Anda di halaman 1dari 18

Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No.

1 Tahun 2016 : 165 - 182

LEGALITAS PENDIRIAN RUMAH IBADAT BERDASARKAN PERATURAN


BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR 9 TAHUN 2006

Oleh: Ardiansah
Dosen Magister Ilmu Hukum Universitas Lancang Kuning
Alamat Kantor Jl. Yos Sudarso Km 8 Rumbai, Pekanbaru
Email: ardiansyah2000@yahoo.com

Abstrak

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri (PBM) Nomor 9 Tahun 2006 mengenai Pendirian Rumah Ibadat. Peraturan ini
bertujuan untuk menciptakan kerukunan umat beragama. Namun, pemberlakuan
peraturan ini justeru telah memicu ketegangan dan konflik antara pemeluk agama.
Kenyataan ini menunjukkan adanya problem hukum yang penting untuk diteliti. Jenis
penelitian yang digunakan ialah penelitian hukum normatif. Penelitian ini menggunakan
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa PBM mengatur secara khusus dua hal yang saling berkaitan
pembinaan kerukunan umat beragama melalui pembentukan Forum Kerukunan Umat
Beragama dan prosedur pendirian rumah ibadat. Peraturan Bersama Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri ini lebih rinci mengatur kewenangan pemeliharaan kerukunan
umat beragama, mekanisme perizinan rumah ibadat, dan penyelesaian bila terjadi
konflik. Keberadaan regulasi yang baru tersebut diharapkan mampu mencegah potensi
konflik berkaitan dengan pendirian rumah ibadah, diantaranya persyaratan pendirian
rumah ibadah, proses perizinan rumah ibadat yang sering berlarut-larut, penyalahgunaan
rumah tinggal yang difungsikan sebagai rumah ibadat, dan sebagainya. PBM mengatur
penyelesaian masalah melalui jalur musyawarah dan pengadilan. Apabila kedua jalur
penyelesaian tersebut tidak bisa menyelesaikan perselisihan maka perlu ditingkatkan
level pengaturan rumah ibadat menjadi undang-undang. Problem pendirian rumah
ibadat dapat diselesaikan secara komprehensif jika terdapat suatu undang-undang
yang mengatur tentang pendirian rumah ibadat. Solusi komprehensif ini perlu dilakukan
agar tidak terjadi lagi konflik dan disharmonis antar penganut berbagai agama.

Abstract

The Government has issued a Joint Regulation of Religious Affairs and Minister of the
Interior (PBM) No. 9 of 2006 on the Establishment of House of Worship. This regulation
aims to create religious harmony. However, enforcement of this regulation precisely
has sparked tension and conflict between religions. This fact shows the legal problems
that are important to study. This type of research is a normative legal research. This
study uses the approach of legislation and conceptual approaches. The results showed
that the PBM specifically regulate two things are interrelated fostering religious harmony
through the establishment of the Forum for Religious Harmony and procedures for
establishing a synagogue. Joint Regulation of Religious Affairs and Minister of the
Interior this in more detail for the authorities of the maintenance of religious harmony,
the licensing mechanism of the synagogue, and the completion of the event of conflict.
The existence of the new regulation is expected to prevent potential conflicts related to

165
Legalitas Pendirian Rumah Ibadat Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan.....(Ardiansah)

the establishment of houses of worship, including requirements for the establishment


of houses of worship, the synagogue that the licensing process is often protracted,
misuse of residential houses which functioned as a synagogue, and so on. PBM set
problem resolution through consultation and trial. When the two lines of the settlement
could not resolve the dispute then need to be improved level of adjustment synagogue
became law. Problem establishment of the synagogue can be resolved in a
comprehensive manner if there is a law governing the establishment of the synagogue.
This comprehensive solution needs to be done in order to avoid further conflicts and
disharmonis between followers of different religions.

Kata kunci: Pendirian Rumah Ibadat, Peraturan Bersama Menteri, Umat


Beragama

Pendahuluan Pemerintah telah mengeluarkan


Setiap agama besar yang ada di Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Indonesia dilindungi oleh undang-undang yang Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 Tahun 2006 dan
berlaku dan agama-agama itu memiliki hak Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pedoman
yang sama untuk hidup dan berkembang. Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil
Setiap umat beragama berhak menyiarkan Kepala Daerah dalam Pemeliharaan
agama dan mendirikan rumah ibadah. Tetapi, Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan
kalau tidak ada aturanya atau ada aturan, tetapi Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
dilanggar maka terjadi benturan atau konflik Pendirian Rumah Ibadat. Namun, pemberlaku-
antar umat beragama itu sendiri.1 an Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Keberagaman yang ada tersebut Menteri Dalam Negeri tersebut telah memicu
menciptakan polarisasi dalam pengelompokkan tingginya angka penutupan, penyegelan dan
atau kelas sosial masyarakat. Beragamnya pembakaran rumah ibadah yang semakin tinggi
jenis suku, ras dan agama maka tidak ter- angkanya pada tahun 2010.3
hindarkan munculnya problem sosial terutama Pendirian rumah ibadah yang tidak
kaitannya dalam kehidupan beragama. Kondisi mengikuti aturan yang berlaku cenderung
kota yang sedang berkembang tidak ter- menjadi pemicu ketegangan, bahkan konflik
hindarkan banyaknya potensi konflik yang antar pemeluk agama di Indonesia. Mursyid Ali
terjadi. Tidak jarang terjadi perselisihan di menyebutkan tujuh faktor pemicu ketegangan
masyarakat yang mengetengahkan isu atau yang bisa menimbulkan konflik antar pemeluk
simbol agama seperti pendirian rumah ibadah. agama, yakni pendirian rumah ibadah,
Permasalahan itu muncul antara lain adanya penyiaran agama, bantuan luar negeri,
pendirian rumah ibadah yang tidak mempunyai perkawinan beda agama, perayaan hari besar
izin, penggunaan fasilitas umum sebagai keagamaan, penodaan agama baik yang
tempat ibadah, dan munculnya protes warga dilakukan oleh seseorang maupun kelompok
terhadap keberadaan suatu rumah ibadah.2 orang, dan kegiatan aliran sempalan, yang

1
Aslati, Optimalisasi Peran FKUB Dalam Menciptakan Toleransi Beragama di Kota Pekanbaru, Jurnal
Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama, Volume 6, Nomor 2 Juli-Desember 2014, hlm. 188.
2
Ibid, hlm. 189.
3
Ahmad Subakir dkk, Potret Buram Kebebasan Beragama, (Yogyakarta: Nadi Pustaka-STAIN Kediri
Press, 2010), hlm. 7.

166
Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 1 Tahun 2016 : 165 - 182

dilakukan seseorang atau sekelompok orang Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
yang didasarkan keyakinan terhadap agama Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.
tertentu secara menyimpang dari agama
bersangkutan. Ahsanul Khalikin menyebut Metode Penelitian
empat faktor pemicu ketegangan, bahkan Penelitian ini termasuk jenis penelitian
konflik antar pemeluk agama, yakni pendirian hukum normatif. Penelitian hukum normatif
rumah ibadah, penyiaran agama, masalah intern adalah penelitian hukum yang dilakukan
agama, dan penodaan agama.4 dengan cara meneliti bahan pustaka. Dalam
Muhith A. Karim dkk menyebut lima hal penelitian hukum normatif, bahan pustaka
yang menyebabkan ketidakrukunan umat merupakan data dasar yang dalam ilmu
beragama, yaitu pendirian rumah ibadah; penelitian yang digolongkan sebagai data
penyiaran agama; masalah intern agama; sekunder. 7 Penelitian hukum normatif
penodaan terhadap agama; dan kegiatan aliran mengkaji tentang hukum tertulis dari berbagai
sempalan. 5 Sementara Titik Suwariyati aspek teori, sejarah, perbandingan, struktur
menyebutkan empat hal pemicu konflik antar dan komposisi, lingkup dan materi,
maupun intern umat beragama, yaitu pendirian konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi
rumah ibadah; penyiaran agama; penguburan pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu
jenazah; peringatan hari-hari besar ke- undang-undang serta bahasa hukum yang
agamaan.6 digunakan. 8Penelitian hukum normatif juga
Beberapa pendapat tersebut menunjuk- mengkaji tentang asas-asas hukum dan
kan adanya problem hukum mengenai sistematika hukum.9Penelitian hukum normatif
pendirian rumah ibadah di Indonesia. Problem bisa juga mengkaji tentang inventarisasi
hukum pendirian rumah ibadah tersebut hukum positif, penemuan asas hukum, dan
penting diteliti secara intens agar dapat penemuan hukum in concreto.10
dirumuskan solusinya untuk mewujudkan Pendekatan dalam penelitian ini
kerukunan umat beragama. menggunakan pendekatan perundang-
Tulisan ini berupaya menganalisis undangan (statue approach), yaitu pendekatan
bagaimana pengaturan tentang pendirian rumah yang dilakukan menelaah semua undang-
ibadat, bagaimana pengaturan pendirian rumah undang dan regulasi yang bersangkut paut
ibadat, dan bagaimana pula penyelesaian dengan isu hukum yang ditangani dan
perselisihan mengenai pendirian rumah yang pendekatan konseptual (conceptual approach),
bertentangan dengan Peraturan Bersama yaitu mempelajari pandangan dan doktrin

4
Mursyid Ali dalam Ahsanul Khalikin, Peta Kerukunan Di DKI Jakarta, (Jakarta: Balitbang dan Diklat,
2001), hlm. 79-80.
5
Muhith A. Karim, dkk, Peta Kerukunan Jawa Timur, (Jakarta: Balitbang dan Diklat Depag, 2001), hlm.
241-243.
6
Titik Suwariyati, Peta Kerukunan di Yogyakarta, (Jakarta: Balitbang dan Diklat, 2001), hlm. 172-175.
7
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan XI,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 234-242.
8
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 132.
9
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2007), hlm. 14.
10
Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hlm. 14.

167
Legalitas Pendirian Rumah Ibadat Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan.....(Ardiansah)

dalam ilmu hukum serta konsep asas hukum keberadaan agama, kehidupan beragama, dan
yang relevan.11 kerukunan hidup beragama. Hubungan antara
Penelitian hukum normatif ini dilakukan agama dan negara dapat dilihat dari keberadaan
untuk menghasilkan ketajaman analisis hukum institusi-institusi keagamaan, hukum yang
yang didasarkan pada doktrin dan norma-norma berkaitan dengan agama, dan kebijakan yang
yang telah ditetapkan dalam sistem hukum, baik berkaitan kehidupan keagamaan.14
yang telah tersedia sebagai bahan hukum Indonesia bukan negara agama.
maupun yang dicari sebagai bahan kajian guna Indonesia bukan pula negara yang mengakui
memecahkan problem hukum faktual.12 salah satu agama resmi negara. Indonesia
adalah negara Pancasila yang memperlakukan
Pembahasan sama berbagai agama. Tidak ada agama
Kedudukan Agama Dalam Konstitusi istimewa yang lebih dominan di antara berbagai
Indonesia agama. Pemerintah Indonesia berperanan
Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara penting dalam mengurusi agama, tetapi tidak
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menjadikan negara Indonesia sebagai negara
mengatur mengenai agama.13 Pasal 29 Ayat agama.15
(1) menyatakan bahwa Negara berdasar Indonesia menjamin keberadaan agama,
Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara Ayat seperti Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan
(2) menyatakan bahwa Negara menjamin Kong Hu Cu. 16 Indonesia menempatkan
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk ajaran dan nilai agama di dalam kehidupan
memeluk agamanya masing-masing dan bernegara, sebagaimana tercantum di dalam
untuk beribadat menurut agama dan sila pertama Pancasila dan Pembukaan UUD
kepercayaannya itu. 1945. Penganut agama Islam dan non
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Islam tidak merasa ada hambatan meng-
negara tidak merujuk kepada agama tertentu amalkan ajaran agamanya.17 Pengaturan yang
dan tidak pula memisahkan urusan agama dan terdapat dalam UUD 1945 bertentangan arah
negara. Negara bertanggung jawab atas dengan sekularisme. 18 Secara konsti-

11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), hlm. 24.
12
Johnny Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu Media Publishing,
2006), hlm. 73.
13
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 lazim disingkat UUD 1945.
14
Ahmad Sukadja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang
Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1995), hlm.
146.
15
Ibid.
16
Menurut hasil sensus tahun 2010 Penduduk Indonesia berjumlah 237.641.326. Pemeluk Islam 87,18%,
Protestan 6,96%, Katolik 2,9%, Hindu 1,69%, Budha 0,72%, Kong Hu Cu 0,05%, agama lainnya 0,13%,
dan tidak menyatakan agama 0,38%. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia, diakses tanggal
26 Juni 2016.
17
Nasaruddin Umar, Antara Negara & Agama Negara, hlm. 4. Lihat http://kemenag.go.id/file/dokumen/
AntaraNegara.pdf, diakses tanggal 12 Juni 2016.
18
Sekularisme adalah faham, pandangan dan gerakan moral yang tidak berdasarkan ajaran agama.
Sekularisme memandang urusan dunia dan agama terpisah. Dalam implementasinya, tingkah laku manusia
dalam masyarakat harus dipisahkan dari agama. Agama hanya dipandang sebagai urusan seseorang dengan
Tuhannya. Lihat James Hasting (ed), Encyclopedia of Religion and Ethics, Volume XI, (New York: Charles
Scribner’s Son, tt), hlm. 347-349.

168
Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 1 Tahun 2016 : 165 - 182

tusional, beragama dan beriman dijamin oleh ketertiban umum dalam suatu masyarakat
negara.19 demokratis”.20
Pada bagian lain, Pasal 29 Ayat (1) UUD
Kebebasan Beragama Dalam Konstitusi 1945 menyebutkan bahwa “Negara berdasar-
Indonesia kan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pasal 29
Kebebasan beragama termaktub dalam Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa
Pasal 28E Ayat (1) dan (2) UUD 1945, Pasal “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
28I Ayat (1) UUD 1945, Pasal 28J Ayat (2) UUD penduduk untuk memeluk agamanya masing-
1945, dan Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD 1945. masing dan untuk beribadat menurut agamanya
Pasal 28E Ayat 1 UUD 1945 menyebutkan dan kepercayaannya itu”.21
bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama Dari beberapa pasal tersebut tampak
dan beribadat menurut agamanya, memilih adanya jaminan kebebasan beragama dalam
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, UUD 1945. Namun, tidak dijelaskan secara
memilih kewarganegaraan, memilih tempat terperinci peruntukan kebebasan beragama.
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, Ketiadaan peruntukan kebebasan beragama
serta berhak kembali”. Pasal 28E Ayat (2) UUD dalam UUD 1945 tersebut telah mengakibatkan
1945 menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak timbulnya berbagai penafsiran mengenai
atas kebebasan meyakini kepercayaan, pendirian rumah ibadat. Sebagian penganut
menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan agama menafsirkan pendirian rumah ibadat
hati nuraninya”. Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 sebagai pelaksanaan kebebasan beragama.
menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, hak Ketidakjelasan peruntukan kebebasan
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran beragama telah dimanfaatkan oleh penganut
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak agama non Islam untuk mendirikan rumah
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di ibadat tanpa memiliki izin dari Pemerintah
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut Daerah dengan alasan kebebasan beragama
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah yang dijamin UUD 1945. Kenyataan ini tentu
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi meresahkan penganut agama Islam dan
dalam keadaan apapun”. Pasal 28J Ayat (2) berpotensi menimbulkan konflik antara
UUD 1945 menyebutkan bahwa “Dalam penganut agama.
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang Pengaturan Pendirian Rumah Ibadat
ditetapkan dengan undang-undang dengan Pemerintah berupaya menciptakan
maksud semata-mata untuk menjamin kerukunan umat beragama sesuai dengan
pengakuan serta penghormatan atas hak dan tuntutan masyarakat pada masanya yang
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan masing.22 Pada era Orde Lama, pemerintah
moral, nilai-nilai agama, keagamaan, dan berupaya membangun kerukunan nasional,

19
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan...Op. Cit., hlm. 94-95.
20
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 26-29. Lihat http://www.mahkama
hkonstitusi.go.id/public/content/profil/kedudukan/UUD_1945_Perubahan%204.pdf, diakses tanggal 21 Juni
2016.
21
Ibid, hlm. 30.
22
Haidlor Ali Ahmad (Ed), Survey Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), hlm. xiv.

169
Legalitas Pendirian Rumah Ibadat Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan.....(Ardiansah)

termasuk kerukunan keagamaan. Selain, itu Alamsyah Ratu perwira-negara diterbitkan


kebijakan politik demokrasi terpimpin dan Keputusan Menteri Agama tentang Penyiaran
Nasakom dikembangkan, meskipun dalam Agama dan Bantuan Luar Negeri, yang
perjalanannya terdapat penentangan. Pada era kemudian diperkuat dengan SKB Menteri
Orde Baru, pemerintah berupaya memper- Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang
tahankan keutuhan bangsa dan kerukunan umat Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan
beragama dengan cara mempertahankan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga
Pancasila sesuai aslinya. Pada masa ini, Keagamaan di Indonesia. Pada masa Menteri
kebijakan politik demokrasi terpimpin diganti Agama Tarmizi Taher, diterbitkan Surat
dengan demokrasi pancasila. Kebijakan asas Keputusan tentang Petunjuk Pelaksanaan
tunggal Pancasila diberlakukan untuk semua Penanggulangan Kerawanan Kerukunan Hidup
ormas dan orpol, meskipun pada akhirnya Umat Beragama. Kemudian pada masa Menteri
kebijakan ini kerapkali menuai kecaman. Agama Maftuh Basuni, diterbitkan Peraturan
Dalam perkembangannya, pada era Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
reformasi, pemerintah berupaya mempertahan- Negeri, tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
kan keutuhan bangsa dan kerukunan umat Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam
beragama dengan tetap mempertahankan Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pancasila sesuai dengan aslinya. Undang- Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Undang Dasar 1945 diamandemen untuk Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat.24
merespon perkembangan zaman. Pada era ini, Kerukunan umat beragama adalah
kebijakan politik demokrasi lebih liberal dan keadaan hubungan sesama umat beragama
otonomi daerah diberlakukan. Kebijakan yang dilandasi toleransi, saling pengertian,
pembinaan agama tetap dilakukan secara saling menghormati, menghargai kesetaraan
sentralistis.23 dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja
Dalam pandangan Atho’Mudhzhar, sama dalam kehidupan bermasyarakat,
Kementerian Agama selaku penanggung jawab berbangsa dan bernegara di dalam Negara
pembinaan kerukunan keagamaan telah lama Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
menerbitkan regulasi dan mengembangkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik
konsep-konsep kebijakan yang bersifat normatif Indonesia Tahun 1945.25Kerukunan antar umat
dan akademik. Pada aspek regulasi, era Menteri beragama ini bisa terwujud jika ada toleransi
Agama KH Moh. Dahlan, diterbitkan Surat saling memahami, menghormati, menghargai,
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan kesetaraan dalam pengamalan ajaran
Menteri Dalam Negeri, tentang Pelaksanaan agamanya masing-masing dan membangun
Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin kerja sama yang positif dan produktif.26
Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pemerintah mengeluarkan kebijakan
Pengembangan dan Ibadat Agama oleh melalui Surat Keputusan Bersama (SKB)
Pemeluk-Pemeluknya. Pada era Menteri Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama

23
Ibid.
24
Atho’Mudhzhar, dalam Abdurrahman Mas’ud dkk (ed), Kerukunan Umat Beragama dalam Sorotan:
Refleksi dan Evaluasi 10 Tahun Kebijakan danProgram Pusat Kerukunan Umat Beragama, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal Kementerian Agama, 2011), hlm. 19-38.
25
Bab I Pasal 1 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006
dan Nomor 8 Tahun 2006.

170
Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 1 Tahun 2016 : 165 - 182

Nomor 1 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan kendala. Hal ini terjadi karena beberapa faktor,
Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin antara lain materi SKB terdapat kalimat
Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan multitafsir sehingga tidak ada kejelasan
Pengembangan dan Ibadat Agama oleh mengenai siapa yang disebut sebagai
Pemeluk-Pemeluknya dan Surat Keputusan pemerintah daerah, siapa yang disebut sebagai
(SK) Menteri Agama Nomor 70 Tahun 1978 pejabat pemerintah dibawahnya yang
tentang Pedoman Penyiaran Agama oleh dikuasakan untuk itu, dan siapa yang disebut
Menteri agama bertujuan untuk mengelola sebagai organisasi keagamaan, dan ulama atau
kehidupan umat beragama di Indonesia. Surat rohaniawan setempat.29
Keputusan ini merekomendasikan kepada Pro dan kontra di tengah masyarakat
pemerintah daerah dan departemen setempat terkait keberadaan SKB Nomor 1 Tahun 1969
untuk membimbing, mengarahkan dan juga terlihat diberbagai media massa. Sebagian
mengawasi serta menyelesaikan pertentangan pemuka agama mengusulkan SKB tersebut
yang mungkin timbul secara adil dan tidak dicabut, sementara sebagian pemuka agama
memihak. Kebijakan ini mencerminkan adanya lainnya mengusulkan untuk tetap diper-
campur tangan negara terhadap kehidupan tahankan. Untuk merespon permasalahan ini,
umat beragama. Kebijakan ini mengatur secara pemerintah (Departemen Agama dan
praksis kehidupan umat beragama di seluruh Departemen Dalam Negeri) mengundang para
Indonesia.27 wakil dari masing-masing majelis agama,
Keberadaan SKB tersebut ternyata masih antara lain Konferensi Gereja-gereja Indonesia,
dirasa cukup memojokkan bagi kaum minoritas, Majelis Ulama Indonesia, Persatuan Gereja-
terlebih umat Kristen-Katolik yang memiliki Gereja Indonesia, Parisada Hindu Dharma
banyak sekte. Aturan ini dianggap membatasi. Indonesia Pusat (PHDI), dan Perwakilan Umat
Bagi umat Islam yang kebetulan secara Budha Indonesia (WALUBI) untuk merevisi
komposisi minoritas disebuah wilayah juga Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan
terkena dampak dari SKB ini. Dengan alasan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1969
umat Kristen dianggap yang paling dirugikan tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur
dengan diberlakukannya SKB ini maka melalui Pemerintah dalam menjamin Ketertiban
Persekutuan Gereja Indonesia, dilontarkan dan Kelancaran Pelaksanaan pengembangan
usulan perlunya pemerintah mencabut SKB dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluk-
tersebut.28 nya.30
Praktik di lapangan menunjukkan Setelah dialog yang intensif selama lebih
pemberlakuan SKB tersebut menemui berbagai kurang enam bulan, akhirnya berhasil tercapai

26
Sigit Dwi Kusrahmaadi, Pentingnya Kerukunan Umat Beragama Dalam Mewujudkan Masyarakat
Sipil,http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Pentingnya%20
Kerukunan%20Umat%20Beragama%2018%20Frb.%202007%20No.%201%20%201.pdf, diakses tanggal 21
April 2015.
27
Baehaqi Imam, Agama dan Relasi Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 51.
28
Nur Ahmad, Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik Pembangunan Rumah Ibadat (Kasus
Pembangunan Rumah Ibadah Antara Islam dan Kristen Desa Payaman), Jurnal Fikrah, Volume 1, Nomor 2,
Juli-Desember 2013, hlm. 344.
29
Kustini, Efektifitas Sosialisasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, (Jakarta: Balitbang Departemen Agama
RI, 2009), hlm. 2.
30
Nur Ahmad, Pesan Dakwah...Op.Cit., hlm. 345.

171
Legalitas Pendirian Rumah Ibadat Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan.....(Ardiansah)

kesepakatan tanggal 21 Maret 2006 yang Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 bukan
dituangkan dalam bentuk Peraturan Bersama berarti seluruh persoalan pendirian rumah
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri ibadah selesai, karena masih harus diuji pada
Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 tahun 2006 tingkat implementasi. Regulasi rumah ibadah
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tetapi
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam terkait dengan masalah-masalah lain, misalnya
memelihara Kerukunan Umat Beragama, soal penyiaran agama dan bantuan asing.
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Pemerintah mengeluarkan Peraturan Bersama
Beragama, dan pendirian rumah ibadat.31 Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Peraturan ini menggantikan SKB Menteri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006
Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1 sebagai upaya meminimalisir konflik pendirian
Tahun 1969 yang dinilai sangat diskriminatif. rumah ibadat.
Peraturan ini bertujuan untuk merespon Sepintas perubahan peraturan tersebut
berbagai keluhan yang dirasakan masyarakat menggambarkan perubahan paradigma
atas maraknya pendirian rumah ibadat umat pemerintah dalam pengaturan kerukunan
minoritas di wilayah umat mayoritas dan beragama. Perubahan paradigma yang
beragamnya peraturan pendirian rumah ibadat dimaksud adalah berubahnya pola berpikir
di berbagai daerah pasca pemberlakuan hegemoni kekuasaan terhadap umat beragama
otonomi daerah yang akhirnya membuat umat kepada pola berpikir partisipatif. Hal tersebut
beragama kesulitan mendirikan rumah ibadat.32 dapat dibaca dengan membandingkan seluruh
Jika SKB Tahun 1969 mengatur isi Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam
kehidupan kerukunan beragama secara umum Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/BER/Mdn-
maka Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mag/Tahun 1969 dengan Peraturan Bersama
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 8 Tahun 2006 mengatur secara khusus Nomor 9/8 Tahun 2006.33
dua hal yang saling berkaitan. Pertama, Ada beberapa ketentuan yang memang
pembinaan kerukunan umat beragama melalui berbeda dengan ketentuan yang ada pada
pembentukan Forum Kerukunan Umat regulasi sebelumnya. Peraturan Bersama
Beragama. Kedua, prosedur pendirian rumah Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
ibadat. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan mengatur secara terperinci perihal pendirian
Nomor 8 Tahun 2006 lebih rinci mengatur rumah ibadat Bab IV, Pasal 13-17. Pasal 13 Ayat
kewenangan pemeliharaan kerukunan umat (1) menyebutkan bahwa “Pendirian rumah
beragama, mekanisme perizinan rumah ibadat, ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan
dan penyelesaian bila terjadi konflik. sungguh-sungguh berdasarkan komposisi
Terbitkannya Peraturan Bersama Menteri jumlah penduduk bagi pelayanan umat
Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 beragama yang bersangkutan di wilayah

31
Ibid.
32
M. Agus Noorbani, Pendirian Rumah Ibadat di Kota Cirebon Pasca Pemberlakuan Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, Harmoni Jurnal Multi Kultural & Multi
Religius, Volume 14, Desember 2015, hlm. 10-11.
33
Abdi Kurnia Djohan, Analisis dan Perbandingan Pengaturan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia,
(Jakarta: Universitas Indonesia, 2010), hlm. 80.

172
Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 1 Tahun 2016 : 165 - 182

kelurahan/desa”. Pasal 13 Ayat (2) menyebut- tersedianya lokasi pembangunan rumah


kan bahwa “Pendirian rumah ibadat ibadat”.34
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan Keberadaan regulasi yang baru tersebut
dengan tetap menjaga kerukunan umat diharapkan mampu menjembatani dan
beragama, tidak mengganggu ketenteraman mencegah potensi konflik berkaitan dengan
dan ketertiban umum, serta mematuhi pendirian rumah ibadah. Potensi konflik muncul
peraturan bangunan gedung perundang- karena beberapa persoalan, diantaranya belum
undangan”. Pasal 13 Ayat (3) menyebutkan adanya penjelasan mengenai persyaratan dan
bahwa “Dalam hal keperluan nyata bagi tata cara pendirian rumah ibadah, proses
pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/ perizinan rumah ibadat yang sering berlarut-
desa sebagaimana dimaksud Ayat (1) tidak larut, penyalahgunaan rumah tinggal atau
terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah bangunan lain yang difungsikan sebagai rumah
penduduk digunakan batas wilayah kecamatan ibadat, pendirian atau keberadaan rumah ibadat
atau kabupaten/ kota atau provinsi”. yang sesuai dengan prosedur yang berlaku dan
Pasal 14 mengatur tentang syarat tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat
administrasi dan dukungan komposisi jemaat setempat, pengaturan masing-masing
dan warga setempat dalam pendirian rumah pemerintah daerah yang masih seragam atau
ibadah. Pasal 14 Ayat (1) menyebutkan bahwa bahkan masih banyak pemerintah daerah yang
“Pendirian rumah ibadat harus memenuhi belum memiliki regulasi untuk mengatur
persyaratan administratif dan persyaratan pendiriaan rumah ibadat, serta kurangnya
teknis bangunan gedung”. Pasal 14 Ayat (2) komunikasi antar pemuka agama disuatu
menyebutkan bahwa “Selain memenuhi wilayah.35
persyaratan sebagaimana dimaksud pada Ayat
(1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi Pembatasan Pendirian Rumah Ibadat
persyaratan khusus meliputi: (a) daftar nama Pendirian rumah ibadat tidak diatur dalam
dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah Konstitusi Indonesia. Pendirian rumah ibadat
ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang tidak pula diatur dalam suatu undang-undang.
yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai Pendirian rumah ibadat hanya diatur dalam
dengan tingkat batas wilayah sebagaimana Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
dimaksud dalam Pasal 13 Ayat (3), (b) dukungan Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun
masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam 2006. Berdasarkan peraturan ini, pendirian
puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala rumah ibadah harus memenuhi berbagai
desa; (c) Rekomendasi tertulis kepala kantor persyaratan.
departemen agama kabupaten/kota; dan (d) Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota”. Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8
Pasal 14 Ayat (3) menyebutkan bahwa “Dalam Tahun 2006 bersifat prosedur administratif.
hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada Apabila Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8
persyaratan huruf b belum terpenuhi, Tahun 2006 dipatuhi maka tidak akan timbul
pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi konflik. Oleh karena itu, Peraturan Bersama

34
Ibid, hlm. 347.
35
Ibid, hlm. 346.

173
Legalitas Pendirian Rumah Ibadat Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan.....(Ardiansah)

Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri hanya diperlukan untuk melindungi keamanan
Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 sejalan masyarakat, kepentingan, kesehatan, atau
dengan prinsip hak asasi manusia.36 moral, atau hak-hak fundamental lainnya.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Pembatasan ini terhadap lima ketentuan, yaitu
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 untuk perlindungan keamanan publik, untuk
Tahun 2006 mengatur mengenai pembatasan melindungi tatanan/ketertiban publik, untuk
tentang izin pendirian rumah ibadat. Alasan perlindungan kesehatan publik, untuk
pembatasan karena pemeluk agama tidak perlindungan moral, dan untuk melindungi hak-
dapat secara langsung membangun sebuah hak dan kebebasan fundamental orang lain.39
rumah ibadat sebagai manifestasi keper- Manfred Nowak & Tanja Vospernik
cayaannya tanpa izin dari pemerintah setempat, menjelaskan bahwa negara dapat membatasi
termasuk juga penduduk sekitar yang kebebasan untuk memanifestasi agama atau
menghendaki pendirian rumah ibadat.37 keyakinan hanya jika ditentukan oleh hukum dan
Pembatasan pendirian rumah ibadat tidak hanya jika karena salah satu dari lima alasan
bertentangan dengan prinsip kebebasan berikut: keselamatan umum, tatanan atau
beragama. Dilihat dalam konteks kebebasan ketertiban masyarakat, moral publik,
beragama dalam forum eksternum, negara perlindungan hak serta kebebasan orang lain,
dapat membatasi pelaksanaan pendirian dan jika pembatasan tersebut memang perlu
rumah ibadat. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal dilakukan. Sebagai sebuah aturan umum maka
18 Ayat (3) ICCPR, Pasal 9 Ayat (2) European batasan-batasan di atas haruslah tidak
Convention on Human Rights dan Pasal 12 Ayat diskriminatif.40
(3) American Convention on Human Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 Peraturan
Rights).Pasal 70 Undang-Undang Nomor 39 Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah Negeri Tahun 2006 mengatur pembatasan
meligitimasi pembatasan ini. Pendirian rumah pendirian rumah ibadah. Walaupun tampaknya
ibadah termasuk salah satu bentuk kebebasan bertentangan dengan Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat
beribadah yang dapat berbenturan dengan hak- (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992
hak asasi lain, antara lain tentang ketertiban tentang Penataan Ruang, namun substansi
umum.38 masalah yang terdapat di dalam Peraturan
Pembatasan kebebasan beragama Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
diperkenankan berdasarkan Pasal 19 Ayat (3) Negeri itu tidak bertentangan dengan
ICCPR yang menyebutkan bahwa kebebasan Konstitusi.41
untuk memanifestasikan agama atau keper- Pada prinsipnya, pembentukan Peraturan
cayaan dapat dibatasi hanya oleh hukum dan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam

36
Nela Sumika Putri, Pelaksanaan Kebebasan Beragama Di Indonesia (External Freedom) Dihubungkan
Ijin Pembangunan Rumah Ibadah, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 11, Nomor 2, Mei 2011, hlm. 232.
37
Ibid.
38
Ibid, hlm. 231.
39
Nela Sumika Putri, Pelaksanaan Kebebasan Beragama...Op. Cit., hlm. 230-231.
40
Manfred Nowak & Tanja Vospernik, dalam Tore Lindholm, W. Cole Durham Jr., & Bahia G. Tahzib-Lie
(ed.). Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Seberapa Jauh?, Cetakan V, Penerjemah Rafael Edy Bosko
& M. Rifa’i Abduh, (Jakarta: Kanisius, 2014), hlm. 206.
41
Ibid, hlm. 83.

174
Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 1 Tahun 2016 : 165 - 182

Negeri Tahun 2006 memiliki semangat Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun
pengayoman. Pada bagian konsideran 2006 tersebut menyebutkan bahwa
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri “pemeliharaan kerukunan umat beragama di
Dalam Negeri Tahun 2006 menyebutkan bahwa provinsi menjadi tugas dan kewajiban
“Pemerintah mempunyai tugas untuk gubernur”. Penekanan terhadap fungsi aparatur
memberikan bimbingan dan pelayanan agar pemerintahan di dalam pemeliharaan
setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran kerukunan umat beragama disebutkan di dalam
agamanya berlangsung dengan rukun, lancar, ketentuan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal
dan tertib (Bagian menimbang huruf c)”. Adapun 7. Adapun pelibatan masyarakat, yang
asas kebangsaan, kenusantaraan, dan Bhineka menjelaskan peran dan fungsi masyarakat di
Tunggal Ika tercermin di dalam huruf h bagian dalam proses penciptaan kerukunan umat
konsideran Peraturan Bersama Menteri Agama beragama, diatur di dalam lima pasal, yaitu
dan Menteri Dalam Negeri tersebut yang Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal
menyebutkan bahwa “kerukunan umat beragama 12, yang terdapat di dalam bab III.
merupakan bagian penting dari kerukunan Pasal 14 Peraturan Bersama Menteri
nasional (Bagian menimbang huruf h)”. Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan
Sungguh disayangkan, kerukunan umat Nomor 8 Tahun 2006 mengatur mengenai
beragama hanya diatur setingkat peraturan pendirian rumah ibadat. Pasal 13 Ayat (1)
menteri. Format peraturan itu, masih dirasakan menyebutkan bahwa “Pendirian rumah ibadat
belum kuat karena lemahnya aspek penegakan didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-
hukum yang terkandung didalamnya. Tidaklah sungguh berdasarkan komposisi jumlah
keliru, jika A.Yewangoe berpendapat bahwa penduduk bagi pelayanan umat beragama yang
karena peraturan itu bukan produk lembaga bersangkutan di wilayah kelurahan/desa”. Pasal
negara maka penanggung jawab akhir dari 13 Ayat (2) menyebutkan “Pendirian rumah
peraturan itu ialah menteri-menteri yang ibadat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
bersangkutan. Untuk itu, perkembangan dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan
kehidupan beragama ke depan, pemerintah umat beragama, tidak mengganggu
perlu memikirkan perumusan kerukunan umat ketenteraman dan ketertiban umum, serta
beragama ke dalam sebuah undang-undang mematuhi peraturan perundang-undangan”.
yang dapat diterima dan menjadi pijakan Pasal 13 Ayat (3) “Dalam hal keperluan nyata
bersama bagi semua umat beragama.42 bagi pelayanan umat beragama di wilayah
kelurahan/desa sebagaimana dimaksud Ayat
Pendirian Rumah Ibadat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi
Peraturan Bersama Menteri Agama dan jumlah penduduk digunakan batas wilayah
Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 diperlukan kecamatan atau kabupaten/kota atau
untuk menciptakan kondisi kerukunan umat provinsi”.
beragama. Pasal 2 menyebutkan bahwa Pasal 14 Ayat (1) menyebutkan bahwa
“Pemeliharaan kerukunan umat beragama “Pendirian rumah ibadat harus memenuhi
menjadi tanggung jawab bersama umat persyaratan administratif dan persyaratan
beragama, pemerintahan daerah dan Peme- teknis bangunan gedung”. Pasal 14 Ayat (2)
rintah”. Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Bersama menyebutkan bahwa “Selain memenuhi

42
Ibid, hlm. 84.

175
Legalitas Pendirian Rumah Ibadat Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan.....(Ardiansah)

persyaratan sebagaimana dimaksud pada Ayat Peraturan tersebut menjelaskan bahwa rumah
(1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri
persyaratan khusus meliputi: a. daftar nama dan tertentu yang khusus dipergunakan untuk
Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat beribadat bagi para pemeluk masing-masing
paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang agama secara permanen, tidak termasuk
disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tempat ibadat keluarga. Rumah ibadat yang
tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dimaksud adalah masjid (yang meliputi masjid
dalam Pasal 13 Ayat (3); b. dukungan agung, masjid besar, dan masjid jami’) dalam
masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam agama Islam, gereja katedral atau gereja
puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala keuskupan dan gereja paroki dalam agama
desa; c. rekomendasi tertulis kepala kantor Katholik, gereja-gereja dewasa (denominasi)
departemen agama kabupaten/kota; dan d. dalam agama Kristen yang pada umumnya
rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota”. memiliki otoritas tersendiri di bawah
Pasal 14 Ayat (3) “Dalam hal persyaratan kepemimpinan pendetanya. Selain itu, rumah
sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) huruf a ibadat vihara dalam agama Budha, rumah
terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum ibadat pura dalam agama Hindu, rumah ibadat
terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban Litang/Klenteng dalam agama Khonghucu.45
memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan Dalam Peraturan Bersama Menteri
rumah ibadat”.43 Agama dan Menteri Dalam Negeri tersebut,
Jika dilihat dari perspektif Pemerintah, istilah rumah ibadat dibedakan dengan tempat
dapat dipahami bahwa mengapa Pemerintah ibadat keluarga yang fungsinya sebagai tempat
mencoba membuat suatu pengaturan terkait suci/ibadat yang harus terpisahkan dengan
dengan pembangunan Rumah Ibadah melalui aktifitas duniawi. Hal ini dimaksudkan untuk
PBM pendirian Rumah Ibadah Tahun 2006, yaitu memenuhi hak setiap pemeluk agama dalam
untuk menjaga ketertiban umum, mengingat melaksanakan agamanya tanpa dikurangi
Negara Indonesia adalah negara yang plural sedikitpun. Adapun tempat ibadat keluarga yang
yang memiliki berbagai agama dan keper- dimaksud adalah musholla/langgar dalam
cayaan. Pada dasarnya ketentuan PBM ini agama Islam, rumah doa dalam agama Kristen,
adalah prosedur administratif, yang berarti kapel dalam agama Katholik, sanggah/mrajan
sepanjang aturan dipenuhi seyogyanya tidak dalam agama Hindu, cetya dalam agama
akan menimbulkan konflik. Pengaturan tentang Budha, dan co bio/cong bio dalam agama
izin pembangunan Rumah Ibadah ini dalam Khonghucu.46
konteks HAM pada dasarnya diperkenankan
sepanjang untuk mencegah kekacauan Penyelesaian Perselisihan Pendirian
publik.44 Rumah Ibadat
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Terbitnya Peraturan Bersama Menteri
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM)
2006 mengatur mengenai bentuk rumah ibadat. Nomor 9 Tahun 2006 bukan berarti selesai

43
Nella Sumika Putri, Pelaksanaan Kebebasan Beragama...Op. Cit., hlm. 231.
44
Ibid, hlm. 13.
45
Lihat, Bab I Pasal 1 ayat (3) Peraturan Bersama Mentri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
dan Nomor 8 Tahun 2006.
46
Sulaiman, Problematika Pendirian Rumah Ibadat di Pati, Jawa Tengah, Analisa Journal of Social
Science and Religion, Volume 22, Nomor 02, Desember 2015, hlm, 188.

176
Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 1 Tahun 2016 : 165 - 182

persoalan, karena pada tataran implementasi pendirian rumah ibadat bagi pemeluk agama
masih dijumpai masalah. The Wahid Institute minoritas, arogansi minoritas atas pendirian
melaporkan, konflik seputar rumah ibadah rumah ibadat, manipulasi data dan tanda tangan
muncul, seperti pada 2008 tercatat 21 kasus, sebagai persyaratan pengguna dan/atau
12 diantaranya adalah penolakan pendirian dukungan pendirian rumah ibadat, administrasi
rumah ibadah. CRCS UGM melaporkan pada pemerintah yang kurang akurat, penolakan
tahun yang sama mencatat ada 14 kasus konflik pendirian rumah ibadat oleh masyarakat,
rumah ibadah, 8 diantaranya merupakan pencabutan IMB oleh pemerintah daerah
penolakan dan pelarangan pendirian hingga tertentu dengan alasan dan pertimbangan
pembongkaran rumah ibadah. Halili dan keresahan, gangguan keagamaan dan
Naipospos mencatat ada 375 kasus konflik ketertiban masyarakat.49
berkaitan dengan rumah ibadah, 307 kasus Berbagai persoalan di sekitar pendirian
merupakan kasus gangguan terhadap rumah rumah ibadat masih sering terjadi di beberapa
dan tempat ibadah, sedangkan 68 kasus berupa daerah, walaupun intensitasnya sudah jauh
pelanggaran pendirian rumah ibadat. Meski berkurang sejak diberlakukannya Peraturan
pemerintah telah mengeluarkan regulasi untuk Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
menekan konflik, namun kenyataannya konflik Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Pernyataan
terus terjadi.47 ini berdasarkan hasil evaluasi tahun pertama
Pada umumnya, konflik mengenai pelaksanaan PBM, bahwa kondisi kehidupan
pendirian rumah ibadat terjadi karena beberapa beragama di Indonesia semakin kondusif, yang
permasalahan, diantaranya: persyaratan salah satunya dipengaruhi oleh keberadaan
pendirian rumah ibadat, perizinan rumah ibadat, peraturan tentang rumah ibadat. Hal ini
penyalahgunann rumah tinggal yang difungsikan kemudian mendapatkan konfirmasi-positif dari
sebagai rumah ibadat, pendirian rumah ibadat hasil penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang
yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat Kehidupan Keagamaan tahun 2007.50
setempat, pemerintah daerah yang belum Ibnu Hasan Muchtar menyimpulkan
memiliki peraturan untuk mengatur pendirian bahwa disosialisasikannya Peraturan Bersama
rumah ibadat, dan lain-lain.48 Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Dalam pendirian rumah ibadat, masalah (PBM) Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pedoman
yang sering muncul diseputarnya, antara lain: Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil
tidak ada izin/rekomendasi dari Kantor Kepala Daerah dalam Pemeliharaan
Kementerian Agama kabupaten/kota, protes Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan
terhadap pemanfaatan rumah tinggal sebagai Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
tempat ibadat secara rutin, penolakan pendirian Pendirian Rumah Ibadat ini telah berpengaruh
rumah ibadat, pendirian rumah ibadat tanpa secara nyata terhadap upaya pemeliharaan
rekomendasi dari FKUB, keluhan kesulitan kerukunan umat beragama, dengan pengaruh

47
Ibid, hlm. 11.
48
Nur Ahmad, Pesan Dakwah Dalam...Op. Cit., hlm. 345-346.
49
M. Yusuf Asry (Ed.), Pendirian Rumah Ibadat di Indonesia Pelaksanaan PBM Nomor 9 dan 8 Tahun
2006, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2011), hlm. 4.
50
Ibnu Hasan Muchtar, Dilema Pendirian Rumah Ibadat: Studi Pelaksanaan PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006 di Kota Bekasi, Harmoni Jurnal Multi Kultural & Multi Religius, Volume IX, Nomor 35, Juli-September
2010, hlm. 99.

177
Legalitas Pendirian Rumah Ibadat Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan.....(Ardiansah)

sebesar 17,4%. Meski angka ini terlihat kecil Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006
(hanya 17,4%), namun sesungguhnya sebagai mengatur lebih detail mengenai kewenangan
salah satu faktor dari 11 faktor yang dapat pemeliharaan kerukunan umat beragama,
menyebabkan ketidakrukunan, permasalahan mekanisme perizinan rumah ibadah, dan
di sekitar pendirian rumah ibadat menjadi penyelesaian jika terjadi konflik. Peraturan
sangat penting dan maka keberadaan peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
ini menjadi cukup signifikan.51 Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8
Sebenarnya pemerintah sudah meng- Tahun 2006 terdiri atas 30 Pasal yang dibagi
antisipasi terjadinya konflik antar umat dalam 10 bab, yakni (1) Ketentuan Umum; (2)
beragama khususnya perusakan tempat ibadah Tugas Kepala Daerah; (3) Tugas dan Peran
dengan mengeluarkan regulasi sejak lama, yaitu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB); (4)
dengan keluarnya SKB pada 1969. Akan tetapi, Pendirian Rumah Ibadah (5) Rumah Ibadah
Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 1/Ber/ Sementara; (6) Izin Sementara Pemanfaatan
MDN-MAG/1969 ini dianggap terlalu diskriminatif Gedung; (7) Penyelesaian Perselisihan; (8)
dan tidak rincinya pegaturan mengenai pendirian Pengawasan dan Pelaporan; (9) Sumber Dana
rumah ibadat. Oleh karena itu, Pemerintah FKUB; dan (10) Mekanisme Peralihan dan
mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri Penutup.54
Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Pemeliharaan kerukunan beragama
Nomor 9 Tahun 2006. Ali Fauzi mencatat sejak merupakan tanggung jawab bersama antara
1969-2006 terjadi lebih dari 1000 kasus konflik pemerintah dan umat beragama. Pemerintah
pendirian rumah ibadat terutama berkaitan diwakili gubernur atau bupati/walikota untuk
dengan pendirian gereja.52 PMB 9 dan 8 Tahun tingkat kabupaten/kota. Sementara aspirasi
2006 mengatur tiga hal, yaitu pembinaan umat beragama diwakili oleh pemimpin agama
kerukunan umat beragama melalui pemben- ‘resmi’ yang tergabung dalam Forum
tukan Forum Kerukunan Umat Beragama, Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Anggota
prosedur pendirian rumah ibadat, dan FKUB berjumlah 21 orang untuk tingkat provinsi
penyelesaian bila terjadi konflik.53 dan 17 orang untuk tingkat kabupaten atau kota.
Ada perbedaan yang cukup mendasar Kuota perwakilan masing-masing agama
antara Surat Keputusan Bersama Dua Menteri berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk
No. 01/BER/mdn-mag/1969 dengan Peraturan agama masing-masing daerah, minimal satu
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam agama diwakili oleh satu orang. Peraturan
Negeri (PBM) Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
8 Tahun 2006. Jika Surat Keputusan Bersama Negeri (PBM) Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor
Dua Menteri Nomor 01/BER/mdn-mag/1969 8 Tahun 2006, antara lain mengatur pendirian
mengatur kerukunan umat beragama secara rumah ibadah wajib memenuhi syarat, yaitu (1)
umum maka Peraturan Bersama Menteri Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP)
Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) 90 orang pengusul rumah ibadah yang disahkan

51
Ibid.
52
Ihsan Ali-Fauzi, dkk, Kontroversi Gereja di Jakarta, (Yogyakarta: CRCS Universitas Gajah Mada,
2011), hlm. 13.
53
M. Agus Noorbani, Pendirian Rumah Ibadat...Op.Cit., hlm. 9-22.
54
Ihsan Ali-Fauzi, dkk., Kontroversi Gereja...Op. Cit., hlm, 36.

178
Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 1 Tahun 2016 : 165 - 182

oleh pejabat sesuai dengan batas wilayah “Dalam hal musyawarah sebagaimana
setempat, (2) KTP 60 orang warga setempat dimaksud pada Ayat (1) tidak dicapai
yang disahkan oleh kepala desa atau lurah, (3) penyelesaian perselisihan dilakukan oleh bupati/
Rekomendasi tertulis dari kantor Departemen walikota dibantu kepala kantor departemen
Agama kabupaten atau kota setempat, (4) agama kabupaten/kota melalui musyawarah
Rekomendasi dari FKUB kabupaten setempat. yang dilakukan secara adil dan tidak memihak
Rekomendasi tersebut harus didasarkan pada dengan mempertimbangkan pendapat atau
musyawarah mufakat dan tidak dapat dilakukan saran FKUB kabupaten/kota”. Selanjutnya,
dengan voting.55 Pasal 21 Ayat (3) menyatakan bahwa “Dalam
Apabila persyaratan berupa dukungan hal penyelesaian perselisihan sebagaimana
dari masyarakat sekitar tidak terpenuhi, dimaksud pada Ayat (2) tidak dicapai,
pemerintah wajib mencarikan lokasi baru. penyelesaian perselisihan dilakukan melalui
Menyangkut bangunan lain yang digunakan Pengadilan setempat”.
sebagai rumah ibadah sementara terlebih Apabila dicermati keseluruhan dari
dahulu harus mendapatkan izin dari pemerintah substansi Peraturan Bersama Menteri Agama
kabupaten atau kota. Izin tersebut dapat keluar dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006
jika kantor Departemen Agama dan FKUB telah maka dilihat dari aspek aturan administratif,
mengeluarkan surat rekomendasi. Ijin bangunan peraturan tersebut telah memberikan suatu
sebagai rumah ibadah sementara hanya berlaku keadilan. Meskipun aturan administratif telah
sampai dua tahun. Jika terjadi konflik di seputar terpenuhi, bukan berarti dengan pemeluk
pendirian rumah ibadah maka pertama-tama agama dapat dengan mudah melaksanakan
diselesaikan melalui musyawarah mufakat pembangunan rumah ibadat.57
bersama masyarakat setempat. Jika tidak Apabila dicermati permasalahan
tercapai maka pemerintah kabupaten atau kota pendirian rumah ibadat, sebenarnya per-
wajib memfasilitasi musyawarah secara adil masalahan terjadi karena penganut agama
dan netral. Manakala mediasi pemerintah keliru memahami peruntukan kebebasan
kabupaten atau kota menemui jalan buntu, beragama yang dijamin dalam UUD 1954. Hal
penyelesaian akhir ditetapkan melalui ini bisa dimaklumi karena UUD 145 tidak
pengadilan setempat.56 menjelaskan secara terperinci peruntukan
Peraturan Bersama Menteri Agama dan kebebasan beragama, yang meliputi kebebasan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 menganut agama, kebebasan mengamalkan
Tahun 2006 mengatur tentang penyelesaian agama, dan kebebasan mengembangkan
perselisihan mengenai rumah ibadat. Pasal 21 agama. Oleh karena itu, tidak tepat jika penganut
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri agama membenarkan tindakannya mendirikan
Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Pasal rumah ibadat karena alasan kebebasan
21 Ayat (1) menyatakan bahwa “Perselisihan mengamalkan agama.
akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan Memang tidak ada peraturan yang
secara musyawarah oleh masyarakat membatasi kebebasan beragama, akan tetapi
setempat”. Pasal 21 Ayat (2) menyatakan bahwa terdapat peraturan yang membatasi kebebasan

55
Ibid.
56
Ibid.
57
Nella Sumika Putri, Pelaksanaan Kebebasan Beragama ….. Op. Cit., hlm. 234.

179
Legalitas Pendirian Rumah Ibadat Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan.....(Ardiansah)

mendirikan rumah ibadat untuk tujuan bukan berarti seluruh persoalan pendirian
mengamalkan agama. Para penganut agama rumah ibadah selesai, karena masih harus diuji
bebas mengamalkan agamanya, akan tetapi pada tingkat implementasi. Regulasi rumah
para penganut agama tidak bebas mendirikan ibadah bukanlah masalah yang berdiri sendiri,
rumah ibadat yang bisa mengganggu penganut tetapi terkait dengan masalah-masalah lain,
agama lain. misalnya soal penyiaran agama dan bantuan
Bagaimanapun, isu mengenai pendirian asing. Pemerintah mengeluarkan Peraturan
rumah ibadat merupakan isu yang sensitif. Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Pemerintah tidak boleh menganggap ringan Negeri tersebut sebagai upaya meminimalisir
permasalahan ini. Pemerintah perlu mencari konflik pendirian rumah ibadat.
jalan penyelesaian permasalahan ini karena hal Keberadaan regulasi yang baru tersebut
ini berpotensi menganggu keharmonisan antara diharapkan mampu mencegah potensi konflik
penganut agama dan bisa memecah belah berkaitan dengan pendirian rumah ibadah.
persatuan bangsa. Jika pemerintah tidak Potensi konflik muncul karena beberapa
mengambil langkah serius mencari jalan persoalan, diantaranya persyaratan dan tata
penyelesaian maka dikhawatirkan akan terjadi cara pendirian rumah ibadah, proses perizinan
konflik dikemudian hari. Oleh karena itu, rumah ibadat yang sering berlarut-larut,
pemerintah Indonesia perlu meningkatkan level penyalahgunaan rumah tinggal yang difungsikan
pengaturan rumah ibadat menjadi undang- sebagai rumah ibadat dan sebagainya.
undang. Pemerintah perlu mengesahkan suatu Apabila dicermati keseluruhan dari
undang-undang berkaitan pendirian rumah substansi Peraturan Bersama Menteri Agama
ibadat yang wajib dipatuhi oleh semua penganut dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006
agama agar tidak terjadi konflik antar penganut maka dilihat dari aspek aturan administratif,
agama. peraturan tersebut telah memberikan suatu
keadilan. Meskipun aturan administratif telah
Penutup terpenuhi, bukan berarti dengan pemeluk
Jika SKB Tahun 1969 mengatur agama dapat dengan mudah melaksanakan
kehidupan kerukunan beragama secara umum pembangunan rumah ibadat.
maka Peraturan Bersama Menteri Agama dan Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006
Nomor 8 Tahun 2006 mengatur secara khusus mengatur penyelesaian masalah melalui jalur
dua hal yang saling berkaitan pembinaan musyawarah dan pengadilan. Apabila
kerukunan umat beragama melalui pem- perselisihan mengenai rumah ibadat tidak bisa
bentukan Forum Kerukunan Umat Beragama diselesaikan melalui jalur musyawarah maka
dan prosedur pendirian rumah ibadat. Peraturan perselisihan mengenai rumah ibadat bisa
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam diselesaikan melalui jalur pengadilan. Apabila
Negeri ini lebih rinci mengatur kewenangan kedua jalur penyelesaian tersebut tidak juga bisa
pemeliharaan kerukunan umat beragama, menyelesaikan perselisihan maka perlu
mekanisme perizinan rumah ibadat, dan ditingkatkan level pengaturan rumah ibadat
penyelesaian bila terjadi konflik. menjadi undang-undang. Problem pendirian
Terbitkannya Peraturan Bersama Menteri rumah ibadat dapat diselesaikan secara
Agama dan Menteri Dalam Negeri tersebut komprehensif jika terdapat suatu undang-

180
Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 1 Tahun 2016 : 165 - 182

undang yang mengatur tentang pendirian rumah Kehidupan Keagamaan Badan Litbang
ibadat. Solusi komprehensif ini perlu dilakukan dan Diklat Kementerian Agama RI.
agar tidak terjadi lagi konflik dan disharmonis Ihsan Ali-Fauzi. dkk. 2011.Kontroversi Gereja
antara penganut berbagai agama. di Jakarta. Yogyakarta: CRCS
Universitas Gajah Mada.
Referensi James Hasting (ed). tt. Encyclopedia of Religion
Abdi Kurnia Djohan. 2010. Analisis dan and Ethics. Volume XI. New York:
Perbandingan Pengaturan Kerukunan Charles Scribner’s Son.
Umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Johnny Ibrahim. 2006.Teori dan Metodologi
Universitas Indonesia. Penelitian Hukum Normatif. Surabaya:
Ahmad Subakir dkk. 2010. Potret Buram Bayu Media Publishing.
Kebebasan Beragama. Yogyakarta: Kustini. 2009. Efektifitas Sosialisasi PBM No.
Nadi Pustaka-STAIN Kediri Press. 9 dan 8 Tahun 2006. Jakarta: Balitbang
Ahmad Sukadja. 1995.Piagam Madinah dan Departemen Agama RI.
Undang-Undang Dasar 1945: Kajian M. Agus Noorbani. Pendirian Rumah Ibadat di
Perbandingan tentang Dasar Hidup Kota Cirebon Pasca Pemberlakuan
Bersama dalam Masyarakat yang Peraturan Bersama Menteri Agama
Majemuk. Jakarta: Universitas Indo- dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
nesia Press. dan 8 Tahun 2006. Harmoni Jurnal
Ahsanul Khalikin. 2001. Peta Kerukunan Di DKI Multi-kultural & Multi Religius. Volume
Jakarta. Jakarta: Balitbang dan Diklat. 14. Desember 2015.
Aslati,Optimalisasi Peran FKUB Dalam M. Yusuf Asry (Ed.). 2011. Pendirian Rumah
Menciptakan Toleransi Beragama di Ibadat di Indonesia Pelaksanaan PBM
Kota Pekanbaru. Jurnal Toleransi: Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Jakarta:
Media Komunikasi Umat Beragama. Badan Litbang dan Diklat,
Volume 6. Nomor 2. Juli-Desember Kementerian Agama RI.
2014. Muhith A. Karim, dkk. 2001. Peta Kerukunan
Abdurrahman Mas’ud dkk (ed). 2011. Jawa Timur. Jakarta: Balitbang dan
Kerukunan Umat Beragama dalam Diklat Depag.
Sorotan: Refleksi dan Evaluasi 10 Nela Sumika Putri. Pelaksanaan Kebebasan
Tahun Kebijakan dan Program Pusat Beragama di Indonesia (External
Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Freedom) Dihubungkan Ijin Pembangun-
Sekretariat Jenderal Kementerian an Rumah Ibadah. Jurnal Dinamika
Agama. Hukum. Volume 11. Nomor 2. Mei 2011.
Baehaqi Imam. 2005. Agama dan Relasi Sosial. Nur Ahmad. Pesan Dakwah Dalam
Yogyakarta: LKiS. Menyelesaikan Konflik Pemba-
Burhan Ashofa. 2006.Metode Penelitian ngunan Rumah Ibadah (Kasus
Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Pembangunan Rumah Ibadah antara
Haidlor Ali Ahmad (Ed). 2013. Survey Nasional Islam dan Kristen Desa Payaman).
Kerukunan Umat Beragama di Jurnal Fikrah. Volume 1. Nomor 2. Juli-
Indonesia. Jakarta: Puslitbang Desember 2013.

181
Legalitas Pendirian Rumah Ibadat Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan.....(Ardiansah)

Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Religion. Volume 22. Nomor 02.
Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Desember 2015.
Media. Titik Suwariyati. 2001.Peta Kerukunan di
Yogyakarta. Jakarta: Balitbang dan
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji. 2009.
Diklat.
Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tore Lindholm, W. Cole Durham Jr., & Bahia G.
Tinjauan Singkat. Cetakan XI. Jakarta:
Tahzib-Lie (ed.). 2014. Kebebasan
Raja Grafindo Persada. Beragama dan Berkeyakinan:
Sulaiman. Problematika Pendirian Rumah Seberapa Jauh?. Cetakan V.
Ibadat di Pati, Jawa Tengah. Analisa Penerjemah Rafael Edy Bosko & M.
Journal of Social Science and Rifa’i Abduh. Jakarta: Kanisius.

182

Anda mungkin juga menyukai