Anda di halaman 1dari 21

BAB III

TINJAUAN YURIDIS TENTANG RATIO DECIDENDI DALAM


PUTUSAN HAKIM UNTUK PERKARA WANPRESTASI JUAL BELI
TANAH

A. Perjanjian Jual Beli Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

1. Perjanjian

a. Pengertian

Istilah perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata merupakan terjemahan dari bahasa belanda yaitu

“overeenkomst”. Istilah overeenkomst berasal dari kata kerja

oveerenkomen yang berarti sepakat atau setuju, namun dalam

berbagai kepustakaan belum terdapat berbagai istilah yang

dipandang oleh banyak pihak yang dapat menimbulkan

kebingungan atau malah dianggap sama, dalam menerjemahkan

overeenkomst para ahli hukum menerjemahkan sebagai suatu

perjanjian walaupun terdapat juga beberapa ahli yang

menerjemahkan istilah overeenkomst sebagai persetujuan.

Masyarakat pada umumnya lebih mengenal istilah perjanjian dari

pada persetujuan.

Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian: suatu


hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau
lebih, yang memberi kekuasaan hak pada suatu pihak lain untuk
menunaikan prestasi. Dari pengertian singkat tersebut kita jumpai
beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara
lain: hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang menyangkut hukum
kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak

39
40

pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu
prestasi.37

Dalam Pasal 1313 menyatakan bahwa “ suatu persetujuan

adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.”

Menurut subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana

seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu

saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.38

Pengertian perjanjian menurut Handri Raharjo adalah Suatu


hubungan hukum dibidang harta kekayaan yang didasari kata
sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan
diantara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan
dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan
subjek hukum yang lain berkewajiban melaksanakan prestasinya
sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak
tersebut serta menimbulkan akibat hukum.39

Menurut Abdulkadir Muhammad perjanjian adalah suatu

persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan

diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.40

Menurut Prodjodikoro bahwa yang dimaksud dengan


perjanjian adalah suatu perhubungan mengenai harta benda antara
dua pihak, dimana salah satu pihak berjanji atau dianggap berjanji
untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal
sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji tersebut.41

37
M.Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 6.
38
Subekti, Op.Cit., hal.1.
39
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustistia, Yogyakarta,
2009, hal. 42.
40
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata IndonesiaCetakan Ke-III, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 225.
41
Wiryono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian. Cetakan Ke-VIII, Bale,
Bandung, 1979, hal. 9.
41

Menurut Setiawan perjanjian adalah suatu perbuatan

hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

orang lain.42

Menurut Sudikmo Mertokusumo perjanjian adalah


hubungan hukum antar dua belah pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat
untuk menentukan peraturan atau kaedah hukum atau hak dan
kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dijalankan.
Kesepakatan itu menimbulkan akibat hukum dan bila kesepakatan
dilanggar maka akibat hukumnya si pelanggar dapat dikenai akibat
hukum atau sanksi.43

Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk

tertentu, dapat dibuat secara lisan dan andaikata dibuat secara

tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi

perselisihan.44

Jadi perjanjian adalah hubungan hukum yang ditimbulkan

oleh dua orang atau lebih dalam suatu ikatan yaitu untuk

memenuhi suatu hak dan kewajiban.

b. Objek Perjanjian

Objek dari suatu perjanjian adalah prestasi itu sendiri.

Pasal 1332 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

menyatakan bahwa hanya barang yang dapat di perdagangkan saja

yang dapat menjadi objek perjanjian.

Pasal 1333 Undang-Undang Hukum Perdata menentukan

bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda

42
R. Setiawan.,.Pokok-pokok Hukum Perikatan.Cetakan ke- VI ,Putra A Bardin,
Bandung, 1999, hal. 77.
43
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty,Yogyakarta, 1990,hal. 97.
44
Mariam Darus Badrulzaman,Op.Cit, hal. 65.
42

(zaak)yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu

perjanjian harus memiliki objek tertentu dan suatu perjanjian

haruslah mengenai suatu hal tertentu (certainty of terms), berarti

bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua

belah pihak. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling

sedikit dapat ditentukan jenisnya (determinable)

Pasal 1337 Undang-Undang Hukum Perdata yang

menyatakan bahwa suatu sebab adalah tidak halal jika sebab itu

dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan

dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.

c. Subyek Perjanjian

Perjanjian timbul, disebabkan oleh adanya hubungan


hukum kekayaan antara dua orang atau lebih. Pendukung hukum
perjanjian sekurang kurangnya harus ada dua orang tertentu.
Masing- masing orang itu menduduki tempat yang berbeda satu
orang menjadi pihak kreditur,dan seorang lagi sebagai pihak
debitur. 45

Maka yang menjadi subyek perjanjian yaitu kreditur dan

debitur. Kreditur mempunyai hak atas suatu prestasi dan debitur

wajib memenuhi pelaksanaan prestasi.

d. Syarat Sah Perjanjian

Suatu perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi


syarat-syarat yang diatur oleh undang-undang. Perjanjian tersebut
diakui sah dan mendapat akibathukum (legally concluded
contract). Menurut ketentuan Pasal 1320 Undang-Undang Hukum
Perdata, sayarat-sayarat sah perjanjian:46
1) Ada persetujuan kehendak (consensus).

45
M.Yahya Harahap,Op.Cit, hal. 15.
46
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit. hal. 228.
43

Persetujuan kehendak adalah kesepakatan/kesetujuan para


pihak mengenai pokok-pokok isi perjanjian yang
dikehendaki oleh pihak yang satu dan juga dikehendaki
oleh pihak lainya. Persetujuan tersebut sudah final, tidak
lagi dalam proses perundingan.
Sebelum ada persetujuan, biasanya para pihak
mengadakan perundingan, pihak yang satu menyampaikan
keinginan dan syarat-syaratnya mengenai objek perjanjian
kepada pihak yang lain dan pihak yang lainya menyatakan
juga kehendaknya mengenai objek perjanjian sehingga
tercapai persetujuan yang mantap bagi kedua pihak.
Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya tidak ada
paksaan ataupun tekanan dari pihak manapun juga,
sepenuhnya atas kemauan sukarela para pihak.Juga
termasuk persetujuan kehendak tidak dikarenakan ada
kehilafan dan tidak ada penipuan.
2) Kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian
(capacity)
Kecakapan bertindak merupakan salah satu cakap
hukum yaitu kemampuan untuk melakukan perbuatan
hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan
menimbulkan akibat hukum. Orang yang dikatakan cakap
melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah
dewasa artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah
kawin walaupun belum berumur 21 tahun. Orang yang
tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah:47
a) Orang-orang yang belum dewasa;
b) Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan; dan
c) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang
ditetapkan oleh undang-undang, dan pada
umumnya semua orang kepada siapa undang-
undang telah melarang membuat perjanjian-
perjanjian tertentu. (ketentuan ini telah dicabut oleh
Surat Edaran Mahkamah Agung).
Akibat hukum ketidakcakapan membuat perjanjian
adalah perjanjian yang telah dibuat dapat dimintakan
pembatalan perjanjian kepada Hakim. Jika tidak
dimintakan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap
berlaku bagi para pihak yang terkait dengan perjanjian
tersebut.

3) Ada suatu hal tertentu (objek)


47
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata.Cetakan ke-
37, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, hal. 341.
44

Suatu hal tertentu yang terdapat dalam isi perjanjian


yang wajib dipenuhi/prestasi disebut sebagai objek
perjanjian. Kejelasan mengenai isi pokok perjanjian atau
objek perjanjian adalah untuk memastikan pelaksanaan hak
dan kewajiban para pihak. Jika isi pokok perjanjian, atau
objek perjanjian, atau prestasi perjanjian tidak jelas, sulit
bahkan bila tidak mungkin dapat dilaksanakan, maka
perjanjian itu batal (nietig,void).
4) Ada suatu sebab yang halal (causa)
Causa atau sebab adalah suatu hal yang
menyebabkan/mendorong orang untuk membuat
perjanjian. Menurut Undang-Undang Hukum Perdata Pasal
1335 disebutkan bahwa ”suatu perjanjian tanpa sebab, atau
yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau
terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Tapi dalam Pasal
1336 Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan “jika
tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang halal,
ataupun jika ada suatu sebab lain, dari pada yang
dinyatakan, perjanjianya namun demikian adalah sah”.
Sebab yang halal menurut Pasal 1337 Undang-Undang
Hukum Perdata adalah sebab yang tidak dilarang oleh
undang-undang, tidak berlawanan dengan kesusilaan
ataupun ketertiban umum.48

e. Jual Beli

Jual beli, adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang

satu mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu

barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah di

janjikan.49

Menurut Pasal 1457 Kitab Unang-Undang Hukum Perdata

Jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual

berjanji menyerahka sesuatu brang/benda (zaak), dan pihak lain

48
Ibid, hal. 342.
49
Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta, 2004, hal. 79.
45

yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk

membayar harga.

Dari pengertian yang diberikan pada Pasal 1457 Kitab

Unang-Undang Hukum Perdata diatas, persetujuan jual beli

sekaligus membebankan dua kewajiban:

1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual

kepada pembeli.

2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang

dibeli kepada penjual.

Persetujuan jual beli dianggap sudah berlangsung antara

pihak penjual dan pihak pembeli apabila mereka telah menyetujui

dan bersepakat tentang keadaan benda dan harga barang tersebut.

2. Wanprestasi

a. Pengertian Wanprestasi

Dalam suatu perjanjian sering kali terjadi ingkar janji


(Wanprestasi).Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang
tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut
selayaknya. Kalau begitu seorang debitur disebutkan dan berada
dalam keadaan wanprestasi, apabila dia dalam melakukan
pelaksanaan presatasi perjanjian telah lalai sehingga “terlambat”
dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melakukan prestasi
tidak menurut “sepatutnya/selayaknya”.50Pengertian wanprestasi
juga terdapat dalam pasal 1238 Undang-Undang Hukum Perdata.

Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang

diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan.

Wanprestasi adalah perbuatan ingkar janji dimana sebelumnya ada

50
Ibid,hal. 60.
46

suatu perjanjian yang dibuat antara kedua belah pihak melakukan

perikatan tersebut sebagai dalam suatu perjanjian sebagaimana

yang termaktub dalam Pasal 1320 dan 1338 Undang-Undang

Hukum Perdata.

Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam


yaitu:51

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;


2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikannya;
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.

b. Akibat Wanprestasi

Wanprestasi atau ingkar janji membawa akibat yang


merugikan bagi debitur, karena sejak saat tersebut debitur
berkewajiban mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat dari
pada ingkar janji tersebut. Dalam hal debitur melakukan ingkar
janji, kreditur dapat menuntut :52
1. Pemenuhan perikatan;
2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;
3. Ganti rugi;
4. Pembatalan persetujuan timbal balik;
5. Pembatalan dengan ganti rugi.
Pihak yang melakukan wanprestasi akan mendapat akibat

hukum berupa hukuman atau sanksi hukum sebagai berikut:

1. Debitur diwajibkan untuk membayar ganti kerugian yang

diderita oleh Kreditur (Pasal 1243 Undang-Undang Hukum

Perdata).

51
Subekti, Op.Cit, hal. 45.
52
R.Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan,Binacipta,Bandung, 1978, hal. 18.
47

2. Apabila perikatan itu mengikat timbal balik, Kreditur dapat

menuntut untuk memutuskan/membatalkan perikatan

melalui Hakim (Pasal 1266 Undang-Undang Hukum

Perdata).

3. Di dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko

beralih kepada Debitur sejak terjadi wanprestasi (Pasal

1237 ayat 2 Undang-Undang Hukum Perdata).

4. Debitur diwajibkan untuk memenuhi isi perikatan jika

masih dapat dilakukan, atau pembatalan yang disertai

dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 Undang-

Undang Hukum Perdata).

5. Debitur diwajibkan untuk membayar biaya perkara jika

diperkarakan ke pengadilan dan Debitur dinyatakan

bersalah.

B. Ratio Decidendi

1. Pengertian Ratio Decidendi

Pertimbangan hukum dari hakim atau Ratio Decidendi adalah

argument/alasan yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum

yang menjadi dasar sebelum memutus perkara.53

Ratio decidendi (Jamak: rationes decidendi) adalah sebuah


istilahlatin yang sering diterjemahkan secara harfiah sebagai “alasan
untukkeputusan itu”, “the reason ” atau “the rationale for the decision.”
Black’sLaw Dictionary menyatakan Ratio decidendi seba gai “the point in
a casewhich determines the judgment” atau menurut Barron’s Law
Dictionaryadalah “the principle which the case establishes.” Kusumadi
53
I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris - Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, Cetakan Ketiga, 2003, hal. 475.
48

Pudjosewojo dalam Pedoman Pelajaran Tata Hukum sendiri


mendefinisikan sebagaifaktor -faktor yang sejati (material fact, faktor-
faktor yang essensiil yangjustru mengakibatkan keputusan begitu itu. 54

Pertimbangan hukum dari hakim atau ratio decidendi adalahalasan-


alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai padaputusannya.
Menurut Goodheart ratio decidendi inilah yang menunjukbahwa ilmu
hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukandeskriptif.
Sedangkan putusan sesuatu yang bersifat deskriptif”. Ratiodecidendi
adalah penafsiran hakim atau pertimbangan hakim yangdijadikan dasar
pertimbangan oleh para pembentuk undang-undang.Secara teoritis, selain
amar putusan yang menjatuhkan vonis, terdapat satubagian penting dalam
struktur putusan hakim.55

Ratio Decidendi merupakan agrument atau alasan yang dipakai

oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum

memutus perkara. Dalam praktik peradilan dalam putusan hakim sebelum

pertimbangan yuridis ini dibuktikan, maka hakim akan terlebih dahulu

menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan

konklusi komulatif dari keterangan saksi, keterangan tergugat, dan barang

bukti.

Ratio Decidendi adalah penafsiran hakim atau pertimbangan hakim

yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan oleh para pembentuk undang-

undang.

Dalam menemukan Ratio Decidendi dalam suatu putusannya


biasanya terdapat pada bagian-bagian tertentu. Untuk sampai pada salah
satu putusan ini hakim harus menuliskan alasan-alasannya, yaitu Ratio
Decidendinya. Di dalam hukum indonesia yang menganut civil law system,
Ratio Decidendi tersebut dapat ditemukan pada konsideran “menimbang”
pada “pokok perkara” tidak dapat disngkal bahwa tindakan hakim untuk
memberikan alasan-alasan untuk mengarahkan kepada putusan merupakan
merupakan tindakan yang perlu mempunyai insting menafsirkan undang-
undang secara kreatif, Ratio tersebut bukan tidak mungkin merupakan
54
Ibid.
55
Miftakhul Huda, Ratio Decidendi, http://www.miftakhulhuda.com, Diakses, 17
Mei 2018, jam 19.00 WIB.
49

pilian dari berbagai kemungkinan yang ada. Ratio dapat ditemukan dengan
memperhatikan fakta materiil dan putusan yang di dasarkan atau fakta itu.
Denga demikian, dari suatu fakta materiil dapat terjadi dua kemungkinan
putusan yang saling berlawanan yang menentukan adalah Ratio Decidendi
putusan tersebut.56

Ratio Decidendi merupakan teori yang didasarkan pada filsafat


yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan
dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan
perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang
disengketakan sebagai dasar hukum sebagai penjatuhan putusan, serta
pertimbangan hakim harus di dasarkan pada motivasi yang jelas untuk
menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang
berperkara.57

Landasan filsafat merupakan bagian dari pertimbangan seorang


hakim dalam menjatuhkan putusan, karena filsafat itu biasanya berkaitan
dengan hati nurani dan rasa keadilan yang tidak hanya bergantung pada
keadilan yang bersifat formal (prosedural), tetapi juga keadilan yang
bersifat substantif, dengan tetap mempertimbangkan segala aspek yang
berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan oleh para pihak,
seperti aspek pendidikan (education), aspek kemanusiaan (humanity),
ataupun aspek kemanfaatan, penegakan hukum (law enforcement),
kepastian hukum, dan aspek lainnya.58

Kemudian peraturan peraturan perundang-undangan merupakan


dasar bagi seorang hakim untuk memutuskan putusan yang dijatuhkannya,
walaupun sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa hakim bukanlah
hanya sekedar corong undang-undang atau penerapan hukum semata (la
bouche de la lol), tetapi tetap saja peraturan perundang-undangan
merupakan pedoman bagi seorang hakim dalam menjatuhkan suatu
putusan.59

Maka dalam sutu putusan haruslah dikemukakan pertimbangan-

pertimbangan hukum, sehingga seorang hakim sampai pada putusannya

sebagaimana dalam amar putusan (strachmaat), dimana dalam

pertimbangan-pertimbangan itu dapat dibaca motivasi yang jelas dari

56
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian HukumCetakan Ke-7,Kencana, Jakarta, 2011,
hal. 123.
57
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif,
Sinar Grafika, Malang, 2010, hal. 110.
58
Ibid.
59
Ibid.
50

tujuan putusan diambil, yaitu untuk menegakkan hukum (kepastian

hukum) dan memberikan keadilan bagi para pihak dalam perkara.

Kepastian hukum menginginkan hukum harus dilaksanakan dan di


tegakkan secara tegas bagi setiap peristiwa konkret dan tidak boleh ada
penyimpangan (fiat justitia et pereat mundus/hukum harus ditegakkan
meskipun langit akan runtuh). Kepastian hukum memberikan perlindungan
kepada yustisiabel dari tindakan sewenang-wenang pihak lain, dan hal ini
berkaitan dalam usaha ketertiban dalam masyarakat.60

2. Fungsi Ratio Decidendi

Bagian pertimbangan sebenarnya tidak kalah penting dibandingkan


dengan bagian amar putusan dan justru bagian pertimbangan itulah yang
menjadi roh dari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak
memuat pertimbangan yang cukup (onvoeldoende gemootiveered) dapat
menjadi alasan untuk diajukan supaya upaya hukum baik itu banding
maupun kasasi, yang dapat menimbulkan potensi putusan tersebut akan
dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.61

Putusan hakim dalam sutu perkara mengandung pertimbangan


yang sifatnya sepintas lalu yang kadang tidak releven, yang tidak secara
langsung mengenai pokok perkara yang diajukan, dimana hal ini disebut
dengan obitur dictum, dan ada pula putusan hakim yang mengandung
pertimbangan mengenai pokokperkara secara langsung, yang disebut
dengan ratio decidendi. Pertimbangan atau alasan yang secara langsung
mengenai pokok perkara, yaitu kaidah hukum yang merupakan dasar
putusan inilah yang mengikat para pihak yang bersengketa.62

Pada umumnya, fungsi Ratio Decidendi atau Legal Reasoning,


adalah sebagai sarana mempersentasikan pokok-pokok pemikiran tentang
problematika konflik hukum antara seseorang dan orang lain, atau
masyarakat denegan pemerintah terhadap kasus-kasus yang menjadi
kontropersi atau kontraprodiktif untuk menjadi replika dan duplika
percontohan, terutama menyangkut baik buruknya system penerapan dan
penegakan hukum, sikap tindak aparatur hukum, dan lembaga peradilan.63

Putusan pengadilan sebagai sumber hukum sangat penting artinya


bagi praktik hukum. Pendekatan perundangan tidak selalu pedoman dalam
argumentasi hukum. Kesulitan yang bisa dihadapi yaitu peraturan

60
Ibid,hal. 131.
61
Ibid, hal. 111.
62
Ibid.
63
Abraham Amos G.F, Legal Opinion Teoritis Dan Empirisme, PT. Grafindo
Persada, Jakarta, 2007, hal. 34.
51

perundang-undangan tidak memberikan preskripsi yang diperlukan untuk


memperoleh kepastian tentang kaidah yang releven dalam menempuh
pendekatan kasus yaitu membangun argumentasi hukum dengan mengacu
kepada pendapat hukum yang dirumuskan hakim dalam putusan
pengadilan.64

Supaya putusan pengadilan dapat fungsional dengan kepentingan


praktik hukum, yaitu sebagai sumber hukum dengan pendekatan kasus
unuk membangun argumetasi hukum, maka diperlukan upaya sistematis
klasifikasi sehingga putusan tersebut siap guna. Penganalisisan (yaitu
sistematis dan klasifikasi) secara cermat putusan-putusan pengadilan
sangat penting karna dapat saling bertolak belakang putusan-putusan
tersebut. manfaat yang diperoleh yaitu untuk memilih secara tempat
kaidah-kaidah dari putusan-putusan tersebut supaya dapat menjadi
pegangan yang meyakinkan ketika membangun argumentasi hukum.65

Scohlten menyatakan mempelajari jalannya perkembangan

yurisprudensi hasil-hasilnya, oleh ilmu juga dianggap tugasnya yang

paling utama.66

Dengan perkataan lain, para pihak akan mencari ketentuan-

ketentuan hukum untuk menguatkan posisi masing-masing menopang

argumentasi tersebut, setiap hakim akan mengulas fakta-fakta dari suatu

perkara, menentukan dari suatu persoalan yang harus diputuskan dan

selanjutnya mengulas argumen hukum tertentu memutus persalan tertentu

sebelum sampai pada kesimpulan dan keputusan, yang biasa diekspresi

sebagai penyertaan prinsip hukum “ratio decidendi” yang akan

menggabungkan fakta-fakta terpenting dari perkara tersebut.

Hal yang menjadi bagian dari pertimbangan hakim yaitu ada bagian

yang disebut “ratio decidendi” yang merupakan pertimbangan sebagai

64
Titin Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, PT. Alumni Bandung,
Bandung, 2009, hal. 71-72.
65
Ibid.
66
Paul Scholten, Penuntutan Dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda, hal.
120.
52

dasar atau alasan yang menentukan diambilnya putusan yang dirumuskan

dalam amar bagian pertimbangan ini tidak dapat dipisahkan dari amar

putusan dan mempunyai kekuatan mengikat secara hukum yang dapat

dirumuskan sebagai kaidah hukum.

Dapat disimpulkan “ratio decidendi” adalah salah satu bagian dari

putusan pengadilan yang berisi tentang pertimbangan hukum seorang

hakim dalam memutus suatu perkara yang diadili tersebut. karena suatu

putusan ini memiliki dampak bagi masyarakat baik bersifat individual

maupun publik maka seorang hakim harus mampu menyajikan suatu

“ratio decidendi” yang bertanggung jawab dan berkualitas, poin penting

dari suatu “ratio decidendi” adalah suatu “ratio decidendi” dapat menjadi

embrio lahirnya suatu hukum yang baru apabila “ratio decidendi” tersebut

ada rangka untuk mengadili suatu kasus yang belum ada hukum khusus

yang mengaturnya.

C. Tugas Dan Tanggung Jawab Hakim Dalam Memutus Perkara

1. Pengertian Hakim

Menurut pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman yang dimaksud dengan Hakim adalah

hakim pada Mahkamah Agung dan hakimpada badan peradilan yang

berada di bawahnya dalamlingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilanagama, lingkungan peradilan militer, lingkunganperadilan tata

usaha negara, dan hakim pada pengadilankhusus yang berada dalam

lingkungan peradilan tersebut.


53

Menurut Bambang Waluyo menyatakan bahwa yang dimaksud


dengan hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami hukum,
yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung jawab agar
hukum dan keadilan itu ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada tertulis
atau tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak atau kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang
bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan Yang Maha
Esa.67

Menurut Al. Wisnu Broto, hakim adalah konkretisasi hukum dan

keadilan secara abstrak, bahkan ada yang menggambarkan hakim sebagai

wakil tuhandi bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan.68

Menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI), kata hakim berarti

orang yang mengadili perkara (dipengadilan atau mahkamah). Sedangkan

menurut Undang-Undang Peradilan Agama, hakim adalah pejabat yang

melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur oleh undang-undang.

Dengan demikian hakim adalah sebagai pejabat Negara yang

diangkat oleh kepala Negara sebagai penegak hukum dan keadilan yang

diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di

masyarakat. Haim merupakan unsur utama dalam pengadilan. Pencapaian

penegakkan hukum dan keadilan serta kepastian hukum terletak pada

kemampuan dan kearifan hakim dalam memutuskan keputusan yang

mencerminkan keadilan.

Hakim merupakan sebagai tempat pelarian terakhir bagi para

pencari keadilan dianggap bijaksana dan tahu akan hukum, bahkan

67
Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia,
Sinar Grafika Edisi 1 Cetakan 1, Jakarta, 1991, hal. 11.
68
Al.Wisnu Broto, Hakim Dan Peradilan Di Indonesia (Dalam Bebrapa Aspek
Kajian), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1997, hal. 2.
54

menjadi tempat bertanya segala macam persoalan bagi rakyat. Diharapkan

hakim sebagai orang yang bijaksana, aktif dalam pemecahan masalah.

2. Tugas Hakim

Tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa dan memutus


serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya berdasarkan
asas bebas, jujur dan tidak memihak di suatu sidang pengadilan, dengan
menjatuhkan dengan suatu putusan, yang disebut dengan putusan hakim.
Jadi, dalam hal ini hakim bersifat pasif atau hanya menunggu adanya
perkara yang diajukan kepadanya, dan tidak aktif mencari atau mengejar
perkara.69

Dalam menjatuhkan putusannya tersebut, hakim harus


memperhatikan serta mengusahakan semaksimal mungkin agar jangan
sampai putusan tersebut memungkinkan timbulnya perkara baru (sedapat
mungkin para pihak dalam perkara tidak mengajukan banding atau upaya
hukum lainnya). Selain itu, hakim dalam setiap perkara yang diajukan
kepadanya harus membantu justitiabelen(keadilan) dengan berusaha
melaksanakan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan,
sehinggaakan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada pengadilan,
yang berakibat semakin berwibawanya lembaga peradilan.70

Lembaga peradilan (dalam hal ini hakim) tidak boleh menolak


untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan
kepadanya dengan dalil hukumnya tidak ada, atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, sehingga sebagai penegak
hukum dan keadilan, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (vide
pasal 10 ayat ( 1) dan pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.71

Menurut UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,


hakim mempunyai kewajiban :
1) Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali,mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalammasyarakat” (Pasal 28 ayat (1))
2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim
wajibmemperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan jahat dari
terdakwa”(Pasal 28 ayat (2)).
3) Hakim wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara
apabilaterikat hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau
69
Ahmad Rifai,Op.Cit., hal. 52.
70
Ibid,hal 53.
71
Ibid.
55

semendadengan hakim ketua, salah seorang hakim anggota jaksa,


penasehathukum, atau panitera (Pasal 29 ayat (2)).
4) Hakim ketua sidang, hakim anggota, bahkan jaksa atau panitera
yangmasih terikat hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga
atausemenda dengan yang diadili, wajib pula mengundurkan diri
daripemeriksaan itu (Pasal 29 ayat (3)).
5) Sebelum memangku jabatan hakim diwajibkan bersumpah dan
berjanjimenurut agamanya (Pasal 30).Sedangkan yang berisi tanggung
jawab hakim yaitu bahwa”Peradilan dilakukan Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang MahaEsa” (Pasal 4 ayat (1)).

Pada dasarnya tugas hakim adalah memberi keputusan dalam setiap


perkara atau konflik yang dihadapan kepadanya, menetapkan hal-hal
seperti hubungan hukum, nilai hukum dari perilaku, serta kedudukan
hukum pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara, sehingga untuk
dapat menyelesaikan perselisihan atau konflik secara imparsial
berdasarkan hukum yang berlaku, maka hakim harus selalu mandiri dan
bebas dari pihak manapun, terutama dalam mengambil suatu keputusan.
Haim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk mengadili suatu perkara yang dihadapkan kepadanya.
Adapun pengertian dari mengadili itu adalah serangkaian tindakan hakim
untuk menerima, memeriksa dan memutus suatu perkara berdasarkan asas
bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan.72

Akan tetapi, hakim tidak boleh memeriksa perkara yang


menyangkut kepentingannya sendiri dengan asumsi bahwa tidak
seorangpun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri
(nemo judex idoneus in propin causa) (vide pasal 374 ayat (1) HIR/pasal
702 ayat (1) Rbg), sehingga hakim wajib mengundurkan diri dari perkara
yang sedang diperiksanya tersebut (vide pasal 17 ayat (1), (2), dan (3)
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 jo pasal 374 ayat (2) HIR/Pasal
702 ayat (2) Rbg).73

Putusan hakim akan terasa begitu dihargai dan mempunyai nilai


kewajiban, jika putusan tersebut dapat merefleksikan rasa keadilan hukum
masyarakat dan juga merupakan sarana bagi masyarakat pencari keadilan
untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan. Sebelum seorang hakim
memutus suatu perkara, maka ia akan menanyakan kepada hati nuraninya
sendiri, apakah putusan ini nantinya akan adil dan bermanfaat
(kemaslahatan) bagi manusia ataukah sebaliknya, akan lebih banyak
membawa kepada kemudharatan, sehingga untuk itulah diharapkan
seorang hakim mempunyai otak yang cerdas dan disertai dengan hati
nurani yang bersih.74
72
Ibid, hal. 2.
73
Ibid.
74
Ibid, hal. 3.
56

Dalam pelaksanaan tugasnya, hakim dituntut untuk bekerja secara

profesional, bersih, arif, dan bijaksana, serta mempunyai rasa kemanusiaan

yang tinggi. Dan juga menguasai dengan baik teori-teori ilmu hukum.

Sejatinya pelaksanaan tugas dan kewenangan seorang hakim

dilakukan dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan,

sebagaimana yang dicita-citakan selama ini, dengan berpedoman pada

hukum, undang-undang, dan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam

masyarakat.

Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu


perkara yang dihadapkan kepadanya, pertama tama harus menggunakan
hukum tertulis terlebih dahulu, yaitu peraturan perundang-undangan, tetapi
kalau peraturan perundang-undangan tersebut ternyata tidak cukup atau
tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim
akan mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber
hukum yang lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau
hukum tidak tertulis.75

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang


kekuasaan kehakiman menentukan bahwa:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”.

Dalam Risalatul Qodla, dikisahkan Khalifah Umar bin Khattab


yang memerintah kepada Abdullah bin Qais pada saat menjadi hakim:
“apabila suatu kasus belum jelas hukumnya dalam alquran dan hadist,
maka putuslah dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat, serta menganalogikan dengan kasus-kasus lain yang telah
diputus”.76

75
Ibid, hal. 6.
76
Ibid, hal. 7.
57

3. Kebebasan Hakim

Secara sederhana hakim identik dengan peradilan. Selain itu, dapat

pula diartikan bahwa hakim ialah bagian dari salah satu jabatan tertentu

dalam suatu negara yang dijalankan oleh manusia tertentu dengan status

sebagai pejabat atau penyelenggara negara. Dengan demikian, hakim yang

memiliki posisi penting dalam mengadili sutu perkara tidak boleh

diintervensi oleh masyarakat atau oleh presiden sekalipun, dengan tujuan

semata-mata untuk menciptakan suatu putusan yang adil terhadap suatu

perkara yang diadilinya, sehingga hakim harus diatur kebebasannya.

Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 secara umum

menegaskan bahwa kebebasan hakim adalah merupakan syarat mutlak

bagi suatu negara hukum, sehingga peradilan yang bebas dapat

memberikan suatu keadilan tanpa dipengaruhi oleh kekuatan dan

kekuasaan oleh pihak manapun dan dalam bentuk apapun. Kebebasan

hakim bertolak belakang apabila diartikan bahwa adanya suatu hak-hak

istimewa dari pihak hakim untuk dapat berbuat secara suka-suka untuk

suatu perkara yang akan diperiksa, tetapi terbatas pada proses peradilan

saja. Artinya hakim harus bebas dari intervensi, sebagai mana diketahui

bahwa sebagai hakim harus pula terikat dan tunduk pada hukum.

Kebebasan hakim dapat dilihat dari keterikatan kepada pihak-pihak


yang berperkara yaitu hakim dalam memeriksa dan mngadili suatu perkara
baik perdata maupun pidana haruslah atas dasar objektifitas, tanpa
memihak kepada salah satu pihak dan tidak boleh membeda-bedakan
orang. Untuk tegaknya objektifitas pengadilan, maka hakim harus bebas
dari keterikatannya itu baik hubungan kerja ataupun hubungan lainnya.77
77
Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Mengenai Suatu
Perkara Pidana, Askara Persada Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 55-56.
58

4. Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim

Kewajiban dan tanggung jawab hakim secara yuridis formal diatur

dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sebagai mana termaktub

dalam Bab IV Pasal 28 sampai Pasal 30, sedangkan Pasal 4 ayat (1)

Undang-Undang a quo hanya secara tersirat menyebutkan tentang

tanggung jawab hakim. Sementara itu, diluar dari Bab IV undang –undang

kekuasaan kehakiman, ditemukan kewajiban hakim yang merupakan organ

dari pengadilan adalah tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili

suatu perkara yang diajukan, dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau

kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya (pasal 16 ayat

(1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman). Untuk selanjutnya mengenai

kewajiban hakim dapat diuraikan sebagai berikut:

a) Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengadili,

mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman);

b) Apabila ada hubungan darah sampai derajat ketiga atau semenda

denganhakim ketua, hakim anggota, jaksa, penasihat hukum, atau

panitera hakim wajib mengundurkan diri suatu pemeriksaan perkara

(Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman);

c) Hakim ketua sidang, hakim anggota,dan jaksa bahkan panitera yang

masih terikat dalam hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga

atau semenda dengan yang diadili, ia wajib mengundurkan diri dari


59

pemeriksaan perkara itu (Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman);

d) Hakim diwajibkan untuk bersumpah atau berjanji menurut agamanya

sebelum memangku jabatan (Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman).

Anda mungkin juga menyukai