Anda di halaman 1dari 4

ADAB BERTETANGGA

Oleh: Banatul Murtafi’ah


Beberapa bulan lalu sempat viral video seorang ibu-ibu yang mencibir tetangganya dengan mengatakan bahwa
tetangganya tersebut nganggur tapi uangnya banyak. Nampaknya si ibu dalam video tersebut sama sekali belum
bertabayyun dengan tetangganya dan hanya berasumsi. Namun parahnya, asumsi itu dia sebar-sebarkan ke orang
lain. Pada akhirnya diketahui bahwa Bu Wati, sosok dalam video tersebut, mengunggah video permintaan maaf atas
ucapannya setelah dikecam netizen dari berbagai penjuru media sosial. Setahun sebelum video Bu Wati ini viral, ada
sosok Bu Tejo yang juga sempat viral sebab mencibir Bu Lurah dan keluarganya, tetangganya sendiri, yang bahkan
dikisahkan sedang sakit. Bedanya, Bu Tejo ini tokoh fiktif dalam sebuah film pendek. Sosok Bu Wati dan Bu Tejo
agaknya cukup familiar untuk ditemui dalam masyarakat kita. Jika Anda kebetulan tidak memiliki tetangga seperti
Bu Wati atau Bu Tejo, maka bersyukurlah banyak-banyak. Yang kebetulan memiliki tetangga mirip sosok tersebut,
mari bersabar banyak-banyak.
Agak sedikit miris nampaknya ketika perilaku semacam itu seolah wajar dalam masyarakat kita. Padahal hal
tersebut menunjukkan dengan jelas betapa adab, etika, dan akhlakul karimah tidak diimplementasikan dalam
kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Islam sendiri, telah dengan tegas dan jelas mengatur bagaimana sebaiknya kita
memperlakukan tetangga. Firman Allah Swt dalam Al-Qur’an serta sejumlah hadist dan kitab adab telah
menyampaikan berulang kali anjuran dan praktik bergaul dengan tetangga. Beberapa rambu-rambu yang telah diatur
dalam Islam untuk bergaul dengan tetangga yang bisa kita praktikkan agar tidak seperti Bu Tejo atau Bu Wati
adalah sebagai berikut.
1. Berbuat baik kepada tetangga
Allah Swt telah berfirman pada QS. An-Nisa ayat 36: “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya
yang kamu miliki.”  Ayat ini merupakan perintah dari Allah Swt untuk kita senantiasa berbuat baik kepada orang di
sekitar kita, khususnya, dalam konteks ini adalah tetangga. Contoh implementasi paling sederhana dari berbuat baik
kepada tetangga adalah dengan berbagi makanan yang kita masak. Riwayat yang masyhur terkait dengan berbagi
makanan kepada tetangga adalah ketika Rasulullah Saw meminta Abu Dzar untuk memperbanyak kuah masakan
yang dimasaknya dan memintanya untuk dibagikan kepada tetangga. Contoh kedua adalah ketika ada tetangga yang
memiliki kesulitan finansial, dan kita memiliki kemampuan untuk membantu, maka sebaiknya kita membantu
tetangga tersebut. Misalnya adalah ketika ada tetangga kurang mampu yang membutuhkan uang untuk membayar
biaya sekolah anaknya, dan tetangga tersebut datang kepada kita, maka jika kita memiliki rizki lebih, mari kita bantu
mereka.
Selanjutnya, praktik berbuat baik kepada tetangga adalah termasuk menjenguk saat mereka sakit. Baradja (1993)
menyampaikan beberapa adab menjenguk tetangga yang sakit, seperti: apakah tetangga tersebut bisa menerima tamu
atau tidak; tidak terlalu lama menjenguk tetangga; berbicara dengan suara pelan; mendoakan agar lekas sembuh;
memberikan semangat hidup; serta membawakan makanan yang disukai. Termasuk dalam adab menjenguk tetangga
yang sakit adalah tidak ngrasani atau tidak membicarakan keburukan tetangga tersebut di belakangnya. Pada film
pendek dimana sosok Bu Tejo ada di dalamnya, diceritakan jalan utama film tersebut adalah para ibu-ibu yang
menjenguk Bu Lurah yang sakit, namun di belakang, mereka ngrasani Bu Lurah, keluarganya, dan tetangganya.
Meski menjenguk tetangga yang sakit adalah praktik baik, namun sikap dan perilaku kita selama kunjungan tersebut
juga perlu diperhatikan.
2. Memuliakan tetangga

Dasar dan anjuran untuk memuliakan tetangga dalam Islam telah disampaikan oleh Rasulullah Saw pada hadist ke-
15 dalam kitab Arba’in Nawawi berikut.

ِ ‫ َو َمنْ َكانَ يُْؤ مِنُ ِباَهَّلل‬،‫ُت‬ ْ ‫ “ َمنْ َكانَ يُْؤ مِنُ ِباَهَّلل ِ َو ْالي َْو ِم اآْل خ ِِر َف ْل َيقُ ْل َخيْرً ا َأ ْو لِ َيصْ م‬:َ‫عَ نْ َأ ِبي هُرَ ْيرَ َة رَ ضِ يَ هللاُ عَ ْن ُه َأنَّ رَ سُو َل هَّللا ِ صلى هللا عليه و سلم َقال‬
‫ َو َمنْ َكانَ يُْؤ مِنُ ِباَهَّلل ِ َو ْالي َْو ِم اآْل خ ِِر َف ْلي ُْك ِر ْم ضَ ْي َف ُه‬،ُ‫”و ْالي َْو ِم اآْل خ ِِر َف ْلي ُْك ِر ْم جَ ارَ ه‬.
َ

Artinya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah ia memuliakan tetangganya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia
memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kata “memuliakan” dalam artikel ini didefinisikan sebagai menghormati. Termasuk dalam adab menghormati
adalah menghargai dan memperlakukan sama semua tetangga, misalnya dengan tidak memandang rendah pekerjaan
dan status sosial mereka. Contoh praktiknya misalnya adalah dengan bersikap dan berbicara dengan sopan, tidak
merendahkan tetangga, tidak menyinggung nominal gaji, pendapatan, dsb ketika bergaul dengan tetangga lain.
Contoh praktik lain dalam memuliakan tetangga, misalnya tidak sembarangan menggunakan lahan/halaman rumah
tetangga untuk keperluan pribadi tanpa izin. Lahan tersebut, meski tidak terpakai, tetaplah hak milik tetangga yang
mesti kita hormati. Kemudian, contoh lainnya, misalnya ketika kita pernah membantu seorang tetangga yang
kesulitan finansial, tidak perlu di kemudian hari mengungkit-ungkit jasa baik kita terhadap tetangga tersebut
sehingga membuatnya tidak nyaman dan merasa malu.

3. Tidak sombong dan membanggakan diri kepada tetangga


Masih pada QS. An-Nisa ayat 36, Allah Swt berfirman: “… Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong
dan membanggakan diri.” Pada kutipan ayat tersebut terlihat jelas betapa sifat sombong dan membanggakan diri
ditegaskan untuk dihindari. Contoh praktik misalnya adalah ketika berkunjung atau ngobrol dengan tetangga, tidak
perlu membanggakan diri sendiri atau anak atau anggota keluarga lain sehingga kemudian membuat tetangga kita
minder dan rendah diri. Beberapa orang cenderung suka menceritakan prestasi dan pencapaian dalam status, karir
atau pekerjaan anggota keluarganya secara berlebihan, sehingga kadang tidak sadar membuat orang lain tidak
nyaman. Sifat rendah hati dan tawadhu’ tentu jauh lebih dianjurkan dalam konteks bergaul dengan tetangga. Jikapun
misal ada anak atau anggota keluarga yang berhasil mencapai posisi atau karir tertentu, sebagai wujud rasa syukur,
bisa kemudian ditandai dengan memberikan bingkisan atau makanan kepada tetangga dekat rumah.
4. Tidak mengganggu tetangga

Salah satu hadist terkait dengan larangan untuk tidak mengganggu tetangga tercantum dalam kitab Al-Adab Al-
Mufrad. Berikut narasi hadits tersebut:

‫ َو ُتْؤ ذِي ِجيرَ ا َنهَا ِبلِسَ ا ِنهَا؟ َف َقا َل رَ سُو ُل‬،‫َّق‬


ُ ‫صد‬َّ ‫ َو َت‬،ُ‫ ِإنَّ فُالَ َن ًة َتقُو ُم اللَّ ْي َل َو َتصُو ُم ال َّنهَارَ َو َت ْفعَ ل‬،ِ‫ يَا رَ سُو َل هللا‬:‫ قِي َل لِل َّن ِبيِّ صلى هللا عليه وسلم‬:ُ‫َأبَا هُرَ ْيرَ َة َي ُقول‬
‫هللا صلى هللا عليه‬ ِ ‫ َوالَ ُتْؤ ذِي َأحَ ًدا؟ َف َقا َل رَ سُو ُل‬،‫ار‬ ٍ ‫َّق ِبَأ ْث َو‬
ُ ‫صد‬َّ ‫ َو َت‬،‫ َوفُالَ َن ٌة ُتصَلِّي ْالم َْك ُتو َب َة‬:‫ َقالُوا‬،‫ار‬ ‫َأ‬
ِ ‫ هِيَ مِنْ هْ ِل ال َّن‬،‫ الَ َخ ْيرَ فِيهَا‬:‫هللا صلى هللا عليه وسلم‬ ِ
.ِ‫ هِيَ مِنْ َأهْ ِل ْالجَ َّنة‬:‫وسلم‬

Artinya: Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, si
fulanah sering melaksanakan shalat di tengah malam dan berpuasa sunnah di siang hari. Dia juga berbuat baik dan
bersedekah, tetapi lidahnya sering mengganggu tetangganya.” Rasulullah SAW menjawab: “Tidak ada kebaikan di
dalam dirinya dan dia adalah penduduk neraka.” Para sahabat lalu berkata: “Terdapat wanita lain. Dia (hanya)
melakukan shalat fardhu dan bersedekah dengan gandum, namun ia tidak mengganggu tetangganya.” Beliau
bersabda: “Dia adalah dari penduduk surga.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 119. Syaikh Al-Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Contoh paling mudah tidak mengganggu tetangga misalnya adalah tidak menyetel musik keras-keras pada siang dan
malam hari ketika waktu jam istirahat, sehingga mengganggu tetangga sebelah rumah. Contoh berikutnya adalah
dalam konteks bertamu. Misalnya, berkunjung ke rumah tetangga pada waktu yang sesuai, bukan pada waktu
mereka makan, tidur, atau bekerja. Kemudian, tidak terlalu lama dalam bertamu ke rumah tetangga, sehingga
membuat tetangga tidak nyaman dan mengurangi waktu istirahatnya. Kemudian, jika kebetulan kita memiliki anak
balita atau anak kecil usia sekolah dasar, maka perhatikan anak kita tersebut. Jangan sampai kemudian tetangga
merasa tidak nyaman karena anak kita terlalu sering bermain di rumah tetangga tersebut.

Selanjutnya, konteks tidak mengganggu tetangga juga diterjemahkan dengan tidak mudah berprasangka buruk serta
tidak menggungjing tetangga kita. Larangan untuk berprasangka buruk tercantum dalam Al-Qur’an QS. Al-Hujurat
ayat 12 berikut:

‫ض ُك ْم َبعْ ضً ۗا اَ ُيحِبُّ اَحَ ُد ُك ْم اَنْ َّيْأ ُك َل لَحْ َم اَ ِخ ْي ِه َم ْي ًتا َف َك ِرهْ ُتم ُْو ۗهُ َوا َّتقُوا‬ َّ َ‫الظ ۖنِّ اِنَّ َبعْ ض‬
ُ ْ‫الظنِّ ا ِْث ٌم وَّ اَل َتجَ َّسس ُْوا َواَل ي َْغ َتبْ بَّع‬ َّ َ‫ٰ ٓيا َ ُّيهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َم ُنوا اجْ َت ِنب ُْوا َك ِثيْرً ا مِّن‬

١٢ – ‫هّٰللا َ ۗاِنَّ هّٰللا َ َتوَّ ابٌ رَّ ِح ْي ٌم‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka
itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang
menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha
Penyayang.”
Sosok tetangga seperti Bu Wati dan Bu Tejo yang disampaikan pada paragraf pertama adalah contoh betapa
mudahnya kita berprasangka buruk dan menggunjing tetangga, serta menyebarkan prasangka tersebut kepada orang
lain. Hal ini tentu sangat dilarang dalam Islam. Jika kemudian kita memiliki tetangga yang mungkin tidak pernah
nampak bekerja keluar rumah atau selalu nampak pulang kerja larut malam lalu kemudian memiliki banyak uang,
mari kita coba untuk kemudian berprasangka baik tentang pekerjaannya atau, kita juga bisa mengkonfirmasi kepada
kerabat dari tetangga tersebut dan menanyakan pekerjaannya secara baik-baik, tanpa berprasangka buruk.

Seringkali sikap kurang baik dari tetangga kemudian membuat kita tidak betah di lingkungan tersebut dan ingin
pergi ke tempat yang baru. Namun kemudian, seringkali kita juga khawatir, apakah tetangga di lingkungan baru
tersebut suka membantu atau sebaliknya, juga suka mengganggu. Jika kemudian kita berkesempatan pindah dan
memulai hidup di suatu tempat yang baru, mari kita coba terapkan adab di atas. Setidaknya, dengan memulai
berbuat baik pada tetangga kita, insyaAllah, merekapun akan berlaku baik kepada kita.

Referensi:
Baradja, Umar bin Achmad. (1993). Al-Akhlaq Lil Banaat: Bimbingan akhlak bagi putri-putri anda jilid
3, Penerjemah Abu Musthafa Alhalabi, Jakarta: Pustaka Amani.
https://islam.nu.or.id/post/read/86994/12-adab-bertetangga-menurut-imam-al-ghazali
https://jabar.kemenag.go.id/portal/read/mimbar-dakwah-sesi-71-berkata-baik-memuliakan-tamu-tetangga-hadits-
arbain-no15
https://sunnah.com/adab/6
https://sunnah.com/nawawi40

Anda mungkin juga menyukai