LINGKUNGAN DAN K3
Ajeng Sekar Dewanty
20211020100001
Corona Virus Disease-19 (COVID-19) pertama kali dilaporkan pada tanggal 31 Desember
2019 di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China yang disebabkan oleh Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2)
Penularan virus dapat terjadi melalui mulut, hidung atau mata orang yang rentan ketika
kontak langsung, tidak langsung, atau dekat dengan orang yang terinfeksi melalui sekresi
yang terinfeksi seperti air liur dan atau tetesan pernapasannya, yang dikeluarkan saat orang
yang terinfeksi batuk, bersin, berbicara atau bernyanyi
COVID-19 berkembang dengan cepat ke berbagai negara sehingga WHO menetapkan
sebagai pandemi pada tanggal 11 Maret 2020
COVID-19 berdampak pada meningkatnya jumlah limbah medis sehingga membebani
fasilitas pelayanan kesehatan.
Pada bulan Maret 2020, limbah medis di Malaysia meningkat sebesar 10 % dari bulan
sebelumnya. Di Jakarta meningkat sebesar 30 %, sedangkan di Kota Wuhan, China, terjadi
peningkatan dari 40 ton menjadi 240 ton per hari.
Fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) menghasilkan sekitar 75-90% limbah domestik
atau disebut dengan limbah tidak berbahaya yang berasal dari ruangan administrasi, dapur
dan kerumahtanggaan. Sisanya sekitar 10-25 % tergolong limbah berbahaya dan beracun
(B3) meliputi limbah benda tajam, limbah infeksius, limbah patologis, limbah farmasi,
limbah sitotoksik, limbah bahan kimia dan limbah radioaktif yang berpotensi
menimbulkan dampak terhadap kesehatan dan lingkungan
Hasil pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan
beberapa permasalahan dalam pengelolaan limbah B3 medis antara lain penumpukan
limbah infeksius, penyimpanan sementara yang tidak memenuhi standar, belum melakukan
prosedur pengelolaan limbah B3 secara benar, penggunaan insinerator yang tidak sesuai
standar (mengeluarkan asap hitam dan emisi pencemar), keterbatasan jasa pengolah limbah
B3 dan lainnya.
Kemenkes (2020) mengkalkulasi secara nasional persentase rumah sakit yang melakukan
pengelolaan limbah sesuai standar pada Tahun 2019 baru mencapai 42,64%.
Di Indonesia dengan jumlah 2.889 rumah sakit, hanya 110 yang memiliki insinerator
berizin. Kondisi ini mengakibatkan terbatasnya kapasitas pengolah limbah B3 medis
yang baru mencapai 53,12 ton/hari. Ditambah dengan kapasitas jasa pengolahan oleh pihak
ketiga sebesar 187,90 ton/hari, sementara jumlah limbah B3 medis diprediksi mencapai
294,66 ton/hari.
Provinsi Sumatera Barat memiliki fasyankes sebanyak 2.831 buah yang terdiri dari 71
rumah sakit, 269 puskesmas, 931 puskesmas pembantu dan serta 1.562 fasyankes lainnya
dengan total timbulan limbah B3 medis sebesar 1,64 ton/hari. Sampai saat ini, tidak
satupun fasyankes tersebut yang memiliki incinerator berizin karena sulitnya proses
perizinan.
Metode penelitian
Penelitian menggunakan metode gabungan (mixed method) kuantitatif dan kualitatif yang
berguna untuk memperoleh data yang lebih komprehensif, valid, reliable, dan objektif
Pemilihan sampel (rumah sakit) dilakukan secara sengaja (purposive sampling) terhadap
26 rumah sakit yang terdiri dari 2 (dua) rumah sakit khusus COVID-19 (SK Gubernur
Provinsi Sumatera Barat No. 440-300-2020), 7 (tujuh) rumah sakit rujukan
penanggulangan penyakit infeksi emerging tertentu SK Gubernur Sumbar No. 440-359-
2020 dan SK Menkes No. HK.01.07/MENKES/169/2020, dan 17 rumah sakit jejaring
yang tersebar di Kabupaten/Kota di Sumatera Barat.
Rumah sakit yang bersedia menjawab kuesioner sebanyak 17 rumah sakit (2 rumah sakit
khusus,7 rumah sakit rujukan dan 8 rumah sakit jejaring).
Pengumpulan data dilakukan pada Minggu IV Juli 2020 – Minggu I Agustus 2020 melalui
penyebaran kuesioner secara daring dengan google forms.
Data yang dikumpulkan meliputi jumlah limbah B3 medis, pengelolaan limbah B3 medis,
dan pelaksanaan diskresi.
Analisis kuantitatif dilakukan dengan mendeskripsikan data yang berkaitan dengan jumlah
dan pengelolaan limbah B3 medis.
Analisis kualitatif dilakukan dengan mendeskripsikan data terkait pelaksanaan diskresi.
Hasil
Jumlah Limbah B3 Medis pada Masa Pandemi COVID-19 di Provinsi Sumatera
Barat
Total pasien (baik yang dirawat maupun diperiksa) pada 17 rumah sakit COVID-19 sampai
tanggal 30 Juni 2020 berjumlah 1.598 orang. Kondisi ini menyebabkan jumlah limbah B3
medis meningkat. Peningkatan hampir 2x lipat mulai Bulan April – Juni 2020 sejalan dengan
dimulainya pandemi COVID-19. Jumlah limbah B3 medis terbesar pada Bulan Juni 2020
yakni 41.760 kg.
Evaluasi Pengelolaan Limbah B3 Medis pada Masa Pandemi COVID-19
Jumlah penduduk
Sistem pengumpulan atau pembuangan sampah yang dipakai
Faktor geografis
Faktor waktu
Faktor sosial ekonomi dan sosial budaya
Kebiasan masyarakat
Kemajuan teknologi
Identifikasi limbah
Jenis limbah
Limbah padat:
Infeksius
Non infeksius
Limbah cair
Infeksius
Non infeksius
Terdapat dua cara penimbunan sampah yang umum dikenal, yaitu metode penimbunan terbuka
(open dumping) dan metode sanitary landfill.
b. Insinerasi
Insinerasi adalah pembakaran sampah/limbah padat menggunakan suatu alat yang disebut insinerator.
Metode ini adalah dengan mengolah sampah organic seperti sayuran, daun-daun kering, kotoran hewan melalui
proses penguraian oleh mikroorganisme tertentu. Pembuatan kompos adalah salah satu cara terbaik dalam
penanganan sampah organik.
d. Daur Ulang
Bagi limbah yang berasal dari sampah domestik cara daur ulang masih memungkinkan untuk diaplikasikan.
Misalnya sampah dengan berbahan kertas, bisa diolah kembali menjadi kertas kembali. Begitu juga dengan plastik
bisa diolah untuk menjadi kerajinan maupun dialihfungsikan menjadi benda lain.
Contoh label untuk pemilahan limbah
Sampah Medis ( Infeksius ): Kantong Kuning
Dresing bedah,kasa,verband,kateter, plester,masker,sarung tangan dan
semua sampah yang terkontaminasi dgn cairan tubuh pasien