Zidni Nafi’
Penulis:
Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’
Editor:
Hatim Gazali
Desain Layout & Cover:
Linkmed Pro
Diterbitkan oleh:
Litbangdiklat Press
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Jalan MH Thamrin No. 6 Jakarta 10340
Telp. 021 3920425
Dicetak oleh:
Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan
KATA PENGANTAR
KEPALA PUSLITBANG BIMAS AGAMA DAN
LAYANAN KEAGAMAAN
1
Peraturan Bersama Menteri (PBM) ini berisi tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama.
KERANGKA KONSEPTUAL
Penelitian ini menggunakan kerangka teori yang
berlandaskan pada kajian teori-teori sosial yang berkaitan
dengan dinamika sosial khususnya tentang teori konflik
dan integrasi sosial. Penggunaan teori ini berfungsi untuk
menganalisis pola-pola konflik sosial di masyarakat Indonesia
yang kerap kali bernuansa isu agama. Dalam konteks ini, bisa
dicermati bahwa berbagai konflik yang terus berlangsung
hingga kini, faktor sentimen agama merupakan hal penting
yang tak bisa diabaikan. Meskipun secara ideal-normatif
tidak ada agama yang mengajarkan konflik dan permusuhan,
secara faktual-historis terekam bahwa sejarah hubungan
antarkomunitas beragama acap diwarnai oleh ketegangan dan
konflik kekerasan (Suprapto, 2013).
Para ilmuwan sosiologi pada umumnya menyatakan
bahwa konflik itu lahir dari konteks masyarakat yang
mengalami pergeseran-pergeseran nilai dan perubahan
struktural, yang terkait dengan dinamika kekuasaan dalam
negara (Susan, 2019). Dalam masyarakat majemuk seperti di
Indonesia, agama memang dapat menjadi faktor pemersatu
bangsa, tetapi pada sisi lain agama sekaligus menjadi pemicu
konflik. Konflik agama lebih sering merupakan manifestasi
dari konflik sosial dengan simbol-simbol keagamaan untuk
tujuan-tujuan tertentu (Saidurrahman & Arifinsyah, 2018).
PENUTUP
1. SIMPULAN
Faktor-faktor yang menyebabkan penolakan kegiatan
peribadatan dan pendirian rumah ibadah di Kabupaten
Bekasi pada kasus pertama, yaitu (1) pihak HKBP tidak
melakukan komunikasi yang baik kepada warga; (2) ada
ketersinggungan warga selain pihak HKBP tidak meminta
izin lingkungan RW/Desa terlebih dahulu, namun justru
langsung melayangkan surat permohonan rumah ibadah
sementara kepada aparat kepolisian, Pemerintah Kecamatan,
dan Pemerintah Kabupaten juga disinyalir melibatkan koneksi
pejabat tertentu; (3) pihak HKBP melanggar kesepakatan
yang telah disepakati bersama dengan warga perihal jemaat
Kristen yang boleh mengikuti ibadah Minggu.
2. REKOMENDASI
a) Agar pihak-pihak yang berencana mendirikan rumah
ibadah—dalam hal ini yakni HKBP dan PHDI—terlebih
dahulu melakukan pendekatan kultural dan komunikasi