Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Masalah gigi bungsu, dimana dalam proses erupsi (muncul) ke
rongga mulut sering mengalami gangguan berupa impaksi. Kasus impaksi
sangat bervariasi, ada yang memerlukan tatalaksana bedah yaitu
odontektomi dan ada pula kasus yang dapat dibiarkan tanpa pembedahan.
Kedua pilihan tersebut masing-masing dapat menimbulkan komplikasi
yang harus diantisipasi dan dicegah agar komplikasi seringan mungkin.
Perbedaan persepsi antar dokter menimbulkan kontroversi. Pasien yang
semakin kritis, menuntut kewaspadaan dokter akan pilihan tatalaksana
yang akan diambil. Dokter harus menjelaskan kepada pasien komplikasi
tersebut dan keputusan bersama diambil berdasarkan pertimbangan akan
manfaat dan risikonya. Gigi bungsu adalah gigi molar ketiga, terletak di
rahang atas dan bawah, yang terbentuk dan mengalami erupsi paling akhir.
Umumnya erupsi terjadi pada usia 16 -25 tahun, suatu periode dalam
kehidupan yang disebut age of wisdom sehingga gigi bungsu disebut
sebagai wisdom teeth.Gigi akan tumbuh normal ke dalam rongga mulut
tanpa halangan bila benih gigi terbentuk dalam posisi yang baik, lengkung
rahang cukup ruang untuk menampungnya. Sebaliknya, pertumbuhan
terganggu bila benih malposisi, lengkung rahang tidak cukup luas atau
keduanya. Kondisi di atas berakibat gangguan erupsi yang disebut
impaksi. Gigi impaksi dapat terjadi pada gigi-gigi lain, namun frekuensi
tertinggi ditemukan pada molar ketiga bawah dan atas, diikuti oleh gigi
kaninus atas, gigi premolar bawah, dan gigi berlebih (supernumerary
tooth). Sebanyak sembilan dari 10 orang mengalami satu gigi bungsu yang
impaksi. (Rahayu, 2014)
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan impaksi gigi ?
2. Bagaimana penjelasan tentang anatomi penyakit impaksi gigi ?
3. Bagaimana penjelasan tentang etiologi penyakit impaksi gigi ?
4. Bagaimana penjelasan tentang patofisiologis penyakit impaksi gigi ?
5. Bagaimana penjelasan tentang manifestasi klinis penyakit impaksi
gigi?
6. Bagaimana konsep teori tindakan operasi odontektomy ?
7. Bagaimana penjelasan tentang asuhan keperawatan anestesi
perianestesi secara teori penyakit impaksi gigi?
8. Apa yang dimaksud dengan general anestesi ?
9. Bagaimana penjelasan konsep teori general anestesi?
C. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa diharapkan dapat memahami pengertian penyakit impaksi
gigi
2. Mahasiswa diharapkan dapat memahami etiologi dari impaksi gigi
3. Mahasiswa diharapkan dapat memahami Anatomi dari impaksi gigi
4. Mahasiswa diharapkan dapat memahami patofisiologis dari impaksi
gigi
5. Mahasiswa diharapkan dapat memahami manifestasi klinis dari
impaksi gigi
6. Mahasiswa diharapkan dapat memahami konsep teori dari tindakan
operasi odontektomy
7. Mahasiswa diharapkan dapat memahami asuhan keperawatan anestesi
perianestesi secara teori dari penyakit impaksi gigi
8. Mahasiswa diharapkan dapat memahami pengertian dari general
Anestesi
9. Mahasiswa diharapkan dapat memahami konsep teori dari general al
Anestesi
D. Waktu dan Tempat
Hari/Tanggal : Kamis, 18 Maret 2021
Waktu : 08.00 WIB
Tempat : RSUD Dr. Soeselo Slawi, Tegal
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Teori Impaksi Gigi


1. Pengertian
Definisi gigi impaksi adalah gigi yang tidak dapat erupsi
keposisi fungsional normalnya,karena itu dikategorikan sebagai
patologik dan membutuhkan perawatan. Tidak semua gigi yang
tidak erupsi adalah gigi impaksi, gigi yang disebut impaksi apabila
gigi tersebut gagal untuk bererupsi secara keseluruhan kedalam
kavitas oral dalam jangka waktu perkembangan yang
diharapkan.Penyebab impaksi ini biasanya oleh gigi didekatnya atau
jaringan patologis sehingga gigi tersebut tidak keluar dengan
sempurna mencapai oklusi yang normal didalam deretan susunan
gigi geligi lain yang sudah erupsi.
Gigi impaksi adalah gigi yang erupsinya terhalang oleh gigi
tetangga, tulang sekitar, jaringan patologis dan gigi yang posisinya
tidak sesuai dengan lengkung rahang. Gigi permanen manusia yang
paling sering mengalami impaksi adalah gigi molar ketiga bawah, lalu
gigi molar ketiga atas selanjutnya gigi caninus atas. Archer menulis
bahwa frekwensi impaksi gigi molar ketiga atas yang terbanyak
dibandingkan dengan molar ketiga bawah (Kresnanda, 2008).
Frekwensinya berturut-turut gigi molar ketiga bawah, gigi molar ketiga
atas, gigi caninus atas, gigi premolar bawah, gigi caninus bawah, gigi
premolar atas, gigi incisivus atas atau bawah (Rusli, 2013)

2. Klasifikasi
Klassifikasi menurut PELL & GREGORY Berdasarkan hubungan
letak gigi molar ketiga bawah terhadap ramus mandibula dan distal
molar kedua bawah :
1. Kelas I : Dimana terdapat ruangan yang cukup untuk ukuran
mesiodistal mahkota gigi molar ketiga bawah antara ramus
mandibula dan permukaan distal gigi molar kedua bawah.
2. Kelas II : Ruangan antara permukaan distal gigi molar kedua
bawah dan ramus mandibula lebih kecil dari ukuran mesiodistal
mahkota gigi molar ketiga bawah.
3. Kelas III : Semua gigi molar ketiga bawah terletak dalam ramus
mandibula.
Berdasarkan hubungan dengan dalamnya posisi gigi molar ketiga
dalam tulang rahang.
a. Posisi A : Bagian tertinggi dari gigi molar ketiga terletak di atas
atau pada batas garis oklusal gigi rahang bawah.
b. Posisi B : Bagian tertinggi dari gigi molar ketiga terletak di
bawah garis oklusal, tetapi masih di atas garis servikal dari gigi
molar kedua.
c. Posisi C : Bagian tertinggi dari gigi molar ketiga terletak di
bawah garis servikal dari molar kedua

3. Etiologi
Terjadinya gigi impaksi dapat disebabkan oleh banyak faktor.
Menurut Berger, faktor-fator penyebab gigi impaksi antara lain:
Kausa lokal
Faktor lokal yang dapat menyebabkan
terjadinya gigi impaksi ialah:
1. Posisi gigi yang abnormal
2. Tekanan dari gigi tetangga pada gigi tersebut
3. Penebalan tulang yang mengelilingi gigi tersebut
4. Kekurangan tempat untuk gigi tersebut bererupsi
5. Gigi desidui persistensi (tidak mau tanggal)
6. Pencabutan prematur pada gigi
7. Inflamasi kronis penyebab penebalan mukosa di sekitar gigi
8. Penyakit yang menimbulkan nekrosis tulang, antara lain karena
inflamasi atau abses
9. Perubahan-perubahan pada tulang karena penyakit eksantem pada
anakanak
Kausa usia
Faktor usia juga turut berperan dalam menyebabkan terjadinya gigi
impaksi tanpa harus disertai kausa lokal, yaitu antara lain: kausa
prenatal (faktor keturunan dan miscegenation) dan kausa postnatal
(riketsia,anemia, tuberkulosis,sifilis kongenital ,gangguan kelenjar
endokrin, dan malnutrisi). Penyebab terjadinya mandibula sempit cukup
kompleks dan hal ini terutama disebabkan karena pertumbuhan tulang
yangkurang sempurna. Terdapat teori lain yang mengatakan bahwa
pertumbuhan rahang dan gigi mempunyai tendensi bergerak maju ke
arah depan. Bila pergerakan ini terhambat oleh sesuatu yang
merintanginya, bisa terjadi impaksi gigi. Sebagai contoh,
adanya infeksi, trauma, malposisi gigi, ataugigi susu yang tanggal
sebelum waktunya. (Lita & Hadikrishna, 2020)

4. Anatomi Fisiologi
Gigi adalah sekelompok organ keras yang ditemukan pada bagian
rongga mulut. Kita menggunakannya untuk mengunyah makanan
menjadi potongan-potongan kecil agar mudah diproses oleh tahap
selanjutnya pada sistem pencernaan manusia.
a. Anatomi gigi
Anatomi gigi dapat dibagi menjadi dua bagian utama: mahkota
dan akar. Dapat ditemukan diatas garis gusi, mahkota merupakan
bagian terbesar yang terlibat dalam proses mengunyah makanan.
Merujuk pada istilahnya, bagian mahkota memiliki banyak
“tonjolan” di atas permukaan untuk membantu dalam proses
mengunyah makanan. Di ba!ah garis gusi adalah wilayah yang
disebut akar, yang menjadi penyangga gigi ke bagian soket tulang
dan dikenalsebagai alveolus.Akar memiliki bentuk meruncing yang
menyerupai akar tanaman, dan masing-masing dari gigi memiliki
antara satu sampai tiga akar. Permukaan luar akar ditutupi oleh
tulangcampuran, seperti kalsium dan serat kolagen yang dikenal
sebagai cementum. Cementum menyediakan pegangan untuk sendi
periodontal yang menjadi jangkar dari daerah di sekitar akar
alveolus.
b. Lapisan
masing-masing organ gigi yang terdiri dari tiga lapisan yaitu pulpa,
dentin dan enamel
c. Pulpa
Pulpa adalah sebuah wilayah vaskular jaringan ikat lunak di
bagian tengah.pembuluh darah kecil dan serabut saraf memasuki
pulpa melalui lubang-lubang kecil di bagian ujung akar untuk
mendukung struktur luar sel-sel utama atau stem cells yang dikenal
sebagai odontoblas membentuk dentin gigi di bagian tepi pulpa.
d. Dentim
Disekitar pulpa adalah bagian dentin koma merupakan bagian
yang keras terbentuk dari lapisan jaringan mineral titik struktur
dentin jauh lebih keras dibandingkan dengan struktur Apa karena
adanya serat kolagen dan hidrosiapatit yakni mineral kalsium fosfat
dan merupakan salah satu bahan yang paling kuat yang ditemukan
di alam struktur lapisan dentin memiliki pori-pori sehingga
memungkinkan nutrisi dan bahan-bahan yang diproduksi di pulpa
menyebar ke bagian lain dari Gigi.
e. Enamel
Enamel adalah lapisan luar dari bagian mahkota. Enamel adalah
substansi yang paling keras yang terdapat dalam tubuh dan dibuat
secara eksklusif oleh hydro hidrosiapatit. (Siagian, 2013b)
5. Fisiologi
Setiap benih gigi diselubungi oleh kantung yang akan menghilang
apabila erupsi berlangsung normal. Pada gigi impaksi totalis, kantung
tersebut dapat mengalami degenerasi kistik, menjadi kantung patologis
berisi cairan, disebut kista dentigerous atau kista folikular. Pembesaran
kista pada rahang mengakibatkan destruksi tulang. Kista juga akan
menghuni dan membuat rongga luas dalam tulang. Hal itu akan
menimbulkan asimetri wajah, dan dapat pula menyebabkan fraktur
rahang patologis. Kista dentigerous yang terbentuk oleh impaksi totalis
gigi bungsu atas, bahkan dapat dengan bebas mengisi sinus maksilaris,
menembus dinding lateral sinus sehingga menimbulkan benjolan pada
pipi.
Kista dentigerous bahkan dapat berkembang menjadi tumor yaitu
ameloblastoma. Ameloblastoma dapat membesar, merupakan massa
jaringan fibrous yang padat dan mendesak gigi geligi di sekitarnya
sehingga lengkung rahang berubah. Mengingat sifat neoplasma tersebut
yang secara klinis ganas pada daerah yang terbatas, diperlukan
perawatan radikal berupa reseksi rahang (blok/parsial/total), sekaligus
odontektomi gigi bungsu yang impaksi totalis tersebut. (Rahayu, 2014)

6. Patofisiologi
Masalah yang sering dikeluhkan oleh mereka dengan gigi molar ketiga
impaksi yaitumerasa kurang nyaman melakukan hal-hal yang
berhubungan dengan ronggamulut.Tanda-tanda umum dan gejala
terjadinya gigi impaksi ialah:
a. Inflamasi, yaitu pembengkakan di-sekitar rahang dan warna
kemerahan pada gusidisekitar gigi yang diduga impaksi.
b. Resorpsi gigi tetangga karena letak be-nih gigi yang abnormal
c. .Kista (folikuler).
d. Rasa sakit atau perih disekitar gusi atau rahang dan sakit kepala
yanglama(neuralgia).
e. Fraktur rahang (patah tulang rahang).
7. Manifestasi Klinis
1.Gigi hanya muncul sedikit di permukaan gusi
2. Nyeri pada rahang
3. Sakit kepala berkepanjangan
4. Gusi bengkak dan kemerahan di sekitar gigi terpendam
5. Kesulitan membuka mulut
6. Kelenjar leher membengkak
7.Sakit gigi saat menggigit, terutama di bagian yang mengalami
impaksi gigi

8. Komplikasi
Komplikasi Gigi Bungsu Impaksi Gigi bungsu impaksi, dapat
terjadi tanpa gejala atau hanya menimbulkan rasa nyeri tumpul pada
rahang, yang menyebar sampai ke leher, telinga dan daerah temporal
(migrain). Hal itu terjadi akibat penekanan gigi pada nervus alveolaris
inferior yang terletak didekatnya.Gigi impaksi yang tidak ditangani
dengan baik, dapat menimbulkan komplikasi serius, seperti karies
dentis,infeksi dan pembentukan kista atau tumor.
Pada saat pengambilan M3 dapat terjadi komplikasi berupa:
1. Perdarahan karena pembuluh darah terbuka
2. Kerusakan pada gigi M2 karena trauma alat
3. Rasa sakit
4. Parestesi pada lidah dan bibir
Dalam literatur dikatakan bahwa 96 % pasien dengan trauma pada
n.alveolaris inferior dan 87 % pasien dengan trauma pada n.
ligualis akan sembuh secara spontan ( Dym & Ogle, 2016)
5. Trismus karena iritasi syaraf
6. Infeksi/peradangan
7. Biasanya disertai dengan pembengkakan, dapat ditanggulangi
dengan membuka jahitan, irigasi dengan larutan antiseptik dan
diberi antibiotik
8. Fraktur mandibula
9. Dry socket
10. Emfisema : pembengkakan yang timbul karena terjebaknya udara
di dalam jaringan lunak akibat penggunaan bor high speed.
(Rahayu, 2014)

9. Pemeriksaan Penunjang
a. Teknik Panoramic : Teknik ini memberi gambaran radiografi dari
kedua rahang dan jaringan disekitarnya secara menyeluruh dalam
satu film. kegunaannya untuk perawatan orthodonsiperkiraan lesi-
lesi pada tulang, perkiraan molar ketiga dan lain-lain.
b. Foto oklusal : untuk mengetahui benda asing di dalam tulang rahang
dan Batu di dalam saluran glandula saliva mengetahui tempat yang
tepat dari akar gigi, gigi super numeri dan Gigi impaksi. (Siagian,
2013b)

10. Penatalaksaan medis


Pertumbuhan rahang yang kurang sempurna atau ketidak
seimbangan antara besarnya gigi dan besarnya rahang. Keadaan ini
dapat menyebabkan maloklusi, sebab gigi molar ketiga adalah gigi
terakhir bererupsi dan tidakmendapatkan ruangan yang cukup pada
lengkung rahang, pengeluaran gigi molar ketiga hampir selalu
diindikasikan sebelum perawatan orthodonti untuk merawat maloklusi
oleh karena letak gigi yang berdesakan.Erupsi sebagian atau impaksi,
Erupsi yang tertahan juga merupakan prophylactic gigi molar ketiga,
utamanya bila operkulum di atas mahkota gigi selalu terkena trauma
dan adanya hypertrophy gingival. ( Bianto,2011)
Menurut Pederson (1996) ada 6 tahap untuk pencabutan gigi molar
ketiga
rahang bawah impaksi, yaitu (Paramaputri, 2014) :
1. Sedasi, persyaratan pertama untuk keberhasilan pembedahan
gigi impaksi adalah pasien yang rileks dan anastesi lokal yang
efektif atau pasien yang teranastesi dengan baik. Pemberian
sedatif oral tertentu pada sore hari sebelum dan satu jam
sebelum pembedahan merupakan teknik yang bisa diterima.
Sering kali anastesi umum merupakan pilihan yang cocok untuk
pembedahan impaksi.
2. Desain flap, ada pendapat bahwa persyaratan kedua untuk
pembedahan impaksi adalah flap yang didisain dengan baik dan
ukurannya cukup. Flap mandibula yang sering digunakan adalah
envelope tanpa insisi tambahan, direfleksikan dari leher molar
pertama dan molar kedua tetapi dengan perluasan distal kearah
lateral atau bukal kedalam region molar ketiga. Aspek lingual
mandibula dihindari untuk mencegah cedera pada nervous
lingualis. Flap serupa digunakan pada lengkung rahang atas,
tetapi diletakkan diatas tuberositas sedangkan perluasan
distalnya tetap ke lateral atau bukal.
Jalan masuk menuju molar ketiga impaksi yang dalam pada
kedua lengkung rahang sering diperoleh dengan insisi serong
tambahan ke anterior.
3. Pengambilan tulang, pengambilan tulang mandibula terutama
dilakukan dengan bur dan dibantu dengan irigasi saluran
saline.Teknik yang bisa digunakan adalah membuat parit
sepanjang bukal dan distal mahkota dengan maksud melindungi
crista oblique externa namun tetap bisa mendapatkan jalan
masuk yang cukup kepermukaan akar yang akan dipotong.
4. Pemotongan yang terencana, gigi yang impaksi biasanya
dipotongpotong. Kepadatan dan sifat tulang mandibula
menjadikan pemotongan terencana pada kebanyakan gigi
impaksi menjadi sangat penting apabila ingin diperoleh arah
pengeluaran yang tidak terhalang. Tindakan ini harus dilakukan
secara hati-hati untuk menghindari fraktur dinding alveolar
lingual atau tertembusnya bagian tersebut dengan bur karena ada
kemungkinan terjadi cedera nervous lingualis. Dasar pemikiran
dari pemotongan adalah menciptakan ruang yang bisa
digunakan untuk mengungkit dan mengeluarkan segmen
mahkota atau sisa akar.
5. Tindakan sesudah pencabutan gigi, sesudah gigi impaksi
berhasil dikeluarkan dengan baik, sisa-sisa folikel dibersihkan
seluruhnya. Kegagalan melakukan hal ini bisa mengakibatkan
penyembuhan yang lama atau perkembangan patologis dari sisa
epitel odontogenik. Setelah folikel dibersihkan, alveolus
diirigasi dengan saline dan diperiksa dengan teliti. Yang penting
bekenaan dengan impaksi gigi bawah adalah kondisi bundel
neurovascular alveolaris inferior yang sering terjadi pada
kedalaman alveolus. Semua potongan gigi dan serpihan tulang
juga serpihan periosteu dan mukosa harus dihilangkan. Tepi-tepi
tulang harus dihaluskan dengan bur dan kikir tulang. Penjahitan
dilakukan terutama untuk menstabilkan jaringan terhadap
processus alveolaris dan terhadap aspek distobukal molar kedua
didekatnya. Foto sinar-X dibuat sesudah operasi selesai untuk
kasus-kasus yang sulit dimana ada kemungkinan terjadi fraktur
mandibula atau cedera struktur sekitarnya.
6. Intruksi pasca bedah, tekankan perlunya meminum obat
analgesik sebelum rasa sakit timbul, seperti juga aplikasi dingin
untuk mengontrol pembengkakan. Obat-obat pengontrol rasa
sakit sesudah pembedahan biasanya lebih potent daripada yang
diresepkan sesudah pencabutan dengan tang. Puncak rasa sakit
sesudah pembedahan impaksi adalah selama kembalinya sensasi
daerah operasi sedangkan pembengkakan maksimal biasanya
terjadi 24 jam pasca pencabutan.
7. Tindak lanjut, kontrol dilakukan pada saat melepas jahitan,
biasanya hari keempat atau kelima sesudah operasi pada
kunjungan ini daerah operasi diperiksa dengan teliti yaitu
mengenai penutupan mukosa dan keberadaan beku darah.
(Siagian, 2013a)
B. Konsep Teori Odontektomi
1. Pengertian
Odontektomi merupakan prosedur umum yang dilakukan pada gigi
impaksi. Gigi molar ketiga merupakan gigi yang paling sering
mengalami impaksi.
Istilah odontektomi digunakan dalam tindakan operasi untuk
mengeluarkan gigi impaksi. Gigi Impaksi merupakan salah satu
gangguan perkembangan dan pertumbuhan gigi-geligi. Frekuensi
gangguan perkembangan dan pertumbuhan terbanyak pada gigi molar
ketiga baik dirahang bawah maupun di rahang atas diikuti gigi kaninus
rahang atas,premolar rahang bawah, kaninus rahang bawah, premolar
rahang atas,insisivus sentralis rahang atas dan insisivus lateralis rahang
atas.Odontektomi sebagai upaya mengeluarkan gigi impaksi yang
dilakukan dengan tindakan pembedahan yang meliputi pembuatan flap
dan pengambilan tulang yang mengelilinginya. Odontektomi sebaiknya
dilakukan pada saat pasien masih muda yaitu pada usia 25-26 tahun
sebagai tindakan profilaktik atau pencegahan terhadap terjadinya patologi
(Rahayu, 2014).

2. Kontraindikasi
a. Pasien yang tidak menghendaki giginya dicabut
b. Pasien yang gigi molar ketiganyadiperkirakan akan erupsi secara
normaldan dapat berfungsi dengan baik
c. Pasien dengan riwayat penyakit sistemik dan resiko komplikasi
dinilaitinggi
d. Kemungkinan besar akan terjadi kerusakan pada struktur
pentingdisekitarnya atau kerusakan tulang pendukung yang luas
(Lita & Hadikrishna, 2020)

C. Konsep Teori General Anestesi


1. Pengertian
General anestesi adalah keadaan tak sadar tanpa rasa nyeri
(dengan reflek otonomik minimal) yang reversibel karena pemberian
obat-obatan. Anestesi inhalasi, anestesi intravena, anestesi
intravaskular, anestesi perrektal adalah sub-sub bagian dari general
anestesi, serta menunjukan jalur masuknya obat ke dalam tubuh
(Soenarjo dan Jatmiko, 2010). Perbedaan dengan anestesi lokal antara
lain, jika pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit setempat sedangkan
pada general anestesi seluruh tubuh. Pada anestesi lokal yang
terpengaruh terhadap anestesi adalah saraf perifer, sedangkan pada
general anestesi yang terpengaruh syaraf pusat serta pada anestesi
lokal tidak akan terjadi kehilangan kesadaran (Hasyim, Samodro,
Sasongko, & Leksana, 2012).
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit
secara sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan
general anestesi terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah
general anestesi denggan teknik intravena anestesi dan general
anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan
dengan teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube atau
gabungan keduanya inhalasi dan intravena (Hasyim et al., 2012).
2. Indikasi
Diindikasikan untuk prosedur bedah singkat, beberapa literatur
menyebutkan ≤ 60 menit,1 ≤ 90 menit,2 ≤ 120 menit;3 prosedur bedah
terbuka maupun tertutup; pada ekstremitas atas atau bawah, dimana
anatomis sistem pembuluh darahnya dapat dioklusi, contohnya operasi
jaringan lunak perifer (ganglionektomi, eksisi massa), rilis carpal
tunnel syndromme, rilis kontraktur, reduksi dislokasi/ fraktur tulang
jari, repair nervus digitalis.1 Raj PP (2003) menyebutkan untuk alasan
kenyamanan sebaiknya daerah operasi dibatasi dibawah siku untuk
ekstremitas atas dan di bawah lutut untuk ekstremitas bawah.
Menurut Scottish Intercollegiate Guidelines Network
(SIGN)28, pencabutan gigi molar ketiga impaksi disarankan pada:
a. Pasien yang sedang atau pernah mengalami infeksi yang
berhubungan dengan gigi molar ketiga impaksi.
b. Pasien yang memiliki faktor predisposisi impaksi gigi dengan
pekerjaan yang tidak memberikan tunjangan perawatan gigi.
c. Pasien dengan kondisi medis dimana resiko apabila gigi
dipertahankan akan lebih mengancam kesehatan dibandingkan
dengan komplikasi yang mungkin terjadi akibat tindakan
pencabutan (misal, pasien yang akan menjalani radioterapi atau
operasi jantung).
d. Pasien yang akan menjalani prosedur transplantasi gigi, bedah
ortognatik, atau prosedur bedah lokal yang bekaitan.
e. Kasus dimana pemberian anestesi umum pada tindakan
pencabutan setidakya satu gigi molar ketiga, perlu
dipertimbangkan dilakukannya pencabutan gigi pada sisi
kontralateral. Hal ini dilakukan apabila resiko mempertahankan
gigi dan pemberian anestesi umum selanjutnya melebihi resiko
komplikasi saat tindakan.
3. Kontra Indikasi
a. Pasien menolak.
b. Pada ekstremitas yang akan dilakukan IVRA terdapat crush
injuries, compound fractures, cedera vaskuler berat, infeksi lokal
di kulit, misalnya selulitis, trombofl ebitis.
c. Riwayat alergi obat anestesi lokal.
4. Teknik
Teknik General Anestesi menurut Mangku dan Senapathi
(2010), dapat dilakukan dengan 3 teknik, yaitu:
a) General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke
dalampembuluh darah vena.
b) General Anestesi Inhalasi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan
atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi
langsung ke udara inspirasi.
c) Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan
kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat
anestesi inhalasi atau kombinasi teknik general anestesi dengan
analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan
berimbang, yaitu:
 Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan
obathipnotikum atau obat anestesi umum yang lain.
 Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat
analgetik opiat atau obat general anestesi atau dengan cara
analgesia regional.
 Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat
pelumpuh otot atau general anestesi, atau dengan cara
analgesia regional.
5. Komplikasi
a. Memiliki riwayat atau keluarga yang alergi terhadap obat
anestesi.
b. Mengonsumsi alkohol.
c. Menggunakan obat-obatan terlarang.
d. Mengidap penyakit jantung, paru-paru, atau ginjal.
e. Merokok.
6. Alat anestesi :
S : Stetoskop dan Laringoskop
T : ETT
A : Ambubag , opa dan npa
T : Plaster atau hypafix
I : Stilet dan forcep mangil
C : Conector ( penghubung )
S : Suction, Spuit
7. Klasifikasi ASA
Kelas Stasus fisik Contoh

ASA I Seorang pasien yang Sehat, tidak merokok, tidak


normal dan sehat, selain mengkonsumsi atau

penyakit yang akan mengkonsumsi alkohol secara


minimal.
dioperasi.

ASA II Seorang pasien dengan Gangguan sistemik ringan,


penyakit sistemik ringan tanpa batasan aktivitas
sampai sedang. fungsional. Contohnya
termasuk (namun tidak
terbatas pada): perokok saat
ini, peminum alkohol sosial,
wanita hamil, obesitas
(30<BMI<40), wellcontrolled
DM/hipertensi.

ASA III Seorang pasien dengan Gangguan sistemik berat,


penyakit sistemik berat yang dengan keterbatasan fungsional.
belum mengancam jiwa. Satu atau lebih penyakit
moderat/sedang hingga penyakit
berat. Contohnya termasuk
(namun tidak terbatas pada): DM
tidak terkontrol atau hipertensi,
PPOK, obesitas (BMI≥40),
hepatitis aktif, ketergantungan
alkohol, implan alat pacu
jantung, pengurangan fraksi
ejeksi, End Stage Renal Disease
(ESRD) yang menjalani
hemodialisis secara teratur, bayi
prematur PCA < 60 minggu,
sejarah (>3 bulan) dari MI,
CVA, TIA, CAD.
ASA IV Seorang pasien dengan Contohnya termasuk (namun
penyakit sistemik berat yang tidak terbatas pada): (< 3 bulan)
mengancam jiwa. MI, iskemia jantung yang sedang
berlangsung atau disfungsi katup
yang berat, penurunan berat
fraksi ejeksi, sepsis, DIC, ESRD
yang tidak menjalani dialisis
secara teratur.

ASA V Penderita sekarat yang Kemungkinan tidak bertahan


mungkin tidak bertahan dalam hidup >24 jam tanpa tindakan
waktu24 jam dengan atau operasi, kemungkinan
tanpa pembedahan, kategori
meninggal dalam waktu dekat
ini meliputi penderita yang
(kegagalan multiorgan, sepsis
sebelumnya sehat, disertai
dengan keadaan hemodinamik
dengan perdarahanyang tidak
yang tidak stabil, hipotermia,
terkontrol, begitu juga
penderita usia lanjut dengan
koagulopati tidak terkontrol)

penyakit terminal.

ASA VI Pasien dengan brain dead


yang organnya akan
diambil untuk didonorkan.

D. Asuhan Keperawatan Perianestesi


1. Pre Anestesi
a. Pengkajian Pre Anestesi
- Keluhan utama
- Riwayat penyakit
- Riwayat operasi/anestesi
- Riwayat alergi
- Tanda-tanda vital pasien
- Tinggi/ berat badan pasien
- Status emosional
- Tingkat kecemasan
- Skala nyeri menurut VASS
b. Analisa Data
Data analisa seperti data subjek adan objek digunakan untuk
membuat diagnosa, tujuan, perencanaan, implementasi dan evaluasi post
anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi Pre Anestesi
1) Dx : Ansietas berhubungan dengan tindakan operasi yang akan
dilakukan ditandai dengann rasa cemas
Tujuan : Pasien akan menyatakan peningkatan kenyamanan
psikologis dan fisiologis
Kriteria Hasil :
a. Wajah klien tidak tampak cemas dan gelisah
b. Rasa takut dan cemas klien menurun, dengan tingkat ansietas
ringan.
c. klien tampak tenang dan kooperatif.
d. Frekuensi nadi dalam rentan normal yaitu 60-100 x/menit
Rencana Tindakan :
a. Kaji tingkat ansietas
b. Ajarkan teknik relaksasi napas dalam
c. Dampingi klien dan perlihatkan rasa empati untuk mengurangi
rasa cemas
d. Jelaskan jenis prosedur tindakan anestesi yang akan dilakukan.
e. Monitor tanda tanda vital
f. Lakukan kolaborasi untuk memberikan obat penenang
Evaluasi :
a. Tingkat ansietas
b. Tanda-tanda vital pasien terutama nadi pasien
c. Frekuensi nafas pasien
d. Evaluasi ekspresi wajah pasien

Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi pre anestesi


2) Dx : Nyeri akut berhubungan dengan benjolan didaerah axila
Tujuan :Individu akan menyatakan berkurangnya nyeri setelah
diberikan tindakan pereda nyeri yang memuaskan
Kriteria Hasil :
a. Skala nyeri berkurang dengan skala 3-2
b. Ekspresi wajah tampak tenang dan nyaman.
c. Menyebutkan faktor yang meningkatkan nyeri
Rencana Tindakan :
a. Kaji tingkat skala nyeri
b. Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut
c. Ajarkan tentang tindakan pereda nyeri non invasif
d. kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat pereda nyeri
Evaluasi :
a. Skala nyeri apakah sudah berkurang
b. Tanda-tanda vital pasien terutama peningkatan tekanan darah
dalam batas normal
c. Frekuensi nafas pasien dalam batas normal
d. Ekspresi wajah pasien (masih menunjukkan tanda-tanda nyeri
seperti meringis)

Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi pre anestesi


3) Dx : Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan mengenai tindakan operasi.
Tujuan :Individu dapat memahami prosedur tindakan operasi dan
penyakit
Kriteria Hasil :
a. Pasien telah memahami tentang penyakit dan prosedur operasi
b. Dapat mengetahui dampak efek dari tindakan operasi
Rencana Tindakan :
a. Kaji tingkat pengetahuan pasien
b. Identifikasi kemungkinan penyebab dengan cara yang tepat
c. Jelaskan kepada pasien tentang kondisi dan prosedur operasi
Evaluasi :
a. Memahami tentang penyakitnya
b. Memahami penyebab dari operasinya
c. Memahami tentang prosedur operasi

2. Intra Anestesi
a. Pengkajian Intra Anestesi
- Persiapan pasien
- Persiapan alat anestesi
- Persiapan obat-obatan anestesi
- Pelaksaanaan anestesi
- Monitoring tanda-tanda vital pasien
- Monitoring respon dan frekuensi nafas pasien
b. Analisa Data
Data analisa seperti data subjek dan objek digunakan untuk
membuat diagnosa, tujuan, perencanaan, implementasi dan evaluasi
post anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi intra
anestesi
1) Dx : Hipotermia berhubungan dengan suhu ruangan operasi
Tujuan : Individu akan mempertahankan suhu tubuh dalam
batas normal
Hasil :
a. Suhu tubuh dalam rentan normal (36,7 ̊C-37,5 ̊C)
b. Tidak ada perubahan warna kulit
c. Tidak ada rasa menggigil dan akral teraba normal
Rencana tindakan :
a. Berikan selimut
b. Pantau tanda tanda vital
c. Pelihara suhu/temperatur lingkungansekitar/ ruangan
d. Berikan cairan intravena/transfusi yang Hangat (Pasang Blood
Warmer )
Evaluasi :
a. Tanda-tanda vital pasien dalam batas Normal
b. Suhu atau temperatur ruangan dalam keadaan normal
c. Suhu tubuh pasien dalam batas normal

Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi intra anestesi


3) Dx : ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
gangguan
kognitif
Tujuan : individu akan memperlihatkan frekuensi pernafasan yang
efektif dan mengalami perbaikan pertukaran gas pada
paru
Kriteria Hasil :
a. Sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada.
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten
c. Tanda Tanda vital dalam rentang normal
Rencana tindakan :
a. Monitor TTV
b. Buka jalan nafas bila perlu
c. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
d. Monitor respirasi dan status O2
e. Kolaborasikan pemberian bronkodilator bila perlu
Evaluasi :
a. Tanda-tanda vital pasien
b. Kepatenan jalan nafas
c. Monitor respirasi dan status O2

3. Post Anestesi
a. Pengkajian Post Anestesi
1. Penilaian pasien dengan skala aldert score
2. Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien
3. Pantau status respirasi bersihan jalan nafas pasien
b. Analisa Data
Data analisa seperti data subjek adan objek digunakan untuk
membuat diagnosa, tujuan, perencanaan, implementasi dan evaluasi post
anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan dan Evaluasi Post Anestesi
1) Dx : Nyeri akut post op berhubungan dengan luka tindakan
operasi ditandai dengan mengeluh nyeri pada daerah
operasi.
Tujuan : Individu akan menyatakan berkurangnya nyeri setelah
diberikan tindakan pereda nyeri yang memuaskan
Kriteria hasil :
a. Pasien menyatakan nyeri berkurang dari skala 3-1
b. Ekspresi wajah tenang dan nyaman.
Rencana tindakan:
a. Kaji nyeri dengan PQRST
b. Pantau luka post operasi
c. Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut
d. Ajarkan tentang tindakan pereda nyeri non invasif
e. kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat pereda nyeri
Evaluasi :
a. Nyeri berkurang
b. Ekspresi wajah pasien tenang dan nyaman tidak menunjukkan
tanda kesakitan
c. Tanda-tanda vital pasien dalam batas normal
d. Pola nafas pasien teratur

Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi intra anestesi


2) Dx : Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan
insisi/pembedahan.
Tujuan : Individu akan melaporkan faktor risiko yang
berkaitan dengan infeksi dan tindak kewaspadaan
yang diperlukan
Kriteria hasil :
a. klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
b. menjelaskan metode penyebaran infeksi
c. luka setelah tindakan operasi kering dan tidak ada cairan di
sekitar perban
Rencana tindakan:
a. Monitor tanda dan gejala infeksi
b. Jelaskan tentang peningkatan kerentanan terhadap infeksi
c. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
d. Pasang drainase
e. Lakukan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat
Evaluasi :
a. Tidak adanya tanda dan gejala infeksi
b. Tidak adanya cairan disekitar bekas operasi pasien
c. Luka bekas operasi pasien mongering

3) Dx : Resiko jatuh berhubungan dengan tindakan general anestesi


Tujuan : individu akan mengatakan lebih jarang terjatuh dan tidak
terlalu takut jatuh
Kriteria hasil :
a. Klien aman dan bebas dari resiko jatuh
b. Skala morse dengan nilai 0-24
c. Klien mengatahui cara mengatasi resiko jatuh
Rencana tindakan :
a. Ajarkan klien tentang upaya pecegahan resiko jatuh
b. Menaikkan bedtrail klien
c. Menentukan skala morse
d. Kaji ulang adanya faktor-faktor resiko jatuh
Evaluasi

a. Tidak ada tanda dan gejala resiko jatuh


b. Pasien merasa aman dan nyaman
c. Pasien memahami cara pencegahan resiko jatuh
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, lynda juall (2014). Buku Saku Diagnosis Keperawatan -Alih


Bahasa:Estu Tiar, edisi 14. EGC: Jakarta.

Suranadi, I. W. (2016). Profil Penurunan Tekanan Darah Pasca Induksi Dengan


Anestesi Umum Di RSUP SANGLAH Periode Juli 2016-Desember 2016.

Lita, Y. A., & Hadikrishna, I. (2020). Klasifikasi impaksi gigi molar ketiga
melalui pemeriksaan radiografi sebagai penunjang odontektomi. Jurnal
Radiologi Dentomaksilofasial Indonesia

Rahayu, S. (2014). Odontektomi, tatalaksana gigi bungsu impaksi. E-Journal


WIDYA Kesehatan Dan Lingkungan.

Siagian, K. V. (2013). PENATALAKSANAAN IMPAKSI GIGI MOLAR TIGA


BAWAH (WISDOM TEETH) DENGAN KOMPLIKASINYA PADA
PASIEN DEWASA MUDA. JURNAL BIOMEDIK (JBM).
https://doi.org/10.35790/jbm.3.3.2011.878

Hasyim, D., Samodro, R., Sasongko, H., & Leksana, E. (2012). Jurnal
Anestesiologi Indonesia. Jurnal Anestesi.

Anda mungkin juga menyukai