Dasar dan anjuran untuk memuliakan tetangga dalam Islam telah disampaikan oleh Rasulullah Saw pada hadist ke-
15 dalam kitab Arba’in Nawawi berikut.
ِ َو َمنْ َكانَ يُْؤ مِنُ ِباَهَّلل،ُت ْ “ َمنْ َكانَ يُْؤ مِنُ ِباَهَّلل ِ َو ْالي َْو ِم اآْل خ ِِر َف ْل َيقُ ْل َخيْرً ا َأ ْو لِ َيصْ م:َعَ نْ َأ ِبي هُرَ ْيرَ َة رَ ضِ يَ هللاُ عَ ْن ُه َأنَّ رَ سُو َل هَّللا ِ صلى هللا عليه و سلم َقال
َو َمنْ َكانَ يُْؤ مِنُ ِباَهَّلل ِ َو ْالي َْو ِم اآْل خ ِِر َف ْلي ُْك ِر ْم ضَ ْي َف ُه،ُ”و ْالي َْو ِم اآْل خ ِِر َف ْلي ُْك ِر ْم جَ ارَ ه.
َ
Artinya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah ia memuliakan tetangganya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia
memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kata “memuliakan” dalam artikel ini didefinisikan sebagai menghormati. Termasuk dalam adab menghormati
adalah menghargai dan memperlakukan sama semua tetangga, misalnya dengan tidak memandang rendah pekerjaan
dan status sosial mereka. Contoh praktiknya misalnya adalah dengan bersikap dan berbicara dengan sopan, tidak
merendahkan tetangga, tidak menyinggung nominal gaji, pendapatan, dsb ketika bergaul dengan tetangga lain.
Contoh praktik lain dalam memuliakan tetangga, misalnya tidak sembarangan menggunakan lahan/halaman rumah
tetangga untuk keperluan pribadi tanpa izin. Lahan tersebut, meski tidak terpakai, tetaplah hak milik tetangga yang
mesti kita hormati. Kemudian, contoh lainnya, misalnya ketika kita pernah membantu seorang tetangga yang
kesulitan finansial, tidak perlu di kemudian hari mengungkit-ungkit jasa baik kita terhadap tetangga tersebut
sehingga membuatnya tidak nyaman dan merasa malu.
Salah satu hadist terkait dengan larangan untuk tidak mengganggu tetangga tercantum dalam kitab Al-Adab Al-
Mufrad. Berikut narasi hadits tersebut:
Artinya: Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, si
fulanah sering melaksanakan shalat di tengah malam dan berpuasa sunnah di siang hari. Dia juga berbuat baik dan
bersedekah, tetapi lidahnya sering mengganggu tetangganya.” Rasulullah SAW menjawab: “Tidak ada kebaikan di
dalam dirinya dan dia adalah penduduk neraka.” Para sahabat lalu berkata: “Terdapat wanita lain. Dia (hanya)
melakukan shalat fardhu dan bersedekah dengan gandum, namun ia tidak mengganggu tetangganya.” Beliau
bersabda: “Dia adalah dari penduduk surga.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 119. Syaikh Al-Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Contoh paling mudah tidak mengganggu tetangga misalnya adalah tidak menyetel musik keras-keras pada siang dan
malam hari ketika waktu jam istirahat, sehingga mengganggu tetangga sebelah rumah. Contoh berikutnya adalah
dalam konteks bertamu. Misalnya, berkunjung ke rumah tetangga pada waktu yang sesuai, bukan pada waktu
mereka makan, tidur, atau bekerja. Kemudian, tidak terlalu lama dalam bertamu ke rumah tetangga, sehingga
membuat tetangga tidak nyaman dan mengurangi waktu istirahatnya. Kemudian, jika kebetulan kita memiliki anak
balita atau anak kecil usia sekolah dasar, maka perhatikan anak kita tersebut. Jangan sampai kemudian tetangga
merasa tidak nyaman karena anak kita terlalu sering bermain di rumah tetangga tersebut.
Selanjutnya, konteks tidak mengganggu tetangga juga diterjemahkan dengan tidak mudah berprasangka buruk serta
tidak menggungjing tetangga kita. Larangan untuk berprasangka buruk tercantum dalam Al-Qur’an QS. Al-Hujurat
ayat 12 berikut:
ض ُك ْم َبعْ ضً ۗا اَ ُيحِبُّ اَحَ ُد ُك ْم اَنْ َّيْأ ُك َل لَحْ َم اَ ِخ ْي ِه َم ْي ًتا َف َك ِرهْ ُتم ُْو ۗهُ َوا َّتقُوا َّ َالظ ۖنِّ اِنَّ َبعْ ض
ُ ْالظنِّ ا ِْث ٌم وَّ اَل َتجَ َّسس ُْوا َواَل ي َْغ َتبْ بَّع َّ َٰ ٓيا َ ُّيهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َم ُنوا اجْ َت ِنب ُْوا َك ِثيْرً ا مِّن
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka
itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang
menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha
Penyayang.”
Sosok tetangga seperti Bu Wati dan Bu Tejo yang disampaikan pada paragraf pertama adalah contoh betapa
mudahnya kita berprasangka buruk dan menggunjing tetangga, serta menyebarkan prasangka tersebut kepada orang
lain. Hal ini tentu sangat dilarang dalam Islam. Jika kemudian kita memiliki tetangga yang mungkin tidak pernah
nampak bekerja keluar rumah atau selalu nampak pulang kerja larut malam lalu kemudian memiliki banyak uang,
mari kita coba untuk kemudian berprasangka baik tentang pekerjaannya atau, kita juga bisa mengkonfirmasi kepada
kerabat dari tetangga tersebut dan menanyakan pekerjaannya secara baik-baik, tanpa berprasangka buruk.
Seringkali sikap kurang baik dari tetangga kemudian membuat kita tidak betah di lingkungan tersebut dan ingin
pergi ke tempat yang baru. Namun kemudian, seringkali kita juga khawatir, apakah tetangga di lingkungan baru
tersebut suka membantu atau sebaliknya, juga suka mengganggu. Jika kemudian kita berkesempatan pindah dan
memulai hidup di suatu tempat yang baru, mari kita coba terapkan adab di atas. Setidaknya, dengan memulai
berbuat baik pada tetangga kita, insyaAllah, merekapun akan berlaku baik kepada kita.
Referensi:
Baradja, Umar bin Achmad. (1993). Al-Akhlaq Lil Banaat: Bimbingan akhlak bagi putri-putri anda jilid
3, Penerjemah Abu Musthafa Alhalabi, Jakarta: Pustaka Amani.
https://islam.nu.or.id/post/read/86994/12-adab-bertetangga-menurut-imam-al-ghazali
https://jabar.kemenag.go.id/portal/read/mimbar-dakwah-sesi-71-berkata-baik-memuliakan-tamu-tetangga-hadits-
arbain-no15
https://sunnah.com/adab/6
https://sunnah.com/nawawi40