Anda di halaman 1dari 9

“BATU BERDAUN DAN PULUHAN DONGENG NUSANTARA”: ANALISIS FUNGSI

VLADIMIR PROPP DAN MOTIF TINDAKAN PELAKU

Raras Hafiidha Sari, M.Hum.


Dosen PBSI FIP Universitas Hasyim Asy’ari

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut. Pertama, mengungkapkan fungsi tindakan pelaku pada
cerita rakyat. Kedua, mengungkapkan motif tindakan pelaku berdasarkan fungsi cerita rakyat.
Penelitian ini menggunakan teori struktur naratologi yang dikembangkan oleh Vladimir Propp.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan studi
pustaka untuk mengungkap fungsi dan motif tindakan pelaku dari lima cerita rakyat dalam
“Batu Berdaun dan Puluhan Dongeng Nusantara”. Penelitian ini menghasilkan penyebaran
fungsi dan motif tindakan pelaku dalam kelima cerita rakyat tersebut. Penyebaran fungsi
ditemukan lingkungan tindakan yang terdapat dalam masing-masing cerita seperti pada Aji Saka
terdapat dua lingkungan tindakan yakni lingkungan tindakan penjahat dan lingkungan tindakan
penolong. Gunung Merapi terdapat satu lingkungan tindakan yakni lingkungan tindakan utusan.
Ki Ageng Mangir Wanabaya terdapat satu lingkungan tindakan yaitu lingkungan tindakan
pemberi. Kisah di Gua Kiskenda memiliki tiga lingkungan tindakan meliputi lingkungan
tindakan penjahat, lingkungan tindakan pemberi, lingkungan tindakan utusan, lingkungan
tindakan orang yang dicari dan cerita Reog Ponorogo memiliki satu lingkungan tindakan
meliputi lingkungan tindakan pahlawan. Penemuan lingkungan tindakan tersebut dapat
mengungkapkan motif tindakan pelaku yang membentuk kekuasaan dalam cerita, sehingga
ditemukan motif-motif tindakan yang meliputi kekuasaan, kepatuhan, tipu daya, dan
kepercayaan dalam kelima cerita rakyat tersebut.
Kata kunci: fungsi, lingkungan tindakan, motif tindakan, kekuasaan

ABSTRACT
This research aims to. First , expressing the function of the act of an offender in the story the
people .Second , expressing motives the act of investors based on the function of folklore .Was
used in the research structure naratologi the theory developed by Vladimir Propp .Research
methodology used in this research is the qualitative method , with the literature study to
uncover function and motives the act of the five stories to the people in “Batu Berdaun dan
PuluhanDongeng Nusantara”. This research produce the spread of the functions and motives
the act of the offender in the fifth of the folklore .The spread of function found the environment
the act of that was found in each story as in Aji Saka there are two environment the act of `
Namely the act of villain environment and environmental action helper .Gunung Merapi there is
one environment environment action namely the act of messenger. Ki Ageng Mangir Wanabaya
there were one environmental the act of venerating the act of providers of the environment
.Kisahdi Gua Kiskenda having three environment environment the act of covering the act of
criminals , the act of providers of the environment , the act of envoy environment , the act of
environment wanted men and stories Reog Ponorogohaving one environment act of covering
environmental action hero .The discovery of the environment such action can reveal the act of
offender motives that forms of power in the story , motives so that found the act of covering
power , compliance , guile , and trust in the fifth the folklore .
Key Words: function, environmental action, action motif, power
PENDAHULUAN
Cerita rakyat yang berkembang di Indonesia cukup beragam karena termasuk cerita
yang digemari masyarakat khususnya anak-anak dan orang tua, secara intrinsik cerita rakyat
membawa pesan moral dan fantasi yang diharapkan memiliki pengaruh bagi pembaca. Cerita
rakyat memiliki tujuan untuk menghibur yang didukung oleh pendapat bahwa cerita rakyat atau
dongeng sangat berperan dalam menolong kita beradaptasi dengan lingkungan yang seringkali
tidak ramah. (Zipes dalam Sarumpaet:2010:20) Seperti halnya pada cerita rakyat yang akan
dianalisis yaitu cerita Aji Saka, Gunung Merapi, Ki Ageng Mangir Wanabaya, Kisah di Gua
Kiskenda dan Reog Ponorogo mengambil kisah yang dituliskan kembali dan diterbitkan sebagai
bahan bacaan anak dan remaja dalam buku “Batu Berdaun dan Kumpulan Dongeng Nusantara”
Dari buku yang diambil sebagai sample analisis adalah buku cerita untuk umum dan ditujukan
kepada anak atau remaja yang dapat dikatakan sastra anak karena berdasarkan sebuah cerita
rakyat saduran dengan tujuan untuk hiburan anak.
Berkaitan dengan analisis yang mendalam pada cerita rakyat adalah dari kisah
diceritakan kembali dalam bentuk tertulis berdasarkan versi pengarang, meskipun dalam ilmu
foklor, cerita rakyat adalah salah satu bentuk foklor lisan (Danandjaja, 1994: 22). Namun, kini
penyebarannya dapat terjadi dengan bantuan mesin cetak, seperti dibukukan atau dijadikan
cerita pendek di majalah, dan dengan bantuan elektronik, misal dalam bentuk film, tayangan
televisi ataupun video. Stith Tompson seorang folkloris membuat definisi tentang cerita rakyat,
yakni semua bentuk naratif, lisan ataupun tulisan, yang telah diturunkan turun temurun :”All
forms of narrative, written or oral which have cone to be handed down through the years”
(Huck dalam Bunanta, 1998:1). Dari keseluruhan cerita yang dianalisis adalah cerita yang
masuk dalam kategori yang disederhanakan oleh pengarangnya, hal ini seperti sebuah pendapat
yang berkesimpulan bahwa tidak semua versi dapat dianggap baik, ada yang bersifat moralitis
dan ada yang sangat disederhanakan ataupun yang memberikan keterangan panjang lebar dan
amat membosankan pada setiap kejadian bahkan ada pula yang memberikan banyak detail
seperti novel (Nodelmen dalam Bunanta, 1998:4)
Meski demikian meskipun cerita rakyat yang dituliskan kembali, hal tersebut tidak
menyurutkan bentuk rangkaian peristiwa dalam cerita rakyat karena alurnya yang tetap dan
yang dianalisis adalah cerita rakyat yang sarat akan konflik dan tindakan, sebagaimana hakikat
dari tradisi lisan, pendengar dengan cepat dibawa ke dalam suatu tindakan dan mengidentifikasi
diri dengan si tokoh. Karena itu, konsekuensinya meskipun berupa versi tulis pembaca haruslah
segera lebur dalam beberapa kalimat pembukanya. (Norton dalam Bunanta,1998:13)
Karakteristik dalam cerita rakyat juga mudah diingat seperti pembukaan dan penutupan
yang khas seperti “”Dulu sekali, adalah seorang raja...” dan penutup yang juga menunjukkan
usai dan berakhirnya kisah secara memuaskan seperti “akhirnya mereka pun hidup sangat
bahagia.” Kisahnya selalu singkat, dengan latar yang minim namun cukup menginformasikan
dan meletakkan kisah di tempat yang dapat diterima, serta tokoh yang selalu bersifat stereotip.
(Sarumpaet, 2010:22).
Hal ini berkaitan dengan bentuk karakteristik kelima cerita rakyat yang termasuk dalam
cerita rakyat yang dianalisis yaitu bacaan cerita berupa tema, motif-motif tindakan dalam cerita.
“bacaan yang dibaca anak-anak Indonesia dan yang membesarkan mereka adalah dongeng-
dongeng yang memiliki motif-motif tindakan para tokoh, seperti kepatuhan, murka laki-laki, iri,
dengki dan sibling rivalry yang di dalamnya merayakan kepasifan, kesabaran, pengorbanan
ketergantungan, termasuk kedengkian” (Sarumpaet, 2010:128).
Hingga akhirnya timbul gagasan untuk pembuktian karakteristik kisah cerita rakyat
dengan analisis cerita rakyat ditinjau teori naratologi berdasarkan dari rangkaian peristiwa,
relasi antar peristiwa, cara penyajian peristiwa serta sudut pandang penceritaan berdasarkan
narator yang nantinya peran dan fungsi pelaku dapat teridentifikasi dalam menentukan
pemaknaan bentuk kekuasaan dalam cerita rakyat yang ditulis kembali untuk anak-anak dengan
teori yang ditawarkan Vladimir Propp.
Perhatian pada objek yang dianalisis difokuskan terhadap bentuk sebuah teks dan
karakter pelaku dalam kelima cerita rakyat yang ditulis kembali dan diterbitkan secara luas di
masa sekarang, khususnya adalah anak-anak yang memilki sejarah dari objek sebuah wilayah,
situs sejarah dan budaya yang berkisahkan karakter tokoh pria dan golongan dewa yang
berkarakter memiliki kekuatan, seperti dalam kisah Aji Saka yang sesungguhnya kisah legenda
Jawa yang menceritakan asal usul aksara Jawa, namun dalam kisahnya yang dituliskan kembali
hanyalah mengenai konflik Aji Saka melawan Prabu Dewata Cengkar.
Kisah dari awal mula Gunung Merapi yang menjadi mitos karena diceritakan para dewa
yang memindahkan Gunung Jamurdipa tepat di atas tempat Empu Rama dan Empu Pamadi
tinggal dengan konflik pertarungan dan berakhir pada kekalahan kedua empu yang menjadi
mitos penunggu gunung Merapi, kisah Ki Ageng Mangir Wanabaya yang berujung pada sebuah
tipu daya seorang penguasa bernama Ki Ageng Pemanahan yang membunuh Ki Ageng Mangir
atas sebuah nafsu kekuasaan, Kisah di Gua Kiskenda mengenai dua raksasa penculik Dewi Tara
dan penolongan Dewi Tara oleh Subali yang diruncingkan dengan konflik kesalahpahaman
antara Subali dan Sugriwa yang saling melawan serta yang terakhir kisah dari awal mula adanya
Reog Ponorogo tentang pertarungan dua orang penguasa untuk dapat meminang Dewi
Sanggalangit.
Kelima cerita rakyat tersebut memiliki satu permasalahan yaitu bentuk kekuasaan yang
terjadi berdasarkan perlawanan pelaku dalam kisah yang diceritakan oleh narator adalah pelaku
yang selalu memiliki kekuatan yang begitu kuat namun kalah di bagian tertentu. Berdasarkan
dari bentuk plot yang terjadi yaitu serangkaian peristiwa yang digambarkan dari 1. situation
pengarang mulai melukiskan suatu keadaan) 2. Generating circum stances (pergerakan) 3.
Rising action (keadaan memuncak) dan 4. Dimax (peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya dan
5. Denoument (pemecahan persolan) (Lubis dalam Sugihastuti, 2000:205) yang dijadikan acuan
analisis permasalahan mengenai cerita rakyat, berdasarkan dari proses tersebut maka teori yang
ditawarkan Vladimir Propp mengenai peran dan pelaku digunakan untuk mengeksplorasi motif
tindakan yang terjadi berdasarkan analisis fungsi selayaknya menjadi bahan acuan yang akan
digunakan dalam menentukan fungsi pelaku, lingkungan tindakan hingga dapat teridentifikasi
motif tindakan dalam bentuk kekuasaan kelima cerita rakyat tersebut.
Kelima cerita rakyat yang dianalisis merupakan kisah yang berasal dari Jawa bagian
tengah dan bergeser ke Jawa Timur berdasarkan dari sebuah makna sejarah wilayah, situs dan
budaya yang diharapkan pengarang dalam buku untuk diperkenalkan pada pembaca, terdiri dari
lima cerita berjenis legenda dan mite, seperti pada kisah Aji Saka, Ki Ageng Mangir Wanabaya
dan Reog Ponorogo yang berjenis cerita legenda berdasarkan dari kisah yang ditokohi oleh
manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa dan sering dibantu makhluk-
makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang telah kita kenal kini, karena
waktu terjadinya belum terlalu lampau. Legenda dianggap oleh pemilik cerita sebagai suatu
kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler
dan keduniawian.legenda biasanya bersifat migratoris sehingga dikenal luas di daerah-daerah
yang berbeda (Danandjaja, 1994: 50-86).
Sedangkan dalam cerita Gunung Merapi dan Kisah di Gua Kiskenda yang dalam folklor
masuk dalam konsep mitos, yaitu cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta
dianggap suci oleh pemilik cerita. Mitos ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa.
Peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang dan
terjadi di masa lampau. Mite pada umumnya mengisahkan terjadinya maut, bentuk khas
binatang, bentuk topografi, gejala alam dan sebagainya. Mitos juga mengisahkan petualangan
para dewa, kisah percintaan mereka, hubungan kekerabatan mereka, kisah perang mereka dan
sebagainya (Danandjaja, 1994: 50-86).
Konsep di atas juga merupakan landasan dasar dari konsep-konsep mite, legenda dan
dongeng yang digunakan dalam sebuah analisis studi cerita rakyat yang memiliki segi makna,
sejarah, dan nilai serta budaya dalam cerita. Meskipun cerita rakyat memiliki sedikit perubahan
dalam cerita, namun memiliki pola-pola di dalamnya sehingga menarik untuk dianalisis
bagaimana bentuk akhir konflik dengan menggunakan teori Vladimir Propp, untuk dianalisis
bentuk kekuasaan berdasarkan temuan struktur fungsi pada kumpulan cerita rakyat tersebut.
Berdasarkan penelitian sebelumnya terhadap seratus dongeng Rusia yang disebut
dengan fairytale, kesimpulan akhir yang dikemukakan Propp adalah 1.analisis yang mantap dan
tidak berubah dalam sebuah dongeng bukanlah motif atau pelaku, melainkan fungsi, lepas dari
siapa pelaku yang menduduki fungsi itu, 2. jumlah fungsi dalam dongeng terbatas, 3.urutan
fungsi dalam dongeng selalu sama, dan 4. dari segi struktur semua dongeng hanya mewakili
satu tipe. Sehubungan dengan simpulan yang kedua, Propp menyatakan bahwa paling banyak
sebuah dongeng terdiri atas 31 fungsi. Namun ia juga menyatakan bahwa setiap dongeng tidak
selalu mengandung semua fungsi itu karena banyak dongeng yang ternyata hanya mengandung
beberapa fungsi. Fungsi-fungsi itulah, berapapun jumlahnya, yang membentuk kerangka pokok
cerita dan dari gagasan tersebutlah terimplikasi untuk menganalisis cerita rakyat dari Indonesia.
Propp lebih menitik beratkan perhatiannya pada motif naratif yang terpenting, yaitu
tindakan atau perbuatan (action), yang selanjutnya disebut fungsi (function).Propp menyadari
bahwa suatu cerita pada dasarnya memiliki konstruksi. Konstruksi itu terdiri atas motif-motif
yang terbagi dalam tiga unsur, yaitu pelaku, perbuatan, dan penderita. Ia melihat bahwa tiga
unsur itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur yang tetap dan unsur yang
berubah. Unsur yang tetap adalah perbuatan, sedangkan unsur yang berubah adalah pelaku dan
penderita. Propp berpendapat, yang terpenting adalah unsur yang tetap yaitu perbuatan yang
menunjukkan pemaknaan konflik.
Hal yang terpenting dalam analisis adalah sebuah predikat (aksi ataupun tindakan) yang
disebut dengan fungsi, tidak peduli siapa subyek dan obyeknya. Hal inilah yang menjadi alasan
untuk menggunakan teori fungsi Vladimir Propp dan menginterpretasikan motif tindakan pelaku
yang dapat menimbulkan efek yang mudah dimengerti melalui penambahan variasi gaya dalam
cerita. (Propp 1973:21-24).
Berdasarkan kesimpulan yang telah dibuat oleh Vladimir Propp menunjukkan bahwa
teori analisis fungsi dapat diterapkan pada cerita rakyat yang bukan berasal dari Eropa karena
cerita rakyat memiliki unsur pelaku dan perbuatan yang dapat digunakan dalam
mengidentifikasi sebuah makna selanjutnya, dari rangkaian latar belakang tersebut, maka dapat
dirumuskan masalah untuk mengungkapkan fungsi tindakan pelaku pada kelima cerita rakyat
dan mengungkapkan motif tindakan pelaku berdasarkan fungsi cerita rakyat.
Landasan Teori
Dalam menganalisis fungsi dalam cerita rakyat yang terlampir, pendekatan dengan
menggunakan teori struktural Vladimir Propp digunakan dalam analisis, karena Propp yang
dapat dikatakan strukturalis pertama yang serius mengkaji struktur naratif dirasa tepat untuk
digunakan dalam analisis. Propp, memunculkan semacam poetika baru dalam hal pengkajian
dan penelitian sastra. Hal itu dapat dibuktikan melalui buku Morphology of the Folktale (1973).
Dapat dikatakan bahwa buku itu merupakan hasil dekonstruksi Propp terhadap teori-
teori yang berkembang sebelumnya. Propp berpendapat bahwa para peneliti sebelumnya banyak
melakukan kesalahan dan sering membuat simpulan yang tumpang tindih. Selain itu, sedikit
banyak teori Propp juga mendekonstruksi teori formalis. Kalau Formalisme menekankan
perhatiannya pada penyimpangan (deviation) melalui unsur naratif fabula dan suzjet dalam
karya-karya individual untuk mencapai nilai kesastraan (literariness) sastra. (Prop,1973:3--18)

Penentuan Fungsi Pelaku


Situasi Awal (Lambang α) Sebuah dongeng, biasanya dimulai dengan situasi awal.
Situasi awal tidak termasuk fungsi, namun tetap merupakan unsur yang penting. Hal ini karena
situasi awal terdiri dari unsur-unsur : 1. Penentuan masa ruang tempat “pada zaman dulu” di
dalam sebuah negeri, 2. Komposisi keluarga, 3. Ketiadaan anak, 4 dan 5 permohonan untuk
mendapatkan anak, 6. Puncak kehamilan, 7. Bentuk kelahiran yang luar biasa, 8. Ramalan, 9.
Kesejahteraan sebelum kesukaran 10-15. Calon pahlawan 16-20. Calon pahlawan palsu 21-23.
Pertengkaran dengan saudara mengenai keutamaan.

Analisis Fungsi
Dalam menggunakan fungsi pelaku tersebut maka tetap mengurutkan fungsi-fungsi
pelaku tersebut dengan mengikuti susunan yang diterima oleh sebuah cerita itu sendiri seperti 1.
Ringkasan isi, 2. Definisi ringkas di dalam ssatu perkataan, 3. Lambang yang kemudian
nantinya akan diikuti dengan contoh-contoh. Beberapa contoh ini adalah beberapa contoh yang
telah dibagi dalam beberapa bagian.
Propp (1973:26-65) menyatakan bahwa sebuah dongeng paling banyak terdiri atas 31
fungsi. Setiap dongeng tidak selalu mengandung semua fungsi tersebut, ada yang hanya
memiliki beberapa fungsi. Berapapun jumlahnya, fungsifungsi itulah yang membentuk kerangka
pokok cerita. Untuk mempermudah pembuatan skema, Propp memberi tanda atau lambang
khusus pada setiap fungsi. Adapun fungsi-fungsi dan lambangnya sebagai berikut :
1.Absentation „ketiadaan‟ β, 2. Interdiction „larangan‟ γ, 3.Violation „pelanggaran‟ d,
4.Reconnaissance „pengintaian‟ε, 5.Delivery „penyampaian (informasi)‟ δ, 6. Fraud „penipuan
(tipu daya)‟ ε, 7. Complicity „keterlibatan‟ q, 8. Villainy „kejahatan‟ A & Lack „kekurangan
(kebutuhan)‟ a, 9. Mediation, the connective incident „perantaraan, peristiwa penghubung‟ B,
10. Begining counteraction „penetralan (tindakan) dimulai‟ C, 11. Departure „keberangkatan
(kepergian)‟ ↑, 12. The first function of the donor „fungsi pertama donor (pemberi)‟, D 14.
Provition or receipt of a magical agent „penerimaan unsur magis (alat sakti)‟, F 15. Spatial
translocation „perpindahan (tempat)‟G , 16. Struggle „berjuang, bertarung‟ H, 17. Marking
„penandaan‟ J, 18. Victory „kemenangan‟ (penjahat ditaklukkan) I, 19. The initial misfortune
or lack is liquidated „kekurangan (kebutuhan) terpenuhi‟, K 20. Return „kepulangan
(kembali)‟↓, 21. Pursuit chase „pengejaran, penyelidikan‟ Pr, 22. Rescue „penyelamatan‟ Rs,
23. Unrecognised arrival „datang tak terkenali‟ O, 24. Unfounded claims „tuntutan yang tak
mendasar‟ L, 25. The difficult task „tugas sulit (berat)‟ M 26. Solution „penyelesaian (tugas)‟
N, 27. Recognition „(pahlawan) dikenali „Q, 28. Exposure „penyingkapan (tabir)‟, Ex 29.
Transfiguration „penjelmaan‟ T, 30. Punishment „hukuman (bagi) penjahat‟ U, 31. Wedding
„perkawinan (dan naik tahta)‟ W

PEMBAHASAN
Terdapat 7 fungsi pelaku pada Aji Saka, 4 fungsi pelaku pada Gunung Merapi, 4 fungsi
pelaku pada Ki Ageng Mangir Wanabaya, 6 fungsi pelaku di Kisah di Gua Kiskenda dan 4
fungsi pelaku pada Reog Ponorogo. Jumlah fungsi pelaku pada tiap cerita rakyat yang dianalisis
tersebut tidak mencapai 31 fungsi pelaku seperti yang ditetapkan Propp. Adapun fungsi pelaku
yang terdapat pada kelima cerita rakyat tersebut adalah 1. Fungsi ke 4 (pengintaian) 2. Fungsi
ke 8 (kebutuhan) 3. Fungsi ke 9( Peristiwa penghubung) 4. Fungsi ke 16 (bertarung) 5. Fungsi
ke 18 (kemenangan/ penjahat ditaklukkan) 6. Fungsi ke 17 (penandaan) 7. Fungsi ke 9
((peristiwa penghubung) 8. Fungsi ke 16 (bertarung) 9. Fungsi ke 12 (pemberi) 10. Fungsi ke 18
(kemenangan) 11. Fungsi ke 5 (informasi) 12. Fungsi ke 6 (Tipu daya) 13. Fungsi ke 7
(keterlibatan) 14. Fungsi ke 12 (pemberi) 15..Fungsi ke 8 (kebutuhan) 16. Fungsi ke 8
(kejahatan) 17. Fungsi ke 9 (peristiwa penghubung) 18. Fungsi ke 13 (reaksi pahlawan) 19.
Fungsi ke 18 (kemenangan) 20 . Fungsi ke 23 (datang tak terkendali) 21. Fungsi ke 8
(kebutuhan) 22. Fungsi ke 17 (penandaan) 21. Fungsi ke 16 (bertarung) 22. Fungsi ke 31
(perkawinan dan naik tahta)
Penyebaran fungsi pelaku pada cerita rakyat terdapat dalam bentuk lingkungan
tindakan. Lingkungan tindakan yang terdapat pada kelima cerita rakyat yang dianalisis adalah 1.
Pada cerita Aji Saka terdapat dua lingkungan tindakan yakni lingkungan tindakan penjahat dan
lingkungan tindakan penolong 2. Gunung Merapi terdapat satu lingkungan tindakan yakni
lingkungan tindakan utusan 3. Ki Ageng Mangir Wanabaya terdapat satu lingkungan tindakan
yaitu lingkungan tindakan pemberi 4. Kisah di Gua Kiskenda memliki 4 lingkungan tindakan
meliputi lingkungan tindakan penjahat, lingkungan tindakan pemberi, lingkungan tindakan
utusan, lingkungan tindakan orang yang dicari dan yang terakhir 5. Reog Ponorogo memiliki
satu lingkungan tindakan meliputi lingkungan tindakan pahlawan.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, diambil kesimpulan bahwa teori fungsi
yang dipergunakan Vladimir Propp untuk mengkaji cerita rakyat Rusia juga dapat digunakan
untuk mengkaji fungsi ke pelaku dalam lima teks cerita rakyat dari Indonesia yang ada di sekitar
masyarakat. Kelima cerita rakyat tersebut apabila dilihat dari bentuk kerangka urutan fungsi ke
pelakunya, mempunyai urutan fungsi ke pelaku tidak tetap atau berpola putar balik. Namun
secara keseluruhan memiliki struktur yang sama dalam identifikasi fungsi.
Analisis keseluruhan fungsi dan motif tindakan menunjukkan berbagai macam bentuk
kekuasaan yang terjadi dalam sebuah bacaan untuk anak-anak. Setelah dianalisis fungsi
tindakan pelaku, terlihat peran kekuasaan lelaki yang cukup besar dalam kelima cerita rakyat
tersebut dan memiliki motif yang dimiliki semuanya mengarah pada akhir kekuasaan baik
dalam bentuk yang baik ataupun tragis serta bentuk konflik yang memperebutkan wilayah
ataupun wanita, bentuk tipu daya demi meraih sesuatu yang diinginkan.
Dari kelima cerita rakyat tersebut, beberapa cerita menunjukkan adanya kekerasan,
keegoisan, bentuk tipu daya demi kepentingan pribadi, serta bentuk identitas tokoh yang cukup
menonjol. Kelima kisah yang dipilih sebagai analisis keseluruhannya adalah mengenai bentuk
kekuasaan meskipun diindikasikan sebagai bahan dedikasi bentuk pengetahuan budaya untuk
publik khususnya untuk anak-anak.
Pada kisah Aji Saka, semua tokohnya diperankan oleh lelaki, tak ada unsur wanita,
namun perebutan kekuasaan berdasarkan pada adanya motif tindakan kepahlawanan dalam
penguasaan suatu wilayah, karena setelah mengalahkan seorang penguasa Medang Kamulan,
pada akhirnya pahlawan yang berhasil mengalahkan menjadi penguasa.
Kisah kedua dalam Gunung Merapi, juga merupakan bentuk kekuasaan dari peran lelaki
dalam cerita rakyat berupa kepatuhan, kepercayaan, penghukuman. Hal yang paling menonjol
adalah bentuk kepatuhan yang menggambarkan sebuah rasa patuh dari seorang dewa terhadap
Batara Guru yang menyimbolkan masyarakat Jawa yang mengutamakan sendiko dawuh, apapun
yang diinginkan oleh atasan, maka ia harus melaksanakan sebaik mungkin.
Dalam kisah Ki Ageng Mangir Wanabaya, bentuk tipu daya dalam cerita begitu kuat
dan di akhir cerita bentuk kekerasan ditunjukkan ketika Ki Ageng Mangir di benturkan
kepalanya oleh mertuanya sendiri demi menguasai wilayah Ki Ageng Mangir. Dari akhir cerita
yang berakhir tragis apalagi dengan kekerasan, pesan yang disampaikan menjadi tidak dapat
terbaca.
Pada kisah Reog Ponorogo, terdapat bentuk identitas Raja Kelanaswandana yang
ternyata memiliki kebiasaan menyukai sesama jenis dibalik keinginannya untuk bersaing
dengan Raja Singabarong dalam meminang Dewi Sanggalangit.

Simpulan
Berdasarkan analisis tersebut di atas, keseluruhan cerita memiliki struktur yang sama,
dengan bentuk pahlawan, penjahat ataupun penderita, bentuk lingkungan tindakan dalam kelima
cerita rakyat berdasarkan penyebaran fungsi pelaku pada kisah tersebut yang dilihat dari bentuk
kerangka urutan fungsi pelakunya adalah tidak tetap atau berpola putar balik.
Terdapat 22 fungsi pelaku dalam kelima cerita rakyat yang menghasilkan bentuk
lingkungan tindakan. Lingkungan tindakan yang terdapat pada kelima cerita rakyat adalah:
Pertama, pada cerita Aji Saka terdapat dua lingkungan tindakan yakni lingkungan tindakan
penjahat dan lingkungan tindakan penolong. Kedua,Gunung Merapi terdapat satu lingkungan
tindakan yakni lingkungan tindakan utusan. Ketiga, Ki Ageng Mangir Wanabaya terdapat satu
lingkungan tindakan yaitu lingkungan tindakan pemberi. Keempat Kisah di Gua Kiskenda
memiliki tiga lingkungan tindakan meliputi lingkungan tindakan penjahat, lingkungan tindakan
pemberi, lingkunga tindakan utusan, lingkungan tindakan orang yang dicari dan yang terakhir
dan. Kelima, Reog Ponorogo memiliki satu lingkungan tindakan meliputi lingkungan tindakan
pahlawan.
Bentuk kekuasaan yang tergambar dalam lima cerita tersebut selain muncul dari
pertengahan peristiwa juga muncul dari akhir cerita yang dilandasi oleh motif-motif tertentu
yang menyelubungi bentuk kekuasaan tersebut. Sedangkan pada cerita yang lain akhir cerita
berdasarkan sudut pandang pembaca berakhir pada kemunculan kepercayaan, bentuk tipu daya
dan identitas diri, seperti pada akhir cerita Gunung Merapi berakibat pada timbulnya
pemahaman pembaca pada kepercayaan adanya penunggu, kisah Ki Ageng Mangir yang akhir
kisahnya tragis karena tewas di tangan musuhnya melalui tindakan tipu daya lawan,
kebohongan yang dialami oleh pelaku utama, dalam cerita rakyat tersebut tidak terfokus lebih
lanjut pada situs Ki Ageng Mangir, namun bentuk perlawanan yang kuat dan licik dari
Panembahan Senopati yang diceritakan.
Motif tindakan kepatuhan, kutukan dan kekuasaan dalam Kisah di Gua Kiskenda akhir
dari kisah yang berakhir dengan perkawinan berdasarkan kesalah pahaman kakak beradik,
peristiwa yang bermula dari sebuah penculikan, penyelamatan, pertarungan hingga kesalah
pahaman yang terfokus pada bentuk kekuasaan akhirnya terbentuk dari motif amarah.
Perubahan peristiwa digambarkan dari tokoh Subali yang sebelumnya berhati bersih namun
akhirnya pikirannya dikuasai amarah untuk akhirnya dapat memiliki Dewi Tara, di akhir cerita
sosok pelaku utama pun tewas oleh nafsu amarahnya sendiri yang berawal dari kutukan
ayahnya.
Motif identitas yang membentuk kekuasaan pangeran Kelanaswandana yang ingin
memiliki Dewi Sanggalangit, dalam kisah tersebut selain adanya konflik persaingan dengan
jalan memata-matai tindakan satu dengan yang lain, pada akhirnya juga berakhir bahagia
dengan perkawinan Pangeran Kelanaswandana dengan Dewi Sanggalangit, namun motif
identitas dimunculkan bahwa sebelumnya pangeran Kelanaswandana adalah seorang penyuka
sesama jenis yang berharap setelah menikahi Dewi Sanggalangit maka kebiasaannya akan
berubah dan hal ini menggambarkan sebuah bentuk seksualitas dalam cerita rakyat untuk anak-
anak.

DAFTAR PUSTAKA
Bunanta, Murti. 1988. Problematika: Penulisan Cerita Rakyat Untuk Anak di Indonesia.Jakarta
: Balai Pustaka
Cavallaro, Dani, 2004. Critical and Cultural Teory, Teori Kritis dan Teori Budaya.Yogyakarta:
Niagara.
Darmono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Pendidikan
Nasional.
Danandjaja, James. 1994. FolklorIndonesia; Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: PT.
Pustaka Utama
Grafiti De Saussure, Ferdinand. 1988. Pengantar Linguistik Umum. Terj. Rahayu S. Hidayat.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Engleton, Terry. 1983. Literary Theory An Introduction. Oxford: Basil Blackwell.
Fludernik, Monika. 2009. An Introduction to Narratology. London :Taylor & Francis Group
Juniarto, Damar. 2013. Hitam Putih Cerita Anak Kita. tersedia dalam:
Http://bahasa.kompasiana.com/2012/05/0/hitam-putih-cerita-anak-kita- 461063.html
diakses pada tanggal 9 Januari 2017
Keraf, Gorys.2003. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Khaeriati.2008.
Cerita Rakyat Lombok Dongeng Cupak Geranttang, Sandubaya dan Lala Seruni dan
Alinaya.Tesis: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Kuntowijoyo.2006.Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta.:Tiara Wacana Yogya
Kurniawan, Heru. 2009. Sastra Anak Dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika,hingga
Penulisan Kreatif. Yogyakarta. Graha Ilmu
Luxemburg, Jan Val dkk. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia
Moleong, Lexy J., 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Newton, K.M. 1990. Menafsirkan Teks.Diterjemahkan oleh: Dr Soelistia, Ml. Semarang: IKIP
Semarang Press
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak.
Yogyakarta.Gadjah Mada University Press
-----------------------------. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta. Gadjah Mada University
Press
Propp, V. 1973. Morphology of the Folktale (Vol. 9). University of Texas Press.
Putra, Winkandia Satria dan Mentari Pujiana Yusuf. 2012. Batu Berdaun dan Puluhan Dongeng
Nusantara. Yogyakarta: Penerbit Andi
Rahmah, Yuliani. 2007. Dongeng Timun Emas (Indonesia) dan Dongeng Sanmai No Ofuda
(Jepang) Studi Komparatif Struktur Cerita dan Latar Budaya Tesis. Semarang: Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:Pustaka
Belajar
Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Tehnik, dan Kiat. Yogyakarta:
Fakultas Ilmu Budaya UGM
Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.
Sulistiati, Amir Mahmud. 1994. Cerita Rakyat Nusantara, Analisis Struktur dan Fungsi
Penjelmaan dalam cerita. Jakarta: Depdikbud
Trisari, Agatha, S., and Siti Chamamah Soeratno. "Struktur Naratif cerita rakyat Jambi:Telaah
berdasarkan Teori Vladimir Propp= Narative Structure of Iambi Folktales in Vladimir
Propp Theory." Sosiohumanika 14.2001 (2001). Diakses 20 Oktober 2015.
______________. 2002. “ Bacaan Anak Tentang Indonesia Terbitan Amerika Serikat 1960-
1980”. (Online).https://id.scribd.com/doc/56297549/04- Bacaan-Anak-Toha-Sarumpaet,
diakses 9 Januari 2017
Wahyuningtyas, Sri. Cerita Damarwulan karya Sutrimo dalam analisis struktur naratif
Vladimir Propp. Diss. Universitas Gadjah Mada, 2000.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai