Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI CILIWUNG MELALUI

EVALUASI KAPASITAS ASIMILATIF 2 (PEMODELAN ALIRAN


POLUTAN III)

Analysis of Water Quality The Ciliwung River Through Assimilative


Capacity Evaluation 2 (Pollutan Flow Modeling III
Rifqi Prayodi1, Yusya Mawali Firdaus Rahman 1, Gaizca Betha Bianca1, Sulih Almaudi Suri1,
Kelvin Augusie Wijaya1
1)
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor, Jl. Raya Dramaga,Kampus IPB
Dramaga, Bogor 16680
Email: sulihalmaudi@apps.ipb.ac.id

HASIL DAN PEMBAHASAN


Alam memiliki kemampuan self purification yaitu kemampuan dalam mengatasi
pencemaran organik yang terjadi akibat kegiatan manusia. Koefisien reaerasi (K2) menjadi
poin penting dalam mekanisme self purification. Koefisien reaerasi (K2) dipengaruhi oleh
perubahan konsentrasi DO dan BOD. Koefisien reaerasi (K2) mengindikasikan kapasitas
sungai dalam menangkap oksigen dan menurunkan pencemar yang terkandung di dalam
sungai (Susanto et al. 2016). Praktikum kali ini dilakukan penentuan koefisien reaerasi pada
8 titik sampling (7 segmen) di Sungai Ciliwung dengan menggunakan 6 metode yaitu
metode reaerasi, dekomposisi aerobik, kondisi titik kritis, model O’Connor dan Dobbins,
model Churchill, serta model Langbeing dan Durum. Adapun rekapitulasi hasil
perhitungan koefisien reaerasi (K2) dari keenam metode tersebut disajikan pada tabel di
bawah ini.

Tabel 1 Rekapitulasi hasil perhitungan nilai K2


Titik O'Connor Langbeing
Dekomposisi Churchill
Segmen Reaerasi Kritis dan dan
Aerobik et al
Sungai Dobbins Durum
1 -1,36 -0,17 0,11 2,00 2,02 2,31
2 -1,29 1,28 -0,74 2,73 3,68 4,28
3 -1,26 0,67 -0,40 2,73 3,68 4,28
4 -1,20 1,51 -0,85 3,12 4,78 5,60
5 -1,09 0,43 -0,27 2,27 2,58 2,97
6 -1,33 -0,70 0,54 2,14 2,30 2,64
7 -1,41 -0,15 0,09 2,00 2,02 2,31

Tabel 2 Data hasil perhitungan nilai K1 dan La pada seluruh titik sampling metode
slope

Titik
sampling K1(/hari) La(mg/L)
1 0,33 8,93
2 0,33 9,05
3 0,33 8,78
4 0,33 8,49
5 0,33 8,06
6 0,33 7,62
7 0,33 8,93

Semakin tinggi nilai koefisien reaerasi (K2), semakin baik keadaan sungai tersebut karena
dapat menangkap oksigen ke dalam perairan sebanyak-banyaknya (Susanto et al. 2016).
Nilai K2 yang diperoleh, akan digunakan dalam perhitungan nilai Dt. Nilai K2 setiap
metode akan digunakan dalam perhitungan Dt untuk setiap segmen. Nilai Dt dalam satuan
mg/L dengan waktu (hari) dibuat menjadi sebuah kurva untuk tiap segmennya. Gambar 1
di bawah ini disajikan kurva Dt dan t untuk segmen 1. Terlihat bahwa kurva antara metode
titik kritis dan dekomposisi aerobik serta metode churcill dan metode langbeing durum
berhimpit yang artinya nilai Dt yang dihasilkan memiliki selisih yang sangat kecil. Titik
awal semua metode terlihat berasal dari titik yang sama. Selain itu, kurva titik kritis dan
dekomposisi aerobik cenderung naik hal ini menandakan DO defisit saturasi di hilir pada
waktu t mengalami kenaikan.

SEGMEN 1
2
Metode Reaerasi
1,8
1,6 Metode Dekomposisi
1,4 Aerobik
1,2 Metode Titik Kritis
Dt (mg/L)

1
0,8 Metode O'Connor
dan Dobbins
0,6
Metode Churchill et
0,4
al
0,2
Metode Langbeing
0 dan Durum
0,000 0,020 0,040 0,060 0,080
t (hari)

Gambar 1 Hubungan Dt (mg/L) dengan waktu (hari) pada segmen 1

Gambar 2 di bawah ini menyajikan kurva hubungan Dt dan t dari enam metode
perhitungan K2 pada segmen 2. Kurva langbeing, churchill, titik kritis, reaerasi terlihat
berhimpit, hal ini menandakan selisih nilai di antara keempatnya tidak berbeda jauh. Lain
hal dengan metode o’connor dobbins dan dekomposisi aerobik, kedua metode ini berada
lebih jauh dari keempat metode yang berdekatan. Metode reaerasi memiliki nilai Dt lebih
tinggi untuk hari-hari selanjutnya, sedangkan metode churchill, o’connor dobbins dan
langbeing durum terlihat mengalami penurunan untuk harihari selanjutnya, berbeda dengan
ketiga metode lainnya yang terus mengalami peningkatan. Penurunan ini menandakan
bahwa DO deficit saturasi di hilir pada waktu t mengalami penurunan.
SEGMEN 2
2
Metode Reaerasi
1,8
1,6 Metode Dekomposisi
1,4 Aerobik
1,2 Metode Titik Kritis
Dt (mg/L)

1
0,8 Metode O'Connor
dan Dobbins
0,6
Metode Churchill et
0,4
al
0,2
Metode Langbeing
0 dan Durum
0,085 0,090 0,095 0,100 0,105 0,110
t (hari)

Gambar 2 Hubungan Dt (mg/L) dengan waktu (hari) pada segmen 2

Gambar 3 di bawah ini menyajikan kurva hubungan Dt dan t dari enam metode
perhitungan K2 pada segmen 3. Kurva reaerasi dan tanpa dekomposisi anaerobik memiliki
peningkatan nilai Dt hari-hari selanjutnya dengan selisih antar kedua metode yang cukup
jauh. Berbeda dengan kurva O’Conner dan Dobbins, Churchill et al, dan Langbeing kurva
hubungan Dt dan t cenderung mengalami penurunan secara signifikan. Kurva langbeing
durum memiliki nilai paling rendah di antara keenam metode. Hal ini dikarenakan nilai K2
dari metode ini, bernilai besar sehingga DO defisit saturasi di hilir pada waktu t cenderung
kecil.

SEGMEN 3
2,5
Metode Reaerasi

2 Metode Dekomposisi
Aerobik
1,5 Metode Titik Kritis
Dt (mg/L)

1 Metode O'Connor
dan Dobbins
Metode Churchill et
0,5
al
Metode Langbeing
0 dan Durum
0,110 0,120 0,130 0,140 0,150 0,160
t (hari)

Gambar 3 Hubungan Dt (mg/L) dengan waktu (hari) pada segmen 3


Gambar 4 di bawah ini menyajikan kurva hubungan Dt dan t dari enam metode
perhitungan K2 pada segmen 4. Kurva pada segmen ini cenderung berjauhan antara
keenam metode kecuali metode Churchill et al dan Langbeing. Kurva reaerasi cenderung
mengalami kenaikan yang signifikan untuk hari-hari selanjutnya, sedangkan untuk kelima
lainnya cenderung stabil atau mengalami penurunan. Turunnya kurva hubungan Dt dan t
ini menandakan DO defisit saturasi di hilir pada waktu t cenderung berkurang.

SEGMEN 4
2
Metode Reaerasi

1,5 Metode Dekomposisi


Aerobik
Metode Titik Kritis
Dt (mg/L)

1
Metode O'Connor
dan Dobbins
0,5 Metode Churchill et
al
Metode Langbeing
0 dan Durum
0,160 0,170 0,180 0,190 0,200
t (hari)

Gambar 4 Hubungan Dt (mg/L) dengan waktu (hari) pada segmen 4

Gambar 5 di bawah ini menyajikan kurva hubungan Dt dan t dari enam metode
perhitungan K2 pada segmen 5. Kurva O’Conner dan Dobbins, Churchill et al, dan
Langbeing cenderung mengalami penurunan dan nilai antara ketiga metode ini tidak
memiliki selisih yang jauh. Sedangkan kurva reaerasi dan tanpa dekomposisi anaerobic
cenderung mengalami kenaikan dengan selisih nilai di antara kedua metode tersebut cukup
jauh. Penurunan dan kenaikan kurva ini menandakan DO defisit saturasi di hilir pada waktu
t ada yang naik dan turun bergantung pada metode.
SEGMEN 5
3,5
Metode Reaerasi
3
Metode Dekomposisi
2,5 Aerobik
Metode Titik Kritis
Dt (mg/L)

1,5 Metode O'Connor


dan Dobbins
1
Metode Churchill et
0,5 al
Metode Langbeing
0 dan Durum
0,200 0,220 0,240 0,260 0,280 0,300
t (hari)

Gambar 5 Hubungan Dt (mg/L) dengan waktu (hari) pada segmen 5

Gambar 6 di bawah ini menyajikan kurva hubungan Dt dan t dari enam metode
perhitungan K2 pada segmen 6. Sama seperti segmen sebelumnya, kurva metode reaerasi
dan tanpa dekomposisi anaerobic terus mengalami peningkatan untuk hari-hari
selanjutnya. Sedangkan, Kurva O’Conner dan Dobbins, Churchill et al, dan Langbeing
cenderung mengalami penurunan. Namun yang membedakan dari segmen sebelumnya
adalah nilai kurva O’Conner dan Dobbins di segmen ini lebih berhimpit dengan metode
Churchill et al yang mana selisih di antara keduanya sangat tipis. Selain itu, di segmen ini
kurva tanpa dekomposisi anaerobik memiliki kurva yang meningkat signifikan.

SEGMEN 6
6
Metode Reaerasi

5
Metode Dekomposisi
Aerobik
4
Metode Titik Kritis
Dt (mg/L)

3
Metode O'Connor
2 dan Dobbins
Metode Churchill et
1 al
Metode Langbeing
0 dan Durum
0,330 0,380 0,430 0,480 0,530
t (hari)

Gambar 6 Hubungan Dt (mg/L) dengan waktu (hari) pada segmen 6

Gambar 7 di bawah ini menyajikan kurva hubungan Dt dan t dari enam metode
perhitungan K2 pada segmen 7. Pada segmen ini dapat terlihat bahwa kurva metode titik
kritis dan tanpa dekomposisi aerobik memiliki nilai yang berdekatan dan cenderung
mengalami peningkatan. Hal ini sangat berbeda dengan ketiga metode lainnya, yang
cenderung mengalami penurunan dan satu metode lagi cenderung meningkat secara
signifikan, yakni metode reaerasi.

SEGMEN 7
5
Metode Reaerasi

4 Metode Dekomposisi
Aerobik
3 Metode Titik Kritis
Dt (mg/L)

2 Metode O'Connor
dan Dobbins
Metode Churchill et
1
al
Metode Langbeing
0 dan Durum
0,560 0,580 0,600 0,620 0,640 0,660
t (hari)

Gambar 7 Hubungan Dt (mg/L) dengan waktu (hari) pada segmen 7

Gambar 8 di bawah ini menunjukan kurva oxygen sag dari Sungai Ciliwung. Kurva ini
memperlihatkan defisit oksigen yang terjadi pada badan sungai di 7 segmen. Oxygen sag
(pengurangan oksigen) dalam aliran air sungai setiap waktunya selama terjadinya proses
pemurnian alami adalah perbedaan antara nilai kadar saturasi DO dan kadar aktual DO
pada waktu tersebut (Arbie et al. 2015). Kurva memperlihatkan naik-turun dari defisit
oksigen di setiap segmen. Pada setiap segmen cenderung mengalami naik-turun yang mana
penurunan nilai Dt menandakan saat itu terjadi deoksigenasi lalu kenaikan nilai Dt
menandakan terjadinya reaerasi. Fluktuatifnya nilai konstanta reaerasi disepanjang lokasi
titik sampling dapat disebabkan karena pengaruh lingkungan. Faktor lingkungan tersebut
diantaranya kecepatan aliran, debit sungai, perubahan jumlah limbah yang masuk ke
sungai, dan perubahan suhu (Wahyuningsih et al. 2019). Semakin besar kemiringan dasar
sungai maka semakin intensif proses reaerasi sehingga proses self purification berjalan
intensif. Semakin jauh jarak, maka kemampuan self purification semakin intensif
(Hendrasarie dan Cahyarani 2008). Hal ini tidak sepenuhnya terjadi pada kurva di Gambar
8. Hal ini bisa disebabkan adanya perhitungan yang keliru atau kesalahan teknis lainnya.
Gambar 8 Kurva Oxygen Sag Sungai Cisadane

Simpulan
Metode reaerasi dan metode dekomposisi aerobik memiliki kenaikan yang cukup
signifikan pada tiap segmennya, hal ini menandakan keadaan sungai yang baik apabila
reaksi semakin tinggi. Metode titik kritis dan metode o’connor dan dobbins memiliki
progress yang tidak menentu, fluktuasi yang terjadi diakibatkan kesalahan dan ketidak
telitian pada data sekunder yang dianalisis. Metode churchill et al dan metode langbeing
durum memiliki penurunan yang stidak stabil, hal ini dikarenakan defisit data saturasi DO
mengalami penurunan. Fluktuatifnya nilai konstanta reaerasi disepanjang lokasi titik
sampling dapat disebabkan karena pengaruh lingkungan. Faktor lingkungan tersebut
diantaranya kecepatan aliran, debit sungai, perubahan jumlah limbah yang masuk ke
sungai, dan perubahan suhu.

DAFTAR PUSTAKA
Arbie RR, Nugraha WD, Sudarno. 2015. Studi kemampuan self purification pada sungai
Progo ditinjau dari parameter organik DO dan BOD (point source: limbah sentra tahu
Desa Tuksono, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi D.I.
Yogyakarta). Jurnal Teknik Lingkungan. 4(3): 1-15.
Hendrasarie, Cahyarani. 2008. Kemampuan self purification Kali Surabaya, ditinjau dari
parameter organik berdasarkan model matematis kualitas air. Jurnal Ilmiah Teknik
Lingkungan. 2(1): 1-10.
Susanto E, Sarminingsih A, Nugraha WD. 2016. Pengaruh hidrolika sungai terhadap
koefisien reaerasi sungai Garang. Jurnal Teknik Lingkungan. 5(3): 1-9.
Wahyuningsih S, Novita E. Ningtias R. 2019. Laju deoksigenasi dan laju reaerasi sungai
Bedadung segmen Desa Rowotamtu Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember. Jurnal
Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem. 7(1): 1-7.

Anda mungkin juga menyukai