171010700351
Universitas Pamulang
Email : Rizkinofrisetiawan@gmail.com
Abstract
PENDAHULUAN
Cerpen atau cerita pendek merupakan salah satu bentuk karya sastra. Karya sastra ini
tidak melibatkan banyak tokoh di dalamnya, karena hanya memiliki satu alur. Cerpen di
Indonesia beragam jenisnya, mulai dari yang beisi cerita lucu, cerita reamaja, cerita dewasa
sampai cerita horor.
Cerpen saat ini sangat cukup popular dibandingkan karya sastra laiannya, karena
penyampaiannya yang cukup mudah dijumpai seperti pada media cetak maupun media
elektronik. Djenar Maesa Ayu adalah satu sastrawati yang bergelut di bidang cerpen. Pemilihan
kata yang digunakan pada setiap cerpennya cukup menantang dan fulgar. Cerpen-cerpen karya
Djenar Maesa Ayu selalu menggangkat sebuah tema yang berhubungan dengan wanita dan
seksualitas di dalamnya.
Karakteristik budaya timur yang melekat di Indonesia seiring berjalannya waktu
mengalami proses asimilasi dengan budaya asing ( Barat ). Hal itulah yang menginspirasi Djenar
Maesa Ayu untuk menuangkannya dalam sebuah karya cerpen. Seksualitas menjadi konsusmsi
public dan dianggap bukan lagi suatu hal yang tabu. Penikmat cerpen khususnya masyarakat
mulai menikmati isi cerpen yang di sajikan oleh Djenar, walaupun cerpen tersebut
menggambarkan tentang wanita, kehidupan malam, dan realitas yang ada saat ini dalam budaya
kita. Realitas yang diusung oleh Djenar pun tak ubahnya sebuah bentuk cerminan kehidupan saat
ini. Hal ini sesuai dengan fungsi kehadiran karya sastra tersebut sebagai gambaran fenomena
kehidupan.
Asumsi yang berkaitan dengan wanita selalu menarik untuk dibicarakan dalam kerangka
kebudayaan kontemporer. Dua sisi kehidupan wanita membuat permasalahan tentang wanita
tidak pernah kering untuk dibicarakan. Sisi wanita yang identik dengan keindahan, dan sisi
wanita yang juga dianggap sebagai makhluk yang lemah sering dijadikan alasan oleh para
pengarang untuk mengeksploitasi wanita.
Sikapnya yang lembut dan pasif menyebabkan perempuan sering dianggap rendah
derajatnya dari laki-laki, dalam budaya patriaki perempuan menempati posisi inferior sedangkan
laki-laki ditempat superior. Perempuan lebih sering dipandang sebagai objek dibandingkan
sebagai subjek, dalam sebuah karya sastra, ponografi dan kekerasan sering menempatkan
perempuan sebagai korban. Salah satu produk sastra yang berbicara tentang feminism adalah
cerpen “Menyusu Ayah” karya Djenar Maesa Ayu,cerpen yang dikarang oleh tokoh feminis
yang dalam setiap karyanya selalu memunculkan sosok perempuan sebagai penggerak,
perempuan sebagai subjek yang pantas disetarakan kedudukannya dengan laki-laki.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoode deskriptif.
Menurut Moleong (2012:11) dalam metode deskriptif data yang di kumpulkan berupa kata-kata,
gambar dan bukan angka. Dengan demikian, laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data untuk
memberi gambaran penyajian laporan tersebut.
Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi objek alamiah dimana peneliti merupakan
instrument kunci (Sugiyono,2011). Sejalan dengan pendapat tersebut, Moleong
(Herdiansyah,2010:9) mendefinisikan, bahwa penelitian kualitatif adalah suatu fenomena dalam
konteks social secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang
mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti. Terkait dengan hal tersebut, penelitian
kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini lebih menitik beratkan pada pendekatan
fenomenologi. Menurut Creswell (1998: 54 ), pendekatan fenomenologi menunda semua
penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut
epoche ( jangka waktu ). Konsep epoche membedakan wilayah data ( subjek ) dengan
interprestasi peneliti. Konsep epoche menjadi pusat dimana peneliti menyusun dan
mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena untuk mengerti tentang apa yang dibahas
dalam cerpen.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif untuk membedah unsur
yang terdapat cerpen “Menyusu Ayah. Metode penelitian kualitatif akan di dapatkan data berupa
pendeskripsian mengenai cerpen “Menyusu Ayah”. Untuk mendapatka n pendesktipsian
tersebut, peniliti menggunakan pendekatan sastra. Metide pendekatan sastra yang digunakan
peneliti yakni dengan menggunakan metode pendekatan Wellek yang mengindetifikasikan sastra
menjadi unsur instrik dan usur ekstrinsik. Selain itu, peneliti menbedah cerpen “Menyusu Ayah”
menggunakan pendekatan feminisme dan sosiologi sastra.
Di bawah ini maka akan dipaparkan beberapa hasil analisis tentang cerpen “Menyusu Ayah”
karya Djenar Maesa Ayu .
Cerpen “Menyusu Ayah” merupakan sebuah cerpen yang berasal dari buku kumpulan
cerpen yang berjudul “Jangan Main-main denagn Kelaminmu”. Di dalam buku tersebut terdapat
11 judul cerpen. Cerpen “Menyusu Ayah” menarik perhatian pembaca dimana konflik yang
terjadi dan diangkat oleh penulis merupakan sebuah cerita yang tidak pernah terpikirkan. Sebuah
cerita yang mengisahkan seorang anak perempuan yang kehilangan sosok figure seorang ibu
sedari kecil dan dia menyusu dari penis ayahnya, sebuah cerita yang sangat sulit untuk dijelaskan
namun disusun apik oleh Djenar seolah benar-benar menggambarkan kejadian yang sebenarnya.
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Cerpen “Menyusu Ayah”
Wellek dan Austin (1993) melakukan pendekatan intrinsik dan ekstrinsik pada sebuah
karya sastra. Di bawah ini akan dipaparkan unsur intrisik dan ekstrinsik yang terdapat dapat
cerpen “Menyusu Ayah”.
Alur : Alur dalam cerpen ini menggunakan maju, dimana di awali dengan cerita
bagaimana sosok Naylandilahirka oleh ibunya sampai sososk Nayla menggalami suatu
kejadian yang menggakibat sosok Nayla mengandung akibat perbuatan teman-teman
ayahnya.
Latar :
1. Latar Suasana : suasana yang di sajikan oleh cerpen ini adalah kesedihan
2. Latar Tempat : Rumah sakit, rumah Nayla, tempat bermain Nayla dan teman-teman
laki-lakinya
3. Latar Waktu : latar waktu didalam cerpen ini tidak di gambarkan secara jelas, namun
jika di lihat maka peneliti bekesimpilan bahwa watku yang terjadi dalam cerita ini
ialah siang hari.
Sudut Pandang : sudut pandang yang digunakan dalam cerpen ini menggunakan
sudut pandang orang pertama
Gaya Bahasa : penulis menyajikan cerpen ini dengan gaya bahasa yang
sederhana memudahkan para pembaca untuk memahami cerita yang di sajikan.
Amanat : pesan yang coba disajikan penulis dari cerita ini bahwa tidak hanya
seorang perempuan (ibu) yang harus bisa merawat seorang anak, namun laki-laki (ayah)
juga harus mampu merawat dan mendidik seorang anak.
PEMBAHASAN
Stereotip, yaitu penanda terhadap salah satu jenis kelamin yang sering kali bersifat negatif
dan pada umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Perempuan dan laki-laki sudah
dibakukan sifat yang sepantasnya sehingga tidak mampu keluar dari kotak definisi yang
membakukan tersebut. Perempuan dianggap sebagai makhluk lemah secara fisik dan laki-laki
kuat. Perempuan dianggap sebagai makhluk irasional, emosianal, lembut mudah menangis
dependen. Sebaliknya laki-laki itu rasional, independen, berinisiatif, dan sebagainya. Anggapan
masyarakat tentang tugas utama kaum perempuan yang bersolek dan mempercantik diri hanya
ingin diperlihatkan oleh lawan jenis,dan bila terjadi pemerkosaan atau pelecehan seksual itu
merupakan kesalahan perempuan (Fakih,1998:29).
Stereotip gender biasa dilakukan pada dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan
sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya.
Stereotip gender juga menunjukan adanya relasi kekuasan yang tak seimbang yang bertujuan
untuk menaklukan atau menguasai pihak lain. Pelabelan yang dilekatkan pada perempuan
sebagai anak atau istri adalah orang yang lemah, tidak berdaya, dan pasrah atas perlakuan orang
tua ataupun suami.
Namun pada cerpen “Menyusu Ayah” penulis mencoba mengubah pandangan akan hal
tersebut di mana tokoh utama dalam cerpen ini bukanlah sosok seorang perempuan yang lemah
dibandingkan dengan kaum laki-laki. Seperti pada kutipan berikut ini!
“ Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki.
Karena, saya tidak menghisap puting payudara ibu. Saya menghisap penis Ayah.
Dan saya tidak air susu ibu, saya menyedot air mani Ayah.
Saya mengenakan celana pendek atau celana panjang. Saya bermain kelereng
dan mobil-mobilan. Saya memanjat pohon dan berkelahi. Saya kencing berdiri.
Saya melakukan segala hal yang dilakukan anak laki-laki.” ( DjenarMaesa Ayu,
2004)
Pada kutipan di atas, terlihat bahwa tokoh Nayla tidak ingin dianggap lemah dibandingkan
dengan laki-laki. Terbukti tokoh Nayla mampu melakukan segala hal yang dilakukan oleh laki-
laki. Dan bahkan pernyataan ini beberapa kali di tuliskan oleh penulis sebagai indikator untuk
menegaskan bahwa tokoh Nayla adalah tokoh yang tidaklah lemah dibandingkan dengan kaum
laki-laki.
“Saya senang jika teman-teman Ayah memangku dan mengelus-elus rambut saya,
tidak seperti teman-teman sebaya yang harus saya rayu terlebih dahulu. Saya
senang setiap kali bibir mereka membisiki telinga saya bahwa saya adalah anak
gadis yang manis. Anak gadis yang baik. Tidak seperti teman-teman sebaya yang
menjuluki saya gadis perkasa, gadis jahat, atau gadis sundal. Sayan senang cara
mereka mengarahkan kepala saya perlahan ke bawah dan membiarkan saya
berlama-lama menyusu disana. Saya senang mendengar desahan napas mereka
dan menikmati genggaman yang mengencang pada rambut saya. Saya merasa
dimanjakan karena mereka mau menunggu sampai saya puas menyusu. Saya
menyukai air susu mereka yang menderas ke dalam mulut saya. Karena saya
sangat haus. Saya sangat rindu menyusu ayah” (Djenar Maesa Ayu, 2004).
Selain itu, dalam konteks cerpen “Menyusu Ayah” seperti yang telah dijelaskan di atas
penulis selalu membuka paragrafnya dengan kalimat yang menyatakan bahwa perempuan
bukanlah makhluk lemah yang selalu dibayangkan oleh para laki-laki. “Nama saya Nayla. Saya
perempuan, tapi saya tidak lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap puting payudara
Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani
Ayah”. Djenar Maesa Ayu ingin menyampaikan bahwa secara kontekstual perempuan juga bisa
seperti laki-laki dan bisa melakukan pekerjaan yang selama ini hanya milik dan di donimasi laki-
laki. Hal ini adalah sesuatu yang normal terjadi buat para penganut ideologi feminisme sebab
ide-ide feminis berangkat dari kenyataan bahwa konstruksi sosial gender yang ada mendorong
citra perempuan masih belum dapat memenuhi cita-cita persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan. Kesadaran akan ketimpangan struktur, system dan tradisi dalam lingkungan
masyarakat yang mungkin pada akhirnya melahirkan sebuah karya seperti ini
Kekerasan (violence) adalah suatu serangan (assault) terhadap fisik maupun intergrasi mental
seseorang. Ada salah satu jenis kekerasan yang bersumber dari anggapan gender. Kekerasan ini
sring disebut sebagai ‘Gender Related Violence’, yang pada dasarnya disebabkan oleh kekuasan
(Fakih,1998:30).
Dalam konteks sosial kekerasan terhadap perempuan terjadi pada proses interaksi, yang
menghasilkan adanya ketidakseimbangan posisi dalam status peran atau kedudukan. Kondisi
demikian mekanismenya ada pada struktur sosial masyarakat, yang acuannya ada dalam kultur
(norma atau nilai) masyarakat dan wujudnya dalam relasi sosial atau interaksi sosial. Sehingga
sumber muncuknya kekerasan tersebut berkaitan dengan aspek struktural yang patriaki, aspek
struktural yang dominative, eksploitatif akibat posisi laki-laki dan perempuan tidak seimbang,
sehingga realisasi jasmani dan mental psikologisnya berada dibawah realisasi potensial.
Bentuk kekerasan terhadap perempuan itu jenisnya dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan
verbal, kekerasan psikis, kekerasan seksual, kekerasan ekomoni, kekerasan sosial. Kekerasan
fisik adalah kekerasan yang menyakiti tubuh atau fisik, seperti memukul bagian tubuh tanpa atau
dengan alat, menjemurnya, mengurung, mengikat, bahkan membunuh. Kekerasan verbal
terhadap perempuan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, yakni berupa caci maki, kata-kata
yang merendahkan harga diri, komentar-komentar vulgar, pemberian julukan dengan konatasi
negative,ancaman, dan bentakan. Implikasi kekerasan fisik dan kekerasan verbal tersebut adalah
kekerasan psikis, seperti korban merasa takut, tekanan, tidak percaya diri mendendam, menjaga
jarak dengan lingkungan dan meninggalkan tempar tinggal, dan lain sebagainya. Kekerasan
sosial berupa pengucilan dari masyarakat, dihakimi massa, bahkan diusir massa. Sedangkan
kekerasan seksual bentuknya seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, sodomi, termasuk di
dalamnya perkawinan (Fakih,1998:30).
Begitupun dalam cerpen “Menyusu Ayah” karya Djenar Maesa Ayu dimana terdapat sebuah
kekerasan seksual yang dialami oleh utama dalam cerpen ini yang dilakukan oleh orang-orang
terdekatnya yang tidak lain adalah Teman-teman dari Ayah tokoh utama tersebut, seperti yang
terdapat pada kutipan berikut ini!
“Hingga suatu hari ia merebahkan tubuh saya. Saat itu, pancaran matanya tidak
seperti teman-teman ayah yang lain. Pancaran matanya begitu mirip Ayah. Saya
memalingkan pandangan keberbagai arah. Tapi ia memaksa saya menatap
matanya. Ia mencium kening saya, turun ke bibir, turun ke dagu, turun ke leher,
turun ke payudara dan terus turun hingga kemaluan saya. Apakah ini? Saya
berusaha mengingat-ingat peristiwa ketika saya masih di dalam Ibu. Seingat saya
tidak pernah ada juga lidah yang megunjungi saya, juga tidak lidah Ibu. Ia
merentangkan kaki saya lalu menindih saya dengan tubuhnya yang penuh lemah
lemak. Saya diam saja, saya tidak berani menolak, walaupun saya merasakan
sakit yang luar biasa di kemaluan saya. Saya menggigit bibir keras-keras
menahan jerit.”(Djenar Maesa Ayu,2004)
Dari kutipan di atas menunjukan sebuah bentuk kekerasan seksual berupa pemerkosaan
yang dialami oleh tokoh utama. Bukan hanya kekesrasan seksual yang di dapatkan oleh tokoh
utama, namun tokoh utama juga mengalami kekerasan secara fisik yang dilakukan oleh Ayah
dari tokoh utama. Seperti yang terdapat pada kutipan berikut ini!
Dalam kutipan tersebut terlihat bagaimana bentuk kekerasan yang dialami oleh tokoh utama
yang dilakukan oleh orang terdekatnya yaitu Ayah.
Dalam masyarakat kapitalis, tidak dapat dipungkiri hubungan antar pribadi selalu di dasarkan
pada kepentingan. Pencitraan hubungan pribadi sama halnya seperti dalam dunia dagang. Untung
dan rugi. Bila menguntungkan, maka hubungan akan dijaga, namun bila tidak, maka pertemanan
tidak perlu dilanjutkan. Relasi seperti ini sangat menonjol di kota-kota besar (Nuraini, 2006:46)
Praktik eksploitasi seksual anak terus menerus berlangsung seolah tidak ada hentinya, seolah-
olah anak-anak “dihalalkan” untuk disantap oleh para penikmat seks anak. Seks anak adalah
industri yang luar biasa besar dengan keuntungan milyaran dollar, sehingga para pengambil
keuntungan ini tidak mau begitu saja menghentikan ‘bisnis” seks anak. Dalam salah satu
buku best seller karya David Brazil (2005) dikatakan: salah satu pusat pelacuran anak di
Indonesia yang terkenal sampai ke manca negara adalah Batam dan Bintan. Dua wilayah tersebut
adalah wilayah yang sering dikunjungi oleh laki-laki Singapura, sehingga wilayah itu dikenal
dengan istilah “kampung cinta” dan “peternakan ayam”.
“Eksploitasi seksual anak adalah sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak yang
terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan uang atau barang
terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai
objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial anak merupakan
sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja
paksa serta perbudakan modern.”
Rumusan definisi di atas terlihat jelas bahwa eksploitasi seksual anak tidak hanya menjadi
sebuah obyek seks tetapi juga sebagai sebuah komoditas. Adanya unsur ‘keuntungan’ dalam
eksploitasi anak inilah yang membedakan antara eksploitasi seksual anak dengan kekerasan
seksual anak, karena dalam kekerasan seksual anak tidak ada unsur keuntungan meskipun
keduanya sama-sama menunjuk pada tindakan seksual anak.
Dalam kaitannya kekerasan seksual terhadap anak, definisi atas perbuatan ini adalah
hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau dewasa
seperti: orang asing, saudara kandung, atau orang tua, dimana anak tersebut diperlakukan sebagai
sebuah objek pemuas bagi kebutuhan seksual si pelaku. Perbuatan ini biasanya diikuti dengan
perbuatan lain berupa: paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Perlu diketahui bahwa
kekerasan seksual tidak mensyaratkan kontak badan antara pelaku dengan anak tersebut, karena
tindakan seperti ekshibisme atau voyeurism (seperti: orang dewasa menonton atau merekam
seorang anak sedang telanjang atau menuyuruh atau memaksa anak-anak untuk melakukan
kegiatan-kegiatan seksual dengan orang lain) (ECPAT International, 2004). Celakanya, biasanya
perbuatan ini dilakukan oleh pelaku yang dikenal atau dipercaya oleh si anak (korban).
Dalam kepustakaan hukum nasional, tindak pidana eksploitasi seksual anak merupakan
konsep yang belum banyak dibahas khususnya dalam lingkup hukum pidana. Undang-undang
Perlindungan Anak (UU No. 23/2002 yang direvisi melalui UU No. 35/2014) hanya menyebut
dua pasal tentang larangan melakukan eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi pada anak
yaitu pasal 76 huruf I dan pasal pasal 88 dengan ancaman hukuman penjara maksimum 10 tahun
dan atau denda paling banyak 200 juta rupiah. Namun sayangnya undang-undang ini tidak
memberikan penjelasan yang rinci tentang konseps tindak eksploitasi seksual. Berbeda halnya
dengan tindak pidana perdagangan orang, dimana terminologi ini telah lebih dikenal dalam
KUHP maupun di luar KUHP. Pasal 297 KUHP menyebutkan : “Perdagangan wanita dan
perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa,diancam dengan pidana penjara paling lama
enam tahun”. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (selanjutnya UU Perdagangan Orang) telah mendefinisikan jenis tindak
pidana ini. Meski, para ahli telah sepakat bahwa seharusnya UU Perdagangan Orang juga
mendefinisikan secara khusus tindak pidana perdagangan anak, karena konsepsi antar keduanya
berbeda, khususnya terkait dengan elemen atau unsur-unsur deliknya.
Di Amerika Serikat tindak pidana eksploitasi seksual sudah menjadi satu konsep dalam tindak
pidana yang diatur dalam The Protect Act, 2003 (Tracy Agyemang, 2004). Menariknya, undang-
undang perlindungan anak tersebut memiliki jangkauan perlindungan anak di dalam dan di luar
negeri. Bentuk eksploitasi seksual yang dimaksudkan dalam The Protect Act, 2003 meliputi:
prostitusi anak, pornografi anak dan pariwisata seks anak.
Selain Amerika Serikat, beberapa negara di Asia yang sudah memiliki undang-undang
perlindungan seksual anak yang lebih baik dari Indonesia adalah Philipina yang sejak tahun 1991
telah telah memiliki undang-undang eksploitasi seksual anak. Meski, eksploitasi seksual anak
masih dibatasi pada bentuk prostitusi anak (lihat: Republic of Philipines, Congres of Phiipines,
Metro Manila, Republic Act 7610, 21 Juli 1991). Sementara itu, negara lain di Asia yang sudah
memiliki undang-undang perlindungan seksual anak adalah Thailand sejak tahun 1996 telah
memiliki “the Prevention and Suppresion for Prostitution Act 1996” (the “Act 1996”). Adapun
undang-undang perlindungan anak di Thailand memberikan sanksi pidana (kurungan dan denda)
kepada siapa pun mengambil manfaat dari prostitusi anak atau membeli seks pada anak-anak
yang belum berusia 18 tahun.
Dalam cerpen “Menyusu Ayah” terdapat sebuah tindakan eksploitasi terhadap tokoh
utama, dimana tokoh utama masih terbilang anak-anak yang tidak mengerti akan konsep
seksualitas, karena ketidaktahuannya maka tokoh utama dalam cerpen “Menyusu Ayah”
mengalami tindakan eksploitasi secara seksual yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya.
Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini!
“Tapi tidak ada pesta yang tidak usai,kebahagian adalah saudara kembara
kepahitan. Ternyata orang dewasa lebih mampu berkhianat. Ternyata tidak
semua orang dewasa hanya mau menyusui.”
“Pada suatu hari ketika sedang asik menyusu salah satu teman Ayah, ia meraba
payudara saya yang rata. Saya merasa tidak nyaman. Ucapan Ayah bahwa
payudara bukan untuk menyusui namun hanya untuk dinikmati lelaki terngiang-
ngiang di telinga saya, saya tidak ingin di nikamti, saya hanya ingin menikmati.
Namun pada saat itu saya tidak kuasa berbuat apa-apa. Saya terhipnotis oleh
kenikmatan yang memenuhi mulut saya. Akhirnya saya membiarkan peristiwa itu
terlewat begitu saja dan berjanji akan melupakannya”
Pada kutipan di atas terlihat bahwa tokoh “Saya” dalam cerpen ini mengalami tindakan
seksual yang di lakukan oleh teman ayahnya, bukan hanya sekali tokoh “Saya” mengalami
ekslpoitasi seksal namun beberapa kali. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini!
“Namun hari demi hari ia semakin kurang ajar. Ia tidak saja hanya meraba
payudara saya, tapi juga kemaluan saya.”
Seharusnya keluarga merupakan intitusi social yang begitu kuat pengaruhnya dalam kehidupan
seseorang.
SIMPULAN
Cerpen “Menyusu Ayah” menggambarkan seorang anak perempuan yang menjadi korban
kekerasan seksual ayah dan teman-temannya. Kerinduan untuk menyusu pada ibunya yang tak
dapat terpenuhi, karena sang ibu meninggal ketika melahirkannya, dimanfaatkan oleh ayah dan
teman-temannya untuk dijadikan objek seksual. Namun pada akkhirnya tokoh mengadakan
perlawanan ketika teman-teman sang ayah, yang semula membiarkannya menikmati “air susu”
dari penisnya pada akhirnya memperkosanya dan menyebabakan kehamilan dan menyulu
dendam terhadap ayah dan teman-temannya. Dominasi patriaki tampak sangat menonjol dalam
cerpen ini. Kematian ibu sang tokoh pun diakibatkan oleh kekerasan psikologis yang dilakukan
oleh suaminya yang menunduh anak yang dikandungnya sebagai hasil perselingkuhan. Sejak
dala kandunga tokoh saya sudah mengetahui bahwa dirinya dan ibunya adalah korban dominasi
patriaki. Oleh karena itu, tokoh saya selalu mengingat pesan ibunya yang disampaikan ketika
dirinya masih dalam kandungan bahwa kelak dirinya akan menjadi anak yang kuat, dengan atau
tanpa figur ayah. Hal ini menunjukan bahwa sejak lahir seorang perempuan telah dipersiapkan
untuk dapat bertahan dalam menghadapi kerasnya hidup yang dalam kultur patriarkat didominasi
oleh kaum laki-laki
Namun, di sini pengarang ingin menyampaikan bantahan masalah ranah domestik lewat
tokoh “Saya”. Melalui tokoh ini Djenar Maesa Ayu ‘Menyentil’ pemikiran konvensional, bahwa
hanya seorang ibu yang harus mengasuh, merawat, dan mendidik serta membahagiakan anak.
Dengan demikian ranah domestik bukan semata-mata wilayah permpuan, laki-laki pun juga
memiliki wilayah ini.
DAFTAR RUJUKAN
Ayu, Djenar Maesa. 2004. Jangan Main-Main dengan l(ef aminmu. Jakarta: