Anda di halaman 1dari 72

1

ANALISIS NILAI SOSIAL BUDAYA CERITA RAKYAT

PAU-PAUNNA SAWERIGADING

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar


Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar

OLEH
ETI HARWANTI
10533 6524 10

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDOESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Jl. Sultan Alauddin (0411) 860 132 Makassar 90221
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Eti Harwanti


NIM : 10533 6524 10
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Judul Skripsi : Analisis Nilai Sosial Budaya Cerita Rakyat

Pau-pauna Sawerigading.

Setelah diperiksa dan diteliti ulang, maka skripsi ini telah memenuhi

persyaratan untuk dipertahankan dihadapan Tim Penguji Ujian Skripsi Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Oktober 2014

Disetujui Oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Hambali, S.Pd., M.Hum. Andi Adam, S.Pd., M.Pd.

Diketahui,

Dekan Fakultas Keguruan Ketua Jurusan Bahasa dan


dan Ilmu Pendidikan Sastra Indonesia

Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum Dra. Munirah, M. Pd


NBM. 858 625 NBM. 951 576

ii
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Jl. Sultan Alauddin (0411) 860 132 Makassar 90221
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama Mahasiswa : Eti Harwanti


NIM : 10533 6524 10
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Judul Skripsi : Analisis Nilai Sosial Budaya Cerita Rakyat

Pau-pauna Sawerigading.

Setelah diperiksa dan diteliti ulang, maka skripsi ini telah memenuhi

persyaratan untuk dipertahankan dihadapan Tim Penguji Ujian Skripsi Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Oktober 2014

Disetujui Oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Hambali, S.Pd., M.Hum. Andi Adam, S.Pd., M.Pd.

Diketahui,

Dekan Fakultas Keguruan Ketua Jurusan Bahasa dan


dan Ilmu Pendidikan Sastra Indonesia

Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum Dra. Munirah, M. Pd


NBM. 858 625 NBM. 951 576

iii
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Jl. Sultan Alauddin (0411) 860 132 Makassar 90221
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Eti Harwanti


NIM : 10533 6524 10
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Judul Skripsi : Analisis Nilai Sosial Buadaya Cerita Rakyat

Pau-puna Sawerigading.

Dengan ini Menyatakan bahwa:

Skripsi yang diajukan di depan tim penguji adalah hasil karya saya sendiri.

Dengan demikian peryataan ini saya buat dengan sebenar-benarya dan saya

bersedia menerima sanksi apabila peryataan ini tidak benar.

Makassar, Oktober 2014


Yang membuat pernyataan

Eti Harwanti

Disetujui Oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Hambali, S.Pd., M.Hum. Andi Adam, S.Pd., M.Pd.

iv
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Jl. Sultan Alauddin (0411) 860 132 Makassar 90221
SURAT PERJANJIAN

Nama Mahasiswa : Eti Harwanti


NIM : 10533 6524 10
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Judul Skripsi : Analisis Nilai Sosial Budaya Cerita Rakyat Pau-pauna

Sawerigading.

Dengan ini menyatakan perjanjian sebagai berikut:

1. Mulai dari penyusunan proposal sampai selesainya skripsi ini, saya


menyusun sendiri (tidak dibuatkan oleh siapapun).
2. Dalam menyusun skripsi ini saya selalu melakukan konsultasi dengan
pembimbing, yang telah ditetapkan oleh pimpinan fakultas.
3. Saya tidak akan melakukan penjiplakan (plagiat) dalam menyusun
skripsi saya.
4. Apabila saya melanggar perjanjian seperti butir 1,2 dan 3, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai aturan yang berlaku.

Makassar, Oktober 2014


Yang membuat perjanjian

Eti Harwanti

Diketahui,
Ketua Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia

Dra. Munirah, M. Pd
NBM. 951 576

v
ABSTRAK

Eti Harwanti. 2014. Analisis Nilai Sosial Budaya Cerita Rakyat Pau-paunna
Sawerigading. Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar.
Dibimbing oleh Hambali dan Andi Adam.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai sosial budaya
yang terdapat dalam teks cerita rakyat Pau-paunna Sawerigading. Jenis penelitian
ini adalah deskriptif kualitatif yang diartikan sebagai prosedur pemecahan
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek dan
objek penelitian dengan data-data yang tidak berhubungan dengan angka atau
ukuran.
Data dalam penelitian ini adalah kata, kalimat, ungkapan yang
mengandung nilai sosial budaya yang terdapat pada teks terjemahan cerita rakyat
Pau-paunna Sawerigading. Sumber data dalam penelitian ini adalah buku cerita
rakyat Pau-pauna Sawerigading yang merupakan salah satu cerita rakyat dari
daerah Luwu. Cerita rakyat tersebut diperoleh dari hasil transliterasi dan
terjemahan oleh Pananrang Hamid dan dikisahkan kembali oleh Andi Abdullah
yang disusun pada tahun 1987 sebagai dokumen budaya. Teknik pengumpulan
data yang digunakan yaitu: (1) Membaca secara keseluruhan buku cerita rakyat
Pau-paunna Sawerigading secara cermat dan berulang-ulang sehingga
menemukan kutipan-kutipan yang relevan dengan objek kajian. (2) Teknik
catat/dokumentasi, yaitu mencatat bagian-bagian yang dianggap relevan sebagai
data. Adapun fokus penelitian yang akan dianalisis secara naratif adalah nilai
sosial budaya berdasarkan moral dan kepercayaan.
Hasil penelitian ini adalah nilai sosial budaya dalam cerita rakyat Pau-
paunna Sawerigading yang terdiri atas nilai moral dan kepercayaan. Nilia moral
yang dimaksud terdiri dari moral baik yaitu tata krama dan kesabaran, moral
buruk yaitu kesombongan atau angkuh, sedangkan kepercayaan terdiri dari adat
dan mitos.

Kata Kunci : Analisis, Sosial Budaya, dan Cerita Rakyat.


MOTO

Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan

jangan pula lihat masa depan dengan ketakutan

Jadikanlah sabar sebagai keberanian terbesar


Rasa takut sebagai dosa besar

Hidup adalah peperangan maka berjuanglah


Hidup adalah cita-cita, maka raihlah

Hidup adalah teka-teki, maka pecahkanlah

Ajining dhiri gumantung ono lathi lan budi


(kewibawaan orang itu tergantung pada ucapan dan tingkah laku yang baik)
PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya sederhana ini sebagai rasa syukurku pada- Nya.

Sebagai wujud dedikasi tertinggi untuk kedua orang tuaku

Sebagai kado terindah untuk ke tiga Adikku

Sahabat-sahabatku terkasih dan tersayang,

Yang senantiasa mengiringi setiap langkahku.

Semoga Allah swt.

Senantiasa merangkul mereka dalam cinta-Nya.

Aamiin.
KATA PENGANTAR

Assalamu’Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah swt atas karunia dan nikmat-Nya. Jiwa ini takkan

henti bertahmid atas anugerah pada detik waktu, denyut jantung, gerak langkah,

serta rasa dan rasio pada-Mu, Sang Khalik. Skripsi ini adalah setitik dari sederetan

berkah-Mu.

Setiap orang dalam berkarya selalu mencari kesempurnaan. Demikian

juga tulisan ini, segala daya dan upaya telah penulis kerahkan untuk membuat

tulisan ini selesai dengan baik dan bermanfaat dalam dunia pendidikan, khususnya

dalam ruang lingkup Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas

Muhammadiyah Makassar.

Motivasi dari berbagai pihak sangat membantu dalam perampungan

tulisan ini. Segala rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua

orang tua ayahanda Saman dan ibunda Sumarni yang telah berjuang, berdoa,

mengasuh, membesarkan, mendidik, dan membiayai penulis dalam proses

pencarian ilmu. Demikian pula, penulis mengucapkan terima kasih kepada para

keluarga yang tak hentinya memberikan motivasi dan selalu menemani penulis

dengan candanya. Kepada Drs. Hambali, S.Pd., M.Hum, dan Andi Adam, S.Pd.,

M.Pd., pembimbing I dan pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan,

arahan serta motivasi sejak awal penyusunan proposal hingga selesainya skripsi

ini.

v
Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada; (1) Dr. H.

Irwan Akib, M.Pd, Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, (2) Dr. A. Sukri

Syamsuri, M.Hum., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Muhammadiyah Makassar, dan (3) Dr. Munirah, M.Pd., ketua Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia serta seluruh dosen dan staf pegawai dalam

lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah

Makassar yang telah membekali penulis dengan serangkaian ilmu pengetahuan

yang sangat bermanfaat.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis senantiasa

mengharapkan kritikan dan saran dari berbagai pihak, selama saran dan kritikan

tersebut sifatnya membangun. Penulis yakin bahwa suatu persoalan tidak akan

berarti sama sekali tanpa adanya kritikan. Mudah-mudahan skripsi ini dapat

memberi manfaat bagi para pembaca, terutama bagi diri pribadi penulis. Amiin.

Makassar, Oktober 2014

Penulis

v
DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN JUDUL ............................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN................................................................. ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................... iii

SURAT PERNYATAAN ........................................................................ iv

SURAT PERJANJIAN ........................................................................... v

MOTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................ vi

ABSTRAK ............................................................................................... vii

KATA PENGANTAR............................................................................. viii

DAFTAR ISI............................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 5
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR


A. Kajian Pustaka ............................................................................ 7
B. Bagan Kerangka Pikir ................................................................. 28

BAB III METODE PENELTIAN


A. Desain Penelitian ........................................................................ 29
B. Jenis dan Fokus Penelitian .......................................................... 29
C. Definisi Operasional ................................................................... 30

ii
D. Data dan Sumber Data ................................................................ 31
E. Teknik Pengumpulan Data.......................................................... 31
F. Teknik Analisis Data................................................................... 32

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Penyajian Hasil Analisis ............................................................. 33

B. Pembahasan................................................................................. 48

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ..................................................................................... 55

B. Saran ........................................................................................... 57

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 58

LAMPIRAN-LAPIRAN

RIWAYAT HIDUP

ii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial, yang perkembangan jiwanya tidak

ditentukan sejak lahir tetapi dibentuk oleh lingkungannya. Lingkungan manusia

itulah yang disebut kebudayaan. Kebudayaan merupakan hal yang dinamis,

senantiasa berkembang atau berubah sesuai dengan kebutuhan zaman. Hubungan

antara kebudayaan dan masyarakat sangat erat kaitannya. Masyarakat adalah

tempat tumbuhnya budaya, sedangkan budaya itu sendiri sesuatu yang ada dalam

masyarakat. Dengan kata lain, budaya ada karena ada masyarakat sebagai tempat

tumbuh dan berkembangnya. Tylor (dalam Ahmadin, 2009: 2), menyatakan

bahwa kebudayaan atau peradaban merupakan suatu keseluruhan yang kompleks

mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan

lain-lain. Kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan

oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Masyarakat dan kebudayaan, merupakan satu kesatuan integratif dalam

kehidupan manusia. Kenyataan sosial ini telah berlangsung sepanjang zaman,

mulai dari kategori manusia yang hidup sederhana (tradisional) hingga modern

seperti sekarang. Karena itu, betapapun sederhana atau modernnya suatu

masyarakat, itulah penciri yang dimiliki sekaligus merupakan karakternya.

Bahkan tindakan dan pola tingkah laku seseorang sebagai anggota masyarakat

merupakan refleksi atas respons individu terhadap lingkungan sosial dan masa

dimana ia melangsungkan hidup.

1
2

Sastra memang tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya, tetapi

muncul pada masyarakat yang telah memiliki tradisi, adat istiadat, konvensi,

keyakinan, pandangan hidup, cara hidup, cara berpikir, pandangan tentang

estetika, dan lain-lain. Sastra dapat dipandang sebagai bagian integral dari

kehidupan sosial budaya masyarakat yang melahirkannya. Selain itu, sastra

muncul karena masyarakat menginginkan legitimasi kehidupan sosial budayanya,

tepatnya legitimasi eksistensi kehidupannya. Sebagai disiplin yang berbeda, sastra

dan kebudayaan memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat,

manusia sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural.

Sastra daerah merupakan bagian dari kebudayaan. Karya sastra daerah

adalah karya budaya yang diciptakan oleh manusia. Fungsi sastra daerah selain

sebagai saluran untuk memelihara dan menurunkan buah pikiran bagi suku yang

mempunyai sastra itu, juga sebagai cermin dalam pikiran, pandangan hidup, dan

ekspresi rasa keindahan masyarakat pemilikny. Dengan demikian, karya sastra

bukanlah suatu uraian-uraian kosong atau khayalan yang sifatnya sekadar

menghibur pembaca saja melainkan melalui karya sastra diharapkan pembaca

lebih arif dan bijaksana dalam bertindak dan berpikir karena pada karya sastra

selalu berisi masalah kehidupan manusia nyata. Hal itulah yang menjadi salah satu

nilai budaya daerah yang merupakan cermin kehidupan masyarakat. Nilai budaya

berupa konsepsi yang hidup dalam alam pikiran warga masyarakat atau sebagai

sesuatu yang bernilai kehidupan. Wujudnya dapat berupa adat-istiadat, tata

hukum, atau norma-norma yang mengatur langkah dan tindak budaya beradab.

Sikap dan rasa ikut memiliki di dalam diri seseorang akan menimbulkan rasa

menghargai dan memiliki sesuatu yang sebenarnya memang milik masyarakat.


3

Sastra daerah merupakan bagian dari khazanah kebudayaan daerah. Untuk

itu, sastra daerah perlu dilestarikan dan dipertahankan agar tidak punah. Hal ini

penting, karena jika produk sastra di suatu daerah tempat dia tumbuh telah punah,

maka hakikat kebudayaan daerah itu sendiri telah ikut punah. Jika produk sastra di

suatu daerah telah punah, maka daerah tersebut telah kehilangan corak

kebudayaan daerahnya sendiri.

Dalam sastra daerah dikenal berbagai gendre sastra lisan. Salah satu

gendre sastra lisan adalah cerita rakyat. Cerita rakyat tersebut berkembang di

dalam masyarakat sebagai alat pemenuhan hidup, baik sebagai alat ekspresi,

pikiran, dan perasaan maupun sebagai penyampaian petuah-petuah dan

pendidikan. Pengkajian sastra lisan melalui penelitian perlu dilakukan terus

menerus agar tidak punah oleh kemajuan perubahan modern. Realitas yang terjadi

sekarang ini, para generasi muda kurang berminat terhadap sastra daerahnya

sendiri, karena tergeser oleh masuknya sarana hiburan modern. Jika hal ini

dibiarkan, maka warisan budaya yang merupakan kekayaan bangsa itu secara

perlahan akan lenyap. Dengan dilakukannya penelitian ini, peneliti berharap

penelitian ini dapat membangkitkan motivasi generasi muda untuk membaca

cerita rakyat khususnya “Pau-paunna Sawerigading” yang mengandung nilai-

nilai moral yang nantinya sangat berperan dalam membentuk karakter generasi

muda.

Sawerigading adalah Putra Raja Luwu Batara Lattu’ dan We Opu

Senggeng, dari Kerajaan Luwu Purba, Sulawesi Selatan. Dalam bahasa setempat

(Luwu), Sawerigading berasal dari dua kata, yaitu sawe yang berarti menetas

(lahir), dan ri gading yang berarti di atas bambu betung. Jadi, Sawarigading
4

berarti keturunan dari orang yang menetas (lahir) di atas bambu betung. Menurut

cerita, ketika Batara Guru (kakek Sawerigading yang merupakan keturunan dewa)

pertama kali diturunkan ke bumi, ia ditempatkan di atas bambu betung.

Sawerigading mempunyai saudara kembar perempuan yang bernama We

Tenriabeng. Namun, sejak kecil hingga dewasa mereka dibesarkan secara

terpisah, sehingga mereka tidak saling mengenal.

Cerita ini mengandung hikayat tentang kehidupan manusia keturunan

dewa-dewi dari kayangan yang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin di daerah

Luwu. Namun, cerita rakyat tersebut bukan hanya menampilkan tokoh-tokoh

legendaris ataupun peristiwa-peristiwa yang bersifat metodologis saja, akan tetapi

di dalamnya termuat aspek kesejarahan, nilai budaya, dan lingkungan budaya

daerah Sulawesi Selatan.

Sebagai sastra daerah sekaligus sebagai produk budaya yang sarat akan

nilai budaya seperti yang disebutkan diatas, maka Pau-paunna Sawerigading

perlu dikaji dan nilai-nilai luhur yang terselubung di dalamnya dapat

ditransformasikan agar nilai itu tidak hanya menjadi milik para leluhur, tetapi juga

dapat diwariskan kepada generasi sekarang dan generasi yang akan datang, yang

sekarang ini mendapat ancaman budaya (cultural threaths) baik dari dalam

maupun dari luar negeri, baik yang berupa budaya konkrit maupun budaya

abstrak.

Berangkat dari kesadaran penulis bahwa dalam memahami suatu karya

perlu adanya prinsip dasar atau landasan untuk mengapresiasi suatu karya sastra,

maka penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra untuk menelaah cerita

rakyat Pau-paunna Sawerigading. Pendekatan ini memandang karya sastra


5

sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa

sastra tersebut diciptakan, sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan sebagai

manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, untuk

mengarahkan dan memperjelas penelitian ini perlu dirumuskan masalah yang

mendapat penekanan untuk dikaji dan dibahas. Adapun rumusan masalah yang

dimaksud adalah “Bagaimanakah nilai sosial budaya yang terdapat dalam teks

cerita rakyat Paun-paunna Sawerigading?”.

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian selalu berorientasi kepada tujuan sesuai dengan target

yang ingin dicapai oleh peneliti, begitu juga dengan penelitian ini. Penelitian ini

bertujuan mendeskripsikan nilai sosial budaya yang terdapat dalam teks cerita

rakyat Pau-paunna Sawerigading.

D. Manfaat Penelitian

Berkaitan dengan fokus tujuan penelitian yang sudah diungkapkan, maka

manfaat penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut.

1. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan dan informasi yang lebih rinci dan mendalam mengenai nilai

budaya yang terdapat dalam cerita rakyat Pau-paunna Sawerigading.

2. Manfaat praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak,

antara lain:
6

a. Bagi penulis, hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban dari masalah

yang dirumuskan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi

motivasi bagi penulis untuk semakin aktif menyumbanngkan hasil karya

ilmiah bagi dunia pendidikan.

b. Bagi pembaca, hasil penelitian ini bagi pembaca diharapkan

membangkitkan minat pembaca untuk mendalami karya sastra daerah

serta usaha terhadap pembinaan unsur-unsur tradisional melalui bahan

bacaan.

c. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi

maupun bahan pijakan peneliti lain untuk melakukan penelitian yang

lebih mendalam
7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

Penelitian yang baik dan berhasil bergantung dari teori yang

mendasarinya. Teori merupakan landasan suatu penelitian, karena itu teori yang

digunakan dalam penelitian ini tersebar di berbagai pustaka yang erat kaitannya

dengan masalah yang dibahas. Teori penelitian ini berhubungan dengan sastra

yaitu cerita rakyat.

Sehubungan dengan uraian di atas, maka aspek teoritis yang akan

dipaparkan dalam kajian pustaka adalah hakikat sastra tradisional/folklor, cerita

rakyat, ciri-ciri cerita rakyat, jenis cerita rakyat, unsur pembangun sastra, nilai

sosial budaya, dan pendekatan sosiologi sastra.

1. Penelitian Relevan

Adapun penelitian terdahulu mengenai cerita rakyat, telah diteliti oleh

Jusmianti Garing (2010) dengan judul “Fenomena Sosial dan Budaya dalam

Cerita Rakyat Tanah Luwu Karya Idwar Anwar”. Berdasarkan penyajian hasil

analisis data dikemukakan bahwa fenomena sosial yang dimaksud adalah

hubungan yang terjadi antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan

Tuhan, dan masyarakat dengan alam serta kegiatan yang terjadi dalam kebiasaan

suatu masyarakat dan menjadi bagian dari hidup dan kehidupan. Begitupun halnya

dengan penelitian yang terkait dengan nilai sosial budaya telah diteliti oleh

Herlina (2011) dengan judul “Analisis Sosial Budaya dalam Legenda Bunga

Wallu`na Pattirambana Luwu Utara”.

7
8

Hasil penelitian ini adalah nilai sosial budaya yang terdapat dalam legenda

Bunga Wallu`na Pattirambana terdiri atas 1) adat istiadat yang menyangkut tata

krama, status sosial, dan kekeluargaan yang diagung-agungkan oleh keluarga

ibunda Bunga Wallu`na yang berstatus sosial, 2) kepercayaan menyangkut

pemujaan dan tarian sebagai wujud kecintaan terhadap Tuhan sang pencipta oleh

seluruh masyarakat desa Kau-Kau yang ada dalam legenda tersebut. Reny

Apriliyan (2009) dengan judul “Nilai Budaya Jawa dalam Novel Canting karya

Arswendo Atmowiloto suatu pendekatan sosiologi sastra”.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai budaya Jawa dalam novel

Canting karya Arswendo Atmowilto, yaitu; (1) hakikat hidup orang Jawa yang

meliputi beberapa konsep bahwa mereka menerima nasib, pasrah dengan ikhlas

atas apa yang telah digariskan,tidak mengeluh dan menerima dengan lapang. (2)

hakikat karya dan etos kerja yaitu mereka hidup hanya untuk mencari sesuap nasi

dan untuk menyambung hidupnya. (3) hubungan dengan alam bagi orang Jawa

terbagi atas dua, yaitu lingkungan fisik dan spiritual, lingkungan fisik yaitu

menjaga kelestarian dan ketentraman alam, sedangkan lingkungan spritual berupa

adat, tradisi, dan tata cara serta nilai-nilai yang ada dalam lingkungan masyarakat

Jawa. (4) hubungan dengan sesama yaitu orang Jawa membutuhkan bantuan

sesama terutama pada kerabatnya, dan (5) persepsi waktu yaitu penanggalan atau

hari yang dianggap sangat sakral bagi mereka. Sistem penanggalan digunakan

untuk mencari hari yang baik dalam memulai sesuatu. Kelima nilai budaya

tersebut berhasil diungkapkan oleh pengarang menyangkut nilai budaya Jawa.

Berdasarkan penelitian tersebut di atas, maka persamaannya dengan

penelitian sebelumnya adalah sama-sama meneliti tentang nilai sosial. Salah satu
9

dari penelitian sebelumnya menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan

sosiologi sastra, adapun perbedaannya dapat dilihat dari objek yang diteliti,

pengkajian, dan hasil dari analisis.

2. Hakikat Sastra Tradisional/Folklor

Sastra tradisional (traditional literature) merupakan suatu bentuk ekspresi

masyarakat pada masa lalu yang umumnya disampaikan secara lisan. Mitchell (dalam

Setianingsih, http://hakikat-sastra-tradisional.wordpress.com.diakses 4 Juni 2014).

Manusia selalu butuh berkomunikasi dan berekspresi sebagai salah satu manifestasi

eksistensi diri dan kelompok sosialnya. Cerita dan tradisi bercerita sudah dikenal sejak

manusia ada di muka bumi ini, jauh sebelum mereka mengenal tulisan. Cerita merupakan

sarana penting untuk memahami dunia dan mengekspresikan gagasan, ide-ide dan nilai-

nilai. Selain itu juga sebagai sarana penting untuk memahamkan dunia kepada orang lain,

menyimpan dan mewariskan gagasan dan nilai-nilai dari generasi ke generasi.

Cerita-cerita tradisional dapat berwujud legenda, mitos, fabel, dan

berbagai bentuk cerita rakyat lain yang sering disebut sebagai folklore, folktale

atau sebutan-sebutan kategorisasi lainnya. Seperti halnya sastra pada umumnya,

sastra tradisional atau sastra daerah diciptakan dengan menggunakan bahasa

sebagai mediumnya. Hanya saja, sastra daerah diciptakan oleh masyarakat di

suatu daerah dengan menggunakan bahasa daerahnya sendiri.

Sebagai sebuah produk budaya, eksistensi sastra daerah tidak dapat

dilepaskan dari konteks kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Dalam

konteks kebudayaan daerah, sastra daerah dijadikan sebagai wahana ekspresi

budaya daerah. Dengan demikian, substansi sastra daerah tidak lain merupakan

corak kebudayaan suatu daerah tertentu.


10

Dilihat dari aspek substansi maupun mediumnya, jelaslah jika produk

sastra daerah merupakan bagian dari khazanah kebudayaan daerah. Untuk itu,

sastra daerah perlu dilestarikan dan dipertahankan agar tidak punah. Hal ini

penting karena jika produk sastra di suatu daerah tempat dia tumbuh telah punah,

maka hakikat kebudayaan daerah itu sendiri telah ikut punah. Jika produk sastra di

sutau daerah telah punah, maka daerah tersebut telah kehilangan corak

kebudayaan daerahnya sendiri. Demikian pula jika produk sastra di suatu daerah

telah punah, maka hakikat daerah tersebut telah kehilangan rekaman penggunaan

bahasa daerah yang telah diwariskan oleh para pendahulunya.

3. Cerita Rakyat

Cerita rakyat adalah cerita dari zaman dahulu yang hidup di kalangan

rakyat dan diwariskan secara lisan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 210).

Definisi di atas sejalan dengan yang dikemukakan oleh Jabriani (dalam Riyadi,

1995: 5) bahwa cerita rakyat adalah suatu bentuk penuturan yang tumbuh dan

menyebar di kalangan rakyat secara lisan dan turun-temurun sebagai sarana untuk

menyampaikan pesan, amanat, dan hiburan.

Pada masyarakat tradisional karya sastra dianggap sebagai sarana

pendidikan nonformal yang membimbing anak-anak agar berperilaku baik.

Penyajiannya dilakukan secara lisan pada malam hari, para orang tua sudah mulai

bercerita sambil meninabobokkan anak-anaknya. Cerita yang mereka ceritakan

berupa dongeng, mite, dan legenda yang kejadiannya dianggap pernah terjadi di
11

lingkungan mereka walaupun kejadian tersebut terjadi jauh sebelum zaman

mereka merasakan atau menganggap cerita tersebut milik mereka.

Cerita rakyat adalah bagian dari kekayaan budaya dan sejarah yang

dimiliki bangsa Indonesia. Pada umumnya, cerita rakyat mengisahkan tentang

suatu kejadian di suatu tempat atau asal muasal suatu tempat. Tokoh-tokoh yang

dimunculkan dalam cerita rakyat umumnya diwujudkan dalam bentuk binatang,

manusia maupun dewa. Fungsi cerita rakyat selain sebagai hiburan juga bisa

dijadikan suri tauladan terutama yang mengandung pesan-pesan pendidikan

moral. Banyak yang tidak menyadari kalau negeri Indonesia ini mempunyai

banyak cerita rakyat yang belum didengarkan, bisa dimaklumi karena cerita rakyat

menyebar dari mulut ke mulut yang diwariskan secara turun-temurun. Namun,

sekarang banyak cerita rakyat yang ditulis dan dipublikasikan sehingga cerita

rakyat Indonesia bisa dijaga dan tidak sampai hilang dan punah.

Cerita rakyat adalah cerita dari zaman dahulu milik masyarakat yang

tumbuh dan menyebar di kalangan rakyat secara lisan dan turun temurun sebagai

sarana untuk menyampaikan pesan, amanat, dan hiburan.

Adapun ciri-ciri cerita rakyat menurut Bascom (dalam Garing, 2010: 68)

ciri-ciri cerita rakyat adalah sebagai berikut.

a. Penyebarannya secara lisan yang disebarkan dari mulut ke mulut.

b. Cerita rakyat bersifat anonim atau penciptaannya sudah tidak dikeatahui lagi.

c. Cerita rakyat merupakan milik bersama dalam suatu masyarakat


12

d. Tidak memiliki bentuk yang tetap atau mengalami perubahan dalam proses

penyebarluasaanya.

e. Kaya nilai-nilai luhur.

f. Bersifat tradisional.

g. Disampaikan turun-temurun secara lisan.

Fungsi cerita rakyat

Bascom (dalam Garing, 2010: 68) mengemukakan bahwa ada empat

fungsi cerita rakyat, sebagai berikut :

a. Cerita rakyat dapat mencerminkan angan-angan kelompok.

b. Cerita rakyat dapat digunakan sebagai alat pengesahan atau penguatan suatu

adat kebiasaan kelompok pranata-pranata yang merupakan lembaga

kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.

c. Cerita rakyat berfungsi sebagai alat pendidikan budi pekerti kepada anak-

anak.

d. Cerita rakyat berfungsi sebagai pengendali sosial atau sebagai alat pengawas

agar norma-norma masyarakat dapat dipatuhi.

4. Jenis Cerita Rakyat

Menurut Danandjaja (dalam Riyadi, 1995: 9) bahwa cerita rakyat dapat

dibagi dalam tiga golongan, yaitu :

a. Mite

Mite adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap

suci oleh pemilik cerita. Mite ditokohi oleh dewa atau makhluk setengah dewa.

Peristiwanya terjadi di dunia lain atau dunia yang bukan seperti yang kita kenal

sekarang, dan terjadi pada masa lampau.


13

b. Legenda

Legenda adalah cerita rakyat yang dianggap oleh pemilik cerita sebagai

sesuatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite,

legenda bersifat keduniawian, terjadinya pada masa yang belum begitu lampau,

dan bertempat di dunia yang kita kenal sekarang.

c. Dongeng

Dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi.

Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan walaupun banyak juga yang

melukiskan kebenaran, berisiskan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran. Aarne

(dalam Riyadi, 1995: 10) mengemukakan bahwa dongeng terdiri atas dongeng

binatang, dongeng biasa, serta lelucon atau anekdot.

1) Dongeng binatang atau fabel adalah dongeng yang ditokohi binatang

peliharaan dan binatang liar, seperti binatang menyusuhi, burung, binatang

melata, ikan, dan serangga. Binatang-binatang itu dapat berbicara dan berakal

budi seperti manusia.

2) Dongeng biasa adalah dongeng yang ditokohi oleh manusia, biasanya

merupakan kisah suka duka seseorang.

3) Lelucon atau roman adalah jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur,

dan latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut

pandang pengarang, mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik kisahan

dan ragaan yang menjadi dasar konvensi penulisan.

5. Unsur Pembangun Sastra

a. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik ialah unsur yang menyusun sebuah karya sastra dari dalam

yang mewujudkan struktur suatu karya sastra, seperti : penokohan, alur, latar,
14

sudut pandang, gaya dan nada, tema, dan amanat. Unsur-unsur yang membangun

sebuah novel yang disebutkan oleh Stanton (dalam Wiyatmi, 2006: 30) adalah

sebagai berikut:

1) Tema

Tema sering disebut juga dasar cerita, yakni pokok permasalahan yang

mendominasi suatu karya sastra. Tema pada dasarnya merupakan sejenis

komentar terhadap subjek atau pokok masalah, baik secara eksplisit maupun

implisit. Tema memiliki fungsi untuk menyatukan unsur-unsur lainnya. Selain itu,

tema juga berfungi untuk melayani visi atau respons pengarang terhadap

pengalaman dan hubungan totalnya dengan jagat raya.

2) Tokoh dan Penokohan

Pelaku yang ditemukan dalam sebuah cerita adalah pelaku yang imajinatif,

pelaku yang ada dalam benak pengarang. Pelaku imajinatif itu tidak akan

dijumpai pada alam nyata, sekalipun dicari pada seantero dunia. Raut muka,

bentuk tubuh, sepak terjang dan karakter pelaku, dapat dikenal lewat

penggambaran, baik yang dilakukan oleh pengarang cerita, maupun pelaku.

Penyitraan pelaku dengan karakter tertentu dikenal dengan istilah penokohan.

Seorang pengarang memiliki kebebasan menggambarkan dan

menghadirkan tokoh yang bermacam-macam dalam cerita. Pengarang dapat

menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hidup dalam imajinasinya, menampilkan

pelaku cerita yang saleh, mandiri, dan pekerja keras seperti dalam kehidupan

nyata.

Cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokoh itu dapat

berbagai macam. Menurut Aminuddin(2004: 80), dalam upaya memahami watak

pelaku, pembaca dapat menelusurinya melalui:


15

a) Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya;

b) Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan

kehidupannya maupun cara berpakaian;

c) Menunjukkan bagaimana perilakunya;

d) Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri;

e) Memahami bagaimana jalan pikirannya;

f) Melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya;

g) Melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya;

h) Melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain memberikan reaksi terhadapnya;

i) Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.

3) Alur

Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan

hubungan kausalitas. Hubungan unsur cerita yang satu dengan unsur cerita yang

lain, selain bersifat logis juga mengandung hubungan kausalitas, yaitu bahwa

peristiwa yang satu menjadi penyebab terjadinya peristiwa yang lain. Secara garis

besar alur terbagi dalam tiga bagian, yaitu awal, tengah, dan akhir.

Bagian awal berisi eksposisi yang mengandung instabilitas yang ada

konflik.Bagian tengah mengandung klimaks yang merupakan puncak

konflik.Bagian akhir mengandung penyelesaian atau pemecahan masalah.

4) Latar

Dalam karya sastra, latar dibedakan menjadi tiga macam, yaitu latar

tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat berkaitan dengan ,asalah geografis. Latar

waktu berkaitan dengan masalah waktu, hari, jam, maupun histories.Latar sosial

berkaitan dengan kehidupan masyarakat.


16

Latar (setting) adalah tempat atau waktu terjadinya cerita. Suatu cerita

hakikatnya tidak lain ialah lukisan peristiwa atau kejadian yang menimpa atau

dilakukan oleh satu atau beberapa orang tokoh pada suatu waktu di suatu tempat.

5) Sudut Pandang

Kalau membaca sebuah cerita, tentu kita mengenali siapa sebenarnya yang

dipilih pengarang untuk diceritakan.Inilah yang disebut sudut pandang atau point

of vieuw.Sebuah cerita memang dituturkan oleh pengarangnya.

Sudut pandang ada tiga macam, yaitu: a) pengarang terlibat (auther

participant): pengarang ikut ambil bagian dalam cerita sebagai tokoh utama yang

mengisahkan tentang dirinya. Dalam cerita ini pengarang menggunakan kata ganti

orang pertama (aku atau saya). b) pengarang sebagai pengamat (auther

observant): posisi pengarang sebagai pengamat yang mengisahkan

pengamatannya sebagai tokoh samping. Pengarang berada di luar cerita, dan

mengunakan kata ganti orang ketiga (ia atau dia) di dalam cerita. c) pengarang

serba tahu (auther emniscient): pengarang berada diluar cerita (imepersonal),

tetapi serba tahu tentang apa yang dirasa dan dipirkan oleh tokoh cerita. Dalam

kisahan cerita, pengarang memakai nama-nama orang dan dia (orang ketiga).

6) Gaya Bahasa

Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan yang khas bagi seorang

pengarang. Gaya bahasa meliputi penggunaan diksi (pilihan kata), imajinasi

(citraan), dan sintaksis (pilihan pola kalimat).

7) Amanat

Amanat merupakan hasil akhir dari pemecahan berbagai persoalan yang

terkandung dalam tema sentral. Amanat ada kalanya diungkapkan secara implisit
17

merupakan sesuatu yang kurang jelas atau kabur. Adanya kekaburan

memungkinkan mengandung makna ganda. Dengan demikian pesan itu akan

berbeda dengan lainnya sesuai dengan kadar kemampuan yang dimiliki setiap

orang dalam menghayati setiap persoalan. Adapun amanat yang diungkapkan

secara eksplisit memungkinkan setiap orang berada dalam kadar kepuasan yang

sejalan dengan yang lainnya.

b. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi

secara tidak langsung mempengaruhi bangunan cerita sebuah karya sastra.

Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah

unsur. Unsur ekstrinsik yang dimaksud antara lain adalah latar belakang

pengarang, aspek sosial budaya, ekonomi, dan politik. Aspek sosial budaya yang

dimaksud adalah aspek yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia,

baik secara langsung maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat).

Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang berupa psikologi

pengarang, psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya

sastra. Nugriyantoro (2007: 23).

6. Sosial Budaya

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007: 310 ) sosial yaitu

berkenaan dengan manusia, suka memperhatikan kepetingan umum (suka

menolong, menderma dan sebagainya). Sosial adalah segala sesuatu yang

mengenai masyarakat, peduli terhadap kepentingan umum.

Sosial merupakan sebuah sifat interaktif yang mana di dalamnya terdapat

pemenuhan kebutuhan hidup kepentingan orang banyak. Secara statis sosial


18

meliputi fungsi dalam instuisi-instuisi sebagai keluarga, masyarakat adil dan

makmur, desa dan kota, bangsa dan negara. Manusia yang hidup berdasarkan

kodrat yang harus dikembangkan menjadi pembawa nilai terhadap orang lain.

“Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta,
karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sangsekerta
budhayah yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal.
Dalam bahasa Inggris, kata budaya berasal dari kata culture, dalam bahasa
Belanda diistilahkan dengan kata cultuur, dan dalam bahasa Latin, berasal
dari kata colera yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan,
mengembangkan tanah (bertani). Kemudian pengertian ini berkembang
dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk
mengolah dan mengubah alam” (Setiadi, 2007: 27).

Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk

sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan

pengalamannya, serta menjadikan kerangka landasan bagi mewujudkan dan

mendorong terwujudnya kelakuan. Koentjaraningrat (dalam Setiadi, 2005: 28)

mengartikan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri

manusia dengan belajar. Dalam definisi ini kebudayaan dilihat sebagai

“mekanisme kontrol” bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia, atau sebagai

pola-pola kelakuan manusia. Dengan demikian kebudayaan merupakan

serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi yang

terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang digunakan secara kolektif oleh

manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya.

Hubungan konteks sosial dan budaya sangat erat, sosial mencondongkan

perhatiannya pada masyarakat dan budaya sendiri hasil dari gambaran sosial

masyarakat secara kolektif dan menjadi sebuah rujukan bersama. Dengan

demikian, sosial budaya adalah suatu paham mengenai manusia yang senantiasa

mempengaruhi akal dan budi pekerti kahidupan yang ditandai dengan cipta karya.
19

Berbicara keterkaitan antara sosial, budaya, dan sastra, khususnya

pengarang itu sendiri, realitas budaya dan keadaan sosial tidak serta merta

ditangkap oleh pengarang begitu saja, akan tetapi juga menerjemahkannya sebagai

penyampai protes kebudayaan, baik dalam bentuk karya sastra berupa cerita

rakyat, roman, cerpen, dan sebagainya.

Suatu interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua

syarat, yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. Adanya komunikasi

memungkinkan sikap-sikap dan perasaan-perasaan suatu kelompok manusia atau

orang perseorangan dapat diketahui oleh kelompok-kelompok lain atau orang-

orang lain. Hal itu kemudian menentukan untuk menjadi bahan reaksi apa yang

akan dilakukannya. Tylor (dalam Ahmadin, 2009: 2), menyatakan bahwa

kebudayaan atau peradaban merupakan suatu keseluruhan yang kompleks

mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan

lain-lain. Kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan

oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dari teori Tylor tersebut sesuai dengan

tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam mengkaji cerita rakyat Sawerigading

dari segi sosial budayanya yaitu moral dan kepercayaan.

a. Moral

Moral berasal dari bahasa Latin "mos" (jamak: mores) yang berarti

kebiasaan, adat. Kata "mos" (mores) dalam bahasa Latin sama artinya dengan etos

dalam bahasa Yunani. Di dalam bahasa Indonesia, kata moral diterjemahkan

dengan arti susila. Adapun pengertian moral yang paling umum adalah tindakan

manusia yang sesuai dengan ide-ide yang diterima umum, yaitu berkaitan dengan

makna yang baik dan wajar. Dengan kata lain, pengertian moral adalah suatu
20

kebaikan yang disesuaikan dengan ukuran-ukuran tindakan yang diterima oleh

umum, meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Kata moral selalu

mengacu pada baik dan buruknya perbuatan manusia sebagai manusia.

Moral bukan sesuatu yang datang dari luar diri manusia. Moral berada di

dalam diri manusia sebagai potensi. Pasif atau aktifnya moral itu tergantung dan

sangat ditentukan oleh manusia individu itu sendiri. Karena moral bukan sesuatu

zat yang melekat di dalam diri setiap manusia, maka penilaian terhadap moral

selalu ditilik dari hasil aktivitas tingkah lakunya. Ungkapan-ungkapan yang

berbunyi, dekadensi moral,merosotnya moral, tidak bermoral, meruapakan suatu

hasil seleksi penilaian umum tentang perilaku dan tata kelakuan yang tampil

dalam konteks bertentangan dengan kewajaran. Oleh karena moral lebih mentitik

beratkan sorotannya kepada tingkah laku, maka dari ungkapan tersebut tampak

jelas bahwa moral terkait erat dengan penyimpangan atau tingkah laku yang

menyimpang.

Penyimpangan tingkah laku terjadi apabila timbul pelanggaran terhadap

aturan yang mengatur tingkah laku agar tidak menyimpang. Sebaliknya, jika tidak

terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan yang mengatur tingkah laku agar tidak

menyimpang, apakah moral tidak diperlukan lagi? Hal demikian agak keliru,

karena ada atau tidaknya penyimpangan tingkah laku moral tetap diperlukan.

Moral bukanlah sesuatu yang datang dari luar atau sesuatu yang melekat begitu

saja di dalam diri setiap diri manusia. Bahkan moral bukan sesuatu yang dapat

diuji atau dicoba. Moral tumbuh bersamaan dengan tahapan-tahapan kedewasaan

fisik dan psikis dimana moral itu mengalami kematangan apabila telah terjadi

sesuatu interaksi antara sesama manusia. Oleh karena itu, moral akan tumbuh
21

lebih terarah dalam proses sosialisasi sejak dini yang mula-mula dilingkungan inti

(ayah, ibu, dan anak-anak). Dengan demikian, moral adalah nilai yang

melatarbelakangi sikap dan sifat seseorang dalam kehidupan masyarakat.

b. Tata Krama

Tata krama adalah kebiasaan, sopan santun yang disepakati dalam

lingkungan pergaulan antar manusia setempat. Tata krama terdiri atas tata dan

krama. Tata berarti adat, aturan, norma, dan peraturan. Sedangkan krama berarti

sopan santun, kelakuan, dan tindakan. Dengan demikian, tata krama berarti segala

tindakan, perilaku, adat istiadat, tegur sapa, ucap dan cakap sesuai kaidah atau

norma tertentu dalam masyarakat.

Tata krama timbul dan berlaku di masyarakat atas dasar kesepakatan

bersama guna memelihara hubungan baik antarsesama warga masyarakat. Tata

krama pada hakekatnya merupakan penuntun hidup bermasyarakat demi

terciptanya kehidupan yang rukun dan harmonis.Tata krama dibentuk dan

dikembangkan oleh masyrakat dan terdiri dari aturan-aturan yang kalau dipatuhi

diharapkan akan tercipta interaksi sosial yang tertib dan efektif di dalam

masyarakat yang bersangkutan. Indonsia memiliki beragam suku bangsa di mana

setiap suku bangsa memiliki adat tersendiri meskipun karena adanya sosialisasi

nilai-nilai dan norma secara turun-temurun dan berkesinambungan dari generasi

ke generasi menyebabkan suatu masyarakat yang ada dalam suatu suku bangsa

yang sama akan memiliki adat dan konsepsi yang relatif sama.

c. Kepercayaan

Kepercayaan berasal dari kata percaya, artinya mengakui, meyakini akan

kebenaran sesuatu. Keyakinan adalah suatu sikap yang ditunjukkan oleh manusia
22

saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai

kebenaran. Karena kepercayaan merupakan suatu sikap, maka kepercayaan

seseorang tidak selalu benar atau kepercayaan semata bukanlah jaminan

kebenaran. jika kepercayaan tidak ada maka keraguan akan muncul, dan

kesalahan akan sering kali menghalangi. Keyakinan sangat penting dalam

kehidupan seperti keyakinan dalam memeluk agama. Keyakinan adalah suatu

keadaan psikologis pada saat seseorang menganggap suatu itu benar. Jika diyakini

dalam satu hal, maka kepercayaan akan muncul, keyakinan dan kepercayaan

sangat berdampingan dalam hidup. Jadi kepercayaan adalah hal-hal yang

berhubungan dengan pengaturan atau keyakinan dan kebenaran.

Pada dasarnya, manusia memiliki naluri untuk menghambakan diri kepada

yang Mahatinggi, yaitu dimensi lain di luar diri dan lingkungannya, yang

dianggap mampu mengendalikan hidup manusia. Dorongan ini sebagai akibat atau

refleksi ketidakmampuan manusia dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup,

dan hanya yang Mahatinggi saja yang mampu memberikan kekuatan dalam

mencari jalan keluar dari permasalahan hidup dan kehidupan.

7. Pendekatan Sosiologi Sastra

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra

sebagai landasan teori dalam menganalisis cerita rakyat Pau-pauna Sawerigading.

Menurut pandangan teori ini, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan,

sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini

mengandung arti cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra

dan yang diacu oleh karya sastra.


23

Junus (1986: 3) mengemukakan bahwa yang menjadi pembicaraan dalam

telaah sosiologi sastra adalah sebagai berikut:

a. Karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya, yang mencatat kenyataan

sosiobudaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu;

b. Penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra;

c. Penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra

seorang penulis tertentu dan apa sebabnya;

d. Pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya

pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Maxis

yang berhubungan dengan pertentangan kelas;

e. Pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman; dan

f. Pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk

sastra.

Pada prinsipnya, menurut Laurenson dan Swingewood (dalam

Endraswara, 2013: 79) terdapat tiga prespektif berkaitan dengan sosiologi sastra,

yaitu: (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang

di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2)

penelitan yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan

(3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan

keadaan sosial budaya.

Strukturalisme genetik merupakan teori di bawah payung sosiologi sastra.

Strukturalisme genetik lahir dari seorang sosiolog Prancis, Lucion Goldmaan.

Kemunculannya disebabkan, adanya ketidakpuasan terhadap pendekatan

strukturalisme, yang kajiannya hanya menitikberatkan pada unsur-unsur intrinsik


24

tanpa memperhatikan unsur-unsur ekstrinsik karya sastra, sehingga karya sastra

dianggap lepas dari konteks sosialnya.

Strukturalisme genetik mencoba untuk memperbaiki kelemahan

pendekatan strukturalisme, yaitu dengan memasukkan faktor genetik di dalam

memahami karya sasra. Strukturalsme genetik sering juga disebut strukturalisme

historis, yang menganggap karya sastra khas dianalisis dari segi historis.

Goldmaan bermaksud menjembatani jurang pemisah antara pendekatan

strukturalisme (intrinsik) dan pendekatan sosiologi (ekstrinsik).

Goldmaan (dalam Junus, 1986: 26), juga beranggapan bahwa seseorang

(individu) tidak mungkin mempunyai pandangan dunianya sendiri. Dia

menyuarakan pandangan dunia suatu kelompok sosial, trans individu subjek.

Pandangan ini bukan lahirnya oleh seseorang dengan membawanya ke tingkat

kepaduan yang tinggi dalam bentuk ciptaan yang imaginatif atau pikiran yang

konseptual.

Goldman (dalam Anwar, 2010; 118) dalam bukunya Method in Sociology

of Literatur mengembangkan metode strukturalisme genetik dengan berangkat

dari hipotesis bahwa semua perilaku manusia didorong oleh manusia untuk

memberikan tanggapan yang berarti terhadap situasi dan kecenderungan-

kecenderungan tertentu dengan tujuan untuk mencapai keseimbangan yang lebih

baik. Bagi Goldman, seorang sastrawan menciptakan karya sastra pasti

mempunyai tujuan sosial untuk menanggapi realitas dan mencapai titik harmonis

dunia yang terdegradasi dan tidak seimbang. Hipotesis tersebut dilandasi bahwa

karya sastra adalah sebuah fakta kemanusiaan yang dihasilkan oleh prilaku subjek

tertentu (sastrawan) untuk memodifikasi dunia sekitarnya untuk mencapai


25

keseimbangan yang lebih baik antara dirinya dengan dunia sekitarnya

(masyarakat). Maka karya sastra bagi Goldman, tidak hanya sekadar dihubungkan

dengan bagian-bagian internal dalam struktur internalnya. Karya sastra juga harus

dihubungkan dengan dunia sosial dan perilaku subjek tertentu yang

melahirkannya.

Istilah subjek menurut Goldman adalah individu sebagai bagian dari

subjek kolektif, yaitu kelompok sosial yang gagasan-gagasan dan aktivitas-

aktivitasnya cenderung ke arah penciptaan sebuah pandangan dunia yang

kompleks dan menyeluruh mengenai kehidupan sosial manusia. Kelompok sosial

yang merupakan subjek kolektif menurut Goldman, adalah seniman, sastrawan,

penulis, filsuf yang merupakan individu-individu yang merupakan historis karya

sastra sebagai fakta kemanusiaan yang dihasilkan oleh subjek kolektif bagi

Goldman lahir dari sebuah ekspresi pandangan dunia. Goldman menyebut

pandangan dunia sebagai sesuatu gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaa-

perasaan yang kompleks dan menyeluruh, pandangan dunia itulah yang

menghubungkan subjek sastrawan dengan kelompok sosial tertentu dan

pandangan dunia itu juga yang membedakan atau mempertentangkannya dengan

kelompok sosial lainnya. Pandangan dunia, dalam prespektif Goldman, adalah

sebuah fakta historis dan fakta sosial. Pandangan dunia menjadi fakta sosial

karena mengandung serangkaian totalitas cara berpikir, merasa, dan bertindak

yang berasal dari kelompok sosial tertentu.

Metode kerja Goldmaan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Penelitian dilakukan terhadap satu novel yang dilihat sebagai suatu kesatuan,

tanpa pokoktambah di dalamnya. Apabila seseorang menulis lebih dari satu


26

novel, dan dihubungkan dengan perbedaan masa, akan memperlihatkan satu

perkembangan seperti yang diperlihatkannya dalam karya-karya Andre

Malraux.

2. Novel yang dianalisis hanya novel yang mempunyai nilai sastra, yang

biasanya mengandung ketenangan antara keragaman dan kesatuan yang

menjalin keragaman ini ke dalam suatu keseluruhan yang ada.

3. Oleh karena itu dia bekerja dengan cara berikut:

a. Seseorang mesti memuliakan dengan hipotesis yang menyeluruh tentang

hubungan antara unsur-unsur dan keseluruhan sebuah novel.

b. Hipotesis ini diperiksa berdasarkan keadaan dalam novel yang diselidiki itu,

sehingga dapat ditemui suatu model yang mungkin berbeda dengan hipotesis

awal.

4. Sesudah mendapatkan kesatuan dari keragaman sebuah novel, baru mungkin

dibuat hubungan dengan latar belakang sosial. Sifat hubungan itu ialah:

a. Yang berhubungan dengan latar belakang sosial hanyalah unsur kesatuan,

bukan unsur keragaman.

b. Latar belakang ini ialah pandangan dunia suatu kelompok sosial, yang

dilahirkan oleh seorang penulis sehingga iya dapat dikongkritkan.

Dengan begitu, hakikat struktural pada pendekatan Goldmaan in terletak

pada dua hal. Pertama, cara penelitian sastra itu sediri. Kedua, penghubungannya

dengan sosial budaya. Ini sesuai dengan pegertian ‘hubungan’ yang begitu penting

pada pendekatan strukturalisme.


27

B. Kerangka Pikir

Karya sastra seperti cerita rakyat dapat diteliti dan dikaji berdasarkan dua

unsur yang membangun yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik

adalah unsur yang membangun dari dalam, adapun unsur ekstrinsik adalah unsur

yang membangun dari luar.

Dalam penelitian ini, penulis ingin meneliti dari unsur ekstrinsik yang

mengfokuskan pada pengkajian nilai sosial budaya dalam cerita rakyat Pau-

paunna Sawerigading dengan pendekatan sosiologi sastra teori Goldman. Teori

Goldmaan bermaksud menjembatani jurang pemisah antara pendekatan

strukturalisme (intrinsik) dan pendekatan sosiologi (ekstrinsik). Nilai-nilai sosial

budaya yang penulis maksud adalah tata krama, moral, dan kepercayaan. Adapun

objek penelitian ini adalah buku terjemahan cerita rakyat Pau-paunna

Sawerigading yang dikisahkan kembali oleh Andi Abdullah pada tahun 1987.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan alur kerangka pikir di bawah ini :
28

Bagan Kerangka Pikir

Sastra Daerah

Cerita Rakyat
Pau-paunna Sawerigading

Unsur Intrinsik Unsur Ekstrinsik

Nilai Sosial Budaya

Moral Kepercayaan

Pendekatan Sosilogi Sastra


Teori Goldman

Temuan
29

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian pada hakikatnya merupakan strategi yang mengatur

ruang atau teknis penelitian agar memperoleh data maupun kesimpulan penelitian.

Menurut jenisnya, penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Oleh

karena itu, dalam penyusunan desain harus dirancang berdasarkan pada prinsip

metode deskriptif kualitatif, yang mengumpulkan, mengolah, mereduksi,

menganalisis dan menyajikan data secara objektif atau sesuai dengan kenyataan

yang ada di lapangan untuk memperoleh data. Untuk itu, peneliti dalam menjaring

data mendeskripsikan nilai sosial budaya yang terdapat dalam cerita rakyat Pau-

paunna Sawerigading sebagaimana adanya.

B. Jenis dan Fokus Penelitian

Berdasarkan objek masalah yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu

analisis nilai sosial budaya cerita rakyat Pau-paunna Sawerigading, maka jenis

penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif.

Penentuan metode ini atas pertimbangan bahwa metode ini sesuai dengan sifat

dan tujuan penelitian, dan pendekatan deskriptif diartikan sebagai prosedur

pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan

subjek dan objek penelitian dengan data-data yang tidak berhubungan dengan

angka atau ukuran. Dengan menggunakan metode ini diharapkan penulis

memberikan penjelasan dan informasi tentang gambar nyata secara objektif.

30
30

Adapun fokus penelitian berdasarkan judul penelitian analisis nilai sosial

budaya cerita rakyat Pau-paunna Sawerigading, maka dalam penelitian ini yang

menjadi fokus penelitian adalah nilai sosial budaya berdasarkan, tata krama,

moral, dan kepercayaan yang berkaitan dengan nilai budaya.

C. Definisi Operasional

Definisi operasional dimaksudkan untuk memberikan penjelasan mengenai

istilah-istilah yang digunakan agar terdapat kesamaan penafsiran dan terhindar

dari kekaburan. Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Cerita rakyat adalah suatu cerita dari zaman dahulu milik masyarakat yang

tumbuh dan menyebar di kalangan rakyat secara lisan dan turun temurun

sebagai sarana untuk menyampaikan pesan, amanat, dan hiburan.

2. Sosial budaya adalah suatu paham mengenai manusia yang senantiasa

mempengaruhi akal dan budi pekerti kehidupan yang ditandai dengan cipta

karya.

3. Moral adalah nilai yang melatarbelakangi sikap dan sifat seseorang dalam

kehidupan masyarakat atau sifat baik dan buruk yang ada dalam diri

seseorang.

4. Kepercayaan adalah meyakini akan kebenaran sesuatu atau hal-hal yang

berhubungan dengan pengaturan atau keyakinan dan kebenaran.

5. Sawerigading adalah putra mahkota dari kerajaan Luwu. Kerajaan tertua di

Sulawesi Selatan. Putra dari Batara Lattu dan We Opu Senggeng.

Sawerigading memiliki saudara kembar perempuan yang bernama We Tenri

Abeng.
31

D. Data dan Sumber Data

1. Data

Data dalam penelitian ini adalah kata, kalimat, ungkapan yang

mengandung nilai sosial budaya yang terdapat pada teks terjemahan cerita rakyat

Pau-paunna Sawerigading.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah buku cerita rakyat Pau-pauna

Sawerigading yang merupakan salah satu cerita rakyat dari daerah Luwu. Cerita

rakyat tersebut diperoleh dari hasil transliterasi dan terjemahan oleh Pananrang

Hamid dan dikisahkan kembali oleh Andi Abdullah yang disusun pada tahun 1987

sebagai dokumen budaya.

E. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, maka

pengumpulan data yang dilakukan adalah melaksanakan kegiatan observasi

terhadap teks yang dijadikan objek penelitian dengan mencatat nilai-nilai sosial

budaya yang terdapat pada buku cerita rakyat Pau-paunna Sawerigading.

Berpedoman pada teknik di atas, maka penulis dapat mengklasifikasikan

teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Teknik baca, yaitu dengan membaca secara keseluruhan buku cerita rakyat

Pau-paunna Sawerigading secara cermat dan berulang-ulang sehingga

menemukan kutipan-kutipan yang relevan dengan objek kajian.

2. Teknik catat/dokumentasi, yaitu mencatat bagian-bagian yang dianggap

relevan sebagai data.


32

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam menganalisis teks cerita rakyat

Pau-paunna Sawerigading menggunakan metode deskriptif analisis. Dalam

menganalisis data kualitatif berbagai langkah-langkah yang dilakukan sebagai

berikut:

1. Mengidentifikasi data atau teks yang diduga mengandung nilai sosial budaya;

2. Mengklasifikasikan nilai sosial budaya yang terdapat dalam buku cerita

rakyat Pau-paunna Sawerigading menurut jenisnya;

3. Menganalisis cerita rakyat berdasarkan konsep pendekatan sosiologi sastra

teori Goldman untuk memperoleh nilai sosial budaya secara utuh;

4. Mendeskripsikan hasil analisis dalam bentuk laporan penelitian.


33

BAB IV

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Penyajian Hasil Analisis

Pada bab ini akan diuraikan secara rinci hasil penelitian terhadap cerita

rakyat Pau-paunna Sawerigading dengan menggunakan analisis deskriptif. Hasil

penelitian ini akan dikemukakan beberapa data yang diperoleh sebagai bukti hasil

penelitian. Data yang akan disajikan pada bagian ini adalah data yang memuat

aspek-aspek sosial budaya sebagai salah satu unsur ekstrinsik pembentuk cerita.

Sebuah budaya memberikan warna yang kuat terhadap suatu kebijakan,

perilaku, dan dinamika komunitasnya. Dengan demikian, budaya diasumsikan

memiliki pengaruh yang relatif kuat terhadap perilaku komunitas yang

menganutnya. Implikasi budaya terlihat dalam berbagai aspek kehidupan

termasuk perilaku yang ada pada masyarakatnya. Sama halnya budaya yang

terdapat di Sulawesi Selatan, salah satunya yaitu budaya masyarakat Luwu. Luwu

terletak sekitar 367 km dari kota Makassar, daerah ini terkenal dengan cerita

Sawerigading. Dalam cerita ini ada banyak hal yang menarik untuk diteliti dan

dikaji dari segi sosial budayanya.

Setiap masa mewarisi kebudayaan dari masa sebelumnya. Warisan

tersebut tidak selamanya menjadi warna dominan yang berlaku dalam kehidupan

masyarakat sebagai pewaris kebudayaan tersebut. Warisan kebudayaan itu juga

mengalami pertemuan-pertemuan dengan manusia-manusia zaman lain dari

sejarah dengan warisan kebudayaan yang berbeda. Adakalanya kebudayaan

tersebut tersisih oleh kebudayaan yang datang atau sebaliknya. Kebudayaan

34
34

pendatang menempati ruang-ruang publik yang sepi dan kebudayaan setempat

memegang otoritas pengendalian kehidupan sosial. Warisan kebudayaan sebagai

salah satu fakta sejarah telah memberi sumbangan yang besar terhadap perubahan

manusia.

Nilai-nilai yang termasuk dalam kategori nilai sosial budaya pada cerita

rakyat Sawerigading sangat banyak ragamnya. Salah satu di antaranya adalah tata

krama, yang diartikan secara harfiah bermakna saling memanusiakan atau saling

hormat-menghormati sebagai manusia. Inti nilai tata krama tersebut adalah

kebersamaan dan solidaritas, sopan dan santun dalam bertindak dan berperilaku

merupakan instrumen yang melengkapi nilai moral sebagai etos budaya dalam

peradaban masyarakat Luwu. Berdasarkan pendekatan yang digunakan penulis

dalam menganalisis cerita rakyat Sawerigading, maka diharapkan dapat

mengungkapkan aspek nilai sosial budaya dilihat berdasarkan aspek kehidupan

menyangkut moral dan kepercayaan. Aspek nilai moral baik, terdiri dari tata

krama dan kesabaran. Sedangkan nilai moral buruk, terdiri dari sombong atau

angkuh.

Adapun hasil analisis data dapat dilihat berikut ini :

1. Moral Baik

Sebelum membahas persoalan moral, terlebih dahulu dapat didefinisikan

pengertian dari moral. Moral adalah nilai yang melatarbelakangi sikap dan sifat

seseorang dalam kehidupan masyarakat atau sifat baik dan buruk yang ada dalam

diri seseorang.

Moral sebagai bentuk sikap manusia yang harus dijaga dan selalu menjadi

hal yang dijunjung oleh masyarakat karena lewat perilaku itulah seorang manusia
35

atau masyarakat mendapat penghargaan. Tingkah laku yang tidak sesuai dengan

harapan dan bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat,

menjadikan seseorang kurang dihormati.

a) Tata krama

Tata krama berarti segala tindakan, perilaku, tegur sapa, ucap dan cakap

sesuai dengan kaidah atau norma tertentu dalam masyarakat. Dalam cerita

Sawerigading banyak ditemukan tata krama atau sopan santun dalam bertutur kata

layaknya seseorang yang saling menghormati satu sama lain. Hal ini penting

dalam hidup bermasyarakat sebagai mahkluk sosial dan hidup bermoral untuk

saling menghargai dan menghormati. Sudah sewajarnya yang muda lebih

menghormati yang tua terlebih kepada kedua orang tua yang telah melahirkan

kita. Hal tersebut tercermin dari tokoh Sawerigading yang sangat menghormati

Batara Lattu dan We Opu Senngeng selaku orang tuanya. Lebih jelasnya dapat

dilihat kutipan berikut:

“Beliau lalu datang sembah di hadapan ayah bundanya sambil berkata.


Mengapa gerangan ayah handa nan mulia menyatakan ananda ini sebagai
anak tunggal di negeri Luwu. Satu-satunya bayi yang telah lahir dari rahim
ibunda yang mulia We Datu Senngeng, padahal ketika ananda dalam
pelayaran ananda melihat ada sebuah Pajung Rakille dalam ruangan
ini”.(Data 12).

Berdasarkan kutipan di atas, menggambarkan ucapan yang sopan dan

santun yang diucapkan Sawerigading kepada orang tuanya yang sangat ia hormati.

Menghormati orang yang lebih tua dari kita terlebih kepada kedua orang tua yang

telah melahirkan kita ke dunia merupakan moral yang penting dalam kehidupan

bermasyarakat dan merupakan bagian budaya masyarakat Luwu.

“Jadi kenapa wahai yang mulia, di kala daku masih kecil yang mulia
menyatakan daku ini anak tunggal yang lahir dari rahimmu, mengapa
36

sekarang ananda mempunyai adik kembar, tentunya ibunda tercinta hanya


beromong kosong saja”.(Data 14)

“demikian ucapan We Datu Senngeng. Tenanglah sebentar kujelaskan


kepadamu wahai ananda tercinta, perihal bebuyutmu di petala langi’, di
permukaan bumi, dan di petala bumi, yang telah memperistrikan saudara
kembarnya, yang sama lahir dari satu ari-ari. Itulah sebabnya, maka kakekmu
yang bertahta di petala langi’ memesankan agar istana disekat, supaya kamu
berdua tidak saling bertemu. Sawerigading menjawab. Tidaklah demikian
halnya, wahai ibunda. Niscaya kabar bohonglah yang ibunda katakan
kepadaku, kendatipun menurut ibunda tadi, dia itu adalah saudara kembarku,
namun ia mesti kupersunting sebagai pendamping dalam kemuliaanku”.
(Data 16).

Menjadi keluarga bangsawan bukan semata-mata hanya menyandang

julukan tetapi haruslah berimbas pada praktek kehidupan kelurga bangsawan.

Keluarga bangsawan memiliki norma-norma sendiri yang berlaku bagi kelasnya.

Tutur kata, sikap, dan gaya hidup haruslah mencerminkan kewibawaan keluarga

bangsawan.

Kutipan di atas, menggambarkan percakapan yang sopan dan santun yang

dilakukan antara anak dan ibunya walaupun dalam hati Sawerigading ada rasa

jengkel karena mengetahui kebohongan yang dilakukan kedua orang tuanya

tentang rahasia bahwa Sawerigading mempunyai saudara kembar. Tetapi hal itu

tidak mengubah tutur kata, ucap dan cakap yang ia lontarkan kepada kedua orang

tuanya. Dapat di lihat kutipan lain yang menggambarkan tentang tata krama.

“tega nian dikau menginginkan diriku menjadi permaisurimu. Padahal


sesungguhnya, wahai kakanda kita berasal dari satu tabung emas. Bersama-
sama terkapar di atas tikar di tadah oleh sang dukun, lalu di pangku inang
pengasuh, mengapa demikian latah di kau berpikir”.

“ucapan kanda itu adalah tabu, menyebutkannya saja suda merupakan suatu
pantangan. Apalagi melakukan pernikahan antara dua orang yang bersaudara
kembar. tidak bakal jadilah panen (padi), pohon akan layu, demikian pula
tumbuhan takkan mendatangkan hasil, malahan penduduk tidak akan
berkembang, dan musibah akan melanda negeri”. (Data 17).
37

‘berkata pula We Tenriabeng mengulangi ucapannya, bahwa; kendatipun


daku menuruti kehendakmu wahai kakanda yang mulia, melanggar
pantangan, menentang aturan adat, dan melanggar tatanan sang dewata
pencipta, namun kita tidak akan mendapat restu dari seluruh rakyat banyak di
negeri Luwu”. (Data 18).

Kutipan di atas menggambarkan percakapan yang dilakukan We

Tenriabeng selaku adik Sawerigading dengan penuh sopan dan santun ketika

memberi semangat kepada saudara kembarnya untuk tidak melanjutkan

keinginannya itu. Dengan tutur kata yang lembut dari We Tenriabeng akhirnya

keadaan hati, jiwa, dan perasaan Sawerigading menjadi baik. Tata krama dalam

bertutur kata tidak terbatas hanya kepada orang tua, kakak, adik, saudara, teman,

bahkan terhadap musuh sekalipun haruslah yang sopan, sebab perkataan adalah

salah satu cermin kepribadian seseorang yang bermoral baik. We Tenriabeng

tetaplah bertutur kata yang sopan dan santun terhadap Sawerigading meskipun ia

tahu bahwa kakaknya yaitu Sawerigading telah salah berpikir, namun ia tetap

menghormati dan berucap yang sopan dengan tutur kata yang lembut selayaknya

seorang adik terhadap kakaknya sebagaimana mestinya.

Kelurga bangsawan adalah masyarakat dengan kelas sosial tinggi, karena

status mereka sebagai masyarakat yang tinggi, maka segala tingkah laku menjadi

suatu hal yang penting untuk dijaga. Penghormatan kepada mereka tidak boleh

berkurang atau tercoreng. Hal ini tergambar dalam diri We Tenriabeng yang tetap

santun terhadap Sawerigading. Kutipan lain yang menggambarkan tata krama

dalam bertutur kata juga ditemukan pada percakapan La Pananrang terhadap salah

seorang yang ingin mencelakai Sawerigading. Lebih jelasnya dapat dilihat kutipan

berikut:

“Apa gerangan kesalahan adindaku, sehingga dikau ingin mencelakainya.


Sekiranya dikau merasa beliau adalah kesalahan atas dirimu, maka ku mohon
38

maafmu, dan sediakanlah takaranmu untuk ku penuhi dengan emas sebagai


tumbal atas kesalahan adindaku itu”. (Data 36)

La Pananrang menjawab dengan sopan, sambil berkata “saya ini orang Luwu
yang sedang berlayar wahai adinda, sayapun orang Ware yang sedang
berperahu. Saya adalah kakakmu La Pananrang dari Luwu, putra La
Pangeriseng di Take Bira. Orang yang memutuskan perkara di Watampare.
Perahu emas cucunda baginda Batara Lattu di Luwu yang sedang dalam
pelayaran mencari jodohnya ke tana Ugi”. (Data 48).

Dari data di atas, menggambarkan tutur kata dari La Pananrang yang

merupakan kakak sepupu dari Sawerigading terhadap salah seorang yang ingin

mencelakai Sawerigading. Meskipun ia mengetahui hal tersebut tetap saja La

Pananrang bertutur kata yang sopan nan lembut sekalipun orang yang ingin

mencelakai adik sepupunya adalah orang yang baru ia kenal.

“maafkanlah adinda ratu, mari kita kembali ke kamar dan tenangkanlah


perasaan hatimu, lalu lupakanlah kandamu Opunna Ware’. (Data 96).

“Kanda lananrang, daku terkenang pada ayahanda di Luwu, yang sangat ingin
punya pelanjut generasi setelah beliau meninggal, namun tak direstui oleh
Sang Dewata. Seorang putrinya kawin di Rulawalette. Seorang putranya
merantau mengasingkan diri di negeri yang jauh”. (Data 98).

“penyakit jua hasilnya wahai adinda Dukkelleng, duka cita yang


berkepanjanganlah jadinya apabila adinda senantiasa mengenangkan orang-
orang kesayangan di Luwu”. (Data 98).

“maafkanlah diriku wahai adinda yang mulia, lupakanlah dahulu ayahandamu


di Luwu serta istrimu di Watampare, lalu pusatkanlah perhatian kepada
perantauan kita ke tanah Bugis semoga nian Topalanroe marahmati sehingga
selamatlah nian wakka ulaweng tumpangan kita tiba di ale Cina, kemudian
bersandinglah dengan I We Cudai sesudah itu, persembahkanlah kerbau
bertanduk emas”. (Data 98).

Dari kutipan di atas, menggambarkan percakapan antara Sawerigading

dengan La Pananrang selaku sepupunya, dan terlihat betapa mereka saling

menghargai dan menghormati satu sama lain sehingga tutur kata yang terucap

tetaplah santun dan sopan. Dalam bertutur kata tidak memandang strata sosial

seseorang, walaupun Sawerigading seorang raja, tatepi ia tetap sopan terhadap La


39

Pananrang. Ini penting dalam pembentukan moral generasi muda sekarang, karena

ketika kita diperhadapkan dengan orang banyak dalam masyarakat haruslah saling

menghargai dan menghormati. Kutipan yang lain juga dapat dilihat berikut:

“maafkanlah diri hamba wahai ibunda kiranya sudilah ibunda mengembalikan


harta benda milik Sawerigading. Ananda sungguh tidak sudi dijodohkan
dengan orang Luwu itu, ananda tidak rela tidur dengan sang pendatang, orang
berbulu dadanya, yang kumisnya dikuncir, yang air liurnya dapat
memadamkan api yang berkobar”. (Data 164).

“siapakah gerangan wahai ananda yang telah menyampaikan berita burung


kepadamu. Hanya anak tencajilah tidak mengenal akan ketampanan wajah
Opuna Were. Berulang kali rasanya ibunda telah menyarankan kepadamu
agar ananda memandang ke pendopo, manakala sawerigading sedang
menyabung ayam di sana, maksudnya supaya ananda dapat mengenal
wajahnya secara tepat. Jangan sampai kelak ada orang yang iri dan dengki,
sehingga menjelek-jelekkan diri si Luwu itu. Tetapi ananda selalu saja
berkata “aku tidak sudi memandangnya, kalaupun ada We Cudai
memandangnya, maka itu adalah We Cudai lain”. Nanda tak pernah sudi
mengenalnya. Inilah akibatnya jika nanda tidak mau menuruti nasehat orang
tua”. (Data 164).

Dari kutipan di atas, menggambarkan percakapan We Cudai dan ibunya.

We Cudai menolak atau ingin mengembalikan harta lamaran dari Sawerigading

karena ia mendapat kabar dari salah seorang dayang bahwa yang bernama

Sawerigading adalah yang dadanya berbulu, kumisnya dikuncir, dan air liurnya

dapat memadamkan kobaran api yang menyala. Meskipun demikian tetapi We

Cudai menyampaikan perasaan tak senangnya dengan sopan dan santun.

b) Kesabaran

Kesabaran adalah sebuah keutamaan yang menghiasi diri seorang

mukmin, di mana seseorang mampu mengatasi berbagai kesusahan dan tetap

berada dalam ketaatan meskipun kesusahan dan cobaan itu begitu dahsyat.

Nilai kesabaran dapat dilihat pada sikap sabar yang dimiliki oleh

Sawerigading ketika diperhadapkan pada dua pilihan, yaitu keinginannya untuk


40

menikahi We Tenriabeng atau We Cudai. Nilai kesabaran juga dapat dilihat ketika

Sawerigading menghadapi kesulitan dalam menemukan jodohnya di negeri Cina.

Cobaan demi cobaan senantiasa dihadapinya, mulai dari bertarung dengan

beberapa orang di tengah lautan selama melakukan perjalanan ke negeri Cina.

Kesabarannya dalam menghadapi sikap serta sifat We Cudai yang sempat

menolak lamaran Sawerigading. Lebih jelasnya dapat dilihat pada kutipan berikut:

“maka berangkatlah Sawerigading bersama segenap pengiringnya, diusung


dengan tandu bertudungkan payung emas, diiringi dengan sedu-sedan rakyat
banyak, serta diramaikan oleh banjir air mata’. (Data 32)

Kutipan di atas, menggambarkan betapa sabarnya Sawerigading dalam

mengahadapi cobaan hidupnya. Hal tersebut terlihat ketika Sawerigading tersudut

untuk memutuskan apakah menikahi We Tenriabeng saudara kembarnya sendiri,

ataukah menikahi We Cudai putri kerajaan Cina. Sawerigading akhirnya memilih

menikahi We Cudai, walaupun tantangan yang menghadang di hadapannya amat

besar. Putusan itu berimplikasi bahwa dia harus berlayar menyeberangi lautan

luas dan bersedia berperang melawan sekian banyak lawan yang menghadang.

Keputusan itu juga berimplikasi bahwa Sawerigading terpaksa harus

meninggalkan kemuliaannya sebagai pangeran kerajaan Luwu dengan segenap

kemewahannya. Namun demikian, pilihan Sawerigading itu sangat tepat karena

jika dia memaksakan untuk menikah dengan saudara kembarnya sendiri, maka

resikonya jauh lebih besar , bencana alam akan terjadi, panen tidak akan jadi, citra

kerajaan akan rusak, rakyat Tana Luwu akan menderita karena mengalami

peceklik yang sangat mendalam. Dengan kata lain, pilihan Sawerigading memang

berat bagi dirinya namun menyelamatkan rakyat kerajaan Luwu dari malapetaka.

“sebaiknya kanda La Nanrang dan La Massagunilah yang berangkat ke Cina


untuk bertanya langsung kepada baginda raja. Katakanlah wahai kakanda apa
41

gerangan kesalahan yang telah dibuat adinda. Apakah jumlah harta itu tidak
sesuai dengan kesepakatan sehingga beliau mengembalikannya”. (Data 172).

Dari data di atas, menggambarkan sifat sabar yang dimiliki Sawerigading

ketika menghadapi sikap sepihak yang diambil oleh Raja Cina menuruti keinginan

We Cudai untuk menolak atau mengembalikan lamaran yang sudah berlangsung

selama berhari-hari. Namun mengetahui hal tersebut Sawerigading justru bersifat

sabar dan memerintahkan La Pananrang untuk menghadap ke Raja Cina

menanyakan kesalahan apa sehingga Raja Cina mengembalikan lamaran

Sawerigading. Dalam kehidupan masyarakat Luwu hal ini merupakan siri’ yang

berarti malu atau merasa harga diri atau kehormatan telah dinjak-injak. Namun

dari data di atas, tokoh Sawerigading justru mengambil sikap sabar dan tidak

langsung mengambil tindakan buruk melainkan ia justru memilih untuk

membicarakan hal tersebut secara baik-baik terlebih dahulu. Kutipan lain yang

masih mencerminkan nilai kesabaran yang dimiliki Sawerigading juga dapat

dilihat pada kutipan berikut:

“demi kemuliaan Daeng Risompa, tiada mungkin aku meruntuhkan martabat


yang mulia, bahkan sekiranya ada selembarpun rambutnya yang gugur,
niscaya kutancapkan kembali. Kalaupun rambut adinda Daeng Risompa
ternyata ada terputus, niscaya akan ku sambung kembali. Namun mohon
perkenan paduka, kiranya aku tidak usah naik ke istana, untuk memaksakan
kehendak atas diri adindaku I Wecudai. Jangan sampai kelak aku mempunyai
anak keturunan, sedangkan orang banyak belum bosan mempergunjingkan
bahwa ibunda dari anak tersebut tidak lain adalah hasil perdamaian/pampasan
perang, tumbal para laskar, hasil keringat orang banyak. Kembalilah wahai
paduka ke istana, bujuklah putrinda. Nantilah manakala ia sadar dan patuh
pada nasehat orang tua, ananda akan datang di Latanete untuk bersanding
dengan Daeng Risompa di atas pelaminan. (Data 194).

Berdasarkan kutipan di atas, menggambarkan sifat sabar Sawerigading

untuk tidak egois atau memaksakan kehendaknya mempersunting We Cudai

dengan unsur paksaan bukan keikhlasan. Sawerigading memilih sabar menunggu


42

hingga hati We Cudai sadar dan patuh pada nasehat orang tuanya sehingga ikhlas

menerima Sawerigading menjadi suaminya. Tokoh yang memiliki sifat sabar juga

dimiliki oleh We Cimpau ibu angkat dari I Lagaligo. Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada kutipan berikut:

“hendak ku kemanakanlah jerih payahmu wahai ibunda, yang telah menjaga


diriku siang dan malam, sedangkan ibundaku I Wecudai ketika aku
dilahirkannya, hendak menjatuhkanku ke kolong rumah, biar dilalap oleh
anjing, diinginkannya pula agar aku ini dihanyutkan di sungai, dinaikkan ke
atas sebuah sampan dan dibiarkan hanyut oleh arus, untuk menjadi makanan
ikan-ikan buas di lautan. Untung saja ada ibundaku I Wecimpau yang
bermurah hati, memelihara, mengasuh, sehingga aku masih sempat hidup
dipermukaan bumi ini”. (Data 264).

Dari kutipan di atas, menggambarkan betapa baik dan sabarnya tokoh We

Cimpau dalam mengasuh dan membesarkan I Lagaligo hingga ia tumbuh besar.

Meskipun I Lagaligo bukanlah anak kandungnya sendiri, tetapi Wecimpau

mengasuhnya dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Hal ini sangat

berbanding terbalik dengan We Cudai yang merupakan ibu kandungnya sendiri

karena We Cudai tidak mengetahui betul sosok Sawerigading, sehingga ia

mengira La Galigo adalah anak yang ayahnya berbulu dadanya, yang kumisnya

dapat dikuncir, yang air liurnya dapat memadamkan api yang berkobar atau

dengan kata lain bertampang buruk dan menakutkan.

2. Moral Buruk

Moral buruk merupakan segala sikap atau tingkah laku tercela yang dapat

merusak kepribadian seseorang serta menjatuhkan martabat manusia. Adapun

moral buruk dalam cerita rakyat Pau-pauna Sawerigading adalah:

a) Kesombongan
43

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sombong berarti menghargai diri

secara berlebihan serta meninggikan diri dan angkuh. Sifat sombong termasuk

penyakit batin.

“murkalah I Wecudai mendengarkan ucapan La Oro Kelling, lalu ia berkata


sambil meludah. “rupanya engkau mengincar batang tubuhku, wahai La Oro
Kelling”. (Data 126).

“apakah dikau merasa telah memukau pandangan mataku ataukah engkau


telah memperdayakan bayangan (batin) ku di tengah malam buta, sehingga
engkau begitu lancang, wahai La Oro Kelling meminta sarungku, dan
memakainya dikala tidur di atas perahumu”. (Data 126).

Bukan kepalanng kemarahan I Wecudai, maka sambil meludah berkatalah ia.


“sungguh dirikulah yang engkau idamkan, wahai La Oro Kelling. Batang
tubuhkulah yang engkau kehendaki”. (Data 134).

Betapa murkanya Daeng Risompa. Maka ia pun menggerutu sambil


memalingkan muka, lalu meludah disertai ucapan. “tiada habis-habisnya La
Oro Kelling niscaya engkau mengidamkan diriku, batang tubuhkulah yang
engkau dambakan”. (Data 136).

Dari beberapa data kutipan di atas, gambaran mengenai sifat sombong

yang dilakukan oleh I Wecudai putri Raja Cina mencerminkan moral yang tidak

baik. I Wecudai merupakan kelurga bangsawan dengan kelas sosial tinggi, karena

status mereka sebagai masyarakat yang tinggi maka segala tingkah laku menjadi

suatu hal yang penting untuk dijaga. Menjadi keluarga bangsawan bukan semata-

mata hanya menyandang julukan tetapi haruslah berimbas pada praktek kehidupan

kelurga bangsawan. Keluarga bangsawan memiliki norma-norma sendiri yang

berlaku bagi kelasnya. Tutur kata, sikap, dan gaya hidup haruslah mencerminkan

kewibawaan keluarga bangsawan sehingga penghormatan kepada mereka tak

boleh berkurang atau tercoreng. Namun sikap dan sifat We Cudai dalam cerita

rakyat Sawerigading merupakan moral yang tidak baik, dan tidak sepantasnya

seorang putri raja yang merupakan kelurga bangsawan merendahkan orang lain.
44

b) Keangkuhan

Sikap angkuh lahir pada diri seseorang karena menganggap dirinya lebih

dan merendahkan orang yang hidup dalam kekurangan.

“maafkanlah diri hamba, wahai ibunda kiranya sudilah ibunda


mengembalikan harta benda milik Sawerigading. Ananda sungguh tidak sudi
dijodohkan dengan orang Luwu itu. Ananda tidak rela seketiduran dengan
sang pendatang, orang yang berbulu dadanya, yang kumisnya dikuncir, yang
air liurnya dapat memadamkan api yang berkobar”.
(Data 164).

“jikalau sekiranya kakanda We Jeka merasa sayang kepada si Luwu itu, maka
kawinlah dengannya dan anggap mati sajalah paduka La Tenripada”. (Data
166).

“maafkanlah ananda, kiranya ayahanda sudi mengembalikan harta bendanya


si perantau itu. Ananda takkan sudi dinikahkan/dijodohkan dengan si Luwu.
Nandapun tak ingin seketiduran dengan pendatang dari negeri asing, orang
yang berbulu dadanya, yang dapat dikuncir kumisnya, orang yang bersantap
sepanjang malam”. (Data 168).

Kutipan di atas, menggambarkan betapa angkuh dan keras kepalanya We

Cudai yang tidak mau mendengar nasehat dari siapapun untuk dinikahkan dengan

Sawerigading. Segala tingkah laku dan ucapan yang ia katakan tanpa ada

pertimbangan terlebih dahulu. Kutipan lain yang mencerminkan sifat angkkuh We

Cudai juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

“maafkanlah daku wahai inang pengasuh. Buatkanlah lubang yang cukup


besar di lantai rumah, lalu buanglah sang orok itu ke kolong rumah, biar
dimakan anjing, atau bawalah ia ke sungai, lalu naikkan ia ke atas sampan
agar dihayutkan arus yang deras, biar menjadi santapan ikan raksasa di lautan,
karena aku tak sudi mempunyai keturunan dari titisan darah orang yang
bertampang buruk dan menakutkan”. (Data 204).

Kutipan di atas, menggambarkan sifat angkuh dan keras kepalanya We

Cudai yang ingin membuang anaknya sendiri, We Cudai dalam berbuat atau

mengambil keputusan selalu menuruti hawa nafsunya atau keegoisannya tanpa

memikirkan terlebih dahulu baik dan buruknya. Namun demikian seiring dengan
45

perjalanan waktu kedewasaannya pun bertambah. Dia mulai sadar bahwa

putusannya untuk menyingkirkan anak kandungnya pada masa lalu adalah

putusan yang terburu-buru dan salah. Maka pada bagian akhir episode ini dia

secara jujur mengakui bahwa dia telah melakukan kesalahan besar. Kejujuran

seperti inilah yang dilihat Sawerigading sehingga dia ikhlas melupakan semua

yang dilakukan We Cudai terhadap Sawerigading sendiri dan Lagaligo, putranya.

3. Kepercayaan

Berhubungan dengan kepercayaan banyak wujud yang dapat diungkapkan

dalam kehidupannya sebagai perwujudan rasa cintanya terhadap sesuatu yang

dipercaya atau diyakini baik itu menyangkut keyakinan terhadap Tuhan maupun

hal-hal yang dianggap ghaib yang mampu memberi manfaat terhadap

kehidupannya. Adapun kepercayaan yang diyakini dalam cerita Sawerigading

menyangkut adat dan mitos.

a) Adat

Adat tidaklah berarti hanya sekadar kebiasaan. Adat sama dengan syarat-

syarat bagi kehidupan manusia. Jika adat dilanggar berarti melanggar kehidupan

manusia yang akibatnya bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan tetapi

juga oleh segenap anggota masyarakat. Dalam cerita rakyat Sawerigading, aspek

adat dalam kaitannya dengan nilai budaya dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“ucapan kanda itu adalah tabu, menyebutkannya saja sudah merupakan suatu
pantangan. Apalagi melakukan pernikahan antara dua orang yang bersaudara
kembar. tidak bakal jadilah panen (padi), pohon akan layu, demikian pula
tumbuhan takkan mendatangkan hasil, malahan penduduk tidak akan
berkembang, dan musibah akan melanda negeri”. (Data 17).

“kendatipun daku menuruti kehendakmu wahai kakanda yang mulia,


melanggar pantangan, menentang aturan adat, dan melanggar tatanan sang
46

dewata pencipta, namun kita tidak akan mendapat restu dari seluruh rakyat
banyak di negeri Luwu”. (Data 18).

“rupanya dikau tidak mengetahui wahai kakanda yang mulia, musibah yang
melanda Tompo Tikka. Orang banyak senantiasa berduka, lesung
ditelungkupkan dan biji padi hanya dikupas kulitnya untuk dimakan.
Bukankah kakanda Pallawangau kembar pula dengan kanda We Tenrirawe.
Namun begitu dungu pikiran hati kanda Pallawangan, sehingga ia menyintai
adik kembarnya. Dialah orang yang sama dungunya denganmu. (Data 20).

Pernikahan merupakan peristiwa sakral yang sangat penting dalam

kehidupan sepasang manusia. Pernikahan tersebut ditujukan untuk mewujudkan

sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia. Demikian agung tujuan pernikahan

itu. Namun, jika sebuah pernikahan tidak lagi dilandasi dengan niat semata-mata

mencari ridho Allah dan ridho orang tua serta ridhonya masyarakat setempat,

maka nilai kesakralan tentu akan sirna.

Dari beberapa kutipan di atas, menggambarkan kepercayaan atau adat

yang dianut oleh kerajaan Luwu bahwa apabila adat tersebut dilanggar maka akan

berimplikasi pada kesejahteraan rakyat menyangkut orang banyak. Jika

Sawerigading tetap berkeras hati untuk menikahi We Tenriabeng maka dampak

yang terjadi adalah bencana alam akan terjadi, panen tidak akan jadi, citra

kerajaan akan rusak, rakyat tanah Luwu akan menderita karena mengalami

peceklik yang sangat mendalam, dan hal tersebut erat kaitannya dengan

kepercayaan masyarakat Luwu yaitu melarang menjalin ikatan pernikahan dengan

saudara kembarnya karena masih merupakan ikatan sedarah dan dianggap

menyalahi adat dan kepercayaan yang dianut masyarakat setempat, begitu juga

larangan tersebut jelas haram bagi kita selaku umat muslim. Dengan kata lain,

pilihan Sawerigading memang berat bagi dirinya namun menyelamatkan rakyat

kerajaan Luwu dari malapetaka.


47

b) Mitos

“ketika semua perlengkapan sudah siap, siap pula perlengkapan perang. Maka
dibukakanlah “kutika” untuk memilih waktu yang dianggap baik untuk
memulai pelayaran Sawerigading menuju ke tanah Bugis. Salah satu kutika
menunjukkan, bahwa apabila mereka berlayar pada hari Ahad, malam ke 10
terbitnya bulan, tiba dengan selamat di tanah Bugis tanpa kesulitan.
Lamarannyapun diterima secara baik di Cina, tanpa ada perselisihan
pendapat. Akan tetapi ia tidak bakal mempunyai anak keturunan. (Data 28).

“sekiranya hari rabu beliau berlayar, pada malam ke 17 terbitnya bulan, maka
beliau akan terhalang peperangan sebanyak tujuh kali. Beliau akan tiba
dengan selamat di Cina. Bila ia meminang di Latanete maka beliaupun akan
diterima baik, akan tetapi bertepatan selesainya pengiriman mas kawin, tiba-
tiba I Wecudai membatalkan rencananya. Daeng Risompa mengurungkan
niatnya, hal itu disetujui oleh ayahandanya, raja Cina. Dikaupun secara
sembunyi-sembunyi datang ke Latanete dan kawin secara diam-diam dengan
I Wecudai, maka diapun melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itulah
nantinya menyebabkan berdamainya engkau dengan I Wecudai, baru pulalah
dikau terang-terangan menampakkan diri dan bersemayam di istana
Latanete”. (Data 30).

Dari kutipan di atas, menggambarkan kepercayaan yang bersifat mitos

yang diyakini masyarakat Luwu pada masa itu. Mitos merujuk pada cerita dalam

sebuah kebudayaan yang dianggap mempunyai kebenaran mengenai suatu

peristiwa yang pernah terjadi pada masa lampau. Masyarakat Luwu menggunakan

“kutika” dalam memilih waktu yang tepat ketika hendak bepergian. Kutika

merupakan kitab perhitungan hari-hari baik dan buruk menurut konsepsi budaya

masyarakat setempat. Pada dasarnya, mitos orang dahulu memiliki tujuan yang

baik untuk kelangsungan hidup keturunannya. Mitos dipercaya sebagai ajaran

nenek moyang tentang apa yang tidak boleh dilakukan agar tidak tertimpa

musibah.

Kutipan lain mengenai kepercayaan menyangkut mitos dapat juga dilihat

pada kutipan berikut:


48

“Mengapa hal itu dibingungkan. Bukankah ada Sang Walenrenge di Kawu-


Kawu yang merupakan pohon manurung bersama dengan istana Lakko
Manurunge Ri Luwu. Pohon itulah yang disuruh tebang, lalu buatlah perahu.
Itulah yang dikau kendarai sampai ke negeri Cina, di tempat kediaman I
Wecudai Daeng Risompa Punna Bolae Ri Latanete”. (Data 26).

Berbeda dengan kutipan sebelumnya, kutipan di atas menggambarkan

kepercayaan yang bersifat mitos yaitu mengenai pohon Welenreng yang dipercaya

oleh masyarakat Luwu pada masa itu adalah sebuah jenis pohon yang dipercaya

turun dari langit bersama dengan istana raja Luwu.

“beliau mampu menghidupkan kembali orang yang mati terbunuh, kecuali


orang yang mati karena penyakit tidak dapat dihidupkan kembali”(Data 6).

“beranjaklah Sawerigading melangkahi mayat itu sebanyak 3 x sambil


mengerahkan ilmu batinnya lalu berkata “apakah dikau sedang tidur wahai
orang-orang luka, kini daku membangunkanmu, sadar dan bangunlah, tega
nian hati kalian tidur tanpa tikar”. (Data 40).

Dari data kutipan di atas, menggambarkan kepercayaan mitos yang

diyakini masyarakat Luwu bahwa Sawerigading dapat menghidupkan kembali

orang yang meninggal akibat dibunuh, dan bukan orang yang meninggal karena

penyakit.

B. Pembahasan

Moral sebagai bentuk sikap manusia yang harus dijaga dan selalu menjadi

hal yang dijunjung oleh masyarakat karena lewat perilaku itulah seorang manusia

atau masyarakat mendapat penghargaan. Tingkah laku yang tidak sesuai dengan

harapan dan bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat,

menjadikan seseorang kurang di hormati.

Dalam cerita rakyat Pau-pauna Sawerigading penggambaran moral sangat

jelas dan kental dalam melihat sisi-sisi kehidupan baik persoalan individu maupun
49

persoalan publik. Walau ada beberapa perilaku yang kurang bermoral. Namun di

sinalah letak kejelasan moral yang baik. Moral yang baik dalam cerita

Sawerigading seperti tata krama banyak tergambar dari beberapa tokoh, seperti

We Tenriabeng, Sawerigading, La Galigo, dan We Cimpau.

Tata krama berarti segala tindakan, perilaku, tegur sapa, ucap dan cakap

yang sesuai kaidah atau norma tertentu dalam masyarakat. Dalam cerita

sawerigading banyak ditemukan tata krama atau sopan santun dalam bertutur kata

layaknya seseorang yang saling menghormati satu sama lain, hal ini penting

dalam hidup bermasyarakat sebagai mahkluk sosial untuk saling menghargai dan

menghormati. Sudah sewajarnya yang muda lebih menghormati yang tua terlebih

kepada kedua orang tua yang telah melahirkan kita ke dunia begitupun sebalikya

yang tua mengasihi kepada yang lebih muda, dan kesemuanya itu merupakan

moral yang penting dalam kehidupan bermasyarakat serta merupakan bagian

budaya masyarakat Luwu. Dan hal tersebut tercermin dari tokoh Sawerigading

yang sangat menghormati Batara Lattu dan We Opu Senngeng selaku orang

tuanya, meskipun dalam hati Sawerigading ada rasa jengkel karena mengetahui

kebohongan yang dilakukan kedua orang tuanya tentang rahasia bahwa

Sawerigading mempunyai saudara kembar. Tetapi hal itu tidak mengubah tutur

kata, ucap dan cakap yang ia lontarkan kepada kedua orang tuanya.

Menjadi keluarga bangsawan bukan semata-mata hanya menyandang

julukan tetapi haruslah berimbas pada praktek kehidupan kelurga bangsawan.

Keluarga bangsawan memiliki norma-norma sendiri yang berlaku bagi kelasnya.

Tutur kata, sikap, dan gaya hidup haruslah mencerminkan kewibawaan keluarga

bangsawan. Kelurga bangsawan adalah masyarakat dengan kelas sosial tinggi,


50

karena status mereka sebagai masyarakat yang tinggi maka segala tingkah laku

menjadi suatu hal yang penting untuk dijaga. Penghormatan kepada mereka tak

boleh berkurang atau tercoreng.

Perkataan adalah salah satu cermin kepribadian seseorang yang bermoral

baik. We Tenriabeng tetaplah bertutur kata yang sopan dan santun terhadap

Sawerigading meskipun ia tahu bahwa kakaknya yaitu Sawerigading telah salah

berpikir, namun ia tetap menghormati dan berucap yang sopan dengan tutur kata

yang lembut selayaknya seorang adik terhadap kakaknya sebagaimana mestinya.

Nilai moral baik yang kedua adalah kesabaran. Kesabaran adalah sebuah

keutamaan yang menghiasi diri seorang mukmin, di mana seseorang mampu

mengatasi berbagai kesusahan dan tetap berada dalam ketaatan meskipun

kesusahan dan cobaan itu begitu dahsyat. Nilai kesabaran dapat dilihat pada sikap

sabar yang dimiliki oleh Sawerigading ketika diperhadapkan pada dua pilihan,

yaitu keinginannya untuk menikahi We Tenriabeng atau We Cudai. Dan nilai

kesabaran juga dapat dilihat ketika Sawerigading menghadapi kesulitan dalam

menemukan jodohnya di negeri Cina. Cobaan demi cobaan senantiasa

dihadapinya, mulai dari bertarung dengan beberapa orang di tengah lautan selama

melakukan perjalanannya ke negeri Cina, dan kesabarannya dalam menghadapi

sikap serta sifat We Cudai yang sempat menolak lamaran Sawerigading.

Sawerigading tidak egois atau memaksakan kehendaknya mempersunting

We Cudai dengan unsur paksaan bukan keikhlasan. Sifat sabar yang dimiliki

Sawerigading ketika menghadapi sikap sepihak yang diambil oleh Raja Cina

menuruti keinginan We Cudai untuk menolak atau mengembalikan lamaran yang

sudah berlangsung selama berhari-hari mengajarkan kepada kita selaku generasi


51

muda untuk tidak gegabah dalam bertindak dan selalu berfikir positif terlebih

dahulu sebelum melakukan sesuatu. Sawerigading memilih sabar menunggu

hingga hati We Cudai sadar dan patuh pada nasehat orang tuanya sehingga ikhlas

menerima Sawerigading menjadi suaminya.

Moral buruk merupakan segala sikap atau tingkah laku tercela yang dapat

merusak kepribadian seseorang serta menjatuhkan martabat manusia. Sikap

sombong lahir pada diri seseorang karena menganggap dirinya lebih dan

merendahkan orang yang hidup dalam kekurangan. Sifat sombong termasuk

penyakit batin. Dalam cerita rakyat Sawerigading yang memiliki sifat sombong

dan angkuh tergambar dari tokoh We Cudai, karena pada bagian awal cerita We

Cudai tampil sebagai putri raja yang amat menyebalkan , sombong, dan keras

kepala yang kurang berhati-hati dalam menyatakan sesuatu dan selalu menuruti

hawa nafsunya atau keegoisannya. Namun demikian seiring dengan perjalanan

waktu kedewasaannya pun bertambah. Rasa keibuan mulai mengusiknya. Dia

mulai sadar bahwa putusannya untuk menyingkirkan anak kandungnya pada masa

lalu adalah putusan yang terburu-buru dan salah. Maka pada bagian akhir episode

ini We Cudai secara jujur mengakui bahwa dia telah melakukan kesalahan besar.

Kejujuran seperti inilah yang dilihat Sawerigading sehingga dia ikhlas melupakan

semua yang dilakukan We Cudai terhadap Sawerigading sendiri dan Lagaligo

putranya.

Berhubungan dengan kepercayaan banyak wujud yang dapat diungkapkan

dalam kehidupannya sebagai perwujudan rasa cintanya terhadap sesuatu yang

dipercaya atau diyakini baik itu menyangkut keyakinan terhadap Tuhan maupun

hal-hal yang dianggap ghaib yang mampu memberi manfaat terhadap


52

kehidupannya. Adapun kepercayaan yang diyakini dalam cerita Sawerigading

menyangkut adat dan mitos. Adat tidaklah berarti hanya sekadar kebiasaan. Adat

sama dengan syarat-syarat bagi kehidupan manusia. Jika adat dilanggar berarti

melanggar kehidupan manusia yang akibatnya bukan hanya dirasakan oleh yang

bersangkutan tetapi juga oleh segenap anggota masyarakat. Dalam cerita rakyat

Sawerigading, aspek adat dalam kaitannya dengan nilai budaya dapat dilihat pada

larangan untuk menikah dengan saudara kembar atau pernikahan incest.

Pernikahan merupakan peristiwa sakral yang sangat penting dalam

kehidupan sepasang manusia. Pernikahan tersebut ditujukan untuk mewujudkan

sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia. Demikian agung tujuan pernikahan

itu. Namun, jika sebuah pernikahan tidak lagi dilandasi dengan niat semata-mata

mencari ridho Allah dan ridho orang tua serta ridhonya masyarakat setempat,

maka nilai kesakralan tentu akan sirna.

Kepercayaan atau adat yang dianut oleh kerajaan Luwu bahwa apabila

adat tersebut dilanggar maka akan berimplikasi pada kesejahteraan rakyat

menyangkut orang banyak. Jika Sawerigading tetap berkeras hati untuk menikahi

We Tenriabeng maka dampak yang terjadi adalah bencana alam akan terjadi,

panen tidak akan jadi, citra kerajaan akan rusak, rakyat tanah Luwu akan

menderita karena mengalami peceklik yang sangat mendalam, dan hal tersebut

erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat Luwu yaitu melarang menjalin

ikatan pernikahan dengan saudara kembarnya karena masih merupakan ikatan

sedarah dan dianggap menyalahi adat dan kepercayaan yang dianut masyarakat

setempat, begitu juga larangan tersebut jelas haram bagi kita selaku umat muslim.
53

Dengan kata lain, pilihan Sawerigading memang berat bagi dirinya namun

menyelamatkan rakyat kerajaan Luwu dari malapetaka.

Selain kepercayaan adat ada juga kepercayaan yang bersifat mitos yang

diyakini masyarakat Luwu pada masa itu. Mitos merujuk pada cerita dalam

sebuah kebudayaan yang dianggap mempunyai kebenaran mengenai suatu

peristiwa yang pernah terjadi pada masa lampau. Masyarakat Luwu menggunakan

“kutika” dalam memilih waktu yang tepat ketika hendak bepergian. Kutika

merupakan buku perhitungan hari-hari baik dan buruk menurut konsepsi budaya

masyarakat setempat, karena merupakan hari yang dianggap sakral dan suci.

Untuk menentukan tanggal-tanggal yang baik sistem penanggalan atau persepsi

waktu dilakukan agar keselamatan yang akan dicapainya kelak jika melakukan

suatu pekerjaan.

Kepercayaan terhadap kutika pada masa lampau bagi sebagian masyarakat

beranggapan sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat, khususnya

masyarakat tradisional yang masih sangat kental budaya kedaerahannya. Mereka

kebanyakan mengabaikan logika dan lebih mempercayai hal-hal yang sudah turun

temurun dari nenek moyang. Pada dasarnya, mitos orang dahulu memiliki tujuan

yang baik untuk kelangsungan hidup keturunannya. Bagi sebahagian orang Luwu

ada yang percaya tentang mitos tersebut, ada juga masyarakat yang tidak

mempercayainya. Mitos dipercaya sebagai ajaran nenek moyang tentang apa yang

tidak boleh dilakukan agar tidak tertimpa musibah.

Selain kepercayaan terhadap kutika, dalam cerita rakyat Sawerigading

terdapat juga kepercayaan pada pohon walenreng yaitu pohon yang dipercaya oleh
54

masyarakat Luwu pada masa itu adalah sebuah jenis pohon yang dipercaya turun

dari langit bersama dengan istana raja Luwu.


55

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan penyajian hasil analisis data dan pembahasan, diperolah

kesimpulan nilai sosial budaya dalam cerita rakyat Pau-paunna Sawerigading

yang terdiri atas nilai moral dan kepercayaan. Nilia moral yang dimaksud terdiri

dari moral baik yaitu tata krama dan kesabaran, moral buruk yaitu kesombongan

atau angkuh, sedangkan kepercayaan terdiri dari adat dan mitos.

1. Moral baik

Tata krama berarti segala tindakan, perilaku, tegur sapa, ucap dan cakap

yang sesuai kaidah atau norma tertentu dalam masyarakat. Dalam cerita

sawerigading banyak ditemukan tata krama atau sopan santun dalam bertutur kata

layaknya seseorang yang saling menghormati satu sama lain, hal ini penting

dalam hidup bermasyarakat sebagai mahkluk sosial untuk saling menghargai dan

menghormati.

Kesabaran adalah sebuah keutamaan yang menghiasi diri seorang

mukmin, di mana seseorang mampu mengatasi berbagai kesusahan dan tetap

berada dalam ketaatan meskipun kesusahan dan cobaan itu begitu dahsyat.

2. Moral Buruk

Moral buruk merupakan segala sikap atau tingkah laku tercela yang dapat

merusak kepribadian seseorang serta menjatuhkan martabat manusia. sombong

berarti menghargai diri secara berlebihan serta meninggikan diri dan angkuh. Sifat

sombong termasuk penyakit batin.

57
56

Sikap angkuh lahir pada diri seseorang karena menganggap dirinya lebih

dan merendahkan orang yang hidup dalam kekurangan.

3. Kepercayaan

Adat tidaklah berarti hanya sekadar kebiasaan. Adat sama dengan syarat-

syarat bagi kehidupan manusia. Jika adat dilanggar berarti melanggar kehidupan

manusia yang akibatnya bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan tetapi

juga oleh segenap anggota masyarakat.

Mitos merujuk pada cerita dalam sebuah kebudayaan yang dianggap

mempunyai kebenaran mengenai suatu peristiwa yang pernah terjadi pada masa

lampau. Pada dasarnya, mitos orang dahulu memiliki tujuan yang baik untuk

kelangsungan hidup keturunannya. Bagi sebahagian orang Luwu ada yang

percaya tentang mitos tersebut, ada juga masyarakat yang tidak mempercayainya.

Mitos dipercaya sebagai ajaran nenek moyang tentang apa yang tidak boleh

dilakukan agar tidak tertimpa musibah.

Peneguhan karakter bangsa memang sebaiknya bemodalkan budaya lokal

yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran, kejujuran, dan saling

menghargai, sebagaimana yang banyak terkandung pada teks budaya (cultural

texts) Nusantara, salah satu di antaranya adalah cerita rakyat Pau-paunna

Sawerigading. Nilai-nilai moral baik yang dipaparkan di atas sebaiknya

ditransformasi dalam kehidupan pribadi dan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal ini penting, karena mengabaikan nilai-nilai tersebut dan nilai-nilai sejenis

lainnya, yang terpendam dalam khasanah budaya Nusantara, berarti kita turut

mempercepat runtuhnya budaya sendiri, tergerus oleh budaya yang tidak berakar

dari sejarah dan kearifan nenek moyang.


57

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, diajukan saran sebagai berikut:

1. Kepada mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

diharapkan dapat mengembangkan penelitian sastra dengan sebaik-baiknya,

khususnya yang meneliti nilai sosial budaya dengan pendekatan sosiologi

sastra.

2. Kepada peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih lanjut dan mendalam

mengenai nilai sosial budaya khususnya budaya masyarakat Luwu.

3. Kepada penikmat sastra khususnya mahasiswa yang ingin memahami suatu

karya sastra diharapkan supaya aktif mempelajari dan menganalisa karya

sastra, salah satunya cerita rakyat agar kemampuan mengapresiasi yang

dimiliki dapat berkembang.

4. Kepada masyarakat, sebagai bahan masukan untuk melihat nilai-nilai budaya

yang ada dalam suatu daerah khususnya nilai budaya masyarakat Luwu.
58

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Andi. 1987. Cerita Rakyat Pau-paunna Sawerigading. Ujung Pandang:


Balai Kajian Sejarah dan Nilai Nasional.

Ahmadin & Jumadi. 2009. Kapalli kearifan lokal orang selayar. Makassar:
Rayhan Intermedia.

Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Bahasa.

Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru


Argesindo.

Anwar, Ahyar. 2010. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Aryandini S, Woro. 2000. Manusia dalam Tinjauan Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.

Atmawati, Dwi. 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Semarang: Balai


Bahasa Provinsi Jawa Tengah.

Bungin, Burhan. 2008. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada.

Endraswara, Suwardi. 2013. Sosiologi Sastra Studi, Teori, dan Intepretasi.


Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha


Widia.

Jabrohim. 2014. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra Persoalan Teori dan Metode.Universitas


Malaya : Dewan Bahasa dan Pustaka.

Koentjaraningrat. 2009. Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:


GajahMadaUniversity Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan
Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Riyadi, Slamet, dkk. 1995. Cerita Anak-anak dalam Sastra Jawa. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
59

Setiadi, Elly M, dkk. 2005. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Bandung: Kencana.

Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada.

Sulaeman, Munandar. 2012. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: PT Rafika Aditama.

Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Penerbit Pustaka.

Apriliyan, Reny. 2009. Nilai Budaya Jawa dalam Novel Canting karya Arswendo
Atmowiloto. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar: Universitas Negeri
Makassar.

Garing, Jusmianti. 2010. Fenomena Sosial dan Budaya dalam Cerita Rakyat
Tanah Luwu, karya Idwar Anwar (dalam Bunga Rampai, nomor 22. ISSN
1412-3517). Balai Bahasa Ujung Pandang. Makassar: Departemen
Pendidikan Nasional.

Herlina. 2011. Analisis Sosial Budaya dalam Legenda Bunga Wallu’na


Pattirambana Luwu Utara. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar: Unismuh
Makassar.

Ram, Aminuddin. 2012. Nilai-nilai Luhur Episode Sawerigading dan We Cudai:


Sebuah Refleksi untuk Peneguhan Karakter Bangsa (dalam Bunga
Rampai, nomor 22 ISSN 1412-3517). Balai Bahasa Ujung Pandang.
Makassar: Departemen Pendidikan Nasional.

Ningsih, Setia. 2011. Hakikat Sastra Tradisional, (Online)


(http://darisetianingsih.wordpress.com/2011/06/19/hakikat-sastra-
tradisional/,diakses14 Juni 2014).
Eti Harwanti, lahir di Bone-bone pada tanggal 1 Januari 1992.

Penulis merupakan anak sulung dari empat bersaudara, buah

hati pasangan Ayahanda Saman dan Ibunda Sumarni.

Penulis memulai pendidikan pada jenjang pendidikan dasar di

bangku SD Negeri 359 Wonosari pada tahun 1998, dan tamat tahun 2003.

Selanjutnya, pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Madrasah

Tsanawiyah Al-Falah dan tamat pada tahun 2006. Kemudian pada tahun yang

sama, penulis melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 1 Belopa dan tamat

pada tahun 2009. Pada tahun 2010 Alhamdulillah penulis lulus dan terdaftar

sebagai mahasiswa pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Muhammadiyah

Makassar (UNISMUH), Perguruan Strata-1.

Berkat rahmat dan izin Allah swt serta iringan doa dari kedua orang tua

dan saudara, perjuangan panjang penulis dalam mengikuti pendidikan di

Perguruan Tinggi dapat berhasil dengan tersusunnya skripsi yang berjudul

“Analisis Nilai Sosial Budaya Cerita Rakyat Pau-paunna Sawerigading”.

Anda mungkin juga menyukai