Anda di halaman 1dari 84

Ibnu Hasan Muchtar & M.

Zidni Nafi’

DINAMIKA DAN RESOLUSI KONFLIK


Atas Penolakan Pendirian Rumah Ibadat
di Kabupaten Bekasi
Dinamika dan Resolusi Konflik
Atas Penolakan Pendirian Rumah Ibadat di Kabupaten Bekasi
© Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.
All rights reserved

xii + 72 hlmn; 14,5 x 20,5 cm


Cetakan I, Oktober 2022
ISBN 978-623-6925-50-8

Penulis:
Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’
Editor:
Hatim Gazali
Desain Layout & Cover:
Linkmed Pro

Diterbitkan oleh:
Litbangdiklat Press
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Jalan MH Thamrin No. 6 Jakarta 10340
Telp. 021 3920425

Dicetak oleh:
Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan
KATA PENGANTAR
KEPALA PUSLITBANG BIMAS AGAMA DAN
LAYANAN KEAGAMAAN

Alhamdulillah kami sampaikan puji syukur ke hadirat


Allah SWT sehingga buku yang berjudul Dinamika Dan
Resolusi Konflik Atas Penolakan Pendirian Rumah Ibadat
Di Kabupaten Bekasi: Studi Kasus Rumah Ibadat Sementara
HKBP Di Desa Sirnajaya dan Pendirian Pura Umat Hindu Di
Desa Sukahurip berhasil dirampungkan. Buku ini merupakan
penelitian yang dilakukan oleh Ibnu Hasan Muchtar, peneliti
Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan yang saat
ini berpindah rumah ke Badan Riset dan Inovasi Nasional
(BRIN), dan M. Zidni Nafi’ dari Pusat Studi Pesantren.
Dengan pendekatan fenomenologis, buku ini menjawab
pertanyaan penting tentang: 1) Apa aja faktor-faktor yang
menyebabkan munculnya peristiwa pembubaran dan
penolakan aktivitas peribadatan umat beragama di Kabupaten
Bekasi? 2) Bagaimana proses dan dinamika resolusi konflik

Dinamika dan Resolusi Konflik _iii


sehingga menghasilkan kesepakatan atas kasus pembubaran
ritual ibadah jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)
di Desa Sirnajaya dan peristiwa penolakan atas pendirian
pura Hindu di Desa Sukahurip?, 3) Mengapa Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM)
Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 kerap menjadi polemik dalam
beberapa insiden tentang penolakan dan pelarangan aktivitas
keagamaan?
Dari penelitian ini kita dapat menangkap bahwa adanya
pembubaran dan penolakan aktivitas peribadatan umat
beragama di Kabupaten Bekasi tak melalu berkaitan dengan
pandangan teologis, tetapi justru lebih banyak diwarnai oleh
relasi-relasi sosial antar umat beragama, seperti pihak HKBP
tidak melakukan komunikasi yang baik kepada warga, dan
pihak HKBP melanggar kesepakatan yang telah disepakati
bersama dengan warga perihal jemaat Kristen yang boleh
mengikuti ibadah Minggu, dan lain sebagainya. Hal ini perlu
dihighlight karena sebagian masyarakat umum memandang
persoalan keagamaan muncul semata-mata karena cara
pandang teologis yang eksklusif, misalnya.
Untuk itu, perlu kiranya untuk terus menjaga kerukunan
umat beragama melalui bangunan relasi sosial yang harmonis.
Hal ini karena suatu sistem sosial yang memiliki kapasitas
kultural dan sosial yang memadai untuk menjaga kerukunan
memiliki daya tahan terhadap konflik bermotifkan agama.
Memperkuat kapasitas kultural dan sosial ini merupakan
tanggungjawab bersama, tidak dapat dibebankan hanya

iv_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


kepada tokoh agama, tetapi juga tokoh masyarakat, dan aparat
pemerintah di level masing-masing.
‘Ala kulli hal, Keberhasilan menuntaskan hasil
penelitian sampai diterbitkannya menjadi buku ini tidak
dapat dilepaskan dari peran Rizki Riyadu selaku Kasubbag
TU dan Tim TU Puslitbang Bimas Agama dan Layanan
Keagamaan Kementerian Agama. Bantuan dan upayanya
untuk memastikan produk-produk penelitian di Puslitbang
Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama
yang berkualitas perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi.
Tak hanya itu, Kapuslitbang Bimas Agama Dan Layanan
Keagamaan menyampaikan terima kasih kepada Bapak Hatim
Gazali yang membantu menyunting naskah penelitian ini
sehingga layak dikonsumsi oleh publik.

Jakarta, Oktober 2022


Kepala Puslitbang
Bimas Agama Dan Layanan Keagamaan

H. Arfi Hatim, M.Ag

Dinamika dan Resolusi Konflik _v


KATA PENGANTAR
KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT
KEMENAG RI

Konflik sosial yang terjadi di masyarakat senantiasa


didorong oleh banyak faktor atau motif. Tak ada faktor tunggal
atas fenomena sosial yang terjadi. Demikian juga dengan
penolakan pendirian rumah ibadah di Bekasi, faktornya tidak
tunggal. Masyarakat sering menganggap bahwa konflik yang
berkaitan dengan agama selalu dan hanya bertautkelindan
dengan pemahaan teologis pemeluknya. Padahal, ada banyak
faktor lain, bahkan terkadang faktor sosial-ekonomi menjadi
trigger atas terjadinya konflik sosial-keagamaan.
Buku yang ditulis Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’ ini
berupaya untuk menangkap faktor-faktor penyebab terjadinya
pembubaran dan penolakan aktivitas peribadatan umat
beragama di Kabupaten Bekasi, serta bagaimana proses dan
dinamika resolusi konflik. Tentunya, sebagai studi lapangan,
memiliki keterbatasan. Salah satu keterbatasannya adalah

Dinamika dan Resolusi Konflik _vii


tidak memungkinkannya dilakukan generalisasi, bahwa
penyebab terjadinya pembubaran dan penolakan aktivitas
peribadatan umat beragama di Bekasi sama seperti di tempat
lain. Bahkan, dalam kurun waktu yang berbeda, faktor-faktor
pembubaran dan dan penolakan aktivitas peribadatan umat
beragama di Bekasi tidak seperti yang ada dalam buku ini
seiring dengan perubahan yang terjadi di masyarakat.
Mengingat ketidaktunggalan faktor konflik sosial
tersebut, penting untuk memerhatikan rekomendasi yang
diberikan peneliti. Yakni perlunya melakukan melakukan
pendekatan kultural dan komunikasi dengan masyarakat
sekitar. Pendekatan dan hubungan baik antar sesama warga
negara menjadi salah satu kunci keberhasilan pendirian
rumah ibadah.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada Ibnu Hasan
Muchtar & M. Zidni Nafi’ yang berhasil merampungkan
penelitian ini. Saya juga perlu memberikan apresiasi kepada
Rizki Riyadu selaku Kasubbag TU dan Tim TU Puslitbang
Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama
yang terlibat aktif dalam upaya menghadirkan hasil-hasil
penelitian kepada publik, sehingga melalui penerbitan buku
ini produk Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan
Kementerian Agama kiranya dapat menjadi rujukan penting.
Terakhir, saya juga berterima kasih kepada penyunting
buku ini, Bapak Hatim Gazali, yang berupaya dengan keras
untuk menghadirkan hasil penelitian menjadi buku sehingga

viii_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


dapat dibaca oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat
luas.

Jakarta, Oktober 2022


Kepala Badan Litbang dan Diklat
Kemenag RI

Prof. Dr. Suyitno, M.Ag

Dinamika dan Resolusi Konflik _ix


DAFTAR ISI

Kata Pengantar Kepala Puslitbang Bimas Agama dan


Layanan Keagamaan............................................................ iii
Kata Pengantar Kepala Badan Litbang dan Diklat
Kemenag RI........................................................................... vii
Daftar Isi................................................................................ xi
Bab 1: Urgensi Dan Konteks............................................... 1
Bab 2: Pendirian Rumah Ibadah Dalam Literatur .......... 11
Bab 3: Gambaran Umum Kabupaten Bekasi.................... 25
Bab 4: Polemik Dan Resolusi Konflik Pendirian Rumah
Ibadah ................................................................................. 51
Bab 5: Penutup...................................................................... 61
Daftar Pustaka...................................................................... 65
Biodata Penulis..................................................................... 71

Dinamika dan Resolusi Konflik _xi


BAB 1

URGENSI DAN KONTEKS

Kepemelukan agama dengan berdasar pada kesadaran


makna yang melegitimasi tindakan pemeluknya dalam
interaksi sosialnya justru juga dibarengi oleh perbedaan
interpretasi terhadap norma ajaran dan bahkan nilai yang
terkandung dalam ajaran tersebut, sehingga hal tersebut
memunculkan konflik di antara pemeluknya; dan konflik
antar pemeluk agama mengandung muatan kompleks dan
tidak sekedar menyentuh dimensi keyakinan dari agama
yang dipeluknya melainkan juga terkait dengan kepentingan
sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Karena itu konflik
antarpemeluk agama amat mudah ditunggangi kelompok
kepentingan, sehingga konflik yang terjadi adalah konflik
kepentingan yang mengatasnamakan Tuhan dan agama
(Syukron, 2017: 5).
Masalah hubungan sosial keagamaan ini sangat penting
baik dalam konteks hubungan antara kelompok dalam sutu
agama maupun hubungan antara pemeluk agama yang

Dinamika dan Resolusi Konflik _1


berbeda. Fakta memperlihatkan bahwa hubungan antara
umat beragama ini sering dilalui oleh ketegangan dan konflik.
Masalah yang menandai dari terganggunya hubungan ini
muncul mulai dari masalah individual, seperti perkawinan
beda agama, sampai pada masalah dakwah agama sendiri,
seperti terlihat melalui pendirian tempat-tempat ibadah.
Harus diakui bahwa masalah-masalah ini tak bisa tidak
memperburuk hubungan pemeluk agama dengan pemerintah
karena keterlibatan pemerintah untuk merelai konflik sering
dianggap membela salah satu kelompok. Dalam kasus yang
dikategorikan sebagai penodaan agama akan secara otomatis
menyeret pemerintah untuk ikut merelainya (Hayat, 2012:
625).
Bagi Indonesia yang memiliki komposisi penduduk
heterogen, pencarian resolusi konflik adalah kebutuhan
mendesak yang harus segera dilaksanakan (Muqayyidin,
2012: 333). Apalagi untuk konteks Kabupaten Bekasi, salah
satu daerah penyangga Ibu Kota Negara yang memiliki
demografi masyarakat yang cukup kompleks. Hal ini bisa
dilihat dari populasi penduduknya yang mencapai 2.667.159
jiwa. Sedangkan berdasarkan kepemelukan agama, umat Islam
merupakan mayoritas, yakni 2.536.466 (95%), disusul umat
Protestan 90.750 (3,4%), Katolik 24.812 (0,93%), Hindu 1.662
(0,06%), Budha 12.978 (0,49%), dan kepercayaan lainnya 491
(0,01%) (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi, 2020).
Kompleksitas Kabupaten Bekasi bisa dicermati dari
dinamika keagamaan yang terjadi. Misalnya, pada tahun 2015
Setara Institute merilis hasil penelitian yang mengungkapkan

2_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


bahwa Bekasi sebagai daerah paling intoleransi di Jawa Barat
setelah Bogor. Penyematan ini tentu terkait dengan beberapa
insiden intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama
yang pernah terjadi di Kabupaten Bekasi.
Dari sekian deret kasus konflik bernuansa agama, ada
beberapa kasus yang berhasil diselesaikan dengan resolusi
damai. Ada pula kasus yang buntu alias belum ada resolusi
yang tepat untuk menyelesaikan kasus tersebut. Dari beberapa
kasus konflik terkait dengan penolakan oleh sekelompok
ormas terhadap aktivitas peribadatan umat beragama
tertentu, seperti masalah pendirian rumah ibadat, salah
satunya disebabkan karena masih adanya pro kontra terhadap
penerapan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor: 9 Tahun 2006, dan Nomor: 8 Tahun
2006 tanggal 21 Maret 2006, terutama terkait syarat-syarat
pendirian rumah ibadah.1
Dalam rangka menelusuri resolusi konflik atas insiden
penolakan aktivitas peribadatan, penelitian ini mencoba
untuk mengambil sampel kasus yang terjadi di Kabupaten
Bekasi, Jawa Barat. Adapun studi kasusnya, yakni pertama
peristiwa pembubaran paksa oleh sekelompok massa terhadap
kegiatan peribadatan dari jemaat Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP) di Perum Kota Serang Baru (KSB), Desa
Wibawamulya, Kecamatan Cibarusah. Yang kedua, peristiwa

1
Peraturan Bersama Menteri (PBM) ini berisi tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama.

Dinamika dan Resolusi Konflik _3


penolakan oleh sekelompok massa atas rencana pembangunan
pura umat Hindu di Desa Sukahurip, Kecamatan Sukatani.
Untuk studi kasus pertama, kronologi peristiwa yang
terjadi pada 13 September 2020 itu berawal dari sekelompok
massa mengepung jemaat HKBP yang sedang melantunkan
doa dan puji-pujian di sebuah bangunan milik salah satu
jemaat yang bernama Ramli Sirait. Massa lalu mendesak
dengan cara berteriak secara lantang kepada jemaat agar
segera menghentikan aktivitas peribadatannya. Setelah itu
para jemaat tersebut keluar rumah disambut massa yang
dari awal sudah bersiap-siap membubarkan ibadah mereka.
Sempat terjadi adu mulut antara tokoh HKBP dengan sejumlah
juru bicara massa yang mengatasnamakan warga Muslim
setempat (https://news.detik.com/berita/d-5177069/viral-
warga-di-bekasi-putar-musik-kencang-saat-ada-kebaktian-
polisi-mediasi).
Setelah melalui dinamika yang cukup panjang, dalam
perkembangannya kasus pengepungan jemaat HKBP yang
sedang beribadah mereda setelah diadakannya dialog
beberapa kali dan klimaksnya saat pertemuan beberapa
tokoh agama, aparat keamanan, dan pejabat daerah bersama
Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, pada 17 September 2020
menghasilkan 7 kesepakatan tentang status perizinan ritual
ibadah bagi jemaat HKBP di Perum KSB, Desa Wibawamulya.
Konflik yang dialami jemaat HKBP di Kabupaten Bekasi
ternyata bukan pertama kali terjadi. Salah satu insiden yang
sempat menjadi isu nasional di media massa adalah insiden

4_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


pengepungan dan pelarangan aktivitas ibadah jemaat Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, Kecamatan
Tambun, Kabupaten Bekasi pada momen Hari Natal 2009
(Sinaga, 2014). Insiden ini pun akhirnya berujung pada
penyegelan terhadap lokasi yang akan dibangun rumah ibadat
oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi. Meskipun keberadaan
HKBP Filadelfia dimenangkan oleh Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN), tetap saja tempat ibadah mereka tidak
dapat digunakan. Segel penutupan terhadap rencana tempat
ibadat tetap terpasang. Jemaat mereka pun harus beribadah
secara berpindah-pindah, termasuk di depan Istana Presiden,
bersama jemaat GKI Yasmin Bogor.
Kehadiran SKB yang kemudian direvisi menjadi PBM
tahun 2006 dinilai menjadi penyebab utama sulitnya
mendirikan tempat ibadah. Apalagi keduanya mengharuskan
adanya izin pemerintah daerah dan masyarakat atas sebuah
rumah ibadah. Bahkan, para pimpinan gereja di Bekasi
menganggap pendirian rumah ibadah kerap lebih sulit
dibandingkan pendirian sebuah tempat hiburan malam yang
kehadirannya jelas-jelas bisa menimbulkan dampak negatif
pada masyarakat. Perizinan gereja yang dituangkan dalam
PBM telah mengakibatkan beberapa gereja di Bekasi ditutup,
seperti yang terjadi dengan HKBP Filadelfia, Gekindo, dan
GPDI di Jati Mulya Bekasi. Penutupan tersebut langsung
dipimpin oleh camat setempat (Hutabarat, 2015: 412).
Insiden-insiden yang terjadi di Bekasi ini tidaklah kasus
yang pertama kali terjadi. Tim Riset Tirto mencatat sepanjang
5 tahun (2013-2018) sudah ada 32 gereja ditutup (Kresna,

Dinamika dan Resolusi Konflik _5


2019). Hal itu belum termasuk insiden konflik yang dialami
oleh umat agama atau aliran kepercayaan lainnya terutama di
Jawa Barat, seperti penyegelan masjid Ahmadiyah di beberapa
kota, penyegelan makam tokoh Sunda Wiwitan di Kuningan,
penolakan pendirian Pura Hindu, dan lain-lain.
Sementara untuk studi kasus kedua, kronologi
peristiwanya terjadi pada Sabtu sore, 4 Mei 2019. Ada
sekelompok massa sekitar tiga mobil yang mendatangi ruas
Jalan Sasak Bali. Mereka membawa spanduk yang berisi
penolakan atas rencana pembangunan pura umat Hindu
yang terletak di wilayah RT 01/RW 01 Desa Sukahurip (Abdi,
2019).
Mengenai kasus ini ternyata pihak Parisada Hindu
Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Bekasi melalui I Made
Pande Cakra mengklaim telah memenuhi seluruh persyaratan,
termasuk dukungan dari warga lokal. Ia juga mengatakan
bahwa lokasi yang menjadi rencana pembangunan pura
adalah bekas peninggalan kerajaan pertama Pasundan
(Kerajaan Hindu Kuno). Di sisi lain, para tokoh Islam yang
mewakili masyarakat setempat mengaku bahwa di lokasi
yang dipersengketakan terdapat makam leluhur mereka yang
dikeramatkan, namanya Syekh Kamaruddin Al-Bantani.
Selain itu, 70 warga yang diminta persetujuan ternyata
bukan dari kalangan tokoh, dan mereka memberikan tanda
tandangan persetujuan sebab akan dibangun lembaga
pendidikan sehingga memberikan persetujuan (Zain, Sila,
Burhani, 2019). Dalam perkembangannya, menurut Adhi

6_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


Chandra, Perwakilan Hindu di FKUB Kabupaten Bekasi
(di daerah sana) sedang membangun Pasaman yang telah
disetujui oleh masyarakat setempat yang mayoritas Muslim
setelah melalui permusyawaratan yang cukup panjang.
Berangkat dari dua studi kasus di atas, penelitian ini akan
menelusuri proses dan dinamika dalam penyelesaian kasus
sehingga melahirkan resolusi konflik atas peristiwa penolakan
kegiatan aktivitas peribadatan, khususnya di Kabupaten Bekasi.
Di samping itu, melalui penelitian ini juga diharapkan dapat
terumuskan model-model baru dari praktik resolusi konflik
yang efektif dan efisien, sehingga dapat mendefinisikannya
kembali sebagai bentuk pembaharuan serta dasar kebijakan
pemerintah dalam menyelesaikan konflik bernuansa sosial-
keagamaan.
Untuk, penelitian ini akan menjawab pertanyaan-
pertanyaan berikut: 1) Apa aja faktor-faktor yang menyebabkan
munculnya peristiwa pembubaran dan penolakan aktivitas
peribadatan umat beragama di Kabupaten Bekasi? 2)
Bagaimana proses dan dinamika resolusi konflik sehingga
menghasilkan kesepakatan atas kasus pembubaran ritual
ibadah jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Desa
Sirnajaya dan peristiwa penolakan atas pendirian pura Hindu
di Desa Sukahurip?, 3) Mengapa Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8
Tahun 2006 kerap menjadi polemik dalam beberapa insiden
tentang penolakan dan pelarangan aktivitas keagamaan?

Dinamika dan Resolusi Konflik _7


Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif jenis fenomenologi.
Adapun metode ini berlandaskan pada empat kebenaran,
yaitu kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik logik,
kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik transenden.
Atas dasar cara mencapai kebenaran ini, fenomenologi
menghendaki kesatuan antara subjek peneliti dengan
pendukung obyek penelitian. Keterlibatan subjek peneliti di
lapangan dan penghayatan fenomena yang dialami menjadi
salah satu ciri utama (Endraswara, 2006: 67).
Sedangkan pengaruh sikap dan pandangan fenomenologi
pada penelitian yaitu bahwa cara satu-satunya bagi peneliti
untuk mengetahui pengalaman orang lain adalah dengan
menanyakan kepada mereka arti yang mereka berikan pada
pengalamannya. Dalam hal ini, menanyakan pengalaman
mereka berarti mewawancarainya. Maka, lewat wawancara
orang inilah nantinya berfungsi untuk mengungkapkan
makna pengalamannya.
Dimensi penting dalam fenomenologi, pertama bahwa
dalam setiap pengalaman manusia terdapat sesuatu yang
hakiki, penting dan bermakna. Kedua, pengalaman seseorang
harus dimengerti dalam konteksnya. Untuk menangkap
esensinya kita harus mendalami pengalaman itu apa adanya
tanpa ada intervensi pandangan, perspektif dari luar.
Pandangan dari luar harus ditaruh dalam tanda kurung
(bracketing) atau istilah Husserl epoche (Raco, 2010: 82-84).

8_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yakni primer
dan sekunder. Untuk data primer, akan diperoleh dari para
informan yang terdiri dari beberapa anggota dan tokoh
yang terlibat dua studi kasus yang diteliti. Kasus pertama
yakni terdiri dari pihak Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP) dan masyarakat Perumahan Kota Serang Baru
Desa Sirnajaya, sementara kasus kedua yakni terdiri dari
warga Desa Sukahurip dan anggota Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI). Selain itu, peneliti mencermati informasi
yang diberikan oleh organisasi masyarakat, aparat kepolisian,
pejabat daerah, dan warga setempat.
Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini didapat
dengan melakukan analisis dokumen administrasi di kantor-
kantor pemerintah, dokumen berbagai instansi, laporan
penelitian, jurnal penelitian, situs web, majalah, surat kabar
dan buku teks. Lebih khusus, peneliti juga akan melihat
aturan resmi dari pemerintah berkenaan dengan ketentuan
penerapan syarat-syarat pendirian rumah ibadah yang
tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006.
Untuk mengumpulkan berbagai sumber data, penelitian
ini menggunakan beberapa teknik. (1) Observasi terlibat
(participant observation); peneliti terjun ke lokasi peristiwa
pembubaran dan penolakan kegiatan peribadatan di dua
lokasi yang dijadikan studi kasus penelitian. (2) Wawancara;
memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mendalam (in
depth interview) kepada informan sebagaimana yang sudah
dijelaskan dalam sumber data primer di atas. Selanjutnya,

Dinamika dan Resolusi Konflik _9


informan untuk sumber data penelitian ini ditentukan secara
purposif, dengan menggunakan teknik snowball sampling.
Dalam konteks studi kasus penolakan dan pembubaran
aktivitas peribadatan umat beragama di Kabupaten Bekasi
ini, peneliti menggunakan teknik analisis model Miles dan
Huberman (Sugiyono, 2014). Data-data yang sudah terkumpul
dari berbagai teknik pengumpulan data harus “diproses” dan
dianalisis sebelum digunakan.
Dalam kerangka model alir tersebut, peneliti
melakukan tiga kegiatan analisis data secara serempak: (1)
reduksi data, yang mana proses ini meliputi pemilihan,
pemfokusan, penajaman, penyederhanaan, pemisahan, dan
pentransformasian data “mentah” yang terlihat dalam catatan
tertulis lapangan; (2) data display, yakni proses yang meliputi
kegiatan mengumpulkan informasi yang telah tersusun yang
membolehkan penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan; (3) kesimpulan/verifikasi, yakni kegiatan utama
dalam analisis data. Sejak awal pengumpulan data, peneliti
telah mencatat dan memberi makna sesuatu yang dilihat atau
diwawancarainya. Peneliti harus jujur dan menghindari bias
subjektivitas dirinya.

10_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


BAB 2

PENDIRIAN RUMAH IBADAH DALAM LITERATUR

Penelitian ini memfokuskan pada proses resolusi konflik


yang dilakukan oleh stakeholders di Kabupaten Bekasi atas
peristiwa pembubaran ritual ibadat oleh sekelompok massa
terhadap jemaat Huria Kristen Batak Protestan [HKBP] di
Desa Wibawamulya, Kecamatan Cibarusah, dan juga peristiwa
penolakan atas pendirian pura Hindu di Desa Sukahurip.
Berikut beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan
topik penelitian ini:
Pertama, penelitian Mustolehudin yang berjudul
Pendekatan Sosial Budaya Dalam Penyelesaian Potensi Konflik
Pendirian Rumah Ibadah: Pendirian Vihara dan Masjid di
Banyumas. Penelitian ini adalah termasuk dalam kategori
penelitian kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian
ini dilakukan dengan teknik Focus Group Discussion (FGD),

Dinamika dan Resolusi Konflik _11


wawancara, observasi dan studi dokumen. Informan kunci
dalam penelitian ini adalah tokoh lintas agama, tokoh budaya,
tokoh masyarakat, dan tokoh lembaga (Kementerian Agama
Kabupaten Banyumas dan FKUB Kabupaten Banyumas).
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif.
Berdasarkan uraian-uraian di atas mengenai pendirian
rumah ibadat di Purwokerto khususnya alih fungsi ruko
menjadi vihara Prajna Maitreya dan pendirian masjid
Baiturrahman dapat disimpulkan sebagai berikut: Bahwa
regulasi PBM No 9 dan 8 tahun 2009 terutama tentang
pendirian rumah ibadah di Purwokerto sebagaimana
tercantum dalam pasal 13, 14, 15, 16, 17, dan 18, sebagian kecil
sudah sesuai dengan peraturan tersebut. Hal ini sebagaimana
telah diterapkan dalam pendirian vihara Prajna Maitreya.
Sementara itu untuk pendirian masjid di Kabupaten
Banyumas secara umum bahwa 90% belum berizin. Pendirian
masjid yang sedang dalam proses pembangunan dan
menyesuaikan PBM tersebut adalah masjid Baiturrahman
di Kelurahan Sokanegara, Kecamatan Purwokerto Timur,
Kabupaten Banyumas.
Pendirian vihara Prajna Maitreya sebelumnya tidak
diterima masyarakat dan berpotensi menimbulkan konflik.
Setelah pihak panitia memenuhi peraturan yang berlaku,
masyarakat dapat menerima keberadaan vihara tersebut.
Secara teologis masyarakat menerima keberadaan vihara
tersebut dengan catatan tidak mengubah bentuk ruko menjadi

12_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


vihara, tidak menyalakan dupa, dan membunyikan peralatan
ibadah, serta menjaga ketertiban, kerukunan di masyarakat.
Penerimaan alih fungsi ruko menjadi vihara selain
syarat administrasi terpenuhi, juga karena adanya aspek lain.
Aspek tersebut adalah keterbukaan masyarakat dalam hal
sosial budaya. Budaya masyarakat Banyumas yang memiliki
karakter dengan istilah cablaka, ikut mewarnai budaya damai
di masyarakat (Mustolehudin, 2015: 55-66).
Kedua, penelitian Adon Nasrullah Jamaludin yang
berjudul Konflik dan Integrasi Pendirian Rumah Ibadat di Kota
Bekasi. Kota Bekasi yang menjadi fokus dalam penelitian ini,
merupakan salah satu daerah Jawa Barat pada beberapa waktu
terakhir banyak menimbulkan konflik pendirian rumah
ibadat. Penelitian yang menggunakan metode deskriptif-
analitis penelitian ini memfokuskan analisisnya pada gejala-
gejala sosial yang terjadi kaitannya dengan pendirian rumah
ibadat. Orientasi analisanya difokuskan pada tiga komponen
yaitu, place (tempat, dimana peristiwa itu terjadi), actor
(pelaku, orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut), dan
activities (kegiatan dalam peristiwa tersebut).
Masyarakat Ciketing Asem Mustika Jaya Kota Bekasi,
telah membuat sulitnya membangun sistem sosial yang ajeg
(kuat). Sebab secara sosiologis masyarakat baru khususnya
yang menghuni perumahan-perumahan baru telah
berimplikasi pada tumbuhnya nilai dan norma baru, yang
mendorong terjadinya perbedaan pandangan (persepsi) dan
kepentingan. Gesekan-gesekan identitas yang menjadi ciri

Dinamika dan Resolusi Konflik _13


penting masing-masing kelompok telah berkontribusi secara
signifikan terhadap peluang pecahnya konflik dalam pluralitas
masyarakat beragama.
Selain itu, kuatnya faktor kepentingan merupakan faktor
signifikan yang memengaruhi tingginya sensifitas keagamaan
yang pada gilirannya memudahkan pecahnya konflik
antarpemeluk agama, karena masing-masing kelompok
(baik Islam maupun Kristen) berusaha memperjuangkan
kepentingannya yang berbeda-beda sehingga benturan pun
tak dapat terhindarkan (Jamaludin, 2018: 227-238).
Ketiga, penelitian Ahmad Mukri Aji menulis penelitian
yang berjudul Identifikasi Potensi Konflik Pra dan Pasca
Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia dan Upaya untuk
Mengatasinya (Studi Kasus di Kota dan Kabupaten Bogor).
Penelitian ini mencoba menelaah lebih dekat Peran Pemerintah
Daerah (Bupati/ Walikota) dalam mengaplikasikan PBM No.
8 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun 2006 serta mekanisme
yang ditempuh untuk mengantisipasi terjadinya konflik
internal dan eksternal pra dan pasca pendirian rumah
ibadah di Indonesia, dengan mengangkat sample kasus
pendirian rumah ibadah GKI Yasmin Wilayah Kota Bogor,
dan pendirian rumah ibadah Paroki Santo Yohanes Baptista
Tulang Kuning Parung, serta pendirian rumah ibadah gereja
Katolik Hati Kudus Citra Indah Jonggol, keduanya berada di
wilayah Kabupaten Bogor.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa Pemerintah Daerah
(Bupati/ Walikota) mempunyai peran yang sangat strategis

14_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


untuk mengantisipasi dan mengatasi serta meminimalisir
potensi konflik pra dan pasca pendirian rumah ibadah.
PBM No. 8 ini menyadarkan semua pihak dan para pihak
pemeluk agama yang akan membangun rumah ibadah atau
mengadakan kegiatan ibadah di tempat sementara, semua
tahapan kegiatan itu mesti mengacu kepada hukum positif
yang berlaku sebagai pijakan dan pedoman.
Peran maksimal dari Pimpinan Daerah Bupati/Walikota
termasuk struktur yang ada di bawahnya mulai dari RT, RW,
Kalur/Kades dan Camat, dan peran maksimal dari KUA
dan Kementerian Agama, serta FKUB mempunyai peranan
strategis untuk memberikan kesadaran hukum kepada
setiap warga masyarakat pemeluk agama yang berdomisili
di wilayahnya, serta selalu mengawal untuk mengklarifikasi,
memverifikasi, dan memvalidasi data secara obyektif serta
terbuka, dengan terus menghindari jebakan pemberian
sesuatu yang mengakibatkan adanya sikap subyektif untuk
melakukan manipulasi data.
Beberapa kasus yang sangat krusial baik dalam bentuk
pra pendirian rumah ibadah atau pasca pendirian rumah
ibadah muncul disebabkan salah satunya permainan yang
terselubung di dalam perangkat struktur kepemimpinan RT
dan RW, Kelurahan/Desa, Pimpinan Kecamatan, Bupati/
Walikota serta jajaran Pemda dan Muspida, sebagaimana
yang terjadi pada kasus GKI Yasmin di Kota Bogor, Gereja
Paroki Tulang Kuning, dan Gereja Katholik Hati Kudus di
Citra Indah.

Dinamika dan Resolusi Konflik _15


Penelitian ini merekomendasikan, jika mekanisme dan
prosedur pengajuan pendirian rumah ibadah dilakukan secara
obyektif dan terbuka sesuai dengan PBM tahun 2006 dan
kawalan serta adanya ketegasan dari perangkat pemerintah
daerah maka konflik antara pihak tidak terjadi, dan akan
tercipta saling asah, asih, asuh menuju Indonesia kuat dan
bersatu (Aji, 2014).
Keempat, penelitian Haidlor Ali Ahmad yang berjudul
Resolusi Konflik Keagamaan di Aceh Singkil dalam Perspektif
Budaya Dominan. Tulisan ini merupakan hasil penelitian
upaya resolusi konflik keagamaan Aceh Singkil pada bulan
Februari 2016. Data yang digunakan meliputi data fact finding
konflik Aceh Singkil bulan Mei 2012 dan konflik bulan
Oktober 2015. Penelitian bulan Februari 2016 ini merupakan
studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Data yang yang
dikumpulkan dengan menggunakan metode wawancara,
pengamatan terlibat dan studi dokumentasi.
Penelitian ini berhasil mengetahui akar masalah konflik,
dengan cara menelusuri budaya masyarakat, hubungan antara
Muslim dan Kristen, benturan budaya dan kepentingan,
serta kronologi konflik. Adapun sumbangsih penelitian,
peneliti menawarkan resolusi konflik melalui pendekatan
‘budaya dominan’ dengan menjadikan budaya dominan yang
diterapkan di Bali sebagai model.
Peneliti menemukan, konflik keagamaan yang secara
kronologis sudah berlangsung cukup lama, karena mekanisme
keharmonisan tidak bisa berjalan dengan baik. Hukum formal

16_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


tertulis, kesepakatan sosial bersama, hukum dan ajaran
agama, serta tradisi dan budaya tidak ditaati oleh pihak
minoritas Kristen. Apalagi, benturan budaya antara budaya
yang didambakan mayoritas masyarakat Aceh Singkil dengan
budaya yang dibawa para pendatang tampak sangat kontras.
Penelitian ini semakin membuktikan bahwa budaya
dominan Bali yang dapat dijadikan model resolusi konflik,
meliputi hukum formal tertulis, kesepakatan sosial bersama,
hukum dan ajaran agama. Di samping itu, tradisi budaya
yang dibangun oleh mayoritas masyarakat Hindu Bali begitu
dipatuhi oleh kelompok minoritas, sehingga masyarakat Bali
mendapat label sebagai masyarakat yang rukun dan toleran
(Ahmad, 2016).
Kelima, penelitian dari Ulfah Fajarini yang berjudul
Potret Konflik Keagamaan Masyarakat Tangerang Banten
dan Resolusi Konflik Berbasis Multikulturalisme dalam Islam.
Artikel ini bertujuan untuk menelusuri sumber-sumber
konflik sosial yang terjadi pada kelompok masyarakat yang
berafiliasi dengan organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama
(NU) dan masyarakat yang berafiliasi dengan organisasi
keagamaan Muhammadiyah serta melihat faktor-faktor
penyulut dan bentuk-bentuk konflik yang terjadi. Di samping
itu, tulisan ini juga menganalisis proses resolusi konflik
yang berbasis multikulturalisme dalam Islam. Fenomena
tersebut dikaji melalui pendekatan antropologi. Metode yang
digunakan adalah kualitatif dengan memakai wawancara, dan
pengamatan dalam mendapatkan beragam data.

Dinamika dan Resolusi Konflik _17


Temuan penelitian ini menunjukkan adanya konflik sosial
antara kelompok masyarakat NU dan Muhammadiyah; Isu
konflik berkutat pada wilayah agama, perayaan keagamaan,
ritus keagamaan, serta sistem epistem yang berbeda.
Konflik terjadi karena stigma negatif, salah paham dan juga
ketertutupan diri dari masing-masing kelompok. Karenanya
pendidikan multikultural dalam Islam diperlukan bagi seluruh
masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Tangerang
Banten untuk meredakan beragam isu konflik seperti ini.
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa resolusi konflik
yang terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat Tangerang
Banten, dapat dilakukan dengan pendidikan multikultural.
Terjadinya konflik tergantung pada unsur-unsur struktur
sosial yang ada, yaitu identitas sosial, peranan-peranan sosial,
pengelompokan sosial, situasi dan arena sosial. Pengakuan
“saya orang Muhammadiyah” atau “saya orang NU” akan
diganti dengan “saya orang Islam” jika berhadapan dengan
agama lain (Fajarini, 2014).
Melalui penelitian ini, penulis berhasil menyumbangkan
kontribusi untuk meningkatkan kerja sama antarkelompok
NU dan Muhammadiyah untuk membangun masyarakat
Tangerang Banten.
Berkaca pada tiga penelitian di atas, bahwa judul penelitian
ini mempunyai posisi tersendiri. Hal ini sebab, penelitian ini
memfokuskan pada segi resolusi konflik yang menghasil sikap
damai antara pihak yang terlibat dalam konflik penolakan atas
kegiatan keagamaan di Kabupaten Bekasi. Selain itu, penelitian

18_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


pada kasus ini juga terbilang menarik karena nantinya akan
menggunakan metode fenomenologi yang berbeda dengan
penelitian sebelumnya.

KERANGKA KONSEPTUAL
Penelitian ini menggunakan kerangka teori yang
berlandaskan pada kajian teori-teori sosial yang berkaitan
dengan dinamika sosial khususnya tentang teori konflik
dan integrasi sosial. Penggunaan teori ini berfungsi untuk
menganalisis pola-pola konflik sosial di masyarakat Indonesia
yang kerap kali bernuansa isu agama. Dalam konteks ini, bisa
dicermati bahwa berbagai konflik yang terus berlangsung
hingga kini, faktor sentimen agama merupakan hal penting
yang tak bisa diabaikan. Meskipun secara ideal-normatif
tidak ada agama yang mengajarkan konflik dan permusuhan,
secara faktual-historis terekam bahwa sejarah hubungan
antarkomunitas beragama acap diwarnai oleh ketegangan dan
konflik kekerasan (Suprapto, 2013).
Para ilmuwan sosiologi pada umumnya menyatakan
bahwa konflik itu lahir dari konteks masyarakat yang
mengalami pergeseran-pergeseran nilai dan perubahan
struktural, yang terkait dengan dinamika kekuasaan dalam
negara (Susan, 2019). Dalam masyarakat majemuk seperti di
Indonesia, agama memang dapat menjadi faktor pemersatu
bangsa, tetapi pada sisi lain agama sekaligus menjadi pemicu
konflik. Konflik agama lebih sering merupakan manifestasi
dari konflik sosial dengan simbol-simbol keagamaan untuk
tujuan-tujuan tertentu (Saidurrahman & Arifinsyah, 2018).

Dinamika dan Resolusi Konflik _19


Menurut Jary, teori konflik adalah any theory or collection
of theories that emphasizes the role of conflict, especially between
groups and classes, in human societies (Jary & Jary, 1991).
Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan, beberapa teori atau
sekumpulan teori yang menjelaskan tentang peranan konflik,
terutama antara kelompok-kelompok dan kelas-kelas dalam
kehidupan sosial masyarakat.
Dalam ranah sosiologi, konflik terjadi dalam motif dan
bentuk yang beragam, dapat berupa antarindividu dan individu
lain, antarindividu dengan kelompok, antarkelompok dan
kelompok, antarkelompok dengan negara, dan antarnegara
dengan negara. Persisnya, konflik memuat sifat dan motif
yang kompleks, setiap bentuk konflik mempunyai pendekatan
dan arah perkembangan masing-masing. Karena sifatnya
yang kompleks itulah, upaya tata kelola konflik membutuhkan
pendekatan dan strategi khusus. Salah satunya adalah dengan
melakukan pengelompokan konflik berdasarkan jenis dan
tipenya (Setivani, 2016).
Adapun konflik menurut Lewis Coser (1956) dibagi
ke dalam dua tipe dasar konflik, yaitu konflik realistis dan
konflik non realistis. Konflik realistis memiliki sumber yang
kongkret atau bersifat material, seperti perebutan sumber
ekonomi atau wilayah. Jika mereka telah memperoleh sumber
rebutan itu, dan bila dapat diperoleh tanpa perkelahian, maka
konflik akan segera diatasi dengan baik. Konflik non realistis
didorong keinginan yang tidak rasional dan cenderung
bersifat ideologis, seperti konflik agama dan etnis. Dari dua
tipe konflik ini, konflik non realistis cenderung sulit untuk

20_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


menemukan resolusi. Selain itu sangat mungkin bahwa kedua
jenis konflik tersebut muncul berbarengan sekaligus, sehingga
menghasilkan situasi konflik yang lebih rumit (Zuldin, 2013).
Sedangkan konflik agama dibagi ke dalam empat tipe.
Pertama, konflik antara agama dengan ilmu pengetahuan dan
budaya, misalnya konflik antara agama dan ilmu pengetahuan
yang terjadi pada Abad Pertengahan dalam agama Katholik.
Kedua, konflik karena pemanfaatan agama untuk mencapai
tujuan tertentu. Dalam konflik jenis ini, agama dijadikan alat
untuk mencapai tujuan politik, ekonomi, dan sosial dari pihak-
pihak tertentu. Ketiga, konflik di antara para penganut agama
yang berbeda. Konflik jenis ini sering menimbulkan konflik
fisik dan kekerasan, misalnya Perang Salib yang terjadi hampir
tiga ratus tahun antara Islam dan Kristen. Keempat, konflik
para penganut satu agama yang terjadi dalam aliran-aliran
dalam satu agama. Sumber konflik adalah adanya penafsiran
yang berbeda mengenai tafsiran kitab suci atau ajaran agama
oleh para pemimpin agamanya (Wirawan, 2010).
Dalam studi sosiologi, teori integrasi sosial berkembang
dalam paradigma fungsionalisme struktural yang dicetuskan
oleh Talcott Person (1927-1979). Menurut Talcott, agama
terkait erat dengan integrasi sistem sosial, dan tipe ideal
dari masyarakat yang sepenuhnya terintegrasi dari jenis
tertentu akan memiliki satu sistem agama yang terintegrasi
sepenuhnya (Parsons, 1991).
Menurut Ritzer dan Goodman (2009), paradigma
fungsionalisme struktural ini berasumsi bahwa masyarakat

Dinamika dan Resolusi Konflik _21


berada dalam sebuah sistem sosial yang mengikat mereka
dalam keseimbangan (ekuilibrium). Hal itu dapat dilihat
dari dua pengertian dasar integrasi sosial, yaitu: pertama,
pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial
dalam suatu sistem sosial tertentu; dan kedua, menyatukan
unsur-unsur tertentu dalam suatu masyarakat sehingga
tercipta sebuah ketertiban sosial. Proses ini bertujuan
mengintegrasikan kelompok-kelompok sosial dalam
masyarakat dengan cara menjembatani perbedaan-perbedaan
yang disebabkan oleh faktor-faktor teritorial/kultur, agama,
kepentingan, kelas sosial dan sebagainya, dengan mengurangi
kesenjangan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor tersebut
(Umikalsum & Fauzan, 2019).
Sebagaimana dikemukakan oleh Dhurkeim, integrasi
sosial dapat terwujud jika terjadi saling ketergantungan antara
bagian yang terspesialisasikan. Dalam hal ini solidaritas
didasarkan atas kesamaan dalam kepercayaan dan nilai
saling tergantung secara fungsional antara masyarakat yang
heterogen. Kesamaan dalam kepercayaan dan nilai saling
tergantung ini akan memberi kesadaran kolektif untuk
menciptakan kesatuan. Dalam hal ini Dhurkeim membedakan
integrasi sosial atas dua yaitu, integrasi normatif dalam
perspektif budaya, dengan menekan solidaritas mekanik
yang terbentuk melalui nilai dan kepercayaan membimbing
masyarakat dalam mencapai sukses. Integrasi fungsional
menekankan pada solidaritas organik, yaitu solidaritas yang
terbentuk melalui relasi saling tergantung antara bagian atau
unsur yang tergantung dalam masyarakat.

22_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


Sementara itu Cooley membedakan integrasi atas dua
yaitu, pertama, integrasi normatif, merupakan tradisi baku
masyarakat untuk membentuk kehidupan bersama bagi
mereka yang mengikatkan diri dalam kebersamaan itu.
Kedua, integrasi komunikatif yaitu komunikasi efektif hanya
dapat dibangun bagi mereka yang memiliki sikap yang
saling tergantung dan mau diajak kerjasama menuju tujuan
yang dikehendaki. Ketiga, integrasi fungsional, hanya akan
terwujud bila anggota yang mau mengikat diri itu sungguh
menyadari fungsi dan perannya dalam kebersamaan itu
(Retnowati, 2018).
Berkaitan dengan integrasi sosial terutama dalam
mengelola konflik di masyarakat, terdapat beberapa istilah
yang dipakai dalam penelitian sosiologis. Menurut Fisher
(2000) sebagaimana dikutip Alo Liliweri (2018), secara
umum, untuk menyelesaikan konflik dikenal beberapa istilah
sebagai berikut:
1. Pencegahan konflik, bertujuan mencegah timbulnya
kekerasan dalam konflik.
2. Penyelesaian konflik, bertujuan mengakhiri kekerasan
melalui persetujuan perdamaian.
3. Pengelolaan konflik, bertujuan membatasi atau
menghindari kekerasan melalui atau mendorong
perubahan pihak-pihak yang terlibat agar berperilaku
positif.
4. Resolusi konflik, bertujuan menangani sebab-sebab
konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang

Dinamika dan Resolusi Konflik _23


relatif dapat bertahan lama di antara kelompok- kelompok
yang bermusuhan.
5. Transformasi konflik, mengatasi sumber-sumber konflik
sosial dan politik yang lebih luas dengan mengalihkan
kekuatan negatif dari sumber perbedaan ke kekuatan
positif.
Dari beberapa istilah jenis teori penyelesaian konflik sosial,
penelitian ini menggunakan term “resolusi konflik” sebagai
paradigma nantinya akan digunakan untuk menganalisis
seluk beluk peristiwa terjadinya kasus pembubaran ritual
peribadatan secara secara terhadap jemaat Huria Kristen
Batak Protestan (HKBP) dan peristiwa penolakan pendirian
pura umat Hindu di Kabupaten Bekasi.
Khusus untuk teori integrasi sosial dalam bentuk resolusi
konflik ini yang kemudian menjadi kunci bagaimana langkah
proses yang dilakukan oleh stake holders yang terlibat dalam
kasus konflik yang diteliti. Melalui analisis teori inilah
kemudian peneliti dapat menarik kesimpulan yang dapat
menghasilkan rumusan model-model resolusi konflik
terutama untuk dijadikan rekomendasi dasar pemerintah
dalam menentukan kebijakan.

24_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


BAB 3

GAMBARAN UMUM KABUPATEN BEKASI

1. GEOGRAFIS & DEMOGRAFIS BEKASI


Secara geografis letak Kabupaten Bekasi berada pada
posisi 6º 10’ 53” - 6º 30’ 6” Lintang Selatan dan 106º 48’ 28”
- 107º 27’ 29” Bujur Timur. Topografinya terbagi atas dua
bagian, yaitu dataran rendah yang meliputi sebagian wilayah
bagian utara dan dataran bergelombang di wilayah bagian
selatan. Ketinggian lokasi antara 6-115 meter dan kemiringan
0-250.
Tahun 2019 wilayah administrasi Kabupaten Bekasi
terdiri dari 23 Kecamatan. Total wilayah Kabupaten Bekasi
adalah 1.273,88 km2. Kecamatan dengan luas terluas adalah
Kecamatan Muaragembong yaitu 140,09 km2. Sedangkan
Kecamatan dengan luas terkecil adalah Kecamatan
Kedungwaringin yaitu 31,53 km2.

Dinamika dan Resolusi Konflik _25


Wilayah Kabupaten Bekasi terbagi ke dalam 23 kecamatan
yang terdiri dari 7 kelurahan (Bahagia, Kebalen, Wanasari,
Telaga Asih, Sertajaya, Jatimulya, Kertasari) dan 180 desa.
Batas administrasi wilayah ini adalah:
Utara : Laut Jawa
Selatan : Kabupaten Bogor
Barat : Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi
Timur : Kabupaten Karawang
Jumlah penduduk Kabupaten Bekasi tahun 2019
berdasarkan hasil registrasi penduduk dari dukcapil mencapai
2.667.159 jiwa penduduk dengan rata-rata kepadatan
penduduk sebesar 2.094 jiwa per km2. Wilayah yang paling
padat penduduknya adalah Kecamatan Tambun Selatan
(9.027 jiwa km2), sedangkan yang paling rendah kepadatannya
adalah Kecamatan Muaragembong (270 jiwa per km2).
Keberadaan penduduk menurut kecamatan tidak
menyebar secara merata. Penduduk paling banyak berdomisili
di Kecamatan Tambun Selatan yaitu 14,58 % dari total
penduduk Kabupaten Bekasi, sedangkan paling sedikit di
Kecamatan Bojongmangu 1,00 %. Penduduk yang berumur
15 tahun ke atas adalah mereka yang digolongkan sebagai
penduduk usia kerja. Pada tahun 2019 kelompok usia ini
berjumlah 2.777.166 orang (Badan Pusat Statistik Kabupaten
Bekasi).

26_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


2. REALITAS SOSIAL, BUDAYA, EKONOMI, POLITIK,
DAN KEAGAMAAN
Kabupaten Bekasi secara sosial budaya didominasi oleh
Betawi-Sunda. Hal ini karena letaknya berada di antara
kawasan Jakarta dan Jawa Barat. Sebagai daerah yang dekat
sekaligus menjadi penyangga ibu kota, daerah ini sekarang
menjadi tempat perantauan dari berbagai daerah di Indonesia.
Sebagian yang bertahun-tahun merantau lalu beralih menjadi
penduduk Kabupaten Bekasi. Sebagian lagi ada yang tetap
hidup kontrakan maupun kos sebab bekerja di Bekasi dan
sekitarnya.
Perekonomian Kabupaten Bekasi ditopang oleh sektor
pertanian, perdagangan dan perindustrian. Banyak industri
manufaktur yang terdapat di Bekasi, di antaranya kawasan
industri Jababeka, Greenland International Industrial Center
(GIIC), Kota Deltamas Kota Deltamas, EJIP, Delta Silicon,
MM2100, BIIE dan sebagainya. Kawasan-kawasan industri
tersebut kini digabung menjadi sebuah Zona Ekonomi
Internasional (ZONI) yang memiliki fasilitas khusus di bidang
perpajakan, infrastruktur, keamanan dan fiskal (https://
id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bekasi).
Selain itu, dari penduduk usia kerja tahun 2019, yang
termasuk angkatan kerja berjumlah 1.778.133 orang yang
terdiri dari 1.619.175 orang bekerja dan 158.958 orang
pengangguran terbuka.
Pada tahun yang sama, berdasarkan sarana pendidikan
menurut jenjangnya ada total 2.246 fasilitas pendidikan

Dinamika dan Resolusi Konflik _27


di Kabupaten Bekasi. Terdiri dari jumlah Taman Kanak-
kanak di Kabupaten Bekasi adalah 661 unit, Sekolah Dasar
sebanyak 947 unit, Sekolah Menengah Pertama sebanyak 321
unit, Sekolah Menengah Atas/ Sekolah Menengah Kejuruan
sebanyak 293 unit dan Perguruan Tinggi sebanyak 24 unit.
Sedangkan untuk jumlah fasilitas kesehatan di Kabupaten
Bekasi terdiri dari 28 rumah sakit, 22 rumah sakit bersalin,
142 poliklinik, 54 puskesmas, 66 puskesmas pembantu, dan
80 apotek (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi).
Pada tahun 2019, jumlah tempat ibadah di Kabupaten
Bekasi terdiri dari 1.466 masjid, 1.571 musholla, 44 gereja,
3 pura, 13 wihara. Sedangkan untuk pemeluk agama yakni,
Islam 2.536.466, Kristen Protestan 90.750, Katolik 24.812,
Hindu 1.662, Budha 12.978, dan Kepercayaan lain 491 (Badan
Pusat Statistik Kabupaten Bekasi).

3. PENOLAKAN AKTIVITAS PERIBADATAN HKBP


SERANG BARU
Bagian ini memaparkan hasil temuan dari tim peneliti
selama proses pengumpulan data lapangan. Temuan ini
berupa data dan fakta di lapangan yang terdiri dari dua (2)
kasus yang diteliti di daerah Kabupaten Bekasi. Pada bagian
ini diulas tentang aktivitas peribadatan Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP) di sebuah ruko di Perumahan Kota Serang
Baru, Kec. Serang Baru.

28_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


1. Faktor-faktor Penolakan
Ketua Tim Verifikasi yang juga anggota FKUB K.H.
Ahmad Sholeh menjelaskan urutan kronologi kasus penolakan
aktivitas peribadatan HKBP di Perumahan Kota Serang Baru
berawal dari ibadah Minggu yang mereka laksanakan di
rumah milik laki-laki bernama Ramli Sirait di Blok I yang
berlokasi di Desa Wibawamulya Kecamatan Cibarusah.
Dalam suatu musyawarah pada Agustus 2020 di kantor Desa
setempat, disepakati bahwa yang boleh mengikuti ibadah
hanya 16 orang warga dalam satu blok. Ternyata pada hari
Minggu yang datang lebih dari 20 jemaat. Ketika musyawarah
kembali, warga setempat menolak karena pihak HKBP telah
melanggar kesepakatan.
Setelah itu, aktivitas peribadatan HKBP lalu pindah
ke Blok J di rumah milik Ramli Sirait juga. Di lokasi inilah
sempat terjadi keributan yang viral di media sosial dan
ramai diberitakan oleh media massa tentang peristiwa
yang terjadi pada Minggu 13 September 2020. Hanya saja,
menurut sejumlah warga yang datang di lokasi tersebut tidak
terprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan yang
melanggar hukum. Warga sendiri paham, apabila terprovokasi
hingga melanggar hukum maka akan disebut melakukan
persekusi dan situasi pun akan semakin kacau.
Kiai Sholeh mengungkapkan, aktivitas peribadatan
HKBP kemudian pindah ke ruko di Blok F1A milik Ramli
Sirait yang mana lokasinya masih di perumahan yang sama,
namun masuk kawasan Desa Sirnajaya Kecamatan Serang

Dinamika dan Resolusi Konflik _29


Baru. Artinya, perumahan tersebut terbagi ke dalam beberapa
desa yang berbeda kecamatan. Aktivitas HKBP ini di Blok
F mulai berlangsung sejak awal Maret 2021. Hanya saja,
kepindahan itu membuat warga Blok F merasa dilangkahi
karena tidak meminta kesepakatan terlebih dahulu kepada
warga. Pihak HKBP hanya memberikan tembusan ke
pemerintah desa, sedangkan mereka langsung mengirimkan
surat ke pemerintah kecamatan dan kabupaten (Bupati).
Selain merasa dilangkahi, salah satu hal penting mengapa
warga setempat tersinggung adalah cara berkomunikasi
juru bicara HKBP kepada warga yang cenderung arogan.
Ketersinggungan warga bertambah tatkala pihak HKBP
memobilisasi ratusan Pemuda Batak Bersatu (PBB) untuk
melakukan aksi demonstrasi (Wawancara dengan K.H.
Ahmad Sholeh).
Pada kesempatan yang berbeda, menurut Ketua Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bekasi K.H.
Athoillah Mursjid, tujuan HKBP Serang Baru bukanlah
hendak mendirikan rumah ibadah, tapi tempat ibadah. Sesuai
pasal 14 dalam PBM Tahun 2006, tempat ibadah tidak perlu
melengkapi syarat berupa dukungan masyarakat sejumlah
60 orang dan 90 orang pengguna (jemaat) rumah ibadah
(Lihat Pasal 14 dalam Peraturan Bersama Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor
8 Tahun 2006).
Warga Blok F Perumahan Kota Serang Baru awalnya
tidak menolak peribadatan warga setempat yang beragama

30_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


Kristen, namun yang mereka tolak adalah keikutsertaan
jemaat Kristen dari luar warga Blok F. Untuk saat ini persoalan
utama kasus yang dialami HKBP dan warga setempat adalah
tidak adanya kesempatan tentang keikutsertaan warga Kristen
selain Blok F dalam kegiatan peribadatan (Wawancara dengan
K.H. Athoillah Mursjid).
Ketua RW.007 Dharma Suhendri menyatakan, HKBP
telah menggunakan ruko yang beralamat di Perumahan KSB
Blok F 1A No. 4 RT. 015 RW. 007 sebagai tempat melaksanakan
kegiatan ibadah live streaming pada 7 Maret 2021 dan 21 Maret
2021 tanpa adanya izin dari lingkungan. Selain itu, warga juga
tidak mau wilayah tersebut dijadikan alat untuk memengaruhi
keputusan penetapan tempat ibadah yang telah diajukan
pihak terkait sejak 5 Oktober 2020 ke Pemda Kabupaten
Bekasi. Pihak HKBP dalam penggunaan tempat juga tidak
mengikuti mekanisme yang telah ditetapkan oleh Pemerintah,
yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 8 dan No. 9 Tahun 2006. Hal tersebut tertulis dalam
Surat No. 001/KSB–F/RW.007/S. Permohonan/I/2021 kepada
Bupati Bekasi perihal penolakan warga RW.007 Blok F Perum.
KSB Desa Sirnajaya Kec. Serang Baru terhadap penggunaan
ruko sebagai tempat ibadah sementara.
Dharma mengungkapkan, warga Blok F pada dasarnya
tidak bermaksud diskriminasi terhadap agama apapun, namun
mereka meminta pihak HKBP agar menghormati hukum yang
berlaku. Ia menyesalkan, ada penggiringan provokasi dari
pihak HKBP agar situasi menjadi chaos, sehingga nantinya
warga setempat dianggap sebagai kaum intoleran.

Dinamika dan Resolusi Konflik _31


Di sisi lain, karena berposisi sebagai orang yang
bertanggungjawab di lingkungan Blok F, dirinya juga
mendapat ancaman yang tidak baik secara personal dari salah
satu anggota HKBP. Bahkan, ada pihak-pihak yang menuding
dirinya sebagai ketua RW mendapatkan sesuatu di balik
konflik tempat ibadah ini. Akan tetapi, Dharma menampik
tudingan tersebut. Ia pun siap mundur dari jabatan ketua RW
jika tudingan yang dianggap fitnah tersebut terbukti benar.
Ketua Panitia Penyelenggaraan Tempat Ibadah HKBP
KSB Ramli Sirait mengatakan bahwa pihaknya dipersekusi
sebelum pindah ke Blok F, lalu dibekukan (Status Quo) selama
40 hari karena belum kondusif. Setelah 40 hari berlalu saat
pihak HKBP menagih sikap Bupati, salah satu pejabat Pemkab
Bekasi menginformasi bahwa Bupati sedang tidak ada di
kantor. Alhasil, tidak ada kebijakan resmi dari pemimpin
Kabupaten Bekasi tersebut. Akhirnya, Ramli memanfaatkan
ruko miliknya di Blok F 1A No. 4 sebagai tempat ibadah
sementara bagi jemaat HKBP yang diikuti maksimum 15
orang.
Di samping itu, mereka juga melakukan live streaming
peribadatannya agar jemaat yang berada di rumah mengikuti
secara virtual. Hal ini sebab adanya aturan protokol kesehatan
di masa pandemi berupa larangan berkeruman dan jaga jarak.
Ramli mengakui bahwa saat HKBP memulai peribadatan di
Blok F memang belum memberikan konfirmasi lingkungan
berupa surat resmi terlebih dahulu kepada pihak pemerintah
desa.

32_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


Asep Sutendi, Kepala Bidang Kerukunan Kesbangpol
Kabupaten Bekasi, menerangkan bahwa kasus-kasus tempat
ibadah muncul karena dua faktor; (1) kebutuhan umat
beragama; dan (2) regulasinya harus ada persetujuan dari
masyarakat sesuai PBM Tahun 2006. Faktor yang kedua
ini menurutnya akan sulit sebab ada unsur keyakinan dan
fanatisme di dalamnya. Lebih jauh, bagi orang beragama,
ada kekhawatiran bahwa kalau menyetujui pendirian rumah
ibadah agama lain berarti melemahkan agamanya sendiri.
Dalam konteks kasus tempat ibadah HKBP KSB, di satu
sisi menurut Asep Sutendi, kondisi masyarakat setempat
cenderung ada unsur fanatisme, yakni semacam keyakinan
kalau membiarkan agama lain (berkembang) berarti seolah-
olah menzalimi agama sendiri. Di sisi lain, pihak HKBP juga
berpegang kepada prinsip HAM dan kebebasan beragama,
yang mana ibadah tidak bisa dibatasi hanya satu blok saja.
Dengan persepsi inilah pihak HKBP menganggap warga
setempat mengabaikan norma-norma kerukunan beragama
dan keharmonisan lingkungan. Selain itu, di tengah kisruh
tersebut para penggerak di HKBP juga mencari perhatian
secara luas melalui media massa agar publik mendukung
langkah mereka.
Bagi Asep, faktor-faktor di atas menyumbang masalah
dalam kasus penolakan aktivitas peribadatan HKBP di Blok
F. Seandainya cara komunikasi pihak HKBP sejuk sejak di
awal, maka ada kemungkinan warga tidak menolak karena
perumahan di situ tingkat resistensi warganya tidak tinggi.

Dinamika dan Resolusi Konflik _33


Akhirnya dari situ tidak ketemu mediasinya, karena ada
dendam di antara pihak-pihak yang berselisih.
Sementara itu, Penyuluh Agama Kecamatan Serang Baru
Sarnubi mengungkapkan bahwa warga di Blok F awalnya
merasa kaget melihat kegiatan peribadatan di ruko, karena
tidak ada komunikasi sebelumnya dari pihak HKBP. Sehingga
warga pun merasa terganggu dan tidak setuju dengan ritual
ibadah Minggu yang dilakukan di kawasan Blok F.
Berangkat dari beberapa keterangan narasumber-
narasumber di atas, maka dapat diketahui bahwa faktor-faktor
yang menyebabkan penolakan kegiatan peribadatan jemaat
HKBP Serang Baru, yaitu (1) pihak HKBP tidak melakukan
komunikasi yang baik kepada warga; (2) warga tersinggung
karena pihak HKBP tidak meminta izin lingkungan RW/
Desa terlebih dahulu, namun justru langsung melayangkan
surat permohonan rumah ibadah sementara kepada aparat
kepolisian, Pemerintah Kecamatan, dan Pemerintah
Kabupaten; (3) pihak HKBP melanggar kesepakatan yang
telah disepakati bersama dengan warga perihal jemaat Kristen
yang boleh mengikuti ibadah Minggu.
2. Dinamika Konflik dan Resolusinya
Ketua RW.007 Dharma Suhendri menceritakan pada
Jumat 26 Maret 2021 dirinya menghadiri rapat di ruang Sekda
Kabupaten Bekasi membahas terkait surat dari lingkungan
ke Bupati yang dihadiri oleh Sekda, Kapolres, Dandim,
Kejari, Kementerian Agama Kabupaten, FKUB, Kesbangpol,
Satpol PP, Camat Serang Baru, Kapolsek Serang Baru,

34_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


Danramil Serang Baru, Kepala Desa Sirnajaya, Ketua BPD
Sirnajaya, Ketua RW.007, Ketua RT.015 dan perwakilan dari
anggota HKBP. Hasil pertemuan tersebut meminta kepada
pihak Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan) untuk
menyelesaikan persoalan kegiatan peribadatan HKBP di
Perumahan Kota Serang Baru khususnya di Blok F.
Pada Sabtu 27 Maret 2021 Kapolsek Serang Baru dan
unsur Muspika memprakarsai pertemuan yang bertempat
di lapangan badminton Berdikari RT.15 RW.007. Pada
pertemuan itu, warga setempat tetap pada keputusannya yaitu
menolak ruko tersebut dijadikan tempat ibadat karena pihak
HKBP tidak menempuh ketentuan di dalam PBM 2006. Selain
itu, alasan lainnya warga Blok F merasa tidak dihargai sebagai
pemegang hak suara di lingkungan setempat.
Tidak berlangsung lama setelah itu, pihak HKBP setiap
hari Minggu kembali menggelar kegiatan peribadatan di
ruko milik Ramli Sirait. Pihak-pihak terkait juga pernah
mengadakan musyawarah beberapa kali. Musyawarah pada
tanggal 3 April di aula Desa Sirnajaya dihadiri oleh Kasat
Intel, Kanit Intel, Sekretaris Camat, Kapolsek, Danramil,
Kepala Desa, Ketua BPD, Ketua RW.007, Ketua RT.015, unsur
masyarakat dan pihak HKBP. Namun, hasil pertemuan tetap
tidak menghasilkan kesepakatan solutif alias jalan buntu
(deadlock).
Selanjutnya pada 6 April terjadi pertemuan dengan Bupati
Bekasi di ruang rapatnya yang dihadiri juga oleh Kapolres,
Wakapolres, Ketua FKUB, Kementerian Agama Kabupaten

Dinamika dan Resolusi Konflik _35


Bekasi, Sekretaris Camat Serang Baru, Kepala Desa Sirnajaya,
Ketua BPD Sirnjajaya, Kapolsek, Danramil, Bimaspol, Babinsa
dan unsur masyarakat KSB Blok F. Pada pertemuan ini Bupati
Bekasi Eka Supria Atmaja berjanji akan mengambil keputusan
tegas sebelum bulan puasa Ramadhan yakni 12 April 2021.
Hingga waktu pengumpulan data penelitian ini, Dharma
menyatakan Bupati Bekasi belum juga mengeluarkan
keputusan secara resmi terkait aktivitas peribadatan HKBP
di Blok F. Ia menduga Bupati enggan segera mengambil
keputusan karena ada kepentingan politik.
Sihombing, salah satu pengurus HKBP, menginformasikan
bahwa jumlah jemaat organisasinya mencapai 160 Kepala
Keluarga (KK) yang tersebar di Kecamatan Cibarusah dan
Serang Baru. Oleh karena itu, menurutnya, di negara yang
melindungi kebebasan beragama dan hak asasi manusia,
tidak boleh ada orang yang melarang agama apapun untuk
beribadah. Jika pihaknya memang diganggu dan ditolak,
maka seharusnya Pemerintah memberikan solusi berupa
tempat ibadah sementara bagi mereka. Apabila kondisi ini
terus dibiarkan, Sihombing tidak ingin ada kejadian baku
hantam bahkan sampai pertumbahan darah antara HKBP
dengan warga di Perumahan Kota Serang Baru. Ia juga
menagih penyataannya Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas
yang menegaskan bahwa dirinya merupakan menteri semua
agama.
Ketua Tim Verifikasi yang juga anggota FKUB K.H.
Ahmad Sholeh menerangkan bahwa warga sekitar kawasan

36_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


Serang Baru dan Cibarusah yang mayoritas muslim bukanlah
intoleran terhadap agama lain. Bukti warga setempat
mempunyai toleransi terhadap pendirian rumah ibadah
agama lain adalah keluarnya izin pendirian kelenteng Ngo Kok
Ong di Desa Cibarusah Kecamatan Cibarusah. Oleh sebab
itu, ia menyarankan kepada pihak HKBP agar melakukan
komunikasi yang baik, tidak memutarbalikkan fakta, dan
tidak menggunakan jalur atas (pejabat).
Saat ditanya soal solusi untuk alternatif tempat ibadah
sementara, Asep Sutendi, Kepala Bidang Kerukunan
Kesbangpol Kabupaten Bekasi, menyebut bahwa pihak
Pemerintah Kecamatan (Serang Baru/Cibarusah) tidak bisa
menyediakan fasilitas tempat ibadah sementara, sehingga
dilimpahkan ke pemerintah kabupaten. Masalahnya, kebijakan
di tingkat Pemkab cenderung ada unsur politisnya, sehingga
dalam konteks ini ada keraguan bagi Bupati untuk mengambil
kebijakan secara tegas. Pihak Kesbangpol Kabupaten Bekasi
sendiri sudah mencoba untuk mencarikan solusi-solusi agar
masalah di Serang Baru ini tidak menyebar menjadi isu
nasional. Akan tetapi, yang bisa Kesbangpol lakukan adalah
memfasilitasi pertemuan dan mediasi dengan beberapa pihak,
karena tidak memiliki wewenang untuk mengeluarkan izin.
Soal rapat yang diadakan di kantor Bupati Bekasi,
Ketua FKUB Kabupaten Bekasi K.H. Athoillah Mursjid
menambahkan, keputusan akhir mengerucut bahwa
wewenang sekarang memang berada di tangan Bupati untuk
memberikan solusi tempat ibadah bagi jemaat HKBP di

Dinamika dan Resolusi Konflik _37


wilayah Kecamatan Serang Baru, akan tetapi sampai sekarang
belum ada solusinya.
Berangkat dari penjelasan narasumber-narasumber di
atas, dinamika konflik yang muncul dalam kasus tersebut tidak
hanya soal penolakan warga terhadap kegiatan peribadatan
jemaat HKBP, melainkan juga melebar pada masalah personal,
seperti ancaman yang dialami oleh Ketua RW.007 di Blok F.
Selain itu, resolusi terhadap kasus ini terganjal adanya indikasi
dampak politik yang apabila Bupati mengambil kebijakan
tegas.
3. Peraturan Bersama Menteri 2006 dan Polemik
Implementasinya
Pada dasarnya, Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8
Tahun 2006 berfungsi untuk memfasilitasi dan melindungi
hak beragama setiap warga negara. Hanya saja, dalam
implementasinya terkadang mengalami beberapa kendala
terutama soal persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi
untuk pendirian rumah ibadah. Hal ini sebagaimana konflik
yang terjadi di Perumahan Kota Serang Baru di mana HKBP
dan warga setempat tidak menemukan kata “sepakat” perihal
perizinan rumah ibadah sementara.
Salah satu pengurus HKBP Sihombing mengungkapkan
bahwa seharusnya tidak boleh ada pembatasan orang untuk
beribadah karena negara Indonesia melindungi kebebasan
beragama dan hak asasi manusia. Oleh sebab itu, sikap warga
yang melarang anggota HKBP selain warga Blok F untuk

38_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


beribadah di area tersebut merupakan sesuatu yang tidak
adil. Sihombing pun mencontohkan, warga yang beragama
Islam kerap mengadakan kegiatan keagamaan di rumah-
rumah, seperti Yasinan atau pengajian. Hal ini sebagaimana
pengalaman Sihombing sewaktu ada pengajian di salah satu
tetangganya sampai-sampai menutup akses jalan utama
menuju ke rumahnya. Peristiwa demikian membuat dirinya
kesal ketika membandingkan dengan susahnya HKBP
menggelar kegiatan keagamaan.
Asep Sutendi, Kepala Bidang Kerukunan Kesbangpol
Kabupaten Bekasi menilai kasus-kasus tempat ibadah akan
muncul ke depan karena ada dua faktor utama. Pertama,
kebutuhan umat beragama; kedua, regulasi pendirian
rumah ibadah harus ada persetujuan dari masyarakat
sesuai PBM Tahun 2006. Faktor yang kedua ini yang akan
sulit diimplementasikan, sebab ada unsur keyakinan
(keimanan) dan fanatisme di dalamnya. Dengan kata lain,
ada kekhawatiran bahwa kalau ada seorang pemeluk agama
menyetujui pendirian rumah ibadah agama lain, berarti sama
halnya melemahkan agama sendiri. Asep berharap dalam
kasus yang dialami HKBP, paling tidak ada satu tempat
alternatif untuk menampung permasalahan sebagai amanat
dari PBM Tahun 2006 yang mana Pemerintah berkewajiban
mencarikan tempat ibadah sementara.
Di satu sisi, Ketua RW.007 Dharma Suhendri
mengungkapkan, warga Blok F pada dasarnya tidak bermaksud
diskriminasi terhadap agama apapun, namun mereka meminta
pihak HKBP agar menghormati hukum yang berlaku, yakni

Dinamika dan Resolusi Konflik _39


Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 8 dan No. 9 Tahun 2006. Ia juga menyesalkan, ada
penggiringan provokasi dari pihak HKBP agar situasi menjadi
chaos, sehingga nanti bakal ada penggiringan opini di media
massa bahwa warga setempat adalah kaum intoleran sebab
melakukan diskriminasi terhadap umat agama tertentu.
Sementara itu Ketua Tim Verifikasi dari K.H. Ahmad
Sholeh menyarankan kepada pihak HKBP Serang Baru agar
menyiapkan persyaratan berupa tanda tangan dukungan 60
warga setempat sebagaimana tercantum dalam PBM Tahun
2006 haruslah melalui komunikasi yang baik. Selain itu, agar
tidak ada ketersinggungan dengan warga, sebaiknya HKBP
tidak menggunakan (memanfaatkan) jalur lobi-lobi kepada
pejabat tinggi untuk mengintervensi tujuan tertentu mereka.
Sekretaris Camat Serang Baru Ajo Abdul Haris dalam
momen koordinasi keamaanan antara HKBP, Kapolsek,
Koramil, dan peneliti Litbang Kementerian Agama,
menyarankan agar warga Perumahan KSB harus saling
menghargai antarumat beragama. Selain itu, setiap pihak tidak
diperbolehkan untuk melaksanakan kehendaknya masing-
masing. Pada saat yang sama, Kapolsek Baru AKP Abdul
Rasyid juga menegaskan bahwa aparat kepolisian tetap pada
perannya untuk menjaga keamanan dan menghindari terjadi
konflik. Sementara itu, Danramil 12 Serang Baru Kapten Inf
Fatwanul juga mendukung agar situasi dan kondisi di Blok F
tetap kondusif. Sebagai bagian dari unsur Muspika Serang
Baru yangg telah menggelar rapat koordinasi, pihaknya
menyepakati bahwa HKBP memang sebaiknya menyelesaikan

40_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


soal izin lingkungan di Blok F dan Desa Sirnajaya. Hal
tersebut disampaikan dalam rapat koordinasi sebelum HBKP
melakukan ibadah Minggu di ruko ruko yang beralamat di
Perumahan KSB Blok F 1A No. 4 RT. 015 RW. 007, pada Sabtu,
20 Maret 2021.
Dengan demikian, implementasi Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 dalam kasus HKBP
di Perumahan Kota Serang Baru mengalami polemik soal
persyaratan surat perizinan rumah ibadah sementara.
Masalah utamanya adalah Pemerintah pada dasarnya sudah
bersedia memberikan izin, akan tetapi situasi dan kondisi di
lapangan kurang kondusif sebab ada beberapa faktor, seperti
komunikasi yang kurang baik, ketersinggungan, hingga
pelanggaran kesempatan.
4. Penolakan Pembangunan Pura
Bagian ini memaparkan hasil temuan dari tim peneliti
selama proses pengumpulan data lapangan. Temuan ini
berupa data dan fakta di lapangan yang terdiri dari dua (2)
kasus yang diteliti di daerah Kabupaten Bekasi. Bagian ini
mengulas tentang pembangunan pura oleh Parisada Hindu
Dharma Indonesia (PHDI) di Desa Sukahurip Kecamatan
Sukatani.
a) Faktor-faktor Penolakan
Ketua Panitia Pembangunan Pasraman dan Pura I Ketut
Mudia menjelaskan bahwa pembangunan pura merupakan
tujuan pertama dari program kerja dari PHDI Kabupaten

Dinamika dan Resolusi Konflik _41


Bekasi. Landasannya karena umat Hindu di kabupaten tidak
mempunyai pura sebagai tempat beribadah, yang mana
selama ini mereka beribadah di Pura Agung Tirta Bhuana
yang berada Kota Bekasi.
Pihak panitia sudah mengajukan surat dan berkas-berkas
permohonan rekomendasi pendirian pura kepada FKUB pada
Mei bulan 2019, tetapi sampai saat ini pihak FKUB tidak
memberikan jawaban secara tertulis melalui surat resmi.
Bersamaan dengan hal itu, panitia juga mengajukan surat
pengajuan perizinan untuk pendirian yayasan pendidikan
bagi umat Hindu (Pasraman) yang dilayangkan kepada
Direktorat Jenderal Bimas Hindu Kementerian Agama. Surat
izin tersebut sudah terbit pada Februari 2020.
Salah satu faktor sebagian warga menolak adanya
pembangunan rumah ibadah Hindu itu karena keberadaan
makam Syekh Kamaruddin di area tanah tersebut. Makam
ini dianggap keramat oleh warga desa setempat. Panitia
pembangunan pura pernah berjanji kepada warga, ketika
nanti pura sudah selesai dibangun maka akan direnovasi
supaya tidak terlihat kumuh. Menurut cerita yang didengar
oleh I Ketut Mudia, makam tersebut dibangun oleh orang
yang bernama “Pak Jenggot” setelah bermimpi pada suatu
hari. Pak Jenggot sendiri saat ini sudah meninggal dunia sejak
beberapa tahun silam.
Meskipun saat ini belum mendapatkan izin dari
Pemerintah untuk pendirian Pura di Desa Sukahurip, namun
Ketut mengaku selama warga sekitar tidak menolak, maka

42_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


aktivitas peribadatan umat Hindu yang diselenggarakan oleh
PHDI akan terus berlanjut.
Ketua PHDI Kabupaten Bekasi I Made Pande Cakra
menyebut FKUB memang tidak memberikan jawaban resmi
atas surat permohonan rekomendasi yang mereka ajukan.
Yang ada justru FKUB mengundang pengurus PHDI dalam
suatu pertemuan yang bermaksud untuk menjelaskan hasil
verifikasi atas beberapa syarat pendirian pura.
Soal adanya aksi massa penolakan, Pande menceritakan
aksi massa yang memprotes rencana pendirian pura pada
Mei 2019 dilakukan oleh ormas bernama GIBAS (Gabungan
Inisiatif Barisan Anak Siliwangi). Mereka yang menentang
pendirian pura bukanlah warga dari Desa Sukatani, melainkan
dari desa tetangga sebelah.
Padahal secara fisik, menurut Pande, hubungan pihaknya
dengan warga sekitar lokasi yang akan dibangun pura baik-baik
saja. Ia mencontohkan, anak-anak muda sekitar lokasi selama
ini ikut membantu menjaga keamanan. Justru keberadaan
pura nantinya akan menghidupkan perekonomian lingkungan
di sekitar, seperti harga tanah akan naik (Wawancara dengan
Pande).
Sementara itu, Abdul Syakur, Kasubbag TU Kementerian
Agama Kabupaten Bekasi, menerangkan bahwa pihaknya
telah mengeluarkan izin untuk pendirian Yayasan Pendidikan
Hindu (Pasraman). Panitia pendirian pura memang telah
mengajukan surat permohonan untuk izin pendirian rumah
ibadah, akan tetapi belum memenuhi syarat sebab tidak ada

Dinamika dan Resolusi Konflik _43


surat rekomendasi dari FKUB, sehingga pihak Kemenag pun
mengembalikan berkas pengajuan tersebut kepada panitia.
Sementara itu, Kemenag Kabupaten Bekasi selama ini tidak
mengetahui bahwa lokasi yayasan pendidikan tersebut
ternyata sudah ada aktivitas peribadatan umat Hindu.
Adapun menurut keterangan Ketua FKUB Kabupaten
Bekasi K.H. Athoillah Mursjid, pihaknya memang sudah
pernah menerima berkas-berkas permohonan rekomendasi
pendirian rumah ibadah pada kisaran bulan Mei 2019. Akan
tetapi, setelah tim verifikasi FKUB melakukan observasi
di lapangan menemukan bahwa ada persyaratan yang
bermasalah, yakni pada lampiran 60 orang warga yang
memberikan tanda tangan beserta fotokopi KTP.
Tim verifikasi yang terdiri 7 orang menemukan fakta
ada beberapa warga yang bersedia memberikan tanda tangan
dan fotokopi KTP miliknya karena terbujuk beberapa motif,
seperti untuk pembangunan gorong-gorong, jembatan,
hingga yayasan pendidikan (pasraman). Selain itu, orang
yang bertugas untuk mengumpulkan tanda tangan dan KTP
bukanlah dari pihak panitia, melainkan disinyalir adalah
kalangan jawara kampung setempat (Wawancara dengan K.H.
Athoillah Mursjid).
Perihal adanya protes dan penolakan yang dilakukan
oleh aksi massa, Penyuluh Agama Kecamatan Sukatani Apip
Sohibul Fauzi menegaskan bahwa warga Sukahurip sendiri
pada dasarnya tidak menolak perihal pembangunan pasraman.
Justru sejumlah orang dalam aksi massa tersebut merupakan

44_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


warga luar Desa Sukahurip. Lebih jauh, belakangan ada LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat) bernama Serasih yang ikut
campur untuk mengompori warga Sukahurip agar menolak
pembangunan yang dilakukan oleh PHDI.
Sementara itu, anggota FKUB Kab. Bekasi sekaligus Ketua
Tim Verifikasi K.H. Ahmad Sholeh menerangkan, rencana
pura yang akan dibangun adalah tingkat kabupaten. Hanya
saja, panitia pembangunan pura mengutus orang lain untuk
meminta tanda tangan dan fotokopi KTP kepada warga
Sukahurip, bahkan tidak melibatkan tokoh agama setempat.
Dari hasil verifikasi data di lapangan, Kiai Sholeh
menemukan ada warga yang bersedia memberikan tanda
tangannya karena motif pembangunan jalan. Setelah
mengetahui bahwa lokasi tanah juga akan dibangun rumah
ibadah, maka hingga sekarang warga setempat membiarkan
aktivitas peribadatan dan keagamaan umat Hindu di tanah
yang berlokasi di Desa Sukahurip, hanya saja warga menolak
adanya rencana pembangunan pura secara bangunan fisik.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh pihak-
pihak terkait, faktor-faktor yang menyebabkan penolakan
pendirian pura; (1) motif pengumpulan daftar nama,
tanda tangan dan fotokopi KTP dari masyarakat setempat
bukan untuk pendirian rumah ibadah, melainkan yayasan
pendidikan Hindu dan beberapa motif lain; (2) FKUB
setelah melakukan verifikasi menemukan berkas daftar nama
masyarakat setempat ini terdapat masalah perihal motif
pengumpulan; (3) terdapat makam keramat yang terletak di

Dinamika dan Resolusi Konflik _45


area lokasi tanah yang akan dibangun pura dan pasraman;
(4) adanya aksi massa dari luar Desa Sukahurip yang diduga
dimobilisasi oleh LSM dan Ormas tertentu.
b) Dinamika Konflik dan Resolusinya
Ketua PHDI Kabupaten Bekasi I Made Pande Cakra
menyatakan, sesuai Pasal 29 UU 1945 tentang kebebasan
beragama dan berkeyakinan, umat Hindu Kabupaten Bekasi
membutuhkan pura sendiri, karena umatnya sudah banyak.
Selama ini mereka harus ke pura yang berada di Kota Bekasi
untuk mengikuti peribadatan. Harusnya sebagai negara
yang berprinsip Pancasila, setiap warga mempunyai hak
yang sama. Kabupaten Bekasi adalah salah satu daerah yang
paling intoleransi di Indonesia. Seharusnya DPRD dan Bupati
malu kalau ada warganya yang beragama hindu tapi tidak ada
tempat ibadahnya, meskipun jumlah umatnya sedikit atau
pun banyak.
Sementara itu, menurut pengakuan Ketua Panitia
Pembangunan Pasraman dan Pura I Ketut Mudia, perihal
lokasi tanah untuk pembangunan pura dan pasraman,
PHDI ternyata dibantu oleh salah satu jemaah Hindu yang
dikenal dengan sebutan “Pak Oka”. Sebelum meninggal,
dia berwasiat tanah seluas 17 hektar miliknya digunakan
untuk tempat ibadah Hindu, tetapi tidak secara terang-
terangan menghibahkannya. Akhirnya pihak PHDI pun
mengumpulkan dana dari anggotanya untuk digunakan
membayar (semacam sewa) ke ahli waris Pak Oka. Hanya
saja muncul masalah lain, yaitu jumlah DP dari PHDI yang

46_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


dibayarkan kepada ahli tidak sesuai dengan nominal yang
disepakati. Adapun luas area tanah untuk pembangunan
pasraman dan pura adalah sekitar 9.000 meter persegi yang
terdiri dari tiga sertifikat yang berbeda. Sedangkan ada satu
sertifikat yang saat ini terjadi sengketa antara pihak PHDI
dengan Agas, anak laki-laki Pak Oka.
Lantaran adanya persyaratan yang bermasalah, maka
tidak lama kemudian Ketua FKUB Kabupaten Bekasi K.H.
Athoillah Mursjid mengundang pihak PHDI dan panitia
pembangunan pura melalui suatu pertemuan. FKUB dalam
pertemuan tersebut memberikan masukan melalui lisan berisi
saran-saran perbaikan berkas permohonan yang diajukan.
Maksud FKUB memberikan balasan atas surat permohonan
rekomendasi pendirian rumah ibadah melalui lisan adalah
agar tidak terkesan formal seolah-olah FKUB menolak
permohonan rekomendasi tersebut, padahal persyaratannya
memang terdapat berkas yang bermasalah.
Kiai Athoillah pun menyayangkan, pihak panitia
pembangunan dari PHDI bukan segera memperbaiki justru
mereka malah mengundang seorang anggota DPD RI utusan
Provinsi Bali dalam suatu rapat bersama dari unsur-unsur
seperti PHDI, FKUB, Pemerintah Kecamatan Sukatani, KUA
Sukatani, Kesbangpol, Kemenag, dan lain-lain.
Ketua Tim Verifikasi KH Ahmad Sholeh menambahkan,
setelah FKUB memberikan respons melalui lisan dalam
suatu pertemuan, pihak panitia pembangunan tidak
langsung memperbaiki berkas yang bermasalah, tetapi malah

Dinamika dan Resolusi Konflik _47


melakukan upaya berupa lobi-lobi ke pejabat pemerintah
yang mempunyai hubungan dekat dengan mereka. Padahal
FKUB menyarankan kepada panitia pembangunan pura
untuk melakukan pendekatan (ulang) kepada warga sekitar
secara terus terang, bahwa mereka memang benar-benar
membutuhkan dukungan warga sebagai salah satu syarat
pengajuan izin pendirian rumah ibadah bagi umat Hindu di
Kabupaten Bekasi.
Perihal konflik dan polemik persyaratan pendirian rumah
ibadah yang kerapkali terjadi di Kabupaten Bekasi, Kiai
Sholeh mengungkapkan bahwa ada wacana resolusi yang saat
ini sedang dibahas, yakni rencana pembangunan pusat religi
di kawasan Jababeka. Tempat ini nantinya dapat dibangun
rumah ibadah dan pusat kegiatan keagamaan bagi setiap
agama. Adapun pembagiannya, setiap agama akan diberikan
1.000 meter persegi, namun dengan syarat semua agama (yang
diwakili oleh tokoh-tokoh agama masing-masing) harus
sepakat atas rencana resolusi tersebut. Hal ini karena tempat
beribadah nanti akan dibangun berdampingan, sehingga
berpotensi menimbulkan gesekan (konflik) antarumat.
Kepala KUA Kecamatan Sukahurip Abdul Haris
menerangkan bahwa pihaknya pernah menolak surat
permohonan izin yang diajukan oleh panitia pembangunan
pura dari pihak PHDI karena bukan wewenangnya. Dalam
setiap musyawarah, KUA selalu mewakilkan penyuluh agama
untuk hadir mengawal kasus yang sedang berlangsung.

48_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


Pada saat bersamaan, Penyuluh Agama Kecamatan
Sukatani Apip Sohibul Fauzi, membeberkan data bahwa
umat Hindu di Desa Sukahurip hanya ada 1 rumah, yakni
pembantu Pak Oka, pemilik tanah yang akan dibangun
pura. Dari hasil observasi penyuluh agama Sukatani, warga
desa awalnya mengetahui bahwa lokasi tanah milik Pak Oka
itu hanya akan dibangun lembaga pendidikan (pasraman),
namun dalam perkembangannya sekarang pihak panitia
mendirikan sebuah pura. Hal ini berdasarkan pengakuan
beberapa warga saat diminta tanda tangan dan fotokopi KTP.
Selain itu, ada beberapa warga yang mengaku bahwa mereka
dapat uang sebesar 100 ribu rupiah sebagai tanda terima kasih
atas dukungan pendirian yayasan pendidikan Hindu.
Selain terjadi masalah tanda tangan dukungan warga,
menurut keterangan Apip, ada juga masalah sengketa
sebagian tanah antara ahli waris Pak Oka dengan panitia
pembangunan pura. Ahli waris Pak Oka memberi pembatas
sepertiga tanah dengan pagar dari bambu. Akibatnya, akses
jalan setapak menuju area pasraman pun tidak bisa dilewati,
sehingga orang yang hendak memasuki area pasraman harus
melewatu jalan setapak yang mengarah ke makam keramat
yang mana jalur ke makam ini dibuka karena ada permintaan
dari beberapa warga sekitar agar tetap bisa ziarah. Perihal
sengketa tanah tersebut, Apip menduga ada keterkaitan
antara ahli waris Pak Oka dengan gerakan massa dari luar
Desa Sukahurip yang melakukan aksi penolakan.
Berangkat dari penjelasan para narasumber di atas,
dinamika konflik dalam kasus pendirian pura di Desa

Dinamika dan Resolusi Konflik _49


Sukahurip adalah keinginan kuat dari umat Hindu karena
kebutuhan rumah ibadah yang belum ada satu dibangun pun
di kabupaten Bekasi. Akan tetapi, warga merasa tersinggung
karena awalnya diminta tanda tangan dan KTP untuk
pendirian yayasan pendidikan Hindu, bukan untuk rumah
ibadah. Setelah itu, sebagian warga menolak pembangunan
pura sebab di Desa Sukahurip hanya satu rumah yang beragama
Hindu, apalagi pura tersebut rencananya diperuntukan untuk
kegiatan keagamaan umat Hindu se-kabupaten Bekasi. Selain
itu, sengketa tanah antara panitia pembangunan dan ahli
waris pemilik tanah juga diduga memincu adanya gerakan
massa dari ormas tertentu yang menolak rencana pendirian
pura.

50_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


BAB 4

POLEMIK DAN RESOLUSI KONFLIK PENDIRIAN


RUMAH IBADAH

1. KEBUTUHAN PENDIRIAN RUMAH IBADAH


Menurut Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No. 9 Tahun 2006, pada
Bab IV tentang pasal 13 ayat satu (1) menyebutkan, pendirian
rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-
sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi
pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah
kelurahan/desa.
Perihal kebutuhan nyata dan jumlah umat beragama,
dalam hal ini untuk kasus pertama, jumlah jemaat/anggota
HKBP di Desa Sirnajaya atau Desa Wibawamulya memang
belum diketahui, namun jumlah jemaat/anggota di Distrik

Dinamika dan Resolusi Konflik _51


XIX Bekasi yang meliputi Kota Bekasi dan Kab. Bekasi
mencapai 77.964 orang (tim penulis, 2020). Sebelum anggota
HKBP yang tinggal di kawasan Cibarusah dan Serang Baru
mengadakan peribadatan di pos di perumahan KSB, mereka
mengikuti kegiatan keagamaan di gereja di bawah Ressort
Lippo Cikarang. Sebagaimana penyataan Sihombing, salah
satu pengurus HKBP, umatnya terlalu jauh apabila harus
beribadah di daerah Lippo Cikarang, apalagi jumlah anggota
di Ressort ini mencapai 4.356 orang. Berdasarkan data ini,
pihak HKBP meyakini bahwa rumah ibadah sementara yang
dibuka di perumahan KSB merupakan kebutuhan nyata bagi
jemaat mereka.
Sedangkan untuk kasus kedua, menurut data dari Badan
Pusat Statistik (BPS) pada 2019, pemeluk agama Hindu
di Kabupaten Bekasi mencapai 1.662 orang. Maka dalam
kasus kedua, sebagaimana pernyataan dari Ketua Parisada
Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kab. Bekasi I Made Pande
Cakra yang mengklaim bahwa umat Hindu di Kabupaten
sudah mencapai angka 7.000, tetapi sampai hari ini belum
mempunyai pura sendiri, sehingga selama ini umatnya harus
menempuh jarak jauh pergi ke pura di Kota Bekasi untuk
melakukan ibadah.
Oleh sebab itu, mengacu data jumlah umat dari BPS yang
didukung data dari ormas keagamaan terkait, maka jemaat
HKBP di Kecamatan Serang Baru-Cibarusah dan umat Hindu
di Kab. Bekasi pada dasarnya layak untuk memiliki rumah
ibadah sendiri, sehingga tidak perlu untuk beribadah ke
tempat lokasi yang relatif jauh dari tempat tinggal.

52_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


2. DINAMIKA KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Kebutuhan atau keperluan nyata akan rumah ibadah saja
tidak cukup, namun persyaratan lainnya dalam PBM Tahun
2006 Bab IV tentang pasal 13 ayat dua (2) menyebutkan,
pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat
satu (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat
beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban
umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.
Untuk kasus pertama, hubungan antara HKBP dan
warga di Blok F Perumahan Kota Serang Baru sedang kurang
kondusif karena beberapa faktor yang sudah dijelaskan
sebelumnya, antara lain kurangnya komunikasi yang baik,
pihak HKBP tidak meminta izin lingkungan terlebih dahulu
sebelum mengadakan peribadatan, dan adanya pihak yang
melanggar kesepakatan yang telah ditentukan bersama.
Oleh karena faktor-faktor ini, kerukunan antara warga yang
beragama Kristen dengan warga yang mayoritas beragama
Islam itu menjadi terganggu. Dinamika yang berkembang
yakni pada satu sisi, warga Muslim menganggap warga Kristen
memaksakan kehendak karena tidak mematuhi undang-
undang yang berlaku, di sisi lain warga Kristen menganggap
warga Muslim intoleran.
Adapun kasus kedua, hubungan antara panitia
pembangunan dan warga Desa Sukahurip awalnya
berlangsung baik. Sebagian besar warga setempat memberi
dukungan berupa 60 tanda tangan untuk pendirian yayasan
pendidikan Hindu di tanah milik ‘Pak Oka’ yang sudah

Dinamika dan Resolusi Konflik _53


sejak lama tinggal di desa, dan warga pun menaruh hormat
padanya. Namun, kerukunan tersebut mulai terganggu ketika
warga mengetahui ada motif ‘terselubung’ di balik pendirian
yayasan tersebut.
Saat ini, PHDI memang sudah menggunakan lokasi
tanah yang sudah keluar izin yayasannya itu untuk ritual
peribadatan dan keagamaan. Hanya saja belum ada bangunan
inti pura, yang ada baru patung-patung dewa yang dibangun
secara permananen. Dinamika menariknya, warga setempat
tidak melakukan protes penolakan secara langsung padahal
jelas-jelas mereka mengetahui PHDI melaksanakan ibadah
di lokasi tersebut. Dari informasi yang didapat, sebagian
warga membiarkan PHDI beribadah di situ asalkan tidak ada
bangunan pura secara fisik.

3. POLEMIK PERSYARATAN DALAM PBM TAHUN 2006


Salah satu fungsi Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006
adalah untuk memfasilitasi sekaligus mengatur pendirian
rumah ibadah setiap agama di Indonesia agar tetap menjaga
ketertiban, keamanan, dan kerukunan. Akan tetapi, terkadang
persyaratan yang tertera dalam peraturan tersebut menjadi
polemik di lapangan, terutama soal persyaratan untuk rumah
ibadah tetap maupun sementara.
Pada Bab V tentang izin sementara pemanfaatan
bangunan gedung, pasal 18, ayat satu (1) menyebut, bahwa
pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai
rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan
pemberian izin sementara dari bupati/walikota dengan

54_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


memenuhi persyaratan yaitu laik fungsi dan memelihara
kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban
masyarakat. Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat
beragama serta ketenteraman dan ketertiban meliputi: izin
tertulis pemilik bangunan, rekomendasi tertulis lurah/kepala
desa; pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan
pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama
kabupaten/kota.
Sebagaimana diketahui dalam kasus pertama yang diteliti
di Kab. Bekasi, tujuan HKBP di Perumahan Kota Serang
Baru sejak 2019 adalah hanya menggunakan rumah ibadah
sementara. Mereka berpindah dari blok satu ke blok lainnya.
Terakhir salah satu ruko di Blok F dijadikan tempat ibadah
sementara setiap hari Minggu. Mereka berpindah-pindah
sebab warga di blok yang ditempati untuk beribadah selalu
menolak karena ada beberapa hal tidak disepakati di antara
kedua pihak.
Oleh sebab itu, mengacu pada pasal 18, maka rencana
HKBP menggunakan rumah ibadah sementara di Blok F
tidaklah memenuhi syarat dari segi “memelihara kerukunan
umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat”.
Di satu sisi, pada awalnya pihak HKBP sudah terlanjur tidak
meminta izin lingkungan terlebih dahulu dan mereka malah
langsung mengirim surat pemberitahuan kepada aparat dan
pemerintah kecamatan/kabupaten. Padahal, izin lingkungan
tidak perlu mendapatkan 60 tanda warga setempat, melainkan
cukup dari pemerintah desa harus didahulukan terlebih
dahulu. Termasuk juga kondisi di lingkungan RT dan RW

Dinamika dan Resolusi Konflik _55


sekitar lokasi tempat ibadah. Di sisi lain, cara HKBP yang
demikian itu justru membuat warga setempat menjadi kurang
mendukung karena ada sebagian warga yang terlanjur kesal,
tersinggung, dan kurang menaruh rasa hormat lagi.
Selanjutnya, dalam PBM Tahun 2006 pasal 14
menyebutkan bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi
persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan
gedung, meliputi daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk
(KTP) pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan
puluh) orang dan dukungan masyarakat setempat paling
sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh pejabat
setempat; rekomendasi tertulis kepala kantor departemen
agama kabupaten/kota; dan rekomendasi tertulis FKUB
kabupaten/kota.
Berdasarkan pasal peraturan tersebut, maka untuk kasus
kedua yakni rencana PHDI Kab. Bekasi mendirikan pura di
Desa Sukahurip dan Kec. Sukatani dapat diketahui bahwa
mereka sudah berupaya memenuhi persyaratan daftar nama
dan KTP dari pengguna maupun masyarakat setempat.
Akan tetapi, setelah tim verifikasi FKUB melakukan tugas-
tugasnya di lapangan, mereka menemukan adanya berkas
yang bermasalah, yaitu mayoritas warga yang diminta menulis
nama, tanda tangan, dan melampirkan KTP, bukanlah
untuk motif rumah ibadah (pura) melainkan untuk motif
lain, seperti yayasan, jambatan, jalan, dan lain-lain. Alhasil,
karena berkas persyaratan bermasalah, maka FKUB pun tidak
memberikan surat rekomendasi yang nantinya menjadi bahan

56_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


pertimbangan Kepala Daerah untuk mengeluarkan surat izin
mendirikan bangunan (IMB rumah ibadat).
Dalam konteks tersebut, setelah FKUB memberikan
catatan-catatan perbaikan secara lisan dalam satu pertemuan,
pihak panitia pembangunan pura maupun PHDI justru tidak
segera memperbaikinya bahkan menuntut agar FKUB dapat
merespon surat mereka secara resmi dengan surat juga.
Dengan kata lain, seharusnya panitia mendata ulang daftar
nama yang pernah mendukung maksud dan tujuan panitia.
Melihat kondisi di masyarakat setempat—berdasarkan data
yang disampaikan oleh petugas dari pemerintah kecamatan—
mayoritas warga menolak setelah mengetahui bahwa panitia
tidak hanya mendirikan yayasan pendidikan tetapi juga ada
tujuan untuk mendirikan pura.

4. PROSES RESOLUSI KONFLIK PENDIRIAN RUMAH


IBADAH
Dalam PBM Tahun 2006 Bab VI tentang penyelesaian
perselisihan pada pasal 21 menyebutkan, perselisihan akibat
pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah
oleh masyarakat setempat, lalu dalam hal musyawarah tidak
dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh bupati/
walikota dibantu kepala kantor departemen agama kabupaten/
kota melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak
memihak dengan mempertimbangkan pendapat atau saran
FKUB kabupaten/kota. Terakhir, jika dalam hal penyelesaian
perselisihan itu tidak dicapai juga, maka penyelesaian
perselisihan dilakukan melalui pengadilan setempat.

Dinamika dan Resolusi Konflik _57


Dalam konteks kasus pertama, perselisihan antara
HKBP dan warga Blok F Perumahan Kota Serang Baru tidak
dapat diselesaikan meski sudah beberapa kali dimediasi
melalui musyawarah oleh pemerintah kecamatan, bahkan
musyawarah juga pernah diadakan di kantor pemerintah
kabupaten yang difasilitasi langsung oleh Bupati Bekasi Eka
Supria Atmaja. Masalahnya, hingga laporan ini ditulis, Bupati
belum juga memberikan keputusan tegas terkait status ruko
di Blok F yang digunakan HKBP untuk beribadah Minggu.
Adapun untuk konteks kasus kedua, pada dasarnya
perselisihan belum terlihat jelas-jelas antara panitia
pembangunan pura dan masyarakat setempat. Memang
pernah ada aksi penolakan dari sekelompok massa dari
ormas tertentu, namun setelah ditelusuri ternyata massa
itu bukanlah dari warga desa setempat, namun dari desa
sebelah yang diduga ada motif-motif tertentu selain soal
pembangunan pura. Indikasi paling kuat adalah soal sengketa
tanah antara panitia pembangunan dengan ahli waris pewakaf
tanah. Sedangkan musyawarah yang pernah diagendakan itu
terkait berkas permohonan rekomendasi pendirian pura yang
ditujukan kepada FKUB.
Pihak FKUB pun secara normatif telah memberikan
solusi untuk memperbaiki persyaratan terutama daftar
nama dan KTP dari masyarakat Desa Sukahurip. Andaikata
panitia pembangunan nantinya meminta dukungan lagi ke
masyarakat melalui tanda tangan, ada kemungkinan besar
mayoritas warga tidak akan bersedia karena beberapa alasan,
seperti tidak adanya warga beragama Hindu, pendirian pura

58_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


tingkat kabupaten, hingga berkaitan soal keyakinan agama
Islam yang dianut. Di pihak panitia pembangunan, mereka
bersikukuh untuk mendirikan pura di tanah yang berlokasi
di Desa Sukahurip sebab ada landasan spiritual yang mereka
yakini, yaitu tanah bekas kerajaan Hindu kuno.
Penjelasan di atas merupakan resolusi konflik normatif
terhadap dua kasus berdasarkan PBM Tahun 2006 dan
implementasinya di lapangan. Dari hasil penelusuran
wawancara beberapa informasi, ada resolusi besar yang
saat ini sedang dibahas oleh FKUB, tokoh-tokoh agama,
dan pemerintah Kabupaten Bekasi. Resolusi tersebut yakni
rencana pembangunan “pusat religi” yang berlokasi di kawasan
Jababeka. Tempat ini nantinya dapat dibangun rumah ibadah
dan pusat kegiatan keagamaan bagi setiap agama.
Adapun pembagiannya, setiap agama akan diberikan
1.000 meter persegi, namun dengan syarat semua agama
(yang diwakili oleh tokoh-tokoh agama masing-masing) harus
sepakat atas rencana resolusi tersebut. Hal ini karena tempat
beribadah nanti akan dibangun berdampingan, sehingga
berpotensi menimbulkan gesekan (konflik) antarumat.

Dinamika dan Resolusi Konflik _59


BAB 5

PENUTUP

1. SIMPULAN
Faktor-faktor yang menyebabkan penolakan kegiatan
peribadatan dan pendirian rumah ibadah di Kabupaten
Bekasi pada kasus pertama, yaitu (1) pihak HKBP tidak
melakukan komunikasi yang baik kepada warga; (2) ada
ketersinggungan warga selain pihak HKBP tidak meminta
izin lingkungan RW/Desa terlebih dahulu, namun justru
langsung melayangkan surat permohonan rumah ibadah
sementara kepada aparat kepolisian, Pemerintah Kecamatan,
dan Pemerintah Kabupaten juga disinyalir melibatkan koneksi
pejabat tertentu; (3) pihak HKBP melanggar kesepakatan
yang telah disepakati bersama dengan warga perihal jemaat
Kristen yang boleh mengikuti ibadah Minggu.

Dinamika dan Resolusi Konflik _61


Sedangkan faktor-faktor untuk kasus kedua, yakni (1)
motif pengumpulan daftar nama, tanda tangan dan fotokopi
KTP dari masyarakat setempat bukan untuk pendirian rumah
ibadah, melainkan yayasan pendidikan Hindu dan beberapa
motif lain; (2) FKUB setelah melakukan verifikasi menemukan
berkas daftar nama masyarakat setempat sebagai pendukung
masih terdapat masalah perihal motif pengumpulan, namun
hasil verifikasi tidak disampaikan secara formal dengan surat
namun dilakukan secara lisan melalui pertemuan Ketua
FKUB dengan pengurus PHDI;
(3) Ada ketersinggungan warga bukannya pihak panitia
segera memperbaiki kekurangan hasil verivikasi tetapi malah
melakukan upaya berupa lobi-lobi ke pejabat pemerintah yang
mempunyai hubungan dekat dengan mereka, dan bahkan
mengundang seorang anggota DPD RI utusan Provinsi Bali
dalam suatu rapat bersama dari unsur-unsur seperti PHDI,
FKUB, Pemerintah Kecamatan Sukatani, KUA Sukatani,
Kesbangpol, Kemenag. (4) terdapat makam keramat yang
terletak di area lokasi tanah yang akan dibangun pura dan
pasraman; (4) adanya aksi massa dari luar Desa Sukahurip
yang diduga dimobilisasi oleh LSM dan Ormas tertentu.
Dinamika konflik yang muncul dalam kasus pertama,
tidak hanya soal penolakan warga terhadap kegiatan
peribadatan jemaat HKBP, melainkan juga melebar pada
masalah personal. Selain itu, resolusi konflik terhadap kasus
di Desa Sirnajaya ini terganjal adanya indikasi dampak politik
yang ketika Bupati mengambil kebijakan tegas. Sedangkan
dinamika konflik dalam kasus kedua, pendirian pura di Desa

62_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


Sukahurip adalah keinginan kuat dari umat Hindu karena
kebutuhan rumah ibadah yang belum ada satu dibangun pun
di kabupaten Bekasi.
Akan tetapi, warga merasa tersinggung karena awalnya
diminta tanda tangan dan KTP untuk pendirian yayasan
pendidikan Hindu, ternyata juga untuk pembangunan pura.
Akhirnya warga pun menolak pembangunan pura tapi masih
membiarkan kegiatan keagamaan. Selain itu, sengketa tanah
antara panitia pembangunan dan ahli waris pemilik tanah
juga diduga memincu adanya gerakan massa dari ormas
tertentu yang menolak rencana pendirian pura.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 kerap menjadi
polemik seperti penolakan dan pelarangan aktivitas keagamaan
di Kab. Bekasi karena beberapa faktor, yaitu sebagian kalangan
masyarakat kurang memahami isi peraturan tersebut; kurang
memperhatikan cara seperti pendekatan kultural serta
komunikasi yang baik; terlalu mementingkan persyaratan
administrasi semata sehingga kurang mempertimbangkan
pemeliharaan kerukunan, keamanan dan ketertiban
antarumat beragama; pertimbangan kepentingan politik bagi
pemimpin daerah saat mengambil kebijakan tegas terhadap
konflik pendirian rumah ibadah.

2. REKOMENDASI
a) Agar pihak-pihak yang berencana mendirikan rumah
ibadah—dalam hal ini yakni HKBP dan PHDI—terlebih
dahulu melakukan pendekatan kultural dan komunikasi

Dinamika dan Resolusi Konflik _63


yang baik sebelum meminta dukungan administratif dari
masyarakat setempat dan tidak melibatkan pihak ketiga/
koneksi pejabat tinggi yang justru akan menimbulkan
kekisruhan baru.
b) Agar FKUB kota/kabupaten lebih intens untuk
mensosialisasikan dan menerangkan isi PBM Nomor
9 dan 8 Tahun 2006 kepada masyarakat khususnya
pihak-pihak yang sedang terlibat dalam rencana proses
pendirian rumah ibadah.
c) Agar pemerintah dari tingkat desa hingga kabupaten
bersikap lebih kooperatif dan responsif kepada semua
pihak ketika menyelesaikan perselisihan terkait pendirian
rumah ibadah dalam upaya menjaga keamanan,
ketertiban, dan kerukunan umat beragama.
d) Agar masyarakat terutama yang bertempat tinggal di
sekitar lokasi yang hendak didirikan rumah ibadah
memahami hak dasar setiap warga negara berupa
kebutuhan adanya rumah ibadah dengan tetap berpegang
pada peraturan dan norma yang berlaku.

64_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


DAFTAR PUSTAKA

Aji, Ahmad Mukri, “Identifikasi Potensi Konflik Pra dan


Pasca Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia dan Upaya
untuk Mengatasinya (Studi Kasus di Kota dan Kabupaten
Bogor)”, Mizan: Jurnal Ilmu Syariah, Volume 2, No. 1,
Juni 2014.
Endraswara, Suwardi, Metode, Teori, Teknik Penelitian
Kebudayaan, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006).
Farisa, Fitria Chusna, “Setara: Ada 846 Kejadian Pelanggaran
Kebebasan Beragama di Era Jokowi”, terbit pada 7 Januari
2020. Artikel diakses pada 13 Desember 2020 dari https://
nasional.kompas.com/read/2020/01/07/16031091/setara-
ada-846-kejadian-pelanggaran-kebebasan-beragama-di-
era-jokowi.
Hayat, Bahrul, Mengelola Kemajemukan Umat Beragama
(Jakarta: PT. Saadah Cipta Mandiri, 2012).

Dinamika dan Resolusi Konflik _65


Jamaludin, Adon Nasrullah, “Konflik dan Integrasi Pendirian
Rumah Ibadah di Kota Bekasi”, dalam Jurnal Socio-
Politica , Vol. 8, No. 2, Juli, 2018.
Jary, David dan Julia Jary, Sosiology Dictionary, (New York:
HarperCollins, 1991).
Kafid, Nur, “Agama di Tengah Konflik Sosial: Tinjauan
Sosiologis Atas Potensi Konflik Keberagaman Agama di
Masyarakat”, dalam Al-A’raf, Vol. XII, No. 1, Januari-Juni
2015.
Mustolehudin, “Pendekatan Sosial Budaya Dalam Penyelesaian
Potensi Konflik Pendirian Rumah Ibadah: Pendirian
Vihara dan Masjid di Banyumas”, dalam Jurnal Al-Qalam,
Volume 21, Nomor 1, Juni 2015.
Parsons, Talcott, The Social System, New Edition, (London:
Routledge, 1991).
Raco, J.R., Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan
Keunggulannya, (Jakarta: Grasindo, 2010).
Retnowati, “Agama, Konflik dan Integrasi Sosial Refleksi
Kehidupan Beragama di Indonesia: Belajar dari Komunitas
Situbondo Membangun Integrasi Pasca Konflik”, dalam
Sangkep: Jurnal Kajian Sosial Keagamaan, Vol. 1, No. 1,
Maret 2018.
Saidurrahman dan Arifinsyah, Nalar Kerukunan: Merawat
Keragaman Bangsa Mengawal NKRI, (Jakarta: Kencana,
2018).
Setivani, Wiwik, “Tipologi dan Tata Kelola Resolusi Konflik
Ditinjau dari Perspektif Teori Sosial Konflik”, dalam

66_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Volume 6,
Nomor 2, Desember 2016.
Susan, Novri, Sosiologi Konflik: Teori-teori dan Analisis, Cet-
IV, (Jakarta: Kencana, 2019).
Syukron, Buyung, “Agama dalam Pusaran Konflik (Studi
Analisis Resolusi Terhadap Munculnya Kekerasan Sosial
Berbasis Agama di Indonesia)”, dalam Jurnal Ri‘ayah, Vol.
02, No. 01 Januari-Juni 2017.
Tim detikcom, “Viral Warga di Bekasi Putar Musik Kencang
Saat Ada Kebaktian, Polisi Mediasi”, terbit pada Kamis,
17 September 2020. Artikel diakses pada 13 Desember
2020 dari https://news.detik.com/berita/d-5177069/
viral-warga-di-bekasi-putar-musik-kencang-saat-ada-
kebaktian-polisi-mediasi
Tim Penyusun, Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama/
Berkeyakinan (KBB) Tahun 2019 di Indonesia: Kemajuan
Tanpa Penyelesaian Akar Masalah, (Jakarta: Wahid
Foundation, 2020).
Tim Penulis, Almanak HKBP 2020, Percetakan HKBP, 2020.
Umikalsum, Afif dan Fauzan, “Integrasi Sosial Dalam
Membangun Keharmonisan Masyarakat”, dalam JAWI,
Volume 2, No. 1 (2019).
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan
Penelitian, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010).
Zuldin, Muhamad, “Konflik Agama dan Penyelesaiaannya:
Kasus Ahmadiyah di Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat”,
dalam MIQOT, Vol. XXXVII, No. 2, Juli-Desember 2013.

Dinamika dan Resolusi Konflik _67


Narasumber:
Wawancara pribadi dengan Ketua Tim Verifikasi yang juga
anggota FKUB Kabupaten Bekasi K.H. Ahmad Sholeh
pada Senin, 7 Juni 2021.
Wawancara pribadi dengan Ketua FKUB Kabupaten Bekasi
K.H. Athoillah Mursjid pada Selasa, 8 Juni 2021.
Wawancara pribadi dengan Ketua RW. 007 Perum KSB
Dharma Suhendri pada Selasa, 8 Juni 2021.
Wawancara pribadi dengan Ketua Panitia Penyelenggara
Tempat Ibadah HKBP KSB Ramli Sirait pada Sabtu, 20
Maret 2021.a
Wawancara pribadi dengan Kepala Bidang Kerukunan
Kesbangpol Kab. Bekasi Asep Sutendi pada Rabu, 9 Juni
2021.
Wawancara Pribadi dengan Sarnubi, Penyuluh Agama
Kecamatan Serang Baru, pada Selasa, 8 Juni 2021.
Wawancara pribadi dengan Sihombing, salah satu pengurus
HKBP, pada Sabtu, 20 Maret 2021.
Wawancara pribadi dengan Ketua PHDI Kabupaten Bekasi I
Made Pande Cakra pada Kamis, 18 Maret 2021.
Wawancara pribadi dengan Abdul Syakur, Kasubbag TU
Kementerian Agama Kabupaten Bekasi, pada Senin, 7
Juni 2021.
Wawancara pribadi dengan Penyuluh Agama Kecamatan
Sukatani Apip Sohibul Fauzi pada Selasa, 8 Juni 2021.

68_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’


Wawancara pribadi dengan Ketua Panitia Pembangunan
Pasraman dan Pura I Ketut Mudia pada Selasa, 8 Juni
2021.
Wawancara pribadi dengan Kepala KUA Kecamatan
Sukahurip Abdul Haris pada Selasa, 8 Juni 2021.

Dinamika dan Resolusi Konflik _69


BIODATA PENULIS

Ibnu Hasan Muchtar. Peneliti Ahli Utama


lahir di Lampung Timur pada tahun 1959,
sebagian besar pengabdiannya sebagai
Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Balitbang
Kementerian Agama RI rangkap jabatan
struktural dan funsional peneliti. Sebagian
besar penelitian dilakukan dalam bidang kerukunan, konflik
social bernuasa agama, pelayanan pemerintah terhadap
masyarakat dalam bidang agama (Haji, Umroh, KUA, Zakat,
Wakaf dan Produk Halal). Konflik sosial bernuansa agama
yang masih terus terjadi di Indonesia sampai saat ini, sebagian
besar disebabkan oleh pendirian rumah ibadat (Aceh Singkil,
Kab/Kota Bogor, Manokwari). Pada tahun 2006 lahir
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri Nomor: 9 dan 8 tahun 2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,

Dinamika dan Resolusi Konflik _71


Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan
Pendirian Rumah Ibadat. Peraturan ini hasil musyawarah/
kesepakatan Pimpinan Masjeli-Majelis Agama (Islam, Kristen,
Katolik, Hindau dan Buddha) yang disahkan oleh Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri. Peraturan Bersama ini
sedang diusulkan untuk ditingkatkan menjadi Peraturan
Presiden (Perpres). Karir penelitinya diawali di Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI sejak tahun 2000-2021.
Sejak akhir Maret tahun 2022-sekarang bergabung pada Pusat
Riset Agama dan Kepercayaan Organisasi Riset Ilmu
Pengetahuan Sosial dan Humaniora (IPSH) Badan Riset dan
Inovasi nasional (BRIN).

M. Zidni Nafi’ adalah peneliti pada


Pusat Studi Pesantren. Ia aktif menulis
sejumlah artikel dan beberapa buku, di
antaranya “Menjadi Islam, Menjadi
Indonesia” (Gramedia, 2018) dan buku
“Cinta Negeri Ala Gus Mus” (Imania,
2019).

72_ Ibnu Hasan Muchtar & M. Zidni Nafi’

Anda mungkin juga menyukai