Anda di halaman 1dari 9

Kekerasan Bernuansa Keagamaan (Analisi Teori Gunung Es)

Muhammad Azka Hafidzi (2203016087)

Pendahuluan
Untuk menindak lanjuti tugas dalam mata kuliah Moderasi Beragama yang di ampu oleh
Dr. M.Saekan Muchith, S.Ag, M.Pd terkait kasus-kasus kekerasan bernuansa keagamaan yang
terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 2019-2022. Maka pada makalah ini akan memuat tentang
kasus penolakan pembangunan gereja di indonesia, dan dengan menggunakan analisa teori
gunung es.
Makalah ini bertujuan untuk menganalisis kasus-kasus yang terjadi menurut pandangan
teori gunung es, supaya kita dapat memahami kasus-kasus tersebut secara menyeluruh dan
koherensif sehingga tidak tergiring oleh asumsi atau opini dari suatu golongan. Berkaitan dengan
permasalahan yang d ungkapkan di atas, makalah ini juga bertujuan untuk melatih peserta didik
berfikir lebih kritis dengan cara menganalisi suatu persoalan atau permasalahan dengan teori
gunung es atau iceberg. kemudian supaya kita dapat memahami suatu kasus keagamaan dengan
sudut pandang dari moderasi beragama. Maka di harapkan kita dapat menjadi umat yang moderat
sesuai tujuan dari moderasi beragama.
Deskripsi:

 Pembakaran Gereja di Aceh Singkil

Dikutip dari BBC News Indonesia pembakaran Gereja HKI Suka Makmur di Aceh Singil
pada 2015, menjadi awal apa yang disebut sebagai Konfik Aceh Singkil. Saat itu sejumlah gereja
dibakar dan dibongkar lantaran dianggap tak memiliki izin.
Empat tahun berselang, Martina Berutu, warga Desa Suka Makmur di Kecamatan Gunung
Meriah, Aceh Singkil, yang juga menjadi salah satu pengurus gereja, mengaku kewalahan
dengan banyaknya persyaratan untuk mengurus izin mendirikan bangunan (IMB) gereja di
provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Islam itu. "Rasa resah, nggak bisa lagi aku
ngomong. Apalagi pengurusan IMB sejak 2016 disuruh diurus, sampai sekarang nggak ada
muncul-muncul. Padahal berkas kami bolak-balik, udah semua. Sementara kami sudah dapat
tujuh rekomendasi," jelas Masarani.
Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil sebelumnya memberlakukan persyaratan yang ketat untuk
IMB gereja, yakni harus memiliki setidaknya 150 pengguna dan mendapat dukungan masyarakat
setempat paling sedikit 120 orang, sesuai Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.Pemerintah daerah Aceh yang
menganut hukum syariah kemudian mengeluarkan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 tentang
pedoman pemeliharaan umat beragama dan pendirian tempat ibadah.Qanun itu menyebut bahwa
pendirian tempat ibadah harus memenuhi syarat memiliki setidaknya 140 jemaat dan dukungan
masyarakat setempat paling sedikit 110 orang yang bukan pengguna tempat ibadah
tersebut.Persyaratan ini lebih ketat dari yang ditetapkan pemerintah pusat lewat Surat Keputusan
Bersama (SKB) Dua Menteri No. 8 dan 9 tahun 2006.Salah satu klausul SKB yang ditetapkan
Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri tersebut menyebutkan bahwa pendirian
tempat ibadah harus memiliki jemaat sebanyak 90 orang dan mendapat sedikitnya dukungan 60
orang masyarakat setempat. Selain mengatur jumlah minimum jemaat dan dukungan masyarakat
agar izin pembangunan gereja bisa diajukan, Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 mengharuskan
pendirian tempat ibadah mendapat rekomendasi tertulis dari beberapa badan, mulai dari Keuchik
(kepala desa), Imuem Mukim (kepala pemerintahan adat), Camat, Kepala Kantor Kementeran
Agama, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB); serta surat keterangan status tanah dan
rencana gambar bangunan. Penerapan qanun itu membuat umat Kristen di Aceh Singkil semakin
pesimistis mereka akan dapat membangun gereja lagi.Boas Tumangger, Ketua Forum Cinta
Damai Aceh Singil (Forcidas) yang mengadvokasi warga Kristen di Aceh Singkil,
mengungkapkan, qanun tentang pendirian tempat ibadah dianggap 'menjerat umat' dan sebagai
'bom waktu' karena acap kali digunakan untuk kepentingan politik.
Empat tahun berselang rekonsiliasi untuk mendamaikan konflik belum mencapai titik temu.
Sementara itu, kehidupan warga Kristen telah berubah drastis,lantaran tak lagi memiliki tempat
ibadah, warga Kristen di Aceh Singkil kemudian mendirikan tenda-tenda yang disulap menjadi
naungan mereka ketika menjalankan kebaktian.Banyak di antaranya dibangun di tengah kebun
sawit, demi menghindari kecaman umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas di daerah
itu. Boas Tumangger mengungkapkan dalam konflik empat tahun lalu, terdapat sembilan gereja
yang dibongkar Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan satu gereja dibakar massa karena
dianggap tak berizin.Dia menuturkan umat Kristen di Aceh Singkil yang merupakan minoritas di
Aceh berharap adanya jaminan beribadah dan kebebasan beragama di provinsi yang menerapkan
syariat Islam itu."Yang jelas kita meminta kepastian hukum bagaimana nasib kita ke depan.
Karena pada saat ini, khususnya kita umat Kristen di sini merasa terombang-ambing. Kepastian
hukumnya nggak jelas," ujar Boas.
Tokoh Umat Islam Aceh Singkil, Roesman Hasymi, yang juga menjabat Ketua Umum
Tanfidziyah Nahdlatul Ulama (NU) Aceh Singkil pun mendesak pemerintah untuk segera
memberi kepastian hukum terhadap tempat ibadah umat Kristen di Aceh Singkil."Kalau ini tidak
terselesaikan, sama dengan pembiaran. Makanya banyak diistilahkan ini api dalam sekam," kata
Roesman."Suatu saat kita takut meledak lagi. Apalagi dengan Aceh Singkil yang multietnis,
mudah sekali terpicu," imbuhnya.Roesman Hasymi yang juga sempat menjabat sebagai Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh Singkil menegaskan Pemerintah Daerah Aceh Singkil
"tidak berani" melaksanakan peraturan yang berlaku.Ketua FKUB Aceh Singkil, Ramlan,
mengatakan banyaknya aliran gereja Kristen di Aceh Singkil, semakin memperumit penyelesaian
konflik Aceh Singkil. Untuk menuntaskan persoalan, semestinya pemerintah Aceh Singkil bisa
"lebih tegas"."Dengan sikap tegas, arif, putuskan. Permintaan umat Kristen yang bisa kita
penuhi, kita penuhi. Jangan tidak tersentuh sama sekali, itu juga bahaya," ujar Ramlan."
Walaupun orang itu di sini minoritas, tetap diperhatikan. Karena kalau tidak jadi riak juga,
bahaya itu," lanjutnya. Namun, Bupati Aceh Singkil, Dul Musrid, justru mengungkapkan
rekonsiliasi belum mendapatkan titik terang karena kedua belah pihak belum bersepakat."Kita
sebagai pemerintah didesak untuk mengambil langkah. Kalau diminta tegas, saya ingin mereka
berproses [rekonsiliasi]. Saya kerja pakai aturan kok. Proses apapun dia, ikuti aturannya," tegas
Dul."Mereka tinggal pilih, mau ikut aturan Menteri, atau ikut aturan Gubernur Aceh. Sedangkan
aturan ini harus dilampirkan lagi Qanun Aceh tahun 2014," imbuhnya.Bagaimanapun, apa yang
terjadi di Aceh Singkil, menurut Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani, menjadi
potret buruknya intoleransi di Indonesia di tengah menjamurnya "konservatisme yang terobsesi
melakukan politik penyeragaman atas nama mayoritas"."Mereka kemudian menegasikan atau
tidak mentolerir kelompok-kelompok yang lain," tuturnya., menurut Ismail, aksi ini semakin
ekspresif karena kemudian identitas yang dipersoalkan adalah agama yang berbeda dengan
agama arus utama di Aceh, khususnya Aceh Singkil. yang kemudian mendorong pihak-pihak di
Aceh tidak bersepakat dengan pendirian atau keberadaan sejumlah gereja di Aceh
Singkil.Padahal, menurut Ismail, tempat ibadah merupakan bagian inheren dari kebebasan
beragama dan berkeyakinan.Rekonsiliasi konflik yang dibiarkan "tanpa upaya", baginya, "hanya
akan menjadi api dalam sekam yang kapan pun akan berpotensi mengemuka,apalagi sejalan
dengan orientasi politik ide ntitas yang melekat dalam even elektoral di berbagai daerah, maka
kasus-kasus semacam ini akan mengalami eskalasi," ujar Ismail.SETARA Institute mencatat,
setidaknya aktivitas 200 gereja di seluruh Indonesia disegel dan ditolak oleh masyarakat dalam
kurun waktu sekitar satu dekade terakhir.Namun, dengan kegamangan sikap pemerintah, Boas
Tumangger sangsi rekonsiliasi konflik Aceh segera selesai."Kalau ini tidak selesai dalam batas
periode 2020, ini akan jadi gorengan politik lagi," ujarnya."Jadi suatu saat ini pasti akan
meledak." https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50471436 di terbitkan pada 22 November
2019.

 Penolakan Pembangunan Gereja di Cilegon

JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga pemantau hak asasi manusia Imparsial mendesak


kepala daerah tidak mengistimewakan suatu kelompok dan melakukan diskriminasi terhadap
kelompok minoritas, terkait penolakan pembangunan Gereja HKBP Maranatha yang terletak di
Kota Cilegon, Banten, pada 7 September 2022. "Mendesak kepala daerah untuk menghentikan
politik kebijakan pengistimewaan terhadap suatu kelompok dan mendiskriminasi hak-hak
kelompok minoritas," kata Ketua Imparsial Gufron Mabruri dalam keterangan pers yang diterima
Kompas.com, Minggu (11/9/2022). Gufron juga mendesak kepala daerah untuk tidak memihak,
serta menjalankan tugas dan fungsinya dalam memfasilitasi setiap orang dan kelompok supaya
dapat menjalankan hak beragamanya sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945
"Mendesak pemerintah untuk merevisi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 yang sering digunakan untuk mendiskriminasi hak-hak
kelompok minoritas di Indonesia," ujar Gufron. Sebelumnya, Komite Penyelamat Kearifan Lokal
Kota Cilegon menolak pembangunan rumah ibadah Gereja HKBP Maranatha Cilegon. Mereka
melakukan aksi damai dengan mendatangi Gedung DPRD Cilegon dan bertemu Wali Kota
Cilegon. Selain itu, kelompok itu meminta Wali Kota Cilegon Helldy Agustian membuat perwal
atau SK guna menguatkan SK Bupati tahun 1975. Dalam sebuah rekaman video terlihat Helldy
Agustian dan Wakil Wali Kota Sanuji Pentamarta turut menandatangani sebuah kain berisi
penolakan pembangunan Gereja HKBP Maranatha Cilegon, adapun penolakan itu didasarkan
kepada Perjanjian Bupati Serang Ronggo Waluyo dengan PT Krakatau Steel pada 1975. Isi
perjanjian itu tentang perizinan berdirinya PT Krakatau Steel yang diikuti dengan tidak
diperbolehkannya pendirian gereja di kawasan tersebut. Sementara itu, Ketua Panitia
Pembangunan Rumah Ibadah HKBP Maranatha Cilegon, Marnala Napitupulu, mengatakan,
tahapan perizinan pembangunan rumah ibadah telah ditempuh untuk mengantongi izin sesuai
aturan. "Terkait rencana pembangunan HKBP Maranatha Cilegon sampai saat ini masih dalam
tahap proses kelengkapan dokumen pengurusan perizinan sesuai dengan SKB 2 menteri," kata
Marnala. Terkini, Wali Kota Cilegon dalam Peraturan Wali Kota atau Surat Keputusan Wali
Kota memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan Kota Cilegon untuk mencabut dan membatalkan
sertifikat hak guna bangunanan (SHGB) gereja tersebut.
https://nasional.kompas.com/read/2022/09/11/15143501/kasus-penolakan-gereja-di-cilegon-
imparsial-minta-kepala-daerah-tak di terbitkan pada 11 September 2022

ANALISIS PERMASALAHAN
EVENT:
1. Pembakaran Gereja di Aceh Singkil pada tahun 2015,sejumlah Gereja di bakar dan di bongkar
lantaran dianggap tidak memiliki izin. Empat tahun pascakonflik agama yang terjadi di Aceh
Singkil, rekonsiliasi masih belum mencapai titik temu
2. Penolakan pembangunan Gereja HKBP Maranatha yang terletak di Kota Cilegon, Banten,
pada 7 September 2022.
PATTERNS OF BEHAVIOR:
1. Sulitnya mengurus izin mendirikan bangunan (IMB)
Hal ini mendasari terjadinya penolakan dan kesulitan untuk membangun tempat ibadah bagi
umat kristiani dikarena banyaknya persyaratan-persyaratan yang harus dilakukan pada daerah
tersebut untuk membuat perizinan mendirikan bangunan (IMB)

2. Diskriminasi terhadap hak-hak dan kelompok minoritas


Kelompok kristiani mengalami diskriminasi dan merasa disampingkan karena mereka
adalah kelompok minoritas,hak-hak mereka juga di nomor duakan dan bahkan tidak di
dengar,pada daerah tersebut juga lebih mementingkan kelompok mayoritas daripada
kelompok minoritas
3. Intoleransi terhadap agama lain (umat Kristen)
Pada daerah tersebut mengalami minimnya rasa toleransi antar umat beragama dan
menjadikan sikap abai atau rasa ketidakpedulian terhadap hak dan eksitensi orang lain dan
agama lain.

SYSTEM STRUCTURE:
1. Peraturan pemerintah Aceh dan Qanun Aceh nomor 4 tahun 2016
Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil memberikan persyaratan yang ketat untuk IMB
gereja, yakni harus memiliki setidaknya 150 pengguna dan mendapat dukungan masyarakat
setempat paling sedikit 120 orang, sesuai Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah,hal ini yang mendasari
penolakan dan sulitnya perizinan pembangunan Gereja.

2. Daerah tersebut mayoritas beragama islam dan menggunakan hukum syariat Islam
Dikarenakan daerah tersebut mayoritas masyarakatnya beragama Islam dan menggunakan
hukum-hukum syariat islam menjadikan kepentingan dan hak-hak kaum minoritas lebih
diutamakan
3. Politik penyeragaman atas nama mayoritas
Hal ini maksudnya,pada daerah tersebut menegasi atau tidak mentolerir kelompok yang
lain karena berbeda dengan arus ajaran utama yang dianut pada daerah tersebut, mereka lebih
mengutamakan kaum mayoritas dan mengharuskan kaum minoritas harus mengikuti
keputusan dan hukum-hukum dari kaum mayoritas.
4. Kepala daerah mengistimewakan suatu kelompok.
Hal ini menjadikan pendiskriminasian dan penyampingan terhadap kelompok lain karena
kepala daerah tersebut tidak berlaku adil dan mengistimewakan suatu kelompok, padahal
sebagai kepala daerah harus bersikap tengah dan tidak condong kepada suatu kelompok
5. Kurangnya pemahaman tentang moderasi beragama dan pentingnya toleransi antar
umat beragama.
Hal ini juga mendasari kecenderungan masyarakat kenapa terjadi penolakan terhadap
pembangunan Gereja, mereka kurang paham akan pentingnya moderasi beragama dan
pentingnya bertoleransi antar umat beragama,dengan moderasi agama dan toleransi
menjadikan kehidupan yang damai, aman, tentram dan rukun.
MENTAL MODELS:
1. Kota Serambi Mekkah
Provinsi Aceh merupakan kota serambi mekkah yang menjalankan hukum dengan syariat islam,
kota mekkah adalah kota yang suci yang dimana penduduknya dan yang boleh masuk kedalam
kota tersebut hanya orang-orang Islam saja,kemungkinan besar karena sebab itulah daerah Aceh
banyak yang menolak pembangunan Gereja.
2. Kekhawatiran mengganggu akidah
Rasa khawatir akan terganggunya akidah kalau sampai ada gereja dalam lingkungan mereka, hal
ini akan mengganggu keimanan mereka secara tidak langsung apalagi ditambah sekarang banyak
terjadi kristenisasi yang dilakukan gereja-gereja dan umat kristiani.
EVENT: Pembakaran Gereja di Aceh Singkil pada tahun 2015,sejumlah Gereja di bakar dan di
bongkar lantaran dianggap tidak memiliki izin. Empat tahun pascakonflik agama yang terjadi di
Aceh Singkil, rekonsiliasi masih belum mencapai titik temu. Konflik Aceh Singkil disebut
sebagai potret buruk intoleransi di Indonesia, di tengah menjamurnya 'konservatisme yang
terobsesi melakukan politik penyeragaman atas nama mayoritas'.
PATTERNS OF BEHAVIOR: Daerah Aceh Singkil mayoritas beragama Islam dan
menggunakan hukum syariat Islam sedangkan umat Kristen menjadi minoritas, kurangnya rasa
toleransi kepada umat Kristiani, politik penyeragaman atas nama mayoritas
SYSTEM STRUCTURE:
MENTAL MODELS: Provinsi Aceh merupakan kota serambi mekkah yang menjalankan hukum
dengan syariat islam, kota mekkah adalah kota yang suci yang dimana penduduknya dan yang
boleh masuk kedalam kota tersebut hanya orang-orang Islam saja,kemungkinan besar karena
sebab itulah daerah Aceh banyak yang menolak pembangunan Gereja.

Kepala daerah mengistimewakan suatu kelompok dan melakukan diskriminasi terhadap


kelompok minoritas, Politik kebijakan pengistimewaan terhadap suatu kelompok dan
mendiskriminasi hak-hak kelompok minoritas, umat kristiani menjadi kaum minoritas pada
daerah tersebut.

PENUTUP

Demikian makalah tentang analisis gunung es tentang kekerasan bernuansa ke agamaan di


Indonesia yang pada kasus ini ialah tentang penolakan pembangunan gereja, semoga dengan
adannya makalah ini dapat memberikan pemahaman tentang latar belakang hal tersebut dapat
terjadi, jadi di harapkan kita tidak lagi heran taupun salah paham terhadap kasus-kasus yang
serupa. Kemudian di harap pula dengan menggunakan metode iceberg ini dapat meningkatkan
tingkat kritis kita terhadap suatu perkara.

DAFTAR PUSTAKA
https://nasional.kompas.com/read/2022/09/11/15143501/kasus-penolakan-gereja-di-cilegon-
imparsial-minta-kepala-daerah-tak
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50471436

Anda mungkin juga menyukai