Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Gigi

Gigi merupakan alat pencernaan yang penting untuk membantu makanan


agar mudah dicerna. Fungsi pencernaan meliputi fungsi mengunyah, sekresi
saliva, serta proses menelan.1 Manusia memiliki gigi susu dan gigi permanen.
Gigi susu mulai muncul sekitar usia 6 bulan yang terdiri dari 20 gigi dan akan
lengkap pada usia sampai 3 tahun. Gigi permanen mulai muncul pada usia 6
tahun dan secara bertahap mengganti gigi susu. Jumlah gigi permanen yaitu
32 gigi. Bagian anterior yaitu gigi seri dan gigi taring, sedangkan bagian
posterior yaitu gigi premolar dan molar. Perbedaan gigi susu dan permanen
yaitu pada gigi susu tidak terdapat gigi premolar. Karakteristik dari gigi
permanen yaitu gigi permanen lebih gelap warnanya sedangkan gigi susu
lebih keputihan. Gigi susu memiliki mahkota bulat dan leher yang
menyempit. Sistem notasi gigi digunakan untuk menyederhanakan tata nama
gigi dan pencatatan. Jumlah dan jenis gigi yang ada pada suatu gigi dapat
dinyatakan dalam bentuk formula gigi. Formula gigi digunakan untuk
membedakan gigi manusia dari spesies lain. Formula gigi permanen dan gigi
susu berbeda. Kelas gigi yang berbeda diwakili oleh huruf pertama dalam
namanya, misalnya “I” untuk gigi seri, “C” untuk gigi taring, “P” untuk gigi
premolar, “M” untuk gigi geraham. 2 Struktur gigi terdiri dari :
Gambar 2.1 Anatomi Gigi3

2.1.1 Jaringan Gigi


Jaringan gigi terdiri dari beberapa jaringan pembentuk. Secara garis besar,
jaringan pembentuk gigi ada tiga, yaitu email, dentin dan pulpa.3

a. Email / Enamel

Jaringan email merupakan jaringan yang paling luar berwana putih yang
menutupi mahkota gigi dan merupakan jaringan terkeras dari tubuh manusia.
Komposisi email terdiri dari jaringan anorganik 96%, organik 1% dan sisanya adalah
air. Komposisi inilah yang menyebabkan email sangat kuat. Sesuai dengan bahan
penyusun dan letaknya email berfungsi untuk melindungi gigi dari rangsangan luar
seperti panas, dingin, asam dan manis. Matriks email dihasilkan oleh sel ameloblast.3

b. Dentin

Dentin merupakan jaringan lapisan kedua dari struktur gigi dan merupakan
komponen terbesar dari gigi. Dentin terletak di bawah lapisan email dan berwarna
kuning serta jauh lebih lunak dari email. Komposisinya terdiri dari hidroksi apatit
80% dan zat antar sel organik 20% terutama terdiri dari serat-serat kolagen dan
glikosaminoglikans yang disintetis oleh sel yang disebut sel odontoblast. Dentin
merupakan sebagai atap dari pulpa atau untuk melindungi pulpa.3

c. Pulpa

Pulpa adalah kavitas yang terdapat pada bagian dalam gigi yang berisi saraf
dan pasokan darah ke gigi yang terbagi menjadi kamar pulpa (di bagian koronal) dan
saluran akar (di dalam akar).3

2.1.2 Penyangga Gigi

a. Ginggiva

Ginggiva atau disebut gusi adalah jaringan yang melapisi dan melekat erat
pada leher gigi dan tulang alveolar dan merupakan jaringan terluar yang tampak
dalam rongga mulut yang berwarna merah muda.3

b. Sementum

Sementum adalah jaringan keras yang meliputi akar gigi. Komposisi


sementum yaitu material anorganik (serat kolagen) 65%, air 35% selebihnya zat
organik (hidro apatid).3

c. Ligamen Periodontal

Ligamen periodontal adalah jaringan yang membungkus akar gigi dan


menghubungkan akar gigi ke tulang alveolar. Jaringan periodontal terdiri dari serat-
serat periodontal yang tersusun dari kelompok serat kolagen, pembuluh darah dan
saraf.3

d. Tulang Alveolar

Tulang alveolar merupakan bagian dari tulang rahang yang mengelilingi akar
gigi. Tulang ini membentuk suatu lubang tempat gigi tertanam. Ketebalan dan
ketinggian tulang alveolar tergantung dengan ada tidaknya gig yang disangga. Fungsi
tulang alveolar adalah sebagai penyangga gigi.3
2.1.3 Jenis Gigi

Gigi dibagi menjadi empat jenis, yaitu gigi seri, gigi taring, gigi geraham kecil
dan gigi geraham besar. Masing-masing jenis gigi memiliki bentuk yang berbeda.
Usia dewasa umumnya memiliki keempat jenis gigi ini, sedangkan untuk anak/gigi
susu hanya memiliki tiga jenis, yaitu gigi seri, gigi taring dan geraham. Empat jenis
gigi yaitu4 :

a. Gigi Seri

Istilah gigi seri adalah gigi insisif, jumlahnya empat di atas dan empat di
bawah. Dinamakan gigi seri karena langsung terlihat sama, sepasang (seri) dan
berdampingan. Gigi seri terletak pada bagian depan rahang dan langsung terlihat saat
pertama kali seseorang tersenyum atau berbicara.4

b. Gigi Taring

Istilah gigi taring adalah kaninus. Jumlahnya ada empat, satu di sebelah kanan
atas, satu di sebelah kiri atas, satu di sebelah kanan bawah, dan satu di sebelah kiri
bawah. Gigi ini adalah gigi yang terakhir tumbuh di rongga mulut, sehingga sering
mengalami kekurangan tempat. Posisinya lebih menonjol dibandingkan gigi yang
lain. Secara awam, dikenal dengan istilah gigi ginsul, tapi di kedokteran gigi, posisi
ini disebut ektopik atau menonjol.4

c. Gigi Geraham Kecil

Istilah gigi geraham kecil adalah premolar. Jumlahnya ada empat di bagian
rahang/mulut atas, yaitu dua di sebelah kanan atas dan dua di bagian kiri atas. Lalu
ada empat lagi di bagian rahang/mulut bawah, yaitu dua di bagian kanan bawah dan
dua di bagian kiri bawah. Pre artinya sebelum atau mendahului, sehingga premolar
berarti mendahului molar. Hal ini karena letaknya di barisan sebelum gigi molar
(geraham).4
Bentuknya menyerupai gigi taring, tetapi memiliki bukit yang tajam di kedua
sisi, bukan satu seperti taring. Jenis gigi ini hanya dapat ditemukan pada periode gigi
tetap, sedangkan pada periode gigi susu tidak ditemukan gigi geraham kecil,
meskipun gigi geraham kecil pada periode tetap adalah gigi yang menggantikan gigi
geraham susu dalam proses tumbuh kembang gigi.4

d. Gigi Geraham Besar

Istilah gigi geraham besar adalah molar. Jumlahnya enam di rahang/mulut


atas, yaitu tiga di sebelah kiri atas dan tiga di sebelah kanan atas; serta enam di
rahang/mulut bawah, yaitu tiga di sebelah kiri bawah dan tiga di sebelah kanan
bawah.4

Gambar 2.2 Jenis Gigi2


2.2 Supernumerary Teeth

2.2.1 Definisi

Supernumerary teeth didefinisikan sebagai kelebihan jumlah gigi pada satu set
gigi, baik gigi sulung maupun permanen.5 Jumlah gigi sulung normal adalah 20 buah,
sedangkan gigi permanen (gigi tetap) normal 32 buah termasuk Molar ketiga.6
Supernumerary teeth dapat berupa gigi tunggal, multipel, unilateral atau bilateral dan
pada maksila, mandibula atau keduanya.5,6

2.2.2 Klasifikasi

a. Berdasarkan lokasi7
1. Mesiodens yaitu gigi yang tumbuh di antara kedua gigi insisif sentral

A B

Gambar 2.3. A. Mesiodens. Erupsi supernumerary, gigi rudimenter dari anterior


maksila. B. Radiografi mesiodens. Supernumerary teeth unilateral anterior maksila.8

2. Paramolar, supernumerary teeth yang terletak di antara gigi molar.

A B
Gambar 2.4. A. Terdapat gigi yang lebih kecil dari gigi molar yang berdekatan. B.
Radiografi paramolar.8

3. Distomolar, supernumerary teeth yang tumbuh pada lokasi paling distal


dari lengkung rahang Molar ketiga.

Gambar 2.5. Radiologi panoramik yang menunjukkan adanya distomolar di maksila


anterior dextra.9

b. Berdasarkan morfologi7
1. Conical (konus kecil)
Biasanya berbentuk peg-shaped merupakan supernumerary teeth yang
sering dijumpai di antara gigi tetap. Gigi ini berkembang dengan
pembentukan akar yang lebih awal atau sama dengan pembentukan akar gigi
insisif tetap. Gigi ini biasanya muncul sebagai mesiodens dan kadang-kadang
ditemukan posisinya di atas serta terbalik ke arah palatal atau dapat juga
ditemukan dalam posisi horizontal. Supernumerary teeth yang berbentuk
konus lebih sering menyebabkan displacement dari gigi-gigi sebelahnya,
kegagalan erupsi atau tidak mempunyai efek terhadap gigi-gigi lain.

2. Tuberculate

Pada gigi tipe ini mempunyai lebih dari satu cusp atau tuberkel dan sering
digambarkan sebagai barrel-shaped dan berinvaginasi. Pembentukan akarnya
terlambat dari gigi insisif tetap. Tuberculate sering terbentuk berpasangan dan
biasanya terletak di sebelah palatal dari insisif sentral. Supernumerary teeth
ini sering tidak erupsi dan berhubungan dengan kegagalan erupsi gigi normal.

3. Supplemental

Pada tipe Supplemental merupakan duplikasi dari gigi normal dan


ditemukan pada akhir susunan suatu gigi. Secara klinis, gigi tipe ini
menyerupai gigi normal. Gigi supplemental yang biasa ditemukan adalah
insisif lateral rahang atas, premolar dan molar tetap. Supernumerary teeth
yang sering ditemukan pada periode gigi sulung adalah tipe supplemental dan
jarang mengalami impaksi,

4. Odontoma

Dikaitkan dengan tumor odontogenik, tidak berbentuk gigi, dan biasanya


hanya massa jaringan gigi yang tidak beraturan.
Gambar. 2.6. Radiograf klasifikasi supernumerary teeth berdasarkan morfologi, (A)
Conical, (B) Tuberculate, (C) Odontoma, (D) Supplemental.10

2.2.3 Etiologi

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan timbulnya supernumerary teeth


yaitu:

a. Teori hipergenesis epithel, bahwa gigi supernumerary juga dapat terjadi akibat
hipergenesis epitel dimana sisa lamina dental atau cabang palatal lamina
dental yang aktif dirangsang untuk berkembang menjadi benih gigi tambahan
sehingga terbentuknya supernumerary teeth.11
b. Faktor genetik, dipertimbangkan sebagai suatu hal yang penting pada adanya
supernumerary teeth. Berbagai kasus telah dilaporkan adanya rekurensi dalam
satu keluarga. Gen yang berkaitan dengan jenis kelamin (sex-linked)
diperkirakan memiliki kaitan dengan supernumerary teeth, dimana laki-laki
dua kali lebih sering memiliki supernumerary teeth dibandingkan wanita.12

2.2.4 Akibat

Maloklusi akibat pengaruh supernumerary teeth. Maloklusi dapat disebabkan


oleh banyak faktor, antara lain: (1) faktor keturunan, (2) kongenital, (3) lingkungan,
(4) kelainan jumlah, ukuran dan bentuk gigi, (5) gangguan pada pembentukan gigi
dan erupsi. Gangguan ini terjadi akibat faktor genetik seperti hiperfungsi atau
hipofungsi kelenjar endokrin dan gangguan metabolisme kalsium sehingga
menimbulkan manifestasi pada perkembangan rahang. Akibatnya perkembangan
rahang terganggu, dan dapat menimbulkan oklusi yang tidak normal. Untuk mencapai
oklusi yang baik, rongga mulut harus mempunyai gigi dalam jumlah yang normal.
Jumlah gigi yang berlebihan atau kurang dapat menjadi faktor predisposisi maloklusi.
Kelainan jumlah, morfologi dan waktu erupsi gigi serta adanya gigi ektopik dapat
dipengaruhi oleh faktor genetik, kongenital atau proses patologik postnatal.6

Supernumerary teeth dapat ditemukan di semua lokasi pada rahang dan


biasanya erupsi seperti gigi-gigi tetangganya. Supernumerary teeth juga sering erupsi
di akhir susunan gigi normal yang dikenal sebagai molar keempat yang dapat
mengganggu erupsi gigi molar ketiga. Gigi supplemental jarang ditemukan pada regio
premolar terutama rahang bawah. Gigi-gigi ini biasanya mengalami proses kalsifikasi
yang lebih lambat dari gigi normal dan secara radiografis terletak di sekitar akar gigi
normal yang telah terklasifikasi sempurna. Secara umum, gigi ini tidak mengganggu
oklusi tetapi ekstraksinya dapat menimbulkan masalah akibat posisinya yang sangat
dekat dengan akar gigi-gigi premolar yang sudah erupsi. Jadi, Supernumerary teeth
tersebut harus selalu diamati dan diekstraksi jika menimbulkan masalah. Gigi
supplemental insisif sering ditemukan dan biasanya erupsi pada regio insisif bawah
atau lateral atas. Gigi supplemental insisif sentral atas hanya ditemukan pada pasien
celah bibir. Biasanya gigi supplemental ini tidak menimbulkan masalah oklusi dan
mudah ditemukan.13

2.2.4 Diagnosis

Salah satu metode untuk mendiagnosis supernumerary teeth adalah dengan


melakukan rontgen foto. Pemeriksaan radiografi diindikasikan bila ditemukan tanda-
tanda klinis yang abnormal. Pada pemeriksaan supernumerary teeth, radiografi yang
digunakan adalah foto periapikal, foto panoramik dan foto lateral. Bila diduga adanya
supernumerary teeth, pemeriksaan radiografi tambahan dibutuhkan untuk membantu
menentukan diagnosis. Sebagai contoh, foto oklusal rahang atas dapat memberi
gambaran yang jelas apakah ada atau tidak supernumerary teeth.13

Foto oklusal anterior dan periapikal sangat bermanfaat untuk mendapatkan


detail dari regio insisif. Untuk mendeteksi posisi buko-lingual supernumerary teeth
yang tidak erupsi, prinsip radiografi parallax dapat digunakan. Selain itu, foto lateral
regio insisif dapat membantu dokter gigi menentukan kedalaman dan tinggi
supernumerary teeth yang tertanam jauh dalam palatum. Hal ini dilakukan untuk
mencari metode yang tepat dalam mengeluarkan supernumerary teeth.13

Gambar 2.7 Foto panoramik yang menunjukkan supernumerary teeth.14

2.2.5 Tatalaksana

Langkah pertama untuk tata laksana supernumerary teeth adalah menentukan


lokasi dan mengidentifikasi komplikasi yang terjadi akibat adanya supernumerary
teeth tersebut. Posisi gigi dapat ditentukan dengan menggunakan foto periapikal,
panoramik dan foto proyeksi oklusal. Semakin jelas penentuan lokasi gigi,
memudahkan kita dalam menilai apakah gigi tersebut membahayakan gigi
tetangganya, mengganggu pergeseran gigi pada perawatan orthodonsia atau tidak,
sehingga kita dapat menentukan tindakan apa yang paling tepat untuk supernumerary
teeth tersebut.15

Jika gigi tidak menyebabkan komplikasi dan tidak mengganggu pergerakan


gigi dalam perawatan orthodontik, gigi tersebut dapat hanya diobservasi tahunan
dengan radiografis. Pasien harus diberi tahu komplikasi termasuk perubahan kista dan
migrasi gigi dengan kerusakan akar gigi tetangganya. Jika pasien tidak berharap
terjadinya risiko komplikasi, dapat dipertimbangkan untuk mengoperasi
supernumerary teeth tersebut. Jika supernumerary teeth berkaitan dengan akar gigi
permanen, dipertimbangkan untuk menunggu selesainya pembentukan akar gigi yang
terkait sebelum dilakukan ekstraksi supernumerary teeth untuk meminimalisasi
kerusakan akar gigi permanen.16

2.2.6 Perawatan

Untuk menentukan perawatan yang optimal pada kasus supernumerary teeth


di perlukan terlebih dahulu pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiografi. Perawatan
supernumerary teeth hanya dengan pencabutan atau perawatan supernumerary teeth
dengan pencabutan selanjutnya melakukan perawatan ortodontik untuk memperoleh
oklusi yang benar dan memperoleh ruang pada kasus supernumerary teeth.17

Perawatan pilihan untuk masing-masing kasus harus dianalisa secara


individual, tergantung kepada jenis dan posisi gigi yang berlebih. Secara garis besar
perawatannya dilakukan dengan pencabutan, pengambilan secara bedah (bila gigi
tersebut tidak dapat erupsi) atau pada kasus tertentu gigi dibiarkan berada dalam
mulut dengan observasi (misal distomolar di belakang molar tiga dan tidak
mengganggu).17

Pada kasus diastema yang disebabkan mesiodens, perawatan dilakukan


dengan pencabutan, kemudian dilanjutkan dengan perawatan ortodonti. Waktu yang
ideal untuk pengambilan gigi berlebih pada regio depan adalah usia 6-7 tahun, karena
akar insisivus sentralis sedang berkembang, namun belum sepenuhnya terbentuk.
Penting untuk memonitor ruangan yang ada serta oklusinya selama periode ini.17
DAFTAR PUSTAKA

1. Vodanovic M. Basic Anatomy of the Oral Cavity. In: Brkic H,


Dumancic J, Vodanović M (editors). Biology and morphology of human
teeth. Jastrebarsko: Naklada Slap; 2021:1-14
2. Rashmi G S. Textbook of dental anatomy, phisiology and occlusion. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd; 2014:3-11.
3. Wangidjaja, Itjiningsih. Anatomi Gigi. Edisi 2. Jakarta : EGC;2014.
4. Erwana FA. Seputar Kesehatan Gigi dan Mulut. Yogyakarta: Rapha
Publishing; 2013.
5. Gorlin RJ, Goldman HM. Thoma’s Oral Pathology. 6th ed. St Louis: CV
Mosby. 1970.
6. Bhalajhi SI, Orthodontics The Arts And Science, Edisi Ketiga, Mangalore
Arya;2006.
7. Mitchell, Laura. An Introduction To Orthodontics. Edisi Ketiga. Oxford
University Press;2007
8. Neville BW, Damm D, Allen C, Bouquot J. Oral & Maxillofacial Pathology,
2nd ed. 2002:20.
9. Andrei OC, Burlibasa Mihai, Daguci Constantin, Margarit Ruxandra.
Maxillary distomolars: Case reports, differential diagnosis and literature
review. Romanian journal of morphology and embryology = Revue roumaine
de morphologie et embryologie. 2017; 58(4):1617-22
10. Jung Y, Kim J, Cho B. The effects of impacted premaxillary supernumerary
teeth on permanent incisors. Imaging Sci Dent. 2016;46:251-8
11. Salzmann JA. Orthodontics Principles And Prevention. J.B. Lipipincott;2007
12. Batra P, Duggal R, Parkash H. Non- syndromic multiple supernumerary teeth
transmitted as anautosomal dominant trait. J Oral Pathol Med;2005;34:621-5
13. Iswari herlianti. Gigi supernumerary dan perawatan ortodonsi. E journal
widya kesehatan dan lingkungan. 2013;1(1):37-45
14. Rosdiana Nova, Sam Belly, Epsilawati Lusi. Evaluasi gigi supernumerary
yang menyerupai odontoma menggunakan cone beam computed tomography
(CBCT). Jurnal radiologi dentomaksilofasial Indonesia. 2019;3(3):5-8
15. Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouquot JE. Oral and Maxillofacial
Pathology. 2 ed. Philladelphia: WB Saunders. 2002;69–73.
16. Arbi TA. Multiple supernumerary teeth yang langka: sebuah laporan kasus.
Cakradonya Dent J 2015; 7(2):807-68
17. Hilda LF. Perawatan gigi supernumerary rahang atas pada masa gigi
bercampur: laporan kasus. J Syiah Kuala Dent Soc. 2016;1(2):103-9

Anda mungkin juga menyukai