Anda di halaman 1dari 3

ORANG RIMBA TERJERAT PIDANA

Dua pimpinan suku Kubu diadili karena didakwa menganiaya. Pimpinan suku Kubu lainnya
meminta keduanya dibebaskan.

Lima tenda terpal tegak berdiri di depan gedung Pengadilan Negeri Sorolangun, Jambi. Disanalaah
sejak Februari lalu puluhan warga Suku Anak Dalam tinggal bersama. Mereka tidur, masak, makan
di dalam tenda itu. Sebagian besar penghuni tenda itu prempuan dan anak-anak.

Suku Anak Dalam, yang juga dikenal dengan nama suku Kubu, tak sedang berkemah kekota.
Mereka sengaja datang dari tempat tinggalnyadi desa KejasungBesar di kawasan hutan Taman
Nasional Bukit Dua Belas untuk menunut dibebaskannya pimpinan mereka Temenggung Celitai
dan Temenggung Mata Gunung. Jika sidang digelar, mereka keluar dan berteriak-teriak dan
menangis meraung-raung, meminta pemimpin mereka dikembalikan ke kampungnya.

Kamis pekan lalu, misalnya, begitu jaksa Syafri Hadi, selesai membacakan tuntutannya, puluhan
orang anak Dalam itu berteriak-teriak kembali. Hari itu jaksa menuntut Celitai, 45 tahun, dan
Mata Gunung, 40 tahun, masing-masing hukuman 5 bulan dan enam bulan penjara. Dan seperti
yang sudah-sudah, kedua orang yang hidupnya di hutan itu hanya diam membisu. “ Mereka tidak
paham” ujar Abdul hair, pengacara yang mendampingi Celitai dan Mata Gunung.

Celitai dan Mata Gunung berurusan dengan “hukum orang kota” lantaranterlibat bentrok dengan
warga suku anak dalam Singosari pimpinan Temenggung Majid, awal Desember lalu. Akibat
bentrokan yang terjadi di desa`Pematang Kebau, Kecamatan Air Hitam, Sorolangun itu, korban pun
berjatuhan. Tigaa tewas dan satu luka parah terkena bacokan. Korban yang tewas, dua orang dari
kelompok Majid, yakni Melenting Laman dan Besilang serta seorang dari kelompok Celitai,
Nunai. Adapun Melantang, isteri Nunai,yang terkena bacokan, nyawanya dapat diselamatkan
oleh Dokter Rumah Sakit Chatib Chusweri, Sorolangun.

Bentrokan kedua kelonpok yang hidupnya masih bergantung pada isi hutan itu dipicu masalah
pinjam meminjam mesin pemotong kayu (chainsaw). Kelompok Majid meminjam mesin itu dari
kelompok Celitai dengan cara menyewa Rp 800 ribu. Belakangan alat itu dipinjamkan kelompok
Majid ke kelompok lain. Saat dikembalikan ke Celitai mesin pemotong sudah rusak.

Kasus ini lantas diselesaikan secara adat. Kelompok Celitai meminta denda berupa beberapaa
lembar kain. Kendati menyanggupi, belakangan janji ini diingkari kelompok Majid. Bentrokan
berdarahun terjadi. Menurut Abdul Hair pertikaian berdarah ini pub lalu diselesaikan secara adat.
Kesepakatan diambil. Celitai menyerahkan 1.000 lembar kain kepada Najib dan Najib
menyerahkan 500 lembar ke Celitai. Mereka yang menghilangkan satu nyawa didenda
“membayar” dengan 500 kain.

Namun kasus ini tidak serta merta berhenti setelah urusan “serah-serahan kain” tersebut.
Pertikaian berujung maut itu juga jadi urusan aparat keamanan. Kepolisian Resort Sorolangun
menangkap dan memeriksa meraka yang terlibat dalam bentrokan itu. Selain menetapkan Celitai
dan Mata Gunung sebagai tersangka, polisi juga menyita tujuh senjata rakitan, tujuh pentungan
dan tiga golok sebagai bukti.

DITAHANNYA CELITAI DAN MATA GUNUNG inilah yang membuat puluhan warga suku Anak Dalam
keluar dari hutan. Mereka “turun” ke kota, mendatangai gedung pengadilan, tempat dua pimpinan
mereka diadili. Saat pertengahan Februari lalu saat sidang pertama dibuka, sejumlah warga suku
Anak Dalam, menyerbu hakim dan jaksa yang menyidang kasus itu. Mereka bersimpuh dan
memeluk kaki aparat penegak hukum itu, memohon Celitai dan Mata Gunung dibebaskan.

Tak hanya dari kelompok Celitai, permintaan serupa juga disuarakan sejumlah pimpinan suku Anak
dalam lainnya. Januari silam, misalnya, enam temenggung melayangkan surat yang dibubuhi cap
jempol mereka kepada Kepala Kepolisian Daerah Jambi dan Kepala Polri, meminta Celitai dan
Mata Gunung dilepaskan. “ Kalau hukum positif diterapkan secara tidak langsung itu
menghilangkan hukum adat kami” ujar Temenggung Maritua, salah seorang pimpinan suku Anak
Dalam. “ Bahkan akan menambah dendam di antara kami lagi”. Menurut Maritua, dengan
diadilinya pimpnan suku ini hukuman yang diterima Celitai dan Mata Gunung menjadi dua, istilah
mereka biduk sekok hopi duo tambangnyo (perahu satu, tapi dua kali yambangnya).

Nelly Akbar, penasehat hukum Warsi-- lembaga yang sejak 1986 melakukan pembinaan terhadap
suku Anak Dalam – menilai diadilinya Celitai dan Mata Gunung itu merupakan bentuk intervensi
pemerintah terhadap hukum adat Suku Anak Dalam. “Apalagi selama ini mereka juga tidak
pernah mendapat sosialisasi hukum positif” ujarnya.

Tapi permintaan membebaskan Celitai dan Mata Gunung tak digubris. Polisi tetap memberkas
perkara itu dan melimpahkannya ke pengadilan. Menurut Kepala Kepolisian Resor Sorolangun
AKBP Irawan David, saat pertikaian terjadi pihak Temenggung Majid meminta pengamanan ke
Aparat Kepolisian Sektor Sungai Hitam. “ Artinya secara tidak langsung mereka sudah mengenal
hukum” kta Irawan.

Kamis pekan lalu, jaksa Syafri Hadi, mendakwa Celitai dan mata Gunung melakukan penganiayaan
dan pengeroyokan. Kendati polisi memiliki sejumlah barang bukti, Abdul Hair yakin kliennya ini
bakal bebas dari dakwaan. “Empat orang saksi yang diajukan menyatakan tidak melihat Celitai dan
Maya Gunung melakukan pembunuhan.” Katanya.

Persidangan suku Kubu yang dibumbui dengan munculnya puluhan suku lainnya dari pedalaman
yang datang dan menginap dipelataran gedung Pengadilan Sorolangun menarik perhatian
masyarakat. Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin menegaskan proses hukum terhadap warga suku
Anak Dalam itu sudah tepat. “ Kita harus memberikan sosialisasi kepada mereka bahwa kita juga
mempunyai hukum formal yang wajib ditaati seluruh warga negara” ujarnya.

Menurut Direktur Informasi dan Komunikasi dan Pembelajaran Warsi, Rudy Syaf, bentrokan
berujung maut antara warga suku Anak Dalam baru pertama kali ini terjadi. Apalagi dengan
menggunakan senjata api rakitan. Sebab selama ini mereka selalu hidup berdampingan dengaan
damai. “ Ini merupakan bentuk nyata perubahan sosial dalam kehidupaan mereka” kata Rudy
Syaf.
Kasus yang terhitung langka ini menarik perhatian pakar hukum Adat dari Universitas Indonesia
Valerine Kriekhoff. Menurut Valerine hukum adat memang tidak bisa menghapus hukum pidana
sebagai hukum publik. Hukum nasional, ujarnya, berada di atas pranata hukum lainnya. Kendati
demikian, bukan berarti penyelesaian menurut hukum adat itu harus dikesampingkan. Hukum,
menurut Valerine, bisa memakai penyelesaian secara adat itu sebagai pertimbangan untuk
meringankan hukuman.

Wartha W. Silaban dan Syaipul Ahad (Jambi), Majalah TEMPO, 29 Maret 2009, halaman 86-87.

BAHAN-BAHAN UNTUK PENDALAMAN MATERI


Bahan-bahan untuk diskussi dan ditanggapi oleh setiap mahasiswa. Silahkan kemukakan
lewat Wa.

1. Menurut Aturan Peralihan UUD 1945, hukum nasional yang berlaku bersumber dari
hukum tertulis Belanda, Hukum Adat dan Hukum Islam. Menurut anda apakah ketiga
hukum itu sederajat/selevel ? Apakah ke tiga sumber hukum itu dapat dinilai sebagai
hukum positif, hukum yang berlaku (ius constitutum) juga ???
2. Mengapa dalam perkembangannya, hukum tertulis selalu lebih dominan dalam
pembentukan hukum nasional ?
3. Hukum Adat, diakui sebagai salah satu sumber hukum nasional yang sah. Tetapi
nasibnya selalu terpinggirkan dalam pembangunan hukum nasional. Apalagi bila dilihat
dari nasib kekayaan hukum adat dalam bentuk tanah dan hutan masyarakat adat.
4. Hukum adat mempunyai aspek hukum perdata dan juga hukum pidana. Mengapa di
dalam hukum perdata adat, khususnya kekeluargaan, diberikan keleluasaan untuk
diterapkan tanpa intervensi hukum tertulis, namun dalam hukum pidana (pembunuhan,
penganiayaan, pencurian) selalu negara dan pemerintah melakukan intervensi pada
semua proses hukum adat ?
5. Bagaimana pandangan anda terhadap penyelesaian atas kasus pembunuhan menurut
adat yang telah mereka putuskan (kasus Suku Anak Dalam) ?
6. Adanya intervensi negara atas penyelesaian menurut hukum adat pada kasus
pembunuhan suku Anak dalam, apakah dengan demikian sistem hukum nasional sama
sekali tidak memandang keberadaan proses hukum adat ?
7. Kesimpulannya, apa yang bisa kita peroleh/ disimpulkan dari aspek politik hukum,
bilamana terjadi pertemuan antara hukum pidana adat dengan hukum pidana tertulis
(positif) ?

Anda mungkin juga menyukai