. Setelah dilakukan analisis data dapat disimpulkan bahwa
nilai pendiidkan karakter dalam naskah ketoprak klasik gaya Yogyakarta berjudul Ki Ageng Mangir berupa
nilai karakter disiplin, cinta tanah air, tanggungjawab, jujur, dan semangat kebangsaan. Dari analisis
data tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam naskah ketoprak klasik gaya Yogyakarta berjudul Ki Ageng
Mangir terdapat refleksi mengenai nilai pendidikan karakter yang ditinjau dari dialog tokoh yang berupa
frasa, kata, dan kalimat pada naskah dan dapat digunakan sebagai salah satu sarana dan media pendidikan
karakter untuk masyarakat saat ini.

Kata kunci: naskah drama, drama tradisional, ketoprak, media pendidikan karakter

PENDAHULUAN
Naskah ketoprak dewasa ini tidak selalu menawarkan cerita mengenai sang raja atau penguasa serta
kehebatannya menaklukan wilayah jajahannya. Pada perkembangannya, naskah-naskah ketoprak
modern berkembang dengan fleksibel dan terbuka. Dari penggunaan bahasa yang lebih sederhana
dan mudah dimengerti, penggunaan gedung teater indoor,tata rias dan tata cahaya yang lebih rumit.
Hal ini berdampak positif bagi perkembangan ketoprak, karena dengan cara demikianlah ketoprak
mampu bersaing mempertahankan eksistensi tradisinya di tengah globalisasi yang makin maju.
Sejalan dengan itu, Menurut Lisbijanto (2013: 1) ketoprak ialah teater rakyat yang
menceritakan tentang kepahlawanan serta perjalanan hidup suatu keluarga kerajaan. Ketoprak
secara umum dimainkan pada malam hari dengan durasi waktu antara 3 sampai 4 jam. Kostum
yang dikenakan berupa pakaian daerah Jawa dan bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa.
Cerita ketoprak banyak menceritakan tentang kehidupan masyarakat dan lingkungan kerajaan,

84
bahkan cerita tersebut kadang kala menyinggung kekuasaan Belanda maupun Jepang yang
menjajah bumi Nusantara yang dikemas dalam sebuah naskah.
Naskah ketoprak klasik gaya Yogyakarta berjudul Ki Ageng Mangir merupakan naskah yang
dipentaskan di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta yang dikarang oleh salah Sugiman
Dwi Nurseto, yang merupakan salah satu seniman Yogyakarta yang aktif dalam melestarikan
budaya Jawa khususnya ketoprak. Naskah Ki Ageng Mangir menceritakan mengenai
perjuangan Ki Ageng Mangir yang menginginkan daerahnya menjadi wilayah mandiri dan
tidak bergantung kepada kerajaan Mataram, dengan demikian dapat di kategorikan sebagai
nilai pendidikan karakter cinta tanah air.

Pendidikan karakter memiliki peranan penting di Indonesia karena adanya tuntutan era
globlalisasi yang menghilangkan jarak dan filter atau penyaring kebudayaan serta cara hidup
yang tidak sesuai dengan karakter bangsa ini. Pendidikan karakter adalah pendidikan yang
menanamkan dan mengembangkan karakter-karakter luhur kepada anak didik, sehingga
mereka memiliki karakter luhur yang dapat diterapkan dan dipraktikkan dalam kehidupannya,
dalam alam keluarga, sebagai anggota masyarakat (Wibowo, 2012: 36). Masyarakat Jawa
sangat memperhatikan nilai etika dan karakter yang baik dalam kaitannya dengan interaksi
sosial. Masuknya budaya barat kurang sesuai dengan budaya timur penulis, terutama budaya
Jawa. Berdasarkan pernyataan tersebut perlu dibuat filter atau menyaring dan memilah
kebudayaan yang dianggap sesuai dan tidak.

Berdasarkan kasus dan permasalahan yang terjadi, penulis memiliki suatu dorongan untuk
mengkaji naskah ketoprak klasik gaya Yogyakarta berjudul Ki Ageng Mangir sebagai salah
satu sarana dan media pendidikan karakter pada masyarakat. Adapun penelitian ini dapat
menambah pengetahuan masyarakat tentang naskah ketoprak yang baik dan sarat akan
pendidikan karakter.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif kualitatif dengan metode analisis isi. Fokus dan tujuan
dalam penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan secara mendalam mengenai nilai

85
pendidikan karakter dalam naskah ketoprak klasik Gaya Yogyakarta berjudul Ki Ageng Mangir.
Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah naskah ketoprak klasik gaya
Yogyakarta yang berjudul Ki Ageng Mangir. Naskah tersebut penulis pilih karena merupakan salah
satu dari naskah yang populer dan berkembang sebagai salah satu legenda mengenai daerah yang
sekarang dikenal dengan Mangir di wilayah Bantul, Yogyakarta.. Sumber data sekunder diperoleh
dari referensi yang mendukung analisis data berkaitan dengan pendidikan karakter dan naskah
ketoprak, serta beberapa informasi yang didapatkan dari informan. Informan yang dipilih ialah
Sugiman sebagai pengarang naskah dan pelaku seni ketoprak RRI. Teknik pengambilan data
menggunakan teknik studi pustaka dan wawancara mendalam dengan beberapa narasumber. Uji
validitas data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber data dan triangulasi teori.
Tahapan analisis data menggunakan teknik analisis jalinan (flow model of analysis) dan analisis
interaktif yang terdiri dari tahap reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan (Miles &
Huberman, 2009: 18). Seluruh data yang telah di dapatkan akan dianalisis secara kualitatif.

PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan analisis dialog pada naskah yang berupa frasa, kata, dan kalimat
yang diucapkan tokoh. Berikut nilai pendiidkan karakter pada naskah ketoprak klasik gaya
Yogyakarta berjudul Ki Ageng Mangir, yaitu:
Demang Pandhak : “Mboten saged, boten saged (karo ngadhang) kula sing diparingi
wewenang kalih Ki Ageng Wanabaya ing Mangir nek ana wong Metaram
mlebu teng Mangir ora dikeparengake.”

“Tidak bisa, tidak bisa (sembari menghadang) saya diberikan wewenang


oleh Ki Ageng Wanabaya di Mangir jika ada orang Mataram masuk ke
Mangir tidak diperbolehkan.” (terjemahan)

Kutipan dialog tersebut merupakan dialog antara Demang Pandhak dan utusan Mataram yang
hendak bertemu dengan Ki Ageng Mangir. Apabila dialog tersebut dikaji secara mendalam
terdapat nilai karakter disiplin. Disiplin merupakan tindakan yang menunjukkan perilaku tertib
dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Sikap disiplin yang ditunjukan oleh Demang
Pandhak ialah tetap memegang teguh perintah yang diberikan oleh Ki Ageng Mangir, dengan
tidak mengizinkan utusan Mataram untuk menemuinya bahkan sampai terjadi pertikaian yang
kurang perlu karena luapan amarah orang-orang Mangir yang terlalu mengira bahwa utusan

86
Mataram selalu menginginkan persatuan dan menjadikan wilayah Mangir menjadi wilayah
kekuasaan Mataram. Karakter yang ditunjukkan oleh Demang Pandhak dapat dijadikan salah
satu acuan oleh masyarakat agar taat terhadap aturan dan norma yang berlaku di kehidupan
sehari-hari.

Demang Jodhog : “Kula sampun pinaringan purba kaliyan Ki Ageng menawi wonten
priyangga mataram badhe lumebet ing tlatah Mangir menika kedah dipun
penggak. Menapa sebabipun, ki ageng paring pangandika dhateng kula
bilih Mangir menika mboten saged dipun ogreh-ogreh, rehning bumi
Mangir menika sampun mujudaken bumi merdika.”

“Saya sudah diberikan perintah oleh Ki Ageng jikalau ada orang dari
Mataram akan masuk di wilayah Mangir itu harus di cegah. Sebabnya,
karena Ki Ageng mengatakan bahwa Mangir ini tidak bisa dicampuri
urusannya, karena bumi Mangir sudah menjadi tanah yang merdeka.”
(terjemahan)

Dialog tersebut merupakan dialog antara Demang Jodhog dengan Pangeran Singosari. Kajian
mendalam dari dialog tersebut ialah menunjukan nilai karakter cinta tanah air. Cinta tanah air
merupakan cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik bangsa. Sikap cinta tanah air yang ditunjukkan oleh Demang Jodhog berupa tindakan
mempertahankan kemerdekaan Mangir dari keinginan Mataram untuk menyatukan Mangir ke
dalam kekuasaan Mataram. Karakter Demang Jodhog tersebut dapat menjadi acuan untuk
menjadi salah satu cara untuk ditanamkan kepada generasi muda agar lebih mencintai tanah
airnya dengan cara yang tidak meninggalkan norma-norma dan peraturan yang berlaku.
Dengan demikian karakter Demang Jodhog dapat dijadikan sebagai salah satu tokoh panutan
untuk menanamkan rasacinta tanah air.

Pembayun : “Injih, menika minangka bukti tresna kula dhateng kanjeng rama
Panembahan Senapati lan negri Mataram.”

“Iya, ini merupakan bukti cinta saya kepada ayahanda Panembahan


Senapati dan negara Mataram.” (terjemahan)

87
Dialog tersebut merupakan dialog antara Kasihan (nama samaran Pembayun ketika menjadi
utusan di Mangir) dengan Ki Ageng Mangir. Kajian mendalam dari dialog tersebut ialah
menunjukan nilai karakter cinta tanah air. Cinta tanah air merupakan cara berfikir, bersikap,
dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap
bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Sikap cinta tanah air
yang ditunjukkan oleh Kasihan berupa tindakan menawarkan diri untuk maju dan menjadi-
mata-mata Mataram yang diutus ke Mangir dan ungkapannya mengenai perasaan cintanya
kepada ayah dan negaranya dengan melakukan hal tersebut. Karakter Kasihan tersebut dapat
menjadi acuan untuk menjadi salah satu cara untuk ditanamkan kepada generasi muda agar
lebih mencintai tanah airnya dengan cara yang tidak meninggalkan norma-norma, tata krama,
dan peraturan yang berlaku. Dengan demikian karakter Kasihan dapat dijadikan sebagai salah
satu tokoh panutan untuk menanamkan rasacinta tanah air.

Ki Ageng Mangir: " Sampeyan boten sah kakehan pawadan, nek saiki pun kadung mendem
boten napa- napa, ning sing durung diati- ati. Ampun nganti sampeyan niku
wong dipasrahi gaweyan njaga katentreman malah menehi tuladha sing
boten apik, apa sampeyan boten isin karo anak putu sampeyan njur suk nek
gedhe tiru-tiru sampean?"

“Anda jangan terlalu banyak alasan, kalaupun sudah minum, tidak apa-apa,
tetapi hal yang belum haruslah hati-hati. Jangan sampai Anda itu diberikan
wewenang pekerjaan untuk menjaga ketentraman tetapi malah memberi
contoh yang tidak baik, apakah Anda tidak malu dengan anak cucu jikalau
besok meniru perilaku buruk anda?” (terjemahan)

Kutipan dialog tersebut merupakan dialog antara Ki Ageng Mangir dan Wira Kecik. Apabila
dialog tersebut dikaji secara mendalam terdapat nilai karakter tanggungjawab. Tanggungjawab
merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang
seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya),
Negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. Sikap tanggungjawab yang ditunjukan oleh Ki Ageng
Mangir ialah memberikan solusi dan menjelaskan perilaku yang buruk akan memberikan
contoh yang buruk bagi generasi penerus. Ki Ageng Mangir melakukan hal tersebut karena ia
merasa sebagai seorang pemimpin harus melaksanakan kewajibannya. Karakter yang

88
ditunjukkan oleh Ki Ageng Mangir dapat dijadikan salah satu acuan oleh masyarakat agar
bertanggungjawab atas kewajibannya masing-masing dalam kehidupan sehari-hari.

Ki Ageng Mangir : "Aku ora tau kandha lelonyotan, aku ora tau kandha goroh marang sapa
wae."

“Aku tidak pernah berbicara kosong, aku tidak pernah berbicara bohong
pada siapapun.” (terjemahan)

Dialog tersebut merupakan dialog antara Ki Ageng Mangir dengan Pembayun. Kajian
mendalam dari dialog tersebut ialah menunjukan nilai karakter jujur. Jujur merupakan perilaku
yang didasarkan dalam upaya menjadi sesorang yang dapat dipercaya dalam tindakan maupun
perkataannya. Sikap jujur ditunjukan oleh Ki Ageng Mangir kepada Pembayun ialah ketika
perkataanya tidak pernah berbohong dan tidak hanya berjanji, tetapi juga bersedia menikahi
Pembayun. Seperti pendapat Kajonius (2018, 2014: 2) yang menyataan bahwa kejujuran diri
merupakan salah satu ukuran kepribadian penting dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena
itu, karakter Ki ageng Mangir dapat menjadi salah satu acuan untuk generasi muda agar lebih
jujur kepada diri sendiri dan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian karakter
Ki Ageng Mangir dapat dijadikan sebagai salah satu tokoh panutan untuk menanamkan jujur
dalam kehidupan sehari-hari.

Kasihan : "Ki Ageng kula aturi menggalih, menawi panjenengan menika mboten
saged menggak anggenipun duka, mangke badhe dados dredah
antawisipun Mangir kaliyan Mataram. Mangke badhe wonten bebanten,
mangka ingkang dados bebanten boten sanes nggih namung kawula alit
ingkang sayektosipun boten mangertos dhudhuk selehipun.”

“Ki Ageng saya mohon untuk memikirkannya kembali, kalau Anda tidak
bisa mengontrol amarah, nanti akan timbul perkelahian antara Mangir dan
Mataram. Nantinya akan banyak korban, tentu tidak lain korbannya ialah
rakyat kecil yang tidak tahu permasalahan sebenarnya.” (terjemahan)

Dialog tersebut merupakan dialog antara Kasihan (nama samaran Pembayun ketika menjadi
utusan Mataram) dengan Ki Ageng Mangir. Kajian mendalam dari dialog tersebut ialah
menunjukan nilai karakter semangat kebangsaan. Semangat kebangsaan merupakan cara
berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara lebih

89
tinggi daripada kepentingan pribadi dan golongan. Sikap semangat kebangsaan ditunjukan oleh
Kasihan kepada Ki Ageng Mangir agar mencegah kemarahannya karena beresiko merusak
kedamaian antara Mangir dan Mataram. Pembayun mengingingkan agar Ki Ageng Mangir
mampu menguasai amarahnya agar tidak terjadi peperangan dan menumbalkan rakyat kecil
yang tidak mengerti apa-apa. Karakter Pembayun tersebut dapat menjadi acuan untuk menjadi
salah satu cara untuk ditanamkan kepada generasi muda agar memiliki semangat kebangsaan.
Dengan demikian karakter Pembayun dapat dijadikan sebagai salah satu tokoh panutan untuk
menanamkan semangat kebangsaan dalam kehidupan sehari-hari.

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis dan pembahasan yang di atas, naskah ketoprak klasik gaya Yogyakarta
berjudul Ki Ageng Mangir terdapat nilai pendidikan karakter yang berguna dan relevan untuk
diimplementasikan sebagai salah satu media pendidikan karakter pada masyarakat. Beberapa
dialog dan adegan yang terdapat pada naskah ketoprak klasik gaya Yogyakarta Ki Ageng
Mangir menunjukkan beberapa nilai pendidikan karakter yang sesuai dengan kajian penelitian
ini. Adapun nilai karakter yang terdapat pada naskah ketoprak klasik gaya Yogyakarta Ki
Ageng Mangir, yaitu diantaranya nilai karakter disiplin, cinta tanah air, tanggungjawab, jujur,
dan semangat kebangsaan yang terdapat pada beberapa kata, frasa, dan dialog.
Naskah ketoprak klasik gaya Yogyakarta berjudul Ki Ageng Mangir tersebut dapat dijadikan
referensi bacaan dan lebih jauh lagi tontonan pada kalangan masyarakat, khususnya para
remaja, sebagai suatu tontonan yang sarat akan muatan pendidikan karakter.

DAFTAR PUSTAKA
Hepola, Allison Jill. (2014). The Reality of Fictional Characters and the Cognitive Value of
Literature: Some Surprising Insights from Philosophy. Jurnal Stamford University.

Kajonius, P.J, Daderman, A.M. “Honesty-Humility and Liberal Values”. Journal of


Psychology. Volume 10, Nomor 1, 2014 pp. 1-15.

Lisbijanto. (2013). Ketoprak. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Setiawan, H., Rakhmawati, A., & Anindyarini, A. 2020. Pertunjukan Ketoprak Lakon Pedhut
Jatisrana Sebagai Media Pendidikan Karakter. MUDRA: Jurnal Seni Budaya, Vol.35,
No. 3, hal. 331

90
Setyawan, B, W., Saddhono, K., & Rakhmawati, A. 2018. Potret Kondisi Sosial Masyarakat
Jawa Dalam Naskah Ketoprak Klasik Gaya Surakarta. Jurnal Aksara, Volume 30. No.
2.

Supriyono, S., Wardani, N. E., & Saddhono, K. (2018). Nilai Karakter Tanggung Jawab Dalam
Sajak-Sajak Subagio Sastrowardoyo. RETORIKA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan
Pengajarannya, Vol. 11, No. 2, hal. 183.

Suwarno, S., Saddhono, K., & Wardani, N. E. (2018). Sejarah, unsur kebudayaan, dan nilai
pendidikan karakter dalam legenda Sungai Naga. RETORIKA: Jurnal Bahasa, Sastra,
Dan Pengajarannya, Vol. 11, No. 2, hal. 194.

Satoto, Soediro. (2012). Analisis Drama dan Teater Jilid I. Penerbit Ombak, Yogyakarta.

Waluyo, Herman J. (2013). Drama : Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta : Hanindita.

Wibowo, A. (2013). Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Internalisasi Nilai-Nilai Karakter


Melalui Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yara, N. Y., Suwandi, S., & Sumarwati. (2019). Nilai Pendidikan Karakter Tanggungjawab
dalam Novel Maria Zaitun Karya Joko Santoso. Transformatika: Jurnal Bahasa, Sastra,
dan Pengajarannya. Vol. 3, No. 1, hal. 25-36.

91

Anda mungkin juga menyukai