Anda di halaman 1dari 4

Judul buku : The Last Winter

Penulis : Tina K.
Penyunting : Endah Sulwesi
Penggambar sampul : Tjak S. Parlan
Penata letak : Satya Wibisana
No. ISBN : 978-602-6799-26-5
Penerbit : EXCHANGE
Cetakan I : September, 2017
Jumlah halaman : 228
Berat : 250 gr
Jenis cover : Soft cover
Dimensi (LxP) : 135x200mm
Kategori : Fiksi
Text bahasa : Indonesia
Email : redaksi@kaurama.co.id
Website : www.kaurama.co.id

Tina K. sejak kecil suka berimajinasi. Dalam kepalanya berkelebatan cerita cerita
yang kadang ia tuturkan pada teman-temannya. Karena itu, tak heran kini ia menjadi penulis
(paruh waktu) meskipun waktu sekolah dasar ia selalu mendapat nilai buruk untuk pelajaran
mengarang. Gurunya bahkan mengatakan ia tak berbakat menulis.

Masa produktif Tina hanya pendek, yakni semasa se kolah menengah dan perguruan
tinggi. Tulisan-tulisannya waktu itu banyak dimuat di majalah Anita (kemudian men jadi
Anita Cemerlang), Halo, Story, Gadis, Dewi, Femina, Kar tini, dan beberapa media cetak
lain. Selagi tulisannya banyak ditunggu penggemarnya, mendadak Tina malah menghilang.
Lebih dari sepuluh tahun tak ada satu pun tulisannya muncul di media massa. Ia baru muncul
kembali akhir 2012 dengan cerita pendek "Ignatius de Loyola" yang kemudian diikutkan
dalam buku kumpulan cerita pendek berjudul Laki-Laki Be raroma Rempah-Rempah. Buku
pertama terbitan Kosa Kata Kita ini memuat kisah-kisah Tina sebelum ia menghilang
ditambah dengan beberapa tulisan baru seperti "Ignatius de Loyola", "Cinta Brondong", dan
"Laki-Laki Beraroma Rempah-Rempah.
Ternyata Tina cakap juga berpuisi. Beberapa puisinya bisa ditemukan dalam buku
kumpulan puisi Merah yang Meremah dan Perempuan dalam Sajak bersama dengan beberapa
penulis perempuan lain. Puisi-puisinya sendiri kemudian ia terbitkan dalam buku berjudul
Corridor of the Lost Steps.

Tina mengaku ia kurang produktif, namun pada 2014 ia menulis novelet berjudul
"The Cemetery of Lost Love" yang diterbitkan Elex Media dalam buku berjudul Surat. Ia pun
diam-diam menulis ulang dua buah skenario menjadi novel yang entah mengapa tak jadi
diterbitkan oleh pemesannya meskipun filmnya telah beredar. Selain itu, karena fasih ber
bahasa asing, Tina kerap diminta mengalihbahasakan tulisan teman-temannya, antara lain
The Dancer karangan Kurnia Ef fendi, kumpulan cerita pendek Don't Go, Jonggi! tulisan
penu lis senior Saut P. Tambunan dan 100 puisi tulisan Aspar Patu rusi dalam kumpulan puisi
Perahu Badik.

The Last Winter sebenarnya ditulis Tina beberapa saat setelah kembali dari
pengembaraannya ke negeri-negeri asing. Naskah ini sempat tidur" beberapa lama sebelum
akhirnya Tina menyetujui desakan teman-temannya agar ia kembali menerbitkan karya.

Saat ini Tina banyak menghabiskan waktu luang dengan membaca buku dan
menonton Fox Crime, Animal Planet, dan National Geography. Namun sejatinya ia tak
pernah berhenti menulis, cukup banyak tulisannya beredar di akun Facebook miliknya, Magi
Luna, dan di Kompasiana dengan nom de plume yang sama.

Tina memang lebih dikenal sebagai penulis prosa meski pun -tak banyak diketahui
orang- ternyata ia pun banyak menulis puisi. Sepuluh puisinya dimuat dalam antologi 10
Penyair Wanita Merah Yang Meremah terbitan Bisnis2030 Corridor of the Lost Steps adalah
kumpulan puisinya yang pertama.

Buku ini sendiri berfokus pada tokoh utama bernama Aida. Aida meninggalkan
Jakarta menuju negeri bersalju. la ingin hidup tenang, melupakan kematian ayahnya dan
setumpuk kegetiran lain yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Tanpa terduga, cinta
tumbuh di hatinya ketika ia bertemu Sean McLeod, seorang lelaki bermata kelabu. Segala
kepahitan hidup Aida pun menemukan muaranya pada hati Sean yang lapang.

Saat terjadi serentetan peristiwa yang tak disangkanya, Aida tersadar ia tak
sepenuhnya mengenal Sean. Lelaki itu begitu misterius. Sean sering pergi meskipun selalu
kembali seperti janjinya. Lalu pada suatu hari, Sean menghilang begitu saja. Ketika segala
rahasia perlahan terungkap, Aida kemudian terseret dalam pusaran perselisihan yang
mengancam nyawanya.

The Last Winter mengisahkan suka-duka seorang perempuan Indonesia yang tinggal
di Amerika. Perempuan yang tak pernah mengeluh meski menjalani hidup yang keras dan
terombang-ambing dalam penantian terhadap sang kekasih.

Jika dilihat sekilas ada banyak alasan kenapa kamu perlu membaca novel ini,
terutama bagi para pecinta novel dengan tema yang realistis, ringan, dan mudah untuk
dicerna, dan bagi para pecinta novel ber-genre romance.

Dalam novel ini, kita menyadari bahwa Tina K benar-benar menunjukkan


kepiawaiannya dalam storytelling, menciptakan kenyamanan, membuat kita masuk dalam
kisah ini, Bahasa yang mudah dimengerti tetapi tetap berkesan, dan membubuhkan elemen-
elemen yang membuat kisah terasa believable dan nyata.

Dari sini mampu menumbuhkan perasaan campur aduk pembaca seperti rasa
penasaran, iba, marah dan bahagia yang membuat buku setebal 228 halaman terasa pendek.
Inti cerita The Last Winter itu sendiri juga sudah sangat kompleks dan menarik untuk diikuti.
Mengambil premis yang cukup sederhana, yakni seorang wanita yang selalu menunggu
kedatangan kekasihnya yang entah menghilang kemana.

Apalagi ditambah batas waktu yang begitu singkat mampu mengaduk-aduk perasaan
pembacanya untuk menaruh simpati, dan bahkan berharap untuk kekasihnya (Sean) untuk
cepat kembali pada Aida.

Meski begitu, dalam buku inipun juga memiliki beberapa kekurangan. Bagi mereka,
pembaca yang tidak begitu menyukai cerita yang mengalir begitu saja dan ringan mungkin
akan merasa bahwa alur The Last Winter ini sangat santai dan lambat pada awal dan
pertengahan cerita. Hal ini mampu menimbulkan kesan sedikit ‘membosankan’ pada
pembaca jika mereka menyukai cerita yang padat dan kompleks.

Pembaca juga membutuhkan konsistensi yang cukup baik saat membacanya karena.
Ada beberapa dialog yang saya rasa sedikit membuat jenuh, dan membuat pembaca melewati
dialog tersebut. Akan tetapi hal tersebut tidak menurunkan kualitas dari tulisan Tina K pada
novel kali ini.
Akhir kata, Melalui The Last Winter, Tina K ingin menyampaikan bahwa kesetiaan
dan cinta sejati itu benar adanya. Tetapi kita tidak bisa selalu hidup di bawah bayang-bayang
orang yang kita cintai, karena suatu saat mereka akan meninggalkan kita entah dengan
kematian atau yang lainnya. Dan tidak mudah untuk melupakan orang yang kita cintai begitu
saja.

“Waktu tidak menyembuhkan apa pun, waktu hanya mengajarkan kita untuk terbiasa
hidup dengan rasa sakit.”

Anda mungkin juga menyukai