Anda di halaman 1dari 4

Oleh Ustadz Abu Abu Utsman Kharisman (Syarh Hadits ke-15 Arbain anNawawiyyah)

: ] [
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.[HR. Bukhari dan Muslim] Memulyakan Tetangga Tetangga adalah orang yang tinggalnya berdekatan dengan kita. Ia memiliki hak untuk dimulyakan, dijaga haknya, dan tidak diganggu (disakiti). Sebagian Ulama di antaranya alImam anNawawy menjelaskan bahwa berdasarkan kedekatannya, tetangga terbagi menjadi 4, yaitu : 1) Orang yang tinggal satu rumah dengan kita, 2) Orang yang rumahnya berdampingan dengan rumah kita, 3) Orang yang rumahnya dalam radius 40 rumah dari rumah kita, dan 4) Orang yang tinggal dalam satu negeri dengan kita. Semakin dekat, semakin besar haknya sebagai tetangga. Tetangga, meski seorang yang kafir, ia memiliki hak untuk dimulyakan sebagai tetangga dalam Islam. Sahabat Nabi Abdullah bin Amr bin al-Ash ketika disembelihkan kambing untuknya berkata : Sudahkah kamu menghadiahkan kepada tetangga kita Yahudi? Saya mendengar Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam bersabda: Senantiasa Jibril mewasiatkan kepadaku terhadap tetangga, sampai-sampai aku mengira bahwa ia akan meberikan hak waris kepadanya (H.R alBukhari dalam Adabul Mufrad no 105). Minimal, seseorang harus menjaga dirinya untuk tidak mengganggu, menyakiti atau mendzhalimi tetangganya. Sebagaimana dalam lafadz riwayat yang lain:


Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir janganlah menyakiti tetangganya (H.R Abu Dawud) Dosa mendzhalimi tetangga lebih besar dibandingkan mendzhalimi orang lain. Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam bersabda:


Seandainya seseorang mencuri pada 10 rumah, itu lebih ringan dibandingkan mencuri dari tetangganya (H.R Ahmad dan atThobarony, al-Haitsamy menyatakan bahwa perawi-perawinya terpercaya) Nabi Muhammad shollallaahu alaihi wasallam ditanya: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya seorang wanita melakukan sholat malam, berpuasa di siang hari, melakukan ini dan itu, serta bershodaqoh, tetapi ia menyakiti tetangga dengan lisannya? Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam bersabda: Tidak ada kebaikan padanya. Ia termasuk penduduk neraka. Para Sahabat berkata: sedangkan seorang wanita lain melakukan sholat wajib dan bershodaqoh dengan beberapa potong keju tetapi ia tidak pernah menyakiti siapapun? Rasulullah shollallahu alaihi

wasallam bersabda: Dia termasuk penghuni surga (H.R al-Bukhari dalam Adabul Mufrad no 119). Tingkatan yang lebih utama lagi dibandingkan sekedar tidak mengganggu tetangga adalah berbuat baik kepada tetangga. Memberikan bantuan kepada mereka. Hak tetangga di antaranya: Jika mereka butuh pinjaman, pinjamkanlah, jika mereka butuh pertolongan tolonglah, jika sakit jenguklah, jika meninggal iringi jenazahnya, jika mendapat kebaikan berikan ucapan selamat dan turut senang (tidak dengki), jika mendapat musibah hiburlah, jika ada kelebihan makanan berilah hadiah, jika membeli makanan dan tidak mampu untuk dihadiahkan, masukkan ke dalam rumah secara diam-diam (tidak menampakkan di hadapannya), jangan membangun bangunan yang menghalangi aliran udara untuknya kecuali jika diijinkan (hadits-hadits tentang ini lemah, namun kata Ibnu Hajar karena perbedaan (banyaknya) jalur periwayatan menunjukkan bahwa hal itu memiliki asal (Fathul Baari (10/446)) Pemulyaan terhadap tetangga bertingkat-tingkat serta berbeda pada tiap orang dan keadaan. Adakalanya hukumnya fardlu ain (wajib), bisa juga fardlu kifayah, dan bisa pula mustahab (sunnah). Memulyakan Tamu Memulyakan tamu adalah akhlaq yang terpuji, Dalam hadits ini Nabi tidak menyebutkan batasan pemulyaan untuk tamu, karena hal itu disesuaikan dengan urf (kebiasaan setempat), yang berbeda pada tiap orang dan keadaan. Tamu adalah orang yang safar singgah ke tempat mukim kita karena ada keperluan. Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam bersabda:


Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia mulyakan tamunya dengan pemberian untuknya sehari semalam. Hak bertamu adalah 3 hari, setelah itu adalah shodaqoh (H.R Abu Dawud) Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad menjelaskan bahwa pada sehari semalam pertama, dihidangkan makanan dan minuman yang kadarnya (kualitasnya) lebih dari kebiasaan yang kita makan, kemudian 2 hari berikutnya hidangannya adalah hidangan yang sesuai dengan kebiasaan (Syarh Sunan Abi Dawud . Tuan rumah hendaknya melayani tamu dengan menyediakan makan dan minumnya, penginapan, serta hal-hal yang dibutuhkan tamu, melayaninya dengan ikhlas, mengucapkan ucapan yang baik dan berwajah cerah.Sedangkan tamu hendaknya tidak mencela sajian atau kekurangan pelayanan dari tuan rumah, tidak menyebar aib/ kekurangan yang ada dalam rumah tersebut, mendoakan tuan rumah. Salah satu doa yang diajarkan Nabi agar diucapkan setelah kita mendapat suguhan makanan dan minuman dari tuan rumah adalah:


Ya Allah berilah keberkahan pada apa yang Engkau rezekikan kepada mereka (tuan rumah), ampuni mereka, dan rahmatilah mereka (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ahmad)

. : .)( .
[2]Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Yahya telah menceritakan kepada kami dari Syubah dari Qatadah dari Anas r.a berkata bahwa Nabi saw. telah bersabda tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasai) Seorang mukmin yang baik ialah apabila melihat kebaikan pada saudaranya, ia berharap mendapatkan kebaikan yang sama tanpa mengharapkan nikmat itu hilang dari saudaranya. Jika melihat kekurangan pada saudaranya, maka ia berusaha memperbaikinya, sebab orang mukmin dengan orang mukmin ibarat satu anggota tubuh yang saling melengkapi satu sama lain. Hadis di atas tidaklah berarti bahwa seorang mumin yang tidak mencintai saudaranya pada hadis seperti mencintai dirinya berarti tidak beriman sama sekali. Pernyataan.? di atas mengandung makna tidak sempurna keimanan seseorang jika tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi, harf nafi ( )pada hadis tersebut bermakna ketidaksempurnaan. Di sisi lain, hadis di atas memberikan isyarat betapa besar penghargaan Islam terhadap persaudaaraan. Demikian besarnya arti persaudaraan, maka Islam menjadikannya sebagai salah satu indikator keberimanan seseorang. Saudara yang dimaksudkan dalam hadis di atas bukan hanya saudara yang diikat hubungan nasab, tetapi lebih dari itu, persaudaran yang diikat oleh hubungan agama dan keimanan. Persaudaraan semacam ini adalah persaudaraan suci yang datang dari hati nurani, yang dasarnya keimanan bukan motif-motif lain. Persaudaraan atas dasar keimanan dan keislaman merupakan persaudaraan yang abadi dan tidak akan luntur selama keimanan dan keislaman tetap bersemayam di dalam hati dan diri seseorang mukmin. Seorang saudara selalu siap menolong saudaranya seiman meskipun tanpa diminta bahkan tidak jarang mengorbankan kepentingannya sendiri demi menolong saudaranya. Perbuatan baik seperti itulah yang akan mendapat pahala besar di sisi Allah swt Allah swt. berfirman dalam QS. Ali Imran (3): 92:

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. Sebaliknya, orang-orang mukmin yang hanya mementingkan dirinya sendiri, dan tidak memiliki semangat ihsan terhadap sesamanya, orang seperti itulah yang masuk dalam kategori tidak sempurna keimanannya, meskipun mereka taat dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Kesalehan seseorang tidak hanya diukur dengan parameter ketaatan melaksanakan kewajiban individual terhadap al-Khaliq, tetapi juga harus dibarengi dengan hablum minan nas yang baik. Perlu diingat kembali bahwa perintah untuk mencintai sesama muslim haruslah senantiasa berada dalam semanga ketaatan kepada Allah. Tidaklah benar jika atas alasan menolong sesama manusia sehingga mengabaikan rambu-rambu Tuhan, sebab tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam mendurhakai Allah. Oleh sebab itu, tidaklah dikategorikan berbuat baik kepada sesamanya jika pertolongan yang diberikannya membantu orang tersebut dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah, sebab dalam kondisi seperti itu berarti memposisikan makhluk pada posisi Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai