Anda di halaman 1dari 6

SiMbah KH.

Maimoen Zubair; Sang Waliyulloh yang bersembunyi di balik Jubah Keulamaan

Hayatul Makki, biasa orang-orang memanggilnya dengan Gus Hayat, sekarang menjadi Pengasuh Pondok
Pesantren Alif Baa Tanbihul Ghofilin Mantrianom, Bawang, Banjarnegara itu sempat mengaku tidak
percaya dengan kewalian Mbah Moen (Al-Maghfurlah KH. Maimoen Zubair).

Pada suatu hari dia akan sowan Mbah Moen, dalam hatinya ngrenteg : "Nek bener-bener Mbah Moen
itu Wali maka nanti saya akan kepengin makan dengan nasi tumpeng berikut beraneka ragam lauknya,
tapi masa ada di ndalem nasi tumpeng itu?" Gumamnya dalam hati.

"Sopo iku?" Tanya Mbah Moen setelah Makki berada di depan beliau. "Hayat Makki Mbah Mantrianom
Banjarnegara". Jawab Gus Hayat. "Oh mlebu ngene, mangan sik" tanpa mau menerima uluran tangan
Makki dan justru

Mbah Moen langsung menyuruh Makki masuk ke ruang dalam yang biasa untuk menyuguh para tetamu
si Mbah. Mbah Maimoen memang mengenal sejak lama dan bersahabat dengan ayah Gus Hayat.

Di ruangan dalam ternyata ada ibu Nyai yang memang sudah mengenal Hayat Makki dan mempersilakan
Makki untuk makan. Ajaibnya. Nasi tumpeng berikut lauknya sama persis seperti apa yang dikrenteg kan
sesaat tadi sebelum Makki sowan. Setengah tak percaya mulai detik itu juga Gus Hayat percaya bahwa
Mbah Moen bukan orang sembarangan. Benar benar Wali. Ngerti sejeroning winarah.

Kemudian Makki pamitan namun ternyata Mbah Moen tidak kerso disalami sembari seperti memasang
muka "rada marah" terhadap 'kelakuan' Hayat Makki siang itu.

Pulanglah Hayat Makki ke rumahnya dengan menyisakan tanda tanya kenapa Mbah Moen seperti marah
sama saya. Dan dia berjanji akan menjadi "santri kinasihan"; dengan siap segalanya jika ada dhawuh dari
Si Mbah.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya di bulan haji tahun 2019, Mbah Moen tiba-tiba ingin tindak haji dan
yang akan mengantarkannya adalah Hayat Makki. Beliau menyuruh putranya, Gus Ghofur "telponke
Makki, kon neng Sarang. Mbatiri aku haji". Dhawuh simbah singkat.
"Gus, jenengan supados teng Sarang kersane mangke nderekke siMbah tindak haji, saged mboten?"
Suara Gus Ghofur dari HP.

"Tenaane Gus?" Ampun ngarang lah." Jawab Gus Hayat.

Di situ ada Gus Majid Kamil dan Gus Hayat pun menanyakan apa benar kabar itu. Gus Majid pun
menjawab benar. Ternyata juga siMbah ada di situ dan langsung ngendiko "Makki... iki aku loh sing
ngomong..." suara khas SiMbah terdengar di HP Gus Hayat yang langsung dijawab :"Sendiko Dhawuh
Mbah".

Hari itu juga Gus Hayat langsung meluncur ke Sarang. Setelah bertemu si Mbah dhawuh : "Makki, kowe
mbatiri aku haji yo? Wis duwe pasport? " "Sampun gadah Mbah". Sejurus kemudian siMbah berkata:

"Visaku durung dadi, urusi yoh, kowe durung duwe juga toh". Tek kei wektu rong dino" lanjut Mbah
Moen yang hanya dijawab "Siaaap Mbah" oleh Hayat Makki.

Kemudian Mbah Moen mengajak Gus Hayat masuk ke dalam kamar pribadinya. Dan di atas dipan
tempat tidurnya ada rak yang berisi sebuah koper. Lumayan besar dan siMbah menyuruh diambil.
Setelah bertanya "ibu Nyai nang ndi?" Lantas dijawab "teng ruang wingking Mbah", jawab Gus Hayat.
Koper itu lantas dibuka berisi lembaran uang yang banyak sekali. "Cepat bawa pergi koper ini".

Setelah itu Gus Hayat pamitan. Koper uang itu dititipkan ke santri untuk sementara disimpan di rumah
Gus Hayat di Bawang, Banjarnegara karena saat itu juga harus segera pergi ke Jakarta untuk keperluan
mengurus visa yang diberi dateline "hanya 2 hari". Waktu yang terbilang mustahil untuk mengurus visa
haji yang biasanya memakan waktu cukup lama itu.

Sesampainya di Jakarta dia langsung menuju masjid Istiqlal. Dinihari. Dia mujahadah munajat minta
sama Alloh pertolongan agar memudahkan mengurus visa. Sempat dimarahin sama "petugas masjid
Istiqlal" karena memang waktunya sudah dinihari menjelang subuh.

Pagi hari saat sholat subuh tak disangka Gus Hayat bertemu dengan Jenderal Budi Gunawan, Kepala BIN
yang kebetulan pagi itu ke masjid Istiqlãl dan bertanya pada Gus Hayat.
"Ada keperluan apa pagi pagi sudah di sini Mas Hayat"? Sapa sang Jenderal. "Begini Pak, saya sedang
ada tugas dari Mbah Maimoen Zubair untuk membuat visa haji, apakah bapak bisa mengantarkan saya
ke Pak Presiden?"

"Oke siap. Mari saya antarkan. " Jawab Sang Jenderal. Kemudian mereka berdua menuju istana negara.
Kebetulan Gus Hayat sudah mengenal baik Pak Jokowi sewaktu masih menjabat Wali Kota Solo, karena
Gus Hayat pernah menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah.

"Pak Presiden. Mohon ijin saya sedang ada tugas dari Mbah Maimoen, beliau akan tindak haji tahun ini
sedang membutuhkan visa haji."

"Baiklah Mas Hayat. Nanti saya akan kondisikan secepatnya. Untuk Imigrasi, Kemenag dan Kemenlu
segera saya kumpulkan hari ini."

"Nanti juga saya siapkan pesawat khusus, bisa dari Garuda atau maskapai yang lain". Sambung Pak
Presiden.

"Enggih Pak, namun Mbah Moen sampun gadeh tiket piyambak dan kadose mboten kerso menawi
diistimewakan" jawab Gus Hayat sambil sesekali mengucap syukur.

Singkat cerita. Visa pun jadi. Dengan waktu singkat pula. Kemudian langsung pulang ke Banjarnegara
untuk keperluan menyiapkan bekal secukupnya dan membawa serta "koper ajaib" itu.

Sesampainya di Sarang siMbah langsung bertanya : "piye wis olih visane?" "Sampun Mbah" jawab Gus
Hayat.

"Pinter kowe hek hek hek" tawa khas Mbah Maimoen karena bahagia.

Kemudian berangkatlah siMbah Maimoen ke tanah suci dengan ditemani Gus Hayat. Sesampainya di
Mekkah. Beliau thowaf di lantai 2 dengan menaiki kursi roda yang didorong oleh Gus Hayat. Setiap kali
sampai pojokan ka'bah yang ada multazam nya beliau bertanya sama Gus Hayat :"Makki..kowe weruh
pora kae loh sing nang nduwure Multazam?" Gus Hayat pun menjawab sekenanya :"Namung sorot
lampu Mbah,"

"Makii..makkii.. kowe ora paham toh.. kae Malakul Maut lagi nungguni aku, kawit mau ndelengke aku
wae.."

Gus Hayat setengah tidak percaya dan menganggap itu hanya guyonan si Mbah saja.

Sampai kemudian siMbah sering bertanya :"saiki dino opo?" Kapan dino seloso"? Pertanyaan tentang
hari Selasa itu hampir setiap hari ditanyakan siMbah. Sampai kemudian Gus Hayat berinisiatif dan matur
ke siMbah. "Ngaten mawon Mbah

Menawi pon dugi hari Senin sonten mangke kulo matur teng jenengan."

"Oh iyo tenan yoh" jawab SiMbah. Kemudian setelah beberapa hari di Mekkah siMbah dawuh lagi untuk
mengambilkan koper yang kemarin berisi uang itu.

"Makki..ini dibuka kopernya". Perintah siMbah. "Bagikan semua isinya kepada orang-orang." Lanjut
beliau.

Kemudian koper itu dibuka oleh Gus Hayat. Isinya duit semua. Masih baru. Yang Mata uang asing;
Poundsterling, Euro, Dollar Amerika, Dollar Singapura, Riyal, Ringgit dan beberapa lembar ratusan ribu
rupiah. Jumlah keseluruhannya sekitar 3,5 Milyar rupiah.

Gus Hayat bergegas menuju pelataran Masjidil Harom dan membagikan uang-uang tersebut pada orang-
orang yang berlalu lalang menuju ataupun keluar dari masjid. Aksinya itu diketahui oleh 'askar; polisi
kerajaan Arab Saudi. Hampir saja ditangkap, tapi dengan bahasa Arab Gus Hayat menjelaskan bahwa
aksi bagi bagi uang ini adalah perintah langsung Syaikh Maimoen Zubair Ulama besar Indonesia.
Mendengar nama Syaikh Maimoen ajaibnya si 'askar tadi malah tersenyum dan malah mempersilahkan
untuk meneruskan bagi-bagi BLT (Bantuan Langsung Tunai) itu.

Setelah hampir habis Gus Hayat berinisiatif untuk menyisakan segepok Dollar Amerika. Tidak dihabiskan
semua dan segera kembali ke hotel tempat siMbah menginap.
"Wis kowe bagi kabeh duite Maki..?" Tanya siMbah. "Sampun Mbah, tapi kulo nyisihkan sekedik niki".
Gus Hayat menunjukkan uang dollar tersebut dari kantong bajunya. "Wah..pinter kowe...hek hek hek".
Sahut siMbah dengan tawa khasnya.

"Kebeneran Makki...aku dipeseni Megawati kon tukokna tasbih warna merah karo duit kuwi nggo tuku
klambi awakmu lan oleh-oleh kanggo Bu Nyai yoh.." lanjut Mbah Maimoen.

"Sendiko dhawuh Mbah". Jawab Gus Hayat yang kemudian menghitung uang sisa bagi bagi tersebut
ternyata segepok uang dollar Amerika itu jika dirupiahkan lumayan banyak. Seratus juta rupiah.

Waktupun berjalan. Sampai ketika senin sore ba'da ashar tanggal 5 Agustus 2019 siMbah tiba-tiba
memanggil Gus Hayat.

"Makki.. aku ganteng pora?" Sambil sesekali bercermin di kaca.

"Saestu ganteng Mbah. Umpami wonten 1.000 widodari mangke ingkang 999 naksir lan tresno
panjenengan Mbah.."

"Hek hek hek...oh koyo ngono yoh.." jawab SiMbah. "Lah terus widodari sing siji nang ndi?" Lanjut
siMbah. "Kagem kulo Mbah" jawab Gus Hayat dan langsung disambut tawa khas siMbah.."Hek hek
hek..pinter kowe Maki..."

Kemudian siMbah minta dipijitin sampai berpesan dan bertanya "iki dino opo?" "Senin Mbah." Jawab
Gus Hayat yang mulai merasakan ada sesuatu yang aneh, perasaan tidak ingin kehilangan dan tak ingin
jauh-jauh dar siMbah.

"Kowe nang kene wae yoh" pesan si Mbah.

"Nggih Mbah". Jawab Gus Hayat sambil menahan haru. Benar saja. Menjelang dinihari sekitar pukul
03.00 si Mbah bangun yang ternyata Gus Hayat masih ketiduran disamping tempat tidur siMbah masih
dalam posisi orang memijit kaki beliau.
SiMbah terbangun sepagi itu dan meminta Gus Hayat untuk menyandarkan tubuhnya di atas kursi.
Tenang sekali raut wajahnya. Sambil melantunkan Qosidah kesukaan beliau. Sanjungan terhadap Siti
Khadijah. "Sa'duna fiddunya Wafuzna bil Ukhro.. bi Khadijatal Kubro wa Fathimatazzahro.." kemudian
sesekali melafadzkan dzikir Alloh Alloh..dengan suara yang mulai pelan.. Namun Gus Hayat melihat
siMbah mulai lemas dan berinisiatif untuk segera dibawa ke Rumah sakit.

Setelah sampai di Rumah Sakit tak berselang lama KH Maimun Zubair dinyatakan meninggal pada hari
Selasa (6/8/2019) pukul 04.17 waktu setempat.

Inna lillahi wa inna ilaihi Roji'un. Indonesia bahkan dunia Islam berduka. Suasana pagi itu mendung.
Hujan rintik-rintik. Mendung lagi. Seakan para penghuni langit pun ikut berduka. Jenazah siMbah
pertama kalinya di sholatkan di Kantor Daker Makkah. Tempat shalat jenazah di Lantai I Kantor PPIH
tersebut. Setelah dirawat beberapa saat di Rumah Sakit al-Noer,

Anda mungkin juga menyukai