Anda di halaman 1dari 44

VALIDASI KIT EIA KOMERSIAL UNTUK

ANALISA HORMON ESTRADIOL DAN PROGESTERON


PADA KAMBING KACANG (Capra hircus) BETINA

DEDI RAHMAT SETIADI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Validasi Kit EIA
Komersial untuk Analisa Hormon Estradiol dan Progesteron pada Kambing
Kacang (Capra hircus) Betina adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014

Dedi Rahmat Setiadi


B352110031
RINGKASAN

DEDI RAHMAT SETIADI. Validasi Kit EIA Komersial untuk Analisa Hormon
Estradiol dan Progesteron pada Kambing Kacang (Capra hircus) Betina.
Dibimbing oleh IMAN SUPRIATNA dan MUHAMMAD AGIL.

Enzyme immunosorbent assay (EIA) adalah suatu teknik yang


menghubungkan spesifitas antibodi dengan kepekaan uji enzimatis atau antigen
yang dilekatkan pada enzim dengan spektrofotometer biasa. Analisa dengan
menggunakan teknik EIA telah terbukti cocok untuk menggantikan teknik radio
immunoassay (RIA) yang memiliki berbagai kelemahan. Terdapat beberapa
produk kit EIA komersial yang dapat dipergunakan untuk pengujian konsentrasi
hormon, tetapi belum ada dari produk tersebut yang dapat dijadikan sebagai
rujukan dalam penggunaannya untuk hewan.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kelaikan kit EIA komersial
estradiol dan progesteron untuk manusia yang dipergunakan untuk monitoring
status reproduksi kambing kacang. Penelitian ini menggunakan tiga ekor kambing
kacang betina berumur 2–3 tahun, kondisi sehat, memiliki siklus estrus reguler,
fertil dan tidak bunting. Sampel darah diambil dari vena jugularis menggunakan
venoject 21 G setiap dua hari sekali dan diintensifkan setiap hari menjelang fase
estrus, plasma disimpan pada suhu -20ºC sampai dilakukan analisa. Ultrasonografi
dipergunakan untuk memeriksa organ reproduksi betina (ovarium) pada saat
pengambilan darah. Validasi hormon asai dilakukan dengan metode validasi
laboratorium dan validasi biologi. Validasi laboratorium dipastikan dengan
melakukan pengukuran akurasi, sensitivitas dan presisi. Validasi biologi
dilakukan berdasarkan perbandingan profil hormon yang diperoleh dengan
perubahan morfologi dan gambaran hasil USG pemeriksaan ovarium.
Uji paralelisme memperlihatkan bahwa kurva sampel paralel dengan kurva
standar kit estradiol (E2) dan progesteron (P4) produk DRG International Inc.,
sedangkan tidak paralel dengan kit hormon EIA produk GBC. Konsentrasi terkecil
hormon estradiol dan progesteron yang terukur pada 90% binding adalah 25
pg/mL dan 0.14 ng/mL untuk kit DRG. Koefisien variasi intra- dan interasai
(%CV) pada kit DRG untuk E2 dan P4 adalah ˂ 10%. Kambing 5 dan 9 tidak
menunjukkan siklus estrus dengan profil hormon tampak datar. Kambing 7
menunjukkan siklus estrus yang tidak teratur, dengan hanya ditemukannya profil
progesteron dari satu siklus selama 62 hari pengamatan walaupun tidak disertai
profil estradiol yang spesifik pada siklus tersebut. Konsentrasi progesteron selama
fase luteal berkisar antara 3.6–42.8 ng/mL. Konsentrasi tampak meningkat
signifikan pada hari ke 4 setelah ovulasi teramati dan mencapai puncaknya pada
hari ke 6 sampai hari ke 14 dengan konsentrasi 19.2–42.8 ng/mL sebelum
menurun drastis pada akhir siklus. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kit
EIA P4 DRG adalah cocok dan dapat digunakan untuk monitoring status
reproduksi dengan pengujian sampel plasma kambing kacang betina, namun tidak
demikian dengan EIA E2 DRG. Sedangkan kit EIA E2 serta P4 GBC tidak dapat
digunakan untuk menganalisa hormon E2 dan P4 dari sampel darah kambing
kacang.

Kata kunci: EIA, estradiol, kambing kacang, progesteron, ultrasonografi


SUMMARY

DEDI RAHMAT SETIADI. Validation of Commercial EIA Kit for Analysis of


Hormone Estradiol and Progesterone in Female Kacang Goat (Capra hircus).
Supervised by IMAN SUPRIATNA and MUHAMMAD AGIL.

Enzyme immunosorbent assay (EIA) is a technique that connects the


specificity of antibodies with the enzymatic test sensitivity or antigen attached to
the enzyme by regular spectrophotometer. Analysis using EIA technique has been
proved suitable to replace the radio immunoassay (RIA) technique which has
many weaknesses. There are several commercial EIA hormone kit products that
can be used nowadays to test the concentration of the hormone, but not any of the
products which can be used as a reference.
The aims of this study was to determine the feasibility of commercial EIA
hormone kits for human estradiol and progesterone whether can be used or not for
monitoring reproductive status of kacang goat. This study used 3 female kacang
goats 2–3 years old, healthy, have regular estrous cycles, fertile and unpregnant.
Blood samples were taken from the jugular vein using a 21 G venoject every two
days and sample collection was intensified every day prior to heat. Blood plasma
stored at -20ºC until the analyse. Ultrasound is used to check the female
reproductive organs (ovaries) during blood sampling. Hormone assay validation
was conducted through laboratory validation and biologycal validation.
Laboratory validation was carried out by measuring accuracy, sensitivity and
precision. Comparison between hormone profile and morphologycal change and
USG picture of the ovary was used as biologycal validation.
Parallelism test showed that sample curve was parallel with standard curve
of E2 and P4 of DRG commercial kit, in contrast GBC commercial kit was not
parallel. The lowest hormone concentration of estradiol (E2) and progesterone
(P4) at 90% binding was 25 pg/mL and 0.14 ng/mL in DRG kit. Coefficient
variation of intra- and interassay for both DRG EIA commercial kits were less
than 10%. Goat 5 and 9 did not show estrus cycle with hormone profiles appear
flat. Goat 7 showed irregular estrous cycles, with only finding of progesterone
profile of one cycle during 62 days of observation, although it did not coincide
with profiles of estradiol on the cycle. Progesterone concentrations during the
luteal phase ranged from 3.6-42.8 ng/mL. Concentration appears to increase
significantly at day 4 after ovulation was observed and reached a peak on day 6 to
day 14 with a concentration of 19.2-42.8 ng / mL before decreased dramatically
by the end of the cycle. It can be concluded that the P4 DRG EIA kit is suitable
and can be used for monitoring the reproductive status by measuring plasma
samples female kacang goat, but not compatible for E2 EIA DRG. While E2 and
P4 EIA kits GBC can not be used to analyze hormones E2 and P4 from blood
samples of kacang goat.

Keywords: EIA, estradiol, progesterone, kacang goat, ultrasound


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
VALIDASI KIT EIA KOMERSIAL UNTUK ANALISA
HORMON ESTRADIOL DAN PROGESTERON
PADA KAMBING KACANG (Capra hircus) BETINA

DEDI RAHMAT SETIADI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: drh Amrozi, PhD
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
berkaitan dengan validasi kit EIA komersial dengan menggunakan sampel darah
kambing kacang berupa plasma. Sampai saat ini kit EIA komersial tersebut belum
ada yang dapat dijadikan sebagai rujukan atau referensi untuk digunakan karena
memiliki sensitifitas yang berbeda. Kepekaan ini penting untuk diketahui karena
berhubungan erat dengan jumlah konsentrasi hormon yang dapat diketahui oleh
kit EIA komersial tersebut. Karya ilmiah ini juga berisikan informasi mengenai
protokol analisa hormonal untuk sampel kambing kacang serta produk kit EIA
komersial yang tepat dan selanjutnya dapat dipergunakan sebagai bahan referensi
untuk pemeriksaan hormon dalam sampel darah dari ternak tersebut.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Prof Dr drh Iman Supriatna
sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr drh Muhammad Agil, MScAgr selaku
anggota komisi pembimbing atas bimbingan, arahan, perhatian dan nasehat
selama melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.
Penghargaan disampaikan penulis kepada Ketua Program Studi Biologi
Reproduksi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Kepala Bagian
Reproduksi dan Kebidanan, seluruh staf pendidik dan kependidikan Bagian
Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, FKH-
IPB yang telah memberikan ijin sekolah, dukungan dan membantu kepada penulis
dalam menempuh studi hingga selesainya penulisan karya ilmiah ini.
Perhargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Dr drh
Muhammad Agil,MScAgr yang telah mendorong, mendukung dan masukannya
pada saat penulis akan menempuh dan mengikuti studi pada Program Studi
Biologi Reproduksi. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada drh Santoso
dan drh Andriyanto,MSi sebagai rekan kerja dan yang telah membantu selama
penelitian, tak lupa kepada seluruh rekan-rekan pada Program Studi Biologi
Reproduksi 2011 penulis ucapkan terimakasih.
Dengan penuh rasa hormat penulis persembahkan kepada Ayahanda (alm)
Muhammad Dadjri, ibunda Rasimi dan seluruh keluarga atas doa, dukungan dan
kasih sayang yang diberikan. Terimakasih disampaikan kepada seluruh pihak
yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan perhatian dan
dukungan kepada penulis.
Karya ilmiah ini didedikasikan untuk istri tersayang ‘Yuli Yulianti’ dan
anak-anakku ‘Rifaa Mufiidah Setiadi’, ‘Fahmida Shaista Setiadi’ dan ‘Muhafiz
Rohail Setiadi’ yang tidak ada lelahnya mendukung selama penulis menempuh
studi. Akhirnya, semoga karya ilmiah berupa tesis ini dapat memberikan
informasi yang bermanfaat dan berguna.

Bogor, Maret 2014

Dedi Rahmat Setiadi


DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR x
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Kerangka Pemikiran 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 3
Hipotesis 3
Pertanyaan Saintifik yang Harus Dijawab 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 3
Kambing Kacang 3
Taksonomi 3
Morfologi dan Biologi 4
Biosintesis Dan Metabolisme Hormon Steroid:Estradiol dan
Progesteron 4
Kit EIA Komersial 6
3 MATERI DAN METODE 8
Waktu dan Tempat Penelitian 8
Materi Penelitian 8
Metode Penelitian 9
Tahap I Monitoring Pola Siklus Estrus pada Kambing Kacang 9
Analisa Hormon Estradiol dan Progesteron selama Siklus Estrus 9
Monitoring Siklus Ovarium Menggunakan USG 9
Tahap II Validasi Beberapa Kit Komersial 10
Uji Paralelisme 10
Optimalisasi Standard Kurva Hormon Asai 10
Sensitivitas Kit EIA 11
Presisi Kit EIA 11
Intra- dan Inter-Assay Variation 11
Analisa Hormon 12
Prosedur Asai Hormon 12
Hormon Estradiol DRG Jerman (EIA-2693) 12
Hormon Progesteron DRG Jerman (EIA-1561) 12
Hormon Estradiol GBC Taiwan (4S00071) 13
Hormon Progesteron GBC Taiwan (4S00121) 13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14
Validasi Kit 14
Gambaran Morfologi dan Perkembangan Struktur Fungsional Ovari
(Folikel dan CL) 17
Analisa Hormon 19
5 SIMPULAN DAN SARAN 24
Simpulan 24
Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 24
DAFTAR GAMBAR

1 Kambing kacang berwarna campuran (coklat dan putih) 4


2 Transformasi biokimia utama yang terjadi pada hormon steroid 5
3 Mekanisme kerja hormon steroid 6
4 Kurva sampel sejajar dengan kurva standar menggunakan kit
EIA komersial estradiol dari produk DRG International Inc.,
Jerman 14
5 Kurva sampel sejajar dengan kurva standar menggunakan kit
EIA komersial progesteron dari produk DRG international
Inc.,Jerman 15
6 Kurva sampel tidak sejajar dengan kurva standar menggunakan
kit EIA komersial estradiol GBC Taiwan 16
7 Kurva sampel tidak sejajar dengan kurva standar menggunakan
kit EIA komersial progesteron GBC Taiwan 17
8 Vulva kambing kacang yang diduga estrus (a) dan tidak estrus
(b) 18
9 Pertumbuhan folikel 4.3 mm dan 4.9 mm pada ovarium kanan (a)
dan CL 4.0 mm dan 4.6 mm pada ovarium kiri (b) 18
10 Ukuran ovarium kiri (a) dan kanan (b) tanda panah 19
11 Profil hormon E2 (pg/mL, warna biru) dan P4 (ng/mL, warna
merah) kambing kacang 5 selama 9 minggu (62 hari) 19
12 Ukuran folikel dan CL kambing kacang 5 yang terdeteksi dengan
USG 20
13 Profil hormon E2 (pg/mL, warna biru) dan P4 (ng/mL, warna
merah) kambing kacang 9 selama 9 minggu (62 hari) 20
14 Ukuran folikel dan CL kambing kacang 9 yang terdeteksi dengan
USG 20
15 Profil hormon E2 (pg/mL, warna biru) dan P4 (ng/mL, warna
merah) kambing kacang 7 selama 9 minggu (62 hari) 21
16 Ukuran folikel dan CL kambing kacang 7 yang terdeteksi dengan
USG 22
17 Pertumbuhan dan perkembangan folikel dan CL kambing kacang
7 hari ke 50–54, vesica urinaria (VU) 23
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Enzyme immunosorbent assay (EIA) adalah suatu teknik yang


menghubungkan spesifitas antibodi dengan kepekaan uji enzimatis dengan
spektrofotometer biasa atau antigen yang dilekatkan pada enzim. Ciri utama dari
teknik ini adalah dipakai indikator enzim untuk reaksi imunologi. Penggunaan
reaksi antigen-antibodi sebagai alat analisa telah menimbulkan revolusi dalam
berbagai ilmu–ilmu biomedis. Reaksi ini tidak hanya bermanfaat untuk
mendiagnosa penyakit infeksi dengan cara mendeteksi respons antibodi, tetapi
telah digunakan pula secara meluas untuk mendeteksi antigen seperti hormon.
Analisa dengan menggunakan metoda EIA telah terbukti cocok untuk
menggantikan teknik radio immunoassay (RIA) yang memiliki berbagai
kelemahan. Pendekatan EIA ini memiliki berbagai keunggulan dibandingkan RIA
antara lain: tidak perlu menggunakan bahan radioaktif, label yang stabil sehingga
dapat disimpan lebih lama, deteksi aktivitas enzim hanya memerlukan alat
fotometri (Entwistle dan Ridd 1995).
Penggunaan metoda EIA dalam analisa hormon baik untuk riset maupun
penerapan klinis terus mengalami peningkatan. Keunggulan yang dimiliki metoda
EIA mengakibatkan teknik ini cepat populer. Di negara berkembang EIA lebih
memungkinkan untuk dilakukan dibandingkan dengan RIA karena tidak
membutuhkan pemakaian isotop. Berdasarkan alasan–alasan di atas maka perlu
adanya suatu kajian untuk menganalisa metoda EIA untuk analisa hormon
khususnya hormon reproduksi.
Kaitannya dengan hormon reproduksi, sekarang ini banyak monitoring
status dan evaluasi potensi reproduksi yang telah melakukan analisa hormon
reproduksi menggunakan kit EIA pada hewan domestik seperti pada domba,
kambing dan sapi. Disamping itu, dewasa ini ada beberapa produk kit EIA
komersial yang dapat dipergunakan untuk pengujian konsentrasi hormon, tetapi
belum ada dari produk tersebut yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam
penggunaannya untuk hewan. Sebagian besar sampel yang dipergunakan adalah
darah dalam bentuk serum atau plasma.
Disamping itu pula, dewasa ini banyak sekali produk kit EIA komersial
yang dapat dipergunakan untuk pengujian konsentrasi hormon, tetapi belum ada
dari produk tersebut yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam penggunaannya,
sehingga perlu adanya skrining untuk hal tersebut. Oleh karena itu, maka
pengujian atau analisa ke dua hormon ini menggunakan dua kit EIA komersial
berbeda yang berasal dari perusahaan produk biologis yang berbeda diantaranya
progesteron dan estradiol (GBC) dari Taiwan dan progesteron dan estradiol
(DRG) dari Jerman, sekaligus untuk menguji kepekaan dari kedua macam kit
komersial tersebut.
Kepekaan ini penting untuk diketahui karena berhubungan erat dengan
jumlah konsentrasi hormon yang dapat dideteksi oleh kit EIA komersial tersebut
(pikogram (pg) atau nanogram (ng)), dan nantinya akan dijadikan sebagai bahan
rujukan atau referensi untuk dipergunakan pada analisa hormon estradiol dan
progesteron berikutnya.
2

Kerangka Pemikiran

Perkembangbiakan suatu jenis hewan tidak terlepas dari peran hormon


yang berasal dari organ reproduksinya, pada betina ovarium. Ovarium disamping
berfungsi sebagai kelenjar eksokrin yaitu menghasilkan sel telur, juga berfungsi
sebagai kelenjar endokrin yaitu menghasilkan hormon estrogen dan progesteron.
Kualitas ovarium sangat menentukan dalam menghasilkan kedua hormon tersebut.
Disamping itu pula banyak penelitian di bidang peternakan dan kedokteran
melakukan pengujian hormon reproduksi berkaitan dengan siklus estrus hewan,
dengan menggunakan sampel darah berupa serum atau plasma. Hal ini dilakukan
untuk melihat pola siklus estrus dengan mengacu pada konsentrasi hormon yang
dikandungnya.
Untuk melakukan analisa kadar konsentrasi hormon ini diperlukan suatu
teknik yang akurat dan tidak berbahaya bagi lingkungan yaitu dengan teknik EIA
menggunakan kit komersial. Tetapi kit komersial tersebut sampai saat ini belum
ada yang dapat dijadikan sebagai rujukan atau referensi untuk digunakan dalam
analisa hormon estradiol dan progesteron secara tepat, karena kit komersial
tersebut memiliki sensitifitas yang berbeda. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji
kit komersial yang dimaksud terhadap sampel-sampel darah yang berasal dari
ternak.
Kurangnya parameter pendukung (parameter biologi) pada saat koleksi
sampel seperti tingkah laku hewan, waktu koleksi sampel (pagi, siang atau
malam), perubahan eksternal (adanya lendir, kebengkakan, kemerahan) dan
seterusnya, sehingga pada saat dilakukan uji validasi biologi tidak cocok dengan
hasil analisa hormon yang didapat.
Pada analisa hormon dengan menggunakan metoda EIA ini, diperlukan
suatu perbandingan pengenceran untuk sampel-sampel yang akan dianalisa, tetapi
pada kenyataannya hal tersebut belum ada. Perbandingan pengenceran ini penting
untuk mendapatkan suatu nilai konsentrasi hormon yang tidak menyimpang dari
perhitungan standar sehingga nilai tersebut dapat diterima. Didapatkan kit
komersial yang tepat sebagai protokol yang dapat digunakan untuk analisa
hormon pada ternak

Tujuan Penelitian

Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah (1) menentukan kelaikan kit
EIA komersial estradiol dan progesteron untuk manusia, yang akan dipergunakan
untuk monitoring status reproduksi kambing kacang sehingga dapat dijadikan
sebagai bahan referensi untuk pemeriksaan hormon dalam sampel darah kambing
kacang, (2) menghasilkan protokol analisa hormon untuk sampel dari kambing
kacang betina.
3

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan penelitian ini adalah


memberikan informasi tentang produk kit EIA komersial yang tepat untuk
digunakan dalam pemeriksaan hormon reproduksi dari sampel plasma darah pada
kambing kacang betina serta menghasilkan protokol analisa hormon yang dapat
dijadikan referensi untuk pemeriksaan hormon reproduksi pada ternak.

Hipotesis

Antibodi terhadap analisa hormon reproduksi manusia dapat dipakai untuk


mendeteksi hormon reproduksi pada ternak.

Pertanyaan Saintifik yang Harus Dijawab

Apakah kit EIA komersial estradiol dan progesteron untuk manusia dapat
digunakan untuk analisa hormon yang sama pada kambing kacang betina dan
apakah kit ELISA komersial dari produk yang berbeda, memiliki keakuratan atau
sensitivitas yang tidak sama.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kambing Kacang
Taksonomi

Kambing kacang merupakan salah satu plasma nutfah yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia dan belum tereksploitasi secara optimal, oleh karena itu
diperlukan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi kambing kacang tersebut
sehingga dapat dimanfaatkan untuk peningkatan produktifitasnya. Domestikasi
kambing pada awalnya terjadi di daerah pegunungan asia barat sekitar tahun
8000-7000 SM. Kambing (Capra aegagrus hircus) yang dipelihara berasal dari 3
kelompok kambing liar yang telah dijinakkan yaitu kambing bezoar atau kambing
liar eropa (Capra aegagrus), kambing liar India (Capra aegagrus blithy) dan
kambing makhor di pegunungan Himalaya (Capra falconeri). Sebagian besar
kambing yang diternakkan di Asia berasal dari keturunan bezoar (Pamungkas et
al. 2009).
Terdapat 2 rumpun kambing yang dominan di Indonesia yaitu kambing
kacang dan kambing etawah. Kambing kacang berukuran kecil, sudah ada di
Indonesia sejak tahun 1900-an dan menyusul kemudian kambing etawah yang
memiliki tubuh lebih besar (Setiadi et al. 2002). Sistematika atau klasifikasi
kambing termasuk kambing kacang adalah sebagai berikut : kingdom Animalia,
filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, famili
Bovidae, sub famili Caprinae, genus Capra, species Capra hircus (Wilson dan
DeeAnn 2005).
4

Morfologi dan Biologi

Kambing kacang merupakan kambing asli Indonesia, juga terdapat di


Malaysia dan Philipina (Pamungkas et al. 2009), mempunyai bobot hidup lebih
kecil dibanding kambing jenis lainnya (Mahmilia et al. 2009), jantan memiliki
bobot 25 kg sedangkan betina 22 kg (Pamungkas et al. 2009). Keunggulan
kambing kacang adalah mudah beradaptasi dengan lingkungan setempat dan pada
umur 15–18 bulan dapat menghasilkan keturunan (Boer Indonesia 2008).
Kambing ini menyebar di seluruh wilayah Indonesia, cocok sebagai
penghasil daging dan kulit dan bersifat prolifik. Menurut Sodiq dan Tawfik (2003)
kambing yang paling banyak dijumpai di Indonesia adalah kambing kacang dan
kambing peranakan etawah (PE). Kambing kacang memiliki ciri-ciri bulu pendek
dan berwarna tunggal (putih, hitam dan coklat), ada juga campuran dari ketiga
warna tersebut, kambing jantan berbulu surai panjang dan kasar sepanjang garis
leher, pundak, punggung sampai ekor. Janggut selalu terdapat pada jantan, pada
betina jarang ditemukan. Kambing jantan maupun betina memiliki tanduk yang
berbentuk pedang, melengkung ke atas sampai ke belakang, telinga pendek dan
menggantung (Pamungkas et al.2009).

Gambar 1 Kambing kacang berwarna campuran (coklat dan putih).

Biosintesis dan Metabolisme Hormon Steroid: Estradiol dan Progesteron


Hormon steroid disekresikan oleh gonad yaitu ovarium dan testis, plasenta
dan korteks adrenal mempengaruhi fungsi hipotalamus, lobus anterior hipofisis
dan jaringan dari saluran reproduksi. Hormon gonad juga memulai pengembangan
karakteristik seks sekunder yang menyebabkan sifat jantan atau sifat betina. Pada
betina, ovarium memproduksi estrogen, progesteron, inhibin, beberapa
testosteron, oksitosin dan relaksin. Pada jantan, testis menghasilkan testosteron
dan androgen lainnya, inhibin dan estrogen. Hormon steroid disintesis dari
kolesterol melalui serangkaian jalur kompleks dan melibatkan banyak konversi
enzimatik (Senger 2003). Gambar 2 merupakan ilustrasi transformasi biokimia
utama yang terjadi pada jalur hormon steroid.
Kolesterol (C27) menjadi pregnenolon (C20) selanjutnya diubah menjadi
progesteron (C21) kemudian pada gilirannya dikonversi menjadi androgen (C19)
dan estrogen (C18) (Hafez et al. 2000)
5

Gambar 2 Transformasi biokimia utama yang terjadi pada hormon steroid


(Senger 2003).

Jalur biosintesis dalam semua organ endokrin yang menghasilkan hormon


steroid adalah sama hanya berbeda dalam sistem enzim yang dikandungnya, testis
terutama mensintesis androgen, sedangkan ovarium mensintesis dua jenis yaitu
estrogen dan progestin. Dalam plasma darah, hormon steroid sebagian besar
terikat oleh albumin, suatu plasma protein dengan afinitas rendah dan kapasitas
tinggi (Hafez et al. 2000)
Estrogen yang dihasilkan merupakan tahap akhir dari steroidogenesis
dalam folikel matang dan diturunkan dari prekursor androgenik. Terdapat dua
androgen sebagai sumber estrogen yaitu androstenedion dan testosteron (Agil
2007). Aromatase diinduksi oleh follicle stimulating hormone (FSH) dalam
pertumbuhan sel granulosa yang bertindak mengkonversi kedua androgen menjadi
estron atau estradiol. Estradiol adalah estrogen utama, dengan estron dan estriol
secara metabolik mewakili estrogen aktif lainnya.
Pada ruminansia, estrogen juga memiliki efek protein anabolik untuk
meningkatkan pertambahan berat badan dan pertumbuhan. Mekanisme untuk
meningkatkan pertumbuhan mungkin karena kemampuan estrogen merangsang
hipofisis untuk melepaskan lebih banyak hormon pertumbuhan (Hafez et al.
2000).
Progesteron adalah umum, yang terjadi secara alami adalah progestogen
dan disekresikan oleh sel luteal korpus luteum, plasenta, dan kelenjar adrenal.
Progesteron diangkut dalam darah oleh globulin seperti untuk androgen dan
estrogen. Luteinizing hormone (LH) terutama merangsang sekresi progesterone
(Hafez et al. 2000).
6

Hormon steroid dimetabolisir oleh banyak jaringan dalam tubuh termasuk


hati, ginjal, otot dan darah (Schulster et al. 1976), meskipun demikian
metabolisme utama terjadi di hati.
Mekanisme kerja hormon-hormon steroid (estrogen dan progesteron)
berdifusi melalui plasma membran, membran sitoplasma dan inti sel dari sel
target. Mengikat reseptor di inti sel yang memicu terbentuknya mRNA dan
akhirnya terjadi sintesis protein baru (Gambar 3).

Gambar 3 Mekanisme kerja hormon steroid (Senger 2003).

Kit EIA Komersial

Enzim immunosorbent assay (EIA) merupakan teknik pengujian serologi


yang didasarkan pada prinsip interaksi antara antibodi dan antigen. Pada awalnya
metoda EIA hanya digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi
keberadaan antigen maupun antibodi dalam suatu sampel seperti dalam
pendeteksian antibodi IgM, IgG, dan IgA pada saat terjadi infeksi (pada tubuh
manusia khususnya). Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
metoda EIA juga diaplikasikan dalam bentuk lain termasuk menganalisa kadar
hormon yang terdapat dalam suatu organisme. Secara singkat dapat dikatakan
bahwa teknologi EIA yang digunakan untuk asai hormon dalam cairan tubuh
adalah sistem competitive enzyme immunoassay yang analog dengan metoda radio
immunoassay (RIA). Immunoassay didasarkan pada reaksi kekebalan untuk
pengukuran berbagai analit (misalnya antibodi, hormon) dalam bahan biologis
(misalnya darah, urin, feses). Jenis yang paling umum dari prosedur immunoassay
adalah competitive binding assay (Heistermann et al. 1993), ini adalah metode
yang tepat dan sensitif untuk memperkirakan ng/mL sampai pg/mL dalam larutan,
seperti serum, urin, sperma dan kultur supernatan (Savige 1998). EIA telah
banyak digunakan dalam penelitian ilmu kehidupan (Ma et al. 2004). Jenis uji
7

yang diatur oleh hukum aksi massa di mana antigen tanpa label (Ag) dan antigen
berlabel (Ag*) bersaing untuk pengikatan sejumlah antibodi (Ab).
Antigen yang berlabel dan antigen yang tidak berlabel saling bersaing
untuk berikatan dengan antibodi yang terdapat dalam jumlah terbatas. Contoh
reaksi seperti ini adalah EIA untuk mengukur progesteron, estradiol dan kortisol.
Pengukuran hormon kortisol dalam saliva menggunakan teknik EIA dapat
mengetahui tingkat stres yang di alami oleh organisme (Haussmann et al. 2007).
Uji EIA ini memiliki beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan yang
relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas yang cukup tinggi serta
tidak menggunakan radioaktif. EIA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter
Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisa adanya interaksi antigen dengan
antibodi di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim sebagai label
(Lequin 2005).
Enzyme immunosorbent assay secara khusus memiliki konjugat dan
substrat yang menghasilkan beberapa bentuk perubahan warna yang dapat diamati
untuk mengetahui kehadiran antigen atau analit. Metoda EIA terbaru seperti
flurogenik, electrochemiluminescent dan real time PCR dibuat untuk mengetahui
sinyal kuantitatif. Metoda ini dapat memberikan berbagai keuntungan diantaranya
sensitivitas yang tinggi dan bersifat multiflexing (Leng et al. 2008).
Metoda EIA merupakan teknik kuantitatif yang sangat
sensitif, penggunaannya sangat luas, memerlukan peralatan yang sedikit, reagen
yang diperlukan sudah tersedia dan dijual secara komersial dan sangat mudah
didapat. Pemeriksaan EIA dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi atau
hormon dalam tubuh manusia maupun hewan. Tes ini dapat dilakukan dengan kit
yang sudah jadi atau dapat juga dilakukan dengan menggunakan antigen yang
diracik sendiri (Setiawan 2007). Pada hewan, kit EIA ini sebagian besar
digunakan untuk mengetahui kandungan kadar hormon tertentu (misalnya
estradiol atau progesteron). Kandungan hormon ini biasanya berkaitan erat dengan
siklus reproduksi hewan.
Ada beberapa produsen kit EIA diantaranya DRG International,Inc.
Jerman, General Biological Corporation (GBC) Taiwan, ARP American
Research Products (ARP), Inc. Amerika Serikat, Cosmo Bio Co, Ltd dan lain-lain.
Banyak peneliti yang sudah menggunakan kit EIA untuk tujuan penelitian atau
mengevaluasi kit EIA tersebut. Kit EIA komersial yang ada di Indonesia saat ini
adalah DRG International Inc. dari Jerman dan GBC dari Taiwan.
Secara praktis, metoda yang dapat dipercaya untuk monitoring fungsi
gonad sering sangat penting untuk mengkaji status reproduksi individu hewan,
mendiagnosa masalah kesuburan, dan untuk membantu mengembangkan dan
menggunakan teknologi reproduksi ketika perkembangbiakan secara alamiah
gagal dan/atau manajemen genetik ditingkatkan dengan kriopreservasi plasma
nutfah (Graham et al. 2001). Haisenleder et al. (2011), telah melakukan evaluasi
terhadap sembilan komersial EIA kit estradiol yang akan digunakan dengan serum
tikus, yaitu dengan komponen recovery dan korelasi. Kit EIA komersial yang
dipergunakan berasal dari Calbiotech Enzyme Immunoassay. Ada juga peneliti
dari Italia, Todini et al. (2007) mengevaluasi kesesuaian dua kit EIA Komersial
manusia (Estradiol EIA-2693, DRG Instruments GmbH, Marburg, Germany),
untuk mengukur konsentrasi Inhibin-A (In-A) dan 17 β Estradiol (E2) dalam
plasma kerbau, dan hasil yang diperoleh adalah bahwa kit yang diuji tersebut
8

cocok dan dapat diandalkan untuk sampel plasma kerbau. Konsentrasi steroid
yang bersirkulasi bebas dianggap sebagai yang paling akurat merefleksikan fungsi
dari gonad, namun pengumpulan yang tetap sampel darah bisa sulit dilakukan
pada hewan non-domestik (Graham et al. 2001).
Selain kit EIA estradiol, kit EIA progesteron pun dapat digunakan untuk
evaluasi, seperti untuk menentukan akurasi dari dua kit EIA yang tersedia secara
komersial dalam membedakan antara tinggi dan rendahnya konsentrasi
progesteron (P4) pada serum babi betina (kit EIA Progestassay, Synbiotics Corp.,
San Diego, California dan kit EIA Target, Biometalics, Princeton, New Jersey),
dimana sasaran tes kit EIA bekerja dengan baik pada pengukuran semi kuantitatif
konsentrasi progesteron (P4) serum babi (Althouse dan Hixon, 1999).
Pada penelitian lain, kandungan hormon progesteron dan estradiol dalam
darah juga telah dilakukan pengujian dengan menggunakan kit EIA komersial
(Fertigenix-Prog-Easia, Biosource Europe, SA dan Fertigenix-E2-Easia,
Biosource Europe, SA) terhadap domba jenis akkaraman di Turki, dalam
penelitian ini Risvanli et al. (2010) menunjukkan bahwa efek dosis tunggal analog
PGF2α terhadap berbagai konsentrasi hormon dan tingkat kebuntingan pada
domba nulipara dan domba multipara, ditemukan secara signifikan penurunan
kadar progesteron pada hari penyuntikan, setelah 24 jam dan 48 jam. Selain
domba, pada kambing pun telah dilakukan pengujian hormon progesteron dengan
menggunakan kit EIA progesteron sapi (Progestassay, Pitman Moore,
Washington Crossing, New Jersey) cepat dan tidak mahal (Sherrill et al. 1990).

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian

Pengambilan dan koleksi sampel berupa darah dari kambing kacang dan
pemeriksaan hormon dilakukan di Laboratorium Unit Rehabilitasi Reproduksi,
Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dari bulan Nopember 2012
sampai dengan Pebruari 2013.

Materi Penelitian

Hewan percobaan yang dipergunakan adalah 3 ekor kambing kacang


betina yang dipelihara dikandang percobaan Unit Rehabilitasi Reproduksi, Bagian
Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi FKH-
IPB, Dramaga, Bogor. Persyaratan ternak ruminansia tersebut berumur 2–3 tahun,
memiliki kualifikasi tubuh yang sehat, status reproduksi memiliki siklus estrus
normal, tidak bunting, pernah beranak (2 kali beranak), dan dikandangkan dalam
kandang individu.
Ultrasonografi (USG) yang dipergunakan untuk memeriksa organ
reproduksi betina (ovarium) pada saat pengambilan darah adalah ALOKA model
SSD-500, tegangan listrik 200-240 volt, 50/60 Hz (ALOKA Co.LTD,Tokyo,
Jepang), dengan probe linear 7,5 MHz. Kit EIA komersial yang dipergunakan
dalam validasi ini adalah kit komersial untuk manusia yang diproduksi oleh DRG
9

International Inc., Jerman dan GBC, Taiwan khusus untuk hormon estradiol dan
progesteron.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dalam penentuan profil


hormon estradiol dan progesteron pada kambing kacang betina. Parameter yang
diukur adalah konsentrasi estradiol dan progesteron dalam plasma darah selama 9
minggu (62 hari). Data berupa gejala klinis, konsentrasi hormon, perubahan
struktur fungsional ovaria, folikel dan corpus luteum (CL) dianalisa menggunakan
metoda komparatif deskriptif.
Penelitian ini terdiri atas beberapa tahap kegiatan di lapang dan di
laboratorium. Kegiatan di lapang meliputi pengambilan sampel darah dan
pemeriksaan USG. Kegiatan laboratorium meliputi analisis hormon yang berasal
dari plasma darah.
Metode penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

Tahap I. Monitoring Pola Siklus Estrus pada Kambing Kacang


Analisa Hormon Estradiol dan Progesteron selama Siklus Estrus
Pengambilan sampel darah dilakukan selama 9 minggu (62 hari) melalui
vena jugularis (di leher) menggunakan tabung vakum yang berantikoagulan
mengandung K3 EDTA 1.8 mg/mL (Disposable Evacuated Blood Collection
Tubes, Zhejiang U-REAL Medical Technology Co. Ltd) untuk pembuatan plasma
yang akan dianalisa konsentrasi hormon estradiol dan progesteronnya.
Rekomendasi yang disarankan oleh NCCLS (2004) bahwa konsentrasi EDTA
yang digunakan sebagai antikoagulan harus mengandung 1.5–2.2 g/L, dan WHO
(2002) menganjurkan menggunakan konsentrasi EDTA 1.2–2.0 mg/mL. Volume
darah segar yang diambil sebanyak 5 mL. Pengambilan darah dilakukan setiap
dua hari sekali dan diintensifkan menjadi setiap hari menjelang fase estrus. Darah
segar disentrifugasi dengan kecepatan 1500–2000 G selama 10 menit (LT 2007),
plasma yang diperoleh dituangkan ke dalam tabung microtube 2 mL, kemudian
disimpan pada suhu -20ºC sampai dilakukan analisa di laboratorium.
Analisa hormon menggunakan kit EIA komersial untuk estradiol dan
progesteron. Metoda analisa sesuai dengan prosedur yang diberikan oleh kit yang
bersangkutan.

Monitoring Siklus Ovari Menggunakan USG


Pemeriksaan organ reproduksi primer (ovarium) dilakukan untuk
mengetahui perkembangan folikel dan corpus luteum selama periode pengamatan
tersebut. Pemeriksaan ini dilakukan bersamaan dengan pengambilan darah.
Ultrasonografi yang dipergunakan untuk memeriksa organ reproduksi betina
(ovarium) pada saat pengambilan darah adalah ALOKA model SSD-500,
tegangan listrik 200–240 volt, 50/60 Hz (ALOKA Co.LTD,Tokyo, Jepang),
dengan probe linear 7,5 MHz. Probe tersebut dimodifikasi dengan diberikan
tambahan gagang sepanjang 30 cm di bagian pangkal sebagai pegangan pada saat
pemeriksaan secara per rektal.
Monitoring siklus ovari ini untuk mengetahui kandungan hormon estradiol
dan progesteron dalam darah pada saat adanya perkembangan folikel dan corpus
10

luteum. Gambaran folikel dan corpus luteum berupa foto dicetak menggunakan
printer termal (Sony Up-895 MD, Jepang). Data yang diperoleh akan dicocokkan
dengan konsentrasi hormon estradiol dan progesteron yang berasal dari hasil
analisa sampel darah di laboratorium.

Tahap II. Validasi Kit Komersial


Validasi ini dilakukan terhadap dua kit komersial estradiol (E2) dan
progesteron (P4) untuk manusia dari 2 perusahaan produk biologis yang berbeda
yaitu DRG internasional Inc., Jerman dan GBC Taiwan. Validasi ini untuk
membandingkan dan menentukan akurasi, sensitivitas dan presisi dari kedua kit
EIA komersial dalam menganalisa hormon E2 dan P4 pada sampel plasma darah
kambing kacang betina.
Validasi kit EIA komersial, dilakukan melalui prosedur dengan tahapan
sebagai berikut :

Uji Paralelisme
Uji paralelisme adalah uji penentuan kemampuan (dalam kisaran tertentu)
kit EIA untuk memberikan hasil yang berbanding lurus dengan konsentrasi
(jumlah) dari analit dalam sampel (Ederveen 2010). Pengujian ini juga dilakukan
untuk menentukan apakah kit EIA yang digunakan dapat mendeteksi keberadaan
hormon tertentu yang diketahui. Disamping itu dengan uji paralelisme dapat
digunakan untuk mengukur perbandingan pengenceran yang tepat pada saat akan
menganalisa sampel. Hal ini sangat penting dilakukan terhadap kit EIA yang
baru dan belum pernah digunakan untuk menganalisa hormon tertentu pada satu
spesies. Disamping itu uji tersebut penting untuk mengetahui pengenceran
sampel yang tepat digunakan untuk analisa sehingga menghasilkan angka
konsentrasi hormon dalam batas nilai yang valid pada garis linear dari kurva
hormon standar.
Menurut Dunn (2007), tujuan uji paralelisme adalah (1) untuk menentukan
apakah dua zat memiliki kesamaan respon biologis (menunjukkan zat yang
sama) dan (2) untuk menentukan apakah dua lingkungan biologis yang berbeda
akan memberikan kurva respon yang mirip dengan zat yang sama. Lee (2009)
menyampaikan juga bahwa paralelisme adalah uji linieritas pengenceran sampel
otentik, tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa analit endogen dalam
sampel yang tidak diketahui, yang mungkin berbeda dan/atau bervariasi dari
standar menunjukkan hasil yang sama, terlepas dari pengenceran standar.
Perbandingan pengenceran ini didapat dengan melihat kurva, yaitu
membandingkan antara kurva standar dengan kurva sampel yang diuji, biasanya
dilakukan beberapa perbandingan pengenceran (5 perbandingan bertingkat).
Apabila kurva sampel yang diuji sejajar (paralel) dengan kurva standar berarti
hormon asai yang digunakan dapat mendeteksi keberadaan hormon yang akan
dianalisa.

Optimalisasi Standar Kurva Hormon Asai


Penentuan posisi 30% binding dan 70% binding, dimana kisaran
persentase ini akan menentukan angka konsentrasi hormon hasil pembacaan
yang valid (tingkat kepercayaan yang tinggi) sehingga dapat dihitung kadar
hormon yang sebenarnya dari sampel yang diperiksa. Menurut Brown et al.
11

(2005) batas asai adalah 20%-80%, aturan batas asai ini didasarkan pada asumsi
bahwa kurva standar paling linier antara 20%-80% binding.

Sensitivitas Kit EIA


Sensitivitas adalah kemampuan untuk mendeteksi sejumlah kecil antigen
(Brown et al. 2005), jumlah minimum hormon yang dapat dideteksi (Hodges et
al. 2010, Hodges dan Heistermann 2011). Sensitivitas merupakan konsentrasi
terendah dari antigen yang dapat dibedakan secara statistik, dan bertujuan untuk
menentukan nilai dua simpangan baku (2 SD) dari respon rata-rata blank (B0)
dan menentukan nilai maksimum binding 90% atau 95% (Brown et al.2005).

Presisi Kit EIA


Presisi mengacu pada pengulangan nilai yang diukur atau konsistensi hasil
(Brown et al.2005), di dalam dan antara pengulangan asai (Hodges et al. 2010,
Hodges dan Heistermann 2011). Presisi adalah ukuran dari kesalahan acak yang
didefinisikan sebagai variasi antara pengukuran ulangan dari sampel yang
ditetapkan, dinyatakan sebagai koefisien variasi (%CV) yang merupakan standar
deviasi/rata-rata x 100 (Brown et al. 2005). Menurut ICH (2005) menyatakan
bahwa presisi biasanya dinyatakan sebagai standar deviasi (SD) atau sebagai
koefisien variasi (CV) dari serangkaian pengukuran. Ederveen (2010)
menyatakan bahwa beberapa jenis presisi adalah repeatability, variasi interasai
dan reproducibility.

Intra-dan Inter-Assay Variation


Presisi merupakan suatu kemampuan asai untuk secara konsisten
mereproduksi hasil (nilai) yang diambil dari sampel yang sama. Presisi intra-asai
dan inter-asai adalah dua ukuran yang berbeda yang dapat dibuat sebagai bagian
dari prosedur validasi. Rumus yang digunakan untuk perhitungan persentase
koefisien variasi (% CV) sedikit berbeda dengan rumus konvensional (standar
deviasi dibagi dengan rata-rata dan dikalikan dengan 100).
Reproduktifitas (kualitas yang diulang) hasil pangujian dapat dinilai
dengan menghitung nilai koefisien variasi (CV) dengan membandingkan
konsentrasi rata-rata untuk pengulangan sampel yang sama pada plate yang
berbeda (intra-asai).
Intra-assay variation merupakan suatu pengujian untuk memeriksa
variabilitas pengukuran dalam plate (asai) dan untuk mengontrol kualitas hasil
coating. Pengujian ini akan mendapatkan suatu nilai yang disebut koefisien
variasi (CV) yang berasal dari nilai konsentrasi quality control (QC) high dan
quality control (QC) low. Nilai CV-nya harus kurang dari 10% (Brown et al.
2005).
Inter-assay variation merupakan suatu pengujian untuk memeriksa
variabilitas pengukuran antar plate (asai). Pengujian ini juga akan mendapatkan
suatu nilai koefisien variasi (CV), nilai CV nya dihitung dari rataan konsentrasi
yang berasal dari sampel yang sama dengan plate yang berbeda, pengujiannya
dilakukan oleh tenaga laboratorium (teknisi) yang berbeda. Nilai CV yang dapat
diterima adalah 10-15% (Ederveen 2010).
12

Analisa Hormon
Analisa hormon dilakukan untuk mengetahui konsentrasi hormon estradiol
dan progesteron yang dikandung dalam sampel darah.

Prosedur Asai Hormon


Prosedur asai hormon yang dikerjakan mengikuti prosedur yang diberikan
oleh perusahaan produk biologis DRG International Inc. Jerman dan GBC
Taiwan. Larutan standar estradiol dan progesteron dari DRG International Inc.
mengalami modifikasi untuk mendapatkan slope kurva yang lebih baik serta
ditambahkan kontrol atau QC, sedangkan GBC Taiwan tetap. Menurut Lee (2009)
kit komersial untuk penelitian, QC atau kontrol sampel mungkin tidak tersedia,
hal ini merupakan tanggungjawab analis untuk mengatur QC terhadap
karakterisasi akurasi, presisi dan memantau kinerja asai. Prosedur asai secara
keseluruhan adalah sebagai berikut :

a. Hormon Estradiol DRG Jerman (EIA-2693)


Semua reagen dan sampel harus berada di temperatur ruang. Sampel
plasma darah diencerkan dalam aquabidestilata dengan perbandingan pengenceran
bertingkat dimulai dari 1:0 (orisinal plasma)-1:16. Larutan standar 25 pg/mL dan
100 pg/mL dimodifikasi menjadi larutan standar baru 12.5 pg/mL dan 50 pg/mL
(Tabel 1). Memasukkan masing-masing 25 µL duplo larutan standar, kontrol
(konsentrasi 25 pg/mL dan 250 pg/mL sebagai kontrol 1 dan 2) dan sampel ke
dalam setiap sumur terpilih. Larutan enzim konjugat sebanyak 200 µL ke dalam
setiap sumur kecuali blank, kemudian ditutup dengan cling film dan
dihomogenkan dengan cara digoyangkan secara perlahan selama 10 detik dan
diinkubasikan selama 120 menit pada temperatur ruang. Setelah diinkubasi, setiap
sumur dicuci dengan washing solution masing-masing 400 µL selama 3–4 kali
pencucian, kemudian dihentak-hentakan secara perlahan diatas kertas (absorbence
paper) untuk mengeluarkan cairan dalam sumur-sumur secara tuntas.
Memasukkan larutan substrat 200 µL ke dalam setiap sumur-sumur kemudian
ditutup dengan cling film dan diinkubasi selama 15 menit pada temperatur ruang.
Reaksi enzimatis dihentikan dengan menambahkan stop solution 0.5 M H2SO4
sebanyak 100 µL ke dalam setiap sumur-sumur dan pembacaan absorbance
menggunakan EIA reader otomatis dalam waktu 10 menit dengan panjang
gelombang 450±10 nm.

b. Hormon Progesteron DRG Jerman (EIA-1561)


Semua reagen dan sampel harus berada di temperatur ruang. Sampel
plasma darah diencerkan dalam aquabidestilata dengan perbandingan pengenceran
bertingkat dimulai dari 1:0 (orisinal plasma)-1:16. Larutan standar 1.25 ng/mL, 15
ng/mL dan 40 ng/mL dimodifikasi menjadi larutan standar baru 0.625 ng/mL, 10
ng/mL dan 20 ng/mL (Tabel 1). Memasukkan masing-masing 25 µL duplo larutan
standar, kontrol (konsentrasi 1.25 g/mL dan 10 ng/mL sebagai kontrol 1 dan 2)
dan sampel ke dalam setiap sumur terpilih dan diinkubasi selama 5 menit pada
temperatur ruang. Setelah itu larutan enzim konjugat sebanyak 200 µL ke dalam
setiap sumur kecuali blank, kemudian ditutup dengan cling film dan
dihomogenkan dengan cara digoyangkan secara perlahan selama 10 detik dan
diinkubasikan selama 60 menit pada temperatur ruang. Setelah diinkubasi, setiap
13

sumur dicuci dengan washing solution masing-masing 400 µL selama 3–4 kali
pencucian, kemudian dihentak-hentakan secara perlahan diatas kertas (absorbence
paper). Memasukkan larutan substrat 200 µL ke dalam setiap sumur kemudian
ditutup dengan cling film dan diinkubasi selama 15 menit pada temperatur ruang.
Reaksi enzimatis dihentikan dengan menambahkan stop solution 0.5 M H2SO4
sebanyak 100 µL ke dalam setiap sumur dan pembacaan absorbance
menggunakan EIA reader otomatis dalam waktu 10 menit dengan panjang
gelombang 450±10 nm.

c. Hormon Estradiol GBC Taiwan (4S00071)


Semua reagen dan sampel harus berada di temperatur ruang. Sampel
plasma darah diencerkan dalam aquabidestilata dengan perbandingan pengenceran
bertingkat dimulai dari 1:0 (orisinal plasma)-1:16. Memasukkan masing-masing
25 µL duplo larutan standar, kontrol dan sampel ke dalam sumur terpilih. Setelah
itu larutan enzim konjugat sebanyak 100 µL ke dalam setiap sumur dilanjutkan
dengan 50 µL rabbit anti-estradiol ke dalam setiap sumur kecuali blank, kemudian
ditutup dengan cling film dan dihomogenkan dengan cara digoyangkan secara
perlahan selama 30 detik dan diinkubasikan selama 90 menit pada temperatur
ruang. Setelah diinkubasi, setiap sumur dicuci dengan milli-Q water masing-
masing 400 µL selama 3–4 kali pencucian, kemudian dihentak-hentakan secara
perlahan diatas kertas (absorbence paper). Memasukkan larutan substrat TMB
100 µL ke dalam setiap sumur kemudian ditutup dengan cling film dan diinkubasi
selama 20 menit pada temperatur ruang. Reaksi enzimatis dihentikan dengan
menambahkan stop solution 1N HCl sebanyak 100 µL ke dalam setiap sumur
kemudian dihomogenkan secara perlahan selama 30 detik dan pembacaan
absorbance menggunakan EIA reader otomatis dalam waktu 15 menit dengan
panjang gelombang 450 nm.

d. Hormon Progesteron GBC (4S00121)


Semua reagen dan sampel harus berada di temperatur ruang.
Mempersiapkan larutan siap pakai (working reagent) 0.1 mL progesteron-HRP
konjugat dengan menambahakan 0.9 mL pengencer progesteron-HRP konjugat
(pengenceran 1:10) kemudian dihomogenkan. Sampel plasma darah diencerkan
dalam aquabidestilata dengan perbandingan pengenceran bertingkat dimulai dari
1:0 (orisinal plasma)-1:16. Memasukkan masing-masing 25 µL duplo larutan
standar, kontrol dan sampel ke dalam sumur terpilih. Setelah itu larutan siap pakai
progesteron-HRP konjugat sebanyak 100 µL ke dalam setiap sumur dilanjutkan
dengan 50 µL rabbit anti-progesteron ke dalam setiap sumur kecuali blank,
kemudian ditutup dengan cling film dan dihomogenkan dengan cara digoyangkan
secara perlahan selama 30 detik dan diinkubasikan selama 90 menit pada
temperatur ruang. Setelah diinkubasi, setiap sumur dicuci dengan milli-Q water
masing-masing 400 µL selama 3–4 kali pencucian, kemudian dihentak-hentakan
secara perlahan diatas kertas (absorbence paper). Memasukkan larutan substrat
TMB 100 µL ke dalam setiap sumur kemudian ditutup dengan cling film dan
diinkubasi selama 20 menit pada temperatur ruang. Reaksi enzimatis dihentikan
dengan menambahkan stop solution 1N HCl sebanyak 100 µL ke dalam setiap
sumur kemudian dihomogenkan secara perlahan selama 30 detik dan pembacaan
14

absorbance menggunakan EIA reader otomatis dalam waktu 15 menit dengan


panjang gelombang 450 nm.
Larutan standar asai yang berasal dari kit EIA komersial estradiol dan
progesteron DRG mengalami modifikasi untuk mendapat slope kurva yang lebih
baik (Tabel 1). Modifikasi standar estradiol dilakukan pada konsentrasi 25 pg/mL
dan 100 pg/mL, masing-masing menjadi 12.5 pg/mL dan 50 pg/mL dengan
quality control 1 (QC1) 25 pg/mL dan QC2 250 pg/mL. Sedangkan untuk standar
progesteron pada konsentrasi 1.25 ng/mL, 15 ng/mL dan 40 ng/mL masing-
masing menjadi 0.625 ng/mL, 10 ng/mL dan 20 ng/mL, dengan QC1 1.25 ng/mL
dan QC2 10 ng/mL.

Tabel 1 Larutan standar dari 4 kit EIA komersial original dan modifikasi.
Standar P4 DRG (ng/mL) P4 GBC E2 DRG (pg/mL) E2 GBC
(ng/mL) (pg/mL)
Original Modifikasi Original Original Modifikasi Original
1 0.3 0.3 0.5 25 12.5 10
2 1.25 0.625 3 100 25 30
3 2.5 1.25 10 250 50 100
4 5 2.5 25 500 100 300
5 15 5 50 1000 250 1000
6 40 10 2000 500
7 20 1000
8 40

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Validasi Kit
Hasil validasi kedua kit EIA komersial dengan melakukan uji paralelisme
menggunakan kit EIA komersial estradiol dan progesteron dari produk DRG
International Inc.,Jerman menunjukan bahwa kurva sampel sejajar dengan kurva
standar (Gambar 4 dan Gambar 5). Jumlah sampel yang diambil secara acak
adalah 5 sampel dari status atau fase yang berbeda dalam 62 hari pengamatan,
kemudian dilakukan pengenceran bertingkat dimulai dari 1:0 (larutan orisinal
tanpa pengenceran), 1:2, 1:4, 1:8, 1:16 untuk setiap sampel tersebut menggunakan
pengencer aquabidestilata.

Gambar 4 Kurva sampel sejajar dengan kurva standar menggunakan kit EIA
komersial estradiol dari produk DRG International Inc.,Jerman.
15

Gambar 5 Kurva sampel sejajar dengan kurva standar menggunakan kit EIA
komersial progesteron dari produk DRG International Inc.,Jerman.

Perbandingan pengenceran yang diperoleh untuk sampel kambing kacang untuk


E2 dan P4 adalah 1:2 dan 1:4.
Angka interval konsentrasi yang diperoleh dari hasil uji paralelisme kedua
kit komersial DRG untuk mendeteksi hormon E2 dan P4 masing-masing adalah
58–190 pg/mL dan 0.5–5.0 ng/mL, berarti nilai konsentrasi hormon sampel
kambing kacang betina harus berada dalam interval angka tersebut, jika tidak,
maka harus dilakukan penyesuaian terhadap pengenceran sampel. Seperti yang
dikemukakan oleh PB (2007) bahwa komponen dalam matriks sampel yang
menyebabkan itu terjadi dan harus dilakukan penyesuaian untuk meminimalkan
perbedaan tersebut.
Konsentrasi terendah E2 dan P4 dari ke dua kit tersebut yang dapat diukur
pada 90% binding adalah 25 pg/mL dan 0.14 ng/mL. Sensitivitas adalah jumlah
minimum dari hormon yang dapat dideteksi (Hodges et al. 2010), kemampuan
untuk mendeteksi sejumlah kecil antigen (Brown et al. 2005). NCCLS (2004)
mengatakan bahwa sensitivitas untuk kit diagnostik sering didefinisikan sebagai
limit deteksi yang merupakan jumlah terendah dari analit dalam sampel yang
dapat dideteksi.
Nilai koefisien variasi (%CV) yang diperoleh untuk kit EIA komersial E2
dan P4 DRG adalah intraasai 6.81% dan 6.86% sementara untuk interasai 7.85%
dan 5.46%. Variasi intraasai pada GBC tercatat 4.9% (E2) dan 7.1% (P4)
sedangkan variasi interasai tidak dapat dihitung karena asai tersebut tidak
digunakan untuk analisa lebih lanjut. Kedua nilai CV ini berada dibawah nilai
yang ditentukan 10% (Brown et al. 2005) tidak lebih dari 15% (Ederveen 2010).
Relave et al. (2007) spesifitas untuk mendeteksi tingkat hormon progesteron
plasma kuda adalah lebih tinggi dari 1.0 ng/mL.
Todini et al. (2007) juga berhasil melakukan uji paralelisme estradiol
pada kerbau, dimana kurva sampel plasma kerbau sejajar dengan kurva standar.
Fazielawanie et al. (2011) mengatakan bahwa pada plasma ikan siakap betina
(Lates calcarifer) yang disuntik dengan estradiol dan vitellogenic memperlihatkan
garis kurva sampel sejajar dengan kurva standar. Uji paralelisme untuk hormon
16

yang sama dari sampel yang berbeda dapat menunjukkan hasil yang berbeda
walaupun pada spesies yang sama. Perez et al. (2004) mengatakan bahwa hasil
uji paralelisme hormon kortisol pada sampel air liur sapi menunjukkan kurva yang
paralel dengan kurva standar sementara dengan plasma sapi tidak paralel.
Konsentrasi steroid yang bersirkulasi bebas dianggap sebagai yang paling akurat
merefleksikan fungsi dari gonad, namun pengumpulan sampel darah sering kali
sulit dilakukan pada hewan non-domestik (Graham et al. 2001).
Pengujian terhadap kit EIA komersial estradiol dan progesteron dari
produk GBC Taiwan menunjukkan bahwa kurva sampel tidak sejajar dengan
kurva standar (Gambar 6 dan Gambar 7). Uji paralelisme pada asai hormon GBC
memperlihatkan bahwa antibodi yang digunakan dalam asai tersebut tidak dapat
menentukan jumlah konsentrasi hormon yang ada dalam sampel yang diukur,
sehingga kedua kit asai hormon komersial tersebut tidak dapat dipergunakan
untuk pengujian sampel plasma kambing kacang betina berikutnya. Tizard (1988)
setiap perubahan pada struktur hapten yang mengubah bentuk keseluruhannya
akan mengurangi kemampuannya untuk mengikat antibodi yang ditujukan
terhadap molekul yang tidak berubah, termasuk perubahan dalam muatan listrik
hapten, ukurannya atau konfigurasi permukaannya. PB (2007) mengatakan bahwa
matriks sampel kemungkinan mengandung komponen yang dapat mempengaruhi
respon asai berbeda dengan standar. Simontacchi et al. (1999) menyatakan jika
hasil paralelisme tidak tercapai maka uji ini tidak valid dan menyiratkan bahwa
baik sampel atau standar mengandung zat (antibodi) yang mempengaruhi reaksi
pengikatan yang berbeda pada hormon yang ada dalam sampel dengan hormon
standarnya. Plikaytis et al. (1994) tidak ada ketentuan secara umum dan banyak
digunakan untuk menilai uji paralelisme dalam bioasai, dan jika tidak paralel
maka antibodi tidak dapat menghitung perkiraan konsentrasi hormon dalam
sampel.
Kit EIA komersial estradiol dan progesteron produk GBC tidak
menunjukkan hasil yang sama dengan produk DRG, hal ini disebabkan karena
adanya kemungkinan keterlibatan substansi yang mengganggu terhadap
pengikatan antara antibodi dan antigen berlabel (enzim konjugat) dimana enzim
konjugat tidak mampu memberikan sinyal yang dapat diukur.

Gambar 6 Kurva sampel tidak sejajar dengan kurva standar, menggunakan


kit EIA komersial estradiol GBC Taiwan.
17

Gambar 7 Kurva sampel tidak sejajar dengan kurva standar, menggunakan


kit EIA komersial progesteron GBC Taiwan.

Menurut Bowen et al. (2010), ketika plasma yang digunakan untuk asai
diagnostik, harus hati-hati didalam memilih antikoagulan yang tepat, umumnya
yang dipergunakan adalah EDTA, heparin dan citrat. Antikoagulan yang
ditambahkan harus dalam konsentrasi tepat untuk melindungi analit guna
mencegah interferensi terhadap pengikatan atau presipitasi antigen–antibodi
(Haab et al. 2005). Menurut WHO (2002) bahwa penambahan antikoagulan
kemungkinan menyebabkan gangguan terhadap metode analisa atau merubah
konsentrasi analit yang diukur. Plasma memiliki viskositas yang tinggi dan
mengandung total protein ±4 g/L lebih tinggi dari serum karena mengandung
fibrinogen dan faktor pembekuan lain (Lundblad 2005).
Kit EIA komersial estradiol dan progesteron GBC Taiwan tidak
menunjukan kesejajaran disebabkan antibodi yang ada tidak dapat mendeteksi
keberadaan hormon dalam sampel tersebut, dimana antibodi yang dibuat oleh
perusahaan GBC Taiwan tidak dapat mendeteksi hapten yang akan diikat oleh
antibodi tersebut. Tizard (1988) karena perubahan kimiawi yang teramat kecil
biasanya mengakibatkan perubahan yang berarti dalam bentuk molekul dan
karena itu mempengaruhi kemampuan antibodi untuk berikatan dengan hapten.

Gambaran Morfologi Alat Kelamin dan Perkembangan Struktur Fungsional


Ovari (Folikel dan CL)
Pemeriksaan terhadap alat kelamin betina bagian luar tidak ada perubahan
yang signifikan, terlihat bahwa mukosa vulva berwarna merah muda pucat, tidak
mengalami kebengkakan dan tidak ada kebasahan serta tidak adanya lendir selama
pengamatan (Gambar 8).
18

a b
Gambar 8 Vulva kambing kacang yang diduga estrus (a) dan tidak estrus (b).

Rataan temperatur vagina yang diperoleh adalah 38.35±0.35ºC,


pengukuran temperatur ini tidak memberikan arti terhadap respon estrus meskipun
ada peningkatan dari normal. Temperatur normal kambing kacang menurut
Pamungkas et al.(2005) adalah 37.9±0.5ºC.
Gambaran perkembangan dan pertumbuhan folikel dan corpus luteum
(CL) dalam satu kali pengamatan dilihat berdasarkan ukuran keduanya. Hasil
pengamatan secara keseluruhan menunjukkan adanya stagnasi dari ukuran folikel
dan CL ke 3 ekor kambing kacang. Kisaran ukuran folikel dan CL adalah 4.3–4.9
mm dan 4.0–4.6 mm dengan rataan ukuran ovarium 12.8±0.5 mm (Gambar 10).

a b

Gambar 9 Petumbuhan folikel 4.3 mm dan 4.9 mm pada ovarium kanan (a)
dan CL 4.0 dan 4.6 mm pada ovarium kiri (b).

Nilai kisaran folikel tersebut tidak sama dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Ariyaratna dan Gunawardana (1997) pada kambing lokal dan
saanen yaitu lebih dari 5 mm. Menchaca dan Rubianes (2002) mengatakan bahwa
1 atau 2 folikel mampu berkembang menjadi folikel dominan dengan diameter
diatas 5 mm. Dibawah pengaruh LH ukuran folikel dapat mencapai 6-9 mm atau
tahap pre-ovulatori (Fatet et al. 2011).
19

b
a

Gambar 10 Ukuran ovarium kiri (a) dan kanan (b) tanda panah.

Analisa Hormon
Hasil analisa hormon kambing kacang 5 dan 9 terlihat bahwa profil
hormon progesteron memiliki pola yang datar selama 9 minggu (62 hari),
sehingga profil hormon yang diperoleh tidak memperlihatkan keadaan fungsi
fisiologis estrus pada kedua kambing kacang tersebut (Gambar 11 dan Gambar
13). Walaupun terdapat pertumbuhan CL mencapai 6,2 mm, tetapi bukan
merupakan CL yang siklik. Keadaan fisiologis yang tidak siklik ini, diperkuat
dengan gambaran ukuran corpus luteum yang tetap berada pada kisaran 2.0–6.7
mm (Gambar 12 dan Gambar 14).

Gambar 11 Profil hormon E2 (pg/mL, warna biru) dan P4 (ng/mL, warna merah)
pada kambing kacang 5 selama pengamatan 62 hari.
20

Gambar 12 Ukuran folikel dan CL kambing kacang 5 yang terdeteksi dengan


USG

Gambar 13 Profil hormon E2 (pg/mL, warna biru) dan P4 (ng/mL, warna merah)
kambing kacang 9 selama pengamatan 62 hari.

Gambar 14 Ukuran folikel dan CL kambing kacang 9 yang terdeteksi dengan


USG
21

Pada penelitian ini, konsentrasi plasma P4 yang dihasilkan tetap pada pola
yang datar sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan CL selama 62 hari
pengamatan dimana CL memiliki ukuran kecil yang tidak mampu memberikan
gambaran visualisasi respon estrus, sehingga kambing kacang 5 dan 9 tidak
menunjukkan siklus estrus. Hal itu dibuktikan dengan tidak ditemukannya folikel
yang mengalami ovulasi selama pengamatan. Ukuran folikel yang diperoleh
hanya berkisar antara 3.0–5.6 mm, dimana ukuran tersebut berdasarkan
perbandingan pada penelitian kambing lain termasuk kedalam folikel yang tidak
bisa ovulasi. Shabankareh et al. (2009) mengkategorikan ukuran folikel pada
domba sanjabi yaitu ˂ 2 mm sangat kecil, 2–3.5 mm kecil, 3.5–5 sedang dan, ≥ 5
mm besar. Menurut Menchaca dan Rubianes (2002) terdapat korelasi yang tinggi
antara konsentrasi serum progesteron dengan pertumbuhan dan perkembangan
folikel. Folikel antral mencapai diameter untuk ovulasi adalah 5–7 mm (Souza et
al. 1998). Arashiro et al. (2010) mengatakan bahwa pada saat ovulasi, rataan
diameter folikel dominan pada kambing adalah 7.4±0.1 mm, kambing serrana
7.1±0.1 mm (Simoes et al. 2006), kambing shiba 7.8±0.2 mm (Medan et al.
2005).

ovulasi

Gambar 15 Profil hormon E2 (pg/mL, warna biru) dan P4 (ng/mL, warna merah)
kambing kacang 7 selama pengamatan 62 hari.

Profil hormon kambing kacang 7 (Gambar 15) menunjukkan pola


progesteron yang datar pada hari ke 0–42. Hal tersebut dikonfirmasi dengan tidak
diketemukannya perkembangan corpus luteum yang fungsional yaitu dengan
ukuran hanya mencapai 1.7–6.1 mm. Kambing kacang 7 tampak mulai
menunjukkan siklus estrus pada hari ke 43 saat folikel mencapai ukuran 7.3 mm
kemudian diikuti dengan terjadinya ovulasi pada hari ke 44, dan dilanjutkan
dengan perkembangan corpus luteum pada hari ke 47 dengan ukuran 6.2 mm.
Corpus luteum terus berkembang mencapai ukuran 12.3 mm pada hari ke 58.
Perkembangan corpus luteum tersebut dikonfirmasi dengan adanya peningkatan
konsentrasi progesteron dari 19.2 ng/mL pada hari ke 46 dan mencapai puncaknya
pada hari ke 56 dengan konsentrasi 42.8 ng/mL. Konsentrasi progesteron mulai
menurun setelah hari ke 56 menjadi 20 ng/mL dan terus menurun mencapai
konsentrasi terendah 4 ng/mL pada hari ke 62. Analisa estradiol menggunakan kit
22

DRG tidak dapat menggambarkan adanya peningkatan hormon estradiol selama


fase folikel pada kambing kacang. Hal serupa pernah dilaporkan oleh
Schwarzenberger et al. (2000) pada badak putih Afrika dimana peningkatan
hormon estradiol tidak berkorelasi dengan perkembangan folikel.
Hasil analisa hormon progesteron menunjukkan bahwa kambing kacang 7
tidak memperlihatkan siklus estrus mulai hari ke 0–42. Tingginya kenaikan
konsentrasi hormon P4 yang terjadi pada hari ke 42–62 ini berkaitan erat dengan
pertumbuhan CL yang ditemukan pada saat dilakukan pemeriksaan klinis
ovarium, kisaran ukuran CL antara 4.5–12.3 mm, terlihat pada hari ke 44–58
(Gambar 16). Besarnya ukuran CL terbukti pada gambar hasil pemeriksaan klinis
ovaria dengan USG, dimana CL pada hari ke 50–52 masih terdapat cavity dan
pada hari ke 54 sudah terlihat kompak berisi sel-sel lutein (Gambar 17). Menurut
Simoes et al. (2007) pada kambing serrana CL berukuran 7.1±1.8 mm terlihat
pada hari ke 2.9±1.0 setelah ovulasi dan mencapai ukuran maksimum 12.5±1.6
mm pada hari ke 10.7±3.2.
Beberapa penelitian lain yang menggunakan analisa hormon estradiol
dapat menggambarkan siklus estrus pada kambing, diantaranya Widiyono et al.
(2011) menyatakan bahwa E2 pada plasma kambing bligon berkisar antara
211.25–247.77 pg/mL dan cenderung meningkat di sekitar fase estrus kemudian
menurun pada hari ke 3–16. Konsentrasi E2 kambing dwarf meningkat 7.7±1.7
pg/mL pada hari ke 0 (Khanum et al. 2008), rataan tidak melebihi 2.18 pg/mL,
dan mencapai 20.77 pg/mL 2 hari sebelum ovulasi, kemudian turun mencapai
3.97 pg/mL pada hari terjadinya ovulasi (Gorecki et al. 2004). Plasma kambing
huanghuai mengandung konsentrasi estradiol 4.39±0.57 pg/mL pada saat ovulasi
(Pang et al. 2010). Sedangkan kambing perah anglo nubian memiliki konsentrasi
estradiol 15.3±5.04 pg/mL pada musim kawin (musim gugur) dan 12.2±3.82
pg/mL bukan musim kawin (musim semi) (Blaszczyk et al. 2004).

ovulasi

Gambar 16 Ukuran folikel dan CL kambing kacang 7 yang terdeteksi dengan


USG

Selama siklus estrus rata-rata konsentrasi plasma progesteron kambing


mencapai 9.3 ng/mL dan sangat bervariasi antara 2 dan 18 ng/mL (Bearden et al.
2004, Katongole dan Gombe, 1985). Capezzuto et al. (2006) mengatakan bahwa
peningkatan konsentrasi P4 pada minggu ke 2, rataan konsentrasi tetap tinggi
23

sampai minggu ke 20 dan menurun pada minggu terakhir kebuntingan dan 2


minggu setelah lahir 0.12±0.04 ng/mL–13.10±4.29 ng/mL. Menurut Fleming et
al. (1990) rataan konsentrasi P4 pada saat bunting 1.3–5.6 ng/mL dan pada saat
tidak bunting 0.16–2.8 ng/mL. Samartzi et al. (1995) konsentrasi P4 plasma
domba chios pada saat estrus 1.57±0.87 ng/mL. Tingkat konsentrasi P4 dalam
plasma kambing pada saat terjadinya kelahiran˂ 1.0 –2.8 ng/mL, > 5.0–7.8 ng/mL
pada saat proses kelahiran tertunda (Singer et al. 2004). Widiyono et al. (2011)
rataan P4 kambing bligon 0.21–0.70 ng/mL.

FOL

CL H8

FOL
VU

H10
CL

FOL
H12
CL

Gambar 17 Pertumbuhan dan perkembangan folikel dan CL kambing kacang 7


hari ke 50–54, vesica urinaria (VU).

Profil hormonal E2 pada kambing kacang 5, 7 dan 9 dalam 62 hari


pengamatan tidak menggambarkan pola yang sesuai dengan perkembangan
folikel, sedangkan profil hormon progesteron memperlihatkan pola yang sama
dengan perkembangan corpus luteum (Gambar 12, Gambar 14 dan Gambar 16).
Konsentrasi hormon estradiol tidak menunjukkan perubahan profil estrus yang
jelas, namun profil progesteron menunjukkan gambaran fungsi corpus luteum
yang siklik pada hari ke 40–62.
Hasil analisa hormon E2 selama pengamatan terhadap ke 3 kambing
kacang, terlihat bahwa asai yang digunakan secara validasi laboratorium dapat
mendeteksi keberadaan hormon tersebut yang digambarkan dengan hasil tes
paralelisme, tetapi tidak demikian dengan hasil validasi biologis. Profil hormonal
yang ditampilkan tidak menunjukkan gambaran siklus estrus kambing kacang
tersebut. Sedangkan hasil analisa hormon progesteron dapat menggambarkan
fungsi fisiologis corpus luteum sesuai dengan siklus estrus. Brown et al. (2005)
menyatakan validasi biologis sangat penting untuk membuktikan bahwa fluktuasi
hormonal yang diukur memberikan informasi fisiologis yang relevan. Dari hasil
penelitian ini dibuktikan bahwa kit hormon DRG hanya dapat digunakan untuk
memonitor status reproduksi kambing kacang melalui analisa hormon
progesteronnya saja.
24

5 SIMPULAN

Simpulan

Hasil validasi laboratorium terlihat bahwa kit EIA komersial estradiol dan
progesteron DRG International Inc., Jerman untuk manusia ini valid dan dapat
digunakan untuk pengujian sampel plasma kambing kacang dengan perbandingan
pengenceran masing-masing adalah 1:2 dan 1:4, sedangkan kit ELISA komersial
estradiol dan progesteron GBC menunjukkan hasil tidak valid karena antibodi
yang digunakan dalam asai tersebut tidak dapat menentukan jumlah konsentrasi
hormon yang ada dalam sampel yang diukur.
Profil hormon yang ditampilkan pada validasi biologis menunjukkan
kesesuaian profil hormon P4 dengan gambaran perubahan dinamika ovarium
dalam 22 hari terakhir pada kambing kacang 7. Respon estrus secara visual pada
kambing kacang tidak terlihat dengan jelas, meskipun dari hasil pemeriksaan
ovarium dengan USG terdapat pertumbuhan dan perkembangan folikel sebesar
3.0 sampai dengan 7.3 mm dan corpus luteum dengan ukuran 4.3 sampai dengan
12.3 mm. Dari hasil analisis hormon dan perubahan dinamika ovarium kambing
kacang 5 dan 9 menunjukkan bahwa kambing tersebut tidak bersiklus, namun
kambing kacang 7 dapat menunjukkan siklus estrus yang tidak teratur.

Saran

Perlu dilakukan validasi biologis lebih lanjut pada individu-individu yang


bersiklus normal dan bunting sehingga dapat menentukan panjangnya fase folikel
dan fase luteal pada kambing kacang dan interval siklus estrus yang lebih
komprehensif serta penentuan lama kebuntingan.

DAFTAR PUSTAKA

Agil M. 2007. Reproductive biology of the sumatran rhinoceros Dicerorhinus


sumatrensis (Fisher 1814). [Disertasi]. Bogor (ID). Institut Pertanian
Bogor.
Althouse GC, Hixon JE. 1999. Use of commercially available ELISAs to help
determine estrous status in female swine. Swine Health Prod. 7(2): 65-68
Arashiro EKN, Viana JHM, Fonseca JF, Camargo LSA, Fernandez CAC,
Brandao FZ. 2010. Luteal dynamics in goat : morphological and endocrine
features. R Bras Zootec. 39(9): 1937-1942
Ariyaratna HBS, Gunawardana VK. 1997. Morphology and morphometry of
ovarian follicles in the goat. Small Ruminant Res. 26: 123-129
Bearden HJ, Fuquay JW, Willard ST. 2004. In Applied Animal Reproduction. Ed
Ke 6. USA. Pearson Eddcation, Inc.
Blaszczky B, Udala J, Gaczarzewicz D. 2004. Change in estradiol, progesterone,
melatonin, prolactin and thyroxine concentrations in blood plasma of goat
following induced estrus in and outside the natural breeding season. Small
Ruminant Res. 51: 209-219. Doi: 10.1016/s0921-4488 (03) 00190-1
25

Boer Indonesia. 2008. Tujuh plasma nutfah kambing lokal indonesia. [26 Maret
2008]. Tersedia pada: http://www.boerindonesia.co.cc/jenis kambing.html.
Bowen RAR, Hartin GL, Csako G, Otanez OH, Remaley AT. 2010. Impact of
blood collection devices on clinical chemistry assays. Clin Biochem. 43: 4-
25
Brown J, Walker S, Steinman K. 2005. Endocrine Manual for Reproductive
Assessment of Domestic and Non-Domestics Species. Smithsonian’s
National Zoological Park. Conservation & Research Center. Virginia. p17.
Tersediapada:http//www.unomaha.eduendolabLibraryfilessendo_manual_s
mithsonian_NZP.pdf
Cappezuto A, Chelini MOM, Fellipe ECG, Oliveira CA. 2006. Correlation
between serum and fecal concentration of reproductive steroids throughout
gestation in goats. Anim Reprod Sci. 103:78-86. doi
10.1016/J.animrepsci.2006.11.001
Dunn JR. 2007. Measuring Parallelism and Relative Potency : In well-Behaved
and III-Behaved Cell-Base Bioassays. IIR Third Annual Cell Based
Assays. Brendan Technologies Inc.
Ederveen. 2010. A Practical Approach to Biological Assay validation: Assay
Validation Parameters. Progress Project Management and Engineering. p
23-33. Tersedia pada:http://www.progress-pme.nl
Entwistle KW, Ridd CAJ. 1995. Teknologi ELISA dalam diagnosis dan
penelitian : Asai hormon dengan ELISA. Editor G. W. Burgess.
Terjemahan : W T Artama dan E Moeljono. Yogyakarta (ID). Gajah Mada
University Press.
Fatet A, Rubio MTP, Leboeuf B. 2011. Reproductive cycle of goats. Anim Reprod
Sci. 124 : 211-219. doi: 10.1016/J.animreprosci.2010.08.029
Fazielawanie NMR, Siraj SS, Harmin SA, Ina-Salway MY, Nik Daud NS. 2011.
Development and validation of enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) vitellogenin in Lates calcarifer. J Fisheries and Aquatic Sci.
6:715-727 DOI:10.3923/jfas.2011.715.727
Fleming SA, Van Camp SD, Chapin HM. 1990. Serum progesterone
determination as an aid for pregnancy diagnosis in goats bred out of
season. J Can Vet. Vol. 31: 104-107
Ganswindt A, Palme R, Heistermann M, Borragan S, Hodges JK. 2003. Non-
invasive assessment of adrenocortical function in the male african elephant
(Loxodonta africana) and its relation to musth. Gen and Comp Endocrinol.
134: 156-166
Gorecki MT, Wojtowski J, Kaczmarek P, Dankow R, Cais-sokolinska D, Nowak
KW. 2004. Concentration of progesterone and 17β estradiol in blood and
milk and those of natural inhibitors in milk of goats in various
physiological stages. Dumerstorf Arch Tierz. 47: 90-96
Graham L, Schwarzenberger F, Mostl E, Galama W, Savage A. 2001. A Versatile
enzyme immunoassay for the determination of progestogens in feces and
serum. Zoo Biology. 20:227–236
Haab BB, Geierstanger BH, Michailidis G. 2005. Immunoassay and antibody
microarray analysis of the HUPO plasma proteome project reference
specimens; systematic variation between sample types and calibration of
mass spectrometry data. Proteomics. 5: 3278-3291
26

Hafez ESE, Jainudeen MR, Rosnina Y. 2000. Hormones, growth factors and
reproduction. Didalam Hafez B dan Hafez ESE, editor. Reproduction in
Farm Animal. Ed ke 7. Baltimore. Lippincott Williams and Wilkins.
Haisenleder DJ, Aleisha HS, Elizabeth SM, Lisa MG, John CM. 2011.
Estimation of estradiol in mouse serum samples: evaluation of commercial
estradiol immunoassays. Ndicrine Society. 152(11); 444
Haussmann MF, Vleck CM, Farrar ES. 2007. A Laboratory exercise toillustrate
increased salivary cortisol in response to three stressful conditions using
competitive ELISA. Adv Physiol Educ. 31: 110–115
Heistermann M, Tari S, Hodges JK. 1993. Measurement of faecal steroids for
monitoring ovarian function in new world primates, callitrichidae. J
Reprod Fertil. 99: 243-251
Higham JP, Heistermann M, Saggau C, Agil M, Farajallah DP, Engelhardt A.
2012. Sexual signaling in female crested macaques and the evolution of
primate fertility signals. BMC Evolutinary Biology. 12:89
Hodges K, Brown J, Heistermann M. 2010. Endocrine monitoring of reproduction
and stress. In Kleiman DG, Thompson KV, Kirk Baer C. (Eds) Wild
Mammals in Captivity: Principles and Techniques for Zoo Management.
Chicago. The University of Chicago Press. Pp 447-468
Hodges K, Heistermann M. 2011. Field endocrinology: monitoring hormonal
changes in free-ranging primates. In Joanna MS, deborah JC. (Ed) Field
and Laboratory Methods in Primatology: A Practical Guide. Cambridge.
Cambridge University Press. Pp 353-370
Honour JW. 2006. High-performance liquid chromatography for hormone.
Didalam MJ Wheeler, WD Fraser dan JSM Hutchinson, editor. Methods
in Molecular Biology : Hormon assay in Biological Fluids. Totowa NJ.
Humana Press Inc.
[ICH] International Conference on Harmonisation. 2005. Validation of Analytical
Procedures: Text and Methodology Q2 (R1). http://www.ich.org
Katongole CB, Gombe S. 1985. A study of the reproduction hormones of
indigenous goats in uganda. [22 Januari 2008]. P 1-8. Terdapat pada :
http://www.fao.org/wairdocs/ilri/x5464b/x5464b02.htm.
Khanum SA, Hussain M, Kausar R. 2008. Progesterone and estradiol profiles
during estrous cycle and gestation in dwarf goats (Capra hircus). J
Pakistan Vet. 28 (1) :1-4
Lee JW. 2009. Method validation and application of protein biomarkers; basic
similarities and differences from biotherapeutics. Bioanalysis. 1(8): 1461-
1474
Leng SJM, Walston J, Xie D, Fedarko N, Kuchel G. 2008. Elisa and multiplex
technologies for cytokine measurement in inflammation and aging
research. J Gerontol Biol Sci Med Sci. 63 (8):879–884
Lequin RM. 2005. Enzyme immunoassay (EIA)/enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA). Clinical Chemistry. 51 (12): 2415–2418
[LF] Life Technologies. 2007. Plasma and Serum Preparation. [1 Januari
2007]:1107.Tersediapada:http://www.invitrogen.com/site/us/en/home/Refe
rences/protocols/cell-and-tissue-analysis/elisa-protocol/ELISA-Sample-
Preparation-Protocols/Plasma-and-Serum-Preparation.html.BioSource C-
070276
27

Lundblad RL. 2005. Consideration for the use of blood plasma and serum for
proteomic analysis. Internet J Genomics and Proteomics. 2: 1-16
Ma H, Kuan JS, Sheau Ll. 2004. Study of ELISA technique. Nature and Science.
4(2); 36-37
Mahmilia F, Doloksaribu M, Nasution S, Hasibuan S. 2009. Reproduksi awal
kambing kacang dan boerka-1 di loka penelitian kambing potong. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. p 367-372
Medan MS, Watanabe G, Sasaki K, Groome NP, Sharawy S, Taya K. 2005.
Follicular and hormonal dynamics during the estrous cycles in goats. J
Reprod and Development. 51(4) : 455-463
Menchaca A, Rubianes E. 2002. Relation between progesterone concentration
during the early luteal phase and follicular dynamic in goats.
Theriogenology .57 : 1411-1419
Mohle U, Heistermann M, Palme R, Hodges JK. 2002. Characterization of urinary
and fecal metabolites of testeosterone and their measurement for assessing
gonadal endocrine function in male nonhuman primates. Gen and Comp
endocrinol. 129: 135-145
[NCCLS] National Committee for Clinical Laboratory Standard. 2004. Protocol
for Determination of Limits of Detection and Limits of Quantitation;
Proposed Guideline. Clinical and Laboratory Standard Institute. Document
Number EP17-A.
Pamungkas FA, Batubara A, Doloksaribu M, Sihite E. 2009. Petunjuk Teknis
Potensi beberapa Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Jakarta (ID).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Pamungkas FA, Elieser S, Mahmilia F. 2005. Respon fisiologis kambing boer
pada kondisi iklim tropis basah. Prosiding Seminar Nasional Sosialisasi
Hasil Penelitian dan Pengkajian Pertanian Sumatera Utara. 21-22 Nov
2005. p 512-516
Pang XS, Wang ZY, Zhu TG, Yin DZ, Zhang YL, Meng L, Wang F. 2010.
Concentration of progesterone and estradiol in peripheral plasma during
the estrous cycle and after ovariectomy in huanghuai goats of high or poor
prolificacy. J Asian-Aus Anim Sci. Vol 23.2:188-196
Perez GC, Laita SGB, Illera del Portal JC, Leisa JP. 2004. Validation of an EIA
technique for the determination of salivary cortisol in cattle. J Agricultural
Res. 2 (1): 45-51
[PB] Pierce Biotechnology. 2007. Spike-and-Recovery and Linearity of Dilution
Assessment. Thermo Fisher Scientific Inc. Rockford (USA). Tersedia
pada: http://www.piercenet.com/files/TR0058-spike-and-Recovery.pdf
Plikaytis BD, Holder PF, Pais LB, Maslanka SE, Gheesling LL, Carlone GM.
1994. Determination of parallelism and nonparallelism in bioassay dilution
curves. J Clin Microbiol. 32 (10): 2441-2447.
Relave F, Lefebrve RC, Beaudoin S, Price C. 2007. Accuracy of rapid enzyme-
linked immunosorbent assay to measure progesterone in mares. J Can Vet.
48: 823-826
Risvanli A, Orkun D, Murat A, Nevzat S, Tayfur B, Fatih K, Secil N, Tansel AB.
2010. Effect of different forms of prostaglandin F2α analogues
administration on hormonal profile, prostaglandin F2α binding rate and
28

reproductive traits in Akkaraman sheep during the breeding season. Acta


Sci Vet. 38(4): 391-398
Samartzi F, Belibasaki S, Vainas E, Boscos C. 1995. Plasma progesterone
concentration in relation to ovulation rate and embryo yield in chios ewes
superovulated with PMSG. Anim Reprod Sci. 39:11-21. SSDI 0378-4320
(94) 01372-1
Savige JA, Paspaliaris B, Silvestrini R, Davies D, Nikoloutsopoulos T, Sturgess
A, Neil J, Pollock W, Dunster K, Hendle M. 1998. A review of
immunofluorescent patterns associated with antineutrophil cytoplasmic
antibodies (ANCA) and their differentiation from other antibodies. J Clin
Pathol. 51:568-75
Schulster D, Burstein S, Cooke BA. 1976. Molecular Endocrinology of the
Steroid Hormones. London, NY, Sidney, Toronto
Senger PL. 2003. Patways to Pregnancy and Parturion. Ed ke 2. Washington.
Current Conceptions, Inc.
Setiadi B, Tiesnamurti B, Subandryo, Sartika T, Adiati U, Yulistiani D, Sendouw
I. 2002. Koleksi dan evaluasi karakteristik kambing kosta dan gembrong
secara ex-situ. Laporan Hasil Penelitian APBN 2001. Bogor (ID). Balai
Penelitian Ternak Ciawi Bogor. p 59-73
Setiawan IM. 2007. Pemeriksaan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
(ELISA) untuk Diagnosis Leptospirosis. Ebers Papyrus
Schwarzenberger F, Rietschel W, Vahalan J, Holeckova D, Thomas P, Maltzan J,
Baumgartner K, Schaftenaar W. 2000. Fecal progesterone, estrogen and
androgen metabolites for non-invasive monitoring of reproductive function
in the female indian rhinoceros, Rhinoceros unicornis. Gen Comp Endo.
119. 300-307. Doi : 10.1006/gcen.200.7523
Shabankareh HK, Habibizad J, Torki M. 2009. Corpus luteum function following
single and double ovulation during estrous cycle in sanjabi ewes. Anim
Reprod Sci. 114 :362-369. Doi : 10.1016/j.anireprosci.2008.10.011
Sherrill AF, Steven DVC, Heath MC. 1990. Serum progesterone determination
as an aid for pregnancy diagnosis in goats bred out of season. J Can Vet.
Vol 31: 104-107
Simontacchi C, Marinelli L, Gabai G, Bono G and Angeletti R. 1999. Accuracy in
naturally occuring anabolic steroid assays in cattle and first approach to
quality control in italy. Analyst. 124: 307-312
Simoes J, Almeida JC, Baril G, Azevedo J, fontes P, Mascarenhas R. 2007.
Assessment of luteal function by ultrasonographic appearance and
measurement of corpora lutea in goats. Anim Reprod Sci. 97 : 36-46.
Doi:10.1016/j.anireprosci.2006.01.006
Simoes J, Potes J, Azevedo J, Almeida JC, Fontes P, Baril G, Mescarenhans R.
2005. Morfometry of ovarian structures by transrectal ultrasonography in
serrana goats. Anim Reprod Sci. 85 : 263-273. Doi :
10.1016/j.anireprosci.2004.04.045
Singer LA, Kumer MSA, Garin W, Ayres SL. 2004. Predicting the onset of
parturition in the goat by determining progesterone levels by enzyme
immunoassay. Small Ruminant Res. 52: 203-209. DOI: 10.1016/S0921-
4488 (03) 00259-1
29

Sodiq, Tawfik ES. 2003. The role and breeds management systems productivity
and development strategies of goats in indonesia. A Review. J Agric Dev.
Tropics Subtropics. 104: 71-89
Souza CJ, Campbell BK, Baird DT. 1998. Follicular waves and concentration of
steroid and inhibin A inovarian venous blood during the luteal phase of the
estrous cycle in ewes with an ovarian autotransplant. J Endocrinol. 156 :
563-572
Tizard. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press
Todini L, Terzano GM, Malfatti A. 2007 Validation of ELISA kits for
determination of inhibin-A and estradiol 17-beta concentrations in buffalo
plasma. J Anim Sci. Vol.6,(Suppl.2), 585-588
[WHO] World Health Organization. 2002. Use of Anticoagulants in Diagnostic
Laboratory Investigations. Rev 2. Genewa.
Widiyono I, Putro PP, Sarmin, Astuti P, Airin CM. 2011. Kadar estradiol dan
progesteron serum, tampilan vulva dan sitologi apus vagina kambing
bligon selama siklus birahi. J Vet. Vol 12 (4): 263-268
Wilson DE, Reeders DM. 2005. Mammal species of the world: A Taxonomic and
Geographic References. Ed ke 3. Baltimore (USA). John Hopkins
University Press. Vol 1 dan 2. p 2142
30

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 17 Juli 1969, merupakan anak ke


enam dari sebelas bersaudara dari pasangan bapak Amad A (Alm) dan ibu Rasimi.
Pada tahun 1989, penulis lulus dari SMA negeri Ciawi, Bogor, pada tahun 1990
diterima pada Politeknik Pertanian IPB Program Studi Pengelola Kelestarian
Reproduksi (LASTARSI) lulus pada tahun 1992. Tahun 1998 penulis melanjutkan
pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan lulus pada tahun 2002 dengan
gelar Sarjana Kedokteran Hewan, kemudian dilanjutkan ke Program Profesi
Dokter Hewan (PPDH) dan mendapatkan gelar Dokter Hewan tahun 2004. Pada
tahun 2011 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan
Master (S2) pada Program Studi Biologi Reproduksi (PS BRP) Sekolah
Pascasarjana IPB. Penulis bekerja di Laboratorium Kebidanan dan Kemajiran,
Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi
FKH-IPB sejak tahun 1995. Pada tahun 2008 dan 2009 penulis diberikan
kesempatan untuk mengikuti training analisa hormon metode non-invasive di
Gottingen, Jerman dan mulai tahun tersebut aktif di Laboratorium Analisa
Hormon, Unit Rehabilitasi Reproduksi, Bagian Reproduksi dan Kebidanan, FKH-
IPB. Selama mengikuti program S2, penulis menjadi anggota Perhimpunan
Dokter Hewan Indonesia (PDHI) dan Asosiasi Reproduksi Hewan Indonesia
(ARHI), dan menulis artikel berjudul Validasi Kit EIA Komersial untuk Analisa
Hormon Estradiol dan Progesteron pada Kambing Kacang (Capra hircus) Betina
yang diterbitkan pada Jurnal Veteriner. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian
dari program S2 penulis.

Anda mungkin juga menyukai