Anda di halaman 1dari 10

Langkah Strategis Dirjen PSLB3 KLHK Tangani Limbah

Medis Covid-19
Melonjaknya volume limbah medis Covid-19, terjadi lantaran masih kurangnya pemahaman
pengelolaan limbah B3 fasyankes bagi petugas dan aparat

Limbah medis merupakan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) karena memiliki
karakteristik infeksius sehingga dapat langsung memaparkan dan menular kepada manusia.

Oleh sebab itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan beberapa
tindakan taktis dan strategis menangani limbah COVID-19.

Merespon melalui Surat Edaran terkait penanganan limbah COVID-19 ke berbagai pihak terkait
COVID-19. Misalnya, surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
167/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 tanggal 22 Maret 2020 perihal Pengelolaan Limbah Medis pada
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Darurat COVID-19 kepada Kepala BNPB/Ketua Gugus Tugas Percepatan
Penanganan COVID-19.

Selain itu juga mengeluarkan Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 02
tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah lnfeksius dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona
Virus Disease (Covid-19) pada tanggal 24 Maret 2020 kepada Kepala BNPB/Ketua Gugus Tugas
Percepatan Penanganan COVID-19, Gubernur seluruh Indonesia, Bupati/Walikota seluruh Indonesia.
Disamping itu, juga menerbitkan Surat Direktur Jenderal PSLB3 Nomor S.156/PSLB3/PKPLB3/
PLB.2/3/2020, tanggal 30 Maret 2020 perihal Pengelolaan Limbah B3 Masa Darurat Penanganan Corona
Virus Disease-19 kepada Pimpinan Perusahaan Pengelola Limbah B3 lnfeksius dan Pimpinan Perusahaan
Pengangkut Limbah B3 lnfeksius.

Kunjungan KLHK ke Wisma Atlet

Pihak KLHK juga melakukan tinjauan lapangan ke Rumah Sakit Darurat Wisma Altlet dan
menyampaikan dokumen prosedur pengelolaan limbah COVID-19.

Selain itu juga melaksanakan Rapat Koordinasi Regional (Rakoreg) Pengelolaan Limbah B3 dari
Fasyankes Dampak Penanganan COVID-19 pada tanggal 14 s/d 20 Mei 2020 untuk meningkatkan
efisiensi dan efektifitas pelaksanaan penanganan limbah COVID-19 dan meningkatkan pengelolaan
limbah B3 dari Fasyankes dampak penanganan COVID-19.

Rakoreg virtual dihadiri 855 (delapan ratus lima puluh lima) peserta yang berasal dari Dinas
Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluruh provinsi, wakil dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan
kabupaten/kota, Dinas Kesehatan seluruh provinsi, wakil Dinas Kesehatan kabupaten/kota, perwakilan
Rumah Sakit Rujukan COVID-19, Kementerian Kesehatan, Direktorat Tindak Pidana Tertentu,
Bareskrim POLRI.

Penyebab terjadinya penumpukan limbah B3


Menurut Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (PSLB3) Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati terjadinya penumpukan limbah B3 yang
dihasilkan dari fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) lebih besar dari ketersediaan kapasitas
pengelolaan limbah B3 di Indonesia.

“Estimasi volume limbah medis berdasarkan jumlah RS yang ada di Indonesia (KLHK,
2018) sebelum masa Pandemi Covid-19 sebanyak ± 294, 66 ton/hari. Dengan terjadinya Pandemi
COVID-19, maka timbulan Limbah Medis diperkirakan meningkat 30 persen,” kata Vivien pada
PORTONEWS, Selasa (16/2/2021).

Sebagai informasi, berdasarkan data Kemenkes tahun 2019 jumlah rumah sakit di seluruh
Indonesia sebanyak 2.877, namun sampai dengan Februari 2021, hanya terdapat 126 Rumah
Sakit yang memiliki izin pengolahan limbah B3, 120 RS menggunakan insinerator dan enam RS
menggunakan Autoklaf.

Apabila RS tidak mampu mengelola limbah B3, lanjut Vivien, maka dapat diserahkan ke
pihak ketiga berizin, namun saat ini hanya terdapat 20 Jasa Pengolah Limbah Medis dengan total
kapasitas 384,12 ton/hari yang belum tersebar merata di seluruh Indonesia. Jadi masih terdapat
gap kapasitas Limbah medis yang belum terkelola karena selain dari RS masih ada Puskesmas
dan klinik.

Kendala Lain Penunmpukan Limbah Medis


Disamping hal tersebut, ungkap Vivien, juga terkendala dengan biaya pengangkutan yang
tinggi bagi wilayah timur Indonesia dan kesulitan jangkauan kendaraan roda empat bagi wilayah
remote area dan kepulauan.

Melonjaknya volume limbah medis Covid-19, imbuh Vivien, terjadi lantaran masih
kurangnya pemahaman tentang pengelolaan limbah B3 fasyankes bagi petugas dan aparat
pengawas.

“Tidak sedikit fasyankes yang belum memiliki Tempat Penyimpanan Sementara Limbah
B3. “Mereka juga belum melakukan pemilahan Limbah B3 dan belum melakukan pencatatan
dan pelaporan Limbah B3, menyerahkan ke pihak ketiga belum berizin.

Mereka juga hanya bekerjasama dengan transporter tanpa mengetahui limbah B3 berakhir
dimana, dan banyak yang memiliki insinerator belum berizin dikarenakan spesifikasi teknis yang
belum sesuai peraturan,” papar Vivien.

Bantuan Teknologi
Saat ditanyakan apakah pemerintah dalam mengatasi limbah medis menggunakan bantuan
teknologi, Vivien menjawab, “Sesuai Pasal 17 Permenlhk No. 56 Tahun 2015 tentang Tata Cara
dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes),
teknologi pengolahan limbah B3 yang dapat digunakan oleh fasyankes sebagai penghasil limbah
B3 dapat berupa, autoklaf tipe alir gravitasi dan/atau tipe vakum; gelombang mikro; iradiasi
frekwensi radio; dan/atau incinerator,”

Lebih jauh Vivien mengutarakan bahwa kontribusi pemerintah dalam peningkatan


kapasitas pengolahan limbah medis di wilayah yang belum tersedia jasa pengola, telah dilakukan
KLHK sejak tahun 2017, melalui pembangunan fasilitas pengolahan berupa lnsinerator beserta
pendukungnya di Makassar, Sulawesi Selatan.

Pada tahun 2020 ini, KLHK telah membangun lima fasilitas Pengolahan Limbah B3
Fasyankes di lima provinsi (Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, NTB dan NTT) dengan
dana APBN, Tahun 2021 telah dianggarkan untuk enam lokasi lagi. Dalam RPJMN 2020 – 2024,
KLHK diminta membangun 32 fasilitas berbentuk insinerator ini dalam kurun waktu lima tahun.

Kerjasama KLHK dengan Pemerintah Daerah

Melalui implementasi RPJMN 2020-2024, kata Vivien, dimana KLHK memberikan


kontribusi melalui dana APBN untuk melaksanakan pembangunan fasilitas pengelolaan limbah
B3 dari Fasyankes beserta fasiltas pendukungnya di lokasi yang fasilitas pengelolaan limbah B3-
nya belum memadai.

“Misalnya, pada tahun 2020, KLHK bekerjasama dengan pemerintah daerah telah
membangun lima unit fasilitas pengolahan limbah B3 berupa insinerator di Aceh, Sumatera
Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur dengan tujuan agar
pengolahan limbah medis oleh fasyankes dekat dengan sumbernya,” papar Vivien.

Hal ini diharapkan dapat meringankan beban Fasyankes dalam pengelolaan limbah B3
yang dihasilkannya dan tentu juga praktek pembuangan limbah medis ke TPA tidak terjadi lagi..

Anda mungkin juga menyukai