Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa ada interaksi dengan
manusia lainnya. Maka, kehadiran tetangga dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim
sangat dibutuhkan. Allah Ta’ala berfirman,
ُ ْ ْ ُْ ْ ُْْ َ َ ََْ َ َ ْ َ َ ن َ ً َ ْ ْ َ َْ َ ًْ َ ُ ْْ ُ َ َ َ ه ُُْ َ
ي َوال َج ِار ِذي الق ْر َ َب َوال َج ِار ال ُجن ِب
ِ شكوا ِب ِه شيئا و ِبالو ِالدي ِن ِإحسانا و ِب ِذي القر َب واليتاَم والمس ِاكِ واعبدوا اَّلل وَل ت
Artinya: “Jibril senantiasa bewasiat kepadaku agar memuliakan (berbuat baik) kepada tetangga,
sampai-sampai aku mengira seseorang akan menjadi ahli waris tetangganya ”(HR. Al Bukhari
no.6014).
Agama Islam menaruh perhatian yang sangat besar kepada pemeluknya dalam segala hal dan
urusan. Mulai dari bangun tidur hingga akan tidur lagi, semua tidak luput dari ajarannya. Tak
terkecuali dalam masalah adab. Berikut ini diantara adab-adab seorang muslim kepada
tetangganya yang patut kita perhatikan.
Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia
memuliakan tetangganya ”(Muttafaq ‘alaih).
Berkata Al-Hafizh (yang artinya): “Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamrah mengatakan, ‘Dan
terlaksananya wasiat berbuat baik kepada tetangga dengan menyampaikan beberapa bentuk
perbuatan baik kepadanya sesuai dengan kemampuan. Seperti hadiah, salam, wajah yang
berseri-seri ketika bertemu, memperhatikan keadaannya, membantunya dalam hal yang ia
butuhkan dan selainnya, serta menahan sesuatu yang bisa mengganggunya dengan berbagai
macam cara, baik secara hissiyyah (terlihat) atau maknawi (tidak terlihat). ”’(Fathul Baari:
X/456).
Kata tetangga mencangkup tetangga yang muslim dan juga yang kafir, ahli ibadah dan orang
fasik, teman dan lawan, orang asing dan penduduk asli, yang memberi manfaat dan yang
memberi mudharat, kerabat dekat dan bukan kerabat dekat, rumah yang paling dekat dan
paling jauh. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam al-Fath (X/456).
Dan termasuk hak-hak bertetangga adalah tidak menghalangi tetangga untuk menancapkan
kayu atau meletakkannya di atas dinding untuk membangun kamar atau semisalnya.
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasul kita shallallahu ‘alaihi wassallam yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
َ َ ْ ْ َ َ َ ً ن ُ ُ َ َ َ
َل َي ْمن ْع أ َحدك ْم َج َار ُه أن َيغ ِرز خش َبة ِف ِجد ِارِه
Artinya: “Janganlah salah seorang di antara kalian melarang tetangganya menancapkan kayu di
dinding (tembok)nya ”(HR.Bukhari (no.1609); Muslim (no.2463); dan lafazh hadits ini menurut
riwayat beliau; Ahmad (no.7236); at-Tirmidzi (no.1353); Abu Dawud (no.3634); Ibnu Majah
(no.2335); dan Malik (no.1462)).
Apabila salah satu atau sebagian dari ketentuan di atas tidak dipenuhi maka tetangga tidak
boleh memanfaatkan bangunan dan menyandarkannya kepada tembok tetangganya karena
akan menimbulkan mudharat yang telah terlarang secara syari’at, “Tidak boleh memberi
bahaya dan membahayakan orang lain ”(HR. Ibnu Majah (no.2340); dan Syaikh Al-Albani
menshahihkannya (no.1910,1911)).
Adapun tetangga paling dekat memiliki hak-hak yang tidak dimiliki oleh tetangga jauh. Hal ini
dikutip dari pertanyaan ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai
Rasulullah, aku memiliki dua tetangga, manakah yang aku beri hadiah? ’Nabi menjawab,
َ َ ْ َْ َ
ِإَل أق َر ِب ِه َما ِمنك بابا
‘Yang pintunya paling dekat dengan rumahmu ”’(HR. Bukhari (no.6020); Ahmad (no.24895); dan
Abu Dawud (no.5155)).
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam memerintahkan hal tersebut, diketahui bahwa
hak tetangga yang paling dekat lebih didahulukan daripada hak tetangga yang jauh. Diantara
hikmahnya adalah tetangga dekatlah yang melihat hadiah tersebut atau apa saja yang ada di
dalam rumahnya, dan bisa jadi menginginkannya. Lain halnya dengan tetangga jauh. Selain itu,
sesungguhnya tetangga yang dekat lebih cepat memberi pertolongan ketika terjadi perkara-
perkara penting, terlebih lagi pada waktu-waktu lalai. Demikian penjelasan Al Hafizh dalam
Fathul Baari (X/361).
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan adanya larangan dan sikap tegas bagi
seseorang yang mengganggu tetangganya. Rasulullah shallallahu ‘alahi wassalam
menggandengkan antara iman kepada Allah dan hari Akhir, menunjukkan besarnya bahaya
mengganggu tetangga. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wassallam bersabda,
ْ ََ ْ ْ َ ْ َ َ ُْ ُ ه
اَّلل َوال َي ْو ِم اآل ِخ ِر فَل ُيؤ ِذ َج َار ُه
ِ من كان يؤ ِمن ِب
Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka janganlah dia
mengganggu tetangganya”’(HR. Bukhari (no.1609); Muslim (no.2463); dan lafazh hadits ini
menurut riwayat beliau, Ahmad (no.7236); at-Tirmidzi (no.1353); Abu Dawud (no.3634); Ibnu
Majah (no.2335); dan Malik (no.1462)).
Dan dalam Hadits lainnya, Abu Syuraih radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda,
ُ َ ْ َ َ َ َ ْ َ َ ُ َ ه َ َ ه ُ ْ ُ َ اَّلل ََل ُي ْؤم ُن َو ه
َ ه َ ُْ ُ َ ه
ال ال ِذي َل َيأ َم ُن َج ُار ُه َب َو ِايقهاَّلل ق
ِ اَّلل َل يؤ ِمن ِقيل ومن يا رسول
ِ ِ ِ واَّلل َل يؤ ِمن و
Artinya: “Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman.
“Sahabat bertanya, “Siapa wahai Rasulullah? ”Beliau menjawab, “Yang tetangganya tidak aman
dari keburukannya ”(HR. Bukhari (no.6016)).
Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
ُ َ ْ َ ََ ْ ُ ْ ى
َل َيدخ ُل ال َجنة َم ْن َل َيأ َم ُن َج ُار ُه َب َو ِائقه
Artinya: “Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya ”(HR.
Muslim (no.46); Ahmad (no.8638); Al Bukhari (no.7818)).
Artinya: “Untuk Allah, Kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum
muslimin ”(HR. Muslim (no.55); Ahmad (no.16493); an-Nasa’I (no.4197); dan Abu Dawud
(no.4944)).
Dan nasehat untuk seluruh kaum muslimin adalah termasuk tetangga kita. Tujuannya untuk
memberikan kebaikan kepada mereka, termasuk mengajarkan dan memeperkenalkan kepada
mereka perkara yang wajib, serta menunjukkan mereka kepada al-haq (kebenaran). Hal ini
dijelaskan dalam Kasyful Musykil mim Hadits ash-Shahihain karya Ibnul Jauzi (IV/219).
Artinya: “Wahai Abu Dzar, apabila kamu memasak sayur (daging kuah) maka perbanyaklah
airnya dan berilah tetanggamu ”(HR. Muslim). Adapun tetangga yang pintunya lebih dekat dari
rumah kita agar lebih didahulukan untuk diberi.
Ketika kita berinteraksi dengan manusia, pasti ada suatu kekurangan atau perlakuan yang
kurang baik dari sebagian mereka kepada sebagian yang lainnya, baik dengan perkataan
maupun perbuatan. Maka orang yang terzhalimi disunnahkan menahan marah dan memaafkan
orang yang menzhaliminya. Allah Ta’ala berfirman,
َ ْ ُ َ َ َ َْ ْ ْ َ َ َ َ َو هالذ
ش َوِإذا َما غ ِض ُبوا ه ْم َيغ ِف ُرون ين َي ْجت ِن ُبون ك َب ِائ َر ِاْلث ِم َوالف َو ِاح ِ
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji,
dan apabila mereka marah mereka memberi maaf ”(QS. Asy-Syuura: 37).
Artinya:“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan ”(QS. Ali ‘Imran:134).
Firman Allah “Dan orang-orang yang menahan amarahnya ”yaitu apabila mereka diganggu oleh
orang lain sehingga mereka marah dan hati mereka penuh dengan kekesalan yang
mengharuskan mereka membalasnya dengan perkataan dan perbuatan, akan tetapi mereka
tidak mengamalkan konsekuensi tabi’at manusia tersebut (tidak membalasnya). Bahkan mereka
menahan amarah lalu bersabar dan tidak membalas orang yang berbuat jahat kepadanya.
Wallahu musta’an
Sumber: https://muslimah.or.id/6632-adab-bertetangga.html
Cara Menghadapi Tetangga Yang Jahat Menurut Islam Adab Bertetangga Cara Mengusir
Tetangga Jahat Cara Menghadapi Tetangga Yang Jahat Doa Mengusir Tetangga Jahat
BERTETANGGA YANG SEHAT DAN KIAT MENGHADAPI TETANGGA JAHAT
Tak dipungkiri, manusia tidak bisa terlepas dari manusia yang lain. Artinya ia mutlak
membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Di sinilah, manusia tidak bisa dipi sahkan dari
kehidupan bertetangga. Islam pun telah menggariskan etika sosial untuk menciptakan jalinan
yang harmonis antar keluarga. Sehingga kehidupan manusia terpenuhi atmosfer yang penuh
dengan spirit tasaamuh (toleransi), ta’awun (tolong menolong) dalam kebaikan dan taqwa.
Penyakit ananiyah (egoisme), su’uzhan (buruk sangka), tajassus (sikap memata-matai),
menggunjing aib orang lain, dan sederet akhlak tercela lainnya tidak endapatkan tempat.
Keamanan, ketentraman dan roda kehidupan yang didasari saling tepa selira dan menghormati
dapat semakin kokoh
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbuat baik kepada
terangganya. [1]
ُ َ َ َ
أح ِس ْن ُم َج َاو َرة َم ْن َج َاو َرك تك ْن ُم ْس ِل ًما
ْ َو
Dan berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau menjadi seorang muslim. [2]
Dua hadits di atas mengindikasikan bahwa berbuat ihsan (baik) kepada tetangga merupakan
salah satu simbol kesempurnaan iman seseorang. Sebab antara iman dan ketinggian akhlak
seorang muslim berbanding lurus. Semakin tinggi keimanan seseorang, maka semakin mulia
pula akhlaknya kepada siapapun, termasuk kepada para tetangganya. Keluhuran akhlak
seseorang bukti kesempurnaan imannya.
Jibril terus-menerus berwasiat kepadaku (untuk berbuat baik) terhadap tentangga, hingga aku
yakin ia (seorang tetangga) akan mewariskan harta kepadanya (tetangganya). [3]
Berkaitanmakna berbuat ihsan (baik) kepada tetangga, Syaikh Nazhim Sulthan menerangkan:
“(Yaitu) dengan melakukan beragam perbuatan baik kepada tetangga, sesuai dengan kadar
kemampuan. Misalnya berupa pemberian hadiah, mengucapkan salam, tersenyum ketika
bertemu dengannya, mengamati keadaannya, membantunya dalam perkara yang ia butuhkan,
serta menjauhi segala perkara yang menyebabkan ia merasa tersakiti, baik secara fisik atau
moril. Tetangga yang paling berhak mendapatkankan perlakuan baik dari kita adalah tetangga
yang paling dekat rumahnya dengan kita, disusul tetangga selanjutnya yang lebih dekat. ‘Aisyah
pernah bertanya,”Wahai Rasulullah, aku memiliki dua orang tetangga. Maka kepada siapakah
aku memberikan hadiah diantara mereka berdua?”. Beliau menjawab.
ْ ْ
إَل أق َر َب ُه َما ِمن ِك َب ًابا
Oleh karena itu, Imam Al Bukhari menulis judul bab khusus dalam Shahihnya Bab Haqqul Jiwar
Fii Qurbil Abwab (Bab Hak Tetangga Yang Terdekat Pintunya). Ini merupakan indikator
kedalaman pemahaman beliau terhadap nash-nash tentang hal ini. [5]
Lebih lanjut, Syaikh Nazhim memaparkan tentang kriteria tentang tetangga. Yang Pertama :
Tetangga muslim yang memiliki hubungan kekerabatan. Dia memiliki tiga hak sekaligus. Yaitu ;
hak bertetangga, hak Islam dan hak kekerabatan. Yang Kedua : Tetangga muslim (yang tidak
memiliki hubungan kekerabatan), maka ia memiliki dua hak. Yaitu ; hak bertetangga dan hak
Islam.
Yang Ketiga : Tetangga yang hanya memiliki satu hak. Yaitu tetangga yang kafir. Dia hanya
memiliki hak sebagai tetangga, dengan dasar keumuman nash-nash yang memerintahkan
berbuat ihsan kepada tetangga, yang mencakup tetangga muslim dan non-muslim. Seperti yang
telah dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap tetangga Beliau yang
beragama Yahudi.[6]
Dari Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash bahwa ia menyembelih seekor kambing kemudian bertanya
(kepada keluarganya). “Sudahkah kalian berikan sebagian kambing tersebut kepada tetangga
kita yang Yahudi?. Beliau bertanya sampai tiga kali., kemudian berkata,”Aku telah mendengar
Nabi bersabda.
ُ ُ َ َْ ُ ى ْ َْ َ َ ْ ْ ُ ُْ ْن
ن ِبال َج ِار َح َىن ظننت أنه َس ُي َو ِّرثه
ما زال ِج َ ِبيل يو ِصي ِ ي
Jibril senantiasa berwasiat kepadaku (untuk berbuat baik) terhadap tetangga, hingga aku yakin
ia akan memberikan harta warisan kepadanya. [7]
Kriteriai tetangga yang dinyatakan oleh Syaikh Nazhim ini, sebenarnya merupakan kandungan
sebuah hadits yang termaktub dalam Musnad Al Bazzar (Lihat Kasyful Astar no: 1896) dan Al
Hilyah karya Abu Nu’aim (5/207). Namun sanadnya bermasalah. Al Haitsami dalam Al Majma
(8/164), mengomentari sanadnya dengan berkata: “Imam Al Bazaar meriwayatkannya dari
syaikh (guru)nya (yang bernama) Abdullah bin Muhammad Al Haritsi, dan ia adalah seorang
pemalsu hadits.[8]
Akan tetapi kriteria di atas, sejalan dengan penjelasan Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bar
yang menyatakan. “Penyebutan (istilah) tetangga mencakup (tetangga) yang muslim maupun
yang kafir, yang ahli ibadah ataupun yang fasik, teman ataupun musuh, yang senegara ataupun
dari negeri lain, yang bisa memberikan manfaat ataupun yang akan membahayakan, yang
masih kerabat ataupun bukan saudara, yang dekat rumahnya ataupun yang jauh. Tetangga
memiliki (perbedaan derajat) tingkatan antara satu dengan lainnya. Tetangga yang memiliki
derajat tertinggi adalah yang terhimpun padanya seluruh sifat-sifat istimewa, kemudian
(tingkatan selanjutnya adalah) yang banyak memiliki sifat-sifat luhur, dan (tingkatan yang
terakhir) adalah yang paling sedikit sifat-sifat baiknya. [9]
Syaikh Abdurrahman bin Abdul Karim Al ‘Ubayyid, penulis kitab Ushul Manhajil Islami,
menjelaskan makna tetangga secara lebih luas, “Istilah tetangga sebagaimana yang dikenal
secara umum oleh manusia adalah tetangga yang hidup berdampingan rumah dengan anda.
Namun sebenarnya, parameter dalam masalah ini adalah keumuman lafazh (tetangga). Maka
istilah tetangga mencakup setiap orang yang hidup bersama anda, baik ketika dalam pekerjaan,
di toko, atau masjid, di jalan, maupun di tengah-tengah masyarakat umum. Maka setiap insan
yang berada di sekeliling anda maka ia adalah tetangga anda. Termasuk pula dalam kategori
tetangga ini adalah sebuah negara dengan negeri jirannya, juga negara Islam dengan negara
tetangganya. Jadi, tetangga antar negara dinilai sama persis layaknya tetangga antar anggota
masyarakat, yaitu dari sisi pandang bahwa keduanya dituntut untuk berbuat baik kepada
tetangganya masing-masing. Tidaklah terjadi peperangan antar negara melainkan lantaran
negara yang satu melanggar hak negara tetangganya. Ini adalah salah satu prinsip yang
agung.[10]
Dan demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggamanNya, tidaklah seseorang beriman hingga ia
mencintai untuk tetangganya, atau Beliau berkata, untuk sudaranya apa yang ia cintai untuk
dirinya sendiri.[12]
Ibnu Abi Jamrah berkata, “Kondisi tetangga berbeda-beda, ditinjau dari tingkat keshalehan
mereka. (Prinsip) yang mencakup seluruhnya adalah keinginan kebaikan untuk tetangga
tersebut, dan nasehat kepadanya dengan cara yang baik, mendoakannya agar mendapatkan
petunjuk, menjauhi sikap yang menyakitinya, dan mencegah tetangga yang tidak shalih dari
perbuatan yang menganggu atau dari kefasikan dengan cara yang bijak, sesuai dengan tahapan
beramar ma’ruf nahi mungkar. Serta mengenalkan kepada tetangga yang kafir tentang Islam
dan menjelaskan kepadanya kebaikan-kebaikan agama Islam dan memotivasinya untuk masuk
Islam dengan cara yang baik pula. Jika hal itu bermanfaat maka (ajaklah ia dengan nasehat itu),
dan bila nasehat tidak mempan, maka boikotlah ia dengan tujuan untuk memberinya pelajaran.
Karena dirinya telah mengetahui alasan kita memboikotnya, agar ia berhenti dari
keengganannya untuk masuk Islam, jika memang pemboikotan tersebut efektif diterapkan
padanya”
Saat musibah melanda tetangga kita dan dia dirundung kesedihan dan terbelit kesulitan, •
sebisa mungkin kita membantunya, baik bantuan materi ataupun dukungan moril. Menghibur
dan meringankan beban penderitaannya dengan nasehat, tidak menampakan wajah gembira
tatkala dia dirundung duka. Menjenguknya ketika sakit dan mendoakan kesembuhan untuknya
serta membantu pengobatannya bila memang dia membutuhkannya. Rasulullah Shallallahu
.alaihi wa sallam bersabda‘
ْ ْ ه ْ ُ َ َْ
المؤ ِم ُن ال ِذ ْي َيش َب ُع َو َج ُار ُه َج ِائ ٌع إَل َجن ِب ِه ليس
Hindari sejauh mungkin sikap yang dapat menyebabkan tetangga kita merasa tersakiti, baik •
berupa perbuatan ataupun perkataan. Contohnya, mencela, membeberkan aibnya di muka
umum, memusuhinya, atau melemparkan sampah di muka rumahnya sehingga menyebabkan
ia terpeleset ketika melewatinya, dan jenis gangguan lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
.bersabda
ْ َ َ ُ ُْ َ َ ْ َ
اآلخر فَل ُيؤ ِذ ْي َج َار ٌه َْ َ
ِ من كان يؤ ِمن ِباهلل و اليو ِم
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah ia menyakiti
tetangganya. [14]
Kunjungilah tetangga pada hari raya dan sambutlah undangannya jika dia mengundang kita. •
.Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
َ ُ ْ ْ َ َ َ ْ المر ْي َ ِّ َ ُ َ َ َ َ َ ُ ى َ ُ َ َ َ َ َ ْ ٌ َ ُّ ى ْ ُ ْ ُ ُّ َ
س
ِ اط ِ ِ رد السَل ِم و ِعيادة: حق المس ِل ِم عىل المس ِل ِم خمس
ِ ض و اتباع الجنا ِئ ِز و إجابة الدعو ِة و تش ِميت الع
Hak muslim atas muslim yang lain ada lima, menjawab ucapan salam, menjenguk orang sakit,
mengantar jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan orang yang bersin.[15]
Berikanlah toleransi kepada tetangga kita selama bukan dalam perkara maksiat. Didiklah •
keluarga kita untuk tidak berkata-kata keras atau berteriak-teriak sehingga mengganggu
tetangga. Janganlah kita mengeraskan suara radio kita hingga mengusik ketentraman tetangga,
terutama pada malam hari. Sebab, mungkin diantara mereka ada yang sedang sakit, atau lelah,
atau tidur atau mungkin ada anak sekolah yang sedang belajar. Dan ketahuilah, mendengarkan
musik adalah perkara haram, apalagi jika sampai mengganggu tetangga, maka dosanya menjadi
.berlipat ganda. Rasulullah bersabda
ُ َ ُ ْ َ َ ِ األص َحاب ِع ْن َد هللا َخ ْ ُب ُه ْم ِل َص
ْ َخ ْ ُب
الج ْ َب ِان خ ْ ُبه ْم ِل َج ِارِه
ِ اح ِب ِه و خب ِ
Sebaik-baik sahabat adalah yang paling baik terhadap sahabatnya, dan sebaik-baik tetangga
adalah yang paling baik terhadap tetangganya.[16]
Dan hendaklah kita tidak bersikap kikir terhadap tetangga yang membutuhkan bentuan kita,
selama kita bisa membantunya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
َ َ ْ ْ َ َ َ ً ن ُ ُ َ َ َ
َل َي ْمن ْع أ َحدك ْم َج َار ُه أن َيغ ِرز خش َبة ِ يف ِجد ِارِه
Janganlah seorang diantara kalian melarang tetangganya untuk meletakkan kayu di tembok
rumahnya.[17]
Berkenaan dengan hadits di atas, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali membawakan beberapa
pelajaran yang berkaitan dengan hak tetangga yaitu: Yang pertama : Saling membantu dan
bersikap toleran sesama tetangga merupakan hak-hak tetangga (yang wajib dipenuhi) sekaligus
merupakan wujud kekokohan bangunan masyarakat Islam. Yang kedua : Jika seseorang
memiliki rumah, kemudian ia memiliki tetangga dan tetangganya itu ingin menyandarkan
sebatang kayu di temboknya tersebut, maka boleh hukumnya bagi si tetangga untuk
meletakkannya dengan izin atau tanpa izin pemilik rumah, dengan syarat hal tersebut tidak
menimbulkan mudharat bagi si empunya rumah, karena Islam telah menetapkan satu kaidah
َ ض َر َو ََل ِ ن
umum [18] ( ض َار
َ
َ َ)َل ن .
Berikanlah hadiah kepada tetangga, walau dengan sesuatu yang mungkin kita anggap sepele. •
Karena saling memberi hadiah akan menumbuhkan rasa cinta dan ukhuwah yang lebih dalam.
.Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu
وف ُ ْ َ َْ ْ ُْ َ َْ ْ َْ َ ْ ْ ُ ْ َ َ َ ْ َ َ َ ً ِْْ َ َ ُ ُ ى
ٍ فأصبهم ِمنها ِبمعر
ِ ، ثم انظر أهل بي ٍت ِمن ِجب ِانك، إذا طبخت مرقا فأك ِب ماءه
Jika suatu kali engkau memasak sayur, maka perbanyaklah kuahnya, kemudian perhatikanlah
tetanggamu, dan berikanlah mereka sebagiannya dengan cara yang pantas. [19]
Tundukkanlah pandangan kita terhadap aurat tetangga, jangan pul a menguping pembicaraan •
mereka. Apalagi sampai mengintip ke dalam rumahnya tanpa seizinnya untuk mengetahui aib
.mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
َ ُّ ُ َُ ْ ِّ ْ ُ ْ ن
ي َيغضوا ِم ْن أ ْب َص ِار ِه ْم قل للمؤ ِم ِن
Dan katakanlah kepada laki-laki beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangan mereka. [An
Nur:30]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh seorang sahabat,”Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Fulanah rajin shalat malam, rajin pula shaum pada siang hari dan gemar
bersedekah, tapi dia menyakiti tetangganya dengan lisannya! Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab.
ْ
ه ِم ْن أه ِل
َ ِ :ال َ الم ْك ُت ْو َب َة َو َت َص ىد ُق ب ْأث َوار م َن األقط َو ََل ُي ْؤذ ْي
َ أح ًدا ؟ َف َق َ ىل َ ُ َ َ َ ى
ْ ِّ َل َنة ُت َص ْ َ ِ ََل َخ ْ َب ِف ْي َها
و ف: قال.ه ِم ْن أه ِل الن ِار
ي ِ ِ ِ ِ ِ ِ ي ي
َ ى
الجن ِة
Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka”. Lalu sahabat itu bertanya
lagi,”Fulanah (wanita) yang lain rajin shalat fardlu, gemar bersedekah dengan sepotong keju
dan tidak pernah menyakiti seorang pun?. Maka Beliau menjawab,”Dia termasuk penduduk
surga.[20]
Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan berkata,”Menyakiti seorang muslim tanpa alasan yang
benar adalah perkara yang haram. Akan tetapi menyakiti tetangga lebih keras lagi
keharamannya.
Dari Miqdad bin Al Aswad ia berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.
َ ْ َ ْ ْ ُ َ َُ ْ ألن َي ْش َق ى
َ ْ ْْ الر ُج ُل م ْن َع ْ َ ْ الر ُج ُل ب َع ْْش ن ْس َوة َخ ْ ٌب َل ُه م ْن أن َي ْز ن َب
ألن َي ْز نَ َب ى
ْ
شق ِم ْن َب ْي ِتِ ات أيش له ِمن أن ي
ٍ شة أبي
ِ ِ ِ بام َر ِأة َج ِارِه و ي ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ي
َج ِارِه
Sungguh, jika seorang laki-laki berzina dengan sepuluh wanita itu masih lebih baik baginya
daripada ia berzina dengan istri tetangganya, dan sungguh jika seorang laki-laki mencuri dari
sepuluh rumah itu lebih ringan (dosanya) daripada ia mencuri dari rumah salah seorang
tetangganya.[21]
Zina merupakan dosa besar yang diharamkan Allah Tabaaraka wa Ta’ala, dan Allah telah
menetapkan hukum-hukum yang bersifat preventif bagi para pelakunya. Akan tetapi melakukan
perbuatan zina dengan istri tetangga tingkat keharaman, kekejian dan kejahatannya lebih berat
lagi. Demikian pula halnya dengan mencuri (di rumah tetangga).
Dari Syuraih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
َ َ َ َ ه ْ َ ْ َ ْ َ
ال ِذ ْي َل َي َأم ُن َجا ُر ُه َب َو ِائقه:الَو هللا َل ُيؤ ِم ُن َو هللا َل ُيؤ ِم ُن َو هللا َل ُيؤ ِم ُن ِق ْي َل َم ْن َيا َر ُس ْو َل هللا؟ ق
Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman”. Beliau
ditanya,”Siapa wahai Rasulullah?. Beliau menjawab,”Orang yang tetangganya tidak merasa
aman dari kejahatannya.[22]
Ibnu Baththal berkata, “Dalam hadits di atas terdapat penekanan besarnya hak tetangga,
karena Beliau sampai bersumpah tentang hal itu. Bahkan Beliau mengulangi sumpahnya sampai
tiga kali. Dalam hadits tersebut juga terdapat isyarat penafian iman dari seseorang yang
menyakiti tetangganya, baik dengan ucapan ataupun dengan perbuatan. Maksud (penafian
disini) adalah (penafian) iman yang sempurna, dan tidak diragukan lagi bahwa seorang yang
bermaksiat keimanannya tidak sempurna”.[23]
Juga hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia pernah bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
ْ َ َ َ َ َْ ْ َ َ ُ ُ ُْ َ ََ َ ُ َ ْ َ َ ُ ُ ْ ْ َ ُّ
. أن تق ُت َل َول َد كخ ْش َية أن ُي ْط َع َم َم َع َك: ال ًّ
ث ىم أي؟ ق: قلت. أن ت ْج َع َل هلل ِندا َو ه َو خلقك:الُأي ذن ٍب أعظم؟ ق َيا َر ُس ْو َل هللا
َ َ َ َ َْ َ َ َُ ن: َ َ ى ُ ُ ُْ
اب ح ِليلة جارك ثم أي؟ قال أن تز ِ ي: قلت
Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?. Beliau menjawab,”Engkau menjadikan
tandingan bagi Allah padahal Ia yang menciptakanmu”. Aku bertanya lagi,”Kemudian dosa apa?.
Beliau menjawab,”Engkau membunuh anakmu karena khawatir ia akan mengambil jatah
makananmu”. Aku bertanya lagi,”Lalu dosa apai?. Beliau menjawab,”Engkau menzinahi istri
tetanggamu”.[24]
Bersabarlah anda dalam menghadapi gangguan tetangga. Atau memilih pindah rumah jika •
.memang hal itu memungkinkan. Allah berfirman
Membalas kejahatan tetangga dengan perbuatan baik merupakan salah satu etika bertetangga
yang diajarkan Islam. Yaitu agar kita tidak membalas kejahatan dengan kejahatan yang sama, Al
Hasan al Bashri berkata, “Tidaklah berbuat ihsan kepada tetangga (hanya dengan) menahan diri
tidak menyakiti tetangga, akan tetapi berbuat ihsan kepada tetangga (juga) dengan bersabar
dan tabah menghadapi gangguannya”.[25]
Tiga golongan yang dicintai Allah,……..dan laki-laki yang memiliki tetangga yang menyakitinya,
kemudian ia bersabar menghadapi gangguannya hingga ajal memisahkan mereka.[26]
Hendaklah anda berdoa dengan sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu •
.alaihi wa sallam, yaitu‘
َ ى َ َ ن َ ْ َ ُ ْ ُ ْ )اللهم نى
الب ِاد َي ِة َيت َح ىو ُل
َ فإن َج َار وء يف د ِار اْلق َام ِة ُّ
ِ إب أعوذ ِبك ِمن ج ِار الس
ي
ى )
Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari tetangga yang buruk di akhirat, maka sesungguhnya
tetangga badui beganti-ganti. [27]
Jika anda tidak mampu bersabar menghadapi gangguan tetangga, sementara tidak mun gkin •
bagi anda untuk pindah rumah, maka terapkan nasehat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
.yang dikisahkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
ُ َ َ ََ َ َ َ ن ى ْ ْ َ ْ :َ َ َ ًَ َ ْ ُ َ ى َ ْ ن َ َق،ن َي ْش ُك ْو َج َار ُه
ْ ْاذ َه:ال ى
فط َر َح َمتاعه،ب فاط َر ْح َمتاعك يف الط ِر ْي ِق فقال اذه،ي أو ثَلثا ِ
ْ ب
فأتاه مرت،فاص َِ ْب ِّ َ الن
ي ِ َج َاء َر ُج ٌل إَل
َ ْ َ َ ْ َ َ ُ
َ ف َيل َع ُن ْون ذلك،س َي ْسأل ْون ف ُسخ ُب ُه ْم خ َ ُب ُه َ َ ِّ ن
ُ ف َج َع َل النا،تاطر ْيق ى َ َ ٌَ َ َ
س َء
ي
ُ الج َار
ِْ الم َ َ ِ ِ ِ –في اس
ِ ِكن َية ع ْن َسخ ِط الن-ف َع َل هللا ِب ِه َو ف َع َل
ُ ُ َ ْ َْ ْ ِّن
ش ًءا تك َرهه ََ َ ْ ْ َ ََ َْ َ َ َ ََْ
ار ِجع َل ترى ِم ين ي: فجاء إلي ِه فقال،علي ِه
Seorang laki-laki pernah datang kepada Nabi mengeluhkan tetangganya. Maka Rasulullah
menasehatinya,”Pulanglah dan bersabarlah”. Lelaki itu kemudian mendatangi Nabi lagi sampai
dua atau tiga kali, maka Beliau bersabda padanya,”Pulanglah dan lemparkanlah barang-
barangmu ke jalan”. Maka lelaki itu pun melemparkan barang-barangnya ke jalan, sehingga
orang-orang bertanya kepadanya, ia pun menceritakan keadaannya kepada mereka. Maka
orang-orang pun melaknat tetangganya itu. Hingga tetangganya itu mendatanginya dan
berkata,”Kembalikanlah barang-barangmu, engkau tidak akan melihat lagi sesuatu yang tidak
engkau sukai dariku.[28]
Pembaca, tiada gading yang tak retak.Tidak ada manusia yang sempurna. Ada saja kekurangan
yang melekat pada setiap diri kita. Latar belakang yang berbeda menciptakan pribadi yang
berbeda. Wacana yang perlu kita kembangkan, bagaimana kita dapat meredam perbedaan
yang ada, selama tidak melanggar rambu syariat. Menjalin komunikasi positif dengan
menjungjung tinggi akhlak pergaulan. Selamat menuai pahala dari tetangga Anda.
Maraji:
Tafsir Ibnu Katsir Tahqiq Sami bin Muhammad As Salamah, Dar Ath Thayyibah, cet I th 1422 •
H/ 2002M
Imam Ibnu Rajab Al Hanbali, Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, tahqiq Thariq bin ‘Awadhullah bin •
Muhammad, Dar Ibnul Jauzi, cet III TH 1422H
Nazhim Muhammad Shulthon, Qawaid Wa Fawaaid Minal Arba’in An Nawawiyah, Dar Al •
Hijrah, cet VII th 1421 H/2000M
Saliem bin Ied Al Hilali, Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihin, Dar Ibnul Jauzi, cet VI th •
H 142
Saliem bin Ied Al Hilali, Iqozhul Himam Al Muntaqa Min Jami’il ‘Ulumi Wal Hikam, Dar Ibnul •
Jauzi, cet V th 1421 H
Abdurrahman bin Abdul Karim Al ‘Ubayyid, Ushulul Manhajil IIslami, Dar Al ‘Irfan, cet IV th •
H/ 1997 M 1418
Muhammad bin Jamil Zainu, Min Adabil Islam Li Ishlahil Fard wal Mujtama’, cet I th 1424H •
Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VIII/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah [
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
]08157579296 ,08121533647
_______
Footnote
.HR Bukhari no: 4787 dan Muslim no: 69. lafazh hadits milik Muslim .]1[
HR. Ibnu Majah no: 4207 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani”. Lihat Min Adabil Islam .]2[
hal.31 karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
Muttafaqun ‘alaih, Shahih Bukhari no: 5555, 5556 dan Shahih Muslim no: 4756, 4757 dari .]3[
.hadits ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar
HR Al Bukhari no: 2099 .]4[
Qawa’id Wa Fawa’id hal.141 .]5[
.Qawa’id Wa Fawa’id hal.141 dengan bahasa dari penyusun .]6[
HR Imam Ahmad (2/160), At Tirmidzi (1943), Abu Daud (5152) dan Al Bukhari dalam Al .]7[
Adabul Mufrad (105). Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal.258 tahqiq Thariq bin ‘Awadhullah bin
Muhammad
Lihat Tafsir Ibni Katsir tahqiq Sami bin Muhammad As Salamah II/298 .]8[
Lihat Ushulul Manhajil Islami hal.613 .]9[
Ushul Manhaj Al Islamy hal. 617 .]10[
.Disarikan dari kitab Min Adabil Islam hal 31-33 dengan bahasa dari penyusun .]11[
.HR Muslim no: 65 .]12[
HR Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad no: 112 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani ”. Lihat .]13[
Min Adabil Islam hal.32
HR Bukhari no: 5559 .]14[
.HR Bukhari no: 1164 .]15[
HR Tirmidzi no: 1867 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani. Lihat Min Adabil Islam hal.32 .]16[
.HR Bukhari no: 2283 dan Muslim no: 3019 .]17[
Bahjatun Nazhirin I/387 .]18[
.HR Muslim no: 4759 .]19[
HR Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad no: 119 dan dishahihkan oleh Al Albani. Lihat Min .]20[
Adabil Islam hal. 32
HR Imam Ahmad dalam Musnadnya dan Bukhari dalam Al Adabul Mufrad no: 103 dan Ath .]21[
Thabrani dalam Al Kabir dan dishahihkan oleh
.Al Albani. Lihat Shahihul Jami’ no.5043 dan Silsilah Shahihah no: 65
.HR Bukhari no: 5557 .]22[
Fathhul Bari kitab Al Adab (53/13). Lihat Qawaid wa Fawaid hal. 140 .]23[
(68) HR Bukhari (4761) dan Muslim .]24[
Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 260 .]25[
HR Imam Ahmad no: 20377 dan derajatnya shahih. Lihat Min Adabil Islam hal.34 .]26[
HR. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad (117), Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (8/359), .]27[
Ibnu Hibban dalam Shahihnya (1033), Al
Hakim dalam Mustadrak (1/532) dari jalan Abu Khalid Al Ahmar dari Ibnu ‘Ajlan dari Sa’id Al
Maqburi dari Abu Hurairah”. Lihat
.Silsilah Shahihah no: 1443
HR Abu Daud no: 4486. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu mengatakan hadits ini hasan, .]28[
sedangkan Syaikh Abdurrahman bin
.Abdul karim Al ‘Ubayyid mengatakan hadits ini shahih. Wallahu a’lam
Sumber: https://almanhaj.or.id/3064-bertetangga-yang-sehat-dan-kiat-menghadapi-tetangga-
jahat.html
Islam adalah agama rahmah yang penuh kasih sayang. Dan hidup rukun dalam bertetangga
adalah moral yang sangat ditekankan dalam Islam. Jika umat Islam memberikan perhatian dan
menjalankan poin penting ini, niscaya akan tercipta kehidupan masyarakat yang tentram, aman
.dan nyaman
Batasan Tetangga
Siapakah yang tergolong tetangga? Apa batasannya? Karena besarnya hak tetangga bagi
seorang muslim dan adanya hukum-hukum yang terkait dengannya, para ulama pun membahas
mengenai batasan tetangga. Para ulama khilaf dalam banyak pendapat mengenai hal ini.
Sebagian mereka mengatakan tetangga adalah ‘orang-orang yang shalat subuh bersamamu’,
sebagian lagi mengatakan ’40 rumah dari setiap sisi’, sebagian lagi mengatakan ’40 rumah
disekitarmu, 10 rumah dari tiap sisi’ dan beberapa pendapat lainnya (lihat Fathul Baari, 10 /
.(367
Namun pendapat-pendapat tersebut dibangun atas riwayat-riwayat yang lemah. Oleh karena
itu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata: “Semua riwayat dari Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam yang berbicara mengenai batasan tetangga adalah lemah tidak ada
yang shahih. Maka zhahirnya, pembatasan yang benar adalah sesuai ‘urf” (Silsilah Ahadits
Dha’ifah, 1/446). Sebagaimana kaidah fiqhiyyah yang berbunyi al ‘urfu haddu maa lam
yuhaddidu bihi asy syar’u (adat kebiasaan adalah pembatas bagi hal-hal yang tidak dibatasi oleh
syariat). Sehingga, yang tergolong tetangga bagi kita adalah setiap orang yang menurut adat
.kebiasaan setempat dianggap sebagai tetangga kita
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya ”
(HR. Bukhari 5589, Muslim 70)
Bahkan besar dan pentingnya kedudukan tetangga bagi seorang muslim sangatlah ditekankan,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ُُ ُ َ َْ ُ َى ْ َْ َ َ ْ ْ ُ ُْ ْن
ن ِبال َج ِار َح َىن ظننت أنه َس ُي َو ِّرثه
ما زال ِج َ ِبيل يو ِصي ِ ي
“Jibril senantiasa menasehatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan
mendapat bagian harta waris ”(HR. Bukhari 6014, Muslim 2625)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Bukan berarti dalam hadits ini Jibril
mensyariatkan bagian harta waris untuk tetangga karena Jibril tidak memiliki hak dalam hal ini.
Namun maknanya adalah beliau sampai mengira bahwa akan turun wahyu yang mensyariatkan
tetangga mendapat bagian waris. Ini menunjukkan betapa ditekankannya wasiat Jibril tersebut
kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ”(Syarh Riyadhis Shalihin, 3/177)
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan
berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang memiliki hubungan kerabat dan tetangga yang bukan kerabat, teman sejawat,
ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri ”(QS. An Nisa: 36)
Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan ayat ini: “Tetangga yang lebih dekat tempatnya,
lebih besar haknya. Maka sudah semestinya seseorang mempererat hubungannya terhadap
tetangganya, dengan memberinya sebab-sebab hidayah, dengan sedekah, dakwah, lemah-
lembut dalam perkataan dan perbuatan serta tidak memberikan gangguan baik berupa
perkataan dan perbuatan ”(Tafsir As Sa’di, 1/177)
“Sahabat yang paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap sahabatnya.
Tetangga yang paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap tetangganya ”
(HR. At Tirmidzi 1944, Abu Daud 9/156, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah
103)
Maka jelas sekali bahwa berbuat baik terhadap tetangga adalah akhlak yang sangat mulia dan
sangat ditekankan penerapannya, karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
“Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman. Ada yang bertanya: ‘Siapa itu wahai
Rasulullah?’. Beliau menjawab: ‘Orang yang tetangganya tidak aman dari bawa’iq-nya
(kejahatannya) ”‘(HR. Bukhari 6016, Muslim 46)
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: “Bawa’iq maksudnya culas, khianat, zhalim dan jahat.
Barangsiapa yang tetangganya tidak aman dari sifat itu, maka ia bukanlah seorang mukmin. Jika
itu juga dilakukan dalam perbuatan, maka lebih parah lagi. Hadits ini juga dalil larangan
menjahati tetangga, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dalam bentuk perkataan, yaitu
tetangga mendengar hal-hal yang membuatnya terganggu dan resah”. Beliau juga berkata:
”Jadi, haram hukumnya mengganggu tetangga dengan segala bentuk gangguan. Jika seseorang
melakukannya, maka ia bukan seorang mukmin, dalam artian ia tidak memiliki sifat
sebagaimana sifat orang mukmin dalam masalah ini ”(Syarh Riyadhis Shalihin, 3/178)
Bahkan mengganggu tetangga termasuk dosa besar karena pelakunya diancam dengan neraka.
Ada seorang sahabat berkata:
ن ْ ن
ه يف النار ي، َل خب فيها: قال.شء تؤذي جبانها
وف لسانها ي
ي،تصىل الليل وتصوم النهار
ي يا رسول هللا! إن فَلنة
“Wahai Rasulullah, si Fulanah sering shalat malam dan puasa. Namun lisannya pernah
menyakiti tetangganya. Rasulullah bersabda: ‘Tidak ada kebaikan padanya, ia di neraka ”’(HR. Al
Hakim dalam Al Mustadrak 7385, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih Adabil Mufrad 88)
Sebagaimana Imam Adz Dzahabi memasukan poin ‘mengganggu tetangga ’dalam kitabnya Al
Kaba’ir (dosa-dosa besar). Al Mula Ali Al Qari menjelaskan mengapa wanita tersebut dikatakan
masuk neraka: “Disebabkan ia mengamalkan amalan sunnah yang boleh ditinggalkan, namun ia
malah memberikan gangguan yang hukumnya haram dalam Islam ”(Mirqatul Mafatih, 8/3126).
“Bukan mukmin, orang yang kenyang perutnya sedang tetangga sebelahnya kelaparan ”(HR. Al
Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 18108, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 149)
“Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya. Lalu lihatlah keluarga tetanggamu,
berikanlah sebagiannya kepada mereka dengan cara yang baik ”(HR. Muslim 4766)
Dan juga segala bentuk akhlak yang baik lainnya, seperti memberi salam, menjenguknya ketika
sakit, membantu kesulitannya, berkata lemah-lembut, bermuka cerah di depannya,
menasehatinya dalam kebenaran, dan sebagainya.
“Jibril senantiasa menasehatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan
mendapat bagian harta waris”
Al ‘Aini menuturkan: “Kata al jaar (tetangga) di sini mencakup muslim, kafir, ahli ibadah, orang
fasiq, orang jujur, orang jahat, orang pendatang, orang asli pribumi, orang yang memberi
manfaaat, orang yang suka mengganggu, karib kerabat, ajnabi, baik yang dekat rumahnya atau
agak jauh ”(Umdatul Qaari, 22/108)
Demikianlah yang dilakukan para salafus shalih. Dikisahkan dari Abdullah bin ‘Amr Al Ash:
ََ ُ ه ِّ َ ْ ُ َ ُ َ ه ْ َ َ َ ْ َ َ ٌ َ َُ ْ ُ ُ َى
هللا عل ْي ِه اَّلل َصىل
ِ ودي؟ س ِمعت رسول
ِ أهديت لجارنا اليهوي؟ أهد ْيت ِل َج ِارنا ال َي ُه: ف َج َع َل يقول لغَلمه،أنه ذ ِب َحت له شاة
:ول ُ ”و َس هل َم َي ُقَ بالجارحن ظننت أنه سيورثه
َ ين يل ُي ِ ن َ َ َ
ُ ال ج َْب
وص ِ ي ِ ِ ما ز
“Beliau menyembelih seekor kambing. Beliau lalu berkata kepada seorang pemuda: ‘akan aku
hadiahkan sebagian untuk tetangga kita yang orang Yahudi’. Pemuda tadi berkata: ‘Hah?
Engkau hadiahkan kepada tetangga kita orang Yahudi?’. Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ‘Jibril senantiasa menasehatiku tentang tetangga, hingga
aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris ”‘(HR. Al Bukhari dalam Al
Adabul Mufrad 78/105, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Adabil Mufrad)
Oleh karena itu para ulama menjelaskan bahwa tetangga itu ada tiga macam:
Tetangga muslim yang memiliki hubungan kerabat. Maka ia memiliki 3hak, yaitu: hak tetangga,
hak kekerabatan, dan hak sesama muslim.
Tetangga muslim yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Maka ia memiliki 2hak, yaitu: hak
tetangga, dan hak sesama muslim.
Tetangga non-muslim. Maka ia hanya memiliki satu hak, yaitu hak tetangga.
Dengan demikian berbuat baik kepada tetangga ada tingkatannya. Semakin besar haknya,
semakin besar tuntutan agama terhadap kita untuk berbuat baik kepadanya. Di sisi lain,
walaupun tetangga kita non-muslim, ia tetap memiliki satu hak yaitu hak tetangga. Jika hak
tersebut dilanggar, maka terjatuh pada perbuatan zhalim dan dosa. Sehingga sebagai muslim
kita dituntut juga untuk berbuat baik pada tetangga non-muslim sebatas memenuhi haknya
sebagai tetangga tanpa menunjukkan loyalitas kepadanya, agamanya dan kekufuran yang ia
anut. Semoga dengan akhlak mulia yang kita tunjukkan tersebut menjadi jalan hidayah baginya
untuk memeluk Islam.
Sumber: https://muslim.or.id/10417-akhlak-islami-dalam-bertetangga.html