Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH DOSEN PENGAMPU

Ushul Fiqh Rif’an Syafruddin, Lc, M.Ag

Mahkum ‘Alayh dan Ahliyah Taklif

Oleh :
KELOMPOK V
Ahmad Rizami (210101010903)
Nor Ismah (210101010214)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2022 M/1443H
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Kami panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada kami sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah ilmiah pembelajaran Ushul Fiqh tentang “Mahkum
‘Alayh dan Ahliyyah Taklif”.

Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan
dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari segala hal tersebut, Kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karenanya kami dengan lapang dada menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang “Mahkum


‘Alayh dan Ahliyyah Taklif” ini bisa memberikan manfaat maupun inspirasi
untuk pembaca.

Banjarmasin, 3 April 2022

Kelompok V

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
A. Pengertian Mahkum ‘Alaih...........................................................................2
B. Dasar Taklif...................................................................................................3
C. Syarat-syarat Mahkum ‘Alaih.......................................................................4
D. Pengertian Ahliyyah......................................................................................6
E. Pembagian Ahliyyah.....................................................................................6
F. Halangan Ahliyyah.......................................................................................8

BAB III PENUTUP..............................................................................................10


A. Kesimpulan.................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Quran adalah wahyu yang diterima Nabi Muhammad untuk seluruh umat
manusia. Al-Quran adalah pedoman kehidupan manusia, baik itu pedoman berupa
perintah, larangan, anjuran, atau disimpulkan sebagai sumber hukum dalam hidup

iii
manusia, dan alquran juga berisikan sejarah masa lalu, dan berita umat yang akan
datang.
Selain Al-Quran, yang dijadikan sumber hukum adalah Hadis Nabi
Muhammad Saw. Fungsi dari hadits tersebut adalah sebagai penjelas dalam atau
menerangkan kalimat-kalimat yang ada dalam Al-Quran. Dalam hal ini sesuai
dengan kemajuan zaman, dan perbedaan budaya dalam hidup manusia, terkadang
ada hukum hukum yang ditetapkan pada zaman Nabi Muhammad tidak sesuai
dengan keadaan setelahnya. Dalam mengatasi hukum-hukum yang berkenaan
dengan masalah diatas, maka yang menjadi acuan adalah hasil dari Ijma’ Ulama.
Seperti yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu Mahkum alaih.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Mahkum ‘Alaih?
2. Apa yang dimaksud Ahliyyah Taklif?
3. Bagaimana Pembagian Ahliyyah?
4. Apa saja Faktor-Faktor penghalang dan penggugur Ahliyyah Taklif ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian Mahkum ‘Alaih
2. Mengetahui yang dimaksud Ahliyyah Taklif
3. Mengetahui Pembagian Ahliyyah
4. Mengetahui Faktor-Faktor penghalang dan penggugur Ahliyyah Taklif

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahkum ‘Alaih


Menurut ulama ushul fiqh, mahkum ‘alaih adalah seseorang yang
perbuatanya dikenai khitab Allah Ta’ala yang disebut mukallaf.

iv
Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul
fiqh, istilah mukallaf disebut juga mahkum ‘alaih (subjek hukum). Orang mukalaf
adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang
berhubungan dengan perintah Allah maupun dngan larangannya.1
Seseorang dikatakan mukalaf jika telah memenuhi syarat-syarat berikut2 :
a. Mukalaf dapat memahami dalil taklif(pembebanan hukum) baik itu
berupa nas-nas al Quran atau sunah secara langsung maupun melalui
perantara. Orang yang tidak mengerti taklif , maka ia tidak dapat
melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan. Dan alat yang
dapat memahami dalil itu adalah akal.
b. Mukalaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan
kepadanya.

Mahkum ‘Alaih adalah seseorang yang tindakan atau perbuataannya


dikenai hukum-hukum syariat. Mahkum alaih dapat juga dikatakan sebagai
subyek dari hukum atau orang yang dibebani hukum, dalam kajian ushul fiqh ini
juga disebut dengan Mukallaf. Perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang
dilakukan oleh orang yang sudah dewasa (Balligh) meliputi seluruh gerak
geriknya, pembicaraannya, maupun niatnya. Mahkum Alaih adalah subyek hukum
yaitu mukallaf yang melakukan perbuatan-perbuatan Taklif (hukum yang
menuntun manusia untuk melakukan, meninggalkan, atau memilih antara berbuat
atau meninggalkan.
Menurut para ahli usul fiqih, mahkum alaih adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai khitab Allah (materi atau isi sebuah pembicaraan, yang
mendengar dan berbicara, yang berseru dan menyeru atau yang penulis dan
pembaca) maka secara singkat mahkum alaih bisa disebut subyek hukum yang
dalam ilmu fiqih disebut mukallaf.
Sedang menurut etimologi, mukallaf sendiri bermakna yang dibebani
hukum, ialah orang-orang yang telah mampu bertindak hukum, baik larangan atau
perintah Allah. Mukallaf sudah mampu mempertanggung jawabkan apa yang
mereka perbuat.

1
Nasrun Haroen, Ushul fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. ke-2, hlm. 304-305.
2
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), cet. ke-1, hlm. 148.

v
Apabila seorang mukallaf telah melakukan kewajibannya maka ia akan
mendapatkan pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah Allah, begitu pula
sebaliknya apabila mengerjakan laranganNya, maka ia akan mendapatkan siksa
atau resiko atas perbuatan yang ia lakukan, disamping tidak memenuhi
kewajibannya.

B. Dasar Taklif
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia
cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu para ulama’ Ushul Fiqh mengemukakan,
bahwa dasar pembebanan hukum tersebut adalah akal dan pemahaman.
Maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat
memahami secara baik taklif  yang ditunjukan kepadanya. Dengan demikian
orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak
dikenakan taklif, karena mereka tidak atau belum berakal. Dengan demikian
mereka dianggap tidak bisa memahami taklif dari syara’.

Termasuk kedalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk dan
lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan lupa tidak dikenai taklif karena dia dalam
keadaan tidak sadar (hilang akal). Hal ini senada dengan sabda Rosulullah Saw:

ُ ‫ُر ِف َع ُآ َّميِت َع ِن الْخ ََط َوالن ًّ ْس َيا ِن َو َما ْاس ُت ْك ِر ه ُْوا هَل‬
‫ِإ‬
Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam
keadaan terpaksa. (H.R. Ibn Majah dan al-Thabrani)3

Begitu juga dalam Firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat: 43 sebagai
berikut                  

3
Nasrun Harun (selanjutnya disebut harun), Ushul Fiqh, (Ciputat: PT Logos
Wacana Ilmu, 1996), 305.

vi
‫ون َواَل ُجنُ ًبا اَّل عَا ِب ِري‬ َ ُ‫الصلَو َة َوَأنْمُت ْ ُساَك َرى َحىَّت تَ ْعلَ ُموا َما تَ ُقول‬ َّ ‫اَي َأهُّي َا اذَّل ِ َين آ َمنُوا اَل تَ ْق َربُوا‬
‫ِإ‬
ُ ‫ِيل َحىَّت تَ ْغت َ ِسلُوا َو ْن ُك ْنمُت ْ َم ْرىَض َأ ْو عَىَل َس َف ٍر َأ ْو َج َاء َأ َح ٌد ِمنْمُك ْ ِم َن الْ َغاِئطِ َأ ْو اَل َم ْسمُت‬ ٍ ‫َسب‬
‫ِإ‬
‫ال ِن ّ َس َاء فَمَل ْ جَت ِدُ وا َم ًاء فَتَ َي َّم ُموا َص ِعيدً ا َط ِ ّي ًبا فَا ْم َس ُحوا ب ُِو ُجوهِمُك ْ َوَأيْ ِديمُك ْ َّن اهَّلل َ اَك َن َع ُف ًّوا‬
‫ِإ‬
)43( ‫غَ ُف ًورا‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri masjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu
saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau
datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik
(suci) sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi
Maha Pengampun.”(QS. An-Nisa ayat: 43).

C. Syarat-syarat Mahkum ‘Alaih


Seseorang bisa atau dianggap layak untuk dibebani hukum Taklif  apabila
telah ada beberapa syarat di dalam dirinya, diantaranya:

1.      Mampu memahami dalil-dalil hukum, baik secara mandiri atau dengan


bantuan orang lain, minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi
dari ayat atau dari hadits Rasulullah. Adanya kemampuan memahami
hukum Taklifi itu disebabkan orang tersebut mempunyai akal yang sempurna.

Bilamana diukur dengan pertumbuhan fisik, batas baligh berakal bagi wanita
dengan mulainya menstruasi dan bagi laki-laki mimpi pertama bersenggama.
Namun, jika pada umur lima belas tahun wanita tersebut tidak haid dan laki-laki
tidak mimpi, maka umur lima belas tahun itu dijadikan batas umur minimal baligh
berakal4.

4
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana. 2005), 75.

vii
Bagi hal diatas, anak-anak dan orang gila tidak dikenai Taklif  karena
mereka tidak punya kemampuan untuk memahaimi Taklif  tersebut. Begitu juga
dengan orang yang lupa, tidur dan mabuk, karena dalam keadaan demikian
mereka tidak dapat memahami apa-apa yang ditaklifkan kepada mereka.5

Oleh karena itu rasulullah SAW bersabda:

‫ وعن اجملنون حىت يعقل‬,‫ وعن الصيب حىت حيتمل‬,‫ عن النامئ حىت يستيقظ‬:‫رفع القمل عن ثالثة‬.

“Diangkatlah pena itu (tidak terkena tuntutan hukum) atas tiga orang: orang yang
tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh (dewasa) dan orang gila
sampai dia berakal.”

‫ فإن ذكل وقهتا‬,‫من انم عن صالة أنسهيا فليصلها إذا ذكرها‬.

“Barangsiapa tidur sampai tidak melakukan shalat (habis waktunya) atau lupa
mengerjakannya maka hendaklah dia shalat ketika dia ingat, karena sesungguhnya
ketika ingat itulah waktu shalatnya.”

Sedangkan kewajiban zakat, nafkah dan jaminan atas anak kecil dan orang
gila bukan merupakan beban atas keduanya, akan tetati beban si wali untuk
melaksanakan kewajiban harta, sebagaimana membayar pajak air dan harta milik
keduanya.6

Dan bagi orang-orang yang tidak mengerti bahasa Arab dan orang yang
tidak bisa memahami dalil-dalil syara’ baik dari al-Qur’an maupun dari as-
Sunnah, seperti bangsa-bangsa selain bangsa Arab, maka tidak sah menuntut
mereka secara syara’ kecuali mereka belajar bahasa Arab ataupun mereka bisa
memahami nash-nasnya, atau jika dalil-dalil tersebut diterjemahkan ke dalam
bahasa mereka.

2.      Mukallaf atau juga disebut dengan ahliyyah, yakni ahli dengan sesuatu yang
telah  ditaklifkan atau dibebankan padanya. Orang yang belum termasuk

5
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), 158.
6
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Haramain: Linnasyri wa Tauzi’, 2004),  134.

viii
kelompok ahliyyah, maka ia belum dapat dibebani dengan taklif dan semua
tindakanya tidak dapat diminta pertanggungjawaban.

D. Pengertian Ahliyyah
Secara bahasa kata ahliyyah berarti kemampuan atau kecakapan.
Misalnya, ungkapan yang menyatakan seseorang ahli untuk melakukan suatu
pekerjaan. Ungkapan ini mengandung pengertian bahwa orang itu memiliki
kemampuan dan kecakapan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.7

Para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyyah secara terminology sebagai berikut:

‫خْص جَت ْ َعهُل ُ َم َحاًّل َصا ِل ًحا ِل ِخ َطا ٍب تَرْش ِ يْ ِع ّ ٍي‬


ِ َّ‫ِص َف ٌة ي ُ َق ِّد ُرهَا الشَّ ا ِر ُع ِىف الش‬

Artinya: “suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syar’i
untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntunan syara’.”

Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang
menunjukan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga
seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Orang yang telah mempunyai sifat
tersebut dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi
yang bersifat menerima hak dari orang lain. Dengan demikian jual-belinya,
hibbahnya, dan lain-lain dianggap sah. Ia juga telah dianggap mampu untuk
menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi8.

E. Pembagian Ahliyyah
1) Ahliyyah Ada’
Merupakan sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah
dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya.
Apabila ia mengerjakan perbuatan yang dituntut syara’ , maka ia wajib

7
Syarifudin,Op,Cit, 278.  
8
Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007) , 339.

ix
mengerjakannya dan memperoleh pahala bila mengerjakan dan berdosa jika
tidak mengerjakannya.
2) Ahliyyah al- wujub
Merupakan sikap kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang
menjadi haknya., tetapi belum cakap dibebani seluruh kewajiban, misalnya
seorang anak laki-laki berhak menerima warisan dari keluarganya yang meninggal
dunia.
Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa ukuran yang digunakan dalam
menentukan ahliyyah al-wujub adalah sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi
umur, baligh atau tidak , dan cerdas atau tidak. Setiap seseorang yang lahir telah
memiliki sifat itu, dan hanya akan hilang apabila nyawanya sudah hilang.
Ahliyyah al-wujub dibagi menjadi dua bagian.

a. Ahliyyah al-wujub al-naqhishah


Yaitu orang yang dianggap layak untuk mendapatkan hak tetapi tidak
layak untuk dibebankan kewajiban atau sebaliknya.9 Contohnya janin
yang berada dalam dalam perut ibunya, ia berhak mendapatkan
warisan, wasiat dan hibah tetapi tidak dapat dibebeani kewajiban pada
dirinya atas orang lain seperti memberi nafkah. Terdapat 4 hak janin
menurut ulama fiqih :
- Hak keturunan dari ayahnya.
- Hak warisan dari keluarganya yang meninggal dunia.
- Wasiat yang ditunjukan kepadanya.
- Harta wakaf yang ditunjukan kepadanya.

b. Ahliyyah al-wujub al-kamilah


Yaitu orang yang layak untuk mendapatkan hak dan layak untuk
menjalankan kewajiban.10 Kelayakan menerima hak bagi seseorang
ialah sejak ia lahir ke dunia, sampai ia dinyatakan balligh dan berakal,
sekalipun akalnya masih kurang ( gila ). Dalam status ahliyyah al-

9
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, op.cit., hlm. 149.
10
Ibid.

x
wujub (sempurna atau tidak) , seseorang tidak dibebani tuntutan syara’
baik berupa ibadah maupun tindakan hukum duniawi.

F. Halangan Ahliyyah
Para  ulama’ushul fiqh sepakat menyatakatan bahwa penentuan cakap atau
tidaknya seseorang dalam bertindak hukum dilihat dari segi akalnya. Akan tetapi
mereka sepakat, bahwa sesuai dengan hukum biologis, akal seseorang bisa
berubah, kurang dan hilang sama sekali, sehingga mengakibatkan mereka
dianggap tidak cakap lagi dalam bertindak hukum, baik dalam tindakan hukum
yang berkaitan dengan masalah tertentu maupun dalam bidang-bidang yang
terbatas. Dalam hubungan ini, ulama’ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan
bertindak hukum seseorang bisa berubah yang disebabkan:

1). Al-‘awaridh as-samawiyyah, maksudnya halangan yang datangnya dari Allah,


bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, mard maut
(sakit yang berlanjut dengan kematian) dan lupa.

2). Al-‘awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan


manusia, seperti mabuk, terpaksa, tersalah, berada dibawah pengampuan dan
bodoh.

Kedua bentuk halangan yang menyebabkan berubahnya kecakapan


bertindak hukum seseorang itu sangat berpengaruh terhadap tindakan hukumnya.
Menurut ulama’ushul fiqh, perubahan kecakapan bertindak hukum itu adakalanya
bersifat menghilangkan sama sekali, mengurangi atau mengubahnya. Karenya,
mereka membagi halangan bertindak hukum itu dilihat dari segi objeknya kepada
tiga bentuk:

1). Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum


secara sempurna (ahliyyah al-ada’)  hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa,
dan terpaksa. Dalam keadaan seperti ini, kecakapan hukum seseorang hilang sama
sekali, sehingga seluruh tindakan hukum mereka tidak dapat dipertanggung
jawabkan. Dalam hal ini Rosulullah SAW bersabda:      

xi
ُ ‫ُر ِف َع ُأ َّميِت َع ِن الْخ ََطِأ َوال ِن ّ ْس َيا ِن َو َما ْاس ُت ْك ِر ه ُْواهَل‬
Diangkatnya (pembebanan hukum) dari umatku yang bersalah, terlupa dan
terpaksa. (H.R. Ibn Majah dan al-Thabrani)

2). Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada’, seperti orang dungu.


Apabila seseorang terkena penyakit dungu, maka ahliyyah al-ada’-nya tidak
hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat kecakapan bertindak hukumnya.
Oleh sebab itu, dalam tindakan hukum yang sifatnya bermanfaat bagi dirinya
dinyatakan sah, sedangkan tindakan hukum yang merugikan dirinya dianggap
batal.

3). Halangan yang sifatnya dapat mengubah sebagian tindakan hukum seseorang,
seperti orang yang berutang, pailit, dibawah pengampuan, orang yang lalai dan
tolol. Sifat-sifat seperti ini sebenarnya tindak mengubah ahliyyah al-
ada’ seseorang, tetapi beberapa tindakan hukumnya berubah. Misalnya, orang
yang berada dibawah pengampuan , tindakan hukumnya dalam masalah harta
dibatasi demi kemaslahatan dirinya dan hak-hak orang yang membayar utang. 11

11
Harun,Op.Cit,. 311.

xii
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari paparan penulis secara singkat diatas, kiranya penulis menyimpulkan
sebagai jawaban dari rumusan masalah yang termaktub diatas :
            Mengetahui ilmu fiqih mengajarkan tentang pengetahuan hukum, baik itu
menunjukkan secara global maupun terperinci. Hukum yang disandarkan pada al-
qur’an,. al-hadist maupun ijma’ dan qiyas semata-mata mengarahkan umat
manusia kepada jalan yang benar, menuntun segala amalinya kepada tindakan-
tindakan positif.  karna sifatnya yang rahmatalilalamin, maka hukum-hukum
islam tidak pernah memberatkan ataupun membebani bagi pelakunya.
Terdapat patokan-patokan tertentu sehingga mereka sudah mampu
dibebani sebuah hukum (taklif), seperti kemampuannya dalam bertindak dan
tingkat pola akal bekerja (seorang mukallaf). Hal tersebut, dapat dilihat dari
kecakapan mereka atas hak dan kewajiban (ahliyya).
Orang mukalaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak
hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun dengan
larangan-Nya. Serta seluruh tindakan hukum mukalaf harus
dipertanggungjawabkan.
Dasar dari taklif salah satunya sabda rasulullah SAW yang diriwayatkan
oleh Bukhari, Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibn Majah dan al-Daruquthni dari Aisyah
dan Ali bin abi thalib, yang artinya, “Diangkatlah pembebanan hukum dari tiga
(jenis orang): orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan
orang gila sampai ia sembuh.”Dan juga firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’
ayat 43 dan surat Ibrahim ayat 4.

10
DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar. 1993. fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta:Raja Prafindo Perasada.

Effendi, Satria. 2005.Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Harun, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu.

Khallaf,Abdul Wahhab. 2004.Ilmu Ushul Fiqh.Haramain: Linnasyri wa Tauzi’.

Koto, Alaiddin. 2006.Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: Rajawali Pers.

11

Anda mungkin juga menyukai