Anda di halaman 1dari 13

Abstrak.

Ujian Nasional di Indonesia yang dimulai pada 2015 tidak lagi menjadi penentu kelulusan siswa
pada jenjang pendidikan akhir. Pemanfaatan hasil ujian akan mempengaruhi keseriusan siswa dalam
mengerjakannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tingkat keseriusan siswa kelas 12

Siswa dalam mengerjakan Ujian Nasional, saat itu bukan lagi menjadi penentu kelulusan dengan melihat
dari sudut pandang guru dan kepala sekolah. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
menggunakan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan diskusi
kelompok terfokus (FGD) yang dilakukan sebanyak 3 kali di 3 provinsi di Indonesia, yaitu Yogyakarta,
Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Timur. Peserta FGD terdiri dari 9 kepala sekolah menengah atas,
9 wakil kepala sekolah kurikulum, dan 54 guru yang mengajar mata pelajaran yang diujikan pada ujian
nasional. Di setiap provinsi dipilih tiga sekolah yang terdiri dari dua sekolah negeri dan satu sekolah
swasta. Analisis data dilakukan dengan tahapan reduksi data, mencari hubungan antar tema, dan
verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi siswa kelas 12 dalam mempersiapkan Ujian
Nasional berkurang. Mereka tidak lagi fokus pada persiapan ujian, sebaliknya mereka mempersiapkan
diri untuk pendidikan tinggi. Selain itu, siswa cenderung memilih mata pelajaran yang lebih mudah dan
guru harus lebih giat memotivasi siswa untuk mempersiapkan UN.

Kata kunci: UN, kesungguhan dan motivasi siswa

Ujian Nasional (NE) di Indonesia secara historis mengalami perjalanan panjang dalam pendidikan
nasional. Dengan adanya evaluasi akhir nasional yang disingkat EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir
Nasional) telah dimulai sebelum tahun 2002. Pada tahun 2002, Ujian Nasional disebut Ujian Akhir
Nasional (NFE), dan terus diubah pada tahun 2005 menjadi Ujian Nasional. Dari 2004 hingga 2018,
National

Ujian itu sendiri mengalami tiga kali perubahan kebijakan terkait perannya dalam menentukan kelulusan
siswa pada tingkat menengah yang terdiri dari sekolah negeri (sekolah menengah pertama dan atas),
madrasah (sekolah menengah pertama dan menengah atas, terdiri dari madrasah tsanawiyah dan
madrasah aliyah) , dan sekolah kejuruan. Antara tahun 2004 dan 2010, hasil NE diterapkan sebagai satu-
satunya penentu persyaratan kelulusan. Di sisi lain, pada tahun 2011 hingga 2015 NE digunakan sebagai
salah satu komponen penentu kelulusan selain hasil ujian sekolah. Selanjutnya selama tahun 2016
hingga 2018, pemerintah menerapkan kebijakan yang menyatakan bahwa NE hasil kelulusan sama sekali
tidak lagi ditentukan. Dalam periode tersebut, hasil NE berfungsi sebagai sumber informasi untuk
pemetaan pendidikan, persyaratan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
(khususnya siswa SMP), serta informasi untuk meningkatkan mutu sekolah.
Perubahan juga dilakukan terkait dengan nilai ambang kelulusan. Pada tahun 2002 dan sebelumnya,
kelulusan siswa ditentukan oleh nilai mata pelajaran masing-masing. Selanjutnya pada tahun 2003,
standar kelulusan ditetapkan 3,01 pada setiap mata pelajaran dengan nilai minimal 6,00 untuk semua
mata pelajaran, dan siswa yang tidak lulus diberi kesempatan mengulang ujian. Ini berlaku sampai tahun
2010, dengan perbedaan nilai rata-rata minimum setiap mata pelajaran. Perbedaan nilai berkisar 4,01
pada tahun 2004, 4,25 pada tahun 2005, 4,50 pada tahun 2006. Pada tahun 2009, batasan kelulusan
ditetapkan dengan nilai rata-rata minimal 5,50 pada semua mata pelajaran yang diujikan, dan khusus
untuk sekolah kejuruan nilai-nilai praktik kejuruan. subjek setidaknya 7.00.

Riset-Riset Terdahulu Terkait Ujian Nasional

Gagasan tentang apakah skor NE menentukan kelulusan atau tidak, telah menjadi perdebatan hangat di
masyarakat. Polemik tersebut berakar pada kesadaran pemerintah akan perlunya alat ukur yang andal
yang dapat digunakan untuk memetakan mutu sekolah. Di sisi lain, dengan mempertimbangkan
kecemasan siswa dan kompleksitas penerapan praktik NE, pemerintah sering kali mempertimbangkan
kembali keputusan terkait penggunaan hasil NE. Hal tersebut pada akhirnya berdampak pada perubahan
kebijakan pelaksanaan hasil ujian nasional.

Sejumlah ahli menyatakan bahwa pencapaian siswa dalam mengerjakan tes tidak hanya ditentukan oleh
kemampuan kognitif, tetapi juga didukung oleh beberapa faktor lain. Salah satu faktor yang dimaksud
adalah faktor eksternal, misalnya tujuan pelaksanaan tes dan pemanfaatan hasil tes. Jika ada ujian yang
diselenggarakan untuk seseorang yang hasilnya digunakan untuk menentukan nasibnya, jalannya sikap
dan tanggapannya akan berbeda dengan ujian yang tidak memiliki peran yang langsung dikaitkan
dengannya. . Dengan kata lain, apabila tujuan dan kegunaan hasil ujian dikaitkan dengan NE, maka
tujuan yang dimaksudkan dan nilai Ujian Nasional akan mempengaruhi keseriusan siswa dalam
melaksanakan Ujian Nasional.

Dalam beberapa tahun terakhir, cukup banyak peneliti dari berbagai bidang ilmu di Indonesia yang
melakukan penelitian terkait NE. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Retnawati et al. (2017)
mengungkapkan berbagai kendala yang dihadapi dan strategi yang dilakukan dalam implementasi NE
berbasis komputer. Dalam penelitian, fokus utama terkait dengan perubahan teknis di implementasi NE,
dari berbasis kertas ke berbasis komputer. Kendala teknis dan strategis dalam menghadapi kendala
tersebut dibahas secara komprehensif. Namun, penelitian tersebut tidak membahas bagaimana hasil NE
dicapai. Beberapa peneliti lain meneliti paket NE, untuk mendapatkan informasi mengenai karakteristik
atau kualitas pertanyaan NE (Huriaty & Mardapi, 2014; Isgiyanto, 2012; Kartowagiran, 2008), atau
dijadikan sebagai acuan dalam merancang pertanyaan serupa dan diterapkan untuk mengukur siswa.
kompetensi (Azis & Sugiman, 2015). Selanjutnya ada peneliti yang menginvestigasi data hasil NE untuk
mengetahui karakteristik siswa yang mengambil NE atau mengetahui pengelompokan sekolah di suatu
daerah (Rosa & Gunawan, 2015).
Apa yang belum terungkap dari penelitian sebelumnya?

Ada yang hanya melihat penelitian itu

meneliti dampak psikologis dari kebijakan

perubahan di NE dari tahun ke tahun dalam skala yang luas. Pada tahun 2010, penelitian Agustiar dan
Asmi mengungkapkan informasi terkait kerentanan siswa dalam menghadapi NE. Namun penelitian
tersebut dilakukan ketika kebijakan pemanfaatan hasil NE belum mengalami perubahan seperti
sekarang. Penelitian terkait motivasi siswa dalam menghadapi NE juga pernah dilakukan oleh Suardana
dan Simarmata (2013). Namun demikian, informasi yang dipublikasikan dalam penelitian ini hanya
bersumber dari 100 siswa SD kelas VI di Denpasar, Bali, Indonesia. Kajian serupa dan lebih mutakhir
dilakukan oleh Sulistyaningsih dan Sugiman (2016), serta Astuti dan Retnawati (2017) yang meneliti
kesiapan dan motivasi siswa menghadapi UN. Namun, ruang lingkup studi tersebut terbatas pada
sekolah-sekolah setempat. Respondennya adalah siswa SMA yang berasal dari sekolah di satu daerah,
misalnya Daerah Istimewa Yogyakarta (Sulistyaningsih & Sugiman, 2016), dan Ngawi-Jawa Timur (Astuti
& Retnawati, 2017). Padahal, karakteristik peserta Ujian Nasional di Indonesia sangat beragam. Hal
tersebut menandakan bahwa informasi yang diungkap dari studi tersebut tidak cukup untuk
menggambarkan kondisi yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Dari hasil berbagai penelitian,
ternyata semua data penelitian bersumber dari peserta NE. Di sisi lain, perubahan kebijakan terkait
Ujian Nasional tidak hanya berdampak pada siswa sebagai peserta, tetapi juga pada guru dan pengelola
sekolah sebagai pihak yang diberi amanah untuk melaksanakan NE (Creemers, Stoll, & Reezigt, 2007).
Oleh karena itu, informasi dari guru, kepala sekolah, dan wakil kepala sekolah (pembuat kebijakan) juga
perlu digali lebih dalam guna melengkapi informasi dari studi sebelumnya yang hanya bersumber dari
siswa. Itu Diharapkan informasi yang diperoleh lebih komprehensif untuk dijadikan dasar yang kuat bagi
pengambil kebijakan untuk melanjutkan, memperbaiki, atau menghentikan kebijakan yang terkait
dengan penggunaan hasil Ujian Nasional (Goodson-Espy et al., 2014; Saylor, 1974).

Tujuan Penelitian Ini

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dampak atau permasalahan psikologis, motivasi khusus
siswa yang mengikuti UN, pasca diberlakukannya kebijakan yang berkaitan dengan hasil Ujian Nasional
terkini. Untuk mendapatkan perspektif baru terkait dengan kebijakan skor NE, khususnya di SMA,
peneliti akan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan siswa dari NE, dari guru, kepala sekolah,
dan wakil kepala sekolah. Selain itu, untuk memperluas cakupan informasi, peneliti akan mengumpulkan
dari beberapa daerah yang mewakili wilayah Indonesia Barat dan Timur.
METODE

Desain Penelitian dan Peserta

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menerapkan pendekatan fenomenologi untuk
membahas hasil penelitian. Data dikumpulkan dari 54 guru, 9 kepala sekolah, dan 9 wakil kepala sekolah
dalam kurikulum dari sembilan sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Kalimantan Selatan dan
Nusa Tenggara Timur. Pemilihan 9 sekolah dilakukan secara stratified random sampling dengan
memperhatikan kinerja sekolah (tinggi dan sedang) dan jenis sekolah (negeri dan swasta). Sembilan
sekolah tersebut terdiri dari 6 sekolah negeri dan 3 sekolah swasta, 3 sekolah di antaranya merupakan
sekolah berprestasi (unggul), sedangkan 3 sekolah sisanya merupakan sekolah dengan kategori sedang.

Teknik Pengumpulan Data

Data kualitatif dalam penelitian ini meliputi tanggapan guru, kepala sekolah, dan wakil kepala sekolah
terkait motivasi atau keseriusan siswa dalam mengikuti NE. Tanggapan menunjukkan perspektif mereka
berdasarkan pengamatan mereka kepada siswa, serta pengalaman yang mereka temui saat mengelola
dan menerapkan NE di sekolah masing-masing. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan Focus
Group Discussion (FGD) sebanyak tiga kali di masing-masing wilayah yang dituju meliputi DI Yogyakarta,
Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pembahasan dalam FGD mengenai
dampak perubahan kebijakan penggunaan hasil UN terhadap motivasi / keseriusan mahasiswa dalam
menghadapi NE. Untuk memperoleh informasi tersebut, kami menerapkan pertanyaan terbuka kepada
seluruh peserta FGD kemudian setiap tanggapan yang diberikan oleh peserta akan direkam untuk
keperluan analisis data. Analisis data

Data kualitatif yang diperoleh selama FGD dianalisis dengan tahapan reduksi data, mencari keterkaitan
antar tema, dan verifikasi. Pertama, semua tanggapan dan komentar peserta FGD terkait topik yang
dibahas ditranskrip dan selanjutnya dilakukan pengkodean. Selanjutnya dilakukan reduksi data. Data
yang direduksi kemudian dianalisis kembali untuk menemukan tema, dan korelasi antar tema. Hasil
akhir analisis diverifikasi dengan memberikan hasil analisis kepada beberapa peserta FGD yang diacak
untuk memastikan kesimpulan hasil analisis yang dibuat sesuai dengan niat peserta FGD. Meliputi
penjelasan dasar metode, pengumpulan data, lokasi dan waktu penelitian, jenis penelitian, analisis, dan
interpretasi data. Sebutkan tujuan pekerjaan dan berikan latar belakang yang memadai, hindari survei
literatur terperinci atau ringkasan hasil.

HASIL DAN DISKUSI

Focus Group Discussion diawali dengan memberikan pertanyaan terbuka kepada seluruh peserta FGD
terkait perubahan kebijakan dalam pemanfaatan hasil NE. Tiga temuan utama diperoleh dari FGD terkait
dampak perubahan kebijakan penerapan hasil NE, yang berpengaruh selama persiapan, implementasi,
dan pasca implementasi NE. Selanjutnya pembahasan FGD dilanjutkan untuk menggali informasi
mendalam tentang dampak perubahan kebijakan pemanfaatan hasil NE di tiga kondisi (persiapan,
selama implementasi, dan setelah NE). Setelah melalui tahapan transkripsi, pengkodean, reduksi, dan
verifikasi, ditemukan sejumlah tema yang berkaitan dengan persiapan, implementasi, dan pasca
implementasi NE. Sesuai dengan tujuan penelitian, FGD difokuskan untuk memperoleh informasi terkait
dampak perubahan kebijakan (penggunaan skor NE) terhadap motivasi siswa dalam menghadapi UN.
Tema-tema yang muncul terkait dampak perubahan kebijakan tersebut dijelaskan di bawah ini.

Persiapan Ujian Nasional

Dua temuan terkait persiapan siswa untuk NE diperoleh dari analisis data (lihat Tabel 1). Temuan
pertama, sebagian besar peserta mengungkapkan bahwa konsep motivasi belajar terkait mata pelajaran
mengalami penurunan. Kedua, siswa kelas 12 tidak lagi fokus untuk mempersiapkan NE, namun mereka
lebih memilih untuk lebih memperhatikan ujian masuk perguruan tinggi.

TABEL

Siswa kelas 12 sudah rajin belajar untuk mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi. Siswa kurang
bersemangat untuk mempersiapkan NE, karena hasil NE tidak lagi menentukan kelulusan

Mayoritas peserta FGD menyatakan bahwa siswa mereka cenderung kurang termotivasi untuk
mengikuti pembelajaran. Apalagi orientasi pembelajaran merupakan pencapaian berbagai kompetensi
yang telah ditentukan dalam teks kurikulum. Para siswa khususnya kelas XII menurut sebagian besar
peserta FGD justru semakin antusias saat pembelajaran membahas tentang soal, bukan membahas
konsep dan teori. Kondisi ini terjadi karena muatan kurikulum pada jenjang pendidikan menengah dinilai
cukup padat dengan jumlah mata pelajaran yang banyak.

“Siswa lebih termotivasi untuk mengerjakan soal-soal ujian daripada mempelajari materi pelajaran,”
“Siswa hanya tertarik untuk mempelajari mata pelajaran yang mereka rasa tertarik”

Kedua kutipan di atas paling banyak diungkapkan oleh guru-guru berprestasi dari sekolah unggulan,

atau sekolah tingkat menengah. Para guru mengalami kompilasi dilema ketika harus melengkapi semua
materi sesuai dengan ketentuan kurikulum. Di sisi lain, siswa tidak lagi dituntut untuk belajar karena
tidak akan menentukan nasibnya.

Banyak siswa memilih mempersiapkan diri untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi, yang cenderung
lebih ketat. Berbagai upaya dilakukan untuk menyelesaikan ujian masuk perguruan tinggi, termasuk
mengikuti bimbingan belajar atau kursus, membentuk kelompok berorientasi studi, dengan asumsi
kemampuan untuk menyelesaikan pertanyaan tes. Kondisi ini membuat guru semakin sulit memotivasi
siswanya untuk lebih serius mempersiapkan diri menghadapi UN

Tabel 2. Dampak perubahan kebijakan NE terhadap implementasi NE

Kesimpulan Tema Tanggapan

• Selama semester kedua kelas 12, siswa mengambil beberapa


ujian, yaitu tryout USBN dan UNBK, ujian praktek, sekolah Dengan meningkatkan

ujian, ujian sekolah berstandar nasional, berbasis komputer terlalu banyak

jumlah

ujian nasional dan seleksi ujian masuk perguruan tinggi swasta. ujian memimpin siswa

ujian yang

• Sejumlah ujian yang dialami siswa menimbulkan kelelahan hingga merasa bosan, karena

harus diambil,

siswa. ke

dan

• Soal-soal diujicobakan beberapa kali, ukuran sekolah berstandar nasional

asumsi itu

ujian, ujian ujian nasional berbasis komputer, praktek indikator

siswa harus

ujian, ujian sekolah, ujian sekolah berstandar nasional, kompetensi yang mana

telah lulus

Ujian nasional berbasis komputer dan ujian masuk yang harus dikejar serupa.

dari tinggi

PTS) mengukur indikator kompetensi yang mana

sekolah, dan di sana

mirip

tidak ada hubungannya

• Siswa cenderung mengabaikan ketiga ujian tersebut. Jika ada ujian

antara bunga

dilakukan, terkadang tanpa persiapan matang, dan siswa merasa


di dalam komputer

Yakin apapun hasil USBN tersebut, siswa akan tetap lulus kekurangan

Berbasis NE dan

ujian. siswa

siswa, menyebabkan

• Guru merasa bingung dan terus berusaha memotivasi keseriusannya

siswa untuk tidak

siswa, karena ujian bertujuan untuk memetakan kompetensi yang tidak dikerjakan

berhasil dalam melakukan

menarik bagi siswa. NE,

NE.

• Siswa tidak serius mengerjakan NE, karena kelulusan mereka

ditentukan oleh sekolah

Pelaksanaan Ujian Nasional

Dilihat dari implementasi NE,

perubahan kebijakan berpengaruh signifikan. Ada

dua tema yang muncul terkait dengan

implementasi NE setelah berlakunya kebijakan baru tentang penggunaan hasil NE (Tabel 2). Pertama
dan terpenting, siswa merasa bosan karena mereka telah mengikuti serangkaian ujian sebelum
menghadapi NE. Kedua, siswa kurang serius dalam menyelesaikan soal NE karena tidak berpengaruh
terhadap kelulusan mereka. Komentar peserta yang diperoleh dari FGD menunjukkan bahwa kedua
tema tersebut terjadi di sebagian besar sekolah yang terlibat untuk mengikuti Focus Group Discussion.

Sebelum pelaksanaan NE, sekolah biasanya mengadakan ujian pra-ujian, ujian praktek, dan ujian
sekolah. Meskipun hasil NE tidak menentukan kelulusan siswa, sekolah tetap menerapkan tes tersebut
untuk memastikan bahwa hasil NE siswa tetap baik. Hasil NE yang maksimal dipandang sebagai
cerminan kualitas dan kredibilitas sekolah, yang menunjukkan bahwa sekolah mampu mempersiapkan
siswanya semaksimal mungkin. Dengan dihapuskannya NE sebagai penentu kelulusan, siswa menjadi
apatis dengan adanya ujian yang diatur oleh sekolah. Kepala sekolah dan wakil kepala sekolah bagian
kurikulum yang turut serta mengelola himpunan ujian mengungkapkan bahwa ujian yang dikedepankan
saat ini harus diupayakan lebih keras untuk meningkatkan motivasi siswa yang mengikuti ujian, sekaligus
mengikuti ujian sekolah. dan ujian nasional.

“Siswa pasti lulus ujian, sehingga tidak serius untuk mengikuti NE”

“Siswa biasanya sangat antusias dan bersemangat setiap akan melakukan uji coba karena mereka bisa
mengetahui kemampuannya. Sebaliknya, siswa sekarang tidak serius untuk mengikuti ujian. ”“ Sulit
memotivasi siswa untuk serius mengikuti UN karena sejak awal sudah tahu bahwa hasilnya tidak
menentukan nasibnya ”

Adanya prinsip siswa mengenai kelulusan yang tidak dipengaruhi oleh hasil UN membuat mereka lebih
apatis dengan pelaksanaan NE. Selain itu, ujian sekolah yang masih menjadi penentu kelulusan juga
tidak berhasil. Ada anggapan jika kelulusan ditentukan oleh sekolah, maka semua pasti akan lulus.
Fenomena siswa mengikuti ujian dengan persiapan yang baik menjadi tantangan berat bagi para guru,
termasuk pengelola sekolah untuk berpikir keras bagaimana memotivasi siswa agar lebih
memperhatikan ujian nasional.

Hasil NE yang tidak maksimal memang berdampak pada menurunnya kredibilitas sekolah. Namun,
mahasiswa masih belum tertarik dengan hal ini. Satu-satunya hal yang menarik mereka adalah mampu
menyelesaikan pendidikan menengah dan menyelesaikan pendidikan tinggi. Alhasil, mulai dari guru
hingga pemangku kepentingan (kepala sekolah dan wakil kepala sekolah) di sekolah ditantang serius
untuk mencari upaya peningkatan motivasi siswa agar serius mengikuti ujian.

Pemeriksaan Pasca

Perubahan kebijakan skor NE semakin berpengaruh dalam persiapan dan implementasi NE. Kedua istilah
yang belum selesai membahas fenomena lain yang terjadi setelah pemeriksaan. Setidaknya, ada dua
temuan terkait perubahan kebijakan pasca implementasi NE (Tabel 3). Pertama, sebagian besar peserta
FGD mengungkapkan bahwa siswa kurang paham dan tidak membahas nilai yang mereka raih di NE.
Bagi mahasiswa, karena hasil NE tidak menentukan kelulusannya, maka bisa dikatakan bahwa hasil NE
juga tidak berguna. Kedua, dengan banyaknya permasalahan yang terlibat dalam persiapan dan
pelaksanaan NE, mengakibatkan banyak perguruan tinggi yang tidak lagi menganggap NE sebagai salah
satu indikator untuk memilih calon mahasiswa baru. Selain itu, data NE tidak memberikan informasi
yang lengkap mengenai kompetensi siswa di semua mata pelajaran. Secara umum, siswa dapat dengan
mudah memilih mata pelajaran. Sedangkan mata pelajaran lain yang dianggap sulit oleh siswa tidak akan
dipilih. Akibatnya, hasil ujian memberikan informasi mata pelajaran saja (mata pelajaran pilihan),
sedangkan mata pelajaran yang bukan pilihan tidak memiliki informasi.

Dengan adanya informasi mengenai dua tema yang terkait dengan dampak kebijakan ujian nasional
pasca diberlakukannya NE, maka dapat dilihat bahwa hasil NE belum dapat dipercaya, terutama sebagai
cerminan kompetensi siswa. Meskipun beberapa perguruan tinggi masih menggunakan hasil NE
mahasiswa sebagai kriteria, sebagian besar belum menganggapnya sebagai indikator utama. Hal ini
bertentangan dengan niat pemerintah terkait penggunaan hasil NE yang dimaksudkan untuk
mendapatkan pemetaan kompetensi siswa. Dengan kondisi seperti itu, hasil NE salah tempatkan fungsi
utamanya. Mayoritas peserta FGD mengatakan bahwa ujian nasional yang memakan waktu lama, serta
dana yang tidak sedikit menjadi terbuang percuma karena hasil NE tidak digunakan untuk kepentingan
siswa.

“UN tidak bisa maksimal kalau tidak penting dengan kelulusan siswa… siswa kurang serius mengikuti”

“Siswa cuek dengan prestasi UN… mereka merasa hasil UN tidak menentukan masa depan mereka”

Perubahan kebijakan terkait keunggulan hasil NE ternyata menimbulkan respon negatif dari siswa di
sembilan sekolah yang tersebar di tiga provinsi di kawasan timur dan barat Indonesia. Para guru dan
pengambil kebijakan yang berhadapan langsung dengan fenomena tersebut mengalami upaya keras
untuk mengembalikan keseriusan dan motivasi siswa untuk mengikuti UN. Oleh karena itu, melalui
forum FGD, para guru juga menyampaikan sejumlah saran terkait kebijakan NE (Tabel 4).

hasil pengukuran yang dihasilkan lebih akurat. Oleh karena itu, hasil UN tidak bisa hanya dijadikan
sebagai penentu kelulusan, tetapi juga dapat menjadi indikator dalam seleksi masuk perguruan tinggi.
Penyusunan materi yang dibutuhkan pada UN menurut guru perlu dibantu dengan perguruan tinggi. Lebih
lanjut, para guru juga menyampaikan perlunya pelatihan bagi para guru untuk mempelajari dan
mengembangkan soal-soal yang berkualitas, terutama yang mengukur butir-butir dari Higher Order
Thinking Skills (HOTS) yang merupakan salah satu kemampuan yang sering diukur dalam UN.

DISKUSI

Perubahan kebijakan di NE tidak terlepas dari visi untuk mewujudkan sekolah yang efektif. Sekolah
efektif merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi mutu an efektivitas pendidikan secara nasional.
Hasil penelitian Creemers, Stoll, dan Reezigt (2007) yang dilakukan di sejumlah negara, seperti Belanda,
Belgia, Finlandia, Inggris, Spanyol, Portugal, Italia, dan Yunani, didapatkan hasil bahwa kebijakan
merupakan bagian yang berpengaruh. dengan kualitas pendidikan (lihat Gambar 1). Jika kita
mempertimbangkan dampaknya pada keluaran, kebijakan berubah dengan meningkatkan kelulusan
standar berdampak positif pada peningkatan hasil ujian nasional siswa. Dalam kaitan ini, peningkatan
standar kelulusan merupakan salah satu bentuk 'tekanan eksternal' yang menuntut mahasiswa sebagai
peserta NE berusaha untuk mencapai standar tersebut. Bahkan tidak jarang kita mendengar kabar
kecurangan dalam upaya mencapai standar yang ditentukan.

Perspektif pendidikan politik memandang bahwa perubahan kebijakan ujian nasional selama 15 tahun
terakhir dapat dipetakan ke dalam tiga kondisi yang berbeda. Kondisi pertama, pada 2004-2010, ketika
pemerintah pusat memiliki kendali penuh atas kelulusan dan menjadi sumber tekanan eksternal bagi
sekolah dan siswa untuk meningkatkan kualitas hasil. Kondisi kedua, pada tahun 2011-2014, ketika
pemerintah pusat mulai mengurangi tekanan dengan adanya pelimpahan kewenangan kepada sekolah
untuk menetapkan kelulusan. Kondisi ketiga, 2015-2018, saat kewenangan penetapan kelulusan secara
keseluruhan diserahkan kepada pihak sekolah. Ketika tekanan dari pemerintah pusat direduksi, dengan
menggunakan nilai komposit (hasil UN dan hasil UN) sebagai penentu kelulusan, peneliti menemukan
bahwa prestasi NE justru menurun (Balitbang Kemdikbud RI, 2011). Selanjutnya pada tahun 2015, ketika
NE tidak lagi digunakan sebagai penentu kelulusan, ternyata hasil NE bahkan lebih rendah dari batas
minimal yang telah digunakan sekitar 55 (Badan Litbang Kemdikbud dan Budaya, 2015, 2016, 2018).
Dengan kata lain, tekanan dan perwakilan yang berwenang mempengaruhi pencapaian hasil NE siswa.

Terkait dengan motivasi atau keseriusan siswa dalam menghadapi NE, ternyata pengaruh eksternal sangat
kuat. Dari hasil FGD juga diketahui bahwa motivasi eksternal yang bersumber dari kebijakan penggunaan
skor NE berpengaruh terhadap perilaku siswa dalam menghadapi NE. Siswa dimotivasi untuk
mempersiapkan diri, serius menjawab soal-soal ujian nasional karena mereka tahu bahwa ujian nasional
sangat mempengaruhi masa depan mereka. Tidak hanya termotivasi untuk belajar di sekolah, siswa
bahkan dituntut untuk mencari dan mengikuti berbagai macam les les untuk persiapan NE (Eriany,
Hernawati, & Goeritno, 2014). Padahal saat ini mahasiswa tetap termotivasi untuk mengambil pelajaran
namun dengan tujuan yang berbeda-beda, seperti mempersiapkan diri untuk ujian masuk perguruan
tinggi.

Penentuan kelulusan seseorang pada jenjang sekolah tertentu berkaitan dengan nasib orang tersebut.
Ketika datang ke takdir, seseorang akan berusaha untuk melakukan yang terbaik. Ini dibahas oleh teori
motivasi, khususnya motivasi intrinsik. Motivasi ini berasal dari dalam diri seseorang untuk melakukan
tindakan tertentu (Wolkfolk & Margetts, 2007; Miller, 2009). Kategori motivasi lainnya adalah motivasi
ekstrinsik, artinya motivasi yang berasal dari luar siswa, termasuk yang berhubungan dengan kegiatan
belajar, hubungan dengan teman sebaya, orang tua siswa, dan penerimaan hadiah, juga berpengaruh
(Wolkfolk, 2007; Santrock, 2014).

Motivasi siswa, baik intrinsik maupun ekstrinsik berkaitan erat dengan kesiapan siswa. Untuk
menghadapi NE, mahasiswa perlu mempersiapkan diri, baik mempersiapkan materi maupun kondisi
psikologisnya (Astuti & Retnawati, 2017). Kesiapan psikologis berkaitan erat dengan kesiapan kognitif,
yang meliputi kesiapan mental yang meliputi motivasi dan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan
kemampuan siswa (Morisson & Fletcher, 2002). Dengan motivasi yang tinggi, siswa akan giat belajar
agar siap menghadapi NE. Hal ini sejalan dengan pendapat Piaget, bahwa fase kognitif dan kesiapan
menentukan aktivitas belajar siswa (Savin-Baden & Major, 2004). Siswa, yang sangat termotivasi untuk
lulus ketika NE berhasil menentukan kelulusan, akan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk
menghadapi ujian nasional. Berbeda bila hasil UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan. Selain
berdampak pada motivasi belajar, upaya yang dilakukan siswa dalam mempersiapkan diri menghadapi
NE juga mengalami perubahan. Motivasi intrinsik yang kuat ini menurut Santrock (2014: 169)
berkorelasi positif dengan prestasi belajar siswa di NE.

Terkait dengan implementasi NE yang merupakan proyek besar dengan dana mahal, maka dukungan
kebijakan perlu menjadi perhatian dan pertimbangan utama. Bahwa tujuan penyelenggaraan NE tidak
hanya untuk dijadikan informasi dalam pemetaan mutu pendidikan, tetapi juga dikaitkan dengan
pengukuran kompetensi peserta didik yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk tujuan lain dan perlu
disosialisasikan kepada masyarakat. siswa. Hal ini terkait dengan motivasi dan kesiapan siswa dalam
mengerjakannya. Jika digunakan pengukuran kompetensi siswa, siswa memang akan serius mengerjakan
ujian dan informasi yang diperoleh adalah informasi yang valid. Sebaliknya jika tidak termotivasi, siswa
tidak akan mempersiapkan diri dengan baik sehingga nilai UN siswa akan menurun, atau kesempatan
mengerjakan soal NE tidak diambil secara serius. Pemanfaatan fungsi pemetaan kualitas sekolah dan
peningkatan pembelajaran menjadi bias, karena kurang berjalan sehingga tidak menunjukkan kemampuan
luar biasa siswa.

Karena motivasi merupakan aspek penting dalam pembelajaran (Santrock, 2008; Alessi & Trollip, 2001),
termasuk masalah penilaian, upaya untuk meningkatkan motivasi siswa perlu dilakukan. Sering terjadi
bahwa siswa yang berprestasi bukan disebabkan oleh kurangnya kemampuan tetapi karena kurangnya
motivasi untuk belajar dan menjawab soal pada saat ujian sehingga pada umumnya siswa tidak mudah
untuk mengerahkan seluruh kemampuannya. Hal ini didukung oleh Sanjaya (2011) yang menyatakan
bahwa siswa dengan prestasi yang rendah tidak serta merta disebabkan oleh kemampuannya yang rendah,
tetapi mungkin juga disebabkan oleh kurangnya dorongan atau motivasi. Secara umum siswa yang
memiliki motivasi lebih tinggi akan mencapai hasil yang lebih baik (Elliot, et al., 2000).

Meningkatkan motivasi siswa untuk rajin belajar dan mengikuti ujian dengan serius merupakan hal yang
penting dilakukan. Berbagai macam cara dapat dilakukan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa,
baik motivasi belajar maupun motivasi dalam mengerjakan soal ujian. Motivasi pada siswa dapat
ditingkatkan dengan penekanan pada penguasaan mata pelajaran, baik pengetahuan maupun keterampilan
untuk hidup dan untuk kehidupan siswa di masa depan. Motivasi ekstrinsik siswa dapat ditingkatkan
dengan mengedepankan manfaat UN yang digunakan untuk memetakan mutu sekolah dan sekaligus
meningkatkan pembelajaran di kelas. Pemetaan mutu sekolah dan peningkatan pembelajaran berperan
penting untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia. Dengan intrinsik dan motivasi ekstrinsik,
kesadaran siswa untuk rajin belajar, mempersiapkan diri dalam belajar, dan serius dalam persiapan ujian
akan tumbuh, oleh karena itu kemampuan dan keterampilan siswa sebagai pencapaian hasil belajar dapat
ditunjukkan di setiap kesempatan, termasuk pada saat menghadapi ujian apapun. , diperiksa oleh semua
orang, dan untuk kebutuhan apa pun.

Selain meningkatkan motivasi belajar siswa, penguatan pendidikan karakter menjadi hal yang mendesak
untuk dilakukan. Penguatan yang dimaksud terkait dengan integritas, terutama kejujuran dalam
pelaksanaan ujian. Pelaksanaan ujian nasional berbasis komputer memperkuat proses ini. Namun
demikian, terkait dengan kendala integrasi teknologi yang masih dialami siswa, perlu adanya pembiasaan
siswa dalam melaksanakan UN berbasis komputer. Pelaksanaan tes uji coba hingga praktik tes
dimaksudkan perlu dilakukan beberapa kali agar siswa terbiasa dengan UN berbasis komputer, selain itu
juga mengingatkan siswa mengenai strategi dan teknik penggunaan teknologi dalam UN berbasis
komputer.

KESIMPULAN & REKOMENDASI Berdasarkan hasil analisis yang dijelaskan

Di atas diperoleh beberapa kesimpulan terkait dengan dampak perubahan kebijakan terhadap penggunaan
hasil NE. Secara umum motivasi siswa dari 9 sekolah di tiga provinsi (Kalimantan Timur, Nusa Tenggara
Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia) mengalami penurunan. Beberapa hal menunjukkan
penurunan. Pertama, mahasiswa kurang memiliki tenaga untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi
UN karena lebih tertarik mempersiapkan diri untuk mengikuti UN dibandingkan dengan persiapan UN.
Kedua, pada saat ujian siswa kurang serius menjawab soal-soal yang diujikan pada NE karena mereka
yakin pasti akan lulus ujian walaupun hasil ujian NE kurang memuaskan. Ketiga, setelah melaksanakan
NE, siswa kurang memahami bahwa hasil NE masih digunakan untuk memetakan kompetensi, atau untuk
memetakan mutu sekolah.

Fenomena yang muncul dari hasil FGD yang melibatkan guru, kepala sekolah, dan wakil kepala sekolah
di sembilan sekolah di tiga provinsi di wilayah timur dan barat Indonesia ini tentunya tidak bisa
disamaratakan ke wilayah lain. Dengan menggunakan perspektif guru dan pengambil kebijakan sekolah,
serta melibatkan guru yang mengajar di tiga daerah berbeda, hasil penelitian ini memperkaya hasil
penelitian sebelumnya yang hanya membahas motivasi siswa di beberapa daerah di Jawa untuk

ikuti NE. Beberapa saran dan rekomendasi yang telah disampaikan oleh para guru dalam penelitian ini
juga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk merumuskan kebijakan khususnya terkait dengan NE, atau
kebijakan pendidikan di Indonesia pada umumnya.

REFERENCES

Agustiar, W., & Asmi, Y. (2010). Kecemasan menghadapi ujian nasional dan motivasi belajar pada siswa
kelas XII SMA Negeri “X” Jakarta Selatan. Jurnal Psikologi, 8(1), 9–15.
Alessi, S. M. & Trollip, S. R. (2001). Multimedia for learning: methods and development. Boston, MA:
Allyn & Bacon.

Astuti, F. S., & Retnawati, H. (2017). The effect of national examination’s policy on readiness,
motivation, school test score, and national examination score. The Online Journal of New Horizon in
Education, 7(3), 58–66. Retrieved

from https://www.tojned.net/journals/ tojned/articles/v07i03/v07i03-07.pdf

Azis, & Sugiman. (2015). Analisis kesulitan kognitif dan masalah afektif siswa SMA dalam belajar
matematika menghadapi ujian nasional. Jurnal Riset Pendidikan Matematika, 2(2), 162–

174. Retrieved from https://journal.uny.ac.id/index.php/jrpm/ar ticle/view/7331/6314

Balitbang Kemdikbud RI. (2011). Laporan hasil ujian nasional tahun pelajaran 2010-2011 [software].
Jakarta: Balitbang Kemdikbud RI.

Balitbang Kemdikbud RI. (2015). Laporan hasil ujian nasional tahun pelajaran 2014-2015 [software].
Jakarta: Balitbang Kemdikbud RI.

Balitbang Kemdikbud RI. (2016). Laporan hasil ujian nasional tahun pelajaran 2015-2016 [software].
Jakarta: Balitbang Kemdikbud RI.

Balitbang Kemdikbud RI. (2018). Laporan hasil ujian nasional tahun pelajaran 2017-2018 [software].
Jakarta: Balitbang Kemdikbud RI.Creemers, B. P. M., Stoll, L., & Reezigt,

G. (2007). Effective school improvement-ingredients for success: the results of an international


comparative study of best practice case studies. In International Handbook of School Effectiveness and
Improvement (pp. 825– 838). Dordrecht: Springer Netherlands. https://doi.org/10.1007/978-1-4020-5747-
2_44

Eriany, P., Hernawati, L., & Goeritno, H. (2014). Studi deskriptif mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi motivasi mengikuti kegiatan bimbingan belajar pada siswa SMP di Semarang.
Psikodimensia, 13(1), 115–130. https://doi.org/10.24167/psiko.v13i1.282

Elliot, S. N., Kratochwill, T. R, Cook, J. L., et.al. (2000). Educational psychology: effective teaching,
effective learning. Boston, MA: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Goodson-Espy, T., Cifarelli, V. V., Pugalee, D., Lynch-Davis, K., Morge, S., & Salinas, T. (2014).
Applying NAEP to improve mathematics content and methods courses for

preservice elementary and middle school teachers. School Science and Mathematics,

114(8), 392–404. https://doi.org/10.1111/ssm.12093

Huriaty, D., & Mardapi, D. (2014). Akurasi metode kalibrasi fixed parameter: studi pada perangkat ujian
nasional mata pelajaran matematika. Jurnal Penelitian Dan Evaluasi Pendidikan, 18(2), 188–201.
Retrieved from http://journal.uny.ac.id/index.php/jpep

Isgiyanto, A. (2012). Dasar dan ketuntasan atribut butir soal ujian nasional matematika model Rasch.
Jurnal Kependidikan, 42(2), 110–117.
Kartowagiran, B. (2008). Dimensional validity of mathematics test in the national exam for junior
secondary school (SMP) 2003-2006. Jurnal Penelitian Dan Evaluasi Pendidikan, 12(2), 177–195.

Retnawati, H., Hadi, S., Nugraha, A. C., Arlinwibowo, J., Sulistyaningsih, E., Djidu, H., … Iryanti, H. D.
(2017). Implementing the computer-based national examination in Indonesian schools: the challenges and
strategies. Problem of Education in the 21st Century, 75(6), 612–633. Retrieved from
http://oaji.net/articles/2017/457-1513710818.pdf

Rosa, P. H. P., & Gunawan, R. (2015). The clustering of high schools based on national and school
examinations. International Conference on Data and Software Engineering (ICoDSE), 231–236.

Sanjaya, W. (2011). Strategi pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.

Santrock, J. W. (2008). Psikologi pendidikan. (Dierjemahan oleh Tri Wibowo B. S.) New York:

Santrock, J.W. (2014). Educational psychology. Terjemahan oleh Harya Bhimasena. 2014. Jakarta:
Salemba Humanika

Savin-baden, M., & Major, C. H. (2004). Foundations of problem-based learning. Oxford University
Press.

Saylor, G. (1974). How to use the findings from

national assessment. NASSP Bulletin, 58(383),

63–70.

https://doi.org/10.1177/01926365740583830

Suardana, A. A. P. C. P., & Simarmata, N. (2013). Hubungan antara motivasi belajar dan kecemasan pada
siswa kelas VI sekolah dasar di denpasar menjelang ujian nasional. Jurnal Psikologi Udayana, 1(1), 203–
212. Retrieved from https://ojs.unud. ac.id/index.php/ psikologi/article/view/25080

Sulistyaningsih, E., & Sugiman, S. (2016). The effect of CBT national examination policy in terms of
senior high school students’ cognitive readiness and anxiety facing mathematics

tests in DIY Province. Jurnal Riset Pendidikan

Matematika, 3(2), 198–208.

https://doi.org/10.21831/ jrpm.v3i2.1086.

Anda mungkin juga menyukai