Anda di halaman 1dari 78

ANALISIS GAYA BAHASA IRONI DALAM NOVEL

“TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK” KARYA HAMKA

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana


Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh
HULMIATI IDRIS
NIM : 10533 06492 10

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Analisis Gaya Bahasa Ironi dalam Novel Tenggelamnya


Kapal Van Der Wijck Karya Hamka

Mahasiswa yang bersangkutan :

Nama : Hulmiati Idris


NIM : 10533 06492 10
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Setelah diperiksa dan diteliti, maka Skripsi ini telah memenuhi persyaratan dan
layak untuk diujiankan.

Makassar, Oktober 2014

Disetujui Oleh
Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. H. Tjoddin SB , M. Pd. Haslinda, S. Pd., M. Pd.

Diketahui:
Dekan FKIP Ketua Jurusan
Unismuh Makassar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Dr. A. Sukri Syamsuri, M. H Dra. Munirah, M. Pd.


NBM : 858 625 NBM : 951 576

i
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Judul Skripsi : Analisis Gaya Bahasa Ironi dalam Novel Tenggelamnya


Kapal Van Der Wijck karya Hamka

Mahasiswa yang bersangkutan :

Nama : Hulmiati Idris


NIM : 10533 06492 10
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Setelah diperiksa dan diteliti, maka skripsi ini telah memenuhi persyaratan dan
layak untuk diujiankan.

Makassar, Oktober 2014

Disetujui Oleh
Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. H. Tjoddin SB, M. Pd. Haslinda, S. Pd., M. Pd.

Diketahui:
Dekan FKIP Ketua Jurusan
Universitas Muhammadiyah Makassar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Dr. A. Sukri Syamsuri, M. Hum. Dra. Munirah, M. Pd.


NBM : 858 625 NBM : 951 576

ii
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Hulmiati Idris


NIM : 10533 06492 10
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul Skripsi : Analisis Gaya Bahasa Ironi dalam Novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck Karya Hamka

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya ajukan di depan Tim
penguji adalah asli hasil karya saya sendiri dan bukan hasil ciptaan atau
dibuatkan oleh siapapun.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan dan saya bersedia menerima
sanksi apabila pernyataan ini tidak benar.
Makassar, Oktober 2014
Yang membuat pernyataan

Hulmiati Idris

Disetujui Oleh
Pembimbing I Pembimbing II

Drs. H. Tjoddin SB, M. Pd. Haslinda, S. Pd., M. Pd

iii
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

SURAT PERJANJIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Hulmiati Idris


Nim : 10533 06492 10
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Dengan ini menyatakan perjanjian sebagai berikut:


1. Mulai dari penyusunan proposal sampai selesainya skripsi ini, saya yang
menyusunnya sendiri (tidak dibuat oleh siapapun).
2. Dalam penyusunan skripsi, saya selalu melakukan konsultasi dengan
pembimbing yang telah ditetapkan oleh pimpinan fakultas.
3. Saya tidak melakukan penjiplakan (Plagiat) dalam menyusun skripsi.
4. Apabila saya melanggar perjanjian seperti butir 1, 2, dan 3, maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai aturan yang berlaku.

Demikian perjanjian ini saya buat dengan penuh kesadaran.

Makassar, Oktober 2014


Yang membuat perjanjian

Hulmiati Idris

Mengetahui,
Ketua Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Dra. Munirah, M. Pd.


NBM : 951 576

iv
MOTO DAN PERSEMBAHAN

Disetiap langkah, ada doa orang tua

Maka ingatlah mereka disetiap langkahmu

Karena setiap langkahmu, ada sebuah

Kunci kebahagiaan dan keberhasilan

Yang dititip pada dirimu...!!!

Kupersembahkan karya ini buat

Kedua orang tuaku, saudaraku, dan sahabatku,

Atas keikhlasan dan doanya dalam mendukung penulis

Mewujudkan harapan menjadi kenyataan.

V
ABSTRAK
HULMIATI IDRIS, 2014. Analisis Gaya Bahasa Ironi dalam novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka. Skripsi Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I H. Tjodding SB, dan pembimbing II
Haslinda.
Masalah utama dalam Penelitian ini yaitu bagaimana bentuk gaya bahasa
ironi yang digunakan dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka.
Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran yang jelas mengenai bentuk gaya
bahasa ironi yang digunakan Penulis dalam menulis novel tersebut
Jenis penelitian ini adalah penelitian studi pustaka dengan metode
deskriptif. Sumber data penelitian ini adalah novel Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck Karya Hamka. pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi,
klasifikasi, dan intropeksi. Seluruh data yang dikumpulkan diolah dengan
menggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa bentuk gaya bahasa dalam novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka berjumlah 3 jenis. Ketiga
jenis gaya bahasa ironi tersebut adalah (1) majas ironi verbal, (2) majas Ironi
situasional, (3) majas ironi dramatis.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka mengandung banyak
bentuk gaya bahasa terutama gaya bahasa ironi. Namun majas/gaya bahasa yang
dominan muncul adalah majas/gaya bahasa ironi situasional.

Kata Kunci: Gaya Bahasa Ironi, novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Karya Hamka.

vi
KATA PENGANTAR

Allah maha penyayang dan pengasih, demikian kata untuk mewakili atas
segala karunia dan nikmat-Nya. Jiwa ini takkan henti bertahmid atas anugerah
pada detik waktu, denyut jantung, gerak langkah, serta rasa dan rasio pada-Mu,
sang khalik. Skripsi ini adalah setitik dari sederetan berkah-Mu.

Setiap orang dalam berkarya selalu mencari kesempurnaan, tetapi


terkadang kesempurnaan itu terasa jauh dari kehidupan seseorang. Kesempurnaan
bagaikan fatamorgana yang semakin dikejar semakin menghilang dari pandangan,
bagai pelangi yang terlihat indah dari kejauhan, tetapi menghilang jika didekati.
Demikian juga tulisan ini, kehendak hati ingin mencapai kesempurnaan, tetapi
kapasitas ppenulis dalam keterbatasan. Segala daya dan upaya telah penulis
kerahkan untuk membuat tulisan ini selesai dengan baik dan bermanfaat dalam
dunia pendidikan, khususnya dalam ruang lingkup fakultas keguruan dan ilmu
pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar.

Motivasi berbagai pihak sangat membantu dalam perampungan tulisan ini.


Segala rasa hormat, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua
orang tua yang telah berjuang, berdoa, mengasuh, membesarkan, mendidik, dan
membiayai penulis dalam proses pencarian ilmu. Demikian pula penulis
mengucapkan terima kasih kepada keluarga yang tak hentinya memberikan
motivasi dan selalu menemaniku dengan candanya, kepada Drs. Tjoddin SB, M.
Pd., pembimbing I dan Haslinda, S. Pd., pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, arahan serta motivasi sejak awal penyusunan skripsi hingga
selesainya.

Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada; Dr. H. Irwan
Akib, M. Pd., rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, Dr. A. Sukri
Syamsuri, M. Hum., dekan Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas

vii
Muhammadiyah Makassar, Dr. Munirah, M. Pd., ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia serta seluruh dosen dan para staf pengawai dalam
lingkungan fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, Universitas Muhammadiyah
Makassar yang telah membekali penulis dengan serangkaian ilmu pengetahuan
yang sangat bermanfaat bagi penulis.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua
serta keluarga yang telah membiayai dan memberikan dorongan serta doanya
yang tak hentinya untuk anaknya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
teman seperjuanganku Ermawati, Adinda karmila, dan Besse Sulfiani yang selalu
menemaniku dalam suka dan duka, sahabat-sahabatku Nuryani Fitriah, Armawati,
Daipa dan Ahriadi serta seluruh rekan mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia angkatan 2010 atas segala kebersamaan, motivasi, saran, dan
bantuannya kepada penulis yang telah memberi pelangi dalam hidupku.

Akhirnya, penulis sangat berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi


perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pada Ilmu Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia.

Makassar, Oktober 2014

Penulis

Hulmiati Idris

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... ii

SURAT PERNYATAAN .................................................................................. iii

SURAT PERJANJIAN ..................................................................................... iv

MOTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v

ABSTRAK ......................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR....................................................................................... vii

DAFTAR ISI...................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1

A. Latar Belakang .................................................................................. 4

B. Rumsan Masalah............................................................................... 4

C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 4

D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA ......................................................................... 5

A. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 5

B. Kerangka Pikir.................................................................................. 26

BAB III METODE PENELITIAN ................................................................. 28

A. Jenis Penelitian dan Desain Penelitian ............................................. 28

B. Definisi Isitilah................................................................................. 28

C. Data dan Sumber Data...................................................................... 29

D. Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 30

ix
E. Teknik Analisis Data........................................................................ 31

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................. 32

A. Hasil Penelitian ................................................................................. 32

B. Pembahasan....................................................................................... 44

BAB V PENUTUP............................................................................................. 46

A. Simpulan........................................................................................... 46

B. Saran................................................................................................. 47

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 48

KORPUS DATA................................................................................................ 49

SINOPSIS .......................................................................................................... 53

BIOGRAFI HAMKA........................................................................................ 58

RIWAYAT PENULIS....................................................................................... 66

x
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Bahasa adalah sebuah sistem yang memadukan dunia makna dengan dunia

bunyi. Bahasa merupakan suatu sistem, itu berarti bahwa bahasa itu sistematis dan

sekaligus juga sistemis (Kushartanti, 2009: 6). Dengan menggunakan bahasa,

orang dapat mengemukakan buah pikiran atau isi hatinya, baik secara lisan

maupun tertulis. Bahasa lisan digunakan apabila mereka yang berbicara tidak

berhadapan langsung, tetapi dengan media, yang dalam salah satunya adalah

dalam bentuk surat. Bahasa merupakan salah satu unsur terpenting dalam sebuah

karya sastra.

Majas merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam

berbicara dan menulis untuk menyakinkan atau mempengaruhi penyimak dan

pembaca. Kata retorik berasal dari bahasa Yunani rhetor yang berarti orator atau

ahli pidato. Pada masa Yunani kuno, retorik memang merupakan bagian penting

dari suatu pendidikan. Oleh karena itu, aneka ragam majas sangat penting serta

harus dikuasai benar-benar oleh orang-orang Yunani dan Romawi yang telah

memberi nama bagi aneka seni persuasi ini.

Majas, kiasan atau Figure of speech adalah bahasa kias, bahasa indah yag

dipergunakan untuk meninggikan serta meningkatkan efek dengan jalan

memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan

benda atau hal lain yang lebih umum. Penggunaan majas tertentu dapat mengubah

dan menimbulkan nilai rasa atau konotasi tertentu.

1
2

Dalam mengungkapkan kata berhubungan dengan majas, tidak sembarang

kita mengucap, namun setiap yang ingin diucapkan, memiliki maksud tersendiri,

karena di dalam majas itu tersendiri terdapat banyak macam-macamnya (dalam

Mihdar : 2014).

Dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Hamka, cerita

ini sebenarnya diilhami peristiwa “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Kapal

yang berlayar dari pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Tanjung Periok,

Jakarta, itu tenggelam di Laut Jawa, Timur Laut Semarang, pada 20 oktober 1936.

Novel itu berkisah tentang Zainuddin, yang gagal mempersunting Hayati karena

perbedaan suku dan strata sosial. Zainuddin, yang berdarah campuran Minang-

Bugis, dianggap tak pantas mengawini Hayati, orang Minang tulen keturunan

pemuka suku di Batipuh, Padang Panjang, di Negeri Minangkabau. Zainuddin

berusaha mendobrak adat feudal saat itu. Hamka juga melukiskan denyut

perubahan di perkotaan Minangkabau. Perempuan tak lagi mengenakan baju adat

yang tertutup rapat melainkan berpakaian modern ala gadis Eropa. Kaum lelaki

mulai gemar menghamburkan uang di meja judi, seperti tokoh Aziz dalam buku

itu. Sang penulis begitu fasih dengan kultur masyarakat Minang dan

perubahannya pada zaman itu, karena dia sendiri hidup dalam kumparan masa

tersebut.

Penggunaan bahasa yang menarik dan unik, kadang-kadang membuat

pembaca tersenyum bahkan tertawa. Satu hal yang menjadi ciri khas penulisnya

adalah penggunaan gaya bahasa yang tampak pada novelnya. Tak hanya itu, cara
3

menulis novel ini pun tidak lepas dari kata-kata indah bahkan pujian. Penggunaan

gaya bahasa seperti inilah yang menjadi sorotan dalam penelitian ini.

Dalam kajiannya, bahasa juga melahirkan karya yang indah jika disusun

dengan pilihan kata yang bagus serta sarat dengan makna yang mendalam. Dalam

hal ini, bahasa digunakan sebagai media untuk berinteraksi antara penulis dan

pembaca. Penulisnya dapat mengekspresikan perasaan, gagasan, ideologi, dan

wawasannya melalui karyanya.

Pengarangnya memiliki ciri khas tersendiri dalam menyampaikan ekspresi

dan perasaannya. Kekhasan pengarang dalam menyampaikan gagasan dan

ekspresi tidak terlepas dari penggunaan gaya bahasa/majas (Hasman: 2011).

Melalui gaya bahasa, seseorang dapat mengenal kepribadian

pengarangnya, karena merupakan cerminan jiwa kepribadian pengarang. Dengan

gaya yang khas, pengarang dapat membuat penikmat karya sastra menggunggah

rasa keindahan berbahasa kepada pembaca.

Seorang pengarang dalam mengungkapkan gagasannya melalui kreasi

cipta karya sastra berbeda dengan melalui wacana ilmiah meskipun berangkat dari

ide yang sama. Wujud dari kreativitas pengarang tersebut salah satunya melalui

gaya bahasa. Gaya bahasa/majas bukanlah sekedar sebagai salah satu yang hanya

berfungsi untuk menghiasi dan melebih-lebihkan pernyataan dalam karangan,

yang memungkinkan timbul efek negatif. Unsur kebahasaan dalam novel

“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Hamka, merupakan sumber bahan

yang cukup luas untuk dipelajari. Penulis menggunakan pola kebahasaan yang

terfokus pada majas ironi.


4

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah pada

penelitian ini adalah bagaimana bentuk gaya bahasa ironi dalam novel

“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Hamka?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang ingin

dicapai adalah mendeskripsikan gaya bahasa ironi dalam Novel “Tenggelamnya

Kapal Van Der Wijck” karya Hamka.

D. Manfaat Penelitian

Dalam melakukan sesuatu semua orang pasti ingin apa yang dia lakukan

ada manfaatnya bagi orang lain. Begitu pula dalam penelitian ini, penulis

mengharapkan agar tulisan yang dibuat dapat bermanfaat dari berbagai kalangan.

Adapun manfaat penulisan penelitian tersebut secara teorities maupun praktis

yaitu :

1. Secara teorities, penelitian dijadikan sebagai sumber khasanah tentang sastra

Indonesia, bahan masukan atau referensi dan pengembangan wawasan

terhadap gaya bahasa ironi.

2. Secara praktis, penelitian ini memberikan konstribusi kepada berbagai pihak

yang terlibat dalam cakupan materi tersebut, mempermudah pemahaman

pembaca dan penikmat sastra, memberikan gambaran dan penafsiran terhadap

gaya bahasa ironi dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya

Hamka.
5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

1. Kajian Sastra

Kata “kajian” merupakan kata yang memiliki relevansi atau sinonim kata

yang hampir sama dengan kata, yaitu “penelaahan”, “penelitian”, “penyelidikan”,

dan “analisis”. Pengertian beberapa kata tersebut perlu dipahami, agar konsep

yang akan dipergunakan dalam pembahasan selanjutnya terfokus pada inti

masalah.

Menurut Sugondo (dalam Azis, 2012: 5), kata “penelaahan” merupakan

gabungan kata dasar “telaah” dengan konfiks pe+an. Kata telaah memiliki arti

penyelidikan; kajian; pemeriksaan; penelitian. Kata menelaah memelajari;

menyelidiki; mengkaji; memeriksa; menilik. Kata penelaah orang yang menelaah;

orang yang mengkaji, menyelidik; pemeriksa; peneliti. Kata penelaahan adalah

proses, cara, perbuatan, menelaah.

Menurut Sugondo (dalam Aziz, 2012: 5), kata “penelitian” berasal dari

kata dasar “teliti” dengan konfiks pe+an. Kata “teliti”. Kata dapat berarti (1)

cermat, saksama, (2) hati-hati, ingat-ingat. Kata “meneliti” berarti memeriksa

(menyediliki dsb). Sementara itu kata “peneliti” orang yang meneliti. Kata

“penelitian” dengan demikian, dapat berarti (1) pemeriksaaan yang teliti,

penyelidikan, (2) kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data

5
6

yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan

atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum.

Kata “analisis” artinya penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan,

perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab,

duduk perkaranya). Kata menganalisis menyelidiki dengan menguraikan bagian-

bagiannya. Penganalisis, dengan demikian orang yang menganalisis (menyelidiki

atau meneliti dengan menguraikan bagian-bagiannya). Sementara menurut

Sugondo(dalam Azis, 2012: 6)., kata penganalisisan adalah perihal (cara atau

perbuatan) menganalisis, penelitian (penyelidikan) dengan menguraikan bagian-

bagiannya.

2. Pengertian Apresiasi Sastra

Istilah apresiasi sastra berasal dari bahasa Inggris “apresiation” yang

berarti penghargaan, penilaian, pengertian. Bentuk itu berasal dari kata kerja

“tiappreciate” yang berarti menghargai, menilai, mengerti dalam bahasa

Indonesia menjadi mengapresiasi. Dengan demikian, yang dimaksud dengan

apresiasi sastra adalah penghargaan, penilaian, dan pengertian terhadap karya

sastra, baik yang berbentuk puisi maupun prosa atau suatu kegiatan menggauli

sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan,

kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan pikiran yang baik terhadap cipta sastra.

Apabila sastra dilihat sebagai sistem tanda karya seni yang pada umumnya

bermediakan bahasa, dan hadir untuk dibaca, dinikmati, dan dimanfaatkan, maka

pembelajaran sastra seharusnya ditekankan pada apresiasi. Menurut Hobby

(dalam Rimang, 2011: 213), secara leksikal istilah apresiasi mengacu pada
7

pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian, dan

pernyataan yang memberikan penilaian.

Istilah apresiasi dapat dimaknai dengan pernyataan seseorang yang secara

sadar merasa tertarik dan senang kepada sesuatu serta mampu menghargai dan

memandang hal yang dipilihnya itu mengandung nilai-nilai yang bermanfaat

dalam kehidupan. Sayuti (dalam Rimang, 2011: 214), apabila sastra dipandang

sebagai penjelmaan pengalaman sastrawan ke dalam medium bahasa sehingga

membentuk struktur yang rumit, apresiasi sastra dapat diartikan sebagai kegiatan

mengenali, memahami, dan menikmati pengalaman dan bahasa yang menjadi

jelmaan pengalaman tersebut, serta hubungan antara keduanya dalam struktur

keseluruhan yang terbentuk. Oemarjati (dalam Rimang, 2011: 214), menjelaskan

bahwa apresiasi berarti merespons dengan kemampuan afektif, memahami nilai-

nilai, sekaligus berupaya memetakan pola dan rata nilai yang diperoleh dari karya

sastra yang diapresiasi ke dalam proporsi yang sesuai dengan konteks

persoalannya.

Tingkat penerimaan seseorang terhadap karya sastra (novel) ada empat,

yaitu: (1) Tingkat reseftif adalah tahap penerimaan karya sastra menurut apa

adanya, (2) Tingkat reaktif adalah tahap pemberian reaksi terhadap sebuah karya

sastra, (3) Tingkat produktif adalah tahap pemberian reaksi terhadap karya sastra

yang dibacanya (dinikmati) dan sekaligus dapat memproduksi atau menelaah

karya sastra tersebut, (4) Tingkat implementatif adalah tahap memahami,

mengevaluasi, dan memproduksi sastra, serta dapat mewujudkan kebenaran yang

diperolehnya dari bacaan sastra dalam kehidupan sehari-hari.


8

Berdasarkan pernyataan di atas, maka disimpulkan bahwa apresiasi sastra

adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga

menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan

pikiran yang baik terhadap karya sastra.

Dalam konteks yang lebih luas, istilah apresiasi menurut Gove (dalam

Rimang, 2011: 214), mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan

kepekaan batin, dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan

yang diungkapkan berkesimpulan bahwa sebagai suatu proses, apresiasi

melibatkan tiga unsur, yakni:

a. Aspek Kognitif

Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca dalam

upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif. Unsur-unsur

kesastraan yang bersifat objektif tersebut, selain dapat berhubungan dengan unsur-

unsur yang secara internal terkandung dalam suatu teks sastra atau unsur intrinsik,

juga dapat berkaitan dengan unsur-unsur di luar teks yang secara langsung

menunjang kehadiran teks sastra itu sendiri.

b. Aspek Emotif

Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam

upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca. Selain

itu, unsur emosi juga sangat berperan dalam upaya memahami unsur-unsur yang

bersifat subjektif. Unsur subjektif itu dapat berupa bahasa paparan yang

mengandung ketaksaan makna atau bersifat konotatif-interpretatif serta dapat pula


9

berupa unsur-unsur signifikan tertentu, misalnya penampilan tokoh dan setting

yang bersifat metaforis.

c. Aspek Evaluatif

Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian

terhadap baik-buruk, indah tidak indah, sesuai-tidak sesuai serta sejumlah ragam

penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara

personal cukup dimiliki oleh pembaca. Dengan kata lain, keterlibatan unsur

penilaian dalam hal ini masih bersifat umum sehingga setiap apresiator yang telah

mampu meresponsi teks sastra yang dibaca sampai pada tahapan pemahaman dan

penghayatan, sekaligus juga mampu melaksanakan penilaian.

Adapun tahapan dalam apresiasi sastra, adalah:

1) Tingkat menggemari, yang ditandai oleh adanya rasa tertarik kepada buku-

buku sastra serta keinginan membacanya dengan sungguh-sungguh tentang

karya sastra dari berbagai bentuk.

2) Tingkat menikmati, yaitu menikmati cipta sastra karena mulai tumbuh

pengertian, merasakan nilai estetis saat membaca karya sastra dan

mendengarkan deklamasi.

3) Tingkat mereaksi, yaitu mulai ada keinginan untuk menyatakan pendapat

tentang cipta sastra yang dinikmati.

4) Tingkat produktif, yaitu mulai ikut menghasilkan cipta sastra di berbagai media

massa seperti koran, majalah atau majalah dinding sekolah yang tersedia, baik

dalam puisi, prosa atau drama. Wardani (dalam Rimang, (2011: 217).

5) Tingkat penikmatan.
10

6) Tingkat penghargaan, misalnya memetik pesan positif dalam cerita mengagumi

suatu karya sastra, meresapkan dan menghayati amanat yang terkandung dalam

puisi yang dibacanya atau yang dideklamasikan.

7) Tingkat pemahaman, misalnya mengemukakan berbagai pesan-pesan yang

terkandung dalam karya sastra setelah menelaah atau menganalisis unsur

intrinsik-ekstrinsiknya.

8) Tingkat penghayatan, misalnya melakukan kegiatan mengubah bentuk karya

sastra tertentu ke dalam bentuk karya lainnya.

9) Tingkat implikasi, misalnya mengamalkan isi sastra, mendayagunakan hasil

apresiasi sastra untuk kepentingan peningkatan harkat kehidupan. Suparman

(dalam Rimang, 2011: 218).

Tahapan di atas dapat dicapai apabila didukung oleh proses pembelajaran

keterampilan berbahasa seimbang. Pembelajaran apresiasi sastra harusnya

memiliki prinsip-prinsip dalam pencapaian pemahaman sebuah karya sastra,

yaitu:

1) Pembelajaran sastra berfungsi untuk meningkatkan kepekaan rasa pada budaya

bangsa.

2) Pembelajaran sastra memberikan kepuasan batin dan pengayaan daya estetis

melalui bahasa.

3) Pembelajaran apresiasi sastra adalah pembelajaran untuk memahami nilai

kemanusiaan di dalam karya yang dapat dikaitkan dengan nilai kemanusiaan di

dalam dunia nyata.

4) Pembelajaran apresiasi sastra bukan pelajaran sastra, aliran, dan teori sastra.
11

Adapun manfaat apresiasi sastra, diantaranya:

1) Melatih keempat keterampilan berbahasa.

2) Melatih keterampilan bernalar.

3) Menambah kemampuan memahami orang lain.

4) Menambah pengetahuan tentang pengalaman hidup manusia seperti adat

istiadat, agama, dan kebudayaan.

5) Membantu mengembangkan pribadi.

6) Membantu pembentukan watak.

7) Memberi kenyamanan.

8) Meluaskan dimensi kehidupan dengan pengalaman baru

9) Membantu menemukan jati diri seseorang.

10) Melatih kepekaan sosial.

3. Novel

Dalam the American College Dictionary, Tarigan (dalam Azis, 2011:11),

novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang

melukiskan para tokoh, gerak serta dengan adegan nyata refresentatif dalam suatu

alur atau suatu keadaan yang kacau atau kusut. Sementara dalam pandangan H.B.

Jassin (dalam Azis, 2011:11), novel sebagai karangan prosa yang bersifat cerita

yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang.

Sumardjo dan Saini (dalam Azis, 2011:11), berpendapat bahwa istilah novel sama

dengan istilah roman, kata novel berasal dari bahasa Italia dan berkembang di

Inggris dan Amerika Serikat. Roman dan novel memiliki perbedaan yakni bentuk

novel lebih pendek dibanding dengan roman, tetapi ukuran luasnya unsur cerita
12

hampir sama. Dalam bahasa Jerman istilah novel yaitu novelle, dan secara

harafiah novelle berarti sebuah barang baru yang kecil yang pendek dalam bentuk

prosa, Abrams (dalam Azis, 2011:12).

Novel sementara ini yang dikemukakan para ahli sastra sampai saat ini

belum ada patokan yang dapat diterima oleh semua pihak. Novel dalam arti umum

berarti cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas yaitu cerita dengan plot dan

tema yang kompleks, karakter yang banyak dan setting cerita yang beragam.

Novel merenungkan dan melukiskan realitas yang terlihat, dirasakan dalam

bentuk tertentu dengan pengaruh tertentu atau ikatan yang dihubungkan dengan

tercapainya gerak gerik hasrat manusia.

a. Ciri-Ciri Novel

Novel memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu lebih

banyak, lebih terinci, lebih detail dan lebih banyak melibatkan berbagai

banyak permasalahan yang lebih kompleks.

2) Kelebihan novel yang lebih khas adalah kemampuannya menyampaikan

permasalahan yang kompleks secara penuh, mengkreasikan sebuah dunia

yang “jadi”.

3) Unsur-unsur pembangun sebuah novel, seperti, plot, tema, penokohan dan

latar, secara umum dapat dikatakan bersifat lebih rinci dan kompleks.

4) Novel memiliki lebih dari satu plot: terdiri dari satu plot utama dan sub-sub

plot. Plot utama berisi konflik utama yang menjadi inti persoalan yang

diceritakan sepanjang karya itu. Sedangkan sub-sub plot adalah berupa atau
13

munculnya komplik tambahan yang bersifat menopang, memertegas dan

pengintensifkan komplik utama untuk sampai ke klimaks. Sub-sub plot

berjalan sendiri-sendiri, bahkan sekaligus dengan “penyelesaiannya” sendiri

pula, namun harus tetap berkaitan dengan yang lain, dan tetap dengan

hubungannya dengan plot utama.

5) Penokohan. Tokoh-tokoh cerita novel biasanya ditampilkan secara lebih

lengkap, misalnya yang berhubungan dengan ciri-ciri fisik, keadaan sosial,

tingkah laku, sifat dan kebiasaan, dan lain-lain, termasuk bagaimana

hubungan antar tokoh itu, baik hal itu dilukiskan secara langsung maupun tak

langsung. Kesemuanya itu, tentu saja akan dapat memberikan gambaran yang

lebih jelas dan konkret tentang keadaan para tokoh cerita tersebut. Itulah

sebabnya tokoh-tokoh cerita novel dapat lebih mengesankan.

6) Keutuhan cerita sebuah novel meliputi keseluruhan bab.

7) Novel dapat juga menawarkan lebih dari satu tema, yaitu satu tema utama dan

tema-tema tambahan. Hal ini sejalan dengan adanya plot utama dan sub-sub

plot tersebut yang menampilkan satu komplik utama dan komplik pendukung.

Tema-tema tambahan itu pun haruslah bersifat menopang dan berkaitan

dengan tema utama untuk mencapai efek kepaduan.

8) Novel, sebaliknya dapat saja melukiskan keadaan latar secara rinci sehingga

dapat memberikan gambaran yang lebih jelas, konkret, dan pasti. Walaupun

demikian, cerita yang baik hanya akan melukiskan detail-detail tertentu yang

dipandang perlu. Ia tak akan terjatuh pada pelukisan yang berkepanjangan


14

sehingga justru terasa membosankan dan mengurangi kadar ketegangan

cerita.

b. Unsur-Unsur Pembangun Novel

Hakikat setiap karya sastra mengandung unsur intrinsik dan ekstrinsik.

Unsur intrinsik novel adalah hal-hal atau unsur yang membangun karya sastra dari

dalam, sedangkan faktor ekstrinsik, mencakup faktor sosial, ideologi, politik,

ekonomi, kebudayaan.

Moody (dalam Rimang, 2011:23), mengemukakan bahwa unsur intrinsik

sebuah cerita fiksi mencakup, setting, characters, narrative, narrative technique,

language, dan ritme. EM. Forster, menyebutkan adanya tujuh unsur yang

membangunnya: cerita, orang/tokoh, alur, fantasi, pola, dan ritme.

Wellek dan Warren, berpendapat bahwa unsur membangun cerita fiksi itu

meliputi: plot, setting, characterization, dan setting. Dan Sumardjo,

mengungkapkan unsur pembangun fiksi yang meliputi: tema,karakter, plot, point

of view, setting, dan suasana.

c. Jenis-Jenis Novel

Novel dibagi tiga jenis yaitu novel percintaan, novel petualangan, novel

fantasi berikut, uraiannya:

1) Novel percintaan yaitu novel yang melibatkan tokoh wanita dan pria secara

seimbang bahkan kadang-kadang para wanita yang dominan pelakunya.

2) Novel petualangan yaitu novel yang hanya didominasi oleh kaum pria karena

tokoh pria dengan sendirinya akan melibatkan banyak masalah lelaki yang

tidak ada hubungan dengan wanita. Meskipun dalam jenis novel petualangan
15

sering ada pencintaan juga. Namun hanya bersifat sampingan belaka, artinya

novel ini semata-mata berbicara tentang petualangan saja.

3) Novel fantasi/hiburan yaitu novel yang hanya membicarakan tentang hal-hal

yang tidak realitas dan serta tidak mungkin dilihat dari pengamatan sehari-

hari. Novel ini hanya mempergunakan karakter yang tidak realitas, setting,

dan plot yang juga tidak wajar untuk menyampaikan ide-ide penulisnya.

Penggolongan di atas merupakan penggolongan pokok saja, sehingga

dalam praktiknya setiap jenis novel tersebut sering dijumpai dalam suatu novel.

Penggolongan jenis novel ini dengan sendirian hanya dapat dilakukan dengan

melihat kecenderungan mana yang terdapat dalam sebuah novel. Apakah lebih

banyak percintaan, perualangan, atau fantasi/hiburan. (dalam Rimang: 2011).

4. Gaya Bahasa/Majas

a. Pengertian Gaya bahasa/majas

Gaya bahasa/majas adalah gaya bahasa dalam bentuk tulisan maupun lisan

yang dipakai dalam suatu karanga yang bertujuan untu mewakili perasaan dan

pikiran dari pengarang. Gaya bahasa disebut pula majas.

Menurut Keraf 1984 : 112. Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal

dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata latin slilus,

yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan

alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak

pada waktu penekanan dititik beratkan pada keahlian untuk menulis indah, maka

style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau

mempergunakan kata-kata secara indah.


16

Karena perkembangan itu, gaya bahasa atau style menjadi masalah atau

bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya

pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untukmenghadapi situasi tertentu.

Sebab itu, persoalan gaya bahasa meliputi semua hirarki kebahasaan: pilihan kata

secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah

wacana secara keseluruhan. Malahan nada yang tersirat di balik sebuah wacana

termasuk pula persoalan gaya bahasa. Jadi jangkauan gaya bahasa sebenarnya

sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak-

corak tertentu, seperti yang umum terdapat dalam retorika-retorika klasik.

Walaupun kata style berasal dari bahasa Latin, orang Yunani sudah

mengembangkan sendiri teori-teori mengenai style itu. Ada dua aliran yang

terkenal, yaitu:

a. Aliran Platonik: menganggap style sebagai kualitas suatu ungkapan; menurut

mereka ada ungkapan yang memiliki style, ada juga yang tidak memiliki style.

b. Aliran Aristoteles: menganggap bahwa gaya bahasa adalah suatu kualitas yang

inheren, yang ada dalam tiap ungkapan.

Dengan demikian, aliran Plato mengatakan bahwa ada karya yang

memiliki gaya dan ada karya yang sama sekali tidak memiliki gaya. Sebaliknya

aliran Aristoteles mengatakan bahwa semua karya memiliki gaya, tetapi ada karya

yang memiliki gaya yang tinggi ada yang rendah, ada karya yang memiliki gaya

yang kuat ada yang lemah, ada yang memiliki gaya yang baik ada yang memiliki

gaya yang jelek.


17

Bila kita lihat gaya secara umum, kita dapat mengatakan bahwa gaya

adalah cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah laku,

berpakaian, dan sebagainya. Dengan menerima pengertian ini, maka kita dapat

mengatakan, “cara berpakaiannya menarik perhatian orang banyak”, “cara

menulisnya lain daripada kebanyakan orang”, “cara jaannya lain dari yang lain”,

yang memang sama artinya dengan “gaya berpakaian”, “gaya menulis”, dan “gaya

berjalan”. Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa.

Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan

seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya,

semakin baik pula penilaian orang terhadapnya; semakin buruk gaya bahasa

seseorang, semakin buruk pula penilaian diberikan padanya.

Akhirnya style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara

mengungkapkan pikiran melaui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa

dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).

Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut:

1) Kejujuran

Hidup manusia hanya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri dan bagi

sesamanya, kalau hidup itu dilandaskan pada sendi-sendi kejujuran. Kejujuran

adalah suatu pengorbanan, karena kadang-kadang ia meminta kita melaksanakan

sesuatu yang tidak menyenangkan diri kita sendir. Namun tidak ada jalan lain bagi

mereka yang ingin jujur dan bertindak jujur. Bila orang hanya mencari
18

kesenangan dengan mengabaikan segi kejujuran, maka akan timbullah hal-hal

yang menjijikkan

Kejujuran dalam bahasa berarti: kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah

yang baik dan benar dalam berbahasa. Pemakaian kata-kata yang kabur dan tak

terarah, serta pengunaan kalimat yang berbeli-belit, adalah jalan untuk

mengundang ketidakjujuran. Pembicara atau penulis tidak menyampaikan isi

pikirannya secara terus terang; ia seolah-olah menyembunyikan pikirannya itu di

balik rangkaian kata-kata yang kabur dan jaringan kalimat yang berbelit-belit tak

menentu. Ia hanya mengelabui pendengar atau pembaca dengan mempergunakan

kata-kata yang kabur dan “hebat” hanya agar bisa tampak lebih intelek atau lebih

dalam pengetahuannya. Di pihak lain, pemakaian bahasa yang berbelit-belit

menandakan bahwa pembicara atau penulis tidak tahu apa yang akan

dikatakannya. Ia mencoba menyembunyikan kekurangannya di balik berondongan

kata-kata hampa

Bahasa adalah alat untuk kita bertemu dan bergaul. Sebab itu, ia harus

digunakan pula secara tepat dengan memperhatikan sendi kejujuran.

2) Sopan santun

Yang dimaksud dengan sopan santun adalah memberi penghargaan atau

menghormato orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca. Rasa

hormat di sini tidak berarti memberikan penghargaan atau menciptakan

kenikmatan melalui kata-kata yang manis sesuai dengan basa basi dalam

pergaulan masyarakat beradab. Bukan itu! Rasa hormat dalam gaya bahasa

dimanifestasikan melalui kejelasan dan kesingkatan.


19

Menyampaikan sesuatu secara jelas berarti tidak membuat pembaca atau

pendengar memeras keringat untuk mencari tahu apa yang ditulis atau dikatakan.

Di samping itu, pembaca atau pendengar tidak perlu membuang-buang waktu

untuk mendengar atau membaca sesuatu secara panjang lebar, kalau hal itu bisa

diungkapkan dalam beberapa rangkaian kata. Kejelasan dengan demikian akan

diukur dalam beberapabutir kaidah berikut, yaitu:

a) Kejelasan dalam struktur gramatikal kata dan kalimat.

b) Kejelasan dalam korespondensi dengan fakta yang diungkapkan melalui

kata-kata atau kalimat tadi.

c) Kejelasan dalam pengurutan ide secara logis

d) Kejelasan dalam penggunaan kiasan dan perbandingan.

Kesingkatan sering jauh lebih efektif daripada jalinan yang berliku-liku.

Kesingkatan dapat dicapai melalui usaha untuk mempergunakan kata-kata secara

efisien, meniadakan penggunaan dua kata atau lebih yang bersinonim secara

longgar, menghindarkan tautologi, atau mengadakan repetisi yang tidak perlu.

Di antara kejelasan dan kesingkatan sebagai ukuran sopan santu syarat

kejelasan masih jauh lebih penting daripada syarat kesingkatan.

3) Menarik

Kejujuran, kejelasan serta kesingkatan harus merupakan langkah dasar dan

langkah awal. Bila seluruh gaya bhaasa hanya mengandalkan kedua (atau ketiga)

kaidah tersebut di atas, maka bahasa yang digunakan masih terasa tawar, tidak

menarik. Sebab itu, sebuah gaya bahasa harus pula menarik. Sebuah gaya yang

menarik dapat diukur melalui beberapa komponen berikut; variasi, humor yang
20

sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup, (vitalitas), dan penuh daya khayal

(imajinasi).

Penggunaan variasi akan menghindari monotoni dalam nada, sruktur, dan

pilihan kata. Untuk itu, seorang penulis perlu memiliki kekayaan dalam kosa kata,

memiliki kemauan untuk mengubah panjang pendeknya kalimat, struktur-struktur

morfologis. Humor yang sehat berarti; gaya bahasa itu mengandung tenaga untuk

menciptakan rasa gembira da nikmat. Vitalitas dan daya khayal adalah

pembawaan yang reangsur-angsur dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan

pengalaman.

b. Jenis-jenis gaya bahasa

Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandangan. Oleh

sebab itu, sulit diperoleh kata sepakat mengenai suatu pembagian yang bersifat

menyeluruh dan dapat diterima oleh semua pihak. Pandangan-pandangan atau

pendapat-pendapat tentang gaya bahasa sejauh ini sekurang-kurangnya dapat

dibedakan, pertama dilihat dari segi nonbahasa, dan kedua dilihat dari segi

bahasanya sendiri. Untuk melihat gaya secara luas, maka pembagian berdasarkan

masalah nonbahasa tetap diperlukan. Tetapi untuk memberi kemampuan dan

keterampilan, maka uraian mengenai gaya dilihat dari aspek kebahasaan akan

lebih diperlukan.

a) Segi nonbahasa

Pengikut Aristoteles menerima style sebagai hasil dari bermacam-macam

unsur. Pada dasarnya style dapat dibagi atas tujuh pokok sebagai berikut:
21

1) Berdasarkan pengarang: gaya yang disebut sesuai dengan nama pengarang

dikenal berdasarkan ciri pengenal yang digunakan pengarang atau penulis

dalam karangannya. Pengarang yang kuat dapat mempengaruhi orang-orang

sejamannya, atau pengikut-pengikutnya, sehingga dapat membentuk sebuah

aliran. Kita mengenal gaya Chairil, gaya Takdir, dan sebagainya.

2) Berdasarkan masa: gaya bahasa yang didasarkan pada masa dikenal karena

ciri-ciri tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu.

Misalnya ada gaya lama, gaya klasik, gaya sastra moderen, dan sebagainya.

3) Berdasarkan medium: yang dimaksud dengan medium adalah bahasa dalam

arti alat komunikasi. Tiap bahasa, karena struktur dan situasi sosial

pemakainya, dapat memiliki corak tersendiri. Sebuah karya yang ditulis

dalam bahasa Jerman akan memiliki gaya yang berlainan, bila ditulis dalam

bahasa Indonesia, Prancis, atau Jepang. Dengan demikian kita mengenal gaya

Jerman, Inggris, Prancis, Indonesia, dan sebagainya.

4) Berdasarkan subyek: subyek yang menjadi pokok pembicaraan dalam sebuah

karangan dapat mempengaruhi pula gaya bahasa sebuah karangan.

Berdasarkan hal ini kita mengenal gaya: filsafat, ilmiah (hukum, teknik,

sastra, dsb), populer, didaktik, dan sebagainya.

5) Berdasarkan tempat: gaya ini mendapat namanya dari lokasi geografis,

karena ciri-ciri kedaerahan mempengaruhi ungkapan atau ekspresi bahasanya.

Ada gaya Jakarta, gaya Jogya, ada gaya Medan, Ujung Pandang, dan

sebagainya.
22

6) Berdasarkan hadirin: seperti halnya dengan subyek, maka hadirin atau jenis

pembaca juga mempengaruhi gaya yang dipergunakan seorang pengarang.

Ada gaya populer atau gaya demagog yang cocok untuk rakyat banyak. Ada

gaya sopan yang cocok untuk lingkungan istana atau lingkungan yang

terhormat. Ada pula gaya intim (familiar) yang cocok untuk lingkungan

kelurga atau untuk orang yang akrab.

7) Berdasarkan tujuan: gaya berdasarkan tujuan memperoleh namanya dari

maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang di mana pengarang ingin

mencurahkan gejolak emotifnya. Ada gaya sentimental, ada gaya sarkastik,

gaya diplomatis, gaya agung atau luhur, gaya teknis atau informasional, dan

ada gaya humor.

Analisa atas sebuah karangan dapat dilihat dari ketujuh macam jenis gaya

tersebut di atas.

b) Segi bahasa

Dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan, maka

gaya bahasa dapat dibedakan berdasrkan titik tolak unsur bahasa yang

pergunakan, yaitu:

1) Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata.

2) Gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana.

3) Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat.

4) Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.

Gaya bahasa seseorang pada saat mengungkapkan perasaannya, baik

secara lisan maupun tulisan dapat menimbulkan reaksi pembaca berupa


23

tanggapan. Secara garis besar gaya bahasa terdiri atas empat jenis, yaitu majas

penegasan, majas pertentangan, majas perbandingan, dan majas sindiran. Dan

adapun gaya bahasa ironi, yang mempunyai manfaat serta peranan khusus dalam

penulisan sastra.

Ironi adalah sejenis gaya bahasa yang mengemukakan suatu hal dengan

makna yang berlainan, merupakan suatu kualitas dalam setiap pernyataan atau

situasi yang muncul dari kenyataan bahwa sesuatu yang wajar, yang diharapkan

tidak disebut atau dilaksanakan, tetapi diganti dengan kebalikannya. (dalam

Tarigan 2008: 173).

Menurut Waridah (2009 : 328), ironi adalah gaya bahasa untuk mengatakan

suatu maksud menggunakan kata-kata yang berlainan atau bertolak belakang

dengan maksud tersebut.

Menurut Keraf (1984 : 143) Ironi diturunkan dari kata eironeia yang berarti

penipuan atau pura-pura. Sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindiran adalah suatu

acuan yang ingin mengatakan sessuatu dengan makna atau maksud berlainan dari

apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi merupakan suatu upaya

literer yang efektif karena ia menyampaikan impresib yang mengandung

pengekangan yang besar. Entah dengan sengaja atau tidak, rangkaian kata-kata

yang dipergunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya. Sebab itu, oroni

akan berhasil kalau pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan di

balik rangkaian kata-katanya. Misalkan:

Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua

kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan seluruhnya!


24

Saya tahu Anda adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia ini yang

perlu mendapat tempat terhormat!

Ironi diperoleh dengan jalan ketidakpantasan, keanehan: sepasang yang

berlawanan, salah satu di antaranya mungkin menyembunyikan ataupun

mengungkapkan kebenaran yang nyata. Kontras merupakan esensi utama ironi.

Ironi dapat diciptakan dengan jalan mendasarkannya pada suatu pernyataan

tunggal; hasilnya disebut ironi verbal. Bila bahasa dan situasi bekerja sama

menciptakan ironi, hasilnya disebut ironi situasional.

Ironi merupakan kekuatan yang sangat ampuh hampir dalam semua karya

sastra. Ironi dapat dipakai dalam lelucon, satire, dan tragedi yang serius. Dengan

singkat, dapat dikatakan bahwa ironi merupakan pernyataan yang bermaksud

mengemukakan kebalikan arti literal atau makna harafiah kata-kata.

Dihubungkan dengan sarkasme dan sindirian ironi verbal dapat diperoleh

melalui pernyataan yang meremehkan persoalan ataupun pernyataan yang dilebih-

lebihkan. Kadang-kadang penulis mempergunakan kata-kata pujian untuk

menyatakan (secara tidak langsung) sesuatu kritik atau kecaman. Sebagai contoh,

kita sering mengatakan kepada teman yang sombong: “ Jangan terlalu rendah

hati, dong!” atau kepada teman yang malas: “Rajin benar, ya?” kepada yang

bodoh: “Aduh, pintarnya!”

Dalam situasi–situasi seperti ini, ironi dibedakan dari sarkasme terutama

sekali oleh nada: nada ironi sangat cenderung ke humor: sedangkan nada

sarkasme tajam serta menusuk.


25

Teknik lain untuk menciptakan ironi verbal adalah melalui suatu

pembalikan atau pemutar balikkan. Penulis, dengan jalan memanfaatkan konotasi-

konotasi yang telah menjadi sifat bahasa yang bersangkutan, menciptakan harapan

sesuatu hal, lalu menyajikan kebalikannya.

Ironi situasional acapkali bergantung pada hubungan timbal balik antara

bahasa dan peristiwa. Dalam hal seperti itu, kedwiartian (atau ambiguitas)

memegang peranan penting. Sebagai contoh, seorang ahli nujun buta berkata

seorang jejaka: “akan kita lihat nanti bahwa wanita idamanmu itu datang sujud

kepadamu!”. Di sini yang nujun buta membuat suatu permainan ironis terhadap

kata lihat. Ini merupakan teka teki, mengandung kedwiartian.

Ironi dramatis terjadi bila seorang tokoh dalam suatu drama mengerti

sesuatu hal, tetapi para penonton tahu pasti bahwa tokoh ini salah

mengartikannya. Ironi dramatis dapat ditingkatkan dengan penggunaan bahasa

terhadap ironi verbal dan ironi situasional dalam seluruh cerita.

Dari pembicaraan di atas jelaslah bagi kita bahwa ironi dapat berbuat lebih

banyak lagi, tidak hanya sekedar menunjang nada, tetapi merupakan bagian

integral dari makna karya tersebut. Sarkasme, permainan kata-kata, keterangan

yang meremehkan sesuatu masalah, dan pernyataan yang berlebih-lebihan

merupakan aneka bentuk ironi.

Selain daripada mengembang dwifungsi yang telah diutarakan tadi, saran-

saran kebahasaan dapat pula dipakai bagi penciptaan tamsil, perumpamaan,

perbandingan (atau imagery) yang turut memperindah sesuatu karya sastra.

(dalam Tarigan 2008: 174).


26

B. Kerangka Pikir

Kerangka pikir merupakan proses tentang alur pikir seseorang dalam

menganalisis dan memecahkan sesuatu persoalan atau masalah-masalah yang

akan dihadapi, serta memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang

diajukan dalam rumusan masalah.

Dalam penelitian ini, yang dijadikan sebagai sumber data adalah sebuah

karya sastra, yakni novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Hamka.

Novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Hamka, dipilih sebagai objek

penelitian sebab dalam novel tersebut ditemukan gaya bahasa/majas ironi yang

dipakai untuk mengatakan sesuatu maksud menggunakan kata-kata yang berlainan

atau bertolak belakang dengan maksud tersebut. Dalam gaya bahasa/majas ironi

dapat dibagi atas tiga jenis yaitu: ironi verbal adalah melalui pembalikan atau

pemutar balikkan, ironi dramatis terjadi bila seseorang tokoh dalam suatu drama

mengerti sesuatu, tetapi para penonton tahu pasti bahwa tokoh ini salah

mengartikannya, ironi situasi acapkali berhubungan timbal balik antara bahasa

dan peristiwa. Akan dibahas dalam penelitian ini adalah menentukan gaya

bahasa/majas ironi dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya

Hamka.
27

Untuk lebih jelasnya kerangka pikir ini dapat dilihat pada bagan berikut:

Karya Sastra

Novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Hamka

Gaya bahasa/ Majas

Majas Perbandingan Majas Sindiran Majas Penegasan Majas Pertentangan

Ironi

Analisis

Temuan

Bagan Kerangka Pikir


28

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian dan Desain Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk deskriptif kualitatif, yaitu berusaha

mengungkapkan dan mendeskripsikan apa adanya tentang kajian majas ironi

dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Hamka. Jenis

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan

(liberary research) dengan tinjauan kajian ironi. Jenis penelitian ini termasuk

penelitian analisis isi, karena peneliti berusaha mengungkap majas ironi yang

terdapat dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Hamka.

2. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan suatu proses yang sistematis untuk

memecahkan masalah, dengan dukungan data sebagai landasan dan mengambil

kesimpulan. Penelitian bukan hanya menerapkan proses sistematis, melainkan

juga dilakukan dengan metode ilmiah.

Adapun desain penelitian adalah sebagai berikut: langkah awal dengan

pemahaman terhadap hasil penelitian yang baik dengan judul, dengan maksud

agar penelitian dapat dilaksanakan secara maksimal, dilanjutkan mengadakan

studi kepustakaan, guna mengidentifikasi pemilihan dan perumusan masalah

penelitian.

28
29

Metode ini diartikan sebagai acuan atau konsep dalam meneliti masalah

dengan menggunakan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian

berdasarkan fakta.

B. Definisi Overasional Variabel

Setelah diidentifikasi, maka variabel perlu diberi definisi istilah. Istilah

yang dimaksud merupakan variabel inti dan kunci yang akan digunakan sebagai

variabel dalam penelitian ini.

Untuk memperjelas arah penelitian ini, maka perlu dijelaskan batasan

istilah yang terdapat di dalam penelitian. Adapun istilah tersebut adalah :

1. Gaya bahasa adalah cara penggunaan sistem tanda yang mengandung ide,

gagasan, dan nilai keindahan tertentu, yang digunakan pengarang.

2. Gaya bahasa ironi adalah sejenis gaya bahasa yang mengemukakan suatu hal

dengan makna yang berlainan, merupakan suatu kualitas dalam setiap

pernyataan atau situasi yang muncul dari kenyataan bahwa sesuatu yang

wajar, yang diharapkan tidak disebut atau dilaksanakan, tetapi diganti dengan

kebalikannya. Kajian terhadap majas Ironi dalam Novel “Tenggelamnya

Kapal Van Der Wijck” karya Hamka, dengan kata-kata pujian seseorang

tertarik untuk membaca novel tersebut.

C. Data dan Sumber Data

1. Data

Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keterangan atau bahan

nyata yang dapat dijadikan kajian (analisis atau kesimpulan). Data yang dimaksud
30

adalah gaya bahasa/majas ironi dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der

Wijck” karya Hamka.

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini, sumber data dari novel “Tenggelamnya Kapal Van

Der Wijck” karya Hamka. Novel ini dikarang oleh Hamka dan diterbitkan pada

tahun 1984 oleh P.T. Bulan Bintang. Novel “Tenggelamnya Kapal Van Der

Wijck” karya Hamka, terdiri atas 224 halaman dan merupakan cetakan yang

keenam belas dengan percetakan Tri Handayani Utama, Jakarta.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan dalam

mengumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian ini. Teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik baca dan

teknik catat.

1. Teknik Baca

Teknik baca dilakukan dengan cara membaca literatur dan sumber data

yaitu, Novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Hamka. Dalam teknik

baca penulis membaca secara keseluruhan isi novel dan mengaitkan dengan teori

yang digunakan sebagai dasar penelitian.

2. Teknik Pencatatan

Teknik pencatatan dilakukan dengan cara mencatat dalam kartu atau buku

yang telah disiapkan tentang hasil penelitian dan pengamatan terhadap majas ironi
31

dalam kalimat bahasa Indonesia dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der

Wijck” karya Hamka.

E. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, dilakukan analisis data kualitatif dengan cara

mengumpulkan data-data sehingga dapat dijadikan sebagai analisis deskriptif.

Analisis deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan penggunaan majas ironi

dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Hamka. Dari analisis

dapat dilihat bahwa terdapat banyak bahasa yang mengandung majas ironi dalam

novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Hamka, yang dapat di

analisis, adapun yang akan dijadikan acuan penelitian, meliputi :

1. Membaca berulang-ulang dan memahami cerita novel “Tenggelamnya Kapal

Van Der Wijck” karya Hamka.

2. Menelaah seluruh data yang diperoleh berupa gaya bahasa atau majas ironi

yang digunakan dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya

Hamka.

3. Mengungkapkan majas ironi yang terdapat dalam novel tersebut,

4. Bila hasil penelitian sudah dianggap sesuai, maka hasil tersebut dianggap

sebagai hasil akhir.


32

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Pada tinjauan pustaka telah diuraikan bahwa gaya bahasa adalah cara

mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa

dan kepribadian penulis. Untuk itu, maka berikut ini penulis akan menganalisa

majas atau gaya bahasa ironi yang dipakai pengarang dalam menulis novel yang

berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Hamka. Gaya bahasa yang

akan dianalisis dalam novel tersebut adalah gaya bahasa ironi. Gaya bahasa ironi

adalah sejenis gaya bahasa yang mengemukakan suatu hal dengan makna yang

berlainan, merupakan suatu kualitas dalam setiap pernyataan atau situasi yang

muncul dari kenyataan bahwa sesuatu yang wajar, yang diharapkan tidak disebut

atau dilaksanakan, tetapi diganti dengan kebalikannya. (dalam Tarigan 2008:

173).

Sindiran tersebut dilukiskan secara langsung maupun tidak langsung. Hal-

hal yang termaksudkan sindiran ironi meliputi kata-kata yang diucapkan tetapi

bertujuan untuk menyindir seseorang itu dan sebagainya.

Adapun yang termasuk dalam kelompok majas atau gaya bahasa ironi

adalah:

32
33

1. Gaya bahasa ironi verbal

Ironi verbal adalah melalui suatu pembalikan atau pemutarbalikkan. Penulis,

dengan jalan memanfaatkan konotasi-konotasi yang telah menjadi sifat bahasa

yang bersangkutan, menciptakan harapan sesuatu hal, lalu menyajikan

kebalikannya.

2. Gaya bahasa situasional

Ironi situasional acapkali bergantung pada hubungan timbal balik antara

bahasa dan peristiwa. Dalam hal seperti itu, kedwiartian (atau ambiguitas)

memegang peranan penting. Sebagai contoh, seorang ahli nujun buta berkata

seorang jejaka: “akan kita lihat nanti bahwa wanita idamanmu itu datang sujud

kepadamu!”. Di sini yang nujun buta membuat suatu permainan ironis terhadap

kata lihat. Ini merupakan teka teki, mengandung kedwiartian.

3. Gaya bahasa dramatis

Ironi dramatis terjadi bila seorang tokoh dalam suatu drama mengerti

sesuatu hal, tetapi para penonton tahu pasti bahwa tokoh ini salah

mengartikannya. Ironi dramatis dapat ditingkatkan dengan penggunaan bahasa

terhadap ironi verbal dan ironi situasional dalam seluruh cerita.

Agar sistematis dan kongkrit, maka dalam penyajian hasil analisis ini, penulis

menguraikan indikator penelitian yaitu gaya bahasa ironi. Di dalam menguraikan

hasil penelitian, penulis menguraikan secara sistematis sesuai dengan rumusan

masalah yaitu mendeskripsikan tentang penggunaan gaya bahasa ironi yang

digunakan dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Hamka.
34

Hasil penelitian mengenai kata-kata yang termasuk kata sindiran dilakukan

melalui pendekatan objektif dengan mendeskripsikan kata sindiran dan

menganalisis gaya bahasanya.

Sindiran ironi verbal

Adapun kutipan sebagai berikut:

“Meskipun dia akan diterima orang dengan muka manis”, yang terkandung di
dalam hati mereka pahit. Sebab dia tak berwang, kepulangannya
menimbulkan cemburu hati keluarga-keluarga dalam persukuan. (hal 14 : 4).

Kutipan tersebut bertujuan untuk menyindir Zainuddin yang tidak

mempunyai harta (wang) dan dipandang sebagai orang miskin di kampungnya

sendiri. Karena seseorang yang tidak mempunyai uang tidak dihargai dikalangan

masyarakat seperti yang terjadi pada saat jaman sekarang. Uang ibaratkan sebagai

harta yang harus dimiliki oleh semua umat manusia agar dihargai sesamanya.

Bukan orang tak suka kepadanya, suka juga tetapi berlain kulit dan isi.
Jiwanya sendiri mulai merasa bahwa meskipun dia anak orang Minangkabau
tulen, dia masih dipandang orang pendatang, masih dipandang orang jauh,
orang Bugis, orang Mengkasara. (hal 26 : 2).

Kutipan tersebut mengandung sindiran kepada Zainuddin karena orang

tuanya asli orang Minangkabau tulen tetapi dia terlahir di Makassar tetapi

dipandang bukan orang Minangkabau melainkan orang Makassar. Jika orang

mencintai lawan jenis harus memiliki semua yang menjadi penopang untuk

kehidupannya. Seperti hal yang terjadi pada Zainuddin yang berani mencintai

seseorang yang dianggapnya akan menerima dirinya apa adanya. Tetapi berlainan

dengan keluarganya yang melihat dari segi isinya.


35

“Ya engkau, kemarin saya bertemu dengan dia di Ekor Lubuk, ketika dia
kembali dari Padang panjang, kehujanan....”
“Dipinjaminya saya payung, sampai dia sendiri berbasah kuyup pulang” sela
Hayati, lalu diceritakannya pertolongan itu sejak dari awal keakhirannya.
“Ah berbudi sekali engkau Zainuddin”
“engkau pun serupa pula dengan Hayati, barang yang kecil itu dibesar-
besarkan. Padahal itu hanya suatu kewajiban.
Hayati merasa tersindir , ia ingat suratnya. Dan Datuk....menjawab, sambil
menaikkan pisang tertumbuk ke dalam mulutnya: “tidak Zainuddin, meskipun
hal itu engkau padang perkara kecil, bagi yang menerima budi, hal itu
dipandang besar artinya. Apalagi engkau anak pisang kami”. (hal 36 : 5).

Kutipan tersebut mengandung sindiran untuk Zainuddin karena suatu

pertolongan yang menurutnya baik tetapi dimata orang lain itu dinilai jelek

padahal dia hanya berniat untuk menolong sesamanya. Apalagi Hayati anak satu-

satunya. Mencintai bukanlah untuk kebahagian berdua karena jika kita melihat

apa yang menjadi keinginan keluarga besarnya maka semua akan bahagia. Seperti

Hayati hanya anak satu-satunya, besar keinginan keluarga melihat dia bahagia

yang mempunyai segalanya untuk masa depannya.

Ganjil benar keadaan di kampung kami sekarang. Karena pada beberapa


bulan yang lalu, datang kemari seorang anak muda dai Mengkasara, tentu
engkau ingat, Zainuddin namanya. Dia tinggal beberapa jauh dari rumahku,
dengan bakonya. Tetapi bako jauh. Tabiatnya yang halus menimbulkan
kasihan kita, tetapi di dalam kampung dia tidak mendapat penghargaan yang
semestinya. Sebab dia anak pisang, ayahnya seorang buangan yang telah mati
di rantau. Meskipun dia dibawa orang bergaul, dia tidak diberi hak duduk di
kepala rumah jika terjadi peralatan beradat-adat, sebab dia tidak berhak duduk
disitu. Bukanlah orang mencela perangainya, hanya yang dipandang orang
kurang ialah bangsanya. Alangkah kejamnya adat negeri kita ini, sahabatku.
(hal 38 : 4).

Kutipan tersebut mengandung sindiran karena Hayati mengatakan ada sesuatu

yang berbeda di kampungnya yaitu hadir seorang laki-laki yang bernama

Zainuddin yan berasal dari Mengkasara. Seseorang yang hadir dalam kehidupan

kita akan merubah semuanya mulai dari hal kecil hingga hal yang terbesar. Karena
36

itulah cinta, sesuatu yang dianggap sepele tapi berujung menyakitkan jika orang

itu putus silahturahmi. Makanya jika engkau jatuh cinta, jangan engkau terus

melihat kebahagian terus tapi sekali-kali berpikiran positif.

Renda yang engkau serahkan ketika akan pakansi sekolah telah hampir
selesai kukerjakan. Sedianya kalau bukan lantaran pikiranku kusut saja dalam
sebulan ini, renda itu telah lama selesainya. Tetapi apalah hendak dikata
kerap kali, rancangan yang telah kita kerjakan, terhenti di tengah-tengah
karena sepanjang hari hanya habis dalam keluhan, keluh mengingat teman
dan sahabat, mengingat hari kemudian yang masih gelap. (hal 39 : 2).

Kutipan tersebut mengandung sindiran karena pikiran Hayati kacau

disebabkan oleh seseorang yang bernama Zainuddin yang terus wajahnya

terbayang dan menghantui pikirannya. Sehingga Hayati tidak fokus terhadap apa

yang dia kerjakan. Seseorang yang mempunyai perasaan akan selalu dihantui oleh

berbagai pikiran tentang apa yang sedang terjadi pada dirinya. Berani membuka

hati untuk jawan jenis maka berani pula kita untuk sakit. Karena memang

begitulah cinta kadang bahagia, menangis, dan tertawa sendirinya.

“itu hanya bayangan, Hayati, sekali lagi saya katakan, itu hanya bayangan”.
Ujar khadijah. “engkau boleh menahan hatimu dengan pakaian yang buruk
dekat lakimu, boleh bersabar dengan rumah yang tak sederhana, jika hanya
berdua saja. Tetapi tak lama engkau dapat menahan hati mendengarkan
rayuan angin yang masuk dari celah tingkap rumahmu. Tak lama engkau
dapat menahan hati, melihat mata orang yang memandangmu dengan belas
kasihan. Ketika itu cinta itu akan berangsur surut, engkau mula-mula
menyesali nasib. Bila nasib telah disesali, tentu lama-lama pindah penyesalan
kepada yang menyebabkan datangnya nasib itu, ialah sih suami. Suaminya
pun demikian pula. Berapa banyak saya dengar orang yang telah bersuami,
mengatakan bahwa ada laki-laki yang mengatakan istrinya sial, mengatakan
istrinya menyebabkan dia dapat naas”. (hal 94 : 3).
Kutipan tersebut mengandung sindiran untuk Hayati karena menilai cinta

dengan kasih sayang yang tulus tanpa harus berwang untuk masa depannya kelak.
37

Tetapi ternyata hati Hayati tergoyang juga dengan kata-kata Khadijah untuk

bersuami orang yang berwang. Dan Hayati mengingkari janjinya kepada

Zainuddin.

Ironi situasional

Adapun kutipan sebagai berikut :

Hayati, berulang saya menanggung perasaan begini, seorang pun tidak ada
tempat saya mengadu. Saya tidur di surau bersama-sama teman. Mereka
ketawa, bersenda gurau, tetapi bilamana kuhening kupikirkan, emas tidak
juga dapat dicampurkan dengan loyang, sutera tersisih dari benang. Saya
telah mengerti segera bahasa Minangkabau meskipun dekat mereka saya
seakan-akan tak faham. Dari isyarat dan susun kata, dapat juga diketahui,
bahwa derajatku kurang adanya. Bakoku sendiri tidak mengaku say anak
pisangnya, sebab rupanya ayahku tak mempunyai saudara yang karib. Mereka
bawa saya menumpang selama ini, karena dipertalikan bukan oleh budi
bahasa, tetapi oleh wang, sekali lagi hayati, oleh wang!.(hal 41: 3).

Kutipan tersebut mengandung sindiran terhadap dirinya yang tak dianggap di

kampung kelahiran ayahnya cuman karena tidak berwang.

“Hai upik, baru kemaren kau memakan garam dunia, kau belum tahu belit-
belitnya. Bukanlah kau sembarang orang, bukan tampan zainuddin itu
jodohmu. Orang yang begitu tak dapat untuk menggantungkan hidupmu,
pemenung, pehiba hati, dan kadang-kadang panjang angan-angan. Di zaman
sekarang haruslah suami penumpangkan hidup itu seorang yang tentu
pencahariannya, tentu asal usul. Jika perkawinan dengan orang yang
demikian langsung, dan engkau beroleh anak, ke manakah anak itu akan
berbako? Tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak dengan
teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh lapuk oleh hujan, tak
boleh lekang oleh panas. (hal 61 : 4).

Kutipan tersebut mengandung sindiran kepada Hayati yang masih belum tahu

bagaimana keras hidup yang harus dialami kalau dia hidup bersama Zainuddin.

Karena menurut bakonya Zainuddin tidak mempunyai harta yang bisa

membahagiakan Hayati.
38

Memang berbeda sekali perasaan jiwa laki-laki dengan perempuan,


sebagaimana berlainnya kejadian tubuh kasarnya. Laki-laki dan perempuan
sama-sama mencukupkan kehidupan dengan percintaan. Tetapi filsafat kedua
belah pihak dalam perkara cinta amat berbeda, laksana perbedaan siang
dengan malam, tegasnya perbadaan Adam dengan Hawa. (hal 85:1)

Kutipan tersebut menyatakan perbedaan kehidupan yang terjadi saat itu.

Karena hanya perbedaan itu yang membuatnya merasa tersingkirkan dikota orang

tuanya sendiri. Dan perbedaan itu juga yang membuatnya harus terpisah dari

orang yang dia cintai yaitu Hayati. Karena ninik mamak hayati lebih memilih

keluarga Aziz yang kaya raya dan berpangkat.

Bertutur yang lemak manis dia pandai sekali, mula-mula malu dan enggan,
bahkan takut hayati berdekat dengan dia, maklumlah gadis kampung. Tetapi
“memikat” adalah kepandaian Aziz yang tersendiri. Sehingga keseganan dan
keberatan itu lama-lama hilang. Dia suka kepada Aziz sebab dia saudara
Khadijah, dan senantiasa bila melihat orang lain itu, perasaan belas kasihan
kepada Zainuddin bertambah-tambah juga. Belas kasihan! (hal 93:2).

Kutipan tersebut menyatakan bahwa Aziz yang kepandaian dalam memikat

seorang wanita tidak hanya dalam lingkungan luar rumah tetapi dia pandai juga

dalam lingkungan rumah seperti hal dalam memikat seorang Hayati yang mula-

mulanya begitu malu tetapi ujung-ujungnya dia berhasil memika wanita cantik itu.

“Tidak, khadijah!” jawab Hayati, “pendapatmu tak betul, cinta tak bergantung
kepada wang. Kalau dua orang yang bercinta dapat bertemu, kesenangan dan
ketenteraman pikirannya, itulah wang, itulah dia kekayaan, lebih dari gelang
mas, dukuh-berlian, pakaian cukup. Itulah kesenangan yang tak lekang
dipanas, tak lapuk dihujan”. (hal 94 : 3).

Kutipan tersebut mengandung sindiran kepada Hayati karena memandang

cinta tak bergantung pada wang. Yang terpenting bagi yaitu cinta yang dilandasi

dengan kesenangan, ketentaraman pikiran dan bahagia. Itu melebihi segalanya

dari pada wang.


39

Hidup di zaman sekarang berkehendak wang, Hayati, walaupun saleh dan


bagaimana tekur kita, keadaan yang sekeliling kita tidak dapat melepaskan
kita dari pada kungkungan, sedang Zainuddin tiadakan sanggup
menyelenggarakan hidupmu. Kalau lantaran keras seruan dunia itu,
Zainuddin tersesat memilih kehidupan dari pada jalan yang tiada halal, siapa
yang berdosa? Tidakkah engaku sendiri?. (hal 102 : 1).

Kutipan tersebut mengandung sindiran untuk Hayati bahwa kehidupan

sekarang harus berlandaskan wang. Karena melihat keras roda kehidupan yang

memaksa kita untuk memiliki wang.

“Bagaimana kalau dia makan hati berulang jantung sebab maksudnya tidak
sampai. Berapa banyaknya gadis-gadis yang membunuh diri lantaran tidak
bertemudengan yang dicintainya, atau dia mati merana saja?” kata Limah.
(hal 112:5).

Kutipan menyatakan bahwa kehidupan percintaan begitu banyak korban yang

menjadi celaka dalam menjalani yang namanya pacaran. Karena terlalu menyukai

pasangan sehingga dia rela mati bahkan kawin lari untuk hidup bersama tanpa

memikirkan apa yang terjadi di kehidupan yang akan datang.

Alangkah gelapnya dunia ini kupandang. Alam telah lengang dan sunyi, tidak
ada gerak yang membangunkan semangatku lagi, malam seakan-akan terus-
menerus saja, tidak sedikit juga berganti dengan siang. Kadang-kadang saya
rasai badan saya sebagai seorang yang terpencil jauh di tengah padang yang
tandus, tidak ada manusia yang lalu lintas di sana, tidak ada kali yang
mengalir, tidak ada daun yang digerakkan angin. Seakan-akan saya sudah
terbuang mencari jalan dan ikhtiar untuk keluar dari tempat itu, tetapi jalan
tidak kelihatan. Saya tunggu kelepasan dengan sabar, tetapihanya maut yang
melayang-layang. (hal 132 : 6).

Kutipan tersebut bermaksud untuk menyindir Hayati yang tidak mempunyai

perasaan kasihan atas dirinya yang sudah terbaring lemah dan mengharap suatu

keajaiban datang padanya. Karena dia telah putus asa semenjak ditinggal oleh

Hayati.
40

Tetapi kalau cinta telah mendalam, walaupun bagaimana tebalnya perasaan


sebagai laki-laki, badan meremuk juga laksana ayam kena penyakit menular.
(hal 139:3).

Kutipan menyatakan cinta Zainuddin kepada Hayati yang tak sampai. Karena

berbagai halangan dan rintangan yang selalu menghadang di antara hubungan

mereka. Tetapi Zainuddin menampakkan penderitaannya setelah lamaran dan

pernikahan Hayati dengan Aziz yang jatuh sakit dan terbaring lemah di tempat

tidur dua bulan lamanya.

Tak enak makan suamiku kelihatan lantaran girangnya, dia tersenyum-


senyum saja. Baru sebentar ini dia pergi menguruskan perlelangan barang-
barang kami. Dan heran sekali Khadijah ! Debar jantungku kian
keras,menyalahi kebiasaan orang yang akan didatangi suatu kegirangan. (hal
162:1).

Kutipan tersebut menyatakan penyesalan Hayati kepada Khadijah yang

semakin lama semakin membuatnya tersiksa dengan sikap dan perilaku Aziz yang

sudah berubah secara seratus persen kepadanya. Hayati tak pernah lupa dengan

Zainuddin yang berkata cinta yang dilandasi dengan hawa nafsu akan berakhir

dengan perceraian.

Zainuddin, memang bukan Zainuddin yang dahulu lagi. Cahaya mukanya


yang sekarang dalah lebih jernih, pakaian yang dipakainya lebih mahal dan
gagah dari dahulu. Meskipun mukanya tidak cantik, tetapi cahaya ilmu,
pengalaman, penanggungan, cahaya seni, semuanya telah memberinya bentuk
yang baru...(hal 169:7).

Kutipan menyatakan bahwa tidak selamanya orang yang mencintai kita

dengan tulus bisa memberikan kehidupan yang kita impikan seperti halnya

seorang Hayati yang meninggalkan Zainuddin karena tidak mempunyai harta.

Dengan sikap bangkit yang dia miliki mampu membuktikan bahwa dia bisa
41

bangkit dari semua perderitaanya bahkan Hayati melihat sendiri bagaimana

kehidupan Zainuddin sekarang.

Ironi dramatis

Adapun kutipan sebagai berikut:

Pada perkata-perkataan yang telah kau ucapkan, ternyata bahwa kasih


sayangku, bahwa cintaku telah kau terima. Bahwa pengharapan yang telah
putus, kau hubungkan kembali. Tetapi Hayati, ada yang perlu kuterangkan
padamu, supaya jangan engkau menyesal kemudian, orang sukai seorang
pemuda, karena sesuatu yang diharapkannya dari pada pemuda itu, misalnya
dia cantik dan gagah. Aku sendiri, sebagai yang kau lihat, begitulah
keadaanku, rupaku yang jelek tak pantas menjadi jodohmu, dan aku miskin.
Misalnya Allah menyampaikan cita-cita hatiku, dan engkau boleh menjadi
suntingku, menjadi istri yang mengobat luka hatiku yang telah bertahun-
tahun, agaknya akan malu engau berjalan bersanding dengan daku, karena
amat buruk memperdekatkan loyang dengan mas, mempertalikan benang
dengan sutera. Bagiku, Hayati, engkau sangat cantik. Kecantikanmu itu
kadang-kadang yang menyebabkan daku putus asa, mengingat buruk diriku
dan buruk untungku. (hal 49 : 2).

Kutipan tersebut mengandung sindiran untuk Hayati karena Zainuddin

merasa tidak pantas memiliki Hayati yang begitu sempurna dimatanya. karena

Zainuddin orang miskin.

Hayati takut akan kena cinta. Takut menghadapi cinta, itulah cinta yang
sejati. Dia memberi ponis “tidak cinta” kepada Zainuddin, artinya dia
memberikan ponis kematian kepada dirinya sendiri. Setelah agak jauh
Zainuddin berjalan, diapun tak tahan pula lagi, dia meniarap ke lantai di
dangau itu menahan hatinya, dan hati juga tertahan. (hal 53 : 2).

Kutipan tersebut mengandung sindiran untuk Hayati karena dia telah

membohongi perasaan yang ada di dalam hatinya bahwa dia tidak mencintai

Zainuddin. Dengan sikap yang membohongi perasaannya membuatnya tersiksa

sendiri.
42

“Apa, hayati?”
“Saya cinta akan dikau, biarlah hati kita sama-sama dirahmati Tuhan. Dan
saya bersedia menempuh segala bahaya yang akan menimpah dan sengsara
yang mengancam.
“Hayati .... kau kembalikan jiwaku! Kau izinkan aku hidup. Ulurkan
tanganmu, marilah kita berjanji bahwa hidupku bergantung kepada hidupmu,
dan hidupmu bergantung kepada hidupku. Yang menceraikan hati kita,
meskipun badan tak bertemu, ialah bila nyawa bercerai dengan badan.” (hal
55 : 6).

Kutipan tersebut mengandung sindiran untuk Hayati karena berani menerima

cinta Zainuddin dan berani bersumpah kepada Zainuddin. Bersumpah demi cinta

akan berakibat pada diri sendiri. Seperti yang terjadi pada Hayati yang berani

berkata begitu didepan Zainuddin, sehingga Zainuddin tidak bisa lupa akan

sesuatu kata-kata itu. Sampai saat itu dia tidak bisa melupakan hal itu. Baginya

cinta itu tulus dan murni tapi menyakitkan.

Khadijah memperlihatkan sebentuk cincin berliang yang indah memancarkan


cahaya yang gilang gemilang. Katanya: “inilah tanda mata dari tunanganku.
Selama ini belum saya suka membukakan ke engkau bahwa saya telah
bertunangan, sebab saya sangka engkau belum ada niatan hendak kawin.
Tetapi setelah saya ketahui bahwa engkau telah mencintai seorang yang
bukan jodohmu, saya katakan sekarang, bahwa hatiku tak senang kalau tak
saya katakan kepadamu hal yang sebenarnya. (hal 93 : 6).

Kutipan tersebut mengandung sindiran untuk Hayati yang berani menjalin

hubungan dengan Zainuddin secara diam-diam. Seorang sahabatnya yaitu

Khadijah yang menentang keras hubungannya dengan Zainuddin.

Alangkah lekasnya hari berubah, alangkah cepatnya masa berganti!


Apakah dalam masa sebulan dua saja istana kenang-kenangan yang telah kita
dirikan berdua, dihancurkan oleh angin puting beliung, sehingga dengan
bekas-bekasnya sekalipun tidak akan bertemu lagi? Ingatkah kau Hayati,
43

bahwa istana itu telah kita tegakkan di atas air mata kita, di atas kedukaan dan
derita kita? (hal 129 : 4)

Kutipan tersebut menyindir Hayati yang telah mengingkari janjinya yang

pernah diucapkan bersama Zainuddin dan kini menagi janji itu kembali. Tetapi

semua perkataan Hayati telah dia ingkari. Kini Zainuddin hanya bisa mengingat

kenang-kenangannya saja.

....kalau kau tahu! Sudah sedari lama keindahan dan kecantikan dunia ini
terlepas dari hatiku, laksana rontoknya bunga yang kekurangan air dari
jembangan. Sudah sekian lama kehidupan ini saya palsukan, saya hadapi
dengan hati remuk. Karena kekuasaan iblis telah merajalelah di atas hati
manusia. Cuma satu saja yang kulihat paling suci, ialah kau, kau sendiri!
Pada diri kaulah bertemunya lambang dari kesucian dan kemurnian, yang
dipenuhi oleh cinta yang ikhlas. Sebab telah kau sambut tanganku yang
lemah: sebab telah kau terima suaraku yang parau, diwaktu orang lain
membenciku, lantaran miskinku, papaku dan kurang bangsaku. Hanya kau
seorang!. (hal 131 : 3).

Kutipan tersebut bermaksud menyindir Hayati yang telah meninggalkannya

dan menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Disaat Zainuddin telah

merasakan kebahagian yang sudah hampir menjadi kebahagiaan yang sempurna.

Asal sengketa dan perselisihan jangan tumbuh, apa katanya diikut oleh
Hayati. Barang masnya telah habis, dokohnya, gelangnya, panitinya,
semuanya telah masuk rumah gadai. Tetapi yang sangat menyakitkan hati,
pernah dia menyesali beristeri perempuan kampung, sial. Perempuan yang tak
pandai mengobati hati suaminya. (hal 179:1).
Kutipan menyatakan penyesalan Aziz menikahi Hayati karena dia tidak bisa

membuang kebiasaan-kebiasaan orang kampungnya. Sementara Aziz kebiasaanny

menjalani hidup di perkotaan sehingga pergaulannya terlalu bebas. Dia tidak bisa

melupakan kebiasaan buruknya seperti yang dilakukan sewaktu dia belum

menikah.
44

Inilah yang mengherankan dalam pertalian budi bahasa dunia ini. Dia sangat
cinta, seluruh iramanya, ilham yang menerbitkan semangatnya mengarang,
semuanya ialah lantaran ingat akan Hayati. Sekarang Hayati telah ada dalam
rumahnya, tetapi tidak diacuhkannya. Itu adalah tersebab dari cinta yang
bermukim dalam hatinya bukan cinta kenafsuan, tetapi cinta murni. Cinta
yang menyebabkan mulia budi seorang pemuda yang dihinggapinya. (hal
185:2)
Kutipan tersebut menyatakan kepedihan Zainuddin karena melihat orang

yang dia cinta telah tinggal bersamanya tetapi dia telah menjadi milik orang lain

bukan miliknya. Penyesalan yang terdalam hati membuatnya malas untuk menulis

dan malas untuk tinggal dirumahnya. Sehingga dia banyak menghabiskan

waktunya diluar rumah sambil meratapi semuanya.

B. Pembahasan

Dari hasil penelitian penulis dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der

Wijck Karya Hamka, penulis menemukan beberapa ungkapan yang menggunakan

majas ironi yang berfungsi untuk menambahkan daya tarik pada novel tersebut

sehingga dapat menghipnotis pembaca novel bagi yang pembacanya atau

penikmatnya. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka benar–

benar berhasil merebut hati pembacanya sehingga misi yang ingin dicapai yaitu

menjadikan pelajaran yang bisa dipetik dari pengalamnya dan menghibur

pembacanya melalui kata-katanya yang menyentuh hati. Oleh karena itu, perlu

dipahami jenis majas atau gaya bahasa apa yang digunakan Hamka dalam novel

tersebut yang digunakan yaitu majas atau gaya bahasa ironi sehingga menciptakan

suatu kesan mental yang hidup dan menarik pada karyanya. Dan novel tersebut

diangkat dari kisahnya sendiri sehingga dapat menjadi pelajaran bagi yang

membacanya.
45

Gaya Bahasa Ironi Halaman Jumlah

1. Gaya bahasa ironi verbal Halaman 14, 26, 36, 38, 6

39, 94.

2. Gaya bahasa ironi situasional Halaman 41, 61, 94, 102, 11

132, 85, 93, 112, 139, 162,

169.

3. Gaya bahasa ironi dramatis Halaman 49, 53, 55, 93, 8

129, 131, 179, 185.


46

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan temuan data tentang bentuk gaya

bahasa ironi dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka

dalam penelitian ini, maka dapatlah ditarik kesimpulan, yaitu:

Penggunaan gaya bahasa ironi dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der

Wijck Karya Hamka adalah (1) Gaya/majas Ironi verbal (2) Gaya/majas Ironi

situasional, (3) Gaya/majas ironi dramatis,.

Gaya bahasa ironi adalah jenis gaya bahasa yang mengemukakan suatu hal

dengan makna yang berlainan, merupakan suatu kualitas dalam setiap pernyataan

atausituasi yang muncul dari kenyataan bahwa sesuatu yang wajar yang

diharapkan tidak disebut atau dilaksanakan, tetapi diganti dengan kebalikannya.

(Tarigan 2008 :17).

Sindiran tersebut dilukiskan baik secara implisit maupun secara eksplisit

atau dengan cara tidak lansung. Hal-hal yang dibandingkan meliputi manusia,

tingkah laku manusia itu sendidri, benda-benda alam, lingkungan sekitar, atau

peristiwa-peristiwa yang terjadi sehari-hari, dan sebagainya.

Adapun yang termasuk dalam kelompok gaya bahasa ironi adalah: 1) gaya

bahasa ironi verbal, 2) gaya bahasa ironi situasional, 3) gaya bahasa ironi

Dramatis. Keberadaan gaya ironi, ironi verbal, ironi situasional, dan ironi dramatis

46
47

dalam sebuah karya sastra sesungguhnya bukanlah menjadi syarat sahnya sebuah

karya sastra, tetapi paling tidak menjadi penanda kemenarikan sebuah novel

dengan berbagai macam gaya bahasa yang terdapat dalam novel tersebut.

Penggunaan majas ironi dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya

Hamka, telah memberi warna baru baik terhadap khasanah sastra Indonesia

maupun dalam hal terbantunya masyarakat atau penikmat pembaca novel dalam

memahami dan melihat sebuah karya sastra.

B. Saran

Adapun saran penulis dalam penelitian pustaka ini adalah :

1. Seorang peneliti sastra harus membekali dirinya dengan pemahaman yang

baik terhadap dasar-dasar sastra agar kajian sastra yang dihasilkan lebih

bermutu.

2. Hendaknya penelitian terhadap karya-karya sastra khususnya dalam

penggunaan gaya bahasa lebih ditingkatkan baik dari segi kualitas maupun

kuantitas.

3. Kiranya para pemerhati sastra dan masyarakat penikmat sastra dapat

meluangkan waktunya untuk pembaca novel-novel lebih khusus kepada

penikmat sebagai wujud apresiasi terhadap karya sastra khususnya sastra yang

lahir dalam daerahnya.


48

Daftar Pustaka

Ahmad Badrun. 1983. Pengantar Ilmu Sastra (teori sastra). Surabaya: Usaha
Nasional.

Arisyahria Mihdar. 2014. Analisis Penggunaan Majas Personifikasi Pada


Tayangan Opera Van Java Di Trans 7. Skripsi. Makassar:
Universitas Muhammadiyah Makassar.

Azis, Sitti Aida. 2011. Apresiasi dan Kajian Prosa Fiksi. Surabaya: Bintang.

Bahar, Dedi Fadli. 2012. Analisis Nilai Agama Dalam Roman Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck karya Hamka. Skripsi. Makassar: Universitas
Muhammadiyah Makassar.

Bagian-bagian Ironi di website Https: //Sites. Google. Com/ Site/Elisabethpristiwi/


Ironi

Desy Anwar. ..... Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Amelia Surabaya.

Ernawatti Waridah. 2009. EYD dan Seputar Kebahasa-Indonesiaan. Jakarta:


kawan Pustaka.

Gorys Keraf. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama.

Hamka. 1984. Tenggelamnya Kapal Vander Wijck. Jakarta: P.T. Bulan Bintang.

Hasman Pribadi. 2011. Analisis Gaya Bahasa Dalam Novel Negeri 5 Menara
Karya A. Fuadi. Skripsi. Makassar: Universitas Muhammadiyah
Makassar.
Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Lauder. 2009. Pesona Bahasa
Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Mustofa Sadikin. 2011. Kumpulan Sastra Indonesia. Jakarta: gudang Ilmu.

Rimang, Sitti Suwadah. 2011. Kajian Sastra Teori dan Praktis. Yogyakarta: Aura
Pustaka.

Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.


Bandung: Angkasa

48
49

Korpus Data

Gaya bahasa Ironi

Adapun kutipannya sebagai berikut:

1. “muka manis”, Artinya seseorang yang berpura-pura baik. (hal 14 : 4).

2. kulit dan isi. Artinya seseorang yang memiliki perbedaan baik materil
maupun non materil. (hal 26 : 2).

3. Apalagi engkau anak pisang kami”. Artinya anak satu-satunya dalam


keluarga. (hal 36 : 5).

4. Ganjil benar keadaan di kampung kami sekarang. Artinya ada seseorang


yang telah hadir di kampungnya. (hal 38 : 4).

5. pikiranku kusut. Artinya ada seseorang yang menghantui pikirannya serta


merasa senang dengan apa yang dia pikirkan. (hal 39 : 2).

6. Tetapi tak lama engkau dapat menahan hati mendengarkan rayuan angin
yang masuk dari celah tingkap rumahmu. Artinya ada seseorang yang ingin
merusak kehidupan rumah tangganya. (hal 94 : 3).

7. Hayati, berulang saya menanggung perasaan begini, seorang pun tidak ada
tempat saya mengadu. Saya tidur di surau bersama-sama teman. Mereka
ketawa, bersenda gurau, tetapi bilamana kuhening kupikirkan, emas tidak
juga dapat dicampurkan dengan loyang, sutera tersisih dari benang. Saya
telah mengerti segera bahasa Minangkabau meskipun dekat mereka saya
seakan-akan tak faham. Dari isyarat dan susun kata, dapat juga diketahui,
bahwa derajatku kurang adanya. Bakoku sendiri tidak mengaku say anak
pisangnya, sebab rupanya ayahku tak mempunyai saudara yang karib. Mereka
bawa saya menumpang selama ini, karena dipertalikan bukan oleh budi
bahasa, tetapi oleh wang, sekali lagi hayati, oleh wang!.(hal 41: 3).

8. Memang berbeda sekali perasaan jiwa laki-laki dengan perempuan,


sebagaimana berlainnya kejadian tubuh kasarnya. Laki-laki dan perempuan
sama-sama mencukupkan kehidupan dengan percintaan. Tetapi filsafat kedua
belah pihak dalam perkara cinta amat berbeda, laksana perbedaan siang
dengan malam, tegasnya perbadaan Adam dengan Hawa. (hal 85:1)

9. Bertutur yang lemak manis dia pandai sekali, mula-mula malu dan enggan,
bahkan takut hayati berdekat dengan dia, maklumlah gadis kampung. Tetapi
“memikat” adalah kepandaian Aziz yang tersendiri. Sehingga keseganan dan
keberatan itu lama-lama hilang. Dia suka kepada Aziz sebab dia saudara

49
50

Khadijah, dan senantiasa bila melihat orang lain itu, perasaan belas kasihan
kepada Zainuddin bertambah-tambah juga. Belas kasihan! (hal 93:2).

10. “Bagaimana kalau dia makan hati berulang jantung sebab maksudnya tidak
sampai. Berapa banyaknya gadis-gadis yang membunuh diri lantaran tidak
bertemudengan yang dicintainya, atau dia mati merana saja?” kata Limah.
(hal 112:5)

11. Tetapi kalau cinta telah mendalam, walaupun bagaimana tebalnya perasaan
sebagai laki-laki, badan meremuk juga laksana ayam kena penyakit menular.
(hal 139:3).

12. Tak enak makan suamiku kelihatan lantaran girangnya, dia tersenyum-
senyum saja. Baru sebentar ini dia pergi menguruskan perlelangan barang-
barang kami. Dan heran sekali Khadijah ! Debar jantungku kian
keras,menyalahi kebiasaan orang yang akan didatangi suatu kegirangan. (hal
162:1).

13. Zainuddin, memang bukan Zainuddin yang dahulu lagi. Cahaya mukanya
yang sekarang dalah lebih jernih, pakaian yang dipakainya lebih mahal dan
gagah dari dahulu. Meskipun mukanya tidak cantik, tetapi cahaya ilmu,
pengalaman, penanggungan, cahaya seni, semuanya telah memberinya bentuk
yang baru...(hal 169:7).

14. “Hai upik, baru kemaren kau memakan garam dunia, kau belum tahu belit-
belitnya. Bukanlah kau sembarang orang, bukan tampan zainuddin itu
jodohmu. Orang yang begitu tak dapat untuk menggantungkan hidupmu,
pemenung, pehiba hati, dan kadang-kadang panjang angan-angan. Di zaman
sekarang haruslah suami penumpangkan hidup itu seorang yang tentu
pencahariannya, tentu asal usul. Jika perkawinan dengan orang yang
demikian langsung, dan engkau beroleh anak, ke manakah anak itu akan
berbako? Tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak dengan
teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh lapuk oleh hujan, tak
boleh lekang oleh panas. (hal 61 : 4).

15. “Tidak, khadijah!” jawab Hayati, “pendapatmu tak betul, cinta tak bergantung
kepada wang. Kalau dua orang yang bercinta dapat bertemu, kesenangan dan
ketenteraman pikirannya, itulah wang, itulah dia kekayaan, lebih dari gelang
mas, dukuh-berlian, pakaian cukup. Itulah kesenangan yang tak lekang
dipanas, tak lapuk dihujan”. (hal 94 : 3).

16. Hidup di zaman sekarang berkehendak wang, Hayati, walaupun saleh dan
bagaimana tekur kita, keadaan yang sekeliling kita tidak dapat melepaskan
kita dari pada kungkungan, sedang Zainuddin tiadakan sanggup
51

menyelenggarakan hidupmu. Kalau lantaran keras seruan dunia itu,


Zainuddin tersesat memilih kehidupan dari pada jalan yang tiada halal, siapa
yang berdosa? Tidakkah engaku sendiri?. (hal 102 : 1).

17. Alangkah gelapnya dunia ini kupandang. Alam telah lengang dan sunyi, tidak
ada gerak yang membangunkan semangatku lagi, malam seakan-akan terus-
menerus saja, tidak sedikit juga berganti dengan siang. Kadang-kadang saya
rasai badan saya sebagai seorang yang terpencil jauh di tengah padang yang
tandus, tidak ada manusia yang lalu lintas di sana, tidak ada kali yang
mengalir, tidak ada daun yang digerakkan angin. Seakan-akan saya sudah
terbuang mencari jalan dan ikhtiar untuk keluar dari tempat itu, tetapi jalan
tidak kelihatan. Saya tunggu kelepasan dengan sabar, tetapihanya maut yang
melayang-layang. (hal 132 : 6).

18. Pada perkata-perkataan yang telah kau ucapkan, ternyata bahwa kasih
sayangku, bahwa cintaku telah kau terima. Bahwa pengharapan yang telah
putus, kau hubungkan kembali. Tetapi Hayati, ada yang perlu kuterangkan
padamu, supaya jangan engkau menyesal kemudian, orang sukai seorang
pemuda, karena sesuatu yang diharapkannya dari pada pemuda itu, misalnya
dia cantik dan gagah. Aku sendiri, sebagai yang kau lihat, begitulah
keadaanku, rupaku yang jelek tak pantas menjadi jodohmu, dan aku miskin.
Misalnya Allah menyampaikan cita-cita hatiku, dan engkau boleh menjadi
suntingku, menjadi istri yang mengobat luka hatiku yang telah bertahun-
tahun, agaknya akan malu engau berjalan bersanding dengan daku, karena
amat buruk memperdekatkan loyang dengan mas, mempertalikan benang
dengan sutera. Bagiku, Hayati, engkau sangat cantik. Kecantikanmu itu
kadang-kadang yang menyebabkan daku putus asa, mengingat buruk diriku
dan buruk untungku. (hal 49 : 2).

19. Hayati takut akan kena cinta. Takut menghadapi cinta, itulah cinta yang
sejati. Dia memberi ponis “tidak cinta” kepada Zainuddin, artinya dia
memberikan ponis kematian kepada dirinya sendiri. Setelah agak jauh
Zainuddin berjalan, diapun tak tahan pula lagi, dia meniarap ke lantai di
dangau itu menahan hatinya, dan hati juga tertahan. (hal 53 : 2).

20. “Apa, hayati?”


“Saya cinta akan dikau, biarlah hati kita sama-sama dirahmati Tuhan. Dan
saya bersedia menempuh segala bahaya yang akan menimpah dan sengsara
yang mengancam.
“Hayati .... kau kembalikan jiwaku! Kau izinkan aku hidup. Ulurkan
tanganmu, marilah kita berjanji bahwa hidupku bergantung kepada hidupmu,
dan hidupmu bergantung kepada hidupku. Yang menceraikan hati kita,
meskipun badan tak bertemu, ialah bila nyawa bercerai dengan badan.” (hal
55 : 6).
52

21. Khadijah memperlihatkan sebentuk cincin berliang yang indah memancarkan


cahaya yang gilang gemilang. Katanya: “inilah tanda mata dari tunanganku.
Selama ini belum saya suka membukakan ke engkau bahwa saya telah
bertunangan, sebab saya sangka engkau belum ada niatan hendak kawin.
Tetapi setelah saya ketahui bahwa engkau telah mencintai seorang yang
bukan jodohmu, saya katakan sekarang, bahwa hatiku tak senang kalau tak
saya katakan kepadamu hal yang sebenarnya. (hal 93 : 6).

22. Alangkah lekasnya hari berubah, alankah cepatnya masa berganti!


Apakah dalam masa sebulan dua saja istana kenang-kenangan yang telah kita
dirikan berdua, dihancurkan oleh angin puting beliung, sehingga dengan
bekas-bekasnya sekalipun tidak akan bertemu lagi? Ingatkah kau Hayati,
bahwa istana itu telah kita tegakkan di atas air mata kita, di atas kedukaan dan
derita kita? (hal129 : 4).

23. ....kalau kau tahu! Sudah sedari lama keindahan dan kecantikan dunia ini
terlepas dari hatiku, laksana rontoknya bunga yang kekurangan air dari
jembangan. Sudah sekian lama kehidupan ini saya palsukan, saya hadapi
dengan hati remuk. Karena kekuasaan iblis telah merajalelah di atas hati
manusia. Cuma satu saja yang kulihat paling suci, ialah kau, kau sendiri!
Pada diri kaulah bertemunya lambang dari kesucian dan kemurnian, yang
dipenuhi oleh cinta yang ikhlas. Sebab telah kau sambut tanganku yang
lemah: sebab telah kau terima suaraku yang parau, diwaktu orang lain
membenciku, lantaran miskinku, papaku dan kurang bangsaku. Hanya kau
seorang!. (hal 131 : 3).

24. Asal sengketa dan perselisihan jangan tumbuh, apa katanya diikut oleh
Hayati. Barang masnya telah habis, dokohnya, gelangnya, panitinya,
semuanya telah masuk rumah gadai. Tetapi yang sangat menyakitkan hati,
pernah dia menyesali beristeri perempuan kampung, sial. Perempuan yang tak
pandai mengobati hati suaminya. (hal 179:1).

25. Inilah yang mengherankan dalam pertalian budi bahasa dunia ini. Dia sangat
cinta, seluruh iramanya, ilham yang menerbitkan semangatnya mengarang,
semuanya ialah lantaran ingat akan Hayati. Sekarang Hayati telah ada dalam
rumahnya, tetapi tidak diacuhkannya. Itu adalah tersebab dari cinta yang
bermukim dalam hatinya bukan cinta kenafsuan, tetapi cinta murni. Cinta
yang menyebabkan mulia budi seorang pemuda yang dihinggapinya. (hal
185:2)
53

Sinopsis

Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Karya Hamka

Hasrat Zainuddin untuk melihat kampung halamannya, desa Batipuh di


Minangkabau, akhirnya sampai juga setelah Mak Besse orang tua angkatnya di
Makassar meluluskan permintaan pemuda yatim piatu itu. Dahulu di desa Batipu,
dekat Padang Panjang itulah ayah Zainuddin Pendekar Sutan terpaksa membunuh
Datuk Mantari Labih. Datuk Mantari Labih adalah mamaknya yang berusaha
mengangkangi harta warisan Pendekar Sutan. Akibatnya, pendekar Sutan dibuang
dari tanah leluhurnya hingga terdampar di Makassar dan kawin dengan Daeng
Habibah, putri seorang penyebar agama islam keturunan Melayu. Dari
perkawinan itu lahirlah Zainuddin, setelah kedua orang tua Zainuddin meninggal,
Mak Besse lah yang kemudian mengasuh dan menjadi ibu angkatnya sampai ia
beranjak dewasa. Setelah mengarungi lautan yang luas tibalah Zainuddin di
Minangkabau. Namun belum lama tinggal disana, Zainuddin merasakan betapa
adat Minangkabau telah memponis tidak adil terhadap dirinya. Ia dianggap
sebagai orang asing karena lahir dari seorang ibu yang bukan keturunan ninik
mamaknya. Ketidak adilan itupun makin terasa sebagai hukuman ketika
hubungannya dengan Hayati harus putus, seperti hal yang dialami oleh ayahnya
dahulu. Ia diusir dari tanah leluhurnya, pemuda itu terpaksa hijrah ke Padang
Panjang. Ketika Zainuddin akan berangkat ke Padang Panjang, ditengah jalan,
kira-kira setengah jam meninggalkan Batipuh tiba-tiba dilihatnya Hayati berdiri
menunggunya. Saat perpisahan itulah, Hayati membuka semua perasaannya yang
sebenar-benarnya, bahkan ia bersumpah “...hari ini saya terangkan dihadapanmu,
dihadapan cahaya matahari yang baru naik, dihadapan roh ibu bapak yang sudah
sama-sama berkalang tanah saya katakan; bahwa jiwaku telah diisi sepenuh-
penuhnya oleh cinta padamu. Cinta kepadamu telah memenuhi hatiku, telah
terjadi sebagai nyawa dan badan adanya. Dan selalu saya berkata, biar Tuhan

53
54

mendengarkan, bahwa kaulah yang menjadi suamiku kelak, jika tidak sampai di
dunia, biarlah diakhirat. Dan saya tidak akan hianat pada janjiku, tidak akan
berdusta dihadapan Tuhan dan hadapan arwah nenek moyangku”.
Sesungguhnya dia telah diusir dari Batipuh, namun, hubungannya dengan
Hayati tetap berlanjut. Surat cinta Batipuh Padang Panjang menjadi bukti kesetian
cinta mereka.

Suatu saat, Hayati datang ke Padang Panjang bermaksud melihat pasar malam
dan pacuan kuda, karena pasar malam dan pacuan kuda adalah salah satu
kebiasaan yang selalu dilaksanakan oleh masyarakat Padang Panjang setiap tahun.
Ia menginap di rumah sahabatnya, Khadijah. Tentu saja diberi tahu perihal
maksud hayati itu. Satu peluang untuk melepas rindu terbayang pula diharapkan
mereka. Namun, semua itu tinggal harapan ada pihak ketiga yang membuat cerita
menjadi lain. Aziz kakak khadijah, ternyata tertarik kepada Hayati pada
kecantikan gadis Batipuh itu. Terjadilah persaingan antara Zainuddin dan Aziz
dalam memperebutkan Hayati yang kaya dan dianggap sebagai anak negeri.
Namun, ia tak putus harapan, apalagi setelah ada kabar bahwa Mak Besse
meninggal dunia bertambah sedihlah anak muda itu. Mak Besse meninggalkan
harta warisan yang cukup besar untuk Zainuddin. Maka segeralah pemuda yang
pendiam itu menuliskan surat lamaran kepada keluarga Hayati. Sayangnya,
Zainuddin tidak menyebutkan bahwa kini ia kaya raya harta warisan yang
diterima lebih dari cukup untuk menyelnggarakan pesta perkawinan yang mewah
sekalipun. “tak mau juga Zainuddin menerangkan dalam surat itu bahwa telah
kaya, telah sanggup menghadapi kehidupan dengan uang petaruh, karena zaman
sekarang uang adalah sebagai garansi. Budi pekertinya yang tinggi tidak hendak
mengusik kemulian Hayati yang telah begitu lama beristana dalam jantung
hatinya, dengan menyebut beberapa banyak uangnya”. “ saat Zainuddin diterima
orang Batipuh adalah dua hari setelah utusan Aziz kembali ke Padang Panjang”.
Jadi, sebelum Zainuddin Aziz telah melamar Hayati. Maka, dua lamaran itu
menjadi bahan permusyawarahan ninik mamak Hayati. Mengingat keadaan
keluarga Aziz dan asal usulnya jelas diputuskan lamaran Aziz yang diterima.
55

Dengan demikian lamaran Zainuddin ditolak, karena dianggap orang asing yang
tak bersuku dan berhindu. Meski ayah Zainuddin adalah orang Minangkabau,
namun ibunya berasal dari Makassar jadi, menurut adat Minangkabau, namun
ibunya berasal dari Makassar jadi, menurut adat Minangkabau garis keturunan
diambil dari ibu. Zainuddin, yang menerima surat penolakan dari keluarga Hayati
di Batipuh, tak mampu berbuat apa-apa, kecuali meratapi nasibnya. Dia teringat
dirinya yang tak bersuku, tak terhindu, anak yang terbuang, dan dipandang tidak
sah dalam adat Minangkabau. Sedang Hayati anak orang bangsawan keturunan
penghulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang terpendang pekuburan, besusup
berjerami didalam negeri Batipuh itu. Kadang-kadang disesali perkawinan
ayahnya dengan ibunya, kadang-kadang pula menyadari untung malangnya
mengapa tak dilahirkan dalam kandungan orang Minangkabau. Tapi bukan itu
agaknya yang menutup pintu baginya untuk bertemu dengan Hayati, agaknya
lantaran ia tak beruang. Terlebih lagi menurut Muluk, sahabatnya, lelaki yang
akan mengawini Hayati tak lebih dari seorang manusia yang bermoral bejat.

Yang suka berjudi, main perempuan, dan suka mengganggu anak bini orang.
Sesungguhnya Hayati pun merasakan getiran yang amat dalam. Ia harus menikah
dengan lelaki yang tidak dicintainya namun, keputusan ninik mamak ibarat tangan
besi yang berkuasa menentukan nasibnya. Pada akhirnya, Hayati hanya pasrah
menerima derita yang menimpanaya. Setelah Muluk mengabarkan perkawinan
antara Hayati dan Aziz. Zainuddin jatuh sakit. Makin lama makin parah bahkan
pemuda itu sudah tak punya semangat untuk hidup lagi. Beruntung, ia masih
mempunyai seorang sahabat sejati, yakni Muluk, yang mau menerima Zainuddin
dengan setia. Kemudian, untuk melupakan masa lalunya yang pahit, Zainuddin
bersama Muluk pergi ke Jakarta. Di kota inilah bakat menulisnya mulai
tersalurkan. Lambat laun karyanya mulai dikenal dikalangan masyarakat, karena
bahasanya halus dan mengandung kasih sayang yang langsung dialaminya.
Dengan bekal itu, Zainuddin dengan diterima Muluk, hijrah ke Surabaya, karena
ia merasa Surabaya lebih besar peluang dan lebih dekat dengan Makassar. Dikota
buaya itu, Zainuddin dikenal sebagai pengarang, dan namanya diganti menjadi
56

Tuan Shabir, selain itu ia dikenal sebagai hartawan yang dermawan. Perjalanan
waktu telah membawa suami istri Aziz dan Hayati ke Surabaya, suatu hal yang
kebetulan karena pekerjaan Aziz pindah ke Surabaya. Namun, hubungan suami
istri itu sangat memperihatinkan. “Sejak berapa lama, hubungan kedua suami istri
itu, hanya perhubungan akad nikah, bukan perhubungan akad hati lagi. Hati yang
perempuan terbang membumbung ke langit hijau, mencari kepuasaan didalam
hayal, dan hati yang laki-laki hinggap di wajah dan pangkuan perempuan-
perempuan cantik, yang Surabaya memang pasarnya”. Akibat kebiasaan buruk
yang tak bisa ditinggalkan Aziz, ia dipecat dari pekerjaannya, diburu karena
hutang-hutangnya, dan kemudian lari dari rumah kontraknya. Mereka terpaksa
menumpang di rumah Zainuddin yang sebelumnya pernah dikunjungi suami istri
itu. Aziz yang kini atas segala kebaikan hati Zainuddin. Ia meninggalkan istrinya
dan pergi ke Bayuangi. Selang beberapa hari datang dua pucuk surat Hayati dari
Aziz, yang pertama surat cerai untuk Hayati, dan surat yang kedua ditujukan
untuk Zainuddin yang berisi permintaan maaf dan permintaan agar Zainuddin mau
menerima Hayati Kembali; “saya kembalikan Hayati ke tangan saudara, karena
memang saudaralah yang lebih berhak atas dirinya”. Rupanya itu pesan Aziz yang
terakhir, sebab kemudian aziz memutuskan hidupnya dengan membunuh dirinya
sendiri. Bagi Zainuddin, surat Aziz dan berita kematian ibarat membawa hayati
sendiri yang meminta maaf dan bersedia mengabdi kepada Zainuddin. Namun
lelaki yang sudah sekian lama menanggung rindu dan derita cinta itu, justru
menyuruh pujaan hatinya kembali ke kampung halamannya. Zainuddin menolak
Hayati! Suatu keputusan yang lebih banyak didorong oleh dendam kesumat dan
sebelumnya justru tak terpikirkan olehnya. Esoknya Hayati berangkat dengan
menumpang Kapal Van Der Wijck yang akan berlayar ke Semarang, Tanjung
Periok dan terus ke Palembang. Kesadaran Zainuddin justru timbul setelah Hayati
pergi. Lelaki itu tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa sesungguhnya ia
masih mencintai Hayati. Maka, segera Zainuddin bermaksud menyusul janda
malang itu ke Jakarta. Sebelum itu Zainuddin menemukan surat Hayati yang
berbunyi “ aku cinta engkau, dan kalau aku mati, adalah kematianku didalam
mengenang engkau”. Pada saat Zainuddin mempersiapkan segala sesuatunya,
57

sebuah berita yang amat mengejutkan tersiar didalam sebuah surat kabar harian
yang terbit di Surabaya; “Kapal Van Der Wijck tenggelam”. Setelah membaca
lengkap beritanya, Zainuddin seketika itu berangkat ke Tuban bersama
sahabatnya, Muluk. Sampai di Tuban masih sempat Zainuddin bertemu dengan
hayati yang terbaring di rumah sakit Lamongan. Namun rupanya pertemuan itulah
pertemuan, mereka yang terakhir, sebab setelah berpesan, perempuan yang
malang itu menghembuskan nafasnya yang terakhir. Hayati meninggal dalam
dekapan Zainuddin. Namun, sebelumnya hayati meninggal, ia sempat berpesan
supaya nisannya dibuat dari batu marmer dan ditulis.

Hayati meninggal lantaran kecelakaan Kapal Van Der Wijck pada 20 oktober
1936.

Sejak itu kesehatan Zainuddin mulai menurun. Tak berapa lama kemudian,
tiba-tiba tersebar berita pada suatu surat kabar harian Surabaya memberitakan:
“ZAINUDDIN PENGARANG YANG TERKENAL WAFAT” “Pengarang muda
yang terkenal itu, yang sekian lama kita tidak baca lagi karangan-karangannya
yang sangat halus dan meresap, kemarin malam telah meninggal dunia di
rumahnya di Kaliasin. Dia telah dikuburkan didekat seorang familinya perempuan
yang meninggal karena kecelakaan Kapal Van Der Wijck tempo hari. Banyak
sahabatnya yang mengantar kekuburan”. Zainuddin menghembuskan nafas
terakhirnya dalam akhir sebuah karangan. Diatas meja terletak tulisan yang
penghabisan itu: “....dan akan tercapai juga kemulian bangsaku, persatuan tanah
airku. Hilang perasaan perbedaan dan kebencian dan tercapai keadilan dan
kebahagian”. Oleh Muluk kemudian Zainuddin dikuburkan kesebelahan dengan
pusara Hayati. Sebuah kisah cinta yang suci yang didasari oleh keikhlasan namun
berakhir dengan sangat tragis.
58

BIOGRAFI

HAMKA
(HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH)

“Dengan Ilmu Hidup Menjadi Mudah”


“Dengan Agama Hidup Menjadi Terarah”

Masa hidup Hamka (Haji Abdul Malik Bin Abdul Karin Amrullah) tahun

1908-1981. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik, sastrawan, politikus,

filsuf, dan aktivis Muhammadiyah Indonesia yang amat terkenal di alam

Nusantara. Beliau lahir pada 17 februari 1908 di kampung Molek, Maninjau,

Sumatera Barat, Indonesia. Nama pemberian ayahnya adalah Abdul Malik.

Ibunya dari keluarga Bangsawan. Ayahnya, Syeikh Abdul Karim bin

Amrullah atau Haji Rasul, dari keluarga ulama dan seorang pelopor gerakan

pembaruan/modernis dalam Gerakan Islah (Tajdid) di Minangkabau sekembalinya

dari Makkah pada tahun 1906.

Sebutan Buya bagi Hamka, panggilan untuk orang Minangkabau, berasal

dari kata abi. Abuya (bahasa arab), yang berarti ayahku, atau seorang yang

dihormati.

Beliau dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Masa kecil Hamka dipenuhi

gejolak batin karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan

kaum muda tentang pelakasanaan ajaran islam. Banyak hal-hal yang tidak

dibenarkan dalam islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-

hari.

58
59

Putra Hamka bernama H. Rusydi Hamka, kader PPP, anggota DPRD DKI

Jakarta. Anak angkat buya Hamka adalah Yusuf Hamka, Chinese yang masuk

islam.

A. RIWAYAT PENDIDIKAN

Hamka di Sekolah Dasar Maninjau hanya sampai dua kelas. Ketika usia 10

tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ

Hamka mempelajari agama di Surau dan Masjid yang diberikan ulama terkenal

seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M.

Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Sejak muda, Hamka dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya

memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk

menimba ilmu tentang gerakan islam modern kepada HOS Tjokrominoto, Ki

Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Saat itu, Hamka

mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan islam di Abdi Dharmo

Pakualaman, Yogyakarta.

B. RIWAYAT KARIER

Hamka bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di perkebunan Tebing

Tinggi, Medan. Pada tahun 1929 di Padang Panjang, Hamka kemudian dilantik

sebagai dosen di Universiitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah,

Padang Panjang dari tahun 1957-1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor

Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.


60

Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan memulai

kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa K.H. Abdul Wahid

Hasyim. Waktu itu Hamka sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi

islam di Tanah Air.

Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pengawai tinggi

Agama oleh Menteri Agama Indonesia.

Pada 26 juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali, melantik

Hamka sebagai ketua Umum Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian

meletakkan jabatan itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh

pemerintah Indonesia.

C. RIWAYAT OGRANISASI

Hamka aktif dalam gerakan islam melalui Organisasi Muhammadiyah. Beliau

mengikuti pendirian Muhammadiyah tahun 1925 untuk melawan Khurafat,

bid’ah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928 beliau

mengetahui cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929 Hamka

mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian

beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih

menjadi ketua majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh

Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun

1946. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan pusat

Muhammadiyah.
61

D. AKTIVITAS POLITIK HAMKA

Kegiatan politik Hamka pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai

politik Sarekat islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha

kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan

gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi

ketua Barisan pertahanan Nasional, Indonesia.

Pada tahun 1955 Hamka beliau masuk Konstituante melalui partai Masyumi

dan menjadi Pemidato ulama dalam pilihan Raya Umum. Pada masa inilah

pemikiran Hamka sering Bergesekan dengan mainstream politik ketika itu.

Misalnya, ketika partai-partai beraliran nasionalis dan komunis menghendaki

Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di Konstituante, Hamka

menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang

kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya sesuai yang termaktub

dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran Hamka ditentang keras oleh sebagian

besar anggota Konstituante, termasuk Presiden Sukarno. Perjalanan politiknya

bisa dikatakan berakhir ketika konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden

Soekarno pada 1959. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia

pada tahun 1960. Meski begitu, Hamka tidak pernah menaruh dendam terhadap

Soekarno. Ketika Soekarno wafat justru Hamka yang menjadi imam salatnya.

Banyak suara-suara dari rekan sejawat yang mempertanyakan sikap Hamka. “Ada

yang mengatakan Soekarno itu komunis, sehingga tak perlu disalatkan, namun

Hamka tidak peduli. Bagi Hamka, apa yang dilakukannya atas dasar hubungan

persahabatan. Apalagi, di mata Hamka, Soekarno adalah seorang muslim.


62

Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh presiden

Soekarno karena dituduh pro-Malasya. Semasa dipenjarakan, beliau mulai

menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar

dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah kebajikan

Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalan Haji Indonesia dan anggota

Lembaga Kebudayaan Indonesia.

Pada tahun 1978, Hamka lagi-lagi berbeda pandangan dengan pemerintah.

Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Daoed Joesoef

untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah

menjadi kebiasaan.

Idealisme Hamka kembali diuji ketika tahun1980 Menteri Agama Alamsyah

Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal

bersama. Sebagai ketua MUI, Hamka langsung menolak keinginan itu. Sikap

keras Hamka kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri

dari jabatannya. Mendengar niat itu, Hamka lantas meminta Alamsyah untuk

mengurungkannya. Pada saat itu pula Hamka memutuskan mundur sebagai Ketua

MUI.

E. AKTIVITAS SASTRA HAMKA

Selain aktif dalam keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang

wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi

wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang

Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor

majalah kemajuan masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan
63

menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor

majalah pedoman masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah islam dan karya kreatif seperti novel

dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid).

Pada 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat keberbagai negara

daratan Arab. Sepulang dari lawatan itu, Hamka menulis beberapa roman. Antara

lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, Di Tepi Sungai Dajlah.

Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman yang

lainnya. Seperti di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der

Wijck, Merantau Ke Deli, dan di Dalam Lembah Kehidupan merupakan roman

yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan

Singapura.

Setelah tu Hamka menulis lagi majalah baru Panji Masyarakat yang sempat

terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.

F. AKTIVITAS KEAGAMAAN

Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, Hamka

secara total berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra.

Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang

ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus

penuturannya. Keulamaan Hamka lebih menonjol lagi ketika dia menjadi ketua

MUI pertama tahun 1975.


64

Hamka dikenal sebagai seorang moderat. Tidak pernah beliau mengeluarkan

kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Beliau lebih suka memilih

menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan moral Islam.

Ada satu yang sangat menarik dari Buya Hamka, yaitu keteguhannya

memegang prinsip yang diyakini. Inilah yang membuat semua orang

menyeganinya. Sikap independennya itu sungguh bukan hal yang baru bagi

Hamka. Pada zaman pemerintah Soekarno, Hamka berani mengeluarkan fatwa

haram menikah lagi bagi presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang

presiden berang “kebakaran jenggot”. Tidak hanya berhenti di situ saja, Hamka

juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka,

wajar saja kalau akhirnya dia di jebloskan kepenajara oleh Soekarno. Bahkan

majalah yang dibentuknya “Panji Masyarakat” pernah dibredel Soekarno karena

menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita” yang terkenal

itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep demokrasi terpimpin yang

dijalankan Bung Karno.

Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urursan politik, hari-hari hamka

lebih banyakk diisi dengan kuliah subuh di Mesjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.

G. WAFATNYA HAMKA

Pada tanggal 24 juli 1981 Hamka telah pulang ke rahmatullah. Jasa dan

pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama islam.

Beliau bukan saja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara

kelahirannya, beliau jasanya di seantero Nusantara, termasuk Malaysia dan

Singapura, turut dihargai.


65

H. PENGHARGAAN

Atas jasa dan karya-karyanya, Hamka telah menerima anugera penghargaan,

yaitu Doctor Honoris Causa dari Universita Al-Azhar Cairo (tahun 1958) dan

Gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

I. PANDANGAN HAMKA TENTANG KESASTRAAN

Pandangan sastrawan, Hamka yang juga dikenal sebagai Tuangku Syekh

Mudo Abuya Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amirullah Datuk Indomo tentang

kepenulisan. Buya Hamka menyatakan ada empat syarat untuk menjadi

pengarang. Pertama, memiliki daya khayal atau imajinasi; kedua, memiliki

kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hafalan; keempat, kesanggupan

mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan.

J. BUAH PENA BUYA HAMKA

Kitab tafsiir Al-azar merupakan karya gemilang Buaya Hamka. Tafsir Al-

Quran 30 Juz itu salah satu dari 118 lebih karya yang dihasilkan Buya Hamka

semasa hidupnya. Tafsir tersebut dimulainya tahun 1960.

Hamka meninggalkan karya tulis segudang. Tulisan-tulisannya meliputi

banyak bidang kajian: politik (pidato pembelaan peristiwa tiga maret, urat

tunggang pancasila), sejarah (sejarah ummat islam di sumatera), budaya (adat

Minangkabau mengahadapi Revolusi), akhlak (kesepaduan iman dan amal salih)

dan ilmu-ilmu keislaman (tashawwuf modern).


66

RIWAYAT PENULIS

Hulmiati Idris. Dilahirkan di Desa Benceng-

Benceng Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo, pada

tanggal 31 Juli 1992. Penulis adalah anak pertama dari

tiga bersaudara, yang merupakan buah cinta dari

pasangan Ayahanda Muhammad Idris, S. Sos., dan

Ibunda Rahmi Aris.

Penulis memulai pendidikan pada tahun 1997 di SD Negeri 182 Bulete

hingga tamat pada tahun 2004. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri 1

Pitumpanua pada tahun 2004 hingga tahun 2007. Lanjut di SMA Negeri 1

Pitumpanua pada tahun 2007 dan tamat pada tahun 2010. Pada tahun 2010,

penulis melanjutkan pendidikan disalah satu perguruan tinggi yang ada di

Makassar yaitu Universitas Muhammadiyah Makassar dengan program S1

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Makassar hingga tahun 2014.

Adapun pengalaman oraganisasi pada tahun 2011 bergabung disalah satu

organisasi yang dihimpun oleh mahasiswa pelajar Wajo yaitu HIPERMAWA.

Dan pada tahun 2012, bergabung disalah satu organisasi kampus yaitu himpunan

Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yaitu HMJ BAHASA dan SASTRA

INDONESIA. Berbagai pengalaman yang saya lalui dalam suatu organiasasi,

begitu banyak membutuhkan kesabaran, ketaatan, dan disiplin. Tapi saya lalui

66
67

dengan sikap suka dan duka karena memang dalam suatu organisasi saling

memberi dan menerima apa yang menjadi kekurang ataupun kelebihan seseorang.

Dengan rasa syukur yang tak hentinya dihanturkan kepada ALLAH SWT

karena berkat rahmat dan hidayahnya sehingga penulis bisa menyelesaikan studi

tepat waktu.

62

38

Anda mungkin juga menyukai