Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KONFLIK KONFLIK DI BERBAGAI


DUNIA

DISUSUN OLEH:
1.MUHAMMAD RAEHAN ZAMZAMI
2.AGUNG APRILDO
3.RESTU SATRIO N.B
4.FIRMAN ADHA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................

DAFTAR ISI....................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah....................................................


B. Rumusan Masalah..............................................................
C. Tujuan Penelitian...............................................................

BAB II PEMBAHASAN

A.KONFLIK DI DUNIA.............................................................

a.KONFLIK DI TIMUR TENGAH...........................................

b.KONFLIK DI ASIA............................................................

c.KONFLIK DI EROPA........................................................

d.KONFLIK DI AMERIKA LATIN..........................................

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN....................................................................
B. SARAN...............................................................................
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Karena atas
berkatnya dan rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Dengan kami haarapkan makalah yang
telah kami susun ini dapat bermanfaan bagi pembaca maupun
pendengar dalam makalah “ KONFLIK DI BERBAGAI DUNIA”

Kami menyadari bahwa makalaah yang kami susun ini jauh


dari kata sempurna untuk itu kami berbesar hati untuk menerima
segala kritik dan saran dari pihak manapun
Akhir kata kami mohon maaf atas kekurangan serta kejanggalan
hak ini maupun dalam teknik penyajiannya.

Lebong, Februari 2023

Penulis

Muhammad Raehan Zamzami


BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG

Konflik dan perang memang sesuatu yang tidak bisa dihindari


dari kehidupan manusia. Setiap negara setidaknya pernah
mengalami konflik dalam negeri maupun luar negeri satu kali atau
bahkan lebih, Perang merupakan sesuatu hal yang tidak bisa
dihapuskan maupun dihindari dari sejarah kehidupan manusia atau
dapat dikatakan bahwa konflik maupun perang akan selalu ada
dalam kehidupan umat manusia. Dewasa ini banyak terjadi konflik
bersenjata antara negara dengan suatu kelompok oposisi atau
kelompok separatis yang ada di dalam negara tersebut.

Setiap negara di dunia memiliki cita-cita dan tujuan utama


untuk membangun negaranya menjadi negara yang sejahtera,
aman serta sebagai pelindung bagi setiap warganya. Cita-cita luhur
dan tujuan mulia ini, dalam meraihnya bukanlah perjuangan yang
mudah dan mulus, ada banyak tantangan serta proses yang harus
dihadapai. Masih banyak negara-negara di dunia yang masih
bergumul dengan masalah kemiskinan, kelaparan, peperangan,
sengketa wilayah hingga pemberontakan yang dilakukan oleh
kelompok tertentu yang berusaha untuk merebut kekuasaan
pemerintah yang sah serta menanamkan pengaruh, ideologi dan
pemikiran kelompoknya. PBB sebagai lembaga internasional
melalui organisasi dibawah naungannya yakni UNHCR (United
Nations High Commissioner for Refugees) yang menangani
persoalan pengungsi turun tangan untuk menangani dan
menanggulangi permasalahan pengungsi tersebut yang bekerja di
bidang kemanusiaan
B.Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Apakah yang melatarbelakangi terjadinya koflik?
2. Bagaimana proses berlangsungnya konflik ini?

C.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
Dengan makalah ini diharapkan kita sebagai mahasiswa sejarah
dapat mengetahui dan memahami apa yang yang dimaksud dengan
konflik di berbagai belahan dunia. Selain itu dapat juga mengetahui
mengapa sampai terjadi konflik tersebut. Negara-negara yang
terlihat dalam konflik ini serta apa dampaknya bagi dunia?
BAB II
PEMBAHASAN

A. KOFLIK DI DUNIA

a. KONFLIK DI TIMUR TENGAH

1.Perang Teluk I

Setelah Perang Dunia II berakhir, di kawasan Timur Tengah


berlangsung konflik yang kemudian berkembang menjadi perang yaitu konflik
Iran-Irak dan Irak dengan pasukan multinasional. Perang tersebut lebih dikenal
dengan sebutan Perang Teluk karena perang ini berkobar di Teluk Persia.
Perang Teluk I melibatkan Iran dan Irak yang memperebutkan perbatasan di
Selat Shatat al Arab dan berlangsung antara 1980-1988.

Perang yang berlangsung antara Iran dan Irak ini pecah pada 22
September 1980. Sebelum perang tersebut meletus, terjadi konflik perbatasan
antara kedua negara tersebut. Namun, konflik tersebut berhenti lewat Perjanjian
Algier pada 1975. Melalui perjanjian ini, Iran diharuskan menghentikan
dukungannya kepada pemberontak suku Kurdi dan perbatasan wilayah Iran-Irak
di Shatt al Arab akan digeser dari wilayah timur ke tengah perairan. Akan
tetapi, tidak lama berselang, konflik kembali memanas akibat kekhawatiran Irak
akan masuknya pengaruh revolusi Islam tahun 1970. Revolusi tersebut
mengantarkan Ayatullah Khomeini ke tampuk kekuasaan Iran.

Selanjutnya, pada 1 April 1980, terjadi serangan granat terhadap wakil


Perdana Menteri Irak, Tariq Azis. Kejadian ini membuat Presiden Irak, Saddam
Hussein, menyalahkan pemerintah Iran. Sebagai balasan, Saddam kemudian
mengusir ribuan orang Iran dari Irak dan mengecam Ayatullah Khomeini.
Hubungan antara Iran dan Irak kembali memanas apalagi ketika Saddam
menuntut Iran merundingkan kembali Perjanjian Algier tahun 1975 dan
menuntut pengembalian tiga pulau kecil di Selat Hormuz. Pernyataan Saddam
kemudian ditanggapi oleh Menteri Luar Negeri Iran, Gorbzadeh, bahwa Iran
akan menjatuhkan rezim Baath di Baghdad. Pada 9 April 1980, Iran
memutuskan hubungan diplomatik dengan Irak. Ketegangan antara Iran dan
Irak semakin meningkat setelah Irak mengirimkan sekitar 150.000 pasukannya
ke perbatasan.

Iran menanggapi pengiriman pasukan dengan memperkuat pos-pos


militernya dengan bantuan dari Suriah. Pertempuran kembali terjadi di
sepanjang perbatasan pada 17-20 September 1980. Presiden Iran, Bani Sadr,
mengumumkan pengambilalihan komando operasi militer Iran di perbatasan.
Selanjutnya, pada 22 September 1980, Irak mengerahkan enam pesawat
tempurnya untuk melakukan penyerangan di bandara-bandara yang dimiliki
Iran. Serangan udara Irak ini menandai pecahnya Perang Iran-Irak yang
sesungguhnya.

Semula, Saddam Hussein berharap bahwa serangan Irak ke Iran dapat


membangkitkan perlawanan rakyat Iran yang tidak menyukai kekuasaan rezim
Khomeini. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Rakyat Iran dapat bersatu
dalam menghadapi Irak, meskipun masing-masing kelompok saling
bermusuhan.

Menjelang berakhirnya perang, Saddam Hussein melancarkan serangan


menggunakan gas kimia beracun (gas sarin dan gas mustard) ke salah satu basis
gerakan nasionalis Kurdi, yaitu di Halabja (Kurdistan Selatan) pada 16 Maret
1988. Selain karena selalu mengganggu integritas nasional Irak dengan
mencoba mendirikan negara merdeka di wilayah Kurdi Irak, serangan itu
merupakan bentuk hukuman terhadap kaum Kurdi yang dituduh Iran selama
berlangsungnya Perang Iran-Irak (1980- 1988). Antara 3.200 sampai 5.000
warga sipil tewas dalam serangan itu, sementara antara 7.000 sampai 10.000
orang menderita luka- luka. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan
Pembantaian Halabja atau Jumat Berdarah.

Serangan ke Halabja merupakan bagian dari Al-Anfal Campaign (dimulai


pada awal 1988), yang dipimpin oleh sepupu Saddam Hussein bernama Ali
Hassan al-Majid. Tujuannya adalah menghancurkan semaksimal mungkin sel-
sel gerakan separatisme kaum Kurdi Irak (Irak Utara). Seluruh rangkaian Al-
Anfal Campaign menggunakan senjata kimia. Diperkirakan antara 50.000-
182.000 warga sipil Kurdi tewas. Itulah sebabnya, muncul sebutan "Chemical
Ali" untuk Ali Hassan al-Majid. (Catatan: sejak 2003, para pemimpin yang
terlibat dalam operasi Al-Anfal itu didakwa melakukan kejahatan terhadap
kemanusiaan, genosida, dan pembunuhan terencana oleh Mahkamah Khusus
Irak).
Selanjutnya, di bawah tekanan masyarakat internasional, baik Iran
maupun Irak, bersedia menghentikan peperangan dan mengadakan perundingan
untuk dapat menyelesaikan sengketa. Pada 1989, Dewan Keamanan PBB
mengeluarkan resolusi agar Iran dan Irak melakukan gencatan senjata. Resolusi
itu pun disanggupi oleh kedua belah pihak yang menyatakan akan mengakhiri
perang yang telah berlangsung selama delapan tahun. Menjelang berakhirnya
perang tersebut, Irak mengembalikan sebagian wilayah di Shatat al Arab kepada
Iran

2. Perang Teluk II

A. Latar Belakang

Perang Teluk II adalah perang yang terjadi di Timur Tengah yang dipicu
oleh invasi Irak terhadap Kuwait. Perang ini berlangsung sejak 2 Agustus 1990
hingga 28 Februari 1991. Irak saat itu dipimpin oleh Saddam Hussein. Ia
memerintahkan invasi dan pendudukan atas negara tetangganya, Kuwait, pada
awal 1990. Perang Teluk II pun dimulai dengan serangan udara besar- besaran
Amerika Serikat terhadap Irak, di bawah nama Operasi Badai Gurun (Operation
Desert Storm).

Sebelum Perang Teluk, Irak terlibat perang dengan Iran. Perang tersebut
mengakibatkan kemerosotan ekonomi di kedua belah pihak. Kemerosotan
ekonomi tersebut ditandai dengan mandeknya pembangunan dalam negeri dan
menumpuknya utang luar negeri. Untuk menjaga reputasinya di dalam negeri,
Saddam Hussein menjadikan Kuwait dan negara-negara Arab sebagai kambing
hitam. Ia juga mengungkit-ungkit masalah perbatasan yang sebetulnya telah
selesai seperti berikut.

-Menuduh Kuwait menyedot minyak mentah dari ladang minyak Ar-


Rumaylah yang terletak di sepanjang perbatasan kedua negara tersebut.

-Kuwait menolak permintaan Irak agar utang Irak kepada Kuwait sebesar
14 miliar dollar AS dihapus. Utang itu dipakai Irak untuk membiayai perang
melawan Iran pada 1980-1988. Alasan Irak menuntut penghapusan utang
tersebut karena Kuwait adalah sekutu Irak dalam perang melawan Iran.

-Selain itu, ia juga menuduh kedua negara bersekongkol untuk menjaga


harga minyak tetap rendah demi menjaga persahabatan dengan bangsa-bangsa
Barat. Menurut Saddam Hussein, dengan sikap seperti itu, kedua negara itu
akan terus menjadi kaki tangan Barat.

-Mengangkat masalah batas wilayah warisan pemerintah Ottoman, Turki.


Menurutnya, Kuwait merupakan bagian yang integral dari Republik Irak.
Saddam Hussein menyebutnya sebagai provinsi ke-19 Irak.

B. Invasi Irak ke Kuwait dan Respons Sekutu

Presiden Amerika Serikat George H. W. Bush bersama dengan Inggris


dan Uni Soviet mengutuk invasi Irak aras Kuwait. Pada 3 Agustus 1990, Dewan
Keamanan PBB Irak menarik pasukannya dari Kuwait. Tiga hari kemudian,
Raja Fahd dari Arab Saudi bertemu dengan Menteri Pertahanan Amerika
Serikat, Dick Cheney, untuk meminta dukungan militer Amerika Serikat
tersebut, serta menyerukan kepada negara-negara anggota NATO untuk
mendukung Kuwait. Pada 8 Agustus 1990, pemerintah Irak secara resmi
menganeksasi Kuwait. Pesawat-pesawat tempur pertama Angkatan Udara
Amerika Serikat tiba di Arab Saudi sebagai bagian dari penambahan kekuatan
militer. Nama sandi operasinya adalah Operation Desert Shield. Di darat,
terdapat pasukan gabungan dari NATO yang siap siaga menghadapi serangan
Irak terhadap Arab Saudi.

Sementara itu, di Kuwait, Irak meningkatkan jumlah pasukan menjadi


300.000 tentara. Dalam rangka menggalang dukungan dari dunia Islam, Saddam
Hussein mengumumkan jihad melawan koalisi. Dia juga mencoba bersekutu
dengan para pejuang Palestina. Di saat-saat terakhir menjelang perang besar
dengan Amerika Serikat, Saddam Hussein menandatangani perjanjian
perdamaian dengan mantan musuh bebuyutannya, Iran, sebagai suatu langkah
yang diyakini dibuat untuk mengurangi musuh.

C. Mulainya Perang Teluk


Pada 29 November 1990, Dewan Keamanan PBB secara resmi
mengesahkan penggunaan "segala cara yang diperlukan" untuk melawan agresi
Irak, apabila Irak tidak menarik diri dari Kuwait hingga 15 Januari tahun
berikutnya. Pasukan koalisi yang telah siap melawan Irak berjumlah sekitar
750.000 orang, termasuk 540.000 personel pasukan Amerika Serikat dan jumlah
yang relatif kecil dari Inggris, Prancis, Jerman, Uni Soviet, Jepang, Mesir, dan
Arab Saudi. Sementara itu, Irak mendapat dukungan dari Yordania, Aljazair,
Sudan, Yaman, Tunisia, dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

Pada pagi hari 17 Januari 1991, serangan udara masif di bawah pimpinan
Amerika Serikat yang dikenal dengan Operasi Badai Gurun, menghujani
pertahanan udara Irak. Dalam waktu singkat, jaringan komunikasi, gudang
senjata, dan kilang minyak porak-poranda. Amerika Serikat menggunakan
teknologi militer terbaru, di antaranya pesawat pengebom Stealth rudal Cruise,
yang disebut juga bom pintar (smart bomb) dengan sistem petunjuk laser dan
peralatan inframerah pengeboman malam hari. Tujuan serangan udara ini adalah
untuk memenangkan pertempuran udara dan meminimalkan pertempuran darat
sebanyak mungkin.

Pada pertengahan Februari, pasukan koalisi memerangi pasukan darat


Irak di Kuwait dan selatan Irak. Serangan darat yang masif dari Sekutu dikenal
dengan nama Operation Desert Sabre diluncurkan pada 24 Februari 1991.
Pasukan itu bergerak dari timur laut Arab Saudi menuju Kuwait dan selatan
Irak. Empat hari kemudian, pasukan Irak menyerah dan Kuwait pun terbebas
dari pendudukan Irak.

Pada saat yang sama, pasukan Amerika Serikat menyerbu Irak sekitar 120
mil sebelah barat Kuwait, menyerang pasukan cadangan lapis baja Irak dari
belakang. Pasukan elite Garda Republik Irak menyusun pertahanan selatan Al-
Basrah di tenggara Irak. Namun, pada 27 Februari 1991, pasukan elite tersebut
sebagian besar dapat dikalahkan. Melihat perlawanan Irak semakin lemah, Bush
mengumumkan gencatan senjata pada 28 Februari 1991, yang mengakhiri
Perang Teluk. Menurut ketentuan perdamaian yang kemudian diterima Saddam
Hussein, Irak mengakui kedaulatan Kuwait dan menyingkirkan semua senjata
pemusnah massal termasuk senjata nuklir, biologi, dan kimia. Diperkirakan,
sekitar 8.000 hingga 10.000 anggota pasukan Irak tewas. Adapun di pihak
koalisi sekitar 300 anggota tewas.

b.KONFLIK DI ASIA
konflik Kamboja

1. Kamboja Sebelum 1975

Kamboja adalah sebuah negara di Asia Tenggara. Wilayah ini pernah


menjadi pusat kerajaan kuno yang bernama Khmer dengan ibu kotanya Angkor.
Selain itu, Kamboja juga terkenal dengan kuil-kuilnya yang berasal dari abad
XII. Ibu kota Kamboja saat ini adalah Phnom Penh. Pada 1953, Kamboja
meraih kemerdekaan setelah hampir 100 tahun berada di bawah pemerintahan
Prancis. Pada 1960-an, jumlah penduduknya lebih dari 7 juta orang. Hampir
Mayoritas penduduk beragama Buddha dan berada di bawah kekuasaan seorang
raja bernama Norodom Sihanouk

Pada 1970, Norodom Sihanouk digulingkan dalam kudeta militer


pimpinan Jenderal Lon Nol. Kudeta tersebut berhasil dan Jenderal Lon Nol
diangkat menjadi Presiden Republik Khmer. Norodom Sihanouk dan
pengikutnya bergabung dengan Khmer Merah, sebuah organisasi gerilya
komunis yang didirikan pada 1960. Mereka menyerang tentara Lon Nol yang
memicu perang saudara berkepanjangan di Kamboja.

Di era Norodom Sihanouk, Kamboja tetap menjaga netralitas selama


perang saudara Vietnam dengan memberikan sedikit dukungan untuk kedua
belah pihak. Kaum komunis Vietnam diizinkan untuk menggunakan pelabuhan
Kamboja untuk membawa masuk pasokan senjata dan makanan. Sementara itu,
Amerika Serikat diizinkan untuk mengebom tempat-tempat persembunyian Viet
Cong di Kamboja. Ketika Lon Nol mengambil alih kekuasaan dengan dukungan
Amerika Serikat, pasukan Amerika Serikat merasa bebas masuk ke Kamboja
untuk memerangi tentara Viet Cong. Kamboja pun menjadi bagian dari medan
Perang Vietnam. Selama empat tahun berikutnya, pesawat pengebom B-52
Amerika menewaskan sekitar 750.000 warga Kamboja dalam upaya
menghancurkan jalur pasokan Vietnam Utara yang mereka curigai.

Pada 1970, Khmer Merah merupakan organisasi kecil dilihat dari


kuantitas pengikutnya. Pemimpin mereka. Pol Pot. adalah pengagum
komunisme Maois (Tiongkok) dan pernah mengenyam pendidikan di Prancis.
Khmer Merah sangat menentang pengeboman yang dilakukan oleh Amerika
Serikat yang berkolaborasi dengan Lon Nol. Perlawanan Khmer Merah terhadap
pasukan gabungan Amerika Serikat dan Lon Nol menarik simpati rakyat
Kamboja. Alhasil, banyak rakyat yang bergabung dengan Khmer Merah. Selain
itu, Khmer Merah juga mendapat dukungan dari Tiongkok dan mendapat
pelatihan militer dari Vietnam Utara, Pada 1975, pasukan Pol Pot berjumlah
lebih dari 700.000 orang.

Pada 1975, pasukan Vietnam Utara merebut ibu kota Vietnam Selatan,
Saigon. Selain itu, pada tahun ini pula, Lon Nol berhasil digulingkan oleh
Khmer Merah. Diperkirakan sebanyak 156.000 orang tewas dalam perang
saudara ini, separuhnya berasal dari warga sipil.

2. Kamboja 1975-1979 (Masa Genosida)

Khmer Merah akhirnya berhasil menguasai Kamboja. Pol Pot dan Khmer
Merah memulai sebuah misi ekstrem yang terorganisasi dengan rapi. Pol Pot
memberlakukan sebuah program ekstrem untuk merekonstruksi Kamboja sesuai
dengan paham komunisme ala Mao di Tiongkok. Hal pertama yang
dilakukannya adalah mengganti nama Republik Khmer menjadi Kampuchea.
Pimpinan Khmer Merah mewajibkan seluruh penduduk untuk bekerja sebagai
buruh dalam satu federasi pertanian kolektif yang besar. Siapa kaum pun yang
menentang, baik itu rakyat biasa, biksu, ataupun intelektual akan disingkirkan.

Penduduk di kota-kota dipaksa untuk meninggalkan kota yang


mengakibatkan eksodus paksa besar-besaran. Selanjutnya, semua hak politik
dan sipil dihapus. Anak-anak diambil dari orang tua mereka dan ditempatkan di
kamp-kamp kerja paksa yang jauh. Pabrik, sekolah, universitas, dan rumah sakit
ditutup. Pengacara, dokter, guru, insinyur, ilmuwan, dan orang-orang
profesional di bidang apa pun, termasuk tentara, dibunuh bersama dengan
keluarga besar mereka. Agama dilarang, semua biksu Buddha yang terkemuka
tewas dan hampir semua kuil hancur. Musik dan radio dilarang. Satu slogan
terkenal Khmer Merah berbunyi, "To spare you is not profit, to destroy you is
no loss" (Menyelamatkan Anda tidak ada untungnya, menghancurkan Anda
tidak ada ruginya).

Orang-orang yang lolos dari pembunuhan menjadi buruh yang tidak


dibayar. Mereka bekerja berdasarkan jatah makanan minimum dengan jam kerja
yang tidak terbatas. Mereka tidur dan makan di tempat yang sengaja dipilih
sejauh mungkin dari tempat lama mereka. Hubungan personal dilarang, begitu
pula ekspresi kasih sayang. Mereka jatuh sakit tidak mendapat perawatan dan
pengobatan dan dibiarkan mati.

Kelompok minoritas menjadi target penindasan. Kelompok tersebut


termasuk etnis Tiongkok, Vietnam, dan Thailand, serta Kamboja keturunan
Tiongkok, keturunan Vietnam atau Thailand. Setengah populasi Muslim Cham
dan 8.000 penganut Kristen dibunuh. Khmer Merah juga banyak
menginterogasi anggota mereka sendiri, memenjarakan, serta mengeksekusi
mereka yang dicurigai akan melakukan pengkhianatan dan sabotase. Kematian
warga sipil selama periode ini diperkirakan sebanyak lebih dari dua juta orang
baik karena eksekusi, penyakit, kelelahan, maupun kelaparan.

3.Kamboja Setelah 1979

Pada 1978, Vietnam menginvasi Kamboja dan berhasil menggulingkan


pemerintahan Khmer Merah. Di bawah kekuasaan rezim Vietnam yang komunis
ini pun, Kamboja semakin terpuruk dan bahkan ikut terbenam dalam puing-
puing reruntuhan rezim sebelumnya. Selain karena banyak profesional dan
intelektual yang tewas dalam genosida sebelumnya, penguasa komunis Vietnam
ini tidak mendapat bantuan dari negara-negara Barat yang demokratis. Amerika
Serikat dan Inggris sepanjang 1980-an bahkan menawarkan dukungan keuangan
dan militer kepada pasukan Khmer Merah di pengasingan setelah mereka
bersumpah melakukan perlawanan terhadap Vietnam dan komunisme. Kondisi
ini membuat Kamboja semakin tertinggal dan terbelakang. Kondisi ini terus
berlangsung hingga mundurnya Vietnam dari Kamboja pada 1989.
Dalam konflik militer berikutnya dari 1978 hingga 1989, 14.000 warga
sipil Kamboja tewas. Pada 1991, sebuah kesepakatan damai akhirnya tercapai,
dan Buddha kembali menjadi agama resmi negara. Selanjutnya, pada 1993,
pemilu pertama yang benar-benar demokratis diadakan.

Pada 25 Juli 1983, Komite Penelitian Rezim Genosida Pol Pot


mengeluarkan laporan final, termasuk data tiap provinsi secara terperinci. Data
tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 3.314.768 orang tewas selama Pol Pot
berkuasa. Sejak 1995, banyak kuburan massal ditemukan di seluruh Kamboja.
Namun, membawa para pelaku ke pengadilan bukanlah perkara mudah. Pada
1994, PBB menyerukan diadakan persidangan untuk menghukum para anggota
Khmer Merah. Persidangan baru terealisasi pada November 2007 dan terus
berlanjut sampai 2010.

Pada 1997, Pol Pot ditangkap oleh anggota Khmer Merah. Sebuah
pengadilan "akal-akalan" diadakan dan Pol Pot dinyatakan bersalah. Setahun
kemudian, ia meninggal dunia karena gagal jantung. Organisasi Khmer Merah
secara resmi dibubarkan pada 1999.

c.KONFLIK DI EROPA
Eropa merupakan salah satu dari tujuh benua yang memiliki
populasi sangat padat dan terdiri dari beragam etnik. Eropa memiliki
pengaruh yang besar terhadap perkembangan sejarah dunia. Benua
Eropa merupakan tempat lahir dan berkembanganya peradaban Barat.
Sejak zaman Yunani kuno, telah lahir berbagai ide-ide politik,
penemuan ilmiah, seni dan filosofi, serta agama dari Eropa yang
kemudian menyebar ke segala penjuru dunia. Peradaban di Australia,
Kanada, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan negara-negara Amerika
Latin sebagian besar dikembangkan dari peradaban Eropa.
Eropa jika dilihat dari sisi sejarahnya, maka akan terlihat
beragam tonggak sejarah munculnya peristiwa- peristiwa besar yang
memengaruhi kehidupan dunia, seperti dominasi kekuatan Yunani-
Romawi, lahirnya renaissance, munculnya revolusi industri, dan
terjadinya Perang Dunia I hingga Perang Dingin. Bahkan setelah era
Perang Dingin berakhir, masih sering terjadi konflik yang
berkembang di Eropa yang mengakibatkan korban jiwa dan
hancurnya infrastruktur sebuah negara. Konflik apa saja yang muncul
di Eropa, khususnya setelah dunia memasuki abad ke-20? Lakukan
kegiatan berikut ini untuk menambah wawasanmu terkait konflik di
Eropa.
Benua Eropa terdiri dari berbagai negara yang memiliki unsur
keragaman etnik, latar belakang sejarah, dan sumber daya.
Berdasarkan latar belakang sejarah, Eropa merupakan kawasan yang
sering terjadi perebutan pengaruh kekuasaan dan kawasan. Hal itu
dapat diketahui dengan melihat sejarah peradaban awal Eropa hingga
memasuki abad ke-20. Berdasarkan kurun waktu sejarah
kontemporer, berikut salah satu konflik yang terjadi di benua eropa.

1. Konflik Bosnia dan Herzegovina


Bosnia dan Herzegovina atau cukup disebut Bosnia merupakan
sebuah negara republik di semenanjung Balkan. Negara Bosnia
didiami oleh tiga kelompok etnik utama, yaitu etnik Bosniak,
Serbia/Serb, dan Kroasia/ Kroat. Negara Bosnia merupakan bekas
wilayah dari negara besar Yugoslavia yang dipimpin oleh Joseph
Broz Tito. Sejak meninggalnya Presiden Tito pada tahun 1980,
negara-negara bagian Yugoslavia mulai terpecah dan menuntut
kemerdekaan, salah satunya adalah wilayah Bosnia tersebut.
Pada bulan Maret 1992, Bosnia menyatakan kemerdekaannya
melalui referendum yang diikuti oleh etnik Bosniak, etnik Kroasia
dan pendukung kemerdekaan Bosnia. Pada April 1992, organisasi Uni
Eropa mengakui kemerdekaan Bosnia yang disusul oleh Amerika
Serikat. Namun kemerdekaan Bosnia ini diboikot oleh etnik Serbia.
Kemerdekaan ini juga dianggap tidak sah karena pemerintah
Yugoslavia menolaknya.
Penolakan ini atas dasar pemikiran Slobodan Milosevic yang
ingin menyatukan kembali wilayah- wilayah Yugoslavia sepeninggal
Tito. Slobodan Milosevic merupakan golongan etnik Serbia yang
berhaluan ultranasionalis yang telah terpilih menjadi presiden negara
bagian Serbia. Ia memiliki ambisi untuk mengubah Yugoslavia
menjadi "Serbia Raya", sebuah negara yang penduduknya hanya diisi
oleh etnis Serbia.
Penolakan atas tuntutan kemerdekaan Bosnia juga direspons
oleh pemerintah Yugoslavia dengan mempersenjatai orang-orang
Serbia beserta para milisi yang tinggal di Bosnia untuk menguasai
sepenuhnya tanah Bosnia. Perang antara etnik Bosnia-Kroasia
melawan Serbia pun akhirnya tidak dapat dihindari.
Pasukan militer Yugoslavia yang dibantu oleh milisi- milisi
Serbia memulai invasinya ke ibukota Sarajevo di Bosnia. Pasukan
Serbia unggul dalam hal persenjataan dan pasukan, sehingga mereka
sukses menduduki area di sekitar Sarajevo. Di wilayah-wilayah
penaklukan pasukan Serbia inilah, terjadi pembunuhan, penyiksaan
hingga pemerkosaan terhadap warga Bosnia dan Kroasia.
Pada Mei 1992, PBB akhirnya turun tangan dan menjatuhkan
sanksi dan embargo internasional terhadap Yugoslavia. PBB juga
membentuk pasukan perdamaian bagi Bosnia (UNPROFOR). Pada
bulan April 1993, NATO dibawah pengawasan PBB juga menerapkan
zona larangan terbang di atas wilayah Yugoslavia. Selanjutnya PBB
mengumumkan pendirian "zona aman PBB" yang tidak boleh
dimasuki oleh pasukan bersenjata dan sebagai daerah penampungan
warga sipil Bosnia. Zona aman PBB tersebut meliputi wilayah
Sarajevo, Srebrenica, Gorazde, Tuzla, Zepa, & Bihac.
Aksi penyerangan dan pembantaian yang dilakukan pasukan
etnis Serbia di zona-zona aman PBB membuat PBB dan NATO
geram. Sejak bulan Agustus 1995, pasukan PBB dan NATO
melakukan operasi militer gabungan untuk menghancurkan basis-
basis militer pasukan Serbia di Bosnia. Berbagai wilayah Serbia dan
ibukota Beogard pun juga menjadi sasaran pasukan PBB-NATO
untuk melumpuhkan pasukan Serbia. Slobodan Milosevic selaku
pemimpin dari pasukan etnik Serbia menyatakan menyerah dan
bersedia mengikuti perundingan damai.
Tanggal 14 Desember 1995, pihak Serbia dan Bosnia-Kroasia
melakukan perundingan di bawah pengawasan PBB dan mencapai
kesepakatan perdamaian Sumber yang disebut Perjanjian Dayton.
Perjanjian Dayton ditandatangani oleh Presiden Serbia Slobodan
Milosevic, Presiden Bosnia Alija Izetbegovic, dan pemimpin Kroasia
Franjo Tudjman setelah melewati tiga pekan negosiasi.

d. KONFLIK DI AMERIKA LATIN


Amerika Latin merupakan sebutan untuk kawasan benua
Amerika yang berada di wilayah selatan. Amerika Latin adalah
sebutan untuk wilayah benua Amerika yang sebagian besar
penduduknya merupakan penutur asli bahasa-bahasa Roman
(terutama bahasa Spanyol dan bahasa Portugis) yang berasal dari
bahasa Latin.
Kawasan Amerika Latin relatif lebih tertinggal dari Amerika
utara dalam hal kemakmuran dan perkembangan teknologi. Salah satu
sebab ketertinggalan tersebut adalah kurang stabilnya aktivitas
pemerintahan di negara-negara Amerika Latin yang ditandai dengan
banyaknya kudeta dan terjadinya pemberontakan. Sebelum
mempelajari terkait konflik yang terjadi di Amerika Latin, lakukan
kegiatan berikut untuk membuka wawasan dan menambah
pemahamanmu terkait konflik di Amerika Latin
1. Konflik di kolombia
Kolombia merupakan sebuah negara di Amerika yang terletak di
wilayah paling utara. Kolombia Latin sejak dahulu dikenal sebagai
negara yang sering dilanda konflik bersenjata bahkan hingga kinipun
masih sering terjadi. Konflik bersenjata di Kolombia berawal sejak
tahun 1920-an, dimulai dengan gelombang protes dari para petani
lokal akibat buruknya kondisi petani selama bekerja di ladang para
tuan tanah.
Para petani menghimpun masa dan kekuatan untuk melancarkan
aksi protes dengan membawa paham perjuangan sosialisme dan
komunisme. Para simpatisan dari sayap kiri tersebut kemudian
membentuk Partai Komunis Kolombia (PKK) dan menjalin kontak
dengan milisi-milisi petani Kolombia. Munculnya PKK sering
memunculkan gesekan politik dengan partai-partai yang memiliki
ideologi berseberangan, khususnya Partai Konservatif.
Pada tahun 1964, pemerintah Kolombia melakukan penyerangan
ke markas milisi petani di Kolombia Selatan atas dukungan kubu
Partai Konservatif dan juga negara Amerika Serikat. Atas
penyerangan ini, para milisi petani dan simpatisan yang berideologi
sosialisme- komunisme menyatukan kekuatan dan membentuk
kelompok "Bloque Sur / Blok Selatan" yang kemudian
bertransformasi menjadi Fuerzas Armadas Revolucionarias de
Colombia - Ejercito del Pueblo (FARC-EP: Angkatan Bersenjata
Revolusioner Kolombia - Tentara Rakyat).
FARC merupakan kelompok bersenjata yang memperjuangkan
pendirian pemerintahan komunis dan memperjuangkan nasib para
petani Kolombia. FARC pada awalnya merupakan kelompok militer
yang hanya beroperasi di kawasan pelosok Kolombia. Namun
memasuki tahun 1980-an, FARC mulai memperluas area operasinya
ke kawasan kota dan melancarkan serangan terhadap pasukan militer
Kolombia. Sebagian anggota FARC juga dikirim ke Vietnam maupun
Uni Soviet untuk memperoleh pelatihan militer, sehingga pasukan
FARC menjadi semakin tangguh dan berbahaya.
Pada tahun 2002, pemerintah mulai menerapkan kebijakan keras
untuk melumpuhkan kelompok FARC dengan segala cara. Anggaran
militer ditambah hingga dua kali lipat dan menambah serta
memodernisasi persenjataan militer Kolombia. Kebijakan ini mulai
diterapkan sejak naiknya Alvaro Uribe menjadi presiden Kolombia.
Adanya pemerintahan baru yang meningkatkan perlawanan
terhadap FARC, membuat kekuatan FARC mengalami penurunan dan
internsitas baku tembak juga lebih sedikit. Pada tahun 2010 ,
menyatakan bahwa FARC masih memiliki pasukan sebanyak 5.000
personil dan ratusan sandera dari pihak sipil.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah
menyebabkan konflik antar individu. Dalam konflik-konflik
seperti ini terjadilah bentrokan-bentrokan pendirian, dan
masing-masing pihak pun berusaha membinasakan lawannya.
hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan
lain sebagainya, dimana tujuan dari mereka bertikai itu tidak
hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk
menundukkan saingannya dengan kekerasan atau ancaman.

B.SARAN
1. Negotiation. Kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara
bersamasama (mutual settlement) tanpa melibatkan pihak ketiga.
2. Concilliation. Mengajak (menyatukan) kedua belah pihak
yang bersengketa untuk bersama-sama melihat konflik dengan
tujuan untuk menyelesaikan persengketaan.
3. Mediation. Pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian
untuk membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai
kesepakatan.

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad raehan zamzami. 2022. Memahami konflik yang ada di belahan
benua. Bengkulu, Lebong: SMA PGRI Amen, hannn.media.com
http://han.blogspot.com/2022/dampak konflik di dunia.html

http://rehan.webstrore778.html

http://mkspedia.net.html
Rehan . W. 2022. Perangdingin. Bengkulu

Anda mungkin juga menyukai