Anda di halaman 1dari 11

MATERI PEMBELAJARAN BAB 6

MAPEL SEJARAH PEMINATAN KELAS XII IIS


SEMESTER GENAP
KONFLIK-KONFLIK di BERBAGAI BELAHAN DUNIA

Di Susun Oleh :
HASRAWATI S.Pd

Kompetensi Dasar :
3.6. Menganalisis konflik-konflik di Timur-Tengah, Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia
Timur, Eropa, Afrik, dan Amerika Latin.
Materi :
 Konflik di Timur Tengah
 Kasus Indochina
 Kasus Bangladesh
 Konflik di Asia Timur
 Konflik di Eropa
 Konflik di Afrika
 Konflik di Amerika Latin

SMA NEGERI 1 SANDAI


TAHUN PELAJARAN 2020/2021
MATERI :
KONFLIK-KONFLIK di BERBAGAI BELAHAN DUNIA

A. Konflik di Timur Tengah


1. Perang Teluk 1
Setelah Perang Dunia II berakhir. Di kawasan Timur tengah berlangsung konflik yang
kemudian berkembang menjadi perang, yaitu konflik Iran-Irak dengan pasukan multinasional.
Perang tersebut lebih dikenal dengan sebutan Perang Teluk I melibatkan Iran dan Irak yang
merebutkan perbatasan di Selat Shatat al Arab dan berlangsung antara 1980-1988.
Perang berlangsung antara Irak dan Iran ini pecah pada 22 September 1980 dengan cepat
telah menarik perhatian dunia. Sebelum perang terebut meletus terjadi konflik perbatasan
antara kedua negara tersebut. Namun, konflik terseut berhebti lewat perjanjian Algier pada
1975. Melalui perjanjian ini, Iran akan menghentikan dukungannya kepada pemberontak suku
Kurdi dan perbatasan wilayah Iran-Irak di Shatat al Arab akan di geser dari wilayah timur ke
perairan. Akan tetapi tidak lama berselang konflik kembali memanas akibat kekhawatiran Irak
akan masuknya pengaruh revolusi Islam tahun 1970. Revolusi tersebut menghantarkan
Ayatullah Khome’ni ke tampuk kekuasaan Iran.
Selanjutnya, pada 1 April 1980, terjadi serangan granat terhadap wakil Perdana menteri
Irak, Tariq Azis. Kejadian ini membuat Presiden Irak, Saddam Hussein, menyalahkan
pemerintah Iran. Sebagai balasan Saddam Hussein kemudian mengusir ribuan orang Iran dari
Irak dan mengecam Ayatullah Khome’in. hubungan antara Iran-Irak kembali memanas apalagi
ketika Saddam menuntut Iran merundingkan kembali perjanjian Algeir tahun 1975 dan
menuntut pengembalian tiga pulau kecil di Selat Hormuz. Pernyataan Saddam kemudian di
tanggapi oleh Menteri luar negeri Iran, Gorbzadeh, bahea Iran akan menjatuhkan renzim Baath
di Baghdad. Pada 9 April 1980, Iran memutuskan hubungan diplomatic dengan Irak .
ketegangan antara Iran-Irak semakin meningkat setelah Irak mengirimkan sekitar 150.000
pasukan keperbatasan. Iran menaggapi pengiriman pasukan dengan memperkuat pos-pos
militer dengan bantuan dari Suriah. Pertempuran kembali terjadi di sepanjang perbatasan pada
17-20 September 1980. Presiden Iran, Bani Sadr, mengumumkan pengambilalihan komando
operasi militer Iran di perbatasan. Selanjutnya pada 22 September 1980, Irak mengerahkan
enam pesawat tempurnya untuk melakukan penyerangan di bandara-bandara yang di miliki
Iran. Serangan udara Irak ini menandai pecahnya Perang Iran-Irak yang sesungguhnya.
Semula Saddam Hussein berharap bahwa serangan Irak ke Iran dapat membangkitkan
perlawanan rakyat Iran yang tidak menyukai kekuasaan renzim Khomeini. Akan tetapi, rakyat
Iran dapat bersatu dalam menghadapi Irak, meskipun masing-masing kelompok saling
bermusuhan. Menjelang berakhirnya perang Saddam Hussein melancarkan serangan
mengunakan gas kimia beracun (gas sarin dan gas maustard) kesalah satu basis gerakan
nasionalis Kurdi, yaitu di Halabja (Kurdistan Selatan) pada 16 Maret 1988. Selain karena selalu
mengganggu integritas nasional Irak dengan mencoba mendirikan negara merdeka Kurdi Irak,
serangan itu merupakan bentuk hukuman terhadap kaum Kurdi yang di tuduh membela Iran
selama berlangsungnya Perang Iran-Irak (1980-1988). Antara 3.200 sampai 5.00 warga sipil
tewas dalam seranganitu. Sementara antara 7.000 sampai 10.000 orang menderita luka-luka.
Peristiwa ini kemudian di kenal dengan Pembantaian Halabja atau Jumat Berdarah.
Serangan ke Halabja merupakan bagian dari Al-Anfal Campaing (di mulai pada awal 1988),
yang di pimpin oleh sepupu Saddam Hussein bernama Ali Hassan al- Majid. Tujuannya
adalah meghancurkan semaksimal mungkin sel-sel gerakan separatism kaum Kurdi Irak (Irak
Utara). Para pemimpin yang terlibat dalam operasi Al-Anfal itu didakwa melakukan kejahatan
terhadap kemanusiaan, genosida, dan pembunuhan terencana oleh Mahkama Khusus Irak).
Selanjutnya di bawah tekanan masyarakat internasional baik Iran maupun Irak bersedia
meghentikan perang dan mengadakan perundingan untuk dapat menyelesaikan sengketa
dengan baik. Pada 1989, dewan keamanan PBB mengeluarkan revolusi agar Iran dan Irak
melakukan gencatan senjata. Revolusi itupun di snaggupi dan kedua belah pihak menyatakan
akan mengakhiri perang yang telah berlangsung selama delapan tahun. Menjelang berakhirnya
perang tersebut, Irak mengembalikan sebagian wilayah di Shatat al Arab kepada Iran.
2. Perang Teluk II
a. Latar belakang
Perang Teluk II adalah perang yang terjadi di Timur Tengah yang di picu oleh invasi
Irak terhadap Kuwait. Perang ini berlangsung sejak 2 Agustus 1990 hingga 28 Februari
1991. Irak saat itu di pimpin oleh Saddam Husein. Perang dimulai dengan di tandai
serangan udara besar-besaran Amerika Serikat terhadap Irak di bawah nama Operasai
Badai Gurun (Operation Desert Strom). Saddam Hussein menjadikan Kuwait dan negara-
negara arab menjadi kambing hitam. Ia juga mengungkit-ungkit masalah perbatasan yang
sebetulnya telah selesai seperti berikut.
 Menuduh Kuwait menyedot minyak mentah dari lading minyak Ar-Rumaylah
yang terletak di sepanjang perbatasan kedua negara tersebut.
 Kuwait menolak permintaan Irak agar utang Irak kepada Kuwait sebesar 14 miliar
dolar AS di hapus. Utang itu dipakai Irak untuk membiayai perang melawan Iran
pada 1980-1988. Alasan irak menuntut penghapusan utang tersebut karena Kuwait
adalah sekutu Irak dalam perang melawan Iran.
 Selain itu, ia juga menuduh kedua negara bersekongkol untuk menjaga harga
minyak tetap rendah demi menjaga persahabatan dengan bangsa-bangsa Barat.
Menurut Saddam Hussein, dengan sikap seperti itu, kedua negara itu akan terus
menjadi kaki tangan Barat.
 Mengangkat masalah batas wilayah warisan pemerintah Ottoman, Turki,.
Menurutnya, Kuwait merupakan bagian yang integral dari Republik Irak. Saddam
Hussein menyebutnya sebagai provinsi ke-19 Irak.
Atas dasar tersebut, pada pertengahan 1990, irak mulai menempatkan pasukannya di
perbatasan Kuwait. Sebelumnya Presiden Mesir, Hosni Mubarak, memprakarsai
negosiasi antar Irak dan Kuwait dalam upaya menghindari intervensi Amerika Serikat
atau kekuatan-keuatan lain dari luar Teluk namun pada 2 Agustus 1990, Saddam
Hussein memerintahkan invasi ke Kuwait dan tidak akan mendesak dunia internasional
untuk menghentikannya. Namun Saddam Hussein salah perhitungan. Dua pertiga dari
23 Anggota Liga Arab mengutuk tindakan agresi Irak tersebut.

b. Invasi Irak ke Kuwait dan Respon Sekutu


Presiden AS George H. W. Bush bersama dengan Inggris, Uni Soviet mengutuk invasi Irak
atas Kuwait. Pada tanggal 3 Agustus 1990, Dewan Keamanan PBB mendesak Irak menarik
pasukannya dari Kuwait. Tiga hari kemudian Raja Fahd dari Arab Saudi bertemu dengan
Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Dick Cheny, Untuk meminta dukungan militer
Amerika Serikat tersebut, serta meyerukan kepada negara-negara anggota NATO untik
mendukung Kuwait. Pada 8 Agustus 1990, pemerintah irak secara resmi menganeksasi
Kuwait. Pesawat-pesawat tempur pertama Angkatan Udara AS tiba di Arab Saudi sebagai
bagian dari penambahan kekuasaan militer. Nama sandi operasinya adalah Opation Desert
Shield. Di darat terdapat pasukan gabungan NATO yang siap siaga menjaga serangan Irak
ke Arab Saudi. Dalam rangka menggalang dukungan dari duni Islan, Saddam Hussein
mengumumkan Jihad melwan koalisi. Dia juga mencoba bersekutu dengan pejuang
Palestina. Disaat-saat terakhir menjelang perang besar dengan AS, Saddam Hussein
menandatangani perjanjian damai dengan musuh bebuyutannya Iran, sebagai satu langkah
yang di buat untuk mengurangi musuh.
c. Mulainya Perang Teluk
Pada 29 November 1990, Dewan Keamanan PBB secara resmi mengeshkan penggunaan
“segala cara yang diperlukan” untuk melawan agresi Irak, apabila tidak menarik diri dari
Kuwait hingga 15 Januari tahun berikutnya. Pasukan koalisis yang telah siap melawan Irak
berjumlah sekitar 750.000 orang, termasuk 540.000 personel pasukan AS dan jumlah yang
relative kecil dari Inggris, Prancis, Jerman, Uni Soviet, Jepang, Mesir, dan Arab Saudi.
Sementara itu Irak mendapat dukungan dari Yordania, Aljazair, Sudan, Yaman, Tunisia,
dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Pada pagi hari 17 Januari 1991, serangan udara massif di bawah pimpinan AS yang di kenal
dengan Operasi Badai Gurun, yang menghujani pertahanan udara Irak.dalam waktu
singkat, jaringan komuniksi, gudang senjata, dan kilang minyak porak-poranda. Pada
pertengahan Februari, pasukan koalisi memerangi pasukan darat Irak di Kuwait dan
Selatan Irak. Serangan darat yang massif dari sekutu di kenal dengan nama Operation
Desert Sabre di luncurkan pada 24 Februarai 1991. Pada saat yang bersamaan pasukan AS
menyerbu Irak sekitar 120 mil sebelah barat Kuwait, menyerang pasukan cadangan lapis
baja Irak dari belakang. Pasukan Elite Garda Republik Irak menyusun pertahanan Al-
Basrah di tenggara Irak, namun pada 27 Februari pasukan elite tersebut sebagian besar
dapat di kalahkan. ,elihat perlawanan Irak semakin lemah Bush mengumumkan gencatan
senjata pada 28 Februari 1991, yang mengakhiri Perang Teluk. Menurut ketentuan
perdamaian yang kemudian diterima Saddam Hussein, Irak mengakui kedaulatan Kuwait
dan menyingkirkan semua senjata pemusnah masal termasuk senjata nuklir, biologi, dan
kimia. Diperkirakan sekitar 10.000 anggota pasukan Irak tewas. Adapun di pihak koalisi
sekita 300 oanggota tewas.
d. Akibat Perang Teluk
Perang Teluk II mengakibatkan kehancuran bagi Kuwait dan Irak. Namun,
Saddam Hussein tidak di paksa turun dari kekuasaan Para Pemimpin Koalisi memang
bermaksud agar perang itu besifat “terbatas” dengan biaya yang minimum. Meski demikian
perang itu memiliki efek yang masih tersisa di tahun-tahun berikutnya, baik di kawasan
Teluk maupun di seluruh dunia. Segera setelah perang usai, pasukan Saddam Hussein
secara brutal menekan pemberontakan suku Kurdi di Utara Irak dan Syiah di Selatan. Di
tahun-tahun berikutnya. Pesawat AS dan Ingris melakukan patroli udara mmengawasi zona
larangan terbang di atas Irak, semenara otoritas Irak melakukan segala upaya unuk
menggagalkan pelaksanaan syarat-syarat perdamaian, khususnya inspeksi senjata oleh
PBB. Hal ini menyebabkan konflik singkat pada 1998, setelah Irak tetap menolak
menerima para inspektur senjata selain itu, pasukan Irak secara sporadic terlibat baku
tembak dengan pesawat Inggris dan AS di atas zona di larang terbang. Pada 2002, AS yang
di pimpin Bush mensponsori resolusi baru PBB. Ia meminta dikirimkannya kembali
inspektur senjata Irak. Inspektur PBBkembali memasuki Irak pada November. Di tengah
perbedaan pendapat antara negara-negara anggota Dewan keamanan tentang seberapa baik
Irak memenuhi inspeksi ini, AS dan Inggris mulai mengumpulkan pasukan di perbatasan
Irak. Bush tanpa persetujuan PBB mengeluarkan ultimatum pada 17 Maret 2003, menuntut
Saddam Hussein mundur dari kekuasaan dan meninggalkan Irak dalam waktu 48 jam.
Saddam Hussein menolak, dan Perang Teluk III-lebih umum dikenal sebagai Perang Irak-
pecah tiga hari kemudian.
3. Perang Teluk III
Pada tahun2002, Presiden AS George W. Bush menegaskan kembali pentingnya
membersihkan Irak dari senjata penghancur massal. Irak menunjukan sikap menanti resolusi.
Kemudian presiden Prancis, Jaques Chirac, dan Konselir Jerman, Gerhard Schroder, berusaha
memperpanjang waktu inspeksi dan memberikan kesempatan lebih lama kepada Irak untuk
mematuhi resolusi. Irak menunjukan sikap baik dengan menaati resolusi itu. Namun ironisnya,
pada awal 2003, presiden Bush dan perdana menteri Tony Blair mendeklarasikan bahwa Irak
bersikukuh menghindari Inspeksi PBB dan tetap memproduksi senjata kimia. Presiden Bush
menganggap upaya diplomasi melalui PBB akan berakhir sia-sia. Oleh karena itu pada 17
Maret 2003, Bush mendeklarasikan berakhirnya diplomasi serta mengultimatum Saddam
Hussein meninggalkan Irak dalam waktu 48 jam. Saddam Hussein menolak mematuhi
ultimatum itu, Prancis, Jerman dan Rysia keberatan dengan rencana perang Bush.
Tampak juga bagi AS sanksi ekonomi tidak mempan untuk menghentikan Irak
memproduksi senjata pemusnah massal. Hal itu karena beberapa negara tetangga Irak mulai
membuka kembali perdagangan dengan Irak. Selain itu diplomasi juga menemui jalan buntu.
Oleh karena itu tindakan militer di anggap sebagai satu-satunya solusi yang tersisa (catatan :
kelak, setelah perang usai terbukti bahwa Irak tidak memproduksi senjata pemusnah massal.)
Pada September 2001, pasca-Peristiwa 11 September, Presiden Bush mendesak negara
koalisi AS melakukan sesuatu untuk menghancurkan sel-sel terorisme, tidak sekedar
mengucapkan simpati atas tragedy September. Slogan terkenal dan kontroversial Bush, ‘Anda
bersama kami atau melawa kam dalam perang perjuangan melawan teror’ mengema ke seluruh
dunia “ Hanya ada dua pilihan bagi anda dalam perjuangan melawan terror : mendukung kami
atau melawan kami, You’re either with us or against us in the figh against terror,” kata Bush
kala itu..
Tuduhan mengenai adanya senjata pemusnah massal ternyata memang tidak terbukti, dan
ini diperkuat dengan laporan dari inspektur senjata PBB, Hans Blix yang di turunkan untuk
melakukan penyelidikan. Hingga kini kondisi Irak masih belum kondusif dan dalam hal ini AS
memperoleh protes dari dunia internasional karena di anggap tidak bertanggung jawab terhadap
keadaan tersebut.
B. Kasus Indochina
Konflik Kamboja
1. Kamboja sebelum 1975
Kamboja adalah sebuah negara di Asia Tenggara, wilayah ini pernah menjadi pusat
kerajaan kuno yang bernama Khmer dengan ibu kota Angkor. Selain itu, Kamboja terkenal
dengan kuil-kuilnya yang berasal dari abad XII. Hampir mayorita penduduknya beragama
Budha dan berada di bawah kekuasaan Norodom Sihanouk. Pada 1970, Norodom Sihanouk
digulingkan dalam kudeta militer pimpinan Jenderal Lon Nol. Kudeta tersebut berhasil dan
Jenderal Lon Nol di angkat menjadi Presiden Republik Khmer. Norodom Sihanouk dan
pengikutnya bergabung dengan Khmer Merah, sebuah organisasi gerilya komunis yang
didirikan pada 1960. Mereka menyerang tentara Lon Nol yang memicu perang saudara
berkepenjangan di Kamboja. Di era Norodom Sihanouk, kamboja tetap menjaga netralitas
selama perang saudara Vietnam dengan memberikan sedikit dukungan untuk kedua belah
pihak. Kaum komunis Vietnam diizinkan untuk menggunakan pelabuhan Kamboja untuk
membawa masuk pasokan senjata dan makanan. Sementara itu, AS siizinkan untuk mengebom
tempat-tempat persembunyian Viet Chong. Kambojapun menjadi bagian dari medan perang
Vietnam. Selama empat tahun berikunya pesawat pengebom B-52 Amerika menewaskan
sekitar 750.000 warga Kamboja dalam upaya menghancurkan jalur pasokan Vietnam Utara
yang mereka curigai.
Pada 1970, Khmer Merah merupakan organisasi kecil dilihat dari kuantitas pengikutnya.
Pimpinan mereka, Pol Pot, adalah pengagum komunisme Maois (Tiongkok) dan pernah
mengenyam pendidikan di Perancis. Khmer Merah sangat menentang pengeboman yang
dilakukan Amerika Serikat yang berkolaborasi dengan Lon Nol. Perlawana Khmer Merah
terhadap pasukan gabungan Amerika Serikat dan Lon Nol menarik simpati rakyat Kamboja.
Alhasil banyak rakyat yang bergabung dengan Khmer Merah. Selain itu Khmer Merah juga
mendapat dukungan dari Tiongkok dan mendapat pelatihan militer dari Vietnam Utara. Pada
1975, pasukan Pol Pot berjumlah lebih dari 700.000 orang. Pada 1975, pasukan Vietnam Utara
merebut ibu kota Vietnam Selatan, Saigon. Selain itu, pada tahun ini pula, Lon Nol berhasil di
gulingkan oleh Khmer Merah.
2. Kamboja 1975-1979 (Masa Genosida)
Pol Pot memberlakukan sebuah program ekstrem untuk merekonstruksi Kamboja sesuai
dengan paham komunisme ala Mao di Tiongkok. Hal pertama yang dilakukannya adalah
menganti nama Republik Khmer menjadi Kampuchea. Pimpinan Khmer Merah mewajibkan
seluuruh penduduk untuk bekerja sebagai buruh dalam satu federasi pertanian kolektif yang
besar. Siapapun yang menentang baik itu rakyat biasa, biksu, ataupun Kaum intelektual akan
di singkirkan.
Pendudik di kota-kota di paksa untuk meninggalkan kota yang mengakibatkan eksodus
paksa besar-besaran. Selanjutnya, semua hak politik dan sipil di hapus. Anak-anak di ambil
dari orang tua mereka dan di tempatkan di kamp-kamp kerja paksa yang jauh. Pabrik, sekolah,
Universitas, dan rumah sakit ditutup. Pengacara, guru, dokter, insinyur, ilmuwan, dan orang-
orang professional di bidang apapun termasuk tentara di bunuh bersama dengan keluarga besar
mereka. Agama dilarang, semua biksu Budha yang terkemuka tewas dan hampir semua kuil
hancur. Music dan Radio juga di larang. Satu slogan terkenal Khmer Merah berbunyi, ‘To
spare you is not profit, to destroy you is no loss’ (Menyelamatkan anda tidak ada untungnya,
menghancurkan anda tidak ada ruginya). Orang yang lolos dari pembunuhan menjadi buruh
yang tidak di bayar. Mereka bekerja berdasarkan jatah makan dan minum dengan jam kerja
yang tidak terbatas. Mereka tidur dan makan di tempat yang sengaja di pilih sejauh mungkin
dari tempat lama mereka. Hubungan personal di larang, begitu pula ekspresi kasih saying.
Mereka jatuh sakit tidak mendpat perawatan dan pengobatan dan dibiiarkan mati.
Kelompok minoritas menjadi target penindaasan. Kelompok tersebut termasuk etnis
Tiongkok, Vietnam, dan Thailand, serta Kamboja keturunan Tiongkok, keturunan Vietnam
atau Thailand. Setengah populasi muslim Cham dan 8.000 penganut Kisten di bunuh. Khmer
Merah juga banyak mengintrogasi anggota mereka sendiri, memenjara, serta mengeksekusi
mereka yang dicuriga akan melakukan penghianatan dan sabotase. Kemtian warga sipil selama
periode ini diperkirakan lebih banyak dari dua juta orang baik karena eksekusi, penyakit,
kelelahan, maupun kelaparan.
3. Kamboja setelah 1979
Pada 1978, Vietnam menginvasi Kamboja dan berhasil mengulingkan pemerintah Khmer
Merah. Di bawah kekuasaan rezin Vietnam yang komunis ini pun, Kamboja semakin terpuruk
dan bahkan ikut terbenam dalam puing-puing reruntuhan rezim sebelumnya. Selain karena
banyak professional dan intelektua yang tewas dalam genosida sebelumny, pengawas komunis
Vietnam ini tidak mendapat bantuan dari negara-negara Barat yang Demokratis. AS dan Inggris
sepanjang 1980-an bahkan menawarkan dukungan keuangan dan militer kepada pasukan
Khmer Merah di pengasingan setelah mereka bersumpah melakukan perlawanan terhadap
Vietnam dan Komunisme. Kondisi ini membuat Kamboja semakin tertinggal dan terbelakang.
Kondisi ini terus berlangsung hingga mundurnya Vietnam dari Kamboja pada 1989.
Dalam konflik berikutnya dari 1978 hingga 1989, 14.000 warga sipil Kamboja tewas. Pada
1991, sebuah kesepakatan damai akhirnya tercapai dan Budha kembali menjadi agama resmi
negara. Selanjutnnya pada 1993, pemilu pertama yang benar-benar demokratis diadakan. Pada
25 Juli 1983, Komite Penelitian Rezim Genosida Pol Pot mengeluarkan laporan final, termasuk
data tiap Provinsi secara terperinci. Data tersebut menunjukan bahwa sebnayak 3.314.768
orang tewas selama Pol Pot berkuasa. Sejak 1995, banyak kuburan massal di temukan di
seluruh Kamboja namum membawa para pelaku ke pengadilan bukanllah hal yang mudah.
Pada 1994, PBB menyerukan diadakan persidangan untuk menghukum para anggota Khmer
Merah. Persidangan baru terealisasi pada November 2007 dan terus berlanjut sampai 2010.
Pada 1997, Pol Pot di tangkap oleh anggota Khmer Merah. Sebuah pengadilan “ akal-akalan”
diadakan dan Pol Pot dinyatakan bersalah. Setahun kemudian, ia meninggak dunia karena gagal
jantung. Organisasi Khmer Merah secara resmi dibubarkan pada 1999.
C. Kasus Bangladesh
Sebelum mendeklarasikan kemerdekaan dari Pakistan pada 26 Maret 1971, Bangladesh
adalah bagian dari Negara Pakistan. Sebuan untuk wilayah tersebut sebelum tahun 1971 adalah
Pakistan Timur. Deklarasi kemerdekaan ini ditentang oleh Pakistan, yang berujung pada perang
antara kedua negara pada 26 Maret sampai 16 Desember 1971. Dengan dukungan dari India,
Bangladesh berhasil mempertahankan kemerdekaan, dengan presiden pertama Syeikh Mujibur
Rahman (1971-1975)
Pada awal kemerdekaan, Bangladesh menghadapi masalah internal, yaitu pemberontakan
dari suku minoritas Jumma atau orang Jumma, yang bermukim di sepanjang Jalur Bukit
Chittagong (Chittagong Hill Tracks), Bangladesh bagian tenggara. Orang Jumma menuntut
ekonomi luas dari Bangladesh setelah negara itu di anggap gagal menegakkan keadilan dan
perdamaian di tanah mereka. Konflik di Jalur Bukit Chittagong adalah konflik politik disertai
perjuangan bersenjata antara Pemerintah Bangladesh dan Parbatya Chattagram Samiti (PCJSS atau
Partai Rakyat Bersatu Jalur Bukit Chittagong) dan sayap bersenjatanya, Shanti Bahini. Konflik
tersebut berlatar belakang isu otonomi dan hak-hak orang Jumma di Jalur Bukit Chittagong yang
beragama Budha dan Hindu.
Sebelum kedatangan bangsa Inggris orang Jumma hidup relative terisolasi di JBC, dengan
struktur politik dan identitas budaya mereka sendiri. Bahkan, selama era Kekaisaran Mughal di
India (1526-1857), orang Jumma hanya di pumut pajak dengan berupa kain wol, namun tetap di
biarkan mengurus wilayah mereka berdasarkan hukum-hukum tradisional dan adat-istiadat mereka.
Pada 1860, inggris secara resmi menganeksasi wilayah JBC dan membentuk satu kabupaten atau
distrik tunggal di JBC, yaitu Kabupaten JBC. Untuk mengatasi ketegangan dengan penduduk
setempat, Inggris mengeluarkan CHT Regulation 1900, sebuah Undang-Undang yang di buat
untuk melindungi hak-hak dan kepentingan suku asli JBC serta melestarikan identitas budaya
mereka. Poin kunci dari peraturan ini adalah melarang siapaun di luar kelompok 13 suku JBC
untuk memasuki atau tinggal di wilayah JBC, kecuali mendapat izin dari perwakilan Inggris.
Pada saat India di bagi menjadi India dan Pakistan pada 1947, yang di kenal dengan
Paration of India, penduduk JBC ingin menjadi bagian dari India karena alasan kedekatan budaya
dan agama. Namun, karena proses politik, menjadi bagian dari Pakistan (sebelum Pakistan pecah
lagi menjadi Pakistan Barat dan Pakistan Timur/Bangladesh sekarang). Pakistan berkepentingan
sekali dengan JBC karena wilyah ini memiliki potensi pembangkit listrik tenaga air (hidroelektrik)
yang besar. Setelah Bangladesh (Pakistan Timur) merdeka dari Pakistan Barat pada 1971, JBC
menjadi bagian dari Bangladesh. Penderitaan masyarakat JBC semakin terasa. Pada masa
pemerintahan Syeikh Mujibur Rahman (1971-1975), sebagian besar peraturan dalan CHT
Regulation 1900 dihapus dan akses orang ke luar JBC di buka seluas-luasnya. Orang Jumma
memprotes dengan keras, namun tidak di indahkan. Pemerintah Bangladesh bahkan menyikapi
demonstrasi dan protes rakyat JBC dengan mengirim polisi dan tentara agar orang-orang non-JBC
bisa masuk dengan aman dan leluasa ke wilayah itu.
D. Konflik di Asia Timur
1. Konflik Tiongkok
Kemunculan paham komunis di Tiongkok berawal dari kemenangan Partai Komunis
Tiongkok dalam konflik politik di Tiongkok. Pada 1923, Komunis pimpinan Mao Zedong
melakukan aliansi dengan kelompok nasionalis pimpinan Sun Yat Sen. Akan tetapi, terjadi
perpecahan tahun 1927 sehingga jumlah fraksi dari kelompok nasionalis berpindah kea rah
pergerakan kelompok komunis. Perang saudara pun tak terhindarkan. Untuk menggalang
dukungan massa, Mao Zedonng melakukan Long March melintasi pegunungan Yunan pada
tahun 1934-1935. Melalui Long March itulah, Mao Zedong mendapatkan dukungan dari
banyak kalangan petani-petani di pedesaan, yang pada waktu itu menjadi mayoritas di dalam
struktur kemasyarakatan Tiongkok. Besarnya dukungan kaum petani terhadap Partai Komunis
ini kemudian menjadi semakin intens seiring dengan kebijakan reformasi pertahan (Land-
Reform) yang di gagas oleh partai ini di tahun 1946.
Pada masa PD II, Jepang menduduki wilayah Tiongkok utara dan Tiongkok tengah.
Golongan komunis maupun nasionalis tidak mampu mengusir Jepang. Mereka melancarkan
perlawanan secara tersembunyi. Golongan nasionalis bekerjasama dengan Amerika Serikat,
Inggris, dan Perancis untuk mengusir Jepang dari Tiongkok selama PD II. Adapun golongan
komunis Tiongkok mendapat bantuan dari pasukan Uni Soviet.
Perang terbuka antara golongan nasionalis dan komunis Tiongkok terjadi setelah
kekuasaan Jepang berakhir pada tahun 1945. Perang saudara berlangsung selama tiga tahun
dari tahun 1946 hingga 1949. Golongan komunis Tiongkok berhasi memenangkan perang
saudara ini. Mereka segera mendeklarasikan berdirinya negara Republik Rakyat Tiongkok
pada tanggal 1 Oktober 1949.
Pada 1 Oktober 1949, Mao Zedong memproklamasikan kemerdekaan Republik Rakyat
Tiongkok. Moa Zedong berhasil menggulingkan pemerintah nasionalis Kuomintang (KMT)
Chiang Kai Shek, yang di dukung Amerika Serikat. Sementara itu, Chiag Kai Shek dan KMT-
nya mundur ke Kepulauan Taiwan.
Strategi aliansi yang di terapkan oleh Uni Soviet dengan menggandeng Tiongkok tahun
1949-1950 menjadi salah satu factor penyebab kemunculan poros Barat-Timur dalam Perang
Dingin. Selain Tiongkok, poros timur di kawasan Asia juga diwakili oleh Vietnam, Korea
Utara, Laos, dan Kamboja. Dalam hal strategi, hal tersebut menjadi ancaman serius bagi
kepentingan ekonomi, politik, dan penyebaran ideology demokrasi liberal Amerika Serikat.
2. Perang Korea
Pasca PD II, salah satu persaingan yang tterlihat jelas antara AS dan Uni Soviet adalah dalam
perang Korea (1950-1953). Perang tersebut mengakibatkan pecahnya bangsa Korea kedalam
dua negara, yakni Korea Utara dan Korea Selatan. Terbaginya Korea menjadi dua negara
bermulai dari akhir PD II pada tahun 1945. Pada 9 Agustus 1945, menjelang berakhirnya PD
II, Uni Soviet menyatakan perang dengan Jepang dan berpartisipasi dalam perang Asia Pasifik.
Pada sekitar 10 Agustus 1945, khawatir akan penyebaran Komunis di Korea akibat
penyerangan Uni Soviet. Amerika Serikat membuat rencana Grand-Design ( penunjukan
wilayah untuk pelucutan senjata tentara Jepang di bagian Selatan untuk Amerika Serikat dan
di bagian Utara untuk Uni Soviet) untuk mendapat pengakuan kekalahan Jepang di wilayah
bagian Korea. Tindakan Amerika Serikat ini bertujuan menghalangi Uni Soviet menduduki
seluruh wilayah semenanjung Korea.
Terpilihnya Eisenhower sebagai Presiden Amerika Serikat menggantikan Harry S. Truman
membuat perubahan peta kekuatan dalam perang Korea. Selanjutnya, dibuatlah sebuah
perjanjian gencatan senjata pada 27 Juli 1953 yang isinya menghentikan perang terbuka,
sentralisasi area sejauh 4.000 dari garis pantai, penetapan area bebas militer (Demiliterized
Zone/DMZ), pelarangan memasuki area lawan, dan pembebasan tahanan perang (pemulangan
tahanan perang di bantu oleh NNSC atau The Neutral Nations Supervisory Commission yang
terdiri dari negara Cekoslowakia, Swedia, Polandia, dan Swiss) perjanjian ini ditandatangani
oleh Letan Jenderal William K. Harrison (PBB), Jenderal Nam II (Korea Utara) dan perwakilan
Tiongkok.
E. Konflik di Eropa
1. Perang di Kosovo (1999)
Pada 1989, Presiden Serbia Slobodan Milosevic mengakhiri otonomi (Semi-kemerdekaan)
Kosovo, sebuah wilayah di Serbia dengan mayoritas penduduk muslim Albania. Ketegangan
antara Albania dan Serbia membuat orang Albania membentuk Kosovo Liberation Army
(KLA) pada 1997 untuk mempertahankan diri dari serangan Serbia. Bentrokan di mulai pada
1998 dan pembicaraan damai di Paris gagal. Pada Maret 1999, pesawat-pesawat NATO
mengebom Serbia untuk memaksa pasukan Serbia keluar dari Kosovo. Kebijakan baru Serbia
tentang pembersihan etnis memaksa 600.000 orang Albania mengngsi. Pada Juni, Milosevic
menerima syarat damai dan NATO mengambil alih kekuasan. Sebagian besar orang-orang
Albania kembali dari pengungsian, tetapi banyak orang Serbia yang melarikan diri dari
pengungsian karena takut akan pembalasan orang Albania.
2. Konflik IrlandiaUtara
Pada 1921 terjadi pemisahan Irlandia, yakni Irlandia bagian selatan (Mayoritas Katolik)
menjadi negara merdeka, sedangkan Irlandia Utara (mayoritas Protestan) menjadi negara
persemakmuran Inggris. Setelah pemisahan Irlandia, mayoritas kaum Protestan (unionis atau
loyalis) mendominasi wilayah Ulster yang di perintah Inggris. Kaum Katolik di diskriminasi
dan tidak di beri perwakilan yang cukup di Stormont, Parlemen Irlandia Utara.
Pada November 1985, Pemirintah Inggris dan Irlandia menandatangani Anglo-Irish
Agreement, yang memberikan Republik Irlandia peran konsultatif dalam menjalankan Irlandia
Utara. Pada Desember 1993, kedua pemerintah menandatangani deklarasi yang mengatur
pembicaraan politik untuk mengakhiri kekerasan. Gencatan senjata antara IRA dan kelompok
paramiliter loyalis pada 1994 menimbulkan perdamaian di provinsi ini untuk pertama kalinya
sejak akhir 1960-an. Pada 2005, IRA menyatakan bahwa perjuangan bersenjata telah selesai
dan menghancurkan seluruh senjata yang dimilikinya, membawa harapan untuk mendapatkan
kesepakatan damai.
F. Konflik di Afrika
1. Perang Sipil di Liberia
Liberia merupakan negara di pesisir barat Afrika, Liberia merupakan republic tertua di
Afrika yang didirikan oleh budak-budak Amerika yang dibebaskan pada abad XIX. Keturunan
mereka kemudian medominasi Liberia sampai Kudeta militer pada 1980 yang dipimpin oleh
Samuel Doe, seorang anggota suku Krahn. Persaingan kekuatan negara berkembang pada 1990,
kondisi tersebut menghadapkan negara tersebut pada perang sipil. Latar belakang Perang Sipil
Liberia adalah persaingan kesukuan yang menginginkan posisi penting dalam Liberia.
2. Konflik Somalia
Pada 1969, presiden Siad Barre menjalankan kediktatoran militer di Somalia, negara yang
berada di timur laut Afrika. Pada 1998, Somalia Nation Movement (SNM) memulai
pemberontakan bersenjata sebagai perlawanan terhadap pemerintahan Berre. Pasukan
pemerintah secara brutal menekan pemberontakan. Pada 1991, pasukan pemberontakan
berhasil merebut Ibu Kota Mogadishu, dan Berre melarikan diri ke Kenya. Selanjutnya terjadi
perang sipil di Somalia. Ribuan orang tewas dan banyak warga yang melarikan diri dan menjadi
pengungsi di Ethiopia.
3. Eritrea Memperoleh Kemerdekaan
Eritrea tellah dikaitkan dnegan Eithiopia sejak abad IV, dan setelah menjadi koloni
Italia untuk waktu yang singkat., kembali menjadi bagian dari Eithopia pada 1962. Namun
setelah reunifikasi Eritrean Pople’s Liberation Front (EPLF) mulai berjuang untuk
kemerdekaan. Pada 1991, ELPF menggulingkan pemerintahan Marxis Eithiopia dan
membentuk pemerintahan sementara di Eiritrea. Kemerdekaan akhirnya berhasil di capai pada
1993, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah pascakolonial, suatu bangsa Afrika berhasil
memisahkan diri dari yang lain.
4. Genosida di Rawanda
Peristiwa ini bermula ketika Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana, pada 1990-an
merintis pemerintahannya dengan melibatkan perwakilan dari tiga etnis di Rwanda. Etnis
tersebut dalah Hutu dengan Populasi sekitar 85% Tutsi dengan populasi sebesar 14% dan Twa
yang hanya memiliki popularitas sekitar 1% Junvenal kemudian mengangkat Agathe
Uwilingilama dari etnis Tutsi menjadi perdana menteri. Pengankatan ini menumbuhkan ketidak
sukaan dari kelompok militant Hutu yang menghendaki sistem pemerintah harus berada di
tangan etnis Hutu yang lebih dominan. Ketegangan antara etnis Hutu dan Tutsi menyulut
terjadinya perang pertama pada 12 Juli 1992. Dalam hal ini media berperan penting dalam
gerakan genisoda di Rwanda karena media, seperti surat kabar,di kuasi oleh pemerintah.
Sepeninggalan Juwenal, pemerintah dikuasai oleh kaum pemberontak yang semakin bebas
untuk melakukan apa saja dan berujung pada Genosida terhadap etnis Tutsi.
5. Kejatuhan Mobutu di Zaire
Lima tahun sejak kemerdekaan dari Belgia pada 1960, Jenderal Mobutu Sese Seko
berkuasa di Zaire. Di bawah pemerintahan yang korip Zeire tetap menjadi salah satu negara
termiskin di Afrika, Mobutu telah mengekploitasi sumber kekayaaN DI Zaire selama 30 tahun
dan hasilnya hanya di nikmati oleh segelintir elite dan renzim yang berkuasa.
Pada decade 90-an, muncullah kekecewaan dan ketidakpuasan dari rakyyat terhadap rnzim
Mobutu yang korup di tambah dengan kondisi ekonomi Zaire yang hancur. Ketidakpuasan
tersebut melahirkan pembeerontakan dari oposisi, salah satu oposisi tersebut adalah Popular
Revolutionary Party (RPR : Partai Revolusioner Populer) di bawah pimpinan Laurent-Desire
Kabila. Antara tahun 1996-1997, terjadi pernag antara Zaire dan Pasukan AFDL-milisi anti-
Mobutu. Pasukan ini berhasil merebut Zaire di willayah timur hingga menuju ibu kota Zaire,
Kinhasa .pasukan AFDL berhasil mengulingkan renzim Mobutu dan menduduki Kinshasa.
Laurent-Desire Kabila pemimpin kelompok AFDL kemudian mengambil alih pemerintah dan
menjadi Presiden Zaire. Dalam mengawali pemerintahan yang baru Laurent-Desire Kabila
mengganti nama Zaire menjadi Republik Demokratik Kongo (RDK).
G. Konflik di Amerika Latin
1. Krisis Kuba
Pada Maret 1960, Kuba mulai melakukan negosiasi pembelian senjata dengan Eropa Timur,
termasuk Uni Soviet. Amerika Serikat mengajukan keberatan akan pembelian tersebut, namun
tidak di tanggapi oleh Fidel Castro (Presiden Kuba). Akibanya, pada Januari 1961, Eisenhower
memutuskan hubungan diplomatic dengan Kuba. Pada April 1961, di bawah prisiden yang baru
terpilih Jhon F. Kennedy CIA dalam rangka menggulingkan Fidel Castro mulai menginvasi
pulau-pulau di Teluk Babi (Playa Giron) dan Playa Larga di Provinsi Las Villas. Invasi tersebut
mengalami kegagalan dan mempermalukan Amerika Serikat di mata dunia. Setelah itu Fidel
Castro secara resmi menganut marxisme-leninisme dan menjalin hubungan makin erat dengan
Uni Soviet.
2. Konflik di Nikaragua
Sejak tahu 1933, Nirkaragua dikuasai oleh keluarga dictator Anastasio Somoza Debayle. Ia
memerintah dengan tangan besi dan mengesampingkan rakyatnya demi kepentingan dirinya
sendiri. Kemiskinan dan penderitaan rakyat Nirkaragua menimbulkan berbagai pemberontakan
yang menentang pemerintah Somoza. Salah satunya adalah gerakan mahasiswa sayap kiri yang
membentuk kelompok pemberontak bernama Frente di Liberacion Nacional (FLN) pada 1961.
Nama FLN kemudian di ubah menjadi Frente Sandinista de Liberacion Nacional (FSLN : from
Pembebasan Nasional Sandinista ) atau lebih di kenal Sandinista. Pada Februarai Sandinista
membentuk organisasi koalisi dengan nama Frente Patriotico Nacional(FPN : Front Patriotik
Nasional). Tumbangnya renzin somoza menandai naiknya Sandinista ketampuk kekuasaan.
Pada 1980, terjadi perpecahan di badan pemerintahan Nirkagua karena isu bahwa Sandinista
berencana mengubah Nirkagua menjadi negara Komunis, seperti Kuba dan Uni Soviet. Akibat
isu-isu tersebut, muncul kelompok-kelompok anti-Sandinista tersebut. Kelompok-kelompok
tersebut kemudian di kenal dengan nama Contra. Pada 2006, Daniel Ortega terpilih sebagai
presiden Nirkagua yang sekaligus menandai kembalinya Sandista sebagai penguasa Nirkagua.
3. Perang Falkland ( Malvinas)
Kepemilikan Kepulauan Falkland di Atlantik Selatan telah lama menjadi persengketaan
antara Inggris dan Argentina. Pada April 1982, Junta mileter Argentina menginvasi dan
menduduki kepulauan tersebut. Disamping sebagai upaya yang dilakukan PBB, Amerika
Serikat, dan Peru untuk mencapai kesepakatan damai, Inggris mengirimkan 30 kapal perang
dan 6. 000 tentara untuk membebaskan Kepulauan Falkland. Georgia Selatan berhasil diambil
alih pada 25 April 1882 dan pulau-pulau utama diambil alih pada 14 Juni 1882. Sejak perang
Inggris mempperkuat kehadiran militernya di kepulauan tersebut.
4. Amerika Serikat Menginvasi Panama
Sejak 1914, Amerika Serikat mengendalikan lalu lintas di Terusan Panama, yang
menghubngkan Laut Karabia dan Pasifik. Amerika Serikat kemudian mengembalikan Terusan
Panama kepada pemerintah Panama pada 1999. Namun, pada 1989, ketika presiden Manuel
Noriega, seorang penjual narkoba terkenal dan mantan agen CIA, menarik dukungannya
terhadap Amerika Serikat dan memanipulasi pemilu untuk tetap berkuasa pasukan Amerika
Serikat menginvasi Panama, menangkap Noriega, dan membawaya ke Amerika Serikat untuk
di adili. Ia dinyatakan bersalah atas perdagangan narkoba dan tuduhan lainnya dan di jatuhi 40
tahun penjara.

Anda mungkin juga menyukai