Anda di halaman 1dari 10

KASUS PELANGGARAN PELANGGARAN

TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN.

1. PROSES PENEGAKAN HUKUM MASIH BELUM


OPTIMAL DILAKUKAN

Rizieq Shihab ditetapkan sebagai tersangka kasus penodaan simbol negara


Pimpinan Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab, ditetapkan sebagai
tersangka oleh Polda Jawa Barat, hari Senin (30/01), dalam kasus dugaan
penistaan simbol negara dan pencemaran nama baik.

"Sudah bisa memenuhi pasal 154 A di KUHP dan pasal 320 tentang penistaan
lambang negara dan pencemaran nama baik proklamator. Hasil gelar perkara hari ini
(Senin) seluruhnya sudah masuk unsur. Seluruh alat bukti yang cukup sudah
terpenuhi dan penetapan dari saksi kepada Rizieq Shihab kami naikkan menjadi
tersangka," kata Yusril Yunus, kepada para wartawan di Bandung, termasuk Julia
Alazka.Ancaman hukuman maksimal dari pelanggaran atas dua pasal tersebut, jika
dinyatakan bersalah, masing-masing adalah empat tahun dan sembilan bulan.
2. TINGKAT KEMISKINAN DAN ANGKA
PENGANGGURAN DI NEGARA KITA MASIH CUKUP
TINGGI

Persoalan kemiskinan seperti tidak akan habis dibahas setiap hari. Pasalnya, kini
kemiskinan di Indonesia masih terbilang cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik, angka kemiskinan di Indonesia per Maret 2018 menyentuh angka 25,95 juta
orang atau sebanyak 9,82% dari total jumlah penduduk Indonesia. Angka tersebut
lebih rendah dibandingkan tahun 2017 yang mencapai 26,58 juta orang. Peningkatan
mutu di berbagai sektor sudah ditingkatkan oleh pemerintah untuk menekan angka
kemiskinan. Namun, pada hakikatnya, kemiskinan susah untuk dihilangkan secara
tuntas. Kemiskinan terjadi karena tidak adanya kemampuan seseorang atau beberapa
orang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya yang terdiri atas kebutuhan primer,
sekunder, dan tersier.
Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com, dengan Judul Pengaruh Tingkat
Pengangguran Terhadap Kemiskinan, pada URL
https://www.ayobandung.com/read/2019/02/12/44920/pengaruh-tingkat-
pengangguran-terhadap-kemiskinan .

3. MAKIN MEREBAKNYA KASUS PELANGGARAN


HAM

Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia kini kian


marak dan mencemaskan. Padahal seluruh komponen pemerintah dan masyarakat
sipil telah berjuang keras mengatasinya. Mengapa perjuangan itu sejauh ini
terkesan kurang efektif? Inikah saat yang tepat untuk “meningkatkan status”
masalah ini menjadi sejajar dengan terorisme dan narkoba?

“Kekerasan terhadap perempuan” dalam Undang-undang Nomor UU No 23 Tahun


2004 didefinisikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
Mirip dengan itu, pengertian “kekerasan terhadap anak” dalam Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2014 adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau
penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

SOLUSI :

Untuk mengatasi keenam masalah sentral tersebut, diperlukan setidaknya tiga


langkah strategis dan terpadu; saya menyebutnya “Three in One” agar mudah
diingat. perlu ada perubahan paradigma yang melihat dan memperlakukan masalah
kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai extraordinary crime yang sejajar
dengan masalah terorisme dan narkoba, sehingga penanganannya lebih intensif,
ekstensif, dan terintegrasi dengan melibatkan semua aktor baik state
actors maupun non-state actors.
4. MASIH TERJADINYA TINDAK KEKERASAN
MENGATASNAMAKAN AGAMA

Seorang pria berdiri di depan gereja yang dibakar di Gunung Meriah, Aceh Singkil,
Aceh, Selasa (13/10/2015). Menurut laporan terakhir satu orang tewas dan empat
lainnya luka-luka. | STR /EPA

Sebuah gereja dibakar di Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, Selasa (13/10/2015).


Dilansir CNN Indonesia, Kepala Polri, Badrodin Haiti, kejadian bermula pada Senin
(12/10). Hari itu terjalin kesepakatan antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat
soal penertiban 21 gereja yang tidak berizin.
Pemda akan menertibkan. Atas desakan masyarakat akan dilakukan pembongkaran.
Malamnya, ada pembicaraan lanjutan yang menyepakati pembongkaran gereja akan
dilakukan pada 19 Oktober 2015. Namun, perwakilan masyarakat yang hadir di
pembicaraan itu tidak diakui oleh kelompok perusuh.

Selasa (13/10) pagi, sekitar pukul 8.00 WIB, warga berkumpul di Kecamatan
Simpang Kanan. Dua jam kemudian, kelompok tersebut bergerak ke Tugu Simpang
Kanan.

"Kemudian dihadang, ada pasukan TNI dan Polri, sehingga mereka menuju ke rumah
ibadah GHKI Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah," kata Badrodin
dikutip dari CNN Indonesia.

Polri, kata Badrodin, telah mengamankan 21 gereja yang dipermasalahkan. Namun,


karena lokasi yang tersebar, tiap gereja hanya dijaga 20 orang.
Massa yang datang mencapai 500 orang. Karena itu, pembakaran rumah ibadah pun
tak terhindarkan setelah massa bergerak pada 11.00 WIB.

"Setelah membakar gereja massa bergerak ke desa tadi (Sukamakmur). Di situ terjadi
bentrok massa yang telah membakar dengan yang menjaga. Dari situ terjadi korban,"
ujar Badrodin.
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menyayangkan kekerasan ini.
Pasalnya, sebelum kejadian sudah ada kesepakatan antara Bupati Aceh Singkil,
Muspida, Ulama dan sejumlah kelompok tentang pembongkaran gereja.

"PGI sangat menyesalkan dan prihatin keras tindakan intoleransi ini," ujar Ketua
Umum PGI, Henriette Hutabarat Lebang dalam jumpa pers yang
dikutip Merdeka.com.
Dalam penilaian Henriette, kejadian itu juga tak tak lepas dari sulitnya mendapat izin
mendirikan bangunan (IMB) di tempat tersebut. Terhitung, sejak tahun 1979, 2012
hingga sekarang, pihak gereja selalu ditolak mendirikan bangunan.
"Perlu ditegaskan, tidak ada maksud untuk tidak mengurus izin gereja. Tetapi
realitasnya, pengurusan izin mendirikan rumah ibadah sangat sulit dan bahkan sering
tidak diperolehkan walau sudah diupayakan maksimal," ungkap dia dalam siaran
pers PGI (13/10).
Bupati Aceh Singkil, Safriadi, menyatakan sebenarnya warga sudah sepakat damai.
"Ada perjanjian damai antara umat Kristen dan Islam pada 1979 yang dikuatkan lagi
di musyawarah tahun 2001," kata dia kepada CNN Indonesia.
Berdasarkan kesepakatan damai itu, ujar Safriadi, di Aceh Singkil disetujui berdiri
satu gereja dan empat undung-undung. Tapi kini ternyata jumlah rumah ibadah telah
lebih dari yang disepakati. Menjamur menjadi 23 undung-undung. "Ini menyebabkan
gejolak," ujar Safriadi.

Hal ini pula yang menjadi dasar unjuk rasa Pemuda Peduli Islam (PPI) pada 6
Oktober di Kantor Bupati Aceh Singkil, di Kecamatan Singkil. Menurut pengunjuk
rasa, keberadaan gereja yang makin marak di Aceh Singkil merupakan bentuk
pelanggaran perjanjian pada 1979 dan 2001.
Saat itulah mereka mengancam akan membongkar sendiri gereja yang dinilali tak
berizin sepekan setelah aksi, atau pada 13 Oktober. Ancaman itu terbukti

5. ANGKA PUTUS SEKOLAH YANG CUKUP TINGGI


IDN Times/Ardiansyah

Jakarta, IDN Times – Pemerintah berhasil menurunkan angka putus sekolah di


Indonesia sejak 2014. Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebut, angka putus sekolah menurun 200.000
siswa atau hampir 30 persennya.

“Angka ini terus berkurang hingga mencapai kurang dari 200.000 siswa di tahun
2016 hingga 2018,” kata founder Semua Murid Semua Guru, Najeela Shihab, dalam
sebuah acara diskusi di Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (26/1).

6. PELANGGARAN HAK CIPTA


Panggung dangdut koplo sempat memanas beberapa waktu yang lalu. Bukan karena
aksi goyangan yang seronok ataupun lirik berbau erotis. Melainkan, perselisihan
pendapat antara Via Vallen dengan personel Superman Is Dead (SID) I Gede Ari
Astina alias Jerinx. Pedangdut asal Surabaya, Jawa Timur, ini dinilai tidak meminta
izin saat membawakan lagu “Sunset di Tanah Anarki” di event off air 2017 lalu.

Persoalan menjadi semakin rumit setelah Jerinx menyebut Via Vallen tidak tahu
makna lagu ketika diubah menjadi versi koplo. Sayangnya, percekcokan itu hanya
sebatas ‘perang’ di Instagram. Bahkan, mereka tetap bungkam ketika kumparan
mencoba merunut konflik tersebut.

Nyatanya, perselisihan terkait hak cipta bukan sekali terjadi di jagat musik Indonesia.
Ada yang berakhir damai hingga berujung bui.

Solusi:
Berikut beberapa solusi untuk menangani maraknya pelanggaran pembajakan
buku dan sejenisnya:
1) Perlunya kesadaran masyarakat untuk menghargai hasil karya orang lain.
2) Pemberian sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang terlibat supaya mereka jera.
3) Pemerintah memberikan penyuluhan tentang pentingnya penghargaan terhadap
suatu kekayaan intelektual.

Anda mungkin juga menyukai