Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

PEMBAKARAN GEREJA DI ACEH

DUSUSUN OLEH :

NAMA : MOH RIZKY

NIM : 201801113

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA NUSANTARA PALU
2019/2020
A. Koran Online
Kronologi pembakaran gereja di Aceh Singkil
05:56 WIB - Rabu, 14 Oktober 2015

Merdeka.com Sebuah gereja dibakar di Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Selasa


(13/10/2015). Dilansir CNN Indonesia, Kepala Polri, Badrodin Haiti, kejadian bermula pada
Senin (12/10). Hari itu terjalin kesepakatan antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat
soal penertiban 21 gereja yang tidak berizin.Pemda akan menertibkan. Atas desakan
masyarakat akan dilakukan pembongkaran. Malamnya, ada pembicaraan lanjutan yang
menyepakati pembongkaran gereja akan dilakukan pada 19 Oktober 2015. Namun,
perwakilan masyarakat yang hadir di pembicaraan itu tidak diakui oleh kelompok perusuh.

Selasa (13/10) pagi, sekitar pukul 8.00 WIB, warga berkumpul di Kecamatan Simpang
Kanan. Dua jam kemudian, kelompok tersebut bergerak ke Tugu Simpang Kanan.
"Kemudian dihadang, ada pasukan TNI dan Polri, sehingga mereka menuju ke rumah ibadah
GHKI Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah," kata Badrodin dikutip dari CNN
Indonesia. Polri, kata Badrodin, telah mengamankan 21 gereja yang dipermasalahkan.
Namun, karena lokasi yang tersebar, tiap gereja hanya dijaga 20 orang. Massa yang
datang mencapai 500 orang. Karena itu, pembakaran rumah ibadah pun tak terhindarkan
setelah massa bergerak pada 11.00 WIB. "Setelah membakar gereja massa bergerak ke desa
tadi (Sukamakmur). Di situ terjadi bentrok massa yang telah membakar dengan yang
menjaga. Dari situ terjadi korban," ujar Badrodin. Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia
(PGI) menyayangkan kekerasan ini. Pasalnya, sebelum kejadian sudah ada kesepakatan
antara Bupati Aceh Singkil, Muspida, Ulama dan sejumlah kelompok tentang pembongkaran
gereja. "PGI sangat menyesalkan dan prihatin keras tindakan intoleransi ini," ujar Ketua
Umum PGI, Henriette Hutabarat Lebang dalam jumpa pers yang dikutip Merdeka.com.
Dalam penilaian Henriette, kejadian itu juga tak tak lepas dari sulitnya mendapat izin
mendirikan bangunan (IMB) di tempat tersebut.

Terhitung, sejak tahun 1979, 2012 hingga sekarang, pihak gereja selalu ditolak
mendirikan bangunan. "Perlu ditegaskan, tidak ada maksud untuk tidak mengurus izin gereja.
Tetapi realitasnya, pengurusan izin mendirikan rumah ibadah sangat sulit dan bahkan sering
tidak diperolehkan walau sudah diupayakan maksimal," ungkap dia dalam siaran
pers PGI (13/10). Bupati Aceh Singkil, Safriadi, menyatakan sebenarnya warga sudah
sepakat damai. "Ada perjanjian damai antara umat Kristen dan Islam pada 1979 yang
dikuatkan lagi di musyawarah tahun 2001," kata dia kepada CNN Indonesia.

Berdasarkan kesepakatan damai itu, ujar Safriadi, di Aceh Singkil disetujui berdiri satu
gereja dan empat undung-undung. Tapi kini ternyata jumlah rumah ibadah telah lebih dari
yang disepakati. Menjamur menjadi 23 undung-undung. "Ini menyebabkan gejolak," ujar
Safriadi. Hal ini pula yang menjadi dasar unjuk rasa Pemuda Peduli Islam (PPI) pada 6
Oktober di Kantor Bupati Aceh Singkil, di Kecamatan Singkil. Menurut pengunjuk rasa,
keberadaan gereja yang makin marak di Aceh Singkil merupakan bentuk pelanggaran
perjanjian pada 1979 dan 2001. Saat itulah mereka mengancam akan membongkar sendiri
gereja yang dinilai tak berizin sepekan setelah aksi, atau pada 13 Oktober. Ancaman itu
terbukti dengan insiden yang telah terjadi.
B. Pembahasan
1. Desintegrasi
Dari kasus diatas termasuk Disintegrasi Sosial budaya karena seperti kita
ketahui Disintegrasi sosial adalah suatu keadaan yang disebabkan karena adanya
perubahan yang dipaksakan maka keadaan itu menimbulkan proses disintegrasi
dalam sosial. Disintegrasi sosial akan terjadi apabila salah satu unsur masyarakat
tidak dapat menyesuaikan satu sama lain atau adanya ketidakseimbangan, maka
unsur yang lainnya itu akan melakukan pemberontakan ataupun melawan.
2. Faktor Penyebab Terjadinya
Adapun faktor penyebab terjadinya pembakaran Gereja di Aceh, Singkil,dipicu
oleh pembangunan rumah ibadah yang tanpa izin atau karena persoalan hukum dan
“pembenturan” kelangan tertentu terhadap kearifan regulasi yang ada diaceh sebagai
bukti banyak nya pembangunan gereja liar dan tanpa izin. Pembangunan gereja ini
menyalahi aturan yang ada dan termasuk mengangkangi komitmen masyarakat yang
telah pernah disepakati. Contohnya umat kristiani Aceh Singkil telah diberi izin
untuk membangun satu gereja dan 14 undung-undung atau rumah peribadatan yang
berukuran kecil.
Namun, secara diam-diam, mereka menambah 10 undung-undung lagi, sehingga
total ada 24 undung-undung. Sutiyoso melanjutkan, pada 12 Oktober, BIN melalui
komite intelijen daerah (Kominda) telah menggelar rapat terakhir bersama bupati
Aceh Singkil. Dalam rapat diputuskan bahwa bangunan tambahan akan ditertibkan.
"Nah yang 10 undung-undung mau ditertibkan, sementara satu gereja dan 14
undung-undung ini pun belum selesai terkait proses perizinan pendirian rumah
ibadah. Inilah kejadiannya kenapa besoknya terjadi aksi seperti itu," ucap mantan
gubernur DKI Jakarta tersebut.
3. Penyelesaian
Dalam hal ini Bupati Aceh Singkil adalah sosok kunci dalam upaya
penyelesaian konflik yang terjadi di daerah itu. "Bupati Aceh Singkil harus
mengambil peran secara aktif dan efektif dalam mencari solusi-solusi penyelesaikan
konflik antara masyarakat muslim dan komunitas kristiani,"Untuk itu, diadakan
pertemuan konsultasi yang diharapkan ada pemahaman yang sama mengenai aturan
pendirian rumah ibadah sesuai Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Kepala
Dearah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Bahwa
persyaratan warga pendukung adalah penduduk setempat dalam satu Kelurahan,
dapat diperluas sampai satu Kecamatan. Tidak dipersyaratkan warga penduduk
berasal dari agama yang berbeda, tetapi tidak boleh tumpang tindih dengan data
warga pengguna.
Lebih lanjut, berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM)
Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang
Pedoman Kepala Dearah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan
Umat Beragama, Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah,
Pemda berkewajiban menerbitkan izin sementara selama 2 tahun untuk
mengakomodir masyarakat yang jumlah jemaatnya banyak.

Setelah melalui proses konsultasi, muncul komitmen dari Pemkab Aceh Singkil
sebagai berikut:

1. Bupati Aceh Singkil menetapkan 11 gereja yang sudah memperoleh Rekomendasi


dari FKUB dan Kantor Kemenag Kab. Aceh Singkil untuk segera diterbitkan
izinnya;
2. Pemkab Aceh Singkil akan membuatkan tempat ibadah sementara di lokasi yang
tidak jauh dari 5 gereja yang sudah ditertibkan/dibongkar;
3. Setelah selesai proses perizinan 11 gereja sebagaimana poin 1 (satu) diatas,
Pemkab Aceh Singkil akan segera memproses pendirian kembali 10 gereja yang
sudah ditertibkan/dibongkar, sesuai aturan yang berlaku;
4. Pemkab Aceh Singkil akan terus melakukan komunikasi dan konsultasi dengan
Komnas
5. HAM dalam setiap upaya penyelesaian masalah, utamanya sebelum pembuatan
tempat ibadah sementara
6. Bahwa dalam rangka membangun kembali hubungan kultur diantara warga
masyarakat di Kabupaten Aceh Singkil yang sempat terganggu pasca peristiwa 13
Oktober 2015, Komnas HAM meminta Bupati Aceh Singkil untuk segera
menginisiasi kegiatan kultural yang dapat menjadi sarana rekonsiliasi bagi warga
di Kabupaten Aceh Singkil.
DAFTAR PUSTAKA

https://beritagar.id/artikel/berita/kronologi-pembakaran-gereja-di-singkil-aceh Di akses
pada tanggal 8 oktober 2019

https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/10/15/nw9m2z349-ini-penyebab-
utama-terjadinya-insiden-aceh-singkil-menurut-kepala-bin Di akses pada tanggal 8
oktober 2019

https://aceh.antaranews.com/berita/28225/legislator-bupati-kunci penyelesaian-konflik-
aceh-singkil Di akses pada Tanggal 8 oktober 2019

Anda mungkin juga menyukai