Anda di halaman 1dari 12

Makalah KONFLIK ACEH SINGKIL

KATA PENGANTAR
       Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena dengan segala
ciptaanNya kami dapat menyusun makalah meskipun banyak kekurangan didalamnya.Dan kami
juga berterima kasih kepada Bapak Guru Zaharuddin Pane.SPd yang telah memberikan tugas ini
kepada kami.
       Kami sangat makalah ini berguna untuk menambah informasi tentang Konflik Singkil di
Aceh.Oleh sebab itu,kami berharap adanya kritik,saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah kami buat di masa yang akan dating, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangunkan.

       Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami siapapun yang membacanya. Sekiranya
laporan telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan dan kami
memohon kritik dan saran yang membangun demi kebaikan di masa depan.
Reaksi: 

DAFTAR ISI
BAB I  : PENDAHULUAN……………………..………………….
…………………3
 LATAR BELAKANG…………………………………………………………….3
     
BAB II : PEACAHNYA KONFLIK SINGKIL……………………….6
   A.FAKTOR-FAKTOR PECAHNYA KONFLIK………………6
   B.KONFLIK DIBIDANG KEAGAMAAN…………………………….9

BAB III : DAMPAK KONFLIK SINGKIL………………………………11


 PENGUNGSIAN WARGA AKIBAT KONFLIK……11
     

BAB IV :
SOLUSI……………………………………………………………………………
13
 ‘Piagam Madinah’ Solusi Konflik Singkil…………….13
     

BAB1

PENDAHULUAN

Konflik adalah suatu masalah sosial yang timbul karena adanya perbedaan pandangan yang terjadi di dalam
masyarakat maupun negara.

LATAR BELAKANG
Ketua DPR, Setya Novanto, menyayangkan bentrokan massal di Kabupaten Aceh
Singkil, Aceh, kembali mengugah rasa kemanusiaan kita sebagai sesama anak bangsa. Apapun
alasannya, kekerasan bukanlah solusi penyelesaian masalah.

"Apapun latar belakangnya, kekerasan tidak pernah menjadi pilihan bagi satu agama dalam
menjalankan ajaran dan mencapai misinya," kata dia.
"Oleh karena itu, saya menyayangkan peristiwa kekerasan yang menjatuhkan banyak korban di
Aceh Singkil, Aceh. Aksi yang dilakukan kelompok manapun, tidak pernah memperoleh
pembenaran atas alasan apapun di Bumi Pertiwi Indonesia," kata Novanto dalam pernyataannya,
di Jakarta, Rabu.

Apalagi, sambungnya, jika aksi kekerasan itu melibatkan sentimen keagamaan. Sentimen yang
seharusnya mengarahkan pada kehidupan yang damai dan harmonis, sesuai prinsip dan nilai
keagamaan yang senantiasa menjadikan kedamaian sebagai tujuan bersama.

"Saya menghimbau aparat penegak hukum mengambil langkah cepat dan responsif, agar tidak
dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Saya menghimbau kepada pihak-
pihak yang terlibat bentrok unmenahan diri dan menyerahkan mekanisme penyelesaian kepada
pihak berwenang," kata Novanto.
"Hanya dengan itu, kita dapat menjaga kerukunan dan kedamaian. Hanya dengan itu, kita
membuktikan bahwa perbedaan adalah rahmat dan bagian dari kebhinnekaan kita sebagai anak
bangsa." imbuhnya.Terakhir dia meminta semua elemen masyarakat untuk menjadikan momen
Tahun Baru Islam 1437 Hijriah yang jatuh pada hari ini, Rabu 14 Oktober 2015, untuk
menyucikan jiwa, membersihkan hati sehingga menjadikan diri kita sebagai pribadi yang bersih,
respek kepada sesama anak bangsa.

"Yang tentunya akan melihat perbedaan bukan sebagai pemisah atau pemecah, namun jusru
menjadi pemersatu seluruh Rakyat Indonesia, sesuai semangat Bhinneka Tunggal Ika," kata dia.
Bentrokan massa yang menewaskan seorang warga di Kabupaten Aceh Singkil, dipicu persoalan
rumah ibadah. Masalah ini diakui sudah berlangsung lama, namun penyelesaiannya tak pernah
tuntas.

Seorang mahasiswa asal Aceh Singkil, Zairin mengatakan Pemerintah Kabupaten setempat
terkesan membiarkan masalah ini berlarut-larut sehingga memicu kerusuhan, dan berpotensi
merusak kerukunan umat beragama di sana.“Konflik ini sudah berlangsung lama,” ujar Zairin
dalam aksi simpatik di Bundaran Simpang Lima, Banda Aceh, Selasa (13/10/2015).

Puluhan mahasiswa asal kabupaten yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Utara
itu menuntut tanggung jawab pemerintah, yang selama ini dinilai membiarkan pertumbuhan
rumah ibadah berupa gereja dan gedung-gedung illegal di sana.
Mereka mendesak pemerintah segara mengatasi masalah itu, karena jika tidak konflik SARA
berpotensi pecah di Aceh Singkil dan bisa merenggut korban lebih banyak lagi."Kami menolak
konflik SARA di Singkil,” sambungnya.

Sementara itu, Wakil Bupati Aceh Singkil Dulmusrid mengatakan, pihaknya tak pernah
membiarkan persoalan ini berlarut. “Kita terus mencari solusi,” ujar Dulmusrid.

Pemkab mencatat ada 24 rumah gereja dan gedung-gedung di sana didirikan tanpa izin. Awalnya
dalam pertemuan tahun 2001 diputuskan di Aceh Singkil hanya diizinkan berdiri satu gereja, dan
empat undang-undang. Namun dalam kurun 14 tahun terakhir tempat ibadah itu bertambah pesat,
tanpa lewat proses izin resmi.

Tahun lalu sebagian diantaranya rumah ibadah illegal itu sempat disegel, setelah adanya protes
dari sejumlah warga. Akhir-akhir ini masalah tersebut kembali memanas menyusul desakan dari
massa menamakan diri Pemuda Peduli Islam (PPI) agar rumah ibadah itu dibongkar.Senin 12
Oktober kemarin, Muspida bersama forum komunikasi antar umat beragama, tokoh masyarakat
dan perwakilan ormas kembali berembuk. Kemudian disepakati 10 diantara rumah ibadah tanpa
izin dibongkar, sisanya diwajibkan mengurus izin."Memang sudah sepakat untuk dibongkar, tapi
bukan hari ini. Menurut kesepakatan akan dibongkar 19 Oktober mendatang," tukas
Dulmusrid.Namun, kata dia, ada sekelompok massa yang tak puas dengan kesepakatan itu.
Mereka tetap ngotot rumah ibadah itu harus dibongkar hari ini, sehingga terjadi perlawanan dari
kelompok lainnya. Bentrokan pun pecah.
BAB II

A.FAKTOR-FAKTOR PECAHNYA KONFLIK


Kerusuhan di Aceh Singkil ini terjadi disebab beberapa faktor, antara lain: Pertama, karena
persoalan hukum dan “pembenturan” kalangan tertentu terhadap kearifan regulasi yang ada di
Aceh. Sebagai bukti, banyaknya pembangunan gereja liar dan tanpa izin. Pembangunan gereja
ini menyalahi aturan yang ada termasuk mengangkangi komitmen masyarakat yang telah pernah
disepakati.

Sekitar 36 tahun lalu, tepatnya pada 1979, pernah ada kesepakatan antara warga Aceh Singkil
tentang pendirian rumah ibadah umat Kristiani. Dalam kesepakatan itu, gereja dibenarkan berdiri
hanya satu unit. Sedangkan undung-undung (sejenis gereja kecil) empat unit. Lalu 22 tahun
kemudian atau tepatnya 2001, perjanjian itu diperkokoh kembali.

Komitmen ini seakan mendapat legitamasi, seiring dengan dikeluarkannya Pergub Aceh tentang
Pedoman Pendirian Rumah Ibadah di Aceh pada 2007. Adanya SKB tiga menteri, ditambah
dengan dikeluarkan Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentangPemerintahan Aceh (lihat Pasal
127 ayat 4), sehingga Aceh tentunya termasuk Kabupaten Aceh Singkil, berlaku prinsip hukum
lex spesialis dan lex generalis.

Sekarang jumlah rumah ibadah umat Kristiani di Aceh Singkil terus bertambah, telah melebihi
dari yang pernah disepakati. Saat ini, ada empat unit gereja dan 23 unit undung-undung, yang
sebagian didirikan tanpa ada izin alias ilegal. Ini terkesan adanya “pengangkangan” terhadap
kesepakatan dan regulasi ada, yang kemudian memantik emosi warga. Akibatnya, beberapa
warga Muslim merasa gerah dan berang.

Sudah berbilang kali warga muslim mengingat ke pihak-pihak yang berkompeten. Malah dengan
melancarkan unjuk rasa segala. Tetapi persoalan ini seakan dilihat dengan sebelah mata dan
dijawab dengan deal-deal yang irama rentak tarinya meliuk-liuk liar. Pengangkangan dan
pembiaran seperti di atas, membuat penyebab pertentangan atau konflik di Aceh Singkil semakin
meruyak lebar. 

Kedua, munculnya prasangka sosial yang mengkristal karena tidak pernah ada penyelesaiaan
secara tuntas. Pada akhirnya, prasangka sosial yang tak kunjung selesai telah menciptakan
keinginan untuk melakukan diskriminasi dalam berbagai bidang kehidupan. Karena prasangka
sosial ini pula, telah memunculkan konsep in-group dan out group di Aceh Singkil. Menganggap
kelompok orang-orang seide atau seideologi sebagai kelompok yang benar. Sebaliknya, orang
lain tidak benar. Malah, dianggap sebagai ancaman.

Ketiga, akhir-akhir ini, seiring dengan “kemajuan” jaman, sebagian cara umat beragama  fanatik
berlebihan tanpa dasar dan keliru dalam memahami kehidupan beragama. Ini juga telah menjadi
andil pemicu `gesekan sosial’ di Aceh Singkil. Sedikit saja ada selebaran dengan kata atau
kalimat yang miring, umat langsung terprovokatif dan  tersulut. Lantas memaki dan berang.
Tidak jarang, saling memojokkan.

Keempat, komunikasi massa selama ini, di Aceh Singkil kurang terbangun dengan sehat dan
kondusif. Even-even antar etnis dan dialog-dialog budaya jarang digelar di Aceh Singkil. Kalau
pun ada, lebih bernuansa ekonomis ketimbang humanis dan sosialis. Dan, kelima, konflik Aceh
Singkil juga diandili oleh akumaulasi sosial ekonomi. Tapi hal ini, belum termasuk penyebab
yang terlalu kental.
B.KONFLIK DI BIDANG KEAGAMAAN
Di tengah belum sembuh luka tragedi Tolikara beberapa bulan lalu, keributan
bernuansa agama pecah lagi. Kali ini terjadi di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Satu
gereja dibakar massa dan dua orang meninggal dunia. Menurut penuturan saksi seorang
pendeta, massa bersenjata tajam, dengan berbagai jenis kendaraan bak terbuka yang
diperkirakan berjumlah 700 orang, sekitar pukul 11.00 WIB (Selasa, 13 Oktober 2015)
mendatangi Gereja HKI Deleng Lagan, Kecamatan Gunung Meriah, lalu membakar rumah
ibadah Nasrani tersebut. Tak hanya itu, massa juga membakar satu undung-undung (rumah
ibadah berukuran kecil). Untungnya saat hendak merangsek ke tempat ketiga, massa langsung
diamankan tentara dan polisi.
Dampak dari insiden itu, seorang sopir mobil tangki minyak sawit beragama Kristen,
yang baru kembali dari Medan ke Singkil, meninggal terkena razia masyarakat di Jembatan
Desa Buluh Seuma, Kecamatan Suro. Selain satu orang tewas, tujuh orang terluka (enam
berasal dari warga, sedangkan satu lainnya merupakan prajurit TNI) dalam kerusuhan
tersebut. Pasca kerusuhan, kurang lebih 1.900 warga Singkil, mengungsi ke wilayah Sumatera
Utara (Medan Bagus.com, 14/10). Berdasarkan data sementara 1000 orang mengungsi di
Kabupaten Tapanuli Tengah dan di wilayah Phak-Phak Barat sebanyak 900. Kini situasi di
Aceh Singkil mulai tenang setelah polisi dan tentara mengerahkan 300 personel ke wilayah
itu.
Kita berharap aparat dan pemerintah bersiaga penuh untuk semaksimal mungkin
meredam dan melokalisir kisruh tersebut agar dampaknya tak terus merembet sehingga makin
banyak menelan korban. Apalagi konflik sejenis bukan baru kali pertama terjadi. Selama 17
tahun terakhir, pasca reformasi terjadi insiden pembakaran sebanyak 1.000 lebih gereja di
Indonesia. Ini bukan angka yang kecil untuk ukuran negeri yang disebut-sebut sebagai negara
demokrasi terbesar ketiga di dunia dan sudah sekian lama menjadikan pluralisme sebagai atap
hidup berbangsa.
Karena konflik sejenis sering terjadi, tak berlebihan jika rakyat bertanya-tanya
mengapa aparat tak bersigap menangkal sedini mungkin? Menurut Koordinator Komisi Orang
Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh Hendra Saputra, ia sempat mendapat sebaran
pesan singkat (SMS) mengenai aksi masa sebelum bentrokan di Aceh Singkil Terjadi.Tetapi
pemerintah dan kepolisian tidak melakukan apapun untuk meredam kerusuhan itu (CNN
Indonesia 14/10).
BAB III
PENGUNGSIAN WARGA AKIBAT KONFLIK
Kepolisian Daerah Sumatea Utara mencatat adanya 4.409 warga Kabupaten Aceh Singkil
mengungsi ke provinsi itu untuk menghindari konflik yang terjadi.Kabid Humas Polda Sumut
Kombes Pol Helfi Assegaf, di Medan, Rabu, mengatakan, warga Aceh Singkil tersebut
mengungsi ke dua kabupaten di Sumut yakni Tapanuli Tengah 3.433 orang dan Pakpak Bharat
(976 orang).Di Tapanuli Tengah, warga Aceh Singkil tersebut ditampung di lima lokasi di
Kecamatan Manduamas yakni Gereja HKI, Balai Desa Saragih, SMP 1 Atap Saragih, Gereja
HKBP Saragih, dan Katolik Paroki Tumba Jahe.Meski jumlah pengungsi ke Tapanuli Tengah
diketahui sebanyak 3.433 orang, tetapi pihaknya masih melakukan pendataan untuk mengetahui
jumlah pengungsi dewasa dan anak-anak.

Dengan koordinir Camat Manduamas Sehat Dalimunthe, telah dilakukan langkah-langkah


penanganan seperti penyediaan beras, mie instan, telur, minyak goreng, air mineral, ikan, tenda,
peralatan dapur, dan berbagai kebutuhan lainnya.

Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, telah ditempatkan personel Satuan
Brimob Detasemen C (34 orang), Korem 023/Kawal Samudera (28 orang), dan Kodim
0211/Tapanuli Tengah (40 orang) guna menjaga perbatasan Sumut dengan Aceh Singkil."25
personel Polri juga stand by di Polsek Manduamas," katanya.
Adapun pengungsi di Pakpak Bharat ditempatkan di kantor Kecamatan Sibagindar, sekolah,
rumah penduduk, dan tenda-tenda yang telah disiapkan.

Pemkab Pakpak Bharat juga menyiapkan berbagai logistik yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan pengungsi dari Aceh Singkil tersebut.

"Kendaraan yang akan masuk ke wilayah Aceh Singkil juga diperiksa di perbatasan oleh aparat
TNI dan Polri," ujar Helfi.Berdasarkan keterangan pengungsi yang ada di Tapanuli Tengah,
warga Aceh Singkil itu mengungsi karena mendapatkan informasi bahwa ada kelompok
masyarakat dari Singkil yang mengejar mereka.

"Karena merasa ketakutan, mereka lari ke berbagai arah, hingga Tapanuli Tengah dan Pakpak
Bharat," ujar Helfi.Sebelumnya pada Selasa (13/10) siang, terjadi bentrokan massa di Desa Kuta
Lerangan, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil.Menurut keterangan polisi,
bentrokan tersebut terjadi akibat adanya sekumpulan warga yang diduga ingin membongkar
rumah yang dijadikan tempat ibadah tanpa izin sehingga mendapat perlawanan dari warga
setempat.
BAB IV

‘PIAGAM MADINAH’ SOLUSI KONFLIK SINGKIL

SATU hari menjelang tahun baru Islam, 1 Muharam 1437 Hijriyah, kita di Aceh
dikejutkan dengan pecahnya satu peristiwa yang melukai kerukunan hidup umat beragama di
Aceh Singkil. Dikabarkan kondisi mencekam lantaran ada rumah ibadah yaitu satu gereja di
Desa Suka Makmur, Gunung Meriah, Aceh Singkil, dibakar (13/10/2015).
Peristiwa yang juga merenggut satu korban jiwa itu, menimbulkan keprihatinan dari berbagai
pihak; baik pemerintah, tokoh masyarakat, aktivis mahasiswa, LSM maupun politisi negeri ini.
Kita semua tentu sepakat bahwa kekerasan dalam bentuk apa pun tidak boleh dilakukan, apalagi
sampai mengakibatkan hilangnya nyawa manusia.
Rumah ibadah, merupakan lambang sebuah agama, dan bagi pemeluknya merupakan hal
yang esensial. Baik dalam agama Islam, Hindu, Kristen, Buddha, maupun agama lainnya rumah
ibadah merupakan tempat yang selalu dijaga, dirawat dan dibangun bersama. Kasus di Aceh
Singkil bukanlah kasus yang pertama yang terjadi di Republik ini. Kita masih ingat hal serupa,
misalnya, sebelumnya terjadi di Kabupaten Talikara, Papua, saat Hari Raya Idul Fitri 1436 H
lalu (aceh.tribunnews.com, 18/7/2015).
Dua kasus di atas bisa menjadi refleksi bersama terkait kebebesan beragama di Indonesia. Ini
merupakan wajah suram demokrasi kita, di mana negara belum mampu sepenuhnya menjamin
hak asasi manusia.
Dalam laporan tahunan, The Wahid Institute menunjukkan angka kekerasan dengan
motif agama dari tahun ke tahun terus naik, pada 2009 terjadi 121 kasus/peristiwa, 2010 ada 184
kasus, 2011 sebanyak 267 kasus, 2012 terdapat 278 kasus, 2013 ada 245 kasus sedangkan 2014
tercatat sebanyak 154 kasus terjadi.
Dengan data dan fakta tersebut, maka masalah kebebasan beragama/berkeyakinan dan intoleransi
masih belum selesai di negara kita ini. Indonesia yang aman dan jauh dari kekerasan belum
terwujud.
        Konflik yang terjadi di Aceh Singkil sudah terjadi beberapa tahun,dalam peristiwa tersebut
masyarakat di Aceh Singkil mengalami kesusahan karena bentrokan,tauran,pembakaran Gereja-
Gereja Kristen.Masyarakat Aceh sangat kawatir hal ini akan menjadi lebih silit di hentikan.
        Banyak penduduk yang mengungsi ke Sumatera Utara untuk semenara demi meng hindari
kekerasan yang terjadi di Aceh Singkil,kejadian ini sudah sampai pada telinga
pemerintah.Pemerintah sedang menyusun rencana untuk menyelesaikan konflik ini secepat nya
        Ada lembaga-lembaga khusus yang dibentuk untuk  menyelesaikan konflik ini.Jika
lembaga-lembaga yang sudah dibentuk tidak mencari jalan keluarnya maka konflik ini akan
menyebar keberapa daerah
        The Wahid Institute menunjukkan angka kekerasan dengan motif agama dari tahun ke tahun
terus naik, pada 2009 terjadi 121 kasus/peristiwa, 2010 ada 184 kasus, 2011 sebanyak 267 kasus,
2012 terdapat 278 kasus, 2013 ada 245 kasus sedangkan 2014 tercatat sebanyak 154 kasus
terjadi.
        Sekarang sudahmulai ada warga warga sepakat bahwa kekerasan dalam bentuk apa pun tidak boleh
dilakukan, apalagi sampai mengakibatkan hilangnya nyawa manusia.
Rumah ibadah, merupakan lambang sebuah agama, dan bagi pemeluknya merupakan hal yang
esensial. Baik dalam agama Islam, Hindu, Kristen, Buddha, maupun agama lainnya rumah
ibadah merupakan tempat yang selalu dijaga, dirawat dan dibangun bersama.
        Pihak-pihak yang berkonflik sudah sepakat perenintah menjadi pihak ketiga untuk
membantu menyelesai kan masalah ini,cepat atau lambat konflik ini akan diselesaikan,tetapi
pasti masih ada orang-orang yang masih memiliki rasa tidak senang
       Jika konflik ini tidak bias diselesaikan dengan cara-cara atau rencana yang sudah dibuat
makan pemerintah akan melakukan tindakan yang lebih tegas untuk menyelesaikan konflik ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/14/063709353/tragedi-aceh-singkil-pemerintah-
diminta-mediasi-konflik
http://news.detik.com/berita/3045598/uyung-korban-bentrok-aceh-singkil-sukses-jalani-operasi-
pengangkatan-peluru
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/10/15/nw8y7w282-akar-konflik-
kerusuhan-di-singkil-dimulai-sejak-1979
http://www.dw.com/id/aceh-membara-disulut-konflik-agama/a-18780213
http://aceh.tribunnews.com/2015/10/21/konflik-singkil-kearifan-yang-terkoyak
http://aceh.tribunnews.com/2015/10/17/piagam-madinah-solusi-konflik-singkil
http://analisadaily.com/index.php/opini/news/konflik-singkil-dan-kecemasan-
beragama/179625/2015/10/16

Anda mungkin juga menyukai