Anda di halaman 1dari 36

Aplikasi radioimmunoassay (RIA) untuk peningkatan ... (Ors. Totti Tjiptosumirat, MRur.Sc.

APLIKASI RADIOIMMUNOASSAY (RIA) UNTUK PENINGKA TAN


PENAMPILAN REPRODUKSI TERNAK RUMINANSIA

Totti Tjiptosumirat
Pusat Diseminasi Iptek Nuklir, SATAN, Jakarta
e-mail: totti-t@batan.go.id

ABSTRAK

APLIKASI RADIOIMMUNOASSAY (RIA) UNTUK PENINGKATAN REPRODUKSI TERNAK


RUMINANSIA. Telah dilakukan suatu rangkaian kegiatan penelitian yang bertujuan untuk
mengaplikasikan suatu teknologi radioimmunoassay (RIA) terhadap hormon progesteron (P4) guna
evaluasi penampilan reproduksi ternak ruminansia besar khususnya ternak sapi perah. Rangkaian seri
penelitian dimulai dengan penelitian pendahuluan yang bertujuan melihat korelasi antara jumlah korpora
lutea (KL) dengan tingkat konsentrasi hormon P4 pada ternak kambing. Penelitian ini menggunakan 12
ekor ternak kambing peranakan etawah dengan mengaplikasikan teknik laparoskopi untuk memonitor
jumlah KL dan RIA P4. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi maksimum yang berbanding lurus
antara jumlah KL dengan konsentrasi hormon P4 (r = 0,91) dengan tingkat signifikansi P<0,01. Makin
banyak jumlah KL, makin tinggi tingkat konsentrasi hormon P4 dalam plasma. Korelasi mencapai tingkat
maksimum saat pertengahan fase luteal. Hasil dari kegiatan penelitian berikutnya, yang bertujuan untuk
melihat korelasi antara gambaran profil hormon P4 dengan status reproduksi ternak sapi perah post
partum, yang melibatkan 54 ekor ternak sa pi perah, terbagi menjadi kelompok ternak yang diberi pakan
tambahan dan kontrol setelah melahirkan, menunjukkan bahwa pemulihan kondisi biologis ovarium
untuk dapat beraktivitas dapat dipantau dengan profil hormon P4. Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa tingkat kualitas pakan sangat mempengaruhi kondisi biologis ovarium untuk dapat aktif kembali
setelah ternak melahirkan. Dengan menggunakan RIA P4 didapat informasi dari perlakukan pemberian
pakan tambahan dan kontrol post partum sebagai berikut: tenggang waktu dari melahirkan hingga
berahi pertama 55,5 ± 4,6 vs 99,2 ± 10,2 hari; tenggang waktu dari melahirkan hingga layanan IB
pertama 96,7 ± 13,6 vs 136,2 ± 6,9 hari; tenggang waktu dari melahirkan hingga kebuntingan berikutnya
post partum 103,0 ± 3,0 vs 198,7 ± 14,9 hari; dan tenggang waktu antara dua kelahiran 371,3 ± 15,6 vs
403,8 ± 7,7 hari, masing-masing untuk ternak sapi dengan perbaikan pakan dan kontrol post partum.
Hasil akhir dari kegiatan penelitian lanjutan, yang bertujuan untuk diagnosis awal, dengan teknik RIA
progesteron, pada ternak sapi perah yang mengalami gangguan reproduksi, menunjukkan bahwa
ternak yang terlobat dalam kegiatan ini mempunyai ovary yang aktif, namun tidak terdeteksi secara
visual. Kegagalan IB lebih cenderung disebabkan karena faktor kegagalan dalam deteksi berahi ternak,
pemeliharaan ternak yang dibawah standar, dan tidak adanya pencacatan (historical record) individu
ternak. Pemanfaatan RIA P4 dalam hal ini bersifat memberikan informasi kondisi biologis ternak,
khususnya yang berkaitan dengan kinerja reproduksinya. Keadaan ternak yang mempunyai gangguan
reproduksi cenderung lebih disebabkan karena tidak adanya penanggulangan atau pemeliharaan yang
baik saat ternak mengalami keadaan yang memerlukan tindakan antisipatif. Dengan data yang
terkumpul melalui teknik RIA P4 untuk setiap individu ternak betina, rekomendasi untuk peningkatan
kinerja reproduksi dapat diberikan.

Kata kunci: RIA P4, reproduksi ruminansia, progesteron.

ABSTRACT

APPLICATION RADIOIMMUNOASSAY (RIA) TO IMPROVE RUMINANT REPRODUCTION.


An experiment serial has been conducted in the application of radioimmunoassay (RIA) progesteron
(P4) technique to evaluate reproductive performance of large ruminant, especially on dairy cattle. The
experimental series was commenced with investigating the correlation between the number corpora
lutea (CL) and P4 concentration level. The experiment was envisaged 12 Ettawa crossbred goat
applying laparoskopi technique to monitor number of CL, and RIA P4. Result confirming correlation
between number of CL and level of plasma P4 (r = 0.91) with P<0.01. High concentration of P4 found
with more CL monitored. Maximum correlation is found at mid lutheal phase. Results from the next
experiment that was aimed to follow the correlation between P4 profile and reproductive status of dairy
cattle post partum, which involved 54 animals divided into two groups of feeding; supplement and
control, indicated that the biological recovery of ovaries could be monitored using P4 profile. The result
of this experiment shown that level of feeding is significantly altering the ovaries in maintaining its
biological activities post partum. Information rises from applying RIA P4 - from feeding treatment -

141
Iptek Nuklir Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti ISSN 2087-8079

between supplemented and control animals are: calving to first estrus interval 55,5 ± 4,6 vs 99,2 ± 10,2
days; calving to first AI service 96,7 ± 13,6 vs 136,2 ± 6,9 days; calving to first conception 103,0 ± 3,0 vs
198,7 ± 14,9 days; and calving to calving interval 371,3 ± 15,6 vs 403,8 ± 7,7 days, respectively for
supplemented and control animals. Final experiment, aimed at the utilization of RIA P4 for early
diagnosis of reproductive disorder of dairy cattle was conducted using animals - choose by farmers -
which experienced with several Als failure and undertaken in two locations, Garut and Yogyakarta
following the P4 profile using RIA technique confirming that the low success rate of AI is due to failure of
heat detection, under management farming system, and no historical records for each cattle. The
utilization of RIA P4 technique in this experiment is more likely providing information of biological status
of the female animals, especially that related to the reproductive performance. The reproductive disorder
of female animals involved in this experiment is more to be because of lack anticipation program and
under level management system in maintaining animal, and therefore no precaution handling to improve
reproductive performance. Recommendation to improve reproductive management can be given from
RIA P4 individual data collection.

Keywords: RIA P4, ruminant reproduction, progesteron.

BABI PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peningkatan produksi ternak khususnya ternak ruminansia, dapat dilakukan dengan


cara memperhatikan faktor nutrisi, kesehatan dan reproduksinya. Ketiga faktor tersebut harus
diaplikasikan bersama sehingga peningkatan produksi ternak secara kualitatif dan kuantitatif
dapat dicapai. Banyak teknologi pakan ternak, veteriner dan reproduksi telah diaplikasikan
guna meningkatkan produksi ternak, namun hasilnya belum dapat meningkatkan produksi
ternak secara optimal. Salah satu bukti yang dapat dikemukakan adalah masih tingginya
impor sapi bakalan secara nasional yang dilakukan oleh pemerintah guna memenuhi
kebutuhan pasokan protein hewani dalam negeri. Selain itu, dalam meningkatkan populasi
ternak sa pi - melalui program inseminasi buatan (IB) - nilai laju kebuntingan (conception
rate: CR) masih di bawah 40% dengan rasio layanan inseminasi per kebuntingan (service per
conception: SIC) hanya mencapai angka 3,5. Hal ini menunjukkan bahwa program IB yang
dilaksanakan pemerintah kurang berhasil dan kemungkinan disebabkan oleh beberapa
kemungkinan, antara lain: waktu layanan IB yang tidak tepat, siklus berahi ternak sapi betina
yang tidak teratur, aktivitas ovarium yang terhambat setelah kelahiran (anestrus), dan kondisi
fisilogis (berahi) ternak yang tidak-terprediksi (silent heat).
Faktor fisiologis ternak berpengaruh besar terhadap keberhasilan reproduksi, namun
tidak semua faktor terse but terekspresikan dalam karakter yang dapat dideteksi secara kasat
mata. Salah satu contoh adalah ternak melahirkan yang mengalami kasus corpus luteum
persiten (CLP) yaitu: keberadaan korpus luteum (KL) yang berkepanjangan setelah
melahirkan dan pada beberapa kasus seekor ternak betina tidak menunjukkan gejala-gejala
berahi pasca melahirkan (post parium). Contoh lain yang dapat dikemukakan, dan sering
dijumpai di lapangan, adalah kasus berahi tenang (silent heat) dan anestrus. Pada kasus ini
ternak mengalami estrus namun karakteristik berahinya tidak dapat terlihat atau tidak
terdeteksi adanya aktivitas pad a indung telur post parium. Keadaan ini memungkinkan untuk
menimbulkan masalah seperti gagalnya layanan IB dan kawin berulang (repeat breeder),
sehingga dapat berdampak pad a proses pengafkiran ternak produktif dengan kategori
sebagai ternak majir (steril).
Ekspresi fungsi faali di dalam reproduksi ternak khususnya pada ternak ruminansia,
kerap terabaikan sehingga tidak jarang memberikan prognosis yang tidak sesuai. Fisiologi
hormon (endocrine physiology) dalam reproduksi ternak merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan dengan peningkatan kinerja reproduksi ternak. Hormon yang berperan dalam
reproduksi ternak dapat dijadikan sebagai suatu indikator untuk kelangsungan reproduksi dan
keberhasilannya, khususnya bila dalam pelaksanaan reproduksi diaplikasikan kawin buatan
atau lB. Penelusuran untuk mengukur konsentrasi hormon reproduksi tersebut, yang
berkaitan dengan penampilan reproduksi ternak, dapat dipantau dengan aplikasi teknik nuklir
melalui proses pelabelan.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dengan teknik perunut yang men~gunakan
penanda radioisotop, seperti: 125-yodium C251), 129-yodium C291), dan 14-carbon C C), dapat

142
Aplikasi radioimmunoassay (RIA) untuk peningkatan ... (Drs. Totti Tjiptosumirat, M.Rur.Sc.)

dimanfaatkan untuk memprediksi kondisi fisiologis ternak, khususnya yang berhubungan


dengan karakter reproduksi. Keberadaan suatu hormon dengan konsentrasi tertentu di dalam
plasma/serum darah dan susu dapat menjadi suatu penciri kondisi faali tertentu pada ternak.
Proses untuk mengetahui jenis dan jumlah hormon tertentu tersebut dapat dilakukan dengan
cara kimiawi ataupun dengan teknik nuklir. Penggunaan radioisotop dalam teknik perunutan
dengan sampel hormon dari ternak yang diamati dapat mendeteksi status faali ternak
tersebut.
Indonesia sebagai negara berkembang yang memiliki sistem peternakan kecil, yaitu
sistem peternakan dengan kepemilikan rata-rata 3-4 ekor per peternak, mempunyai banyak
faktor yang perlu diperhatikan sehubungan dengan peningkatan produksi ternak perah. Hasil
penelitian yang dilakukan terdahulu diperoleh bahwa masalah pencacatan atau rekording
merupakan faktor utama dalam mencapai peningkatan laju reproduksi, dan hal ini
membutuhkan kerja sama antara pemilik ternak dan tenaga teknis di lapangan (petugas IB,
mantri hewan, atau dokter hewan). Oleh karena itu, pemahaman terhadap pentingnya
rekording, sebagai data dasar untuk diagnosis dini status biologis ternak, perlu perbaikan.
Dengan demikian pemberian petunjuk teknis masalah kesehatan dan perawatan ternak pada
peternak harus dilakukan bersamaan dengan pemberian pemahaman akan pentingnya
pen'dataan kondisi ternak dan dilakukan secara lebih komprehensif.

1.2. Perumusan Masalah

Untuk mendapatkan informasi ternak yang lebih lengkap yang berhubungan dengan
tata laksana peternakan sebaiknya rekording ternak hanya mencatat penampilan ternak,
namun juga kondisi fisiologis ternaknya. Diharapkan bentuk dari format pencacatan kondisi
ternak dapat lebih konprehensif dan menyeluruh, termasuk mencacat hasil anamnese atau
diagnosis oleh tenaga medis ternak setempat. Dalam kenyataannya, tindakan antisipatif
untuk pencegahan dari suatu kelainan atau gangguan reproduksi jarang dilakukan
dibandingkan dengan tindakan pengobatan. Pengobatan cenderung lebih diberikan pad a
ternak yang mengalami gangguan reproduksi. Hal ini seringkali merupakan suatu kondisi
yang kurang disukai petani ternak, dan cenderung untuk kemudian menjual ternak yang
mengalami gangguan.
Hormon progesteron merupakan salah satu hormon reproduksi, yang dapat
digunakan untuk memprediksi kelainan atau gangguan reproduksi pada ternak sapi perah.
Dalam prakteknya, identifikasi konsentrasi hormon progesteron dapat dilakukan dengan cara
memeriksa tingkat hormon yang terkandung pad a serum atau plasma darah dan juga pada
susu.
Makalah ini merupakan rangkaian hasil kegiatan penelitian yang telah dilakukan
dengan tujuan akhir mengaplikasikan teknik nuklir yang dapat berperan serta mengupayakan
peningkatan produksi ternak, khususnya dalam hal peningkatan efisiensi reproduksi ternak
ruminansia besar.
Masalah yang diutarakan dalam makalah ini mencakup:
1. Aplikasi teknik nuklir untuk mempelajari korelasi antara konsentrasi hormone
progesterone dengan jumlah korpora lutea (KL);
2. Aplikasi teknik radioimmunoassay (RIA) untuk mendeteksi siklus berahi dan
munculnya berahi pada ternak ruminansia besar;
3. Aplikasi teknik RIA untuk memantau keberhasilan IB pada ternak ruminansia
besar sebagai upaya meningkatkan kinerja reproduksi.
4. Aplikasi teknik RIA untuk mendeteksi kelainan reproduksi pada ternak
ruminansia;

1.3. Hipotesis

Hipotesa dari rangkaian kegiatan dalam makalah ini adalah:


1. Teknik nuklir dapat diaplikasikan untuk mempelajari hubungan konsentrasi
hormone progesterone dengan jumlah korpora lutea (KL);
2. Teknik RIA dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi siklus berahi dan munculnya
berahi pad a ternak ruminansia besar;
3. Teknik RIA dapat dimanfaatkan untuk memantau keberhasilan/kegagalan
layanan IB dan memprediksi gangguan reproduksi pad a ternak ruminansia besar;

143
Iptek Nuklir Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti ISSN 2087-8079

1.4. Tujuan

Makalah ini berisikan rangkuman dari suatu rangkaian kegiatan penelitian yang
mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Mengaplikasikan teknik nuklir dalam bidang peternakan untuk peningkatan
produksi ternak;
2. Melakukan analisis dan interpretasi dengan teknik nuklir terhadap konsentrasi
hormon reproduksi ternak ruminansia besar sebagai upaya mendukung proses
peningkatan kinerja reproduksi ternak, khususnya peningkatan nilai rasio layanan
IB per kebuntingan (SIC);
3. Melakukan analisis konsentrasi hormon dengan teknik nuklir dan interpretasinya
untuk analisis gangguan reproduksi ternak ruminansia besar.

1.5. ManfaatPenelitian

Harapan dari hasil serangkaian penelitian ini adalah membuktikan bahwa metoda
dengan memanfaatkan teknologi nuklir dapat digunakan dalam suatu upaya untuk
mendukung program peningkatan penampilan reproduksi ternak ruminasia besar melalui
peningkatan efisiensi dan keberhasilan lB.

BAB II TINJAUAN PUST AKA

2.1. Siklus reproduksi dan hormon terkait pada ternak ruminansia

Siklus reproduksi berhubungan dengan berbagai fenomena; yaitu pubertas,


kematangan kelamin, waktu atau periode kawin, siklus berahi, tingkah laku berahi setelah
melahirkan (post partum), dan umur. Komponen tersebut dipengaruhi oleh lingkungan,
genetik, status fisiologis. hormon, tingkah laku, dan dan faktor psiko-sosial[1]. Pubertas
merupakan manifes dari kemampuan ternak jantan atau betina melepas gamet, dan keadaan
ini digambarkan seperti tampak pada Gambar 1.

- "-I
penr,aruh
Sekresi
rl':
,~ ¥'
I
E
Penuaan // S
A
Karena
(?)
u
Oogenesis
Steroidogenesis
posiitiffeedback
variable
spermatogenesis
dari estradiol ~ ~
~ AS~/
mPenuaanPertumbuhan
Pengurangan
Diferen
Dewasa
lengkap
Laju
reaktivasi
Periode
~
steOvulasi
roidogenesis
rKelamin
dan
Kualitas
munculnya
Kehidupan
folikel
sperma
Steroidogenesis
Puber
0
OVU
~
KESUBURAN
U uterus
Evolusi

Gambar 1. Skema tahapan perkembangan sistem reproduksi saat neonatal, pubertas,


dan dewasaf1l.

144
Aplikasi radioimmunoassay (RIA) untuk peningkatan... (Ors. Totti Tjiptosumirat, M.Rur.Sc.)

Berdasarkan tahapan perkembangan sistem reproduksi pad a Gambar 1, laju


kebuntingan tinggi akan dicapai pada saat ternak betina telah mencapai dewasa kelamin dan
memiliki siklus ovulasi yang dapat dideteksi. Pada ternak ruminansia besar betina, laju
kebuntingan sangat dipengaruhi oleh siklus berahi, yaitu siklus yang mencerminkan
munculnya sel telur (ovum/ova) dari indung telur (ovarium) yang dapat dibuahi. Pubertas atau
dewasa kelamin pad a ternak bervariasi sesuai dengan jenis ternaknya. Kelinci akan
mencapai pubertas saat umur 3-4 bulan, 6-7 bulan pada domba dan kambing, lebih kurang
umur 12 bulan pada ternak sapi, dan 15-18 bulan pada kuda[1.2].Untuk selang periode siklus
estrus dan lama waktu berahi, lebih lanjut dijelaskan oleh HAFEZ dan HAFEZ[1], tiap jenis
ternak mempunyai ciri tersendiri, seperti disajikan pada Tabel1.

Tabel 1. Siklus estrus, berahi, dan saat ovulasi beberapa jenis ternak[1]

Selang waktu siklus Lama berahi


Jenis ternak Waktu ovulasi
estrus (Hari) Uam)
Oomba 16 -17 24 - 36 30 - 36 jam dari mulai
berahi
Kambing 21 20 - 35 12 - 24 jam dari berahi
Sapi 21 - 22 18-19 10 - 11 jam dari akhir
berahi

Pada Gambar 1 ditunjukkan bahwa pubertas dan siklus estrus pada ternak betina
dipengaruhi oleh gonadotropin dalam sirkulasi tubuh ternak. Selanjutnya, aktivitas ovarium
pada ternak betina sangat dipengaruhi oleh luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating
hormone (FSH). Secara sinergi kedua hormon tersebut mempengaruhi proses
perkembangan sel telur (dalam proses oogenesis), dan kemudian akan berpengaruh pad a
pembentukan hormon estrogen (estradiol) dan progesteron (P4).
Oari beberapa hasil penelitian dijelaskan bahwa estrogen/estradiol adalah
merupakan fluida folikel mengandung steroid dan glikoprotein yang disintesa oleh sel-sel
dinding folikel (folikel antral), dan folikel antral yang berukuran besar banyak mengandung
1713-estradiol[3J• Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam suatu siklus estrus, berahi ternak dapat
dikarakterisasikan dengan adanya peningkatan konsentrasi estrogen dan akan menyebabkan
timbulnya "penerimaan untuk kawin,,[3].
Pertumbuhan, pematangan, ovulasi, dan pecahnya folikel dewasa (folikel Graafian)
tergantung pada jumlah konsentrasi yang cukup dari rasio hormon gonadotrpin, yaitu FSH
dan LH. Follicle Stimulating hormone berperan meng-inisiasi bagian antral dari folikel
sekaligus men-stimuli pertumbuhan LH reseptor se!. Oengan jumlah LH reseptor yang
bertambah, sensitivitas folikel terhadap LH meningkat yang kemudian menyebabkan proses
pecahnya folikel (luteinized) sebagai proses sekresi sel telur (ovulasi). Setelah terjadi ovulasi,
folikel terovulasi akan bertransformasi menjadi korpus hemoragikum (KH) yang selanjutnya
berubah menjadi korpus luteum (KL). Kondisi perubahan konsentrasi hormon estrogen,
proses pelepasan sel telur (ovulasi), dan konsentrasi hormon P4 disajikan pada Gambar 2
dan 3.

Kondisi tidak Bunting

Siklus Estrus (hari) 1 3 14 17


Stadium Proestrus Estrus Metestrus Diestrus Proestrus

Gambar 2. Perubahan tingkat konsentrasi hormon dan keadaan ovarium


selama siklus berahi pada ternak domba£3].

145
Iptek Nuklir Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti ISSN 2087-8079

Kondisi awal Kebuntin~an Conceptus Production


CL of IFN-t

o
SiklusEstrus (bari) 1 3 14 17
Stadium Proestrus Estrus Metestrus Diestrus Proestrus

Gambar 3. Perubahan tingkat konsentrasi hormon dan keadaan ovarium


saat terjadi kebuntingan pada temak domba{3].

Dari Gambar 2 dan 3 tampak bahwa pad a saat met-estrus dan diestrus, KL
mensekresikan progesteron dengan konsentrasi maksima!. Saat fase luteal (yaitu saat korpus
luteum mensekresikan hormon P4), masih terjadi pertumbuhan folikel-folikel lain di dalam
ovari. Namun, adanya konsentrasi progesteron, menyebabkan folikel menjadi tidak
berkembang dan berubah menjadi jaringan mati atau atresia. Dalam keadaan sel telur tidak
dibuahi pad a saat hari ke 3 hingga 14 siklus estrus, dan dalam keadaan pengaruh hormon
P4, endometrium uterus hanya akan sedikit mensekresikan prostaglandin alpha (PGF2a),
demikian pula sensitivitas terhadap estrogen menjadi keci!. Sampai dengan hari ke 14 siklus
estrus, pengaruh hormon P4 mulai menurun, yang ditandai dengan peningkatan sensitivitas
ovari terhadap estrogen. Keadaan ini menyebabkan endometrium uterus dapat
mensekresikan PGF2a dan sebagai akibatnya fungsi KL menurun dan kemudian meluruh
(lysis).
Keadaan berbeda apabila sel telur yang diovulasikan terbuahi (fertilized) dan
kemudian terimplantasi pada endometrium uterus, menyebabkan tersekresinya harmon
interferon (IFNy) pad a hari ke 12 hingga 21 pasca ovulasi yang akan mempertahankan fungsi
KL mensekresikan harmon P4 (Gambar 3).
Besarnya pengaruh hormon P4 dalam siklus estrus, yang antagoni dengan
munculnya hormon estrogen sebagai penyebab munculnya karakteristik berahi, dan tingkat
keberadaanya yang tinggi selama kebuntingan menyebabkan hormon P4 ini digunakan
sebagai "tandau adan¥ia aktivitas pad a ovarium, kelainan pada siklus reproduksi, dan juga bila
terjadi kebuntingan[1-]. Dari hasil penelitian oleh M. BLANCO[5] pada ternak domba, dan
SELVARUJU[6] pad a ternak kambing, dinyatakan bahwa konsentrasi hormon progesteron
secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah korpora lutea yang terdapat pada ovarium.
Menurut TJIPTOSUMIRAT, T[4] juga dinyatakan bahwa tingkat konsentrasi hormon P4
berhubungan erat dengan jumlah KL yang muncul dari ovari setelah ovulasi, seperti disajikan
pada Gambar 4, yaitu semakin banyak jumlah KL, semakin tinggi konsentrasi hormon P4.
Hasil penelitian ini juga mengkonfirmasikan bahwa tingkat konsentrasi hormon progesteron
dapat dijadikan sebagai indikator untuk potensi kemungkinan kembar. Namun, keadaan ini
belum mencerminkan akan adanya peningkatan keberhasilan kembar, karena kambing jantan
yang digunakan hanya berfungsi untuk memberikan pengaruh jantan (buck effect) guna
menstimulasi terjadinya berahi ~ang kemudian berlanjut dengan ovulasi, seperti yang telah
dibuktikan oleh FREITAS, et.al.[ ] dalam penelitian sebelumnya.

146
Aplikasi radioimmunoassay (RIA) untuk peningkatan ... (Ors. Totti Tjiptosumirat, MRur.Sc.)

:::c::
1 (J)
a.
CI>

.s:::r •..
CI>
0CI
"-(J)
10,0
CI>
I:!
~
t:
'(jj 6,0
2,0
4,0
0,0
8,0 --
II
~
L 2
I Hari ke 11: Y = 1,11X + 2,17; r=0,91

Hari ke 2: Y = 0,37X + 0,53; r=0,88


• --

3 4 5
Jumlah CL

Gambar 4. Hubungan antara konsentrasi serum progesteron dengan jumlah


korpora lutea (KL) pada hari ke 2 dan ke 11 (fase luteal) setelah
sinkronisasi berahi pada ternak kambing pE!4J.

2.2. Inseminasi Buatan

Inseminasi buatan pertama diperkenalkan pertama kali di Indonesia kurang lebih


pada tahun 1965. Tujuan dari diperkenalkannya teknologi IB ini adalah karena keuntun~an-
keuntungan yang didapat dalam menerapkan IB, seperti yang diungkapkan oleh OALL yl . Oi
dalam pelaksanaan IB, beberapa keuntungan yang dapat diperoleh adalah: (1)
memungkinkan penggunaan bibit pejantan unggul pada jumlah ternak betina yang besar dan
pada areal yang luas; (2) memfasilitasi uji progeny dalam suatu tata laksana dan lingkungan
yang terkontrol; (3) perbaikan dari penampilan dan potensi peternakan secara nasional; (4)
memberikan suatu peluang untuk kawin silang (cross breeding) untuk peningkatan produksi;
(5) memacu introduksi genetik baru; (6) memperkaya plasma nutfah dari jenis pejantan
unggul; (7) mengurangi penyebaran penyakit; (8) dapat dilakukan secara bersamaan dalam
jumlah populasi ternak yang besar setelah dilakukan sinkronisasi berahi; dan (9) merupakan
suatu "alat" penelitian untuk mempelajari fisiologi reproduksi ternak jantan dan betina.
Oengan keuntungan tersebut dan seiring meningkatnya demand akan pasokan protein
hewani, khususnya dari ternak besar, program intesifikasi IB perlu untuk terus digalakkan.
Saat ini, program IB telah dilaksanakan hampir di seluruh wilayah sentral peternakan di
Indonesia. Namun, dari survei yang pernah dilakukan TJIPTOSUMIRAT, dkk[9J, keberhasilan
laju kebuntingan (conception rate: CR) dari hasil IB di beberapa wilayah di Indonesia
hanyalah 32% dengan rasio jumlah layanan IB per kebuntingan (SIC) mencapai 3,4.
Keadaan ini menunjukkan bahwa pelaksanaan IB masih belum efektif dan hasil yang dicapai
belum efisien untuk meningkatkan penampilan reproduksi.

2.2.1. Manajemen pejantan untuk koleksi semen

Sapi jantan yang diperlihara dan diberi pakan dengan baik dapat dikoleksi semennya
pada saat ternak mencapai umur 12 bulan untuk sapi, 7-8 bulan untuk kambing, domba, dan
babi, dan 24 bulan untuk kuda[8J. Program penjadwalan yang benar merupakan suatu bagian
yang tidak dapat dilepaskan dalam manajemen proses koleksi semen dari pejantan[11]. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa pemanfaatan ternak betina pemacik, ternak jantan lain, atau ternak
jantan yang telah dikastrasi merupakan teknik yang efektif untuk mengkoleksi semen dari
pejantan unggul[8 dan 11].Semen yang telah dikoleksi dapat disimpan pad a nitrogen cair dan
dalam jumlah sesuai dosis yang dibutuhkan dengan sistem pencatatan terkendali untuk
dimanfaatkan kemudian.

2.2.2. Oeteksi berahi

Inseminasi buatan dapat diberikan kepada ternak betina yang telah mengalami
berahi atau estrus. Akurasi deteksi berahi menjadi syarat utama dalam memberikan layanan

147
Iptek Nuklir Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti ISSN 2087-8079

IB pada ternak sapi betina. Setelah terjadi berahi, maka akan merupakan saat yang tepat
untuk dapat dilakukan IB, seperti disajikan pada Tabel 1. Pengecekan tanda-tanda berahi ini
sebaiknya dilakukan setiap hari[11]agar layanan IB yang diberikan dapat menghasilkan laju
kebuntingan yang tinggi.
Pada proses berahi, konsentrasi hormon estrogen meningkat dan memberikan
pengaruh pada munculnya karakter berahi, seperti disajikan pad a Gambar 6. Ciri-ciri berahi
ternak betina adalah nafsu makan yang berkurang, gelisah dengan sering kali melenguh,
saling menaiki (mounting) sesama, muncul lendir jernih pad a vulva, dan vulva yang
membengkak yang disertai dengan sedikit meningkatnya suhu badan. Apabila terdapat
ternak jantan yang dekat dengan ternak betina berahi tersebut, maka perkawinan segera
terjadi dengan peluang keberhasilan kebuntingan tinggi.

2.2.3. Teknik Inseminasi Buatan

Layanan IB dapat dimulai dengan thawing semen straw pada suhu 37°C. Straw
semen dimasukkan ke dalam gun untuk kemudian dimasukkan ke dalam liang vagina
sebagaimana pad a Gambar 5.

Gambar 5. Inseminasi buatan pada ternak sapi. Gun Apllicator semen dimasukkan
hingga melampaui serviks dengan dipandu jari tangan kanan inseminatol11J.

BOGART dan TAYLOR[11] menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan IB, beberapa


tingkat kedalaman untuk melepas semen ke dalam organ reproduksi ternak betina terdiri dari:
tingkat 1: semen dilepas di dalam rongga vagina; tingkat 2: semen dilepas di dalam uterus
(dimana gun aplikator telah masuk melampaui serviks); dan tingkat 3: semen dilepas di salah
satu cornua dari organ reproduksi ternak betina. Kemungkinan untuk berhasil bunting adalah
apabila semen dilepas pada tingkat 3, namun, hal ini lebih disarankan bagi inseminator yang
telah memahami ilmu fisiologi reproduksi lebih baik.

148
Aplikasi radioimmunoassay (RIA) untuk peningkatan ... (ors. Totti Tjiptosumirat, MRur.Sc.)

:2 345678
Hari

Gambar 6. Skematik estrus ternak betina yang menunjukkan gejala berahi dan
mengundang pejantan untuk kawin. Proses ini memicu siklus berhai ternak
dengan kontrol pelepasan hormon estrogen yang diatur dengan
mekanisme pada kelenjar Hipothalamus/11J.

Walaupun mempunyai banyak keuntungan, secara umum, beberapa hal yang


menyebabkan kegagalan 18 antara lain: penanganan semen straw yang tidak sesuai
terutama saat dilakukan thawing, pelaksanaan 18 pada saat yang tidak tepat (disebabkan
karena gagal deteksi berahi dan 18 dilakukan saat pad a fase luteal), pengalaman kerja
inseminator, kondisi faali ternak betina, dan faktor genetik. Hasil survei yang telah dilakukan
oleh TJIPTOSUMIRAT, dkk[9,12J, menunjukkan bahwa proporsi kegagalan 18 yang disebabkan
karena waktu pelaksanaan 18 yang tidak tepat adalah 34%, kegagalan 18 akibat yang
disebabkan oleh petugas 18 15%, kegagalan 18 yang disebabkan oleh status faali ternak
betina; 30%, dan sisanya disebabkan karena faktor lain yang meragukan. Menurut
TEOLIHERE[13] juga dinyatakan bahwa kegagalan 18 dapat disebabkan oleh faktor manusia
(pelaku 18), gangguan reproduksi hewan jantan, dan kegagalan reproduksi hewan betina.
Secara umum, keberhasilan dan kegagalan layanan 18 dipengaruhi oleh kondisi
ternak betina. Keberadaan dan peranan hormon P4 selama siklus berahi (estrus) ternak
betina merupakan bentuk gambaran status fisiologis reproduksi ternak tersebut, karena
munculnya hormon P4 berhubungan erat dengan kondisi ovarium (ovary). Adanya aktivitas
ovarium saat pubertas (Gambar 2), saat kebuntingan (Gambar 3), saat post partum (setelah

149
Iptek Nuklir Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti ISSN 2087-8079

kelahiran), dan adanya gangguan status reproduksi dapat diketahui dengan memantau
tingkat konsentrasi hormon P4. Dengan demikian, keberadaan konsentrasi hormon P4 dalam
darah atau susu juga dapat digunakan untuk memprediksi status reproduksi ternak betina.

2.3. RadioimmunoassayHormon Progesteron

Teknologi yang paling banyak digunakan untuk peningkatan populasi ternak,


khususnya ternak ruminansia saat ini masih menggunakan teknik Inseminasi Buatan (IB;
artificial insemination). Selain dari keuntungan-keuntungan yang telah disebutkan
sebelumnya, pemanfaatan IB eenderung meningkat dengan memperhatikan beberapa faktor
lain, di antaranya adalah efisien dalam penggunaan sperma pejantan, lebih murah, mudah
diterapkan hingga tingkat petani ternak keeil, dan mudah dipantaul2J. Keberhasilan
pelaksanaan IB tergantung pada akurasi hasil pengamatan terhadap gejala-gejala berahi
ternak. Pengamatan berahi dilakukan berdasarkan pada kondisi dan tingkah laku ternak,
seperti berkurangnya nafsu makan ternak, saling menaiki antara satu den~an yang lain
(mounting), vulva vagina yang membengkak, dan keluarnya lendir dari vulvaI2,14.
Agar kondisi berahi dapat diketahui seeara lebih tepat, aplikasi teknik nuklir (TN) yang
didasari dengan ikatan antigen dan antibodi dapat dilakukan, yang dikenal dengan
radioimmunoassay (RIA). Teknik RIA merupakan suatu eara pengukuran yang bersifat
indireet[15], karena dasar dari teknik RIA ini adalah kompetisi antara hormon yang dilabel
dengan radioisotop dengan hormon yang sama tetapi tidak dilabel (dalam sampel) untuk
bersaing berikatan dengan antibodi hormon yang diukur.
Salah satu hormon yang spesifik terhadap kondisi berahi ternak adalah hormon
progesteron. Dengan me-label hormon progesteron dengan radioisotop iodium-125 C251), dan
selanjutnya dengan membiarkan terjadinya kompetisi antara antibodi yang berasal dari
sampel dengan antibodi yang berlabel, kondisi berahi "sebenarnya" (true estrus) dapat
diketahui dengan tepat. Skema ilustrasi teknik RIA disajikan pada Gambar 7.

Radiolabelled Sample Of
antigen standard

6~~tl60
•• 3~.30
Binding c8
protein' 1. ~
Incubate Separate bound
from free Count & ~
calct.Cale ii:)60r·
40 ·..\"": \ (UnknO•••
·lns
20

10

Gambar 7. Prinsip dasar radioimmunoasaay; kompetisi antigen dengan antibodpsJ.

Dengan diketahuinya teknik RIA progesteron ini, maka pelaksanaan program


peningkatan populasi ternak melalui IB dapat ditingkatkan laju keberhasilannya dan
diharapkan akan bersifat lebih ekonomis.
Pada penelitian yang dilakukan oleh TJIPTOSUMIRAT et. aI.19], TUASIKAL et. a/.
(2004)[10], dan TJIPTOSUMIRAT et. a/.l17] pengamatan berahi didasarkan pada tingkah laku
ternak sapi perah yang kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan IB, menunjukkan nilai
jumlah IB per kebuntingan (service per conception; SIC) berkisar antara 2,9-3,6, khususnya
pada ternak multiparus (yang telah melahirkan atau paritas > 2). Keadaan ini menunjukkan
bahwa IB dilakukan pada saat fase luteal atau anestrus[18,19].Lebih lanjut dijelaskan bahwa
status biologis ternak post partum untuk dapat dikawinkan kembali tergantung pada beberapa
hal, antara lain: ketepatan deteksi berahi seeara visual, status fisiologis indung telur ternak,
tingkat kualitas pakan, dan kondisi lingkungan ternakI13,18,dan 19].
Muneulnya siklus berahi dan keberhasilan IB pasea melahirkan dengan tanpa
pengulan~an la~anan IB merupakan keuntungan ekonomis dalam suatu sistem pemeliharaan
ternakl14,1 . dan 1 ]. Namun, dengan tidak adanya keakuratan dalam mendeteksi berahi post
partum, yang berdampak pada kegagalan IB di lapangan, akan mengakibatkan panjangnya

150
Aplikasi radioimmunoassay (RIA) untuk peningkatan ... (Ors. Totti Tjiptosumirat, M.Rur.Sc.)

interval waktu antar kelahiran. Keadaan ini mengakibatkan kerugian yang cukup besar akibat
biaya pemeliharaan yang dikeluarkan tanpa menghasilkan keturunan (yang berarti
keuntungan)[9,13]. Pengamatan berahi yang dikombinasikan dengan memperhatikan kondisi
atau status fisiologis indung telur masih jarang dilakukan, khususnya pada ternak ruminansia
besar post partum. Fase luteal merupakan salah satu kondisi fisiologis pada organ reproduksi
dapat digunakan sebagai acuan dalam mendeteksi munculnya berahi secara lebih akurat[1-3,7-
9]. Pada fase ini korpus luteum pad a ovarium mensekresikan hormon progesteron[1-3J. Hasil
penelitian terdahulu menunjukkan keberadaan konsentrasi hormon progesteron dalam
plasma, serum dan susu ditentukan dengan adanya korpora lutea (KL) yang terbentuk
setelah pelepasan sel telur (ova) pada ovarium[3-5J,
Berdasarkan pad a uraian di atas, maka dilakukan suatu percobaan yang bertujuan
memantau status fisiologis ovarium ternak sapi perah post partum dengan mendeteksi tingkat
konsentrasi hormon P4, dan memanfaatkan gambaran hormon progesteron tersebut sebagai
suatu dasar interpretasi untuk dapat mendukung pelaksanaan IB yang lebih efisien. Selain
itu, dipelajari pula pengaruh pemberian pakan suplemen terhadap aktivitas ovarium post
partum.

2.4. Interpretasi Profil Hormon Reproduksi

Reproduksi adalah sistem fungsi tubuh yang secara fisiologik tidak vital bagi
kehidu~an individual, tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau bangsa
hewan 201. Lebih lanjut TOELIHERE[20J menjelaskan bahwa untuk reproduksi, ternak harus
memperoleh asupan pakan yang baik dan gizi yang cukup agar fungsi fisiologi reproduksinya
dapat bekerja dengan baik dan optimal. Pada umumnya reproduksi akan berlangsung setelah
hewan mencapai pubertas atau dewasa kelamin[2,3,dan 111. Proses ini diatur oleh sistem syaraf
serta kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon-hormon yang dihasilkannya, seperti pada
ilustrasi yang disajikan pad a Gambar 8. Reproduksi pada hewan betina merupakan suatu
proses yang kompleks, dan mudah mendapat gangguan pad a berbagai stadium siklus
reproduksi.

~
/
~\
I \
/ \
I I
I
,, I
I
\
I I
I I
I \
, I
, ,
, ,I
I
I I
, ,
, L

,, I
I
, I
I I
I I
, FSH I
I I
II //
, I
I /
I, I
'
\
I
,I' 'I
I I
I
I I \\!
I'
I'
1\
\\
I'
I'
"
w. __
1 /'
)
\
\
\
'" Inh,bin
Inhibin L-- Estradiol
Estradiol" ,,
,'-
Progesterone--
Corpus
luteum

Gambar 8. Hubungan antara hipotalamus, kelenjar hipofise (anterior pituitary),


dan indung telur (ovari). Garis lurus mengindikasikan adanya pengaruh
stimulasi, garis putus-putus mengindikasikan adanya
hambatan (inhibitionllJ.

151
/ptek Nuk/ir Bunga Rampai Presentasi I/miah Jabatan Pene/iti /SSN 2087-8079

Penelusuran efisiensi reproduksi seekor sapi perah dapat dilakukan melalui deteksi
konsentrasi hormon P4 yang berada pad a serum/plasma darah atau susu. Progesteron
merupakan salah satu jenis hormon reproduksi yan~ dihasilkan oleh KL dan berfungsi untuk
memelihara kebuntingan pada hewan normal[2-4,dan I. Dari beberapa kasus diketahui bahwa
gangguan reproduksi pada ternak, sering menyebabkan corpus /uteum persisten (CLP)
dimana hormon P4 tetap diproduksi sehingga mengakibatkan siklus berahi menjadi lebih
lama[22,231.
IAEA, sebagai badan tenaga nuklir internasional, merekomendasikan bahwa untuk
pengukuran konsentrasi hormon P4 dalam serum/plasma darah atau susu dapat dilakukan
dengan mengaplikasikan radioimmunoassay untuk wogesteron (RIA P4)[9,13J• Selanjutnya,
dari hasil penelitian terdahulu TJIPTOSUMIRAT, dkk9 dan 131, menyatakan bahwa interpretasi
dari profil konsentrasi hormon P4 dapat mencerminkan status ovari dan penampilan
reproduksi ternak betina secara keseluruhan[13,151.Sehubungan dengan hal tersebut, telah
dilakukan penelitian penggunaan teknik RIA P4 untuk memprediksi status reproduksi ternak
sapi perah dengan menggunakan sam pel susu. Penelitian dilakukan di Garut Jawa Barat dan
Yogyakarta dengan tujuan untuk mengapliksikan teknik RIA P4 sebagai untuk mengetahui
tingkat konsentrasi hormon P4 dalam susu yang dapat mencerminkan kondisi reproduksi
yang terganggu dan untuk melakukan prediksi tindakan pencegahannya.

BAB III BAHAN DAN METODE

3.1. Penelitian 1: Aplikasi RIA P4 untuk Mengetahui Korelasi antara Hormon


Progesteron dengan Korpora Lutea (KL)

3.1.1. Hewan percobaan

Penelitian ini menggunakan 12 ekor ternak kambing betina Peranakan Etawah (PE)
paritas I dan II (yang telah melahirkan 1-2 kali) dengan kisaran berat 24-38 kg. Ternak diberi
pakan dan air minum ad libitum dan dipelihara dengan kandang panggung 2 ekor per
kandang. Ternak akan dibagi menjadi kelompok sesuai dengan jumlah sel telur yang
diovulasi, yaitu kelompok ternak dengan ovulasi kurang atau sama dengan 2 sel telur
(K:52CL) dan kelompok dengan ovulasi lebih dari 2 sel telur (K>2CL). Konsentrasi hormon
progesteron dari kedua kelompok ini kemudian akan dibandingkan dengan menggunakan
perangkat lunak uji-T (T-test software) yang tersedia.

3.1.2. Sinkronisasi berahi dan /aparoskopi

Untuk keseragamaan waktu ovulasi, seluruh ternak mendapat perlakuan sinkronisasi


berahi dengan menggunakan Estrumate® 150 mg sebagaimana dijelaskan oleh FREITAS et.
a/.[71 dan GOTTFREDSON[24J• Setiap ternak kambing mendapat 2 kali injeksi intramuskular
(i.m.) 6 ml estrumate dengan interval waktu 10 hari antara pemberian pertama dao kedua,
dimulai pada hari -11 dan -1 berahi.

Tabel 2. Perlakuan untuk sinkronisasi berahi dengan menggunakan Estrumate®,


pelaksanaan laparoskopi, dan sampling darah.

Hari Kegiatan
Hari -10 Suntikan i.m. 6 ml/ekor
Hari -1 Suntikan i.m. 6 ml/ekor dan sampling
darah
Hari 0 Sampling darah dan introduksi kambing
jantan.
Hari 2 Sampling darah pada hari ke 12 dan
laparoskopi
Hari 11 dan 21 Sampling darah

152
Aplikasi radioimmunoassay (RIA) untuk peningkatan ... (Ors. Totti Tjiptosumirat, M.Rur.Sc.)

Pada hari 0, kambing jantan diintroduksikan dekat dengan kandang seluruh kambing
betina untuk waktu selama semalam, untuk memberikan pengaruh pejantan (buck effect)
sehingga men-stimulasi berahi[21]. Pad a hari ke 1 dan 2, laparoskopi dilakukan pada seluruh
ternak kambing betina untuk pengamatan jumlah dan ukuran korpus luteum. Teknik
laparoskopi yang dilakukan adalah sesuai dengan yang dijelaskan oleh PHILUPO et. aIP5],
WANI[26J, dan WANI, et.al.[27J• Jumlah korpus luteum yang teramati menunjukkan jumlah sel
telur yang terovulasi. Untuk pengamatan konsentrasi hormon progesteron, sampel darah
diambil dari setiap ekor ternak dua kali sehari pad a hari -1, 0, dan 2, dan hari ke 11 serta hari
ke 21 setelah periode sinkronisasi. Secara ringkas kegiatan sinkronisasi dapat disajikan pada
Tabel 2.

3.1.3. Analisis konsentrasi progesteron dengan kit RIA Progesteron

Sam pel darah yang diambil dibiarkan beberapa saat hingga terbentuk serum. Serum
darah tersebut dikumpulkan dan selanjutnya disimpan pada suhu beku -30°C untuk
pelaksanaan assay kemudian. Teknik radioimmunoassay men?gunakan protokol self coating
RIA sesuai dengan yang telah direkomendasikan oleh IAEA[28. Assay ini bersifat fase padat
dengan mengunakan monoklonal antibodi 6H11/14 yang didapat dengan reaksi cara antigen
dengan 11a-hemisuksinat progesteron-8SA, dan dengan perunut radioaktif progesteron 11a
hemisuksinat 2_1251-iodohistamin. Konsentrasi hormon progesteron akan ditentukan dengan
menggunakan kurva standar dengan koefisien keragaman (coefficient variance: CV) internal
dan ekternal masing-masing sebesar 3,5% dan 5,1%. Data konsentrasi hormon progesteron,
jumlah CL, dan diameter CL dari kedua kelompok ini kemudian akan dibandingkan dengan
menggunakan perangkat lunak uji-T (T-test software) yang tersedia.

3.2. Penelitian 2: Aplikasi RIA P4 untuk Deteksi Status Reproduksi Sapi Perah Post
Partum

3.2.1. Ternak dan lokasi

Percobaan melibatkan 54 ekor ternak sapi perah multiparus (yang telah melahirkan
sebelumnya atau paritas ~ 2) dari dua komuniti ternak sapi perah di wilayah kecamatan
Cisurupan Kabupaten Garut Jawa 8arat. Sistem pemeliharaan ternak dilakukan secara
tradisional, dengan setiap petani memelihara 2-3 ekor ternak laktasi. Ternak dipelihara
dengan cara kereman sehingga ternak tidak mempunyai akses untuk merumput. Skor
kondisi badan ternak post partum berkisar antara 1,50-2,75 dalam skala skor antara 1 hingga
4, bobot badan (yang diukur dengan taksiran lingkar dada) antara 340-575 kg per ekor, dan
produksi susu rata-rata 14,93 ± 3,25 L/ekor/hari. Air minum tersedia ad libitum. Seluruh
ternak diberi pakan basal ad libitum yang merupakan campuran hijauan (Tabel 4) dengan
perbandingan tidak tetap. Sebagai tambahan, seluruh ternak mendapatkan konsentrat lokal
dengan jumlah sesuai perbandingan 1:2, yaitu 1 kg konsentrat per 2 liter produksi susu.
Setiap ternak pada kelompok I (K1) tidak diberi pakan suplemen, sedangkan untuk ternak
pada kelompok II (K2) selain pakan yang sama seperti kelompok K1, diberi tambahan pakan
suplemen urea molases multinutrien blok (UMM8) sebanyak 300 g/ekor/hari. Pemberian
pakan suplemen dilakukan saat kering kandang (umur kebuntingan 8 bulan) hingga 2 bulan
post partum. Komposisi proksimat dari jenis pakan yang diberikan disajikan pada Tabel 3.

3.2.2. Pemberian pakan

Kelompok ternak dibagi sesuai dengan daerah komunitas ternak: K1, yaitu kelompok
ternak yang mendapat 18 post partum didasari tanda-tanda secara visual dari berahi ternak
(seperti keluarnya lendir dari vulva, pembengkakan vulva, dan kemerahan pada vulva), dan
K2, yaitu kelompok ternak yang mendapat 18 post partum didasarkan dari hasil interpretasi
konsentrasi hormon progesteron. pengaruh manfaat teknik RIA progesteron ditinjau dari
jumlah 18 per kebuntingan antara ternak yang di 18 dengan tanda-tanda berahi secara visual
dengan ternak yang di 18 melalui hasil interpretasi dari RIA Progesteron.

153
Iptek Nuklir Bunga Rampai Presentasi I/miah Jabatan Peneliti ISSN 2087-8079

Tabel3. Komposisi proksimat pakan ternak sapi perah di kecamatan Cisurupan Kabupaten
Garut Jawa Barat.
B.K.
18.4
82.727.0
7.3
B.a.
S.K.
29,6
24,6P.K.
25,6
14,5
14,5
13,4
14,0
4,0 E(%)2,9
83,415,3
85,514,5
88,2
95,5
83,6
88,414,4
27,0
18,8
20,4
17,2
13,7
30,4
(%D.M.) 4,2
5,5
91,126,3
89,112,0
(%D.M.)
(kJ/gD.M.) 81.1
17,1
10,0
28,9
33,1
17,7
34,3
90,5
25,3
Jenis
BK: pakan
bahan yang
kering; BO:diberikan
bahan organik; PK: protein kasar; SK: serat kasar; dan E: energi.

Sam pel susu diambil dari keseluruhan ternak setiap 14 hari pre partum, 2 kali
seminggu post parium selama 100 hari post parium, dan selang 10 hari sekali sesudah
layanan IB diberikan. Pengambilan sampel susu pre parium tetap dilakukan saat ternak
kering kandang atau 2 bulan menjelang partus, dan sampel susu diambil pada saat pagi hari.
Untuk Kelompok 1, IB dilaksanakan saat ternak menunjukkan gejala berahi, dan untuk
Kelompok 2, IB dilakukan pada hari ke 28 setelah hasil interpretasi hormon progesteron
menunjukkan adanya gejala berahi secara fisiologis hingga 100 hari kebuntingan. Sampel
susu disimpan pada suhu beku untuk kemudian dilakukan assay.

3.2.3. Sampling dan interpretasi profil konsentrasi hormon progesteron dengan kit RIA
Progesteron

Teknik radioimmunoassay yang digunakan sesuai dengan yang telah


direkomendasikan oleh IAEA (7). Analisis RIA yang digunakan bersifat fase padat dengan
mengunakan monoklonal antibodi 6H11/14 diperoleh dari reaksi antigen dengan 110-
hemisuksinat progesteron-BSA, dan dengan perunut radioaktif progesteron 110 hemisuksinat
2_1251-iodohistamin. Konsentrasi hormon progesteron akan ditentukan dengan menggunakan
kurva standar hormon progesteron dengan koefisien keragaman (coefficient variance: CV)
internal dan eksternal masing-masing sebesar 4,2% dan 5,5%.

3.2.4. Interpretasi Data

Interpretasi data yang berasal dari kurva profil hormon P4 dilakukan dengan
menggunakan aplikasi yang dipergunakan dalam form Artificial Insemination yang kemudian
berdasarkan data terbut dilakukan uji lapangan dilakukan oleh tenaga medis di lapangan.
Interpretasi dilakukan dengan menggunakan ketentuan (panduan) yang telah ditetapkan oleh
IAEA, dan juga hasil dari percobaan yang dilakukan oleh ZDUNCZYK, S. et. al.[18J, seperti
disajikan pad a Tabel 4.

Tabel 4. Dasar sistem interpretasi yang digunakan untuk menentukan adanya aktivitas pada
ovarium berdasarkan tingkat konsentrasi hormon progesteron[18].

Tingkat konsentrasi
Interpretasi
hormon P4 (nmol/L)
< 1 Tidak tersedia KL; tidak ditemukan aktivitas pada ovarium
1-3 Selang konsentrasi yang meragukan, tingkat hormon P4 yang ada
dapat diartikan dengan berbagai macam keadaan reproduksi.
Pada konsentrasi ini, tidak ada rekomendasi yang dapat diberikan.
Pemeriksaan lebih lanjut hasil RIA P4, perlu untuk dikonfirmasikan
kepada tenaga medis/veteriner di lapangan, yang kemudian
digunakan untuk mengoreksi hasil interpretasi dengan RIA P4.
>3 Menandakan adanya kegiatan/aktivitas pada ovarium, dan dapat
diartikan sebagai kebuntingan.

154
Aplikasi radioimmunoassay (RIA) untuk peningkatan ... (Ors. Totti Tjiptosumirat, M.Rur. Sc.)

Interpretasi kandungan hormon progesteron dilakukan per individu ternak. Data profil
konsentrasi progesteron per kelompok disajikan dalam bentuk nilai rerata dengan terlebih
dahulu dilakukan sinkronisasi (adjustment) waktu sesuai dengan saat sapi melahirkan
(parturition day). Kondisi gambaran hormon progesteron per kelompok diharapkan mewakili
status fisiologis ternak post partum pada setiap kelompok. Konfirmasi dari kebuntingan
dilakukan dengan rektal palpasi oleh petugas kesehatan ternak lapangan 60-90 hari paska
lB.
Pengujian data tenggang waktu dari setiap individu ternak dalam setiap kelompok
dilakukan dengan menggunakan Uji T untuk melihat perbedaan yang terjadi akibat perlakuan
yang diberikan pad a ternak sapi perah.

3.3. Penelitian 3: Aplikasi RIA P4 untuk Pemantauan Gangguan Reproduksi pad a


Ternak Sapi Perah

3.3.1. Ternak dan lokasi

Dua puluh ekor ternak sapi perah yang mempunyai penampilan reproduksi rendah
digunakan dalam percobaan ini. Lima ekor ternak berlokasi peternakan di Garut dan 15 ekor
ternak berlokasi di Yogyakarta. Skor kondisi badan dari ternak yang digunakan pad a
percobaan ini adalah 1,75-2,5 dan 2,0-2,5, masing-masing untuk ternak yang berlokasi di
Garut dan Yogyakarta. Diagnosis awal (anamneses) sebagai gambaran dasar kondisi pada
20 ekor ternak disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Diagnosis awal (anamneses) dari setiap ekor sa pi perah yang diduga memliki
kelainan reproduksi.

No. AnimallD Location Anamneses


1. A Garut Tanpa recording individu; paritas lebih kurang
(Ik) 6; umur Ik. 6-7 tahun; tanggal terakhir
•••••••••••••••• - ••••• - -. - ••••••••••••••••••••• -. - - u. _ •••••••••••••••••• __ • __ •
melahirkan tidak ada .
n_._ ••••••••••••• n_.un_ •••••• UUhnn hu_nn_nnn ••••••••• n nn. __ n •• 00_

2. B Garut Tanpa recording individu; paritas lebih kurang


(Ik) 7; umur Ik. 6-7 tahun; tanggal terakhir
----- •••••••• -- •••••••••• - •••• ----- •••••••••••••••••••••• '.--00 •••••••••••••• n __ •••••
melahirkan tidak ada.
_ ••• uuuUh_hnn._ •• uhhh._ •• nnn. n __ h_ •• nnnnn nn un.nn_.nun •

3. C Tanpa recording individu; paritas lebih kurang Garut


·····n·.mn · nj!.~P; ..l:'f!1.LJ~.~~~.9.~n!~~~~~i.a.;n§.~§n~!?~d;!9.9.9L.I.f:3:
00 •••••••••••••••• •••••• •••••••••.m
4. D Tanpa recording individu; paritas lebih kurang Garut
...m..nn n.nnjl.~)..~;n9.9.g.9.U.f:3;n§.~f:3}.,9.9.:.mmmh
00 •• 00··· •••• ..mm.nmmmnnm.h.h
00 ••••••••••••••• n n
.
5. F Tanpa recording individu; paritas lebih kurang Garut
(Ik) 3; tidak pernah menunjukkan berahi lagi;
•••••••••••••••• n.~~.f:3
00········.·· ..1. !.??:h.n.mm.m.m.mhh.hmnn
••••••••••••••• nm.nm.mn.hm
00 00 •••• •••••••••••• 00.00 •••••••••• 000. ••• 00 00 00.00 __

6. Sartono (Krisna) Yogyakarta Tanpa recording individu; bibit pedaging; IB


••••••• •••• moo
• ••••••••••• 00.P.a.~<:I. pa.9.!..~.9.r.i.n
•••••• .mmmnh. mm n
•• 00 •••••••••••• mm . 00 ••••• 00 •••• 00000.000..

7. Saeri (Krisna) Yogyakarta Tanpa recording individu; pernah mengalami


retensio secundinae; mendapat layanan IB
yang diperkuat dengan kawin alam pada
•••••• 00 •• 00 ••••••••••••••••••• •••• m.~.~~<:I~.~.P.~.rt.a..'!'.9.J>~~.t.P'3.~.LJ'!1:nm.n
••• 00.00 ••••• •••••• ..mmhnnm
.....mmh...
••• 00 ••••••••••••••••••••••••••••••••••

8. Suyanto (Ngipiksari) Yogyakarta Tanpa recording individu; umur Ik. 5 tahun;


bobot badan (BB) Ik. 300 kg; 3 kali gagallB; IB
.mmmnmhnh .. nn. n....nnmh.nnn.mnhnn .. m.mm.~~.~n~.a.a.tn~i!'3..~~.~.a..r1.P~.'!'.9.r1.tC3.~.9.r1:h.:
mmn.... nn.hn 00000000 •••••• 00 •••

9. Seno (Ngipiksari) Yogyakarta Tanpa recording individu; paritas lebih kurang


(lk) 3; umur Ik. 5 tahun;BB: 350 kg; SKB: 2; 3
kali IB; produksi susu 12 L/hari; IB ke 4 saat
........................................................................................
n~i.I.9.~.LJ~.C3.r1..p.~f!1'3.r:'
ta..LJ
<:Ir:'
:.hhnnm. hhnm 00 00 •••••• 00 0000 •••• 0.0.00

10. C9 (UNT) Yogyakarta Tanpa recording individu; paritas lebih kurang


.hn'nmmnnh.h nnnmnnnhhnmnnnh h.. ·..nmmnn n..(!.~)..~;..!.f:3.P~~.a..'!'.9n~.9.9~.~!!.~.~l:'~.a..r1.P~.'!'.9.r1.t<:l~.'3.r1.:
.
11. C8 (Untung) Yogyakarta Tanpa recording individu; paritas lebih kurang
(Ik) 2; merupakan akseptor program embrio
transfer (ET).

155
Iptek Nuklir Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti ISSN 2087-8079

No. AnimallD Location Anamneses


12. C14 (Untung) Yogyakarta
Tanpa recording individu; paritas lebih kurang
(Ik) 2; merupakan akseptor program embrio
.m.mnmmnmnmmm.mmnn
..m n n.h hm.mh
..m..m.m m.mn.~~a..r1.~f.~r.J~!.).:.mnnn.nnnn.n.nnnnh.h.hh.hhh.hh.hh.h.h.hh
..nm .
.m..1.~:nnm!S~t.a.mnh.hnhnnm ....X<:>gy.a..~c:lr:tc:l.n
..hTa..r1p.C1
..r.~~<:>~~.i.I1.g
..it:1~.iy.i.~.LJ.;
...~..~.C1I.i..gc:lg.a..l.!.E3.:'hhnn
..m ,
14. Dwi (BDK) Yogyakarta Tanpa recording individu; pernah mengalami
aborsi; beberapa kali IB; tanggallB tidak
_________ .n •••• n n_n n_ •• n no hn __ •
tercatat.
n. __ • u.n •• _. •••• __ ••••••••••••••••••••••••••••••••• _ •• _ ••••• uu •• _ •• _•••••••

15. Yos (BDK)Yogyakarta Tanpa recording individu; pernah mengalami


.........
m nnn.nnnnmmm nn
mmmmm.m.mmmmmmnmna..~~r.:?.i.~n§!S.E3.~h?:!.O'9.;h~~~.~.~c:lp.c:l
..~c:l!U!?:hnhhnnnnmn'
16. Witanto Yogyakarta Tanpa recording individu; umur Ik. 2 tahun;
terakhir melahirkan 2 tahun lalu; produksi susu
....mmmmmmmmmmmmmnnnnn n..n.n mm ••••• m n~~!:!~.9.~.;n~
..~.a..ILgc:lg.9.U.E3.:mnmm.mm m nn nm nm .
17. Aris (BPMBPT) Yogyakarta Tanpa recording individu; paritas lebih kurang
mnnnnn nnn mn nnn mn mn..nnmmnn ..nnnn nnnnnnn..nn(!.~L~.;nt.i.~.a..~na.~c:l
..~c:l11.9.a..~~a..r1.~.a.
..~.~.rc:lb!: n.n..nn .
18. Unip (Kaliadem) Yogyakarta Tanpa recording individu; paritas lebih kurang
(Ik) 1; melahirkan 4 bulan yang lalu; tidak ada
mm n..mnnmnn ..n.nmmmmnm..mm n.m.m.m.mnmmm tc:lI1.9.a..~~a..I1.d..a.n~~.rc:lb!;n§.!S!?:
?!.?: nn'm.m ..
19. Poskeswan Sanden Yogyakarta Tanpa recording individu; melahirkan 10 bulan
yang lalu; tidak ada tanda-tanda berahi; SKB:
mhmnnmm.m
..m n hmn..m..mmmmmnhmm?'.!.?:mmnmmmmmn.mmmmmmmmmmmmmm.mm.m n ,
20. Poskeswan Turi Yogyakarta Tanpa recording individu; 4 kali gagallB.

3.3.2. Kandang dan pemberian pakan

Seluruh ternak dipelihara secara individu dan diikat dalam satu kandang. Ternak
diberi pakan rumput lapangan yang didapat dengan cara mengarit ditambah dengan
konsentrat local dengan air yang tersedia selama 24 jam. Jumlah pakan yang diberikan lebih
kurang 10% dari bobot badan, dengan komposisi 60-70% pakan basal, 20-25% pakan
hijauan (legume); dan 10-15% konsentrat. Analisis proksimat dari kombinasi pakan yang
diberikan disajikan pad a Tabel 4.

3.3.3. Sampling

Pengambilan sam pel dilakukan mengikuti lokasi ternak dipelihara. Sampel susu
diambil dari ternak sa pi yang tercatat mempunyai masalah gangguan reproduksi. Untuk
daerah Garut, sampel diambil dua kali seminggu selama lima minggu. Pengambilan sampel
dilakukan untuk memonitor aktivitas ovarium sehubungan dengan gagal IB dan tidak
munculnya tanda-tanda berahi. Untuk daerah Yogyakarta, pengambilan sampel dilakukan
untuk mengetahui keberhasilan IB dengan teknik RIA yang dilakukan saat 0 hari, 10-11 hari,
dan 20-21 hari setelah lB.
Pada sampel, dicatat kode ternak, petani pemelihara, lokasi, dan tanggal
pengambilan sampel. Volume sampel susu yang diambil adalah 10 mL yang telah diambil
diberi pengawet berupa tablet sodum azide di setiap tabung sam pel, yang kemudian
disimpan hingga waktu analisi dengan RIA P4.

3.3.4. Analisis Data

Konsentrasi hormon P4 diperiksa dengan menggunakan RIA P4 kit "melapis sendiri"


(self coating) yang menggunakan standar 0; 1,25; 2.5; 5,0; 10,0; 20,0; dan 40 nmollL yang
dipersiapkan dengan menggunakan susu skim.

156
Aplikasi radioimmunoassay (RIA) untuk peningkatan ... (Drs. Totti Tjiptosumirat, M.Rur.Sc.)

3.3.5. Interpretasi Data

Interpretasi data yang berasal dari kurva profil hormon P4 dilakukan dengan
menggunakan aplikasi yang dipergunakan dalam form Artificial Insemination yang kemudian
berdasarkan data terbut dilakukan uji lapangan dilakukan oleh tenaga medis di lapangan.
Interpretasi dilakukan dengan menggunakan ketentuan (protocol) yang telah ditetaJ:}kan oleh
IAEA, dan juga hasil dari perbobaan yang dilakukan oleh ZDUNCZYK, S. et al.[18J, seperti
disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Dasar sistem interpretasi yang digunakan untuk menentukan adanya aktivitas pad a
ovarium berdasarkan tingkat konsentrasi hormon progesteron[16].

Tingkat konsentrasi
Interpretasi
hormon P4 (nmol/L)
< 1 Tidak tersedia KL; tidak ditemukan aktivitas pada ovarium
1-3 Selang konsentrasi yang meragukan, tingkat hormon P4 yang ada
dapat diartikan dengan berbagai macam keadaan reproduksi.
Pad a konsentrasi ini, tidak ada rekomendasi yang dapat diberikan.
Pemeriksaan lebih lanjut hasil RIA P4, perlu untuk dikonfirmasikan
kepada tenaga medis/veteriner di lapangan, yang kemudian
digunakan untuk mengoreksi hasil interpretasi dengan RIA P4.
>3 Menandakan adanya kegiatan/aktivitas pada ovarium, dan dapat
diartikan sebagai kebuntingan.

3.3.6. Evaluasi Ekonomi

Evaluasi ekonomi dari pemanfaatan RIA P4 yang terkandung pada susu atau
serum/plasma untuk mengukur dan mengevaluasi penampilan reproduksi akibat gangguan
reproduksi juga dilakukan. Parameter yang digunakan dalam evaluasi ekonomi ini mencakup
biaya per sam pel yang dianalisis dengan RIA P4. Untuk itu, dilakukan perbandingan pada
ternak yang mengalami gangguan reproduksi dengan memanfaatkan RIA P4 dan kemudian
dilakukan tindakan antisipatif dengan ternak yang hanya dibiarkan hingga tercapai
kebuntingannya.

BAS IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penelitian 1: Aplikasi RIA P4 untuk Mengetahui Korelasi antara Hormon


Progesteron dengan Korpora Lutea (KL)

Sebagai upaya untuk meningkatkan jumlah populasi ternak ruminansia, khususnya


kambing, dan untuk dapat meningkatkan laju keberhasilan bunting kembar, maka perlu
dilakukan prediksi awal terhadap kemungkinan akan terjadinya kembar, sehingga perhatian
dapat diberikan lebih pad a ternak yang bunting kembar. Banyak upaya telah dilakukan untuk
meningkatkan populasi ternak seperti dengan cara kawin buatan (IB) ataupun kawin alam,
khususnya ternak ruminansia kecil. Upaya untuk meningkatkan populasi ternak dengan cara
mendapatkan ternak kembar dari hasil IB masih merupakan kendala yang dihadapi di
lapangan. Keadaan ini disebabkan karena tidak adanya sistem prediksi yang akurat untuk
mengetahui apakah IB yang dilakukan akan menghasilkan kembar atau tidak.
Pendekatan untuk mengetahui kemungkinan hasil IB dapat kembar adalah dengan
cara mengetahui kemungkinan adanya multi-ovulasi (ovulasi dengan lebih dari satu sel telur).
Dari hasil penelitian terdahulu[29j dinyatakan bahwa salah satu cara yang dapat digunakan
sebagai cara mendeteksi jumlah sel telur yang dihasilkan adalah dengan cara menghitung
jumlah KL yang terbentuk setelah ovulasi. Lebih lanjut hal ini dijelaskan oleh JAINUDEEN, et
al.[15J, bahwa tingkah laku berahi ternak dipengaruhi oleh kondisi fisiologis ternak, terutama
status fisiologis organ reproduksi ternak. Salah satu kondisi fisiologis yang dapat terdeteksi
setelah munculnya berahi pad a ternak adalah fase luteal, dimana KL yang terbentuk pad a

157
Iptek Nuklir Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti ISSN 2087-8079

ovarium mensekresikan hormon p4[15,29 dan 30J. Keadaan ini dapat diartikan bahwa konsentrasi
hormon P4 dapat dijadikan sebagai indikator untuk jumlah sel telur yang diovulasi.
Deteksi jumlah KL dengan menggunakan konsentrasi hormon P4, seperti dalam
salah satu percobaan dalam makalah ini, telah dilakukan. Hal ini didasari oleh karena selama
proses rekruitmen sel-sel folikel primordial pad a fase folikular, tidak seluruh sel-sel folikel
tersebut akan berhasil tumbuh menjadi folikel matang yang selanjutnya meng-ovulasikan sel
telur, seperti telah disajikan pada Gambar 2[3]. Keberadaan konsentrasi hormon progesteron
dalam serum/plasma darah dan susu lebih ditentukan oleh keberadaan KL setelah
ovulasi[15,30).
Kegiatan penelitian yang telah dilakukan ini bertujuan melakukan suatu pembuktian
pada ternak ruminansia kecil, bahwa konsentrasi hormon P4 yang disekresikan KL akan
berbanding lurus dengan jumlah sel telur yang terovulasi. Dengan aplikasi laparoskopi, hasil
pengamatan penelitian disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 menunjukkan adanya keragaman kemampuan ovulasi dari setiap ternak
walaupun seluruh ternak telah mengalami proses sinkronisasi berahi. Keadaan ini
memperkuat apa yang telah diungkapkan oleh HAFEZ dan HAFEZ[31] bahwa kejadian berahi
akan diikuti dengan ovulasi, dan tempat dimana terjadinya ovulasi akan bertransformasi
menjadi organel baru pada ovarium, yaitu KL. Korpora lutea ini lebih lanjut akan berfungsi
menjadi organel yang memproduksi dan mensekresikan hormon progesteron untuk menjaga
kestabilan rahim apabila terjadi kebuntingan dan menghambat pembentukan sel telur
berikutnya. Namun, terdapat satu ekor ternak percobaan (PE 11) yang mempunyai
sensitivitas rendah terhadap pemberian estrumate®, sehingga hanya memiliki satu buah KL.
Jumlah KL yang terdeteksi dengan laparoskopi digunakan sebagai indikator jumlah sel telur
yang terovulasi.

Tabel7. Hasil laparoskopi jumlah sel telur terovulasi yang dinyatakan dengan jumlah CL
terpantau pad a ternak kambing PE dan pembagian kelompok ternak.

Rerata diameter
Kode Ternak Kelompok Jumlah CL
CL (mm)
PE 11 1 8
PE12 2 5
PE 3 K$2CL 2 5
PE 4 2 8
PE 8
---------------------------------------- ----------- --- ----------------------.-.---
2-.--------- ----- - ---.- ------------ 6----- -------- -- -----
------ ---- -- ---- ------------ - --- -- -- ---- _.- ----- ---- -- -- -- --- ------ ---- - --- -- -- - - ----- --- -- --- ----- ---- - - - - -- -- -- -- - - -- -_.- -- --. _.- -.---
PE 2 3 4
PE 6 3 4
PE 7 3 3
PE 9 K>2CL 3 5
PE 1 4 4
PE 5 4 3
PE 10 4 4

Hasil analisis konsentrasi hormon P4 dalam bentuk nilai rerata pada seluruh ternak
percobaan yang telah disesuaikan dengan kelompok disajikan pad a Tabel 8, yang
menunjukkan bahwa puncak konsentrasi progesteron pada tiap hewan percobaan terjadi
pada Hari 11 pengamatan, yaitu pertengahan dari periode siklus berahi atau pad a
pertengahan fase luteal (mid-luteal phase). Selanjutnya, hasil observasi menunjukkan bahwa
pad a hari ke 0 dan 1 adalah sa at konsentrasi progesteron terendah. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa dalam proses sinkronisasi berahi, pemberian Estrumate® berfungsi untuk meluruhkan
KL yang ada dan merangsang untuk fase folikuler se'anjutn¥Ea sehinpga diharapkan akan
terbentuk sel-sel telur baru yang akan diovulasikan kemudian[5, 6,27, dan 31.

158
Aplikasi radioimmunoassay (RIA) untuk peningkatan ... (Ors. Totti Tjiptosumirat, M.Rur.Sc.)

Tabel 8. Nilai rerata konsentrasi progesteron (± SE) kelompok hewan percobaan kambing PE
yang dilakukan berdasarkan pad a jumlah sel telur terovulasi (kelompok).

Kelompok Rerata konsentrasi serum progesteron (nMoI/L ± SE)


Ternak Hari -1 Hari 0 Hari 2 Hari 11 Hari 21
K::;2CL 0,35 ± 0,08 0,48 ± 0,22 1,14a ± 0,19 4,00a ± 0,89 1,55a ± 0,41
K >2CL 0,40 ± 0,13 0,41 ± 0,11 1 ,84b ± 0,20 5,95b ± 0,90 2, 13b ± 0,27
Signifikansi Ts Ts ** ** *
Keterangan:
se: standard error; ** : P < 0,01; * : P < 0,05;
Huruf berbeda pada kolom sam a menunjukkan perbedaan yang nyata.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa selama periode sinkronisasi estrumate merangsang


ovarium untuk melakukan proses pertumbuhan folikel baru sebagai suatu kegiatan
pembentukan sel telur (oogenesis pada folicul/ar phase)[5.26.27.dan31]. Proses sinkronisasi
berakhir pada hari -1, siklus berahi diharapkan mulai pada hari 0, dengan cara
mengintroduksikan kambing jantan (tanpa diberi peluang untuk kawin) pad a kambing betina,
untuk menimbulkan buck effect, sehingga menstimulir berahi[30]. Stimuli berahi dengan cara
buck effect akan merangsang proses ovulasi yang kemudian akan disertai dengan
pembentukan organel aktif KL sehingga hormon P4 disekresi[31]. Saat ovarium tidak
mengandung KL, konsentrasi progesteron berada pada posisi basal (terendah). Keadaan ini
mengkonfirmasikan hasil penelitian terdahulu oleh BLANCO[5], yang menyatakan bahwa
konsentrasi progesteron pada kambing lokalAfrika saat sebelum pubertas tidak melebihi 2,00
nMol/L.
Tabel 8 juga mengkonfirmasikan bahwa konsentrasi progesteron pad a Hari -1 dan 0
tidak berbeda antara kelompok K::;2CL dengan K>2CL (P>0.05) namun, setelah terjadi
ovulasi perbedaan konsentrasi progesteron menjadi nyata, yaitu P<0,01 dan P<0,05 masing-
masing untuk kelompok K::;2CL dan K>2CL. Keadaan ini diperkuat dalam hasil penelitian
terdahulu oleh BLANCO[5J, pada kambing, dan SELVARAJU, et.al.[6] pad a domba, yang
menyatakan bahwa konsentrasi hormon P4 secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah KL
yang terdapat pada ovarium. Keadaan ini disajikan pada Gambar 9. Namun, keadaan ini
belum mencerminkan akan adanya peningkatan keberhasilan kembar, karena kambing jantan
yang digunakan hanya berfungsi untuk memberikan pengaruh jantan (buck effect) guna
menstimulasi terjadinya berahi xang kemudian berlanjut dengan ovulasi, seperti yang telah
dibuktikan oleh FREITAS, et.al.[ ] dalam penelitiannya terdahulu.
CI •..
CIJ

$c:0"0:Ec:
.s D: 1/1
CIJ
:::c:
1/1
.£]
8,0
6,0
4,0
2,0
"iij

0,0

-2 o 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Hari fase luteal setelah birahi (Hari 0)

Gambar 9. Profil konsentrasi hormon progesteron pada fase luteal setelah sinkronisasi
berahi (Hari 0) dari kelompok ternak K::;2CL (0) dan K>2CL (-).

159
Iptek Nuklir Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti ISSN 2087-8079

Keadaan lain yang memperkuat adanya hubungan antara konsentrasi hormon P4


dengan jumlah KL disajikan pad a Gambar 9. Gambar 9 memperlihatkan puncak konsentrasi
serum progesteron pada pertengahan fase luteal setelah sinkronisasi berahi, yaitu pada hari
ke 11, yang secara signifikan berbeda nyata antara kelompok K>2KL dan kelompok K:52KL
(P<O.01). Keadaan ini diperkuat dengan kondisi pad a Gambar 4, yaitu terdapat korelasi erat
antara jumlah KL dengan konsentrasi hormon P4, yaitu r = 0,91 dan 0,88, masing-masing
untuk korelasi yang terjadi pada fase luteal di hari ke 11 dan 2 pasca sinkronisasi berahi.
Dengan demikian jumlah sel telur, yang digambarkan dengan jumlah KL, berbanding lurus
dengan konsentrasi hormon progesteron. Semakin banyak jumlah KL, maka semakin besar
konsentrasi progesteron yang terukur.
Gambar 4 dan Gambar 9 serta Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai konsentrasi hormon
progesteron dapat dijadikan sebagai suatu indikator untuk memprediksi jumlah sel telur yang
dihasilkan. Namun, hal ini tetap memerlukan penelitian yang lebih mendalam karena pad a
saat diketahuinya jumlah sel telur terovulasi, sel telur telah mencapai tuba falopii, dan
kemungkinan pula telah mencapai uterus, sehingga menjadi terlambat untuk dapat segera
dikawinkan, khususnya apabila dasar analisisnya menggunakan data Hari 1.
Sehubungan dengan keadaan di atas, perlu untuk dilakukan telaah lebih lanjut
dengan menggunakan data ovulasi ganda pada saat yang lebih dini, yaitu dengan data
pengamatan pada Hari ke 2 (Gambar 4) setelah sinkronisasi berahi. Gambar 4 menyajikan
hubungan antara hormon P4 dan jumlah KL yang terbentuk setelah hari ke 2 ovulasi. Grafik
Hari ke 2 ini memberikan suatu konfirmasi adanya hubungan yang cukup kuat (r = 0,88)
antara hormon P4 dengan jumlah sel telur terovulasi, sehingga bila informasi ini dapat lebih
awal diketahui, proses kawin dapat segera dilakukan. Keadaan ini diperkuat pula oleh adanya
perbedaan yang signifikan (P<0,01) antara kelompok K:52CL dan K>2CL yang ditunjukkan
dengan rerata ovulasi pada hari ke 2, masing-masing yaitu 1,14 ± 0,19 vs 1,84 ± 0,20 (Tabel
8).

4.2. Penelitian 2: Aplikasi RIA P4 untuk Deteksi Status Reproduksi Sapi Perah Post
Partum

Profil harmon progesteron saat terjadinya kelahiran disajikan pada Gambar 10. Pada
Gambar 10, terlihat penurunan drastis konsentrasi progesteron saat kelahiran yang
disebabkan karena adanya regresi korpora lutea pada ovarium sehingga menyebabkan
turunnya konsentrasi hormon progesteron.

!: 17.50
12.50
22.50
5.00
10.00
7.50
15.00
e ::.:0III
Q)
!:.s C) Q) 2.50
~!:
III ---l::r-
(5 ~
'iij
E
C:: Tanpa pakan suplemen (K1, n=23) -. - Dengan pakan suplemen (K2, n=31)
0.00
20.00

-60 -50 -40 -30 -20 -10 o 10 20 30 40


Hari

Gambar 10. Profil harmon progesteron saat ternak melahirkan.

Hasil pengamatan status faali ternak sapi perah post parium dengan cara memantau
fungsi ovarium melalui konsentrasi harmon progesteron disajikan pad a Gambar 11.
Interpretasi profil konsentrasi progesteron berpedoman pad a hasil penelitian oleh
ZDUNCZYK et al.118] dalam menentukan adanya aktivitas pada ovarium seperti disajikan pada
Tabel 5. Gambar 11 menunjukkan bahwa aktivitas ovarium ternak sapi perah pad a K2

160
Ap/ikasi radioimmunoassay (RIA) untuk peningkatan ... (Drs. Totti Tjiptosumirat, M.Rur.Sc.)

muncul pada hari ke 55,5 ± 4,6 post partum yang berbeda nyata (P<0,01) dengan kondisi
yang dialami ternak sapi perah pad a K1 yang muncul pad a hari ke 99,2 ± 10,2 post partum
(Tabel 9). Keadaan ini menunjukkan adanya pengaruh dari pemberian pakan suplemen
selama satu bulan sebelum melahirkan hingga dua bulan setelah kelahiran. Selanjutnya
pelaksanaan IB pada ternak dari K2 dilaksanakan pada hari ke 96,7 ± 13,6 post partum,
sedangkan pada ternak dari kelompok K1 dilakukan pad a hari ke 136,1 ± 6,9 post partum.
Inseminasi buatan yang dilakukan pad a ternak K2 didasarkan pada hasil informasi profil
progesteron post partum. Adapun pada ternak K1, walaupun tersedia informasi akan profil
progesteronnya, IB dilaksanakan berdasarkan tanda-tanda visual berahi. Rasio jumlah
layanan IB per kebuntingan (SIC; service per conception) antara ternak pad a K1 dan K2,
masing-masing adalah 3,4 vs 2,3. Keadaan ini menunjukkan bahwa berahi yang muncul
pada ternak K2 lebih terdeteksi dibanding pada ternak K1 sehingga layanan IB pada ternak
K2 mempunyai nilai keberhasilan dibanding pad a K1. Hasil penghitungan dari jumlah IB yang
dilakukan post partum terhadap kebuntingan yang terjadi disajikan pada Tabel 9. Keadaan ini
menyebabkan meningkatnya nilai Laju Kebuntingan ternak sa pi perah mencapai 48%.

-
c.
.=.
<II
IJ)
C
0C1
C'0
~
IJ)
<II
~~
cE
'iij
::.:::
48260
10
-b-- Tanpa pakan supremen (K1, n=23) Dengan pakan suplemen (K2, n=31)

o 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240


Hari post partum

Gambar 11. Aktivitas ovarium paska melahirkan yang dipantau dengan


mengukur konsentrasi harmon progesteron.

Informasi hasil pemantauan profil hormon progesteron setiap individu ternak sapi
perah ini diberikan kepada petugas IB di lapangan mulai saat terpantau adanya aktivitas
ovarium post partum, seperti disajikan pada Gambar 12, untuk selanjutnya dilakukan tindakan
inseminasi oleh petugas inseminator. Pada Gambar 12, munculnya puncak pertama dari
hormon progesteron dinyatakan sebagai mulai pulihnya kondisi ovarium untuk dapat
melepaskan sel telur post partum.
Hasil pemantauan pelaksanaan IB melalui tingkatan konsentrasi progesteron yang
terpantau pad a kondisi faktual di lapangan menunjukkan bahwa dari 31 ekor ternak yang
dipantau, 25 ekor (80,65%) ternak menunjukkan berahi post partum tanpa disertai dengan
tanda-tanda berahi, atau silent heat. Berahi yang muncul dan ditandai dengan gejala-gejala
berahi terdeteksi pada hari ke 75 post partum (Berahi I, Gambar 12). Kondisi ini merupakan
suatu konfirmasi dan rekomendasi untuk dapat dilaksanakan IB pada berahi II yang
merupakan dua puncak pada profil hormon progesteron post partum, yaitu pada hari ke 96,7
± 13,6 post partum.

161
Iptek Nuklir Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti ISSN 2087-8079

0,00
--..../.
I I I •

n 1m 1?11

Gambar 12. Profil hormon progesteron sebagai informasi aktivitas ovarium post parium
yang digunakan sebagai indikator untuk pe/aksanaan /B pada ternak
yang diberi pakan sup/emen (K2).

Tabel 9. Pengamatan aktivitas ovarium dan kinerja reproduksi yang ditandai terdeteksinya
hormon progesteron pad a ternak sapi perah paska melahirkan dan kondisi faali
ternak sa pi perah setelah pelaksanan lB.

PP K2
43,5
2,3
PP<Signifikansi
<<<0,01
0,01
0,05
0,01
96,7
103,0
55,5
371,3
(n 13,6
31)4,6
=(pakan
(tanpa 15,6
±±pakan
± 198,7
99,2
3,0suplemen) K1
29,4
3,4
136,1
suplemen)±±±10,2
14,9
6,9
403,8 ± 7,7
kelahiran hingga
Jumlah IB waktu
Tenggang per
waktu pelaksanaan
kebuntingan
ovulasi
kebuntingan
antara dua I

Sebagaimana telah diketahui bahwa fungsi dari keberadaan korpora lutea adalah
untuk mensekresikan hormon progesteron dan untuk kestabililan dinding uterus terutama bila
terjadi kebuntingan[12.15J. Dengan adanya stimulasi sekresi hormon prostaglandin 2-alfa
(PGF2a) sebagai hormon pemicu proses kelahiran yang diproduksi oleh uterus, maka korpora
lutea akan meluruh dan diikuti dengan proses kelahiran[1.2J, seperti disajikan pada Gambar
10. Selanjutnya, ovarium akan memasuki fase folikular atau anestrus[1.2,1 .15J, yang pada fase
ini hormon progesteron akan sulit untuk dapat dideteksi[2]
Penelitian yang dilakukan oleh JAINUDDIN et a/.(1], PETER dan BALL[2J, dan
T JIPTOSUMIRA T, et al.[9] menunjukkan bahwa berakhirnya anestrus ditandai dengan
terbentuknya kembali korpora lutea yang akan menghasilkan hormon progesteron paska
kelahiran. Salah satu faktor utama penyebab panjangnya interval kelahiran hingga
tumbuhn¥.a korpora lutea baru adalah kurangnya pasokan nutrisi yang diterima oleh induk
ternak[32- 4]. Selain mempengaruhi fisiologi reproduksi ternak post parium, tingkat nutrisi
rendah dapat mengakibatkan munculnya kasus kelumpuhan atau /ame/ess[35J, kehilangan
bobot badan dan juga ketosis khususnya pada ternak laktasi[36J• Keadaan ini terjadi sebagai

162
Ap/ikasi radioimmunoassay (RIA) untuk peningkatan ... (Ors. Totti Tjiptosumirat, M.Rur.Sc.)

akibat adanya keseimbangan energi negatif, khususnya pada ternak sapi Rerah dalam fase
produksi susu maksimum seperti yang telah diungkapkan oleh LUCY[ 7J, BUTLER dan
SMITH[38], dan BEAM dan BUTLER[3!'JJ.
Pemberian pakan suplemen menyebabkan meningkatnya pasokan nutrisi yang
dibutuhkan oleh ternak laktasi, sehingga kondisi biologis ternak setelah melahirkan,
khususnya kondisi fisiologis ovarium, dapat cepat pulih dan ovarium dapat berfungsi kembali.
Berdasarkan profil hormon progesteron post partum, adanya pasokan nutrisi yang lebih baik
digambarkan dengan ternak sa pi perah pada kelompok K2 mempunyai interval waktu lebih
pendek dari saat melahirkan hingga terdeteksinya aktivitas ovarium secara nyata (P<O,01)
jika dibandingkan dengan ternak dari kelompok K1. Sebagaimana telah diungkapkan oleh
DISKIN et a/.[40Jbahwa pemberian tingkat nutrisi sesuai dengan kebutuhan ternak paska
melahirkan akan mempercepat proses pemulihan sistem reproduksi ternak. Dari penelitian
ini, konfjrmasi pengaruh pemberian tingkat nutrisi paska melahirkan pada ternak pada
kelomppok K2 disajikan pad a Tabel 9, yaitu tenggang waktu dari kelahiran hingga
kebuntingan kembali post partum dan tenggang waktu antara kelahiran yang lebih singkat
dari kelompok ternak K1.
Terdeteksinya konsentrasi hormon progesteron dalam susu ternak sapi perah belum
dapat dipastikan sebagai adanya aktivitas pad a ovarium[18,41], dan oleh sebab itu ovarium
dinyatakan aktif kembali sehingga dapat dipastikan adan~a korpora lutea baru post partum
apabila konsentrasi hormon progesteronnya >3 nmol/l[1]. Kondisi berahi tenang berhasil
terpantau dalam penelitian ini melalui konsentrasi hormon progesteron post partum
(Gambar 12 - Berahi Tenang). Namun, kondisi ini tidak dijadikan sebagai pertanda yang pasti
untuk kemudian dilakukan IB pada ternak sapi perah. Berahi yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah saat Berahi I (Gambar 12). Berahi ini kemudian dijadikan sebagai suatu
dasar untuk memprediksi berahi berikutnya, sehingga layanan IB dapat dipersiapkan sedini
mungkin. Keadaan telah dijelaskan oleh KAWASHIMA, et al.[41], yang menyatakan bahwa
ovulasi dini (yang terjadi pad a 57,2 ± 4,4 hari post partum) pad a ternak sapi perah multiparus,
hanyalah merupakan suatu indikasi bahwa ovarium mulai beraktivitas kembali. Hal ini juga
telah dibuktikan oleh DISKIN, et al.[40J,KAWASHIMA, et al.[41Jdan, MURPHY, et al.[42]bahwa
rata-rata siklus berahi pertama yang muncul bersifat pendek dan tenang, tanpa terdeteksi,
serta hanya merupakan kondisi dari pertumbuhan folikel pada ovarium dan merupakan
indikasi pemulihan dari ovarium untuk dapat berfungsi kembali paska kelahiran. Keadaan ini
menyarankan bahwa walaupun terdeteksi adanya berahi dan juga adanya aktivitas ovarium,
pelaksanaan IB akan lebih baik dilakukan pad a berahi berikutnya.
Rekomendasi yang diberikan kepada pelaksana IB untuk memberikan layanan IB
terhadap ternak sapi perah K2 di lapangan dilakukan setelah aktivitas ovarium terdeteksi dan
siklus berahi normal terjadi (Gambar 12) berdasarkan pada profil progesteron yang didapat.
Hasil pelaksanaan IB terhadap ternak kelompok K2 tersebut menunjukkan kinerja reproduksi
yang lebih baik dibandingkan hasil pelaksanaan IB terhadap ternak kelompok K1, masing-
masing yaitu 2,3 vs 3,4 untuk jumlah layanan IB per kebuntingan atau service per conception
- SIC. Hal ini menandakan bahwa informasi berahi yang didasari dari profil hormon
progesteron lebih akurat dibandingkan dengan informasi berahi yang hanya didasari dengan
pengamatan visual gejala-gejala berahi post partum. Keadaan ini mengkonfirmasikan hasil
penelitian terdahulu oleh TJIPTOSUMIRAT[4J yang menyatakan adanya hubungan erat antara
status fisiologi ovarium, dari jumlah korpora lutea yang ditemukan, dengan konsentrasi
progesteron. Dengan demikian teknik RIA progesteron untuk pengamatan aktivitas ovarium
post partum dapat dijadikan sebagai alat untuk mengupayakan peningkatan kinerja
reproduksi khususnya ternak sapi perah, seperti telah diungkapkan oleh RHODES et
al.[43J(21) dan MICHAEL[44J(22).

4.3. Penelitian 3: Aplikasi RIA P4 untuk Pemantauan Gangguan Reproduksi pad a


Ternak Sapi Perah

4.3.1. Interpretasi harmon P4 pada ternak dengan gangguan reproduksi

Hasil pengamatan yang diperoleh dari profil hormon P4 pada ternak sapi perah A dan
B yang dipelihara petani ternak di Garut disajikan pada Gambar 13. Dari profil tersebut,
ternak diduga mempunyai gangguan klinis reproduksi dengan indikasi tidak adanya aktivitas
pada ovariumnya. Konsentrasi hormon P4 dalam susu tidak terdeteksi selama periode
pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua ternak tersebut sedang dalam fase anestrus,

163
Iptek Nuklir Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti ISSN 2087-8079

sehingga perlu diinformasikan pad a peternak dan petugas 18 di lapangan bahwa ternak
tersebut tidak perlu mendapat perlakukan IB kembali hingga status reproduksinya pulih atau
mendapatkan perlakuan medis tertentu. Data awal ternak yang tersedia menyatakan bahwa
ternak telah mencapai umur Ik. 7 tahun dan mengalami fase anestrus selama periode
pengamatan (5 minggu), sehingga dapat disarankan agar sebaiknya ternak diganti.

12

10 -0- Cow A --- Cow B

6
4
2

o , • , • , .,. I· ., • I· , • I
o 10 20 30 40 0 10 20 30 40
Days of sampling Days of sampling

Gambar 13. Profit harmon P4 da/am susu dari dua ternak sapi perah
yang diduga menga/ami gangguan reproduksi klinis (anestrus).

Keadaan lain, seperti diungkapkan oleh JAENUDDIN DAN HAFEZ[45], bahwa


rendahnya konsentrasi hormon pro~esteron dan susu menunjukkan ternak sa pi tersebut
mengalami disfungsi ovarium[2 can 2]. Gangguan reproduksi berupa tidak berfungsinya
ovarium, paling sering disebabkan oleh karena pergantian musim, defisiensi nutrisi, stress
akibat laktasi, dan ketuaan[2.45.dan 46].Keadaan ini ditunjang dengan anamnese dari lapangan
bahwa sapi telah mengalami 6 kali dan 7 kali laktasi yang menunjukkan bahwa sapi dalam
keadaan yang telah tua dan sulit untuk mempunyai siklus reproduksi yang normal. Tingkat
pasokan nutrisi dari pakan juga berperan terhadap berlangsungnya siklus reproduksi dan
keadaan ini dapat dideteksi melalui skor kondisi badan (Body Condition Score; BCS - SKB).
Namun, keterangan tentang SKB ternak sapi yang diamati tidak tersedia. Untuk perbaikan
penampilan sapi A dan B, dari hasil analisis yang didapat, maka perlu dilakukan antisipasi
yaitu dengan cara: perbaikan pakan, termasuk penambahan vitamin dan mineral, sehingga
tercapai SKB minimal 2,75[47]. Dengan kondisi biologis seperti dikemukakan tersebut, maka
untuk konfirmasi status biologis, perlu dilakukan palpasi per rektal oleh tenaga medis guna
pemeriksaan kondisi ovarium. Apabila perbaikan SKB telah dilakukan, namun tetap
menunjukkan disfungsi ovarium, maka hal ini dapat merupakan suatu konfirmasi bahwa
ternak sa pi tersebut dapat diafkir.
Dari ribuan jumlah sel telur yang diketemukan pad a ovarium sapi normal, hanya 5
sampai 10 oocytes saja yang akan berhasil menjadi individu baru[48]. Dengan kata lain, sapi
normal hanya dapat melahirkan 5 sampai 10 kali dalam hidupnya, yang berarti mengalami 5
sampai 10 kali laktasi[47]. Dalam kasus sapi A dan B, yang telah mempunyai masa laktasi 6
hingga 7 kali, memungkinkan bahwa kondisi sapi tidak dapat bereproduksi lagi, sehingga
tidak layak untuk dipelihara.
Grafik profil hormon P4 dalam susu ternak 0 dan F menunjukkan bahwa ovarium
berfungsi baik seperti disajikan pada Gambar 14. Sesuai dengan tanggal yang tercatat,
berahi dari kedua ternak tersebut terjadi saat sebelum layanan IB diberikan. Kedua ternak
tidak memiliki data yang akurat waktu melahirkan. Dari profil hormon P4 yang ada, waktu
berahi terjadi pada saat hari pengambilan sampel pada hari ke 25-26 dan 30-31, masing-
masing untuk ternak 0 dan F. Bila dilakukan penyesuaian antara sa at terjadi berahi dan
dengan asumsi periode siklus berahi yang terjadi pada kedua ekor ternak tersebut normal,
maka berahi yang akan datang akan muncul 21 hari setelah hari berahi yang terdeteksi
dengan profil hormon P4 tersebut. Dengan saran bahwa layanan IB dapat segera dilakukan
pada kemunculan berahi berikutnya, dan kemudian dilakukan konfirmasi dengan rektal
palpasi 45 hari setelah IB, didapatkan hasil bahwa kedua ternak tersebut bunting.

164
Aplikasi radioimmunoassay (RIA) untuk peningkatan ... (Ors. Totti Tjiptosumirat, M.Rur.Sc.)

(J
-
CI)

b c(0EJ ::J
c..c ~ec
ii 0428
CI)
10 6
.s
CI)
"0

12 0
~ --- Cow D -b-- Cow F

10 20 30 40 0 10 20 30 40
Days of sampling Days of sampling

Gambar 14. Profil harmon P4 dalam susu dari dua ternak sapi perah yang
diduga mengalami keterlambatan aktivitas ovarinya post parium.

Grafik analisis profil hormon P4 dari sam pel susu sapi D disajikan pad a Gambar 14.
Interpretasi dari nilai P4 susu pada grafik menunjukkan bahwa ternak sapi D dalam kondisi
penyembuhan setelah melahirkan (recovery cyclicity post calving). Hal tersebut dapat dilihat
dengan waktu siklus yang lebih kurang hanya 12-13 hari. Sa pi ini cenderung mengalami
keterlambatan berahi setelah melahirkan atau late onset of oestrus post parium, namun,
konfirmasi status biologis tersebut tidak dapat dilakukan sehubungan dengan tidak
tersedianya data tanggal melahirkan dan saat IB terakhir.
Secara umum, penampakan siklus reproduksi atau berahi pertama setelah
melahirkan pada sapi perah di Indonesia adalah 90-120 hari setelah melahirkan[491. Namun,
sapi-sapi di Eropa dapat di IB lebih kurang pada 60 hari setelah melahirkan, bahkan bisa
lebih singkat lagi yaitu 40 hari setelah melahirkan setelah dilakukan terapi hormonal[2.50.511.
Untuk konfirmasi dari hasil interpretasi pad a sa pi D ini, diperlukan data lain tentang cara atau
kondisi saat melahirkan sebelumnya. Hal ini disebabkan, karena kondisi melahirkan yang
tidak normal (membutuhkan bantuan tenaga medis atau timbulnya retensi plasenta pad a
ternak sapi yang melahirkan), maka ternak dapat mengalami infeksi uterus sehingga lendir
yang diduga berasal dari kondisi oestrus ternyata disebabkan oleh rahim yang terinfeksi[2.521•
Kesalahan dalam deteksi berahi oleh para peternak di Asia dan Amerika Latin mencapai 17%
dari keseluruhan problem yang menyebabkan kegagalan IB[531. Infeksi pada rahim sapi yang
baru melahirkan dapat menghambat involusi uterus ke bentuk semula dan mengganggu
aktifitas ovarium, sehingga akan mempen~aruhi kestabilan kebuntingan berikutnya, yang
berdampak sebagai penyebab kegagalan IB 21.
Ternak sapi D pad a Gambar 14 menunjukkan pola siklus berahi yang lamanya lebih
pendek dari siklus berahi yang normal. Untuk menentukan saat berahi berikutnya, maka
berdasarkan Gambar 14, ditentukan tanggal hari pengamatan ke 28 sebagai hari pertama
berahi, sehingga berahi berikutnya di perkirakan akan muncul pad a 21-22 hari kemudian, dan
dikonfirmasikan kepada petugas TeknisllB dan petani ternak pemiliknya untuk layanan lB.
Sa pi dinyatakan positif bunting setelah IB dilakukan saat dilakukan konfirmasi palpasi per
rektal pad a 50 hari kemudian setelah lB.
Hasil analisis profil hormon P4 dari sam pel susu ternak sapi F dapat dilihat pada
Gambar 14. Dari grafik nilai P4 tersebut dapat diinterpretasikan bahwa ternak sapi F dalam
kondisi recovery cyclicity post calving. Hal ini nampak bahwa siklus berahi belum normal,
bahkan dapat dikatakan hampir tidak ada. Gambaran nilai konsentrasi P4 seperti ini
umumnya terjadi pada ternak sapi yang baru melahirkan dan belum mencapai pemulihan
siklus reproduksinya. Ternak sa pi F tidak dilengkapi dengan data tanggal melahirkan dan IB
terakhir, sehingga menyulitkan diagnosis berahi sapi sehubungan dengan dalam masa
pemulihan siklus reproduksi setelah melahirkan. Kemungkinan lain penyebab tidak berahinya
ternak ini juga diduga disebabkan oleh status malnutrisi (sesuai dengan prognosis awal yang
menunjukkan kondisi sapi mempunyai SKB <2). Ternak harus mendapat pakan yang cukup
dengan kualitas yang baik dan seimbang antara mineral dengan campuran konsentrat lainnya
agar fungsi reproduksi dapat berjalan dengan baik[20.54J. Data lain yang amat diperlukan untuk

165
Iptek Nuklir Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti ISSN 2087-8079

membantu interpretasi gambaran P4 adalah SKB, pakan, produksi susu (L/hari), dan cara
melahirkan.
Grafik profil hormon P4 ternak C disajikan pada Gambar 15. Dengan konsentrasi
hormon P4 yang berfluktuasi dengan rata-rata >3 nmol/L, yang menunjukkan adanya aktivitas
ovarium yang menyebabkan timbulnya gejala berahiI2.45J. Interpretasi dari gambar tersebut
menunjukkan bahwa ternak mempunyai periode siklus berahi yang lebih dari 21 hari, yaitu 28
hari. Dari Gambar 15, informasi yang dapat diartikan adalah kelainan siklus reproduksi pada
ternak sapi C, yaitu periode siklus estrus yang berkepanjangan (prolonged estrus period:
PEP). Keadaan ini menyebabkan timbulnya kesalahan dalam deteksi berahi dan
menghasilkan pemberian layanan IB yang pad a fase luteal. Kasus PEP normal terjadi pada
ternak post partum. Ternak akan kembali normal setelah kondisi faali post partum normal.
Hal ini dapat dicapai apabila ditunjang dari cara pemeliharaan yang baik. Dengan asumsi
bahwa PEP tidak terjadi terus menerus, dan dengan perhitungan siklus berahi normal terjadi
setiap 21 hari, maka rekomendasi ternak mendapat layanan IB kembali adalah 21 hari
setelah berahi saat observasi (tanda !
pada Gambar 15).

-
cc +"
a..
111
CIJ 0((Je;:;C:J
..
:.
C1 J.
(1)
04628
10
12 L

0.s
"0

E
(1)
(1)
-0- Cow C

10 20 30 40
Days of sampling

Gambar 15. Profit hormon P4 ternak sapi perah yang diduga


menga/ami perpanjangan periode siklus berahi
(prolonged estrus cycle), 28 hari.

Siklus reproduksi dengan kondisi prolonged cycle, seperti pada ternak sa~i C dalJat
disebabkan oleh berbagai macam hal, salah satunya adalah endometritis ringanl 2.45, dan 55].
Peradangan uterus dapat menghambat pelepasan hormon prostaglandin (PGF2a) dari
dinding rahim, yang berfungsi sebagai hormon uterus utama yang bersifat luteolitik dan dapat
menyebabkan regresinya KLI21J. Hambatan pelepasan prostaglandin karena kasus
endometritis, menyebabkan KL tetap bertahan dan mensekresikan progesteron, sehingga
sapi C mengalami perpanjangan siklus berahi.
Endometritis merupakan penyebab gangguan reproduksi ketiga setelah kawin
berulang (repeat breeder) dan keterlambatan pelepasan plasenta (retensio secundinae)155].
Ketidaksuburan yang bersifat sementara pad a sapi perah yang diakibatkan oleh ketiga
penyakit tersebut dapat menimbulkan kerugian, yang berdampak pada penurunan produksi
susu dan mempengaruhi nisbah efisiensi reproduksi yaitu Jumlah kawin per Kebuntingan
(Service/Conception; SIC), Laju Kebuntingan (Conception Rate; CR), dan Jarak Beranak
(Calving Interval; C1)155J• Banyak data yang dibutuhkan untuk mendukung interpretasi hasil
analisis tingkat konsentrasi hormon progesteron yang belum diinformasikan oleh peternak,
sehubungan dengan belum adanya sejarah pencacatan (historical record) ternak berupa data
tanggal melahirkan dan tanggal IB terakhir, SKB, pakan yang diberikan, produksi susu
(L/hari), cara melahirkan sebelumnya (normal, ada bantuan tenaga medis atau mengalami
retensi plasental retensio secundinae: penundaan keluarnya plasenta), sehingga interpretasi
yang dilakukan hanya berdasarkan pad a tingkat konsentrasi hormon progesteron dalam
susu.

166
Aplikasi radioimmunoassay (RIA) untuk peningkatan ... (Ors. Totti Tjiptosumirat, M.Rur.Sc.)

Pad a Gambar 15 terlihat bahwa siklus reproduksi baru setelah prolonged cycle
diduga akan dimulai pad a tanggal 21 hari setelah berahi yang terekam dari profil hormon P4
(Gambar 15, tanda !) atau pada hari pengambilan sampel ke 31-32. Apabila kondisi sapi
normal, maka 21 hari setelah hari tersebut, merupakan prediksi untuk munculnya berahi
berikutnya. Namun, apabila kondisi sapi tidak normal, maka kemungkinan lain munculnya
berahi berikutnya adalah 28-29 hari setelah terdeteksi berahi pertama (pada hari
pengambilan sampel ke 31-32), dengan memperhitungkan kasus prolonged cycle-nya
sebagaimana seklus berahi yang dialami ternak sapi C. Anjuran untuk penanganan, kepada
petugas Medis Lapangan, untuk sesegera mungkin kasus endometritis pada ternak sa pi C
dilakukan, dan kemudian memberikan layanan IB pada hari dugaan berahi sesuai dengan
profil hormon P4 (Gambar 15). Hasil konfirmasi kebuntingan yang positif terjadi dari hasil IB
dengan rekomendasi siklus berahi normal setelah berahi dengan prolonged cycle.

4.3.2. Interpretasi harmon P4 pada ternak tanpa rekording

Hasil aplikasi RIA P4 di Yogyakarta disajikan pada Gambar 16 hingga 24. Gambar 16
dan 17 menunjukkan bahwa hampir selama periode pengamatan, tingkat hormon P4 berada
pada konsentrasi S; 1 nmollL yang menunjukkan bahwa tidak ada aktivitas ovarium pad a
kedua ternak tersebut. Keadaan ini mengkonfirmasikan hasil prognosis awal, yaitu ternak
mengalami 2 kali gagal IB, 4 kali gagal IB, tidak menunjukkan adanya gejala berahi, dan
dalam stadium asiklik atau post partum asiklik, masing-masing untuk ternak Yos BOK, W,

Il
Saeri (Krisna GK), dan Poskeswan Sanden.
••
-S
:::J
~
- ,I, -I 04
~-I
rr r1

"0 I --
E -- Yos
2
12
4124•
II.
8,16
16
20
20
248I ,,8I 4
4
24
20
240 •
SaeriBDK
(Krisna
I
GK)
-- --W
Days Poskeswan
(post
Days AI) AI) Sanden
(post
2 r :,

~ 4 cow.
'N.
progesteron
armon susuof8
profile
P4 dalam o Lternak
.••.
~
anestrous
pada anestrus. •
o

Ternak dengan kode C8-UNT dan C14 merupakan akseptor em brio transfer yang
dengan profil hormon P4-nya disajikan pad a Gambar 18. Oari gambar tersebut, ovarium
kedua ternak tersebut menunjukkan adanya aktivitas, yang dapat diartikan tidak bunting.

167
Iptek Nuklir Bunga Rampai Presentasi /lmiah Jabatan Peneliti ISSN 2087-8079

Tidak tersedinya data kondisi ternak saat transfer atau implantasi embrio, maka diduga ternak
mengalami kematian embrio dini (early embryonic death: EED) setelah proses em brio
transfer. Keadaan ini menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan yang kurang baik di tingkat
peternak dan kurangnya pembinaan teknis oleh petugas di lapangan, sehingga rekording
tidak tersedia yang akhirnya dapat menyebabkan penurunan kinerja reproduksi dari ternak
yang dipelihara.
--- C8 UNT --- C14
8
]
~
.s
I
a:
20
I 12

o I I I I I I I

o 4 8 12 16 20 24 0 4 8 12 16 20 24
Days (post AI) Days (post AI)

Gambar 18. Profil hormon P4 pada ternak sebagai akseptor program embrio transfer
yang menunjukkan adanya aktivitas pada ovariumnya.

Profil hormon P4 pada ternak dengan kode Sartono Krisna dan Adisupono Boyong
(Gambar 19) menunjukkan bahwa ternak r:nendapat layanan IB sa at fase luteal. Namun,
adanya dugaan bahwa siklus estrus pada kedua ternak tersebut yang lebih panjang dari
siklus normal (yaitu sampel pertama, sa at IB, dengan konsentrasi P4 > 4 nmol/L), maka
informasi yang dapat diberikan adalah kemungkinan terjadinya EED. Dugaan ini diperkuat
dengan informasi prognosis awal yang menyatakan bahwa IB telah dilakukan saat
pengambilan sampel yang pertama.

820
]
~
.s
a:
4016
12 --- Sartono Krisna --- Adisupono Boyong

I 1 I I I I I I I I 1 I I

o 4 8 12 16 20 24 0 4 8 12 16 20 24
Days (post AI) Days (post AI)

Gambar 19. Profil harmon P4 pada ternak dengan dugaan mengalami EED. Layanan IB
diberikan sebelum pengambilan sampel yang pertama (pada hari ke 0).

Hasil yang agak berbeda dari kasus sebelumnya ditemukan pada ternak dengan
kade Suyatno (Ngipiksari) dan Seno, S (Ngipiksari) yang disajikan pada Gambar 20.
Konsentrasi hormon P4 ditemukan >3 nmol/L selama 3 kali pengambilan sampel.
Berdasarkan data awal, kedua ternak tersebut mengalami gagal IB hingga 3 dan 4 kali,
masing-masing untuk Suyatno dan Seno, S. Sesuai dengan profil hormon P4 pada tiap
ternak, keadaan ini menunjukkan bahwa IB dilakukan saat ternak pad a fase luteal. Tingginya
konsentrasi hormon P4 selama masa pengamatan dapat diartikan bahwa terdapat korpus

168
Aplikasi radioimmunoassay (RIA) untuk peningkatan ... (Ors. Totti Tjiptosumirat, MRur.Sc.)

luteum aktif pad a ovari dari tiap ternak. Selanjutnya, dengan telah lebih dari 3 kali gagal IB,
maka untuk status faali ternak dapat disimpulkan bahwa ternak sedang dalam kondisi corpus
/uteum persistent (CLP)[19,45].

Gambar 20. Profil hormon P4 pada ternak yang diduga mengalami


corpus /uteum persistent (CLP).

20
-- Unip Kaliadem -- Kota
16

12

o
o 4 8 12 16 20 24 0 4 8 12 16 20 24
Days (post AI) Days (post AI)

Gambar 21. Profil hormon P4 pada ternak dengan ovarium yang dilengkapi KL
dan dugaan kuat bahwa layanan 18 dilakukan pada ternak bunting.

Bentuk dari profil hormon P4 pada ternak dengan kode Unip Kaliadem dan Kota pad a
Gambar 21 menunjukkan bahwa IB dilaksanakan saat fase luteal. Hal ini dapat ditunjukkan
dengan tingginya konsentrasi hormon P4 saat dilakukan pengambilan sampel pertama dan
saat dilakukan layanan lB. Pada keterangan prognosis awal ternak Unip Kaliadem telah
melahirkan 4 bulan sebelum pengambilan sampel pertama. Namun, dengan tingginya tingkat
hormon P4, >3 nmol/L, menunjukkan bahwa ternak masih dalam fase luteal saat di lB.
Selanjutnya tingkat konsentrasi hormon P4 meningkat selama periode pengamatan (saat
pengambilan sampel hari ke 11 dan 21). Hal ini mengindikasikan bahwa ternak perlu untuk
segera dilakukan palpasi rektal guna mengkonfirmasikan kondisi. Apabila hasil palpasi rektal
menunjukkan bahwa ternak tidak bunting, maka dapat dipastikan ternak mengalami CLP.
Keadaan mengkonfirmasikan bahwa dengan tidak adanya sistem rekording atau pencatatan
kondisi ternak, penampilan reproduksi secara menyeluruh tidak dapat diprediksi dan
cenderung menu run, khususnya bagi ternak Unip Kaliadem. Hal yang sama juga dialami
pad a ternak dengan kode Kota yang mendapat layanan IB sa at ternak telah bunting (profil
pada Gambar 21). Lemahnya pencatatan atau rekording ternak kemungkinan disebabkan
karena lemahnya pemantauan setelah layanan IB diberikan.

169
Iptek Nuklir Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti ISSN 2087-8079

20

16 ----- Poskeswan Turi ----- Aris BPMBPT

12

o
o 4 8 12 16 20 24 0 4 8 12 16 20 24
Days (post AI) Days (post AI)

Gambar 22. Profil harmon P4 pada ternak sapi yang mendapat layanan IB saat
fase luteal (Poskeswan Turi) dan kemungkinan IB saat ternak bunting (Kota).

Sebagaimana telah terjadi pad a ternak sebelumnya, kesalahan layanan IB juga


terjadi pada ternak dengan kode Poskeswan Turi dan Aris BPMBTP. Kedua ternak mendapat
layanan IB saat fase luteal, yang disajikan pada Gambar 22. Untuk profil hormon P4 ternak
Poskeswan Turi, informasi kembali kepada pemelihara ternak adalah diberikannya layanan
ulang IB saat berahi berikutnya muncul dengan tanggal yang disesuaikan dengan tanggal
pada data hasil interpretasi profil hormon P4 (tanda !
pada Gambar 22). Namun, untuk ternak
dengan kode Aris BPMBPT, interpretasi yang didapat dari profil hormon P4 adalah ternak
masih dalam stadium pemulihan setelah melahirkan.

20
-- Sarwo Boyong -- Dwi BDK

16

12

o I I I I I I I t I I I I '---.1
o 4 8 12 16 20 24 0 4 8 12 16 20 24
Days (post AI) Days (post AI)

Gambar 23. Profil harmon P4 pada ternak sapi perah yang gagal bunting
dan diduga mengalami EED.

Interpretasi profil hormon P4 untuk ternak dengan kode Sarwo Boyong dan Dwi BDK
(Gambar 23) menunjukkan bahwa IB dilaksanakan sa at fase luteal. Tanpa adanya data
rekording pendukung, tingginya konsentrasi hormon P4 pada kedua ternak saat dilakukan IB
menimbulkan dugaan bahwa telah terjadi EED. Kemungkinan pulih dari kasus CLP juga
dapat digambarkan dengan adanya penurunan konsentrasi hormon P4 yang drastis,
khususnya pada ternak dengan kode Dwi BDK.

170
Aplikasi radioimmunoassay (RIA) untuk peningkatan ... (Ors. Totti Tjiptosumirat, MRur.Sc.)

a. 48
.s E

"0 -- C9 UNT
2
6 ~
f

o
o 4 8 12 16 20 24
Days (post AI)

Gambar 24. Profil hormon P4 yang "meragukan" pada ternak


sapi perah yang membutuhkan adanya pemeriksaan
klinis oleh tenaga medis hewan.

Kondisi profil hormon P4 yang disajikan pad a Gambar 24 menunjukkan adanya


ketidakpastian dari status ovarium ternak dengan kode C9-UNT yang selama masa
pengamatan, tingkat konsentrasi hormon P4 berada pad a >1 nmol/L dan <3 nmol/L.
Konfirmasi untuk observasi lanjutan sehingga dapat diketahui secara pasti kondisi faali ternak
sangat diperlukan untuk selanjutnya pemberian perawatan atau penggantian ternak.

4.3.3. Pembahasan RIA P4, penampilan reproduksi dan kondisi biologis ternak

Seluruh ternak yang digunakan dalam percobaan ini adalah ternak yang diikutkan
dalam program perbaikan sistem rekording dengan menggunakan program aplikasi lunak
Artificial Insemination Database Application (AIDA). Program ini bertujuan untuk mencatat
hampir semua faktor yang mempengaruhi keberhasilan layanan IB, seperti sistem
pemeliharaan ternak, deteksi berahi, kualitas semen, Teknisi IB, dan pemanfaatan RIA P4
untuk medeteksi secara dini kegagalan lB. Penggunaan RIA P4 bukanlah sesuatu yang
diwajibkan, karena konfirmasi keberhasilan dan atau kegagalan IB dapat dilakukan dengan
rektal palpasi pada saat hari ke 50 dan seterusnya, setelah layanan lB. Namun, karena
hormon P4 adalah merupakan hormon siklus berahi pada hewan betina, keberadaan dari
hormon ini dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi endokrin dari status reproduksi
ternak[19].
Sebagaimana telah dilaporkan terdahulu[131, pada lokasi peternakan sapi perah di
Garut tercatat adanya layanan IB yang diberikan saat ternak bunting dan/atau saat fase luteal
mencapai 35%, dan dengan rasio layanan IB per kebuntingan 3 (atau laju kebuntingan sekitar
33,3%). Kondisi yang digambarkan dengan angka tersebut merupakan suatu gambaran
besarnya nominal yang dapat dicapai untuk perbaikan efisiensi dan penampilan reproduksi.
Lima ekor ternak yang dipilih oleh petani ternak sebagai ternak uji adalah ternak yang
diharapkan dapat diketahui penyebab kasus kawin berulang atau gangguan reproduksinya.
Dua diantaranya terbukti anestrus dan kemungkinan mengalami sistik ovari (ternak A dan B,
Gambar 8). Lebih lanjut, sesuai dengan anamnese awal, kedua ternak tersebut telah berumur
6-7 tahun, yang secara fisiologi, ada kemungkinannya bahwa ternak telah mencapai stadium
dimana kapabilitas reproduksinya telah menurun. Penggantian ternak dengan umur yang
lebih muda dapat dijadikan rekomendasi akhir bagi petani ternak yang bersangkutan.
Ternak dalam status faali pemulihan dari kondisi anestrus ditemukan pada ternak D
dan F (Gambar 14), yang sesuai dengan data prognosis awal telah beberapa kali gagal lB.
Pemulihan ovari pasca melahirkan pada ternak tersebut tampak belum tercapai. Namun,
pemulihan ovari untuk beraktivitas dapat terdeteksi saat dilakukan pengamatan dengan cara
pengambilan sam pel hormon P4 dalam susu selama peri ode tertentu. Rekomendasi dapat
diberikan untuk saat layanan IB pada 21 hari setelah terdeteksinya berahi (tanda panah (!)
Gambar 15). Kedua ternak tersebut bunting setelah waktu layanan IB yang diberikan, dan hal
in; telah dikonfirmasikan palpasi per rektal oleh tenaga veteriner. panjangnya waktu

171
Iptek Nuklir Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti ISSN 2087-8079

pemulihan ovari pasca kelahiran merupakan hal yang banyak dijumpai di Garut dan di
Indonesia umumnya. Apabila keadaan ini disebabkan karena pakan dengan kualitas rendah,
yang dapat ditunjukkan dengan data SKB antara 1,75-2,00, maka problematik rendahnya
penampilan reproduksi akibat nutrisi yang tidak mencukupi dapat ditangani dengan perbaikan
pemberian pakan berkualitas[56]. Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa pemberian pakan
dengan manajemen baik yang dimulai dari saat prepartum, akan dapat mengurangi timbulnya
kejadian gangguan reproduksi, khususnya yang berhubungan dengan anak, seperti milk
fever, dystocia, retained fetal membranes, ketosis, dan metritis. Semua hal tersebut
berhubungan dengan proses peningkatan penampilan reproduksi[56,57J.Namun, keadaan yang
sering pada kebanyakan peternakan, perhatian terhadap perbaikan tata laksana reproduksi
meningkat setelah timbul gangguan reproduksi, yang biasanya telah menimbulkan kerugian
ekonomi.
Hasil interpretasi profil hormon P4 pada ternak sapi perah dengan kode C di Garut
menunjukkan bahwa rentang siklus berahi lebih panjang dari 21 hari, sebagai rentang normal
siklus (Gambar 15). Secara fisiologis, keadaan akan selalu menyebabkan gagal IB atau
kawin berulang, yang disebabkan karena kesalahan deteksi berahi. Bertambah panjangnya
siklus berahilestrus ini cenderung disebabkan karena adanya pertambahan fase diestrus,
yang cenderung lebih disebabkan karena masih adanya struktur KL pad a ovarium dan juga
kegagalan dalam sekresi PGF2a[45J. Tidak adanya PGF2a ini seringkali disebabkan adanya
kasus metritis atau gangguan uterus (uterine pathology). Jika ada cukup stimulasi dari
PGF2a ini, maka KL akan meluruh dan ovulasi akan dapat muncul mengikuti kejadian berahi,
sebagaimana digambarkan pad a Gambar 15. Keadaan ini bersifat tidak permanen, dan telah
dibuktikan bahwa layanan IB yang diberikan saat 21 hari dari berahi yang teridentifikasi
melalui profil hormon P4, ternak dapat dikonfirmasikan bunting per rektal palpasi pada 50 hari
pasca lB.
Profil hormon P4 pad a Gambar 16 dan 17 untuk ternak di Yogyakarta menunjukkan
status reproduksi ternak anestrus. Dari hasil ini, tidak ada rekomendasi yang dapat diberikan
baik pada peternak maupun pad a petugas teknis lapangan hingga ternak pulih dan aktivitas
ovarium terdeteksi kembali. Kejadian anestrus sering ditemukan pad a ternak post partum.
Setelah KL meluruh post partum, hormon P4 pada plasma dan susu akan berada pada
tingkat konsentrasi yang rendah hingga kemudian terjadi pemulihan ovarium beraktivitas
kembali[12]. Konfirmasi keadaan ini dilakukan per rektal dengan tidak adanya aktivitas pada
ovariumnya. Namun, hasil diagnosis awal secara individual, mengarah pada kondisi ternak
dengan pasokan nutrisi yang kurang baik. Berbeda dengan keadaan pada ternak sebagai
akseptor program ET (ternak C8 UNT dan C14), yang berdasarkan profil harmon P4
menunjukkan bahwa ternak tidak bunting dan fungsi ovari berlangsung normal setelah
transfer embrio dilakukan. Gambar 18 menunjukkan tidak terjadi implantasi embrio yang
diberikan atau dugaan bahwa telah terjadi EED. Kemungkinan terjadinya hal ini adalah
kegagalan pada proses gertak berahi atau sinkronisasi berahi saat akan dilakukan ET.
Dugaan ini tidak dapat dikonfirmasi, karena tidak tersedianya data penunjang saat dilakukan
ET. Namun, dari kejadian ini dapat dipastikan pentingnya sistem recording sebagai upaya
peningkatan produksi ternak dari sisi peningkatan penampilan reproduksinya.
Ternak lain yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai permasalahan gangguan
reproduksi yang menyerupai ternak yang telah disebut terdahulu, seperti gagal IB, kawin
berulang, CLP. EED, dan memanjangnya rentang pemulihan ovarium untuk beraktivitas post
partum (Gambar 16-20). Semua kasus kegagalan reproduksi tersebut cenderung lebih
disebabkan karena tidak adanya sistem tata laksana yang baik dari faktor-faktor yan?
mempengaruhinya, yang berintegrasi antara satu dengan lainnya, seperti nutrisi[56,
manajemen kesehatan ternak[54,57J,serta sistem pencatatan. Keadaan ini dapat dibuktikan
bahwa anamnese awal tidak lengkap yang dapat digunakan sebagai informasi awal untuk
dilakukannya pemeriksaan dan prediksi awal untuk tindakan antisipatif. Kesulitan juga
dihadapi sa at akan memperkenalkan suatu teknologi baru sederhana yang bertujuan
peningkatan penampilan reproduksi secara menyeluruh. Hal ini lebih disebabkan karena
faktor non-teknis, seperti budaya, perbedaan sistem pencatatan antara peternak dan petugas
teknis, dan kekurangpahaman tentang tata laksana yang benar dalam beternak. Namun,
dengan membuktikan sistem pencatatan dalam suatu bentuk rekording dan aplikasi RIA P4,
kekurangan dalam sistem pemeliharaan ternak di lapangan dapat lebih dipahami dan dapat
dijadikan sebagai perbaikan sistem pemeliharaan ternak. Lebih lanjut, perbaikan dari kualitas
petugas lapangan dengan cara pemberian pendidikan dan pelatihan keterampilan dapat
menjadi suatu aspek yang utama dalam rangka peningkatan laju kebuntingan dengan lB.

172
Aplikasi radioimmunoassay (RIA) untuk peningkatan ... (Ors. Totti Tjiptosumirat, MRur.$c.)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Untuk mengetahui kemungkinan potensi kembar dapat dilakukan dengan cara


memantau tingkat konsentrasi hormon P4 pad a fase luteal (11 hari setelah ovulasi)
menggunakan teknik RIA untuk hormon progesteron. Tingkat konsentrasi hormon P4 pada
fase luteal signifikan lebih tinggi ditemukan pada ovulasi di atas 2 sel telur dibandingkan
dengan pada ovulasi di bawah atau sama dengan 2 sel telur. Keadaan ini dapat dijadikan
sebagai dasar untuk mengetahui potensi kelahiran kembar apabila seluruh sel telur dibuahi.
Peningkatan penampilan reproduksi post partum dapat dicapai dengan aplikasi teknik
RIA P4 yang digunakan untuk mendeteksi aktivitas ovarium pasca melahirkan. Tenggang
waktu antara kelahiran hingga pelaksanaan IB pertama post partum, dan ternak berhasil
bunting, secara nyata (P<0,05) dapat dideteksi dengan aplikasi RIA P4 yaitu 96,7 ± 13,6 vs
136,1 ± 6,9 hari masing-masing pada ternak yang aktivitas ovariumnya dipantau dengan
teknik RIA P4 dibandingkan dengan pemantauan secara visual. Aplikasi teknik RIA P4, dalam
hal ini, dapat dijadikan sebagai alat untuk mendukung peningkatan penampilan reproduksi
ternak melalui kawin (inseminasi) buatan. Selain itu, aplikasi teknik RIA P4 memberikan
dampak yang signifikan pad a perbaikan rasio jumlah IB per kebuntingan (service per
conception; SIC), yaitu 2,3 vs 3,4 masing-masing untuk ternak yang di IB hasil aplikasi RIA
P4 dan ternak yang di IB berdasarkan pengamatan secara visual.
Gambaran fungsi faali reproduksi ternak yang dapat diinterpretasikan melalui profil
hormon progesterone memungkinkan teknik RIA P4 dapat digunakan untuk mendeteksi
gangguan reproduksi pada ternak yang kinerja reproduksinya rendah. Dengan aplikasi teknik
RIA P4 tindakan antisipatif, seperti afkir atau penggantian ternak, dapat segera dilakukan
untuk menjaga penampilan reproduksi yang baik.

5.2. Saran

Adanya potensi bahwa teknik RIA Progesteron dapat digunakan untuk menunjang
program peningkatan produksi dan populasi ternak, yang mendukung pemerintah dalam
program PSDS 2014, perlu diiringi dengan upaya penyediaan kit RIA progesteron untuk
peternakan oleh BAT AN. Keadaan ini diperlukan untuk memenuhi permintaan berbagai
institusi nasional yang telah secara bersama-sama melakukan evaluasi penerapan teknologi
RIA progesteron di lapangan.

DAFT AR PUST AKA

[1] HAFEZ, E.S.E. and HAFEZ, B., Sheep and Goats, in Reproduction in Farm Animals, ih
edition, Editors: B. Hafez and E.S.E. Hafez, Lippincott Williams and Wilkins, USA,
(2000), pp: 55-67.
[2] PETERS, AR. and BALL, P.J.H. "Reproduction in Cattle". Butterworth & Co. Publishers
Ltd. United Kingdom, (1987).
[3] HAFEZ, E.SE and HAFEZ, B., Folliculogenesis, Egg Maturation, and Ovulation, in
Reproduction in Farm Animals, ih
edition, Editors: B. Hafez and E.S.E. Hafez, Lippincott
Williams and Wilkins, USA, (2000), pp: 68-81.
[4] TJIPTOSUMIRAT, T. Studi Hubungan Konsentrasi Hormon Progesteron dengan Jumlah
Korpus Luteum pada Kambing, Jurnal Ilmiah Aplikasi isotop dan Radiasi, Vol. 5 (1),
(2009), Hal: 43-53.
[5] BLANCO, M., Embryo production and progesteron profiles in ewes superovulated with
different hormonal treatments, in Small Ruminant Research, Vol. 47, No.3, (2003), pp:
183.
[6] SELVARAJU, M., D. KATHIRESAN, T.G. DEVANATHAN AND J. TAMILNADU,
Veterinary & Animal Sciences 3 (1) (2007), pp: 47-48.
[7] FREITAS V.J.F., G. BARIL, AND J. SAUMANDE, Estrus synchronization in dairy goats:
use of fluorogestone acetate vaginal sponges or norgestomet ear implants, Animal
Reproduction Science, Vol. 46, No.3, (1997), pp: 237-244.

173
Iptek Nuklir Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti ISSN 2087-8079

[8] DALLY, R.L. Ax. MR., DIDION, B.A., LENZ, R.W., LOVE, C.C., VARNER, D.O., HAFEZ,
B., and BELLIN, M.E. Artificial Insemination, in Reproduction in Farm Animals, 7'h
edition, Editors: B. Hafez and E.S.E. Hafez, Lippincott Williams and Wilkins, USA,
(2000), pp: 376-389.
[9] T. TJIPTOSUMIRAT, B.J. TUASIKAL, S. DARWATI, AL. TOLENG, C. ARMAN, AND Y.
RIZAL. Improvement of the Efficiency of Artificial Insemination Service through the use
of Artificial Insemination Database Application (AIDA) and Radioimmunoassay (RIA)
technique, a RAS/5/035 Country Project Report - Indonesia. IAEA Meeting on the Feed
Supplementation and Reproductive Management of Cattle, Beijing, China, (2005).
[10] TUASIKAL B.J., TT JIPTOSUMIRAT, R KUKUH, "Studi Gangguan Reproduksi Sa pi
Perah dengan Teknik Radioimmunoassay (RIA) Progesteron", Risalah Seminar IImiah
Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi untuk Litbang bidang
Pertanian, Peternakan, Industri dan Lingkungan dalam Pembangunan Nasional, P3TIR-
BATAN, (2004), hal: 187-192.
[11] BOGART, R and TAYLOR, RE., Scientific Farm Animal Production, 2nd Edition,
Macmillan Publishing Company - New York, Collier Macmillan Publisher - London,
(1983), pp: 98 -108.
[12] JAINUDEEN, M.R and HAFEZ, ESE, Cattle and Buffalo, in Reproduction in Farm
Animals, 7'h edition, Editors: B. Hafez and E.S.E. Hafez, Lippincott Williams and Wilkins,
USA, (2000), pp: 159-171.
[13] TJIPTOSUMIRAT, T, B.J. TUASIKAL, N. LELANANINGTYAS, D. SUDIANA, A YAN\,
"Feed supplementation and Reproductive management of cattle", Country Report, IAEA
Country Project number RAS/5/035, 2004.
[14] TEOLIHERE, M.R, Inseminasi Buatan pad a Ternak, Penerbit Angkasa Bandung,
(1981 ).
[15] JAINUDEEN, M.R, H. WAHID, AND E.S.E. HAFEZ, Gestation, Prenatal, Physiology,
and Parturition, in Reproduction in Farm Animals, 7'h edition, Editors: B. Hafez and
ES. E. Hafez, Lippincott Williams and Wilkins, USA, (2000), pp. 140-155.
[16] DOBSON, H., Laboratory Handbook for Postgraduates, Post Docs, and Other Visitors,
Veterinary Reproduction Unit, Wellcome Building - The University of Liverpool -
Leahurst, UK, (2002).
[17] TJIPTOSUMIRAT, T, B.J.TUASIKAL, N. LELANANINGTYAS, "Radioimmunoassay
(RIA) Progesteron untuk Diagnosis Kegagalan Inseminasi Buatan pada Ternak Sapi
perah", Prosiding Presentasi IImiah Keselamatan Radiasi dan Lingkungan X, Puslitbang
Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir, BATAN, (2004), hal: 159-171.
[18] ZDUNCZYK, S., MWAANGA, E.S., TEPICHT, J.M., BARANSKI, W., AND JANOWSKI,
T Plasma progesteron levels and clinical findings in dairy cows with post-partum
anestrous. Bull. Vet. Inst. Pulawy 46, 2002. pp. 79-86.
[19] JAINUDEEN, M.R AND HAFEZ, E.S.E, Pregnanc~ Diagnosis. In: Hafez, E.S.E and
Hafez, B. Eds. Reproduction in Farm Animals, 7 Edition: Lippincott Williams and
Wilkins, Baltimore Maryland, (2000). pp. 395-404.
[20] TOELIHERE M.R, Fisiologi Reproduksi pad a Ternak, Penerbit Angkasa, Bandung,
1981.
[21] HAFEZ, E.S.E., JAINUDEEN, MR. AND ROSNINA, Y., Hormons, Growth Factors, and
Reproduction. In: Reproduction in Farm Animals, 7'h Edition: Lippincott Williams and
Wilkins, Baltimore Maryland, (2000). pp. 33-54.
[22] ABEYRATNE AS., Infertility Investigation in Female Animals., University of Peradeniya,
Srilanka, 1995, 2-25.
[23] GEISERT RD. and J.RMALAYER, Implantation. In: Hafez, E.S.E and Hafez, B. Eds.
Reproduction in Farm Animals, 7'h Edition: Lippincott Williams and Wilkins, Baltimore
Maryland, (2000). pp.126-139.
[24] GOTTFREDSON, R Hormonal Control of Ewe Reproduction, Department of Animal
Sciences, University of Wisconsin-Madison, (2001), pp: 42-44.
[25] PHILLIPPO, M., G.H. SWAPP, J.J. ROBINSON, AND G.C. GILL, The diagnosis of
pregnancy and estimation of foetal numbers in sheep by laparoskopi. Journal
Reproduction Fertility, 27, (1971), pp: 129-132.
[26] WANI G.M., Laparoskopi in farm animals., In World Review Animal Production, 18,
(1982), pp: 7-13.
[27] WAN I G.M. AND K.L. SAHNI, Ovulation detection by laproscopy in sheep. Indian
Jour.Animal Sci. 58 (7), (1988), pp: 802-804.

174
Aplikasi radioimmunoassay (RIA) untuk peningkatan ... (Drs. Totti Tjiptosumirat, MRur.Sc.)

[28] ANONYM, Self-Coating Progesteron Radioimmunoassay (RIA) Kit, a Protocol Prepared


by the Animal Production Unit, FAO/IAEA Agriculture Laboratory, Seibesdorf, Austria
(1995).
[29] SCARRAMUZI, RJ., ADAMS, N.R, and BAIRD, D.T., A model for follicular selection
and the determination of ovulation rate in the ewe. Reproductive Fertility Development,
5, (1993), pp: 459-461
[30] MEDAN, M.S., Gen WATANABE, Kazuaki SASAKI, Nigel P. GROOME, Sayed
SHARAWY and Kazuyoshi TAYA, Follicular and Hormonal Dynamics during the Estrous
Cycle in Goats, Journal of Reproduction and Development, Vol. 51, No.4, (2005), pp:
455-463.
[31] HAFEZ, E.S.E. and HAFEZ, B., Reproductive Cycles, in Reproduction in Farm Animals,
y'h edition, Editors: B. Hafez and E.SE Hafez, Lippincott Williams and Wilkins, USA,
(2000), pp: 55-67.
[32] STAPLES, C. R, W. W. THATCHER, AND J. H. CLARK. Relationship between ovarian
activity and energy status during the early postpartum period of high producing dairy
cows. J. Dairy Sci., 73, (1990), pp: 938-947.
[33] LUCY, M.C., C.R STAPLES, F.M. MICHEL, AND W.W. THATCHER Energy balance
and size and number of ovarian follicles detected by ultrasonography in early post
partum dairy cows. J. Dairy Sci., 74, (1991), pp: 473-482.
[34] LUCY, M.C., C.R STAPLES, W.W. THATCHER, P.S. ERICKSON, RM. CLEALE, J.L.
FIRKINS, J.H. CLARK, M.R MURPHY, AND B.O. BRODIE. 1992. Influence of diet
composition, dry-matter intake, milk production and energy balance on time of post-
partum ovulation and fertility in dairy cows. Anim. Reprod. Sci., 54, (1992), pp: 323-331.
[35] GARBARINO, E.J., J.A. HERNANDEZ, J.K. SHEARER, C.A. RISCO, AND W.W.
THATCHER, Effect of Lameness on Ovarian Activity in Postpartum Holstein Cows, J.
Dairy Sci., 87, (2004), pp: 4123-4131.
[36] OPSOMER, G., Y.T. GRonHN, J. HERTL, M. CORYN, H. DELUYKER, AND A. DE
KRUIF. Risk factors for postpartum ovarian dysfunction in high producing dairy cows in
Belgium: A field study. Theriogenology, 53, (2000), pp: 841-857.
[37] LUCY, M.C., REPRODUCTIVE LOSS IN HIGH-PRODUCING DAIRY CATTLE: WHERE
WILL IT END? J. DAIRY SCI., 84, (2001), PP: 1277-1293.
[38] BUTLER, W.R AND SMITH, RD., INTERRELATIONSHIPS BETWEEN ENERGY
BALANCE AND POSTPARTUM REPRODUCTIVE FUNCTION IN DAIRY CATTLE. J.
DAIRY SCI., 72, (1989), PP: 767-783.
[39] BEAM, S.W. AND BUTLER, W.R, Effects of energy balance on follicular development
and first ovulation in postpartum dairy cows. Journal of Reproduction and Fertility
(Supplement), 54, (1999), pp: 411-424.
[40] DISKIN, M.G., D.R MACKEY, K. STAGG, J.F. ROCHE & J.M. SREENAN, Shortening
the interval to the resumption of ovarian cycles in postpartum beef cows, Athenry
Research Centre, Galway, Beef Production Series No. 25, Teagasc, Dublin, England,
(2001 ).
[41] KAWASHIMA, C., KANEKO, E., AMAYA MONTOYA, C., MATSUI, M., YAMAGISHI, N.,
MATSUNAGA, N., ISHII, M., KIDA, K., MIYAKE, YI, AND MIYAMOTO, N. Relationship
between the first ovulation within three weeks postpartum and subsequent ovarian
cycles and fetility in high producing dairy cows. Journal of Reproduction and
Development, 54, (2006), pp: 4-12.
[42] MURPHY, M.G., M.P. BOLAND AND J.F. ROCHE, Pattern of follicular growth and
resumption of ovarian activity in post-partum beef suckler cows, Journal of Reproduction
Fertility, 90, (1990), pp: 523-533.
[43] RHODES, F.M., S. MCDOUGALL, C.R BURKE, G.A. VERKERK AND K.L.
MACMILLAN., INVITED REVIEW: TREATMENT OF COWS WITH AN EXTENDED
POSTPARTUM ANESTROUS INTERVAL, J. DAIRY SCI., 86, (2003), PP:1876-1894.
[44] MICHAEL L. O'CONNOR, Milk progesterone analysis for determining reproductive
status, Department of Dairy and Animal Science, The Pennsylvania State University,
USA, (2001).
[45] JAINUDEEN, M.R AND HAFEZ, E.S.E., Reproductive Failure in Females. In: Hafez,
E.S.E and Hafez, B. Eds. Reproduction in Farm Animals, y'h Edition: Lippincott Williams
and Wilkins. Baltimore Maryland. 2000. pp. 261 :278.
[46] GARCIA, M., PERERA, 0., GOODGER, W.J., EISELE, C., FISCHER, A., KREUTZMAN,
C., and PELLETIER, J., (1996). User Manual for Artificial Insemination Database

175
Iptek Nuklir Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti ISSN 2087-8079

Application (AIDA), Version 3.3, Animal Production and Health Section, Joint FAOIIAEA
Division, Vienna, Austria.
[47] PRESTON and LENG 8: Komunikasi pribadi dengan Leng, 1995.
[48] ANONIM, "Reproductive cycle, fertilisation and embryo development", Reproduction in
cattle, Cattle Breeding Technologies, 1995, 5-9.
[49] TJIPTOSUMIRAT, T., HENDRATNO, C., SUHARYONO, SARTIKA, D., SUPANDI, P.,
and SURY ADARMA, L. (1997). Supplementation strategies on the production system
for milking producing animal in West Java. Paper presented on the CRP Co-ordinated
Meeting 1997, Malang, Indonesia.
[50] ABEYRATNE AS., Infertility Investigaticn in Female Animals., University of Peradeniya,
Srilanka, 1995, 2-25.
[51] MATEUS I., LOPES DA COSTA, J.J. ALFARO CARDOS, and J. ROBALO SILVA,
Treatment of Unobserved Oestrus in a Dairy Cattle Herd with Low Oestrous Detection
Rate up to 60 Days Post-partum, Reprod. Dom. Anim., 2002 (37) 57-60.
[52] MATEUS I., L. LOPES DA COSTA, F. BERNARDO, and J. ROBALO SILVA, Influence
of Puerperal Uterine Infection on Uterine Involution and Postpartum Ovarian Activity in
Dairy Cow, Reprod. Dom. Anim., 2002 (37) 31-35.
[53] PERERA 0., Application of RIA for Improving Livestock Production, Joint FAO/IAEA
Workshop, Bangladesh, 2002.
[54] ALEXANDER, PABD., ABEYGUNAWARDENA, 1-1., PERERA, B.MAO., and
ABEYGUNAWARDENA, I.S. Reproductive performance and factors affecting the
success rate of artificial insemination of Cattle in Up-country multiplier farms of Sri
Lanka. Trop. Agric. Res. 10: 356-371. (1998).
[55] ACHJADI R.K., "Penyakit (Gangguan) Reproduksi, Dasar Pendekatan dan
Penanggulangannya serta Kaitannya dengan Upaya Swasembada Daging Tahun 2005",
Disampaikan pad a Rapat Teknis dan Pertemuan IImiah (Ratekpil) Kesehatan Hewan,
Dirkeswan, Dirjen Produksi Peternakan, Bogor 5-6 Oktober 2000: 1-12.
[56] RISCO CA, DROST M, THATCHER WW, et al. Effects of retained fetal membranes, milk
fever, uterine prolapse or pyometra on postpartum uterine and ovarian activity in dairy
cows. Theriogenology 42: 183, 1994.
[57] SHIFERAW Y., BEKANA M., TENHAGEN BA, AND KASSA T., Factors affecting
reproductive performance of crossbred dairy cows in different production systems in the
central highlands of Ethiopia, 1998.

176

Anda mungkin juga menyukai