Anda di halaman 1dari 3

Siaran Pers

Untuk segera diterbitkan

PTUN Kabulkan Gugatan 3 Institusi Kesehatan, Perguruan Tinggi Kesehatan


Bisa Kembali Gelar Uji Kompetensi Mandiri
Jakarta, 23 November 2022 - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan
gugatan dari tiga institusi pendidikan kesehatan terkait Keputusan Menteri Pendidikan,
Kebudayaan Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Republik Indonesia Nomor
62/P/2022 tanggal 11 Februari 2022 Tentang Komite Nasional Uji Kompetensi Mahasiswa
Bidang Kesehatan.
Ketiga institusi yaitu, Universitas Fort de Kock, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia
(APTISI), dan Himpunan Perguruan Tinggi Swasta Kesehatan Indonesia (HPTKES). Adapun
gugatan itu dikabulkan pada Selasa (22/11/2022).
“Mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya,” bunyi putusan yang tertulis
dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta.
Dalam putusannya, majelis hakim PTUN Jakarta yang dikeuai oleh Sudarsono serta hakim
anggota Indah Mayasari dan Akhdiat Sastrodinata, membatalkan Keputusan Menteri
Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 62/P/2022 tanggal
11 Februari 2022 Tentang Komite Nasional Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan.
Kemudian, mewajibkan tergugat dalam hal ini Kemendikbud Ristek untuk mencabut
Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor
62/P/2022 tanggal 11 Februari 2022 Tentang Komite Nasional Uji Kompetensi Mahasiswa
Bidang Kesehatan.
Selain itu, dalam amar putusannya majelis hakim menghukum tergugat untuk membayar
biaya yang timbul dari perkara ini sebesar Rp452.000.
Ketua Umum HPTKes Indonesia dan APTISI Pusat Budi Djatmiko mengapresiasi putusan
majelis hakim PTUN Jakarta tersebut. Harapannya, atas adanya putusan ini, perguruan tinggi
kesehatan bisa kembali menjadi penyelenggara uji kompetensi lulusan mahasiswa
kesehatan di Indonesia.
“Alhamdulillah, kami semua mendapatkan satu anugerah yang luar biasa karena hari ini, kita
mendapatkan putusan PTUN Jakarta atas perkara uji kompetensi yang telah menyalahi
Undang-undang Pendidikan Tinggi Tahun 2012 No 12, sehingga APTISI bersama HPTKes
memenangkan perkara ini dan uji kompetensi harus dikembalikan kepada perguruan tinggi,”
kata Budi Djatmiko.
Budi juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak
yang membantu proses gugatan hingga menghasilkan putusan yang sangat diharapkan ini.
“Saya atas nama pimpinan HPTKes dan pimpinan APTISI seluruh Indonesia mengucapkan
terima kasih sebanyak-banyaknya untuk seluruh pihak terutama Uda Zaenal dari Universitas
For De Kock yang membantu secara total dan teman-teman lainnya sehingga kemenangan
sekarang ada pada perguruan tinggi kesehatan,” ujarnya.
Dengan kembalinya perguruan tinggi kesehatan mengemban amanah Undang-undang, Budi
optimistis mahasiswa lulusan kesehatan akan menjadi lebih baik di masa yang akan datang.
“Sekarang kita sudah bisa melakukan uji kompetensi mandiri dan nanti dalam waktu dekat
kita akan membuat formulasi agar uji kompetensi tetap berkualitas dan sesuai dengan
peraturan perundangan, serta membawa marwah yang baik untuk perguruan tinggi
kesehatan untuk tetap berkualitas,” tuturnya.
Kuasa hukum ketiga institusi pendidikan kesehatan,Didi Cahyadi Ningrat, Guntur
Abdurrahman, Ronal Marcelus dan Ryand dari Kantor Hukum bersyukur dengan adanya
amar putusan PTUN Jakarta yang memenangkan gugatan kliennya. Hal ini menjadi bukti
kuat agar Kemendikbud RI untuk menghormati hukum yang berlaku.
“Dengan putusan ini PTUN Jakarta menegaskan bahwa Pembentukan Komite Uji
Kompetensi Nasional oleh Menteri Nadiem bertentangan undang-undang,” kata Ryand.
“Ke depannya kami berharap Menteri Nadiem dapat menghormati dan mematuhi Putusan
PTUN Jakarta dengan membubarkan Komite Uji Kompetensi Nasional den mengembalikan
kewenangan pelaksanaan uji kompetensi mahasiswa bidang kesehatan kepada masing-
masing perguruan tinggi sesuai dengan amanat Undang-Undang Tenaga Kesehatan,” ujar
Ryand menambahkan.
Untuk diketahui, duduk perkara ini dimulai ketika penggugat mengajukan gugatan
tertanggal 30 Juni 2022, yang didaftarkan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta secara e-
court pada 30 Juni 2022, dengan Register Perkara Nomor: 185/G/2022/PTUN.JKT.
Adapun latar belakang perkara ini untuk diketahui, sebelum Mendikbudristek membentuk
Komite Nasional Uji Kompetensi, pada 2016 lalu Menristekdikti telah pernah membentuk
lembaga serupa yang hampir identik dengan nama Panitia Uji Kompetensi Nasional.
Lembaga tersebut berjalan selama kurang lebih tiga tahun hingga 2019 sebelum akhirnya
dibubarkan seiring dengan dicabut dan dibatalkannya Permenristekdikti 12/2016 yang
menjadi dasar pembentukan Panitia Uji Kompetensi Nasional oleh Menristekdikti kala itu.
Selain karena banyaknya protes dari berbagai perguruan tinggi kesehatan di seluruh
Indonesia, pencabutan ini dikarenakan penerapan Uji Kompetensi berbasis komputer
(computer based test/CBT) yang terpusat dan dilaksanakan oleh Panitia Uji Kompetensi
Nasional – equivalen dengan Komite Nasional Uji Kompetensi dalam Objek Gugatan – dinilai
bermasalah dan tidak ideal.
Seolah mengulangi kesalahan yang sama, pada tahun 2020 Menteri Nadiem Makarim
kembali membentuk kembali Komite Nasional Uji Kompetensi melalui Kepmendikbudristek
dengan menabrak pelbagai peraturan perundang-undangan terutama Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU 36/2014).
Meskipun menurut UU 36/2014, kewenangan melaksanakan Uji Kompetensi Mahasiswa
Bidang Kesehatan ada pada perguruan tinggi, Objek Gugatan malah membentuk lembaga
baru yakni Komite Nasional Uji Kompetensi sebagai pelaksana Uji Kompetensi Mahasiswa
Bidang Kesehatan.
Namun demikian, meskipun pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan telah
dialihkan kepada Komite Nasional Uji Kompetensi, tanggung jawab penerbitan Sertifikat
Kompetensi tetap berada pada perguruan tinggi.
Padahal, sebagai akibat pengambilalihan kewenangan tersebut, perguruan tinggi tidak lagi
memiliki andil dalam penentuan kriteria, standar, dan output dari Uji Kompetensi
Mahasiswa Bidang Kesehatan.
Dengan demikian, peran perguruan tinggi direduksi menjadi hanya sebatas 'tukang stempel'
dan 'tukang cetak' sertifikat kompetensi karena tidak lagi memiliki fungsi quality control.
Selain itu, dalam penerapannya, objek gugatan tidak hanya berdampak pada hilang
kewenangan perguruan tinggi sebagai pelaksana Uji Kompetensi.
Penerapan objek gugatan juga berdampak pada kelangsungan studi mahasiswa bidang
kesehatan secara luas.
Adanya pengaturan bahwa uji kompetensi sebagai prasyarat kelulusan, kerap
menghalangi/menunda kelulusan mahasiswa kesehatan yang seharusnya sudah dapat
diwisuda. Para Penggugat mencatat setidak-tidaknya terdapat 320.000 orang mahasiswa
bidang kesehatan yang terhalang lulus akibat Uji Kompetensi ini.
Dari 320.000 mahasiswa tersebut tidak sedikit pula mahasiswa dari pelbagai pelosok
Indonesia yang tidak dapat lulus. Sebab harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk
menempuh perjalanan hingga ke luar kota untuk mengikuti ujian di kota lain karena
kampusnya tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk menyelenggarakan ujian
kompetensi berbasis komputer secara daring.

Anda mungkin juga menyukai