Anda di halaman 1dari 59

i

SUPLEMENTASI BIJI KETUMBAR (Coriandrum sativum Linn)


TERHADAP PRODUKTIVITAS, HEMATOLOGI DARAH DAN
ORGAN DALAM AYAM PETELUR

UMUL HABIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ii
iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER


INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Suplementasi Biji


Ketumbar (Coriandrum sativum Linn) Terhadap Produktivitas, Hematologi Darah
dan Organ Dalam Ayam Petelur adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

Umul Habiyah
D251130251
iv

RINGKASAN

UMUL HABIYAH. Suplementasi Biji Ketumbar (Coriandrum sativum Linn)


Terhadap Produktivitas, Hematologi Darah dan Organ Dalam Ayam Petelur.
Dibimbing oleh RITA MUTIA dan SRI SUHARTI.

Biji ketumbar (Coriandrum sativum Linn) mempunyai kandungan minyak


atsiri terutama linalool 0.5−1% yang dapat dimanfaatkan sebagai imbuhan pakan
fitogenik kedalam pakan ternak. Minyak atsiri yang terkandung dalam biji
ketumbar memiliki banyak manfaat dalam tubuh sebagai antioksidan,
antidiabetes, dan antimutagenik. Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) untuk
menganalisis komponen nutrien biji ketumbar, (2) mendapatkan jumlah
pemberian tepung ketumbar di dalam pakan ayam petelur di lingkungan tropis
terhadap produktivitas ayam petelur, (3) mengamati jumlah pemberian ketumbar
untuk memberikan hematologi darah berada pada kisaran normal sehingga dapat
meningkatkan status kesehatan dan manfaatnya pada organ dalam ayam petelur.
Sumber biji ketumbar yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari
pasar tradisional Ciputat, Tangerang Selatan. Bahan-bahan pakan lainnya
diperoleh dari PT. Indofeed, Bogor. Ransum penelitian yang digunakan terdiri
jagung kuning, corn gluten meal (CGM), bungkil kedelai, tepung ikan, minyak
sawit, dicalsium phosphate (DCP), CaCO3, garam, premix, DL-methionin yang
disusun dengan iso protein (18.22%) dan iso energi (2875.33 kkal kg-1).
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Parameter yang diamati mulai dari kandungan
fitokimia biji ketumbar, performa, kualitas fisik dan kimia telur, hematologi,
konsumsi nutrien, organ dalam ayam petelur. Data dianalisa secara statistik
menggunakan analisis ragam (ANOVA). Apabila terdapat perbedaan nyata
diantara perlakuan maka dilakukan uji lanjut Duncan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi ketumbar dalam ransum
tidak berpengaruh terhadap berat telur, produksi telur dan massa telur yang
dihasilkan selama penelitian. Suplementasi biji ketumbar dalam ransum ayam
petelur memberikan hasil yang nyata menurunkan (P<0.05) terhadap konsumsi
ransum dan konversi ransum. Pemberian ketumbar 1−3% dalam ransum tidak
berpengaruh terhadap kualitas fisik dan kimia telur tetapi memberikan hasil yang
nyata meningkatkan warna kuning telur. Suplementasi biji ketumbar dalam
ransum tidak berpengaruh terhadap organ dalam ayam petelur dan dapat
memberikan gambaran hematologi ayam petelur berada pada kisaran normal.
Kesimpulan Suplementasi tepung biji ketumbar 2−3% dalam ransum ayam
petelur dapat menurunkan konversi ransum, konsumsi ransum dan meningkatkan
warna kuning telur tanpa menurunkan kualitas telur.

Kata kunci: ayam petelur, biji ketumbar, kualitas telur, hematologi darah,
performa
v

SUMMARY

UMUL HABIYAH. Supplementation of Coriander Seeds (Coriandrum sativum


Linn) on Productivity, Blood Hematology, and Organ of Laying Hens. Supervised
by RITA MUTIA and SRI SUHARTI.

Coriander seeds (Coriandrum sativum Linn) have a particularly volatile oil


content of 0.5−1% linalool which could be used as feed additives fitogenik into
animal feed. Essential oils contained in coriander seeds have many benefits in the
body as an antioxidant, antidiabetic, and antimutagenic. This study aimed research
are: (1) to identify the components of nutrients and phytochemicals coriander
seeds,(2) obtain the amount of the provision coriander powder in the feed of
laying hens in a tropical environment on the productivity of laying hens, (3)
provide blood hematology are in the normal range so as to improve the health
status and the benefits of the internal organs of laying hens.
Coriander seed sources used in this study came from the traditional market
ciputat. Other feed ingredients derived from PT. Indofeed, Bogor. The research
ration consisting of yellow corn, corn gluten meal (CGM), soybean meal, fish
meal, palm oil, dicalsium phosphate (DCP), CaCO3, salt, premix, DL-methionine
were prepared with iso protein (18.22%) and iso energy (2875.33 kcal kg-1). The
experimental design used was completely randomized design with 4 treatments
and 4 replications. The parameters observed from coriander seeds phytochemical
content, performance, physical and chemical quality of egg, blood hematology,
consumption of nutrients, and organ of laying hens. Data were statistically
analyzed using analysis of variance (ANOVA). If there are significant differences
between the treatments then tested Duncan.
The results showed that supplementation of coriander seeds in diets had not
effect on egg weight, egg production, and egg mass. Supplementation of coriander
seeds 2−3% significantly decreased (P<0.05) feed consumption and feed
convertion ratio. Supplementation of coriander seeds 1−3% significantly (P<0.05)
increased yellowness in yolk color without affecting other quality parameter.
Coriander seed supplementation in the diet had no effect on the organ in laying
hens. Coriander seed supplementation in the diet had no effect on blood
hematology in normal range.
In conclution supplementation 2−3% coriander seeds in diet of laying hens
decrease feed convertion ratio, feed intake and increased yolk color without
lowering the quality of eggs.

Keywords: blood hematologi, coriander seeds, egg quality, laying hens,


performance
vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vii

SUPLEMENTASI BIJI KETUMBAR (Coriandrum sativum Linn)


TERHADAP PRODUKTIVITAS, HEMATOLOGI DARAH DAN
ORGAN DALAM AYAM PETELUR

UMUL HABIYAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
viii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Ibnu Katsir Amrullah, MS


ix

Judul Tesis : Suplementasi Biji Ketumbar (Coriandrum sativum Linn) Terhadap


Produktivitas, Hematologi Darah dan Organ Dalam Ayam Petelur.
Nama : Umul Habiyah
NIM : D251130251

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Rita Mutia, MAgr Dr Sri Suharti, SPt MSi


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Nutrisi dan Pakan

Dr Ir Dwierra Evvyernie A, MS MSc Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 8 Oktober 2015 Tanggal Lulus:


x
xi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian adalah pangan organik yang dilaksanakan sejak bulan
September 2014 sampai Januari 2015 ini ialah dengan judul Suplementasi Biji
Ketumbar (Coriandrum sativum Linn) Terhadap Produktifitas, Hematologi Darah
dan Organ Dalam Ayam Petelur. Karya ilmiah yang merupakan bagian tesis ini
sedang dalam proses penerbitan pada Media Peternakan–Journal of Animal
Science and Technology dengan judul “The effect of coriander seeds (Coriandrum
sativum Linn) on performa and egg quality of laying hens”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Rita Mutia, M. Agr dan Dr Sri
Suharti, S. Pt, M. Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi waktu
bimbingan, saran, dan motivasi sehingga penelitian dan tesis ini dapat
diselesaikan. Kepada Ibu Dr Ir Dwierra Evvyernie A, MS MSc dan Ibu Prof Dr Ir
Yuli retnani, MSc sebagai ketua dan wakil program studi Ilmu Nutrisi dan Pakan
Pascasarjana IPB, dan kepada Dr Ir. Ibnu Katsir Amrullah, MS sebagai dosen penguji
luar komisi. Terima kasih juga kepada Pak Supri dan Bu Ade serta seluruh staff dan
pegawai Pascasarjana khususnya Departemen Ilmu Nutris dan Pakan atas segala
bantuan dan bimbingannya. Terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi melalui program
Beasiswa Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) 2013.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ibunda dan
Ayahanda tercinta serta keluarga besar atas segala doa, kepercayaan, keikhlasan,
kasih sayang yang tiada henti selalu menguatkan dan memotivasi penulis selama
menuntut ilmu. Kakak dan adik (kutih Eman, Uni Emnadia, angah Eniminda SPd,
candah Enisda, ketek Eli, abang Askir, adik super Iqbal ST, abang Sastra, abang
Erizon, abang Tanwir, abang Idrus), Penulis juga mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada Opung (Gunung tua) do’a, nasehat, saran dan motivasi
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi dengan baik. Teman-teman
Pascasarjana INP 2013 (Iin, Mba Ina, Dea, Kak Dipa, Mas Hilmi, teman-teman
Unand Padang) dan kos Nabila (leni dan ira) terima kasih atas motivasi, kenangan
manis, dan kebersamaan singkat yang telah terjalin namun begitu bermakna. Kepada
Bu Lanjarsih dan Bapak Ucup yang telah banyak membantu selama penelitian.
Terimakasih atas bantuan dari semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu. Semoga Allah selalu membalas amal baiknya dan semoga karya ilmiah ini
bermanfaat. Aamiin.

Bogor, Oktober 2015

Umul Habiyah
D251130251
xii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
2 METODE 3
Waktu dan Tempat Penelitian 3
Bahan dan Alat 3
Prosedur Penelitian 3
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Suhu Kandang Penelitian 12
Kandungan Nutrien Biji Ketumbar 12
Pengaruh Perlakuan Terhadap Performa Ayam Petelur 13
Pengaruh Perlakuan Terhadap Kualitas Telur Ayam Petelur 15
Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Nutrien Ayam Petelur 19
Pengaruh Perlakuan Terhadap Hematologi Darah Ayam Petelur 19
Pengaruh Perlakuan Terhadap Saluran Pencernaan Ayam Petelur 23
Pengaruh Perlakuan Terhadap Organ Dalam Ayam Petelur 25
Pengaruh Perlakuan Terhadap Income Over Feed Cost Ayam Petelur 26

4 SIMPULAN DAN SARAN 28


Simpulan 28
Saran 28
DAFTAR PUSTAKA 29
LAMPIRAN 35
RIWAYAT HIDUP 57
xiii

DAFTAR TABEL

1 Komposisi dan kandungan nutrien ransum perlakuan selama penelitian 4


2 kandungan nutrien ransum penelitian (ransum basal) 4
3 Kandungan nutrien biji ketumbar 12
4 Rataan berat telur, produksi henday, massa telur, konsumsi, konversi
ransum dari ayam petelur 13
5 Rataan kualitas fisik dan kimia telur ayam petelur Lohmann brown 16
6 Rataan konsumsi nutrien ayam petelur strain Lohmann brown 19
7 Rataan hematologi darah ayam petelur strain Lohmann brown 20
8 Rataan panjang dan berat saluran pencernaan ayam petelur Lohmann
brown 24
9 Rataan organ dalam ayam petelur strain Lohmann brown 25
10 Perhitungan ekonomi nilai income over feed cost per 1 kg telur ayam
petelur strain Lohmann brown selama 6 minggu 27

DAFTAR GAMBAR
1 Biji ketumbar 5
2 Ransum perlakuan 5
3 Pemeliharaan ayam petelur 6
4 Pengujian kualitas telur dan organ dalam ayam petelur 6
5 Rataan produksi telur henday ayam petelur 14
6 Rataan konversi pakan ayam petelur selama pemeliharaan 6 minggu 15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil analisa dan uji lanjut pengaruh perlakuan terhadap performa 35
2 Hasil analisa dan uji lanjut pengaruh perlakuan terhadap konsumsi nutrien 36
3 Hasil analisa dan uji lanjut pengaruh perlakuan terhadap kualitas telur 37
4 Hasil analisa dan uji lanjut pengaruh perlakuan terhadap hematologi darah 39
5 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap saluran pencernaan dan reproduksi 41
6 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap organ dalam 43
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ayam ras petelur adalah salah satu jenis ternak unggas yang sangat popular
dikembangkan dikalangan masyarakat, baik dalam skala kecil yang dikelola oleh
keluarga atau sekelompok masyarakat peternak maupun dalam bentuk industri
peternakan dalam skala usaha yang cukup besar. Permintaan terhadap telur ayam
ras terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan permintaan
tersebut tentunya harus diiringi dengan kuantitas dan kualitas telur yang optimal
untuk konsumen. Telur ayam merupakan sumber protein hewani yang bernilai
gizi tinggi dan umummya disukai oleh banyak orang. Perkembangan populasi
ayam ras petelur di Indonesia pada tahun 2013 menurut Direktorat Jenderal
Peternakan sebesar 146.622.000 ekor, sedangkan jumlah produksi telur yang
dihasilkan adalah sebesar 1.224.402 ton. Tahun 2014 (Angka sementara)
Populasi dan Produksi Peternakan ayam ras di Indonesia adalah 154.657.000 ekor
dan 1.299.199 ton (BPS 2015).
Saat ini, minat untuk mencari alternatif non-sintetik antibiotik semakin
meningkat. Pakan additif seperti bumbu dan rempah-rempah yang biasa
dimasukkan ke dalam pakan ternak untuk meningkatkan rasa dan kelezatan,
sehingga meningkatkan kinerja performa (Windisch et al. 2008). Efek
menguntungkan dari sebagian besar herbal, rempah-rempah dan senyawa bioaktif
telah diakui sejak zaman kuno dan efek dari herbal tersebut telah banyak
dilaporkan sebagai imbuhan pakan fitogenik dalam makanan hewan percobaan.
Ketumbar (Coriandrum sativum L.) terutama bijinya yang digunakan sebagai agen
penyedap dalam industri makanan atau sebagai bumbu roti, ikan dan daging,
tetapi juga memiliki sejarah panjang sebagai obat tradisional. Biji ketumbar
mengandung minyak atsiri hingga 1%, komponen utama adalah linalool, yang
memiliki potensi antibakteri (Silva 2011; Matasyoh et al. 2008), insektisida
(Khani dan Rahdari 2012), antibiotik (Hosseinzadeh et al. 2014) dan antimikroba
(Begnami et al. 2010; Burdock dan Carabin 2008) merupakan efek dari minyak
esensial (atsiri) ketumbar. Minyak atsiri juga memberikan efek selera dan
stimulasi dalam proses pencernaan (Rajeshwari dan Andallu 2011).
Ketumbar juga terkenal dengan antioksidannya, anti-diabetes, anti-
mutagenik, anti-ansietas dan menyeimbangkan hormon. Jika penggunaannya
dalam makanan akan bermanfaat bagi kesehatan dan efek perlindungan makanan
untuk waktu yang lebih lama (Bhat et al. 2014). Tanaman aromatik, ekstrak dan
minyak esensial mengandung berbagai senyawa bioaktif fungsional, metode
alternatif untuk meningkatkan kinerja yang dapat dikembangkan karena dapat
memuaskan tuntutan konsumen untuk makanan alami, aman dan berkualitas
tinggi (Christaki et al. 2012). Senyawa utama dalam minyak esensial adalah
linalool (67.70%); α-pinene (10.5%); γ-terpinene (9.0%); geranyl asetat (4.0%);
kamper (3.0%); dan geraniol (1.9%) Khani dan Rahdari (2012). Kadar minyak
esensial yang terkandung pada biji ketumbar berjumlah sekitar 0.5%−1% mampu
menjadi antimikroba atau antibakteri, dan spesifik terhadap spesies Salmonella,
sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh dari serangan penyakit (Isao et al.
2004). Minyak esensial (atsiri) yang dikandungnya berkhasiat sebagai stimulan,
2

penguat organ pencernaan, merangsang enzim pencernaan, dan peningkatan


fungsi hati (Hernandez et al. 2004). Sampai saat ini belum banyak laporan
percobaan penggunaan biji ketumbar pada ransum ayam petelur.
Penelitian Al-mashadani et al. (2011) dan Saeid dan Nasry (2010)
menyatakan bahwa minyak ketumbar dapat meningkatkan performa broiler dan
menurunkan kadar kolesterol glukosa darah serta pemakaian ketumbar memiliki
efek performa yang menguntungkan selama pemeliharaan musim panas dan
meningkatkan status fisiologis tubuh. Sogara et al. (2014) menyatakan bahwa
pemberian ekstrak etanol ketumbar pada tikus dapat menurunkan kadar gula darah
hingga dapat mencapai kadar gula darah normal. Penelitian Al-Jaff (2011)
menyimpulkan bahwa pemberian ketumbar sampai level 2% dalam ransum dapat
memberikan efek yang positif terhadap gambaran darah, performa dan sistem
kekebalan tubuh selama stress panas (suhu lingkungan yang tinggi). Selanjutnya
suplementasi pakan dengan lada hitam dan ketumbar atau kombinasi keduanya
dapat meningkatkan performa dan status kesehatan ayam broiler dapat dijadikan
sebagai suplemen makanan sebagai pemacu pertumbuhan alami (Abou-elkhair et
al. 2014). Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian pemberian biji ketumbar pada
ransum ayam petelur untuk melihat pengaruhnya terhadap performan produksi
dan kualitas telur ayam petelur.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) untuk menganalisis komponen nutrien
biji ketumbar (2) mendapatkan jumlah pemberian tepung ketumbar di dalam
pakan ayam petelur di lingkungan tropis terhadap produktivitas ayam petelur, (3)
mengamati jumlah pemberian ketumbar sehingga memberikan hematologi berada
pada kisaran normal sehingga dapat meningkatkan status kesehatan ayam petelur.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi ilmiah mengenai


penggunaan ketumbar sebagai imbuhan pakan fitogenik dalam meningkatkan
produktifitas ternak unggas yang dipelihara dalam lingkungan tropis.
3

2 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2014 sampai Januari


2015. Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Lapangan Nutrisi Ternak
Unggas (Kandang C), Laboratorium Ilmu Nutrisi Unggas Fakultas Peternakan
IPB, Laboratorium Pengujian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat,
Laboratorium Pengujian BBPP Pascapanen Pertanian, Pusat Penelitian
Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, Laboratorium Terpadu Departemen
Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium fisiologi
Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Materi

Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain timbangan digital,
kandang individual cage, tempat pakan dan minum, lampu, thermometer, skop,
gerobak, sapu lidi, ember.

Bahan

a. Ternak dan Pakan


Tenak yang digunakan pada penelitian ini adalah ayam petelur stain
Lohmann Brown umur 43 minggu pada fase II produksi dengan berat badan awal
(1.670±0.11 g) sebanyak 96 ekor. Bahan pakan yang digunakan diperoleh dari PT.
Indofeed Bogor. Ransum penelitian yang digunakan terdiri jagung kuning, corn
gluten meal (cgm), bungkil kedelai, tepung ikan, minyak sawit, dicalcium
phosphate (DCP), CaCO3, garam, premix, DL-methionin. Pakan percobaan
disusun sendiri dengan kandungan isoprotein (18.22%) dan isoenergi dan
(2875.34 kkal kg-1) yang disusun berdasarkan Leeson dan Summer (2005) pada
Tabel 1.
Pakan perlakuan yang digunakan adalah :

R0 : Ransum tanpa ketumbar 0% (kontrol)


R1 : Ransum mengandung ketumbar 1%
R2 : Ransum mengandung ketumbar 2%
R3 : Ransum mengandung ketumbar 3%

Prosedur penelitian
Pesiapan kandang penelitian
Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang kandang
individual cage (35cm x 36cm x 42cm) yang tidak ditutup tirai sepenuhnya
sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran udara, kandang yang digunakan
kemudian dibersihkan dengan desinfektan.
4

Tabel 1. Komposisi dan kandungan nutrien ransum perlakuan selama penelitian


Bahan pakan Jumlah (%)
Jagung kuning 51.00
CGM 4.50
Bungkil kedelai 23.67
Tepung ikan 8.00
Minyak sawit 2.50
DCP 0.40
CaCO3 9.20
Garam 0.20
premix 0.50
DL-methionin 0.03
Total 100
Kandungan nutrien : *)
Energi Metabolis (kkal kg-1) 2875.34
Protein kasar (%) 18.12
Lemak kasar (%) 4.58
Serat kasar (%) 2.18
Ca (%) 4.16
P tersedia (%) 0.52
Lysin (%) 1.33
Methionine (%) 0.52
Meth+Cystine (%) 0.89
Keterangan : *Berdasarkan Leeson dan Summers (2005)

Tabel 2. Hasil analisis nutrien ransum kontrol.

Nutrien Nilai Nutrien (%)


Bahan kering 88.35
Abu 13.09
Protein kasar 20.11
Serat kasar 3.06
Lemak kasar 5.64
Keterangan : Hasil analisis Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi
Intitut Pertanian Bogor (2014).

Pembuatan Tepung biji ketumbar


Sumber biji ketumbar yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari
pasar tradisional Ciputat, Tangerang Selatan. Ketumbar yang sudah dipilih di
oven selama ± 2 jam dalam oven 60ºC kemudian dihaluskan dengan mesin
hammer mill hingga berbentuk mash.
5

Gambar 1 : Biji ketumbar (Coriandrum sativum L)

Ransum perlakuan
Ransum yang sudah diaduk kemudian dicampurkan dengan biji ketumbar
sesuai dengan perlakuan.

Gambar 2 : Ransum perlakuan

Pemeliharaan ayam petelur


Ayam petelur yang dipelihara didalam kandang diberikan pakan adaptasi
selama 1 minggu, kemudian dilanjutkan dengan pakan perlakuan yang
ditambahkan dengan ketumbar sesuai dengan masing-masing perlakuan.
Pengukuran suhu ini dilakukan pada pagi hari pukul 06.00 WIB, siang hari pukul
12.00 WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB. Pemberian pakan dilakukan selama
dua kali yaitu pagi pukul 07.00 WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB sedangkan air
minum diberikan secara ad libitum.
6

Gambar 3 : pemeliharaan ayam petelur

Pengambilan sampel
Kualitas telur : Pengambilan sampel dilakukan setiap minggu selama penelitian
yaitu pada minggu ke-1 sampai ke-6. Pada setiap ulangan masing-masing diambil
2 telur untuk dianalisa kualitas fisik dan kimia telur.

(a) (b) (c)


Gambar 4: (a) Sampel telur; (b) pengujian kualitas telur; (c) organ dalam ayam
petelur.

Profil darah : Sampel darah diambil pada akhir penelitian. Pengambilan darah
dilakukan melalui vena branchialis menggunakan spuit 3 mL sebanyak 1−2 mL
darah ayam petelur. Darah yang sudah terkoleksi langsung dimasukkan ke dalam
tabung reaksi yang telah dilapisi antikoagulan EDTA. Tabung tersebut ditutup
menggunakan sumbat dan diberi label sesuai dengan perlakuan. Kemudian,
tabung dimasukkan ke dalam kotak pendingin dan dibawa ke Laboratorium
Fisiologi untuk pemeriksaan darah.
Organ dalam ayam petelur : pengukuran organ dalam ayam petelur dilakukan
pada akhir penelitian masing-masing 2 ekor ayam pada setiap ulangan.

Peubah yang diamati


Performa ayam petelur :
1. Konsumsi ransum (g ekor -1 hari -1)
Konsumsi ransum diperoleh dari selisih jumlah pakan yang diberi pada awal
minggu dengan sisa pakan pada akhir minggu.
7

Konsumsi pakan = Jumlah pakan yang dikonsumsi selama 7 hari


Jumlah ayam x 7 hari
2. Produksi telur harian/ henday production (%)
Hen day (%) = Jumlah telur pada hari itu (butir) x 100%
Jumlah ayam hidup (ekor)
3. Produksi massa telur (g ekor -1 hari -1)
Produksi massa telur adalah jumlah bobot telur yang dihasilkan oleh setiap
ekor ayam selama 6 minggu. Produksi massa telur diperoleh dari penimbangan
bobot telur yang dihasilkan oleh setiap ekor ayam pada setiap harinya, kemudian
dijumlahkan selama 6 minggu.
4. Konversi ransum
Konversi ransum = konsumsi ransum (g ekor -1 hari -1)
massa telur (g ekor -1 hari -1)
-1
5. Berat telur (g butir )
Berat telur diukur dengan menimbang telur setiap harinya selama
penelitian kemudian dirata-ratakan.
6. Income over feed cost (IOFC)
Income over feed cost dihitung dengan cara mengurangi pendapatan
dengan total harga pakan selama penelitian.

Kualitas telur
Kualitas fisik telur :
Pengambilan sampel telur dilakukan setiap minggu yaitu sebanyak 6 kali untuk di
pecah dan dilakukan pengujian kualitas telur.
1. Berat telur (g butir -1)
Berat telur diukur dengan menimbang telur.
2. Berat kuning telur (yolk)
Berat kuning telur diukur dengan menimbang kuning telur (g)
Ratio kuning telur = berat kuning telur (g) x 100
berat telur (g)
3. Berat kerabang telur (g butir -1)
Berat kerabang telur diukur dengan menimbang kerabang telur.
Ratio kerabang telur = berat kerabang (g) x 100
berat telur (g)
4. Berat putih telur (albumen)
Berat putih diperoleh melalui penimbangan (g)
Ratio albumen = berat albumen( g) x 100
berat telur (g)
5. Indeks telur
Indeks telur diukur dengan menggunakan alat jangka sorong untuk
mengukur panjang dan lebar telur.
6. Haugh unit
Haugh unit merupakan nilai untuk menentukan kualitas putih telur yang
diperoleh dari hubungan antara bobot telur (gram) dengan tinggi putih telur
(mm).Telur ditimbang kemudian diberi label sesuai dengan beratnya. Telur
dipecahkan di atas bidang datar dan licin (kaca). Tinggi putih telur diukur dengan
8

menggunakan alat jangka sorong. Hasil pengamatan Haugh Unit dicatat pada
tabel hasil pemeriksaan. Rumus Haugh Unit menurut (Doyon et al. 1986).

HU = 100 log (H – 1.7 W0.37 + 7.6 ),


Keterangan:
HU : Haugh Unit,
H : Tinggi Putih Telur (mm)
W : Berat Telur (gram)
7. Tebal kerabang (egg shell thickness)
Angka ketebalan kerabang diperoleh dari mengunakan jangka sorong (mm)
8. Warna kuning dan kerabang telur
Untuk mengetahui warna kuning telur dilakukan dengan menggunakan
kipas standar kuning telur (egg roche yolk colour fan) dan egg shell indikator.

Kualitas kimia telur:


1. Kolestrol kuning telur
Analisis kolesterol menggunakan metode Liebermann Burchard (Burke et al.
1974). Sebanyak ±0.1 gram sampel dimasukan ke dalam tabung sentrifuge
ditambah dengan 8 ml [alkohol: heksan /alkohol: petroleum benzena (3:1)].
Diaduk sampai homogen. Pengaduk dibilas dengan 2 ml [alkohol : heksan /
alkohol : petroleum benzena (3:1)]. Kemudian disentrifuge selama 10 menit (3000
rpm). Supernatan dituang ke dalam gelas piala 100 ml, dan diuapkan di Hot plate.
Residu diuapkan dengan kloroform (sedikit demi sedikit), sambil dituangkan ke
dalam tabung berskala (sampai volume 5 ml), kemudian ditambahkan 2 ml acetic
anhidrid. Tambahkan juga 0.2 ml H2SO4 pekat (p.a) atau 2 tetes. Selanjutnya
dicampur dengan vortex, dan biarkan di tempat gelap selama 15 menit . Lalu baca
absorbansinya pada panjang gelombang (λ) 420 nm dengan standar yang
digunakan 0.4 mg ml -1.
Perhitungan :

Kadar Kolesterol = Abs Contoh x konsentrasi standar


Abs Standar X 100

Bobot contoh
= mg 100 g-1

2. Analisis Kadar Malondialdehida (MDA) kuning telur


Prinsip metode ini berdasarkan kepada kemampuan pembentukan komplek
berwarna merah jambu antara MDA dan asam tioberbutirat (TBA). Sebanyak ± 1
gr kuning telur dimasukkan dalam gelas piala dengan ditambahkan 2,5 ml buffer
fosfat yang mengandung 11.5 g L-1 kalium klorida dalam kondisi dingin Ph 7.4
(disimpan pada suhu 5˚C). Campuran ini disentrifus 4000 rpm 10 menit, diambil
supernatan jernih diambil dan ditambahkan 4 ml campuran asam klorida dingin
0.25 N (2.23 ml asam klorida pekat/100 ml) yang mengandung 15% asam
trikloroasetat (w/v), 0.38% asam tiobarbiurat dan 0.5% butilat hidroksitoluen.
Campuran asam klorida dan supernatan tersebut dipanaskan 80˚C (inkubator)
selama 1 jam, selanjutnya didinginkan dengan air mengalir dan disentrifus 3500
9

rpm 10 menit. Supernatan hasil sentrifus tersebut kemudian diukur absorbansinya


pada panjang gelombang 532 nm (Rice-Evans dan Anthony 1991).

MDA (µg/g protein) = A µmol/g 50 µL x 7.5 ml


1.25 g (bb)
A = kadar MDA yang diperoleh dari persamaan regresi kurva standar.

Hematologi Darah Ayam Petelur


Jumlah eritrosit
Menurut Sastradipradja et al. (1989) pengambilan darah dari tabung
menggunakan pipet eritrosit dengan bantuan alat pengisap (aspirator) sampai
batas angka 1.0. Ujung pipet dibersihkan dengan tisu. Larutan pengencer Rees and
Ecker diisap sampai tanda 101 yang tertera pada pipet eritrosit, kemudian pipa
aspirator dilepaskan. Kedua ujung pipet ditutup dengan ibu jari dan jari telunjuk
tangan kanan, kemudian isi pipet dikocok dengan membentuk gerakan angka 8,
dan cairan yang tidak ikut terkocok dibuang. Setetes cairan dimasukkan kedalam
kamar hitung dan biarkan butir-butir yang ada di dalam kamar hitung mengendap.
Butir darah merah dihitung dengan mikroskop pada pembesaran 400 kali (a).
Untuk menghitung eritrosit dalam hemocytometer neubeur, digunakan
kotak eritrosit yang berjumlah 25 buah dengan mengambil bagian sebagai berikut:
satu kotak pojok kanan atas, satu kotak pojok kiri atas, satu kotak di tengah, satu
kotak pojok kanan bawah dan satu kotak pojok kiri bawah. Untuk membedakan
kotak eritrosit dengan kotak leukosit dapat berpatokan pada tiga garis pemisah
pada kotak eritrosit serta luas kotak eritrosit yang relatif lebih kecil dibandingkan
dengan kotak leukosit. Setelah jumlah eritrosit didapatkan maka jumlah darah
dikalikan dengan 5000, untuk mengetahui jumlah eritrosit dalam 1 mm3 darah.
Angka 5000 merupakan perkalian dari tebal kamar hitung 1/10 mm, panjang
kamar hitung 1/5 mm, lebar 1/5 mm dan 5 kotak kamar hitung dalam mm3
kemudian dikalikan dengan larutan pengencer 100. Jumlah eritrosit dapat dihitung
dengan rumus dibawah ini:

Jumlah Eritrosit per mm3 darah = a x 5 x 103butir

Jumlah Leukosit
Menurut Sastradipradja et al. (1989) pengambilan darah dilakukan
menggunakan pipet eritrosit dengan bantuan alat pengisap (aspirator) sampai
batas angka 1.0. Ujung pipet dibersihkan dengan tissu. Larutan pengencer Rees
and Ecker diisap sampai tanda 101 yang tertera pada pipet eritrosit, kemudian
pipa aspirator dilepaskan. Kedua ujung pipet ditutup dengan ibu jari dan jari
telunjuk tangan kanan, Isi pipet dikocok dengan membentuk gerakan angka 8, dan
cairan yang tidak ikut terkocok dibuang. Setetes cairan dimasukkan ke dalam
kamar hitung dan dibiarkan butir-butir yang ada di dalam kamar hitung
mengendap. Butir darah putih dihitung dengan mikroskop pada pembesaran 400
kali. Untuk menghitung leukosit dalam hemocytometer neubauer, digunakan
kotak leukosit yang berjumlah 5 buah dari 9 kotak utama dengan mengambil
bagian sebagai berikut : satu kotak pojok kanan atas, satu kotak pojok kiri atas,
satu kotak di tengah, satu kotak pojok kanan bawah dan satu kotak pojok kiri
bawah. Jumlah leukosit yang didapat dari hasil perhitungan dengan mikroskop (b)
10

dikalikan 200 untuk mengetahui jumlah leukosit setiap 1 mm3 darah. Angka 200
diperoleh dengan cara mengalikan 5 kotak ruang hitung, panjang 1 mm, lebar 1
mm, dan tebal 1/10 mm kemudian dijadikan 1 mm3 setelah itu dikali faktor
pengencer sebesar 100. Jumlah leukosit dapat dihitung dengan rumus dibawah ini.

Jumlah Leukosit per mm3 darah = b x 2 x 102 butir


Hemoglobin
Pengukuran hemoglobin dilakukan dengan metode Cyanmethemoglobin.
Metode ini dilakukan dengan mencampurkan reagen hemoglobin 2.5 mL dengan
sampel darah 10 μL di dalam tabung. Hasil campuran reagen hemoglobin dan
darah dibaca pada fotometer dengan panjang gelombang 540 nm sehingga
didapatkan absorban.
Kadar Hemoglobin (g %) = Absorban x 36.8 g Hb/100 mL.

Hematokrit.
Menurut Sastradipradja et al. (1989) nilai hematokrit ditentukan dengan
metode mikrohematokrit. Darah dari tabung ditempelkan dengan ujung
mikrokapiler yang bertanda (merah atau biru). Darah dibiarkan mengalir sampai
4/5 bagian pipa kapiler terisi kemudian ujung pipa kapiler disumbat dengan
crestaseal (penyumbat). Pipa kapiler tersebut ditempatkan di microcentrifuge
selama lima menit dengan kecepatan 12.000 rpm, kemudian terbentuk lapisan
plasma, lapisan putih abu, dan lapisan merah. Nilai hematokrit ditentukan dengan
mengukur % volume eritrosit (lapisan merah) dari darah dengan menggunakan
alat baca mikrohematokrit (microcapillary hematokrit reader).

Diferensiasi leukosit
Darah dibuat preparat ulas ±2 cm dari ujung gelas objek. Preparat ulas
difiksasi dengan metanol 75% selama 5 menit kemudian diangkat sampai kering
udara. Ulasan darah direndam dengan larutan giemsa selama 30 menit, diangkat
dan dicuci dengan menggunakan air kran yang mengalir untuk menghilangkan zat
warna yang berlebihan, kemudian dikeringkan dengan kertas isap. Preparat ulas
diletakkandibawah mikroskop pembesaran 1000 kali dan ditambahkan minyak
emersi kemudian dihitung limfosit, heterofil, monosit, basofil, dan eosinofil
dengan pembesaran 1000 kali sampai jumlah total 100 butir leukosit
(Sastradipradja et al. 1989).

Organ Dalam Ayam Petelur


Pada hari terakhir dari penelitan, dua ekor per ulangan diambil secara acak
untuk mengevaluasi bobot relatif dari beberapa organ dalam. Setiap ayam dengan
memotong urat nadi. Kemudian organ dalam ditimbang secara terpisah dan
ditimbang. Bobot relatif organ tersebut dihitung sebagai persentase dari berat
badan hidup.

Persentase bobot organ dalam = bobot organ dalam (g) x 100%


bobot hidup akhir (g)

Panjang relatif saluran pencernaan = panjang saluran pencernaan (cm) x 100%


bobot hidup akhir (g)
11

Rancangan Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Setiap unit percobaan menggunakan 6
ekor ayam yang dipelihara selama 6 minggu.

Model matematis yang digunakan adalah :


Yij = μ + τi + εij

Keterangan:
Yij = Hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
i = Perlakuan (1, 2, 3, dan 4)
j = Ulangan (1, 2, 3, 4)
μ = Nilai tengah umum
τi = Pengaruh Perlakuan ke-i
έίј = Pengaruh Sisa (Galat) pada ulangan ke-j yang mendapat perlakuan ke i.

Analisis Data
Data dianalisa secara statistik menggunakan analisis ragam (ANOVA).
Apabila terdapat perbedaan nyata diantara perlakuan maka dilakukan uji lanjut
DUNCAN (Matjik dan Sumertajaya 2006). Analisis data menggunakan software
statistik SPSS 16.
12

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Suhu Kandang Penelitian

Rataan temperatur kandang penelitian pada pagi hari pukul 07.00 WIB
24±0.51˚C, siang hari pukul 12.00 WIB 32±0.96˚C dan sore hari pukul 16.00
WIB 26±0.66˚C. Kisaran temperatur tersebut relatif lebih tinggi dari yang
direkomendasikan Leeson dan Summers (2001) untuk lingkungan pemeliharaan
ayam yang optimum berkisar antara 18−24˚C.

Kandungan Nutrien Biji Ketumbar

Hasil analisis kandungan nutrien biji ketumbar yang digunakan dalam


penelitian ini dibandingkan dengan hasil penelitian lainnya disajikan pada Tabel
3.

Tabel 3. Kandungan nutrien biji ketumbar as fed (%)


Komponen Hasil analisis1 Hasil analisis2 Hasil analisis3
Bahan kering 91.79 88.80 89.19
Abu 5.33 - 6.15
Protein kasar 13.03 12.37 17.30
Lemak kasar 20.33 17.77 11.59
Serat kasar 30.39 41.90 31.26
Minyak atsiri 0.63a 1 -
Vitamin C (mg 100g-1) 32.16b 21.00 -
Betacaroten (mg 100g-1) 0.22c - -
Keterangan: 1Hasil analisis Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi
Intitut Pertanian Bogor (2014). 2USDA (2009). 3Penelitian Umam (2012). aHasil
Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (2014). bHasil
Laboratorium Pengujian BBPP Pasca Panen (2015). cAruna dan Baskaran (2010).

Hasil analisis kandungan nutrien yang berbeda disebabkan oleh beberapa


faktor seperti pakan biji ketumbar yang diberikan, kualitas biji ketumbar, dan
proses pengolahan. Kandungan minyak atsiri dalam biji ketumbar cendrung
sangat mudah menguap akibat panas sehingga proses pengeringan sebelum di
lakukan tepung harus diperhatikan lama proses pengeringannya. Kandungan
minyak atsiri biji ketumbar yang digunakan dalam penelitian ini masih normal
yaitu 0.63%.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Performa ayam petelur

Konsumsi ransum
Rataan konsumsi pada penelitian ini adalah 102.65 g ekor-1 hari-1.
Pemberian ketumbar 2−3% dalam ransum menyebabkan konsumsi ransum nyata
(P<0.05) lebih rendah (R2 dan R3) jika dibandingkan dengan ransum (R0) pada
Tabel 4. Konsumsi ransum yang lebih rendah pada perlakuan R2 dan R3
dibandingkan dengan kontrol disebabkan oleh sudah tercukupi kebutuhan
energinya. Konsumsi ransum antara perlakuan (R1, R2, dan R3) yang diberi
13

tepung biji ketumbar memberikan hasil tidak signifikan. Hal ini berarti ransum
yang mengandung ketumbar dalam ransum dapat menstimulan sistem organ
pencernaan sehingga berfungsi secara optimal.
Penelitian Rajeshwari dan Andallu (2011) menyatakan bahwa minyak
esensial ketumbar adalah merangsang dan membantu dalam sekresi enzim dan
cairan pencernaan dalam perut, sehingga merangsang pencernaan dan gerak
peristaltik yang pada gilirannya akan menurunkan konversi ransum.

Tabel 4. Rataan berat telur, produksi henday, massa telur, konsumsi, konversi
ransum dari ayam petelur selama 6 minggu
Perlakuan
Parameter
R0 R1 R2 R3
Konsumsi
komulatif
(g ekor-1 hari-1) 4386.67±44.76a 4311.67±38.39ab 4297.92±60.16b 4249.00±64.60b
Konsumsi harian
(g ekor-1 hari-1) 104.44±1.07a 102.66±0.09ab 102.33±1.43b 101.17±1.54b
Produksi henday
(%) 76.69±1.99 76.14±2.75 80.06±2.62 80.46±3.56
Massa telur
(g ekor-1) 1827.72±41.80 1825.24±62.88 1917.37±49.87 1905.88±69.83
Konversi ransum 2.40±0.07a 2.36±0.07a 2.24±0.07b 2.23±0.09b
Berat telur (g ) 57.56±1.32 58.11±0.38 57.70±1.04 57.30±1.69
Mortalitas (%) 0 0 0 0
Keterangan: R0= Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1= ketumbar 1%; R2= ketumbar
2%; R3= ketumbar 3%. Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda
nyata (P<0.05).

Hasil ini tidak jauh berbeda pada penelitian Chen and Balnave (2001)
melaporkan bahwa konsumsi pakan ayam petelur adalah 108 g ekor-1 hari-1.
Penelitian Guler et al. (2005) mengatakan bahwa biji ketumbar bisa dianggap
sebagai promotor pertumbuhan alami yang potensial untuk unggas, dan
menunjukkan respon terbaik pada tingkat 2% dalam ransum puyuh. Hernandez et
al. (2004) menyatakan minyak esensial (atsiri) yang dikandungnya berkhasiat
sebagai stimulan, penguat organ pencernaan, merangsang enzim pencernaan, dan
meningkatan fungsi hati. Kadar minyak esensial yang terkandung pada biji
ketumbar berjumlah sekitar 0.5%−1% mampu menjadi antimikroba atau
antibakteri, dan spesifik terhadap spesies Salmonella, sehingga dapat
meningkatkan daya tahan tubuh dari serangan penyakit (Isao et al. 2004).
Menurut Abou-Elkhair et al. (2014) menyatakan bahwa suplementasi pakan
dengan lada hitam dan ketumbar atau kombinasi keduanya dapat meningkatkan
kinerja dan status kesehatan ayam broiler dapat dijadikan sebagai suplemen
makanan sebagai promotor pertumbuhan alami.

Berat telur
Berdasarkan Tabel 4, rataan dari berat telur pada penelitian ini adalah
57.66 g. Pemberian ketumbar dalam ransum tidak memberikan hasil yang
signifikan terhadap berat telur. Suplementasi ketumbar sampai level 3% dalam
ransum belum mampu mempengaruhi berat telur yang dihasilkan. Hasil ini lebih
14

rendah jika dibandingkan dengan penelitian Cayan dan Erener (2015) yang
melaporkan bahwa berat telur ayam Lohmann brown yang dipelihara selama 8
minggu adalah 59.62 g. Bobot telur yang diperoleh pada penelitian ini 57.66 g
tidak jauh berbeda dengan penelitian Chen and Balnave (2001) adalah 57.20 g.
Berdasarkan Leeson dan Summers (2005) menyatakan bahwa protein atau asam
amino (spesifik methionin) merupakan nutrisi yang berperan penting dalam
menggontrol berat telur.

Produksi telur
Suplementasi biji ketumbar dalam ransum tidak memberikan hasil yang
signifikan terhadap produksi telur. Rataan produksi telur selama penelitian adalah
76.14−80.46%. Hasil ini tidak jauh berbeda pada penelitian Chen and Balnave
(2001) melaporkan bahwa produksi telur ayam petelur adalah 83%. Suplementasi
ketumbar sampai level 3% belum mampu meningkatkan produksi telur yang
dihasilkan seperti terlihat pada gambar 5. Produksi massa telur yang rendah akan
berkorelasi positif dengan menurunya produksi telur sedangkan produksi massa
telur merupakan hasil kali produksi telur dengan berat telur sehingga akan
berkorelasi positif (Sh et al. 2013). Lebih lanjut Vercese et al. (2012) menjelaskan
bahwa massa telur dipengaruhi oleh berat telur, produksi telur dan heat stress.

Gambar 5. Rataan produksi telur henday dari ayam petelur Lohmann brown selama 6 minggu
penelitian. R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1 = ketumbar 1%;
R2 = ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%.

Konversi ransum
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa penambahan ketumbar 2−3% dalam
ransum nyata (P<0.05) menurunkan konversi ransum jika dibandingkan dengan
ransum kontrol (R0). Hal ini menunjukkan bahwa ayam lebih efisien dalam
pemanfaatan ransum sehingga mampu memproduksi telur lebih tinggi jika
dibandingkan dengan ransum kontrol (R0). Konversi ransum perlakuan dengan
penambahan 2-3% ketumbar lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan
lainnya. Hal ini disebabkan ransum yang dikonsumsi lebih rendah diikuti bobot
telur yang dihasilkan lebih tinggi. Nilai konversi ransum erat kaitannya dengan
15

konsumsi ransum dan kemampuan ternak dalam merubah ransum menjadi daging
dan telur. Semakin rendah angka konversi ransum semakin efisien penggunaan
ransum tersebut, karena semakin sedikit jumlah ransum yang digunakan seperti
yang terlihat pada gambar 6. Menurut Leeson dan Summers (2005), faktor yang
mempengaruhi konversi ransum adalah produksi telur, kandungan nutrisi ransum,
berat telur dan temperatur (suhu). Penelitian Cayan dan Erener (2015) melaporkan
bahwa konversi ransum ayam Lohmann brown umur 22 minggu yang diberi
tepung daun zaitun adalah 2.05−2.07. Sedangkan penelitian Bidura et al. (2014)
menyatakan bahwa konversi ransum ayam Lohmann brown umur 42−50 minggu
adalah 3.01. Menurut Ahammed et al. (2014) menyatakan bahwa konversi ransum
Lohmann Brown umur 41−60 minggu adalah 2.21.

Gambar 6. Rataan konversi ransum dari ayam petelur Lohmann Brown selama 6 minggu
penelitian. R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1 = ketumbar 1%;
R2 = ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%.

Mortalitas merupakan salah satu peubah penting dalam pengujian bahan


pakan baru pada ternak. Selama penelitian tidak ditemukan ternak yang mati
karena perlakuan. Tidak adanya mortalitas diduga karena pemberian biji ketumbar
dalam ransum tidak memberikan dampak negatif bagi produksi maupun kesehatan
ternak. Pemberian biji ketumbar pada ayam broiler sebanyak 2% dalam ransum
meningkatkan performa dan status kesehatan ternak (Abu-elkhair et al. 2014).

Pengaruh Perlakuan Terhadap Kualitas Telur


Berdasarkan Tabel 5. Suplementasi tepung biji ketumbar tidak signifikan
terhadap haugh unit, berat putih, berat kuning, berat kerabang, tebal kerabang,
skor kerabang, malondialdehide, lemak dan kolesterol kuning telur. Tetapi
signifikan (P<0.05) meningkatkan skor warna kuning telur.

Haugh unit
Haugh unit merupakan suatu nilai yang menentukan keadaan kualitas
kesegaran telur. Nilai haugh unit yang tinggi menunjukkan kualitas telur tersebut
juga tinggi (Hardianto et al. 2012). Rataan haugh unit dari penelitian adalah
97.25. nilai haugh unit tersebut dikategorikan sebagai telur yang berkualitas AA.
16

Menurut Standar United States Department of Agriculture (USDA 2011), nilai


haugh unit lebih dari 72 dikategorikan sebagai telur berkualitas AA, nilai haugh
unit 60−72 sebagai telur berkualitas A, nilai haugh unit 31−60 sebagai telur
berkualitas B, dan nilai haugh unit kurang dari 31 dikategorikan sebagai telur
yang berkualitas C. Faktor yang memepengaruhi haugh unit adalah umur
penyimpanan, strain unggas, umur, molting, nutrisi pakan dan penyakit (Robert
2004). Pengukuran haugh unit pada penelitian ini dilakukan pada masa
penyimpanan dan suhu yang relatif sama yakni 24 jam pada suhu 27−30ºC,
sehingga hasilnya sama. Penelitian Mahmoud et al. (2010) melaporkan bahwa
nilai haugh unit ayam petelur yang diberi bawang putih adalah 75.41. Sementara
Ahammed et al. (2014) nilai haugh unit ayam petelur umul 41−60 minggu adalah
94.80. Penelitian Park et al. (2015) menyatakan nilai haugh unit ayam petelur
umur 43 minggu adalah 91.40. Olobatoke dan Mulugeta (2011) nilai haugh unit
ayam petelur umur 30 minggu adalah 95.5.

Tabel 5. Rataan kualitas fisik telur dan kimia kuning telur ayam petelur Lohmann
brown
Parameter Perlakuan
R0 R1 R2 R3
Berat telur (g) 59.06±1.20 59.04±1.41 58.63±1.79 59.22±1.16
Haugh unit 97.75±0.52 96.74±1.07 97.40±0.42 97.10±0.52
Berat putih telur (g) 37.82±1.97 37.38±1.22 36.83±1.61 37.39±0.88
(%) 63.98±2.11 63.27±0.81 62.75±0.83 63.07±0.43
Berat kuning telur (g) 13.95±0.81 14.65±0.21 14.51±0.03 14.47±0.23
(%) 23.63±1.85 24.85±0.60 24.80±0.70 24.47±0.21
Skor kuning telur 9.00±0.50b 10.00±0.00a 10.00±0.00a 10.00±0.00a
Berat kerabang (g) 7.30±0.28 7.13±0.05 7.29±0.19 7.36±0.21
(%) 12.39±0.49 11.89±0.41 12.44±0.22 12.47±0.31
Tebal kerabang (mm) 0.35±0.01 0.35±0.00 0.35±0.01 0.35±0.00
Skor kerabang telur 9±0.00 9±0.58 9±0.50 9±0.50
Malondialdehide (µg g-1) 7.02±1.71 6.60±1.64 5.28±2.48 6.13±1.13
lemak (%) 23.80±1.47 22.31±1.34 22.25±0.67 22.37±0.31
Kolesterol (mg g-1) 5.47±0.38 5.61±0.29 5.46±0.52 5.65±0.16
Keterangan: R0= Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1= ketumbar 1%; R2= ketumbar
2%; R3= ketumbar 3%. Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda
nyata (P<0.05).

Putih telur
Berdasarkan Tabel 5. Rataan berat putih telur yang dihasilkan tidak berbeda
nyata antar perlakuan. Rataan berat putih telur pada penelitian ini adalah 37.50 g
(63.27%). Berat putih telur umumnya dipengaruhi oleh berat telur (Rajkumar et
al. 2009). Rata-rata berat putih telur dalam penelitian ini lebih rendah dari yang
dilaporkan oleh Cayan dan Erener (2015) yaitu 38.70−40.30 g (63.10−64.60%).

Kuning telur
Perlakuan tidak mempengaruhi berat kuning telur. Rataan berat kuning telur
penelitian adalah 14.4 g (24.44%). Penelitian Cayan dan Erener (2015)
menyatakan berat kuning telur yang ditambahkan tepung zaitun sampai 3% dalam
17

ransum adalah 14.60−15.20 g (24.30−25.00%). Penelitian Rajkumar et al. (2009)


bahwa ukuran telur lebih terkait dengan ukuran kuning telur dibandingkan dengan
albumen, meskipun fakta bahwa albumen masih penting untuk menentukan
ukuran telur. Menurut Subekti et al. (2006), penurunan kolesterol kuning telur
dapat menurunkan berat kuning telur. Menurut Juliambarwati (2012) faktor yang
mempengaruhi berat kuning telur adalah kandungan lemak dan protein dalam
telur yang sebagian besar terdapat dalam kuning telur.

Warna kuning telur


Perlakuan suplementasi ketumbar 1−3% dalam ransum nyata (P<0.05)
meningkatkan skor warna kuning telur lebih tinggi dibandingkan dengan ransum
tanpa suplementasi ketumbar (R0). Tingginya skor warna kuning telur pada
perlakuan ketumbar disebabkan kandungan β karoten pada ketumbar. Jagung
kuning yang banyak digunakan dalam pakan unggas mengandung 51 µg 100 g1
beta karoten dan 780 µg 100 g1 lutein (Yilmaz, 2010). Penggunaan ketumbar
dalam ransum sampai level 3% dapat meningkatkan skor warna kuning telur yaitu
skor 10. Sedangkan tanpa ketumbar 0% yaitu skor 9. Kandungan β-karoten pada
biji ketumbar adalah 0.22 mg 100g-1 (Aruna dan Baskaran 2010). Penelitian
(Cayan dan Erener 2015; Christaki et al. 2011a, dan Zangeneh dan Torki, 2011)
menyatakan bahwa tepung daun zaitun 2−3% dalam pakan meningkatkan warna
kuning telur. Menurut Loetscher et al. (2013), warna merupakan sifat kualitas
penting dari makanan karena mempengaruhi persepsi konsumen terhadap kualitas
dan intensitas aroma dan rasa. Hu et al. (2011) melaporkan bahwa suplementasi
brokoli batang dan daun untuk ayam petelur dapat meningkatkan pigmentasi
kuning telur 9.25−11.28. Li et al. (2012) melaporkan skor warna kuning telur
ayam petelur yang diberi tepung cabai merah adalah 8.0−9.7. Beta-karotine
merupakan zat yang dapat mempengaruhi pigmen warna kuning telur dan
mempunyai fungsi yang sama dengan xantopil (Hermana et al. 2014). Lebih
lanjut Hammershoj et al. (2010) menyatakan bahwa warna kuning telur
dipengaruhi oleh konsumsi zeaxanthin, lutein, alpa-carotine, beta-karotine dan
karatinoid. Warna pigmen dalam bahan pakan adalah xanhtophyl, zeaxanthin,
canthaxanthin, astaxanthin, cryptoxanthin, dan β-karoten (Leeson & Summers,
2005).

Kerabang telur
Kerabang telur tersusun oleh lapisan kutikula, lapisan calcite (kalsium
karbonat) dan dua lapisan membran (Li-chan dan Kim 2008). Rataan kerabang
berat telur penelitian ini adalah 7.27g (12.30%). Menurut Cayan dan Erener
(2015), berat kerabang telur adalah 6.63 g (11.00%). Hu et al. (2011) bahwa berat
cangkang telur adalah 14.60 g (24.30%). Menurut Kebreab et al. (2009),
kandungan Ca dalam pakan dapat mempengaruhi berat kerabang telur dan
ketebalan kerabang. Kualitas kerabang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor
termasuk gizi mineral. Kalsium, fosfor dan magnesium adalah anorganik utama
untuk kerabang telur (King'ori 2011).

Tebal kerabang
Rataan tebal kerabang yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara
0.35 mm. Menurut Leeson dan Summers (2005), bahwa zat nutrisi utama yang
18

mempengaruhi tebal kerabang telur adalah kalsium, fosfor dan vitamin D3. Pada
penelitian ini berat kerabang menunjukkan hasil yang tidak berbeda sehingga
menghasilkan tebal kerabang yang tidak berbeda pula. Menurut Anggorodi (1994)
kualitas kerabang telur ditentukan oleh ketebalan dan struktur kerabang.
Kandungan Ca dan P dalam ransum berperan terhadap kualitas kerabang telur
karena dalam pembentukan kerabang telur diperlukan adanya ion-ion karbonat
dan ion-ion Ca yang cukup untuk membentuk CaCO3 kerabang telur. Menurut
Clunies et al. (1992), semakin tinggi konsumsi kalsium maka kualitas kerabang
telur semakin baik.

Skor warna kerabang


Rataan tebal kerabang yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah 9. Warna
kerabang telur terjadi karena proses pigmentasi di uterus dengan adanya dua
pigmen yaitu biliverdin dan protoporphirin. Biliverdin merupakan suatu pigmen
biru yang dapat menyebabkan warna hijau kebiruan pada kerabang telur seperti
pada itik, sedangkan protoporphirin merupakan pigmen warna coklat kemerahan
pada kerabang telur. Pada ayam yang menghasilkan telur kerabang coklat hanya
memproduksi senyawa protoporphirin (Clunies et al. 1992)

Lemak kuning telur


Kandungan lemak kasar kuning telur pada suplementasi biji ketumbar
sampai level 3% dalam ransum pada penelitian ini menunjukan pengaruh yang
tidak nyata. Rataan lemak kasar penelitian ini berkisar 22.68% (Tabel 5). Hasil
penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan standar menurut Song et al.
(2000) yaitu 31.48−32.33%. Menurut Nys dan Guyot (2011) faktor yang
mempengaruhi kualitas kimia telur yaitu jenis pakan, jenis ternak, genetik dan
hormon.

Kolesterol dan Malondialdehyde kuning telur


Suplementasi biji ketumbar dalam ransum tidak signifikan terhadap
kandungan malondialdehyde dan kolesterol kuning telur. Malondialdehyde
merupakan salah satu indikator untuk melihat aktifitas antioksidan. Meningkatnya
radikal bebas akan meransang proses peroksidasi lipid dan mengakibatkan stress
oksidatif yang dapat diukur dengan menganalisa kandungan malondialdehyde
(Valko et al. 2006). Rata-rata kolesterol kuning telur pada penelitian ini adalah
5.55 mg g-1. Rata-rata kolesterol kuning telur dalam penelitian ini lebih rendah
dari yang dilaporkan oleh Cayan dan Erener (2015) bahwa kolesterol kuning telur
adalah 8.34−9.24 mg g-1 dan Hu et al. (2011) bahwa kolesterol kuning telur adalah
12.05−14.54 mg g-1. Penelitian Uuganbayar et al. (2005) bahwa kolesterol kuning
telur umur 40 minggu adalah 10.25−12.86 mg g-1. Kadar kolesterol kuning telur
sangat tergantung dari kosentrasi VLDL dalam plasma darah. Pakan yang kaya
akan ester kolesterol mampu meningkatkan kolesterol kuning telur, sebaliknya
pengurangan ester kolesterol dalam pakan hanya menurunkan sedikit kolesterol
telur. Terbentuknya kolesterol tidak dapat dilepas dari pembentukan kuning telur.
Kholik dan khenodeoksikholik yang berkonjugasi dengan glisin dan taurin dalam
absorpsi kolesterol dan lemak dalam usus halus. Setelah disintesis kolesterol
dilepaskan dalam sirkulasi darah untuk dikirim kedalam kuning telur dengan
19

kombinasi lipoprotein. Reaksi awal adalah mengaktifkan lemak CoASH


membentuk Acyl-CoA untuk membentuk ester (Yuanta, 2010).

Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Nutrien


Rataan konsumsi ransum ayam petelur selama penelitian dapat dilihat
pada Tabel 6. Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan R0 (tanpa suplementasi
biji ketumbar) memiliki konsumsi ransum yang nyata lebih tinggi jika
dibandingkan dengan perlakuan R2 dan R3 sedangkan pada R1 tidak berbeda
nyata. Rataan jumlah konsumsi ransum dalam penelitian ini adalah 101.17−104.44
g ekor1 hari1.

Tabel 6. Rataan konsumsi nutrien ayam petelur Lohmann brown


Parameter Perlakuan
R0 R1 R2 R3
Konsumsi energi (kkal
ekor-1 hari-1) 300.32±3.06a 295.18±2.63ab 294.24±4.12b 290.89±4.42b
Konsumsi protein (g
ekor-1 hari-1) 21.01±0.21a 20.64±0.18 ab 20.58±0.29b 20.35±0.31b
Konsumsi lemak (g ekor-
1
hari-1) 5.89±0.06 a 5.79±0.05ab 5.77±0.08b 5.71±0.09b
Konsumsi serat (g ekor-1
hari-1) 3.20±0.03a 3.14±0.03ab 3.13±0.04b 3.10±0.05b
Keterangan: R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1 = ketumbar 1%; R2 =
ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%. Huruf berbeda pada baris yang sama
menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).

Jumlah konsumsi ransum pada penelitian ini tidak berbeda jauh dengan
penelitian Djayati (2014) konsumsi ransum ayam petelur umur 46−51 minggu
adalah 99.90−101.59 g ekor1 hari1. Konsumsi ransum berkaitan dengan penilaian
sensori ternak pada ransum. Bentuk, warna, rasa, bau merupakan beberapa faktor
yang mempengaruhi tingkat palatabilitas ransum (McDonald et al. 2010).
Konsumsi nutrien (Tabel 6) menunjukkan bahwa pemberian biji ketumbar dalam
ransum nyata menurunkan konsumsi energi, protein, lemak dan serat kasar
(P<0.05). Penurunan konsumsi ransum pada perlakuan yang ditambahkan biji
ketumbar 2% dan 3% adalah karena ayam sudah tercukupi kebutuhan energinya.
Akbarillah et al. (2011) melaporkan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh
umur dan kondisi fisiologis ternak seperti pertumbuhan, reproduksi dan produksi.
Faktor yang berpengaruh dominan adalah kandungan energi pakan dan suhu
lingkungan. Faktor yang berpengaruh minor adalah strain unggas, berat tubuh,
bobot telur harian, pertumbuhan bulu, derajat stress dan aktivitas (North dan Bell
1990).

Pengaruh Perlakuan Terhadap hematologi darah


Berdasarkan Tabel 7. Suplementasi tepung biji ketumbar tidak signifikan
terhadap butir darah merah, hematokrit, hemoglobin, monosit, dan eosinofil.
Tetapi signifikan (P<0.05) terhadap butir darah putih, heterofil, limfosit dan rasio
hetrofil/limfosit.
Darah terdiri dari komponen sel-sel yang terendam dalam cairan yang
disebut plasma (Frandson, 1992). Komponen sel darah ini memiliki fungsinya
20

masing-masing yang bersirkulasi dalam pembuluh darah. Ternak yang sehat akan
memiliki hematologi yang normal. Peubah sel darah merupakan salah satu metode
yang berguna untuk mendiagnosis penyakit, memberi gambaran keadaan
patologis, dan fisiologis (Guyton dan Hall, 2010). Hematologi ternak akan
mengalami perubahan seiring dengan perubahan fisiologisnya secara internal dan
eksternal. Perubahan secara internal dapat disebabkan oleh pertambahan umur,
status gizi, kesehatan, panas tubuh, serta stres. Perubahan secara eksternal dapat
disebabkan penyakit mikroorganisme dan perubahan suhu lingkungan (Guyton
dan Hall, 2010).

Tabel 7. Rataan profil darah ayam petelur Lohmann brown umur 48 minggu
Perlakuan
Parameter
R0 R1 R2 R3 Standar*
BDM (juta
mm3 -1) 2.446±0.32 2.535±0.34 2.484±0.23 2.261±0.29 1.3-4.5
PCV (%) 22.18±2.88 22.60±1.88 22.21±1.44 25.60±2.05 22-55
Hb (g %) 14.68±0.95 16.90±2.56 13.98±2.94 14.69±0.28 7-18
BDP (ribu
mm3 -1) 8.40±2.50b 14.15±9.36ab 17.70±7.15ab 18.85±2.83a 0.9-3.2
Heterofil
(%) 42.75±11.95a 25.25±3.50b 33.25±6.65ab 33.50±5.07ab 15-50
Limfosit
(%) 52.00±11.46b 65.25±5.32a 59.75±5.91ab 58.00±4.16ab 29-84
Rasio H/L
(%) 0.89±0.45a 0.40±0.08b 0.57±0.16ab 0.59±0.13ab 0.45-0.5
Monosit
(%) 4.25±0.96 6.75±2.99 5.00±0.82 6.00±1.83 0-7
Eosinofil
(%) 1.00±1.41 0.96±0.96 2.00±0.82 2.50±1.00 0-16
Keterangan: R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1 = ketumbar 1%; R2 =
ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%. Huruf berbeda pada baris yang sama
menunjukkan berbeda nyata (P<0.05). BDM = Butir darah merah; PVC = Packet
cell volume; Hb = Hemoglobin; BDP = Butir darah putih. *Campbell et al. (2012)

Butir darah merah


Berdasarkan hasil analisis ragam (Tabel 7), bahwa suplementasi biji ketumbar
dalam ransum berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah eritrosit ayam petelur.
Penelitian (Chen et al. 2008) menyatakan bahwa eritrosit ayam petelur umur 48
minggu yang diberi δ-aminolevulinic acid (ALA) dalam ransum adalah 2.14−2.30
(106/mm3). Eritrosit merupakan sel darah yang mempunyai nukleus dan berperan
dalam membawa hemoglobin dengan mengikat oksigen ke seluruh tubuh. Rataan
jumlah eritrosit ayam petelur pada penelitian ini berada pada kisaran normal. Proses
metabolisme dalam tubuh berlangsung normal dan nutrisi yang dibutuhkan dalam
pembentukan sel darah merah, terutama protein dan vitamin sudah mencukupi
kebutuhan ayam, sehingga kesehatan tubuh ayam optimal. Darah selalu
mempertahankan kondisi yang stabil agar proses fisiologi dalam tubuh berfungsi
normal. Fungsi utama darah adalah untuk mempertahankan homeostatis tubuh,
protein sangat dibutuhkan dalam pembentukan eritrosit normal (Dellmann dan Brown
1992).
21

Hematokrit
Berdasarkan hasil analisis ragam (Tabel 7), bahwa suplementasi biji ketumbar
dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap hematokrit ayam petelur. Proporsi
komponen darah dalam volume darah yang terdiri dari sel darah merah,
dinamakan hematokrit atau packed cell volume (PCV). Hematokrit dinyatakan
dalam persentase(%). Hematokrit dapat digunakan untuk mendiagnosa kondisi
normal, anemia, maupun polisetamia. Nilai hematokrit menggambarkan jumlah sel
eritrosit terhadap total dalam darah, sehingga menjadi salah satu indikator penentuan
kemampuan darah dalam mengangkut oksigen (O2) yang biasa dikenal dengan istilah
Oxygen Carrying Capacity. Pada saat bertelur, nilai hematokrit cenderung mengalami
penurunan yang merupakan dampak tubuh ayam dalam mempertahankan
homeostatis. Nilai hematokrit yang rendah pada saat bertelur diakibatkan oleh
peningkatan volume plasma darah yang disebut proses Haemodilusi. Namun,
konsentrasi plasma kembali normal ketika folikel terakhir telah mengalami ovulasi
(Challenger et al. 2001; Vézina et al. 2003). Volume plasma yang meningkat
berakibat menurunnya kapasitas pengangkutan oksigen (O2) dalam darah meskipun
pada dasarnya jumlah eritrosit tidak berkurang (Wagner et al. 2008).

Hemoglobin
Hasil penelitian menunjukkan penggunaan biji ketumbar dalam ransum
sampai taraf 3% tidak memberikan pengaruh nyata terhadap hemoglobin ayam
petelur. Hemoglobin ayam petelur umur 48 minggu yang diberi δ-aminolevulinic
acid (ALA) dalam ransum adalah 9.7−11.2 (Chen et al. 2008). Hemoglobin
merupakan petunjuk kecukupan oksigen. Hemoglobin berfungsi sebagai distributor
oksigen (O2) bagi jaringan, dan membawa karbon dioksida (CO2) dari jaringan ke
paru-paru (Guyton dan Hall 2008). Terpenuhinya kebutuhan protein dalam ransum
memperlancar pembentukan hemoglobin darah, karena protein pakan tersedia untuk
bersenyawa dengan zat besi untuk membentuk hemoglobin. Hemoglobin merupakan
suatu senyawa organik yang komplek terdiri dari empat pigmen porfirin merah
(heme), masing-masing mengandung atom besi ditambah globin, yang merupakan
protein globular Frandson (1992). Asam pantothenat berperan dalam mensintesis
porphyrin untuk pembentukan hemoglobin (Piliang dan Djojosoebagio 2006).
Pembentukan hemoglobin dimulai dari succinyl-co A yang dibentuk dalam siklus
kreb yang berikatan dengan asam amino glisin untuk membentuk molekul pirol.
Empat pirol bergabung membentuk protoporfirin IX dan bergabung dengan besi
membentuk molekul heme. Heme bergabung dengan protein globin membentuk
rantai hemoglobin (Guyton dan Hall 1997).

Butir darah putih


Berdasarkan analisis ragam bahwa suplementasi biji ketumbar dalam
ransum berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan jumlah leukosit. Rataan
jumlah leukosit ayam petelur pada penelitian ini berkisar antara 8.40–18.85 x
103/mm3. Jumlah leukosit yang tinggi menunjukkan bahwa kandungan zat aktif
minyak atsiri yang terkandung dalam biji ketumbar menyediakan pertahanan
untuk kekebalan tubuh ayam petelur selama masa pemeliharaan. Penelitian (Chen
et al. 2008) bahwa leukosit ayam petelur umur 48 minggu yang diberi δ-
aminolevulinic acid (ALA) dalam ransum adalah 4.22−4.52 (x105/mm3). Leukosit
merupakan sel darah yang memiliki inti sel dan memiliki kemampuan gerak yang
independen (Frandson 1992). Leukosit berperan dalam merespon kekebalan
22

tubuh. Leukosit merupakan unit yang aktif untuk menyediakan pertahanan yang
cepat dan kuat terhadap setiap bahan penyebab infeksi (Guyton dan Hall 1997).

Diferensiasi butir darah putih


Differensiasi leukosit diklasifikasikan sedikitnya 100 leukosit berdasarkan
jenis sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih normal dikelompokan menjadi
granulosit dan agranulosit. Granulosit terdiri dari heterofil, eosinofil, dan basofil
sedangkan agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit (Swenson 1984).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi biji ketumbar
berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap jumlah heterofil pada darah ayam petelur.
Rataan heterofil darah ayam pada penelitian ini berkisar antara 25.25% sampai
dengan 42.75%. Nilai heterofil pada penelitian ini berada pada kisaran normal.
Mangkoewidjojo dan Smith (1988) menyatakan bahwa persentase heterofil ayam
normal berkisar antara 9 - 56%. Heterofil merupakan leukosit granulosit yang
berperan dalam respon terhadap infeksi. Leukosit heterofil dikenal sebagai
pertahanan pertama tubuh (first line defense). Menurut Tizard (2000), fungsi
utama heterofil adalah menghancurkan bahan asing melalui proses fagositosis.
Heterofil melawan infeksi dengan menuju daerah-daerah yang sedang mengalami
infeksi dengan menembus dinding endotel dan menghancurkan agen. Jumlah
heterofil yang meningkat menunjukan kejadian infeksi akut. Heterofil memiliki
masa hidup yang singkat, dimana setelah melakukan tugasnya kemudian mati dan
melepas faktor kemotaktik untuk menarik heterofil lainnya. Masa hidup normal
dalam sirkulasi darah mencapai 4−8 jam, kemudian 4−5 jam berikutnya berada
pada jaringan.
Hasil analisis ragam bahwa suplementasi biji ketumbar dalam ransum
berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap persentase limfosit darah ayam petelur.
Kisaran limfosit pada penelitian ini 52.00% sampai 65.25%. Keadaan ini
menandakan ayam memiliki tanggap kebal seluler dan humoral yang normal.
Penelitian (Chen et al. 2008) menyatakan bahwa limfosit ayam petelur umur 48
minggu yang diberi δ-aminolevulinic acid (ALA) dalam ransum adalah
67.0−81.7. Mangkoewidjojo dan Smith (1988) menyatakan limfosit merupakan
sel yang tidak bergranul, dengan persentase di dalam darah unggas berkisar antara
24 - 84%. Limfosit sangat berperan dalam sistem kekebalan tubuh (Melvin et al.
1993). Fungsi utama limfosit adalah memproduksi antibodi sebagai sel efektor
khusus dalam menanggapi antigen yang terikat pada makrofag (Tizard 2000).
Limfosit dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu limfosit T yang berasal dari timus
dan limfosit B yang berasal dari bursa fabrisius. Sebanyak 70−75% limfosit T
menghasilkan tanggap kebal yang berperantara sel yaitu tanggap kebal seluler.
Limfosit juga menghasilkan limfokin yang mencegah perpindahan makrofag dan
merupakan media kekebalan. Limfosit B berperan dalam reaksi kekebalan
humoral dan tumbuh menjadi sel plasma pembentuk antibodi (Tizard 2000).
Limfosit ada dalam jumlah banyak di usus, uterus, dan membran mukosa respirasi
dengan cara migrasi. Limfosit ini motil dan menunjukkan aktivitas amuboid tapi
tidak fagositik (Melvin et al. 1993).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi biji ketumbar
dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah monosit pada darah ayam
petelur. Rataan jumlah monosit darah ayam pada penelitian ini berkisar 2.92–3.92
%. Hal ini menandakan bahwa tidak terjadi infeksi pada ternak ayam, walaupun
23

ransumnya mengandung biji ketumbar sampai level 3% dalam ransum. Keadaan


ini menandakan status ayam dalam keadaan sehat. Monosit memiliki kemampuan
fagositik, yaitu memakan benda asing seperti bakteri, yang sama fungsinya
dengan heterofil. Apabila heterofil berperan dalam mengatasi infeksi akut, maka
monosit bekerja dalam keadaan infeksi yang tidak terlalu akut. Monosit dibentuk
di dalam sumsum tulang yang nantinya akan disebarkan dan beredar di dalam
darah hingga 72 jam.
Rasio heterofil limfosit adalah merupakan indikator stress yang utama
pada unggas, makin tinggi angka rasio tersebut maka makin tinggi pula tingkat
stresnya. Stress pada ternak selama penelitian disebabkan karena suhu lingkungan
yang tinggi, terutama pada siang hari. Peningkatan nilai rasio heterofil limfosit
pada ayam yang mengalami cekaman panas ini terkait dengan meningkatnya
pembentukan hormon glukokortikoid. Stimulus cekaman panas akan
meningkatkan sekresi glukokortikoid dalam darah. Peningkatan ini merupakan
mekanisme endokrin pada hewan dalam mempertahankan kondisi normal ketika
berada dalam cekaman (Mostl dan Palme 2002). Ketika kondisi stres panas (heat
stress) terjadi penurunan jumlah limfosit, hal ini terlihat dari meningkatnya rasio
heterofil limfosit (Zulkifli et al. 2000; Altan et al. 2000).

Pengaruh Perlakuan Terhadap Saluran Pencernaan


Berdasarkan Tabel 8. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
suplementasi tepung biji ketumbar dalam ransum tidak berpengaruh nyata
terhadap terhadap rataan panjang, berat pencernaan dan saluran reproduksi ayam
petelur selama penelitian. Artinya peubah organ pencernaan ini dengan
penambahan sampai level 3% biji ketumbar dalam ransum masih dapat bekerja
sesuai fungsinya masing-masing dengan baik.

Usus Halus
Ketumbar yang diberikan sebagai bahan pakan memiliki khasiat dalam
stimulasi pencernaan. Efek stimulasi ini berpengaruh terhadap kinerja enzim pada
proses pencernaan. Proses metabolisme secara enzimatis di dalamnya mampu
memecah partikel nutrien kompleks seperti karbohidrat, protein, dan lemak
menjadi lebih sederhana. Beberapa enzim yang terdapat pada usus halus terdiri
dari enzim protease (peptidase), maltase, laktase dan sukrease (Pilliang dan
Djojosoebagio 2000). Luas permukaan usus dapat meningkat seiring dengan
bertambahnya jumlah vili usus yang berfungsi untuk penyerapan zat-zat makanan
(Frandson 1992).

Sekum
Sekum adalah bagian atas usus besar yang merupakan suatu kantung buntu
(Frandson, 1992). Suprijatna et al. (2005) menyatakan bahwa pada usus buntu
tidak ada bukti mengenai peran serta dalam pencernaan, hanya sedikit air diserap,
sedikit karbohidrat dan protein dicerna berkat bantuan beberapa bakteri.
Kolon
Panjang usus antara ileocecal dan kloaka disebut dengan rektum, dan
dikenal dengan kolon. Rektum atau kolon memiliki ukuran dan diameter yang
lebih kecil dibandingkan dengan duodenum dan hanya 4% dari total panjang usus
halus (Klasing 1999). Usus besar terdiri atas sekum yang merupakan suatu
kantung buntu dan kolon yang terdiri atas bagian-bagian yang naik, mendatar dan
24

turun (Frandson, 1992). Panjang usus besar pada ayam dewasa berkisar 8−10 cm
(Suprijatna et al. 2005).

Tabel 8. Rataan Panjang, Berat Pencernaan dan Saluran Reproduksi Ayam Petelur
Lohmann brown
Perlakuan
Peubah
R0 R1 R2 R3
Bobot Hidup Akhir
(g ekor-1) 1582.50±91.42 1650.00±82.87 1540.00±77.03 1590.00±42.43
Duodenum
Panjang Relatif (cm
100g-1 BB) 1.99±0.14 1.85±0.22 1.94±0.06 1.86±0.04
Berat (%) 0.40±0.02 0.42±0.04 0.43±0.04 0.39±0.02
Jejenum
Panjang Relatif (cm
100g-1 BB) 4.70±0.46 4.32±0.59 4.60±0.27 4.20±0.17
Berat (%) 0.84±0.12 0.80±0.14 0.80±0.03 0.80±0.07
Ileum
Panjang Relatif (cm
100g-1 BB) 4.23±0.49 3.93±0.19 4.26±0.28 4.08±0.05
Berat (%) 0.78±0.11 0.65±0.03 0.67±0.06 0.74±0.11
Sekum
Panjang Relatif (cm
100g-1 BB) 1.23±0.14 1.08±0.20 1.19±0.11 1.06±0.06
Berat (%) 0.42±0.02 0.41±0.06 0.44±0.07 0.42±0.06
Kolon
Panjang Relatif (cm
100g-1 BB) 0.75±0.08 0.70±0.14 0.70±0.08 0.67±0.05
Berat (%) 0.25±0.09 0.33±0.10 0.27±0.02 0.25±0.01
Saluran reproduksi
Panjang relatif (cm
100g-1 BB) 4.22±0.14 4.19±0.12 4.38±0.22 4.19±0.19
Berat (%)
4.61±1.18 4.24±0.08 4.85±0.77 5.09±0.42
Keterangan: R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum Kontrol); R1 = ketumbar 1%; R2 =
ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%.

Saluran Reproduksi
Letak ovarium dan oviduk ada di dalam rongga abdomen di bagian kiri
berdekatan dengan ventral aorta dan ginjal bagian depan yang bertautan dengan
dinding perut oleh ligamentum mesoovarium. Proses pembentukan telur
memerlukan waktu 23-26 jam dari tahap pembentukan kuning telur (yolk)
sehingga telur yang siap untuk dikeluarkan. Pembentukan telur akan terganggu
jika ada gangguan paga ayam betina seperti stres, infeksi penyakit, atau pakan
yang tidak cukup baik kualitas maupun kuantitasnya. Ovarium ini merupakan
tempat sintesis hormon steroid seksual, gametogenesis dan perkembangan dan
pemasakan kuning telur (folikel). Pada unggas hanya oviduk kiri yang
berkembang dan berfungsi, sedangkan pada bagian kanan mengalami ridimenter.
Oviduk adalah tempat menerima kuning telur masak, sekresi putih telur, dan
pembentukan kerabang telur (Yuanta, 2010; Fadilah dan Polana, 2011).
25

Pengaruh Perlakuan Terhadap Organ Dalam Ayam Petelur


Berdasarkan Tabel 8. Suplementasi tepung biji ketumbar tidak signifikan
terhadap rataan bobot dan persentase organ dalam ayam petelur.

Tabel 9. Rataan Bobot dan Persentase Organ Dalam Ayam Petelur Lohmann
brown
Peubah Perlakuan
R0 R1 R2 R3
Bobot Hidup Akhir
(g ekor-1) 1582.50±91.42 1650.00±82.87 1540.00±77.03 1590.00±42.43
Jantung
(g) 6.93±1.00 6.46±0.58 6.66±0.45 6.98±0.74
(%) 0.44±0.04 0.39±0.04 0.43±0.02 0.44±0.05
Hati
(g) 30.75±2.21 30.79±5.35 26.63±1.22 27.31±1.15
(%) 1.95±0.25 1.88±0.38 1.74±0.13 1.73±0.10
Empedu
(g) 1.21±0.30 0.98±0.30 1.04±0.44 0.83±0.13
(%) 0.08±0.02 0.06±0.02 0.07±0.03 0.05±0.01
Gizzard
(g) 20.78±1.58 23.11±2.49 22.34±0.40 21.04±1.06
(%) 1.32±0.09 1.41±0.17 1.46±0.08 1.33±0.08
Ginjal
(g) 8.44±0.25 9.28±1.83 8.24±1.35 10.04±1.36
(%) 0.54±0.04 0.56±0.10 0.54±0.09 0.63±0.08
Limpa
(g) 3.49±1.15 3.06±0.27 3.26±0.13 2.88±0.56
(%) 0.22±0.07 0.19±0.02 0.21±0.02 0.18±0.04
Pankreas
(g) 3.30±0.31 3.06±0.55 3.26±0.32 3.03±0.43
(%) 0.21±0.01 0.19±0.04 0.22±0.03 0.19±0.03
Keterangan: R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum Kontrol); R1 = ketumbar 1%; R2 =
ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%.

Jantung
Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang bentuknya
menyerupai kerucut. Dinding jantung terdiri atas tiga lapis yaitu suatu selimut
serosa luar yang disebut epikardium, suatu lapis endotelial dalam yang disebut
dengan endokardium, dan suatu lapis muskular tebal yang disebut dengan
miokardium (Frandson, 1992). Menurut Akoso (2003) jantung adalah organ otot
yang memegang peranan penting didalam peredaran darah.
Hati
Berat hati ayam petelur umur 32 minggu yang diberi biji africana adalah
1.48-1.86 g 100g-1 berat badan (Apata 2004). Klasing (1999) menyatakan bahwa
hati mempunyai dua lobus primer, hati merupakan tempat utama dalam proses
absorbsi nutrien dan produksi dari asam empedu dan garam empedu. Fungsi hati
26

adalah mensekresikan cairan empedu, menetralkan kondisi asam dari saluran usus
dan mengawali pencernaan lemak dengan membentuk emulsi.

Empedu
Empedu merupakan organ pencernaan tambahan yang volume atau beratnya
dipengaruhi oleh status nutrisi unggas, tipe pakan yang dikonsumsi, alian darah
dan sirkulasi empedu enterohepatic (Suprijatna et al. 2005). Menurut Pilliang dan
Djojosoebagio (2002) komposisi cairan empedu adalah garam-garam empedu,
pigmen empedu, kolesterol, lesitin, lemak dan garam organik. Empedu memiliki
fungsi dalam proses penyerapan lemak pakan dan ekskresi limbah produk, seperti
kolesterol dan hasil sampingan degradasi hemoglobin (Suprijatna et al. 2005).

Gizzard
gizzard merupakan organ pencernaan yang mengandung material bersifat
menggiling seperti grit, karang, dan batu kerikil. Partikel pakan yang masuk
kedalam pencernaan segera digiling menjadi partikel kecil yang mampu melalui
usus halus. Material usus halus akan masuk rempela kemudian akan keluar lagi
dalam beberapa menit, sedangkan material kasar akan tinggal di rempela untuk
beberapa jam (Suprijatna et al. 2005).

Limpa dan Pankreas


Limpa dan pankreas memproduksi insulin dan limfosit (Sukanta 2001).
Menurut Murtidjo (1992) limpa sebagai organ dalam tubuh ayam yang memiliki
fungsi menghancurkan butir-butir darah merah yang pecah dan rusak. Berat
pankreas ayam petelur umur 32 minggu adalah 0.20−0.31 g 100g-1 berat badan
(Apata 2004). Pankreas adalah organ berwarna merah yang berada antara lipatan
duodenum yang berfungsi mensekresikan amilase, lipase, protease, enzim
proteolitik dan sodium bikarbonat untuk membantu pencernaan karbohidrat,
protein dan lemak (Sturkie, 2000; Klasing, 1999). Pankreas adalah suatu glandula
tubolu-alveolar yang memiliki bagian endokrin maupun eksokrin. Bagian
eksokrin dari pankreas menghasilkan natrium bikarbonat (NaHCO3) serta enzim-
enzim pencernaan yang melalui saluran pankreas menuangkan enzim tersebut ke
duodenum dekat dengan muara saluran empedu (Frandson, 1992).

Pengaruh perlakuan terhadap income over feed cost (IOFC)


Nilai income over feed cost dihitung berdasarkan besarnya biaya konsumsi
dan harga jual dari tiap butir telur. Besarnya nilai konversi pakan akan menambah
biaya produksi, dengan demikian akan mempengaruhi nilai income over feed cost.
Besar kecilnya nilai income over feed cost juga dipengaruhi oleh harga telur di
pasaran pada waktu tertentu.
Pada Tabel 10 Harga pakan untuk ransum masing-masing perlakuan adalah
Rp 6456 kg-1, Rp 6756 kg-1, Rp 7056 kg-1, dan Rp 7356 kg-1. Harga jual telur Rp
20000 kg-1 dan Rp 21000 kg-1. Perhitungan biaya tambahan pada ransum
perlakuan yang disuplementasi dengan ketumbar adalah setiap penambahan 1 g
ketumbar dalam 1 kg pakan diperlukan biaya Rp 300.00.
27

Tabel 10. Perhitungan Ekonomi Nilai Income Over Feed Cost Ayam Petelur
Strain Lohmann Brown Selama 6 Minggu

Uraian Keterangan R0 R1 R2 R3
Konsumsi Pakan (kg
Ekor-1 ) a 4.387 4.312 4.298 4.249
Harga Pakan (Rp kg-1) b 6456 6756 7056 7356
Biaya Pakan (Rp Ekor-
1
) (axb)= A 28320.28 29129.72 30268.10 31253.52
Produksi Telur Massa
1.82772 1.82523 1.91737 1.90588
kg Ekor) -1 c
Harga Telur (Rp kg-1) d 20000 21000 21000 21000
Pendapatan (Rp Ekor-1) (cxd) = B 36554.40 38329.83 40264.77 40023.48
IOFC (Rp Ekor-1 6
Minggu-1) B─A 8234.12 9200.11 9940.23 8769.96
Keterangan: R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum Kontrol); R1 = ketumbar 1%; R2 =
ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%.

Secara garis besarnya dapat dilihat pada Tabel 10 bahwa untuk menghasilkan 1 kg
telur, biaya pakan yang diperlukan sebanyak Rp 6456 dengan produksi massa
1.83 kg ekor-1 untuk ransum kontrol (R0). Biaya pakan Rp 6756 dengan produksi
massa 1.83 kg ekor-1 untuk ransum R1, Biaya pakan Rp 7056 dengan produksi
massa 1.92 kg ekor-1 untuk ransum R2 dan Biaya pakan Rp 7356 dengan produksi
massa 1.91 kg ekor-1 untuk ransum R3. Sehingga IOFC yang diperoleh/kg telur
ayam yang disuplementasi ketumbar 0% lebih rendah (Rp 8234.12) jika
dibandingkan dengan IOFC ransum dengan suplementasi ketumbar 1-3%
berturut-turut adalah (Rp 9200.11; 9940.23; 8769.96). Sedangkan pada ransum
yang disuplementasi ketumbar 2% IOFC (Rp 9940.23) lebih tinggi daripada
ransum yang disuplementasi ketumbar sebanyak 3% (Rp 8769.96). Hasil
perhitungan IOFC yang lebih tinggi adalah ransum R2 tetapi tidak berbeda jauh
dengan ransum R1. Sedangkan pemberian suplementasi ketumbar 3% adalah lebih
tinggi jika dibandingkan dengan tanpa suplementasi ketumbar (R0).
Meningkatnya produksi akan berkorelasi positif dengan meningkatnya pendapatan
khususnya pada suplementasi ketumbar 2%. Menurut (Muslim et al. 2012),
menurunnya nilai IOFC dipengaruhi oleh peningkatan konsumsi ransum dan
penurunan produksi telur dan massa telur.
28

4 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat dari penelitian yang dilakukan adalah kandungan


minyak atsiri pada ketumbar berada dalam kisaran normal yaitu 0.63%.
Suplementasi ketumbar 2-3% dalam ransum ayam petelur dapat menurunkan
konsumsi pakan, rasio konversi pakan dan meningkatkan warna kuning telur
tanpa menurunkan kualitas telur. Suplementasi ketumbar sampai 3% dalam
ransum dapat meningkatkan kinerja dan status kesehatan ayam serta berpotensi
sebagai antioksidan.

Saran

Penambahan level ketumbar dalam ransum untuk melihat performa produksi


dan status kesehatan ayam.
29

DAFTAR PUSTAKA

Abou-Elkhair R, Ahmed HA, Selim S. 2014. Effects of black pepper (piper


nigrum), turmeric powder (curcuma longa) and coriander seeds
(coriandrum sativum) and their combinations as feed additives on growth
performance, carcass traits, some blood parameters and humoral immune
response of broiler chickens.Asian-Aust J Anim Sci. 27(6):847854.
Ahammed M, Chae BJ, Lohakare B, Keohavong, Lee MH, Lee SJ, Kim DM,
Lee1 JY, Ohh SJ. 2014. Comparison of Aviary, Barn and Conventional
Cage Raising of Chickens on Laying Performance and Egg
Quality.Asian-Aust J Anim Sci. 27:1196-1203.
Akbarillah TD, Kaharuddin, Kususiyah. 2002. Kajian daun tepung indigofera
sebagai suplemen pakan produksi dan kualitas telur. Laporan Penelitian.
Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Akoso BT. 1993. Manual Kesehatan Unggas. Kanisius, Yogyakarta.
Al-Mashadani FK, Al-Jaff, Hamodi SJ. 2011. Effect different level of coriander
oil on broiler performance and some physiological traits under summer
condition. Pakistan Journal of Nutrition 10(1):10-14.
Al-Jaff FK. 2011. Effect of coriander seeds as diet ingredient on blood parameters
of broiler chicks raised under high ambient temperature. Int J Poult Sci.
10 (2):82-66.
Altan O, Altan A, Cabuk M, Bayraktar H. 2000. Effect of heat stress on some
blood parameters in broiler. Faculty of Agricultur, Ege University,
Turkey.
Anggorodi HR. 1994. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Gramedia, Jakarta.
AOAC. 2005. Official Methods of Analysis. 18th ed. Association of Official
Analythical Chemists. Washington DC.
Apata DF. 2004. Egg production and hematologi profil of laying hens fed dietary
raw or processed prosopis africana seeds. J. Agric (3).99-104.
Aruna G, Baskaran V. 2010. Comparative study on the levels of carotenoids
lutein, zeaxanthin and β-carotene in Indian spices of nutritional and
medicinal importance. J Food Chemis. 123(2):404-409.
Begnami AF, Duarte MCT, Furletti V, RehderVLG. 2009. Antimicrobial potential
of Coriandrum sativum L. against different Candida species in vitro. J
Food Chemis. 118 (2010):74–77.
Bhat S, Kaushal1 P, Kaur M, Sharma HK. 2013. Coriander (Coriandrum sativum
L.): Processing, nutritional and functional aspects. Asian J Plant Sci. 8
(1):25-33.
Bidura I, Puspani E, Warmadewi DA, Susila TGO, Sudiastra IW. 2014. Pengaruh
Penggunaan Pollard Terfermentasi Dengan Ragi Tape Dalam Ransum
Terhadap Produksi Telur Ayam Lohmann Brown. Majalah Ilmiah
Peternakan.17 (1):0853-899.
BPS. 2015. Produksi dan populasi ternak. http://www.bps.go.id/index.php. [29
April 2015].
Burdock GA, Loana G, Carabin. 2008. Safety assessment of Coriander
(Coriandrum sativum L.) essensial oil ingredient. J Food Chemic Toxic
47.22-34.
30

Burke RW, Diamondstone BI, Velapoldi RA, Menis O. 1974. Mechanisms of the
Liebermann- Burchard and Zak Color Reactions for Cholesterol. Clin.
Chem. 20: 794-801.
Campbell TW., Mary AT, Glade W. 2012. 19. Veterinary Hematology and
clinical chemistry. 2nd ed. Fort Collins, Colorado, USA.
Cayan H, Erener G. 2015. Effect of Olive Leaf (Olea europaea) Powder on
Laying Hens Performance, Egg Quality and Egg Yolk Cholesterol
Levels. Asian-Aust J Anim Sci. 28(4):538-543.
Challenger WO, Williams TD, Christians JK, Vezina F. 2001. Follicular
development and plasma yolk precursor dynamics through the laying
cycle in the European starling (Sturnus vulgaris). J Physiol Biochem
Zool. 74:356-365.
Chen J, Balnave D, (2001). The influence of drinking water containing sodium
chloride on performance and eggshell quality of a modern, colored layer
strain. Int J Poult Sci. 80:91-94.
Chen YJ, Cho JH, Yoo JS, Wang Y, Huang Y and Kim IH. 2008. Evaluation of
δ-Aminolevulinic Acid on Serum Iron Status, Blood Characteristics, Egg
Performance and Quality in Laying Hens. Asian-Aust J Anim Sci. Vol.
21, No. 9 : 1355 – 1360.
Clunies M, Parks D, Leeson S. 1992. Calcium and phosphorus metabolism and
eggshell thickness in laying hens producing thick or thin shells. J Poul
sci. 71: 490 – 498.
Christaki E, Eleftherios Bonos, Ilias Giannenas & Panagiota Florou-Paneri. 2012.
Aromatic Plants as a Source of Bioactive Compounds. J Agri 2, 228-
243.
Christaki E, Bonos E, Florou-Paneri P. 2011a. Effect of dietary supplementation
of olive leaves and/or tocopheryl acetate on performance and egg quality
of laying Japanese quail (Coturnix japonica). Asian J Anim Vet Adv.
6:1241-1248.
Dellman HD, EM Brown. 1992. Histologi Veteriner: R Hartono penerjemah.
Universitas Indonesia, Jakarta.
Doyon GM, Bernier C, Hamilton RMG, Eastaigns F, Ramdald CT. 1986. Egg
quality 2: Albumen quality of egg from five commercial strains of White
Leghorn hens during one year of lay. J Poult Sci. 65:63–66.
Fadilah R, Polana A. 2011. Mengatasi 71 Penyakit Pada Ayam. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi Ke-4 Terjemahan: B.
Srigandono dan Koen Praseno. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Guler T, Ertas ON, Ciftci M, Dalkhe B. 2005. The effect of coriander seed
(Coriandrum sativum L.) as diet ingredient on the performance of
Japanese quail. South-African J Anim Sci. 35: 260-266.
Guyton AC. 1983. Fisiologi Kedokteran. Ed. Ke-5. CV. EGC. Penerbit Buku
Kedokteran, Jakarta.
Guyton AC, Hall JE. 1997. Sel Darah Merah, Anemia, dan Polisitimia. Didalam
Fisiologi Kedokteran. Penerjemah; Irawati, Tengadi LMA, Santoso A.
Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.
31

Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. Ke-11.
Penerjemah; Irawati et al, 2006. Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Jakarta.
Hammershoj M, Kidmose U, Steenfeldt S. 2010. Deposition of carotenoids in egg
yolk by short-term supplement of coloured carrot (Daucus carota)
varieties as forage material for egg-laying hens. J Sci Food Agric
90(7):1163-1171.
Hardianto, Suarjana IGK, Rudyanto MD. 2012. Pengaruh suhu dan lama
penyimpanan terhadap kualitas telur ayam kampung ditinjau dari angka
lempeng total bakteri. Indon medic veter 1(1): 71-84 ISSN: 2301-7848.
Hermana W, Toharmat T, Sumiati, Manalu W. 2014. Performances and egg
quality of quail offered feed containing sterol from katuk (Sauropus
androgynus) and mulberry (morus alba) leaf meal. IJPS 3:168-172.
Hernandez F, Madrid J, Garcia V, Orengo Jand, Megias MD. 2004. Influence of
two plant extract on broiler performance, digestibility and digestive
organ size. Int J Poult Sci. 83:169-174.
Hosseinzadeh H. Ali AAQ, Alireza S, David N, David B. 2014. Effects of
Different Levels of Coriander (Coriandrum sativum) Seed Powder and
Extract on Serum Biochemical Parameters, Microbiota, andImmunity in
Broiler Chicks. J Scientific world. 11:628979.
Hu CH, Zuo AY, Wang DG, Pan HY, Zheng WB, Qian ZC, Zou XT. 2011.
Effects of broccoli stems and leaves meal on production performance and
egg quality of laying hens. J Anim Feed Sci Tech. 170 (2011) 117–121.
Isao K, Ken-Ichi F, Aya K, Ken-Ichi N, Tetsuya A. 2004. Antimicrobial activity
of coriander volatile compound against Salmonella choleraesuits. J Agric
Food Chem. 52: 3329-3332.
Kebreab E, France J, Kwakkel RP, Leeson S, Kuhi HD, Dijkstra J. 2009.
Development and evaluation of a dynamic model of calcium and
phosphorus flows in layer. Int J Poult Sci. 88:60–68.
Khani, Tahere R. 2012. Chemical Composition and Insecticidal Activity of
Essential Oil fromCoriandrum sativum Seeds against Tribolium
confusum and Callosobruchus maculatus. International Scholarly
Research Network ISRN Pharmaceutics.
King’ori AM. 2011. A review of the uses of poultry eggshells and shell
membranes. Int J Poult Sci. 10: 908-912.
Klasing, K. C. 1999. Comparative Avian Nutrition. CABI Publishing, Wallingford,
UK.
Lesson S, Summers J. 2001. Nutrition of the Chicken.4th Ed. Departement of
Animal and Poultry Science, University Guelp.University Books,
Canada. CA.
Leeson S, Summers J. 2005. Commercial Poultry Nutrition.3rd Ed. Departement
of Animal and Poultry Science, University Guelp.University Books,
Canada. CA.
Li-Chan ECY, Kim HO. 2007. Structure and Chemical Compositions of Eggs.
Egg Bioscience and Biotechnology: Di dalam: editor, John Wiley &
Sons, Inc.: 1-95.
Li H, Liji J, Feifei W, Philip T, Xiaoyu L, Jianson Y, Sizhao L, Shuying L,
Yongping X. 2012. Effect of Red Pepper (Capsicum frutescens) Powder
32

or Red Pepper Pigment on the Performance and Egg Yolk Color of


Laying Hens. Asian-Aust J Anim Sci. 25:1605-1610.
Loetscher Y, Kreuzer M, Messikommer RE. 2013. Utility of Nettle (Urtica
Dioica) in Layer Diets as a Naturalyellow Colorant for Egg Yolk. J Anim
Feed Sci Tech. 186 (2013):158– 168.
Mahmoud KZ, Saad M, Gharaibeh, Hana A, Zakaria & Qatramiz AM. 2010.
Garlic (Allium sativum) Supplementation: Influence on Egg Production,
Quality, and Yolk Cholesterol Level in Layer Hens. Asian-Aust J Anim
Sci. Vol. 23, No. 11: 1503 – 1509.
Mangkuwidjojo S, Smith JB. 1988. Pemeliharaan, pertumbuhan dan penggunaan
hewan percobaan di daerah tropis. Universitas Indonesia, Jakarta.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan. IPB Press.
Matasyoh JC, Maiyo ZC, Ngure RM. 2008. Chemical composition and
antimicrobial activity of the essential oil of Coriandrum sativum. J Food
Chemis. 113(2):526–529.
Mc Donald P, Edward RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition.
London New York Toronto Sydney Tokyo Amsterdam: Prentice Hall.
Melvin JS, William OR. 1993. Duke′s Physiology of Domestic Animals. Ed ke-
11.Cornell University Pr. Ithaca dan London. p100 – 113.
Möstl E, Palme R. 2002. Hormones as indicators of stress. Domestic Animal
Endocrinology 23: 67–74.
Murtidjo BA. 1992. Mengelola Ayam Buras. Kanisius, Yogyakarta.
Muslim M, Nuraini N, Mirzah M. 2012. Pengaruh pemberian campuran dedak
dan ampas tahu fermentasi dengan Monascus purpureus terhadap
performa burung puyuh. JP 9(1):15-26.
North MO, Bell DD. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Ed. Van
Nostrand Reinhold. New York.
Olobatoke R. Y. & S. D. Mulugeta. 2011. Effect of dietary garlic powder on layer
performance, fecal bacterial load, and egg quality. Int J Poult Scie.
90:665–670.
Park JH, S. D. Upadhaya, & I. H. Kim. 2015. Effect of Dietary Marine
Microalgae (Schizochytrium) Powder on Egg Production, Blood Lipid
Profiles, Egg Quality, and Fatty Acid Composition of Egg Yolk in
Layers. Asian Aust J Anim Sci. Vol. 28, No. 3 : 391-397.
Piliang GW, Djojosoebagio S. 2006. Fisiologi Nutrisi Volume I. IPB Pr. Bogor.
Rajeshwari, Andallu B. 2011. Medicinal benefits of coriander (Coriandrum
sativum L). J Agric Food Chem. 1 (1)51–58.
Rajkumar U, Sharma RP, Rajaravinda KS, MNiranjan. 2009. Effect of genotype
and age on egg quality traits in naked neck chicken under tropical climate
from India. Int J Poult Sci. 8:1151-1155.
Rice-Evans C, Anthony TD. 1991. Techniques in Free Radical Research.
Elsevier. Pp 146,202.
Roberts JR. 2004. Factors affecting eggs internal quality and egg shell quality in
laying hens. Rev. J Poult Sci. 41: 161-177.
Saeid JM, AL-Nasry AS. 2010. Effect of dietary coriander seeds supplementation
on growth performance carcass traits and some blood parameters of
broiler chickens. Int J Poult Sci. 9:867-870.
33

Sasradipadja D, Sikar SHS, Wijayakusuma R, Ungerer T, Maad A, Nasution H,


Suriawinata R, Hamzah R. 1989. Penuntun Praktikum Fisiologi
Veteriner. Pusat Antar University Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Sh R, El-Ghar A, Debes A, Ghanem H, Ali O. 2013. Prediction of breeding values
and selection for egg mass in a closed flock of White Leghorn. Int J
Livest Prod Res 1:16-25.
Silva F, Ferreira S, Queiroz JA, Fernanda CD. 2011. Coriander (Coriandrum
sativum L.) essential oil: its antibacterialactivity and mode of action
evaluated by flow cytometry. J Med Microbiol. 60: 1479-1486.
Sogara PPU, Fatimawali, Bodhi W. 2014. Pengaruh ekstrak etanol buah ketumbar
(coriandrumsativum l.) terhadap penurunan kadar gula darah tikusputih
yang diinduksi aloksan. Jurnal Ilmiah Farmasi. 3(3):196-203.
Sturkie PD. 2000. Avian Physiology. 5th ed. Spinger-Verlag, New York.
Subekti S, Piliang WG, Manalu W, Murdiati TB. 2006. Penggunaan tepung daun
katuk dan ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus L.Merr) sebagai
substitusi ransum yang dapat menghasilkan produk puyuh jepang rendah
kolesterol. JITV. 11: 254-259.
Sukanta, P. O. 2001. Akupresur Minuman untuk Mengatasi Gangguan Pencernaan.
Media Komputino, Jakarta.
Suprijatna, E., U. Atmomarsono, & R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tizard IR. 2000. Veterinary Immunology an Introduction. 3rd Ed. USA. Saundres.
Umam, Alfian Abdullah Chaerul. 2012. Hematologi, Malondealdehida Plasma
Darah, dan Bobot Organ Limfoid Broiler yang Diberi Ransum
Mengandung Biji Ketumbar (Coriandrum sativum L.). Skripsi.
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
[USDA] (2011). United State Departement of Agriculture-National. Nutrient
Database for Standard Reference. USA.
USDA. 2009. Coriander (cilantro) leaves, raw. 27 Agustus 2014.
http://nutritiondata.self.com/facts/vegetables-and-vegetable
products/2414/2.
Uuganbayar, D., Bae IH, Choi1 KS, Shin IS, Firman JD and Yang CJ. 2005.
Effects of green tea powder on laying performance and egg quality in
laying hens. Asian-Aust J Anim Sci. Vol 18, No. 12 : 1769-1774.
Valko M. Rhodes CJ, Moncola J, Izakovic M, Mazur M. 2006. Free radical,
metals and antioxidants in oxidative stress-induced cancer. J Chemico-
Biological Interaction. (160):1-40.
Vercese F, Garcia EA, Sartori J, Silva AdP, Faitarone A, Berto D, Molino AdB,
Pelícia K. 2012. Performance and egg quality of Japanese quails
submitted to cyclic heat stress. Revista Brasileira de Ciência Avícola
14(1):37-41.
Vézina F, Salvante KG, Williams TD. 2003. The metabolic cost of avian egg
formation: Possible impact of yolk precursor production. J Exp Biol.
206:4443-4451.
34

Wagner CE, Prevolsek JS, Wynne KE, Williams TD. 2008. Hematological
changes associated with egg production: estrogen dependence and
repeatibility. J Exp Biol. 211: 400-408.
Windisch W, Schedle K, Plitzner C, Kroismayr A. 2008. Use of phytogenic
products as feed additives for swine and poultry. J Anim Sci. 86:140–148.
Yılmaz I. 2010. Carotenoids. J. Inonu Uni. Med. Fac. 17:223-231.
Yuwanta T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Yuwanta T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Kanisius. Yogyakarta.
Zangeneh S, Torki M. 2011. Effects of b-mannanase supplementing of olive pulp
included diet on performance of laying hens, egg quality characteristics,
humoral and cellular immune response and blood parameters. Global Vet.
7:391-398.
Zulkifli I, Norma MTC, Chong CH, Loh TC. 2000. Heterophil to lymphocyte
ratio and tonic immobility reactions to preslaughter handling in broiler
chickens treated with ascorbic acid. J Poult Sci. 79: 401-406.
35

LAMPIRAN

Hasil Pengolahan Data Menggunakan SPSS 16.0

Lampiran 1. Analisis ragam performa ayam petelur umur 43-48 minggu


Parameter Sumber Derajat
Jumlah Kuadrat Kuadrat
Keragaman Bebas F. hit (Sig)
(SK) (JK) Tengah (KT)
(db)
Bobot
Perlakuan 3 1.379 0.460 0.315 0.815
telur
Galat 12 17.527 1.461
Total 15 18.906
Produksi
Perlakuan 3 60.075 20.025 2.583 0.102
telur
Galat 12 93.037 7.753
Total 15 153.112
Massa
Perlakuan 3 29278.201 9759.4 2.988 0.073
telur
Galat 12 39189.262 3265.772
Total 15 68467.463
Konsumsi
Perlakuan 3 22.024 7.341 4.599 0.023
ransum
Galat 12 19.156 1.596
Total 15 41.180
Konversi
Perlakuan 3 0.087 0.029 5.287 0.015
ransum
Galat 12 0.066 0.006
Total 15 0.154

Uji lanjut Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum (P<0.05)


Superskrip
Perlakuan N
b a
3 4 101.1700
2 4 102.3300
1 4 102.6600 102.6600
0 4 104.4425
Sig. 0.138 0.069
36

Uji lanjut Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Konversi Ransum (P<0.05)


Superskrip
Perlakuan N
b a
3 4 2.23175
2 4 2.24275
1 4 2.36375
0 4 2.40125
Sig. 0.838 0.489

Lampiran 2. Analisis ragam konsumsi nutrien ayam petelur umur 43-48 minggu

Parameter Sumber
Derajat Jumlah Kuadrat
Keragaman F. hit (Sig)
(SK) Bebas (db) Kuadrat (JK) Tengah (KT)

Energi Perlakuan 3 182.377 60.792 4.606 0.023


Galat 12 158.374 13.198
Total 15 340.751
Protein Perlakuan 3 0.889 0.296 4.564 0.024
Galat 12 0.779 0.065
Total 15 1.669
Lemak Perlakuan 3 0.072 0.024 4.723 0.021
Galat 12 0.061 0.005
Total 15 0.133
Serat Perlakuan 3 0.021 0.007 4.513 0.024
Galat 12 0.018 0.002
Total 15 0.039

Uji lanjut Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Energi (P<0.05)


Superskrip
Perlakuan N
b a
3 4 290.8975
2 4 294.2375
1 4 295.1775 295.1775
0 4 300.3150
Sig. 0.138 0.069
37

Uji lanjut Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi protein (P<0.05)


Superskrip
Perlakuan N
b a
3 4 20.3475
2 4 20.5800
1 4 20.6425 20.6425
0 4 21.0050
Sig. 0.145 0.067

Uji lanjut Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi lemak (P<0.05)


Superskrip
Perlakuan N
b a
3 4 5.7050
2 4 5.7725
1 4 5.7925 5.7925
0 4 5.8925
Sig. 0.124 0.071

Uji lanjut Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi serat (P<0.05)


Superskrip
Perlakuan N
b a
3 4 3.0950
2 4 3.1300
1 4 3.1425 3.1425
0 4 3.1950
Sig. 0.127 0.081

Lampiran 3. Analisis ragam kualitas fisik dan kimia telur ayam petelur

Sumber
Derajat Jumlah Kuadrat
Parameter Keragaman F. hit (Sig)
(SK) Bebas (db) Kuadrat (JK) Tengah (KT)
Haugh unit Perlakuan 3 2.201 0.734 1.567 0.249
Galat 12 5.620 0.468
Total 15 7.822
Berat putih
Perlakuan 3 1.994 0.665 0.305 0.822
telur (g)
Galat 12 26.184 2.182
Total 15 28.178
38

Berat putih
Perlakuan 3 3.248 1.083 0.724 0.557
telur (%)
Galat 12 17.931 1.494
Total 15 21.179
Berat
kuning Perlakuan 3 1.153 0.384 2.029 0.164
telur (g)
Galat 12 2.273 0.189
Total 15 3.426
Berat
kuning Perlakuan 3 3.786 1.262 1.173 0.361
telur (%)
Galat 12 12.911 1.076
Total 15 16.697
Skor
kuning Perlakuan 3 1.688 0.562 9.000 0.002
telur
Galat 12 0.750 0.062
Total 15 2.438
berat
kerabang Perlakuan 3 0.116 0.039 0.963 0.442
(g)
Galat 12 0.483 0.040
Total 15 0.600
berat
kerabang Perlakuan 3 0.673 0.224 1.438 0.280
(%)
Galat 12 1.871 0.154
Total 15 2.543
Tebal
Perlakuan 3 0.000 0.000 0.158 0.923
kerabang
Galat 12 0.000 0.000
Total 15 0.000
Warna
Perlakuan 3 0.500 0.167 0.80 0.517
kerabang
Galat 12 2.50 0.208
Total 15 3.00
Lemak Perlakuan 3 6.637 2.212 1.976 0.171
39

Galat 12 13.432 1.119


Total 15 20.069
Malondial
Perlakuan 3 0.061 0.020 0.643 0.602
dehyde
Galat 12 0.380 0.032
Total 15 0.441
Kolesterol Perlakuan 3 0.110 0.037 0.284 0.836
Galat 12 1.559 0.130
Total 15 1.669

Uji lanjut Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap skor kuning telur (P<0.05)
Superskrip
Perlakuan N
b a
0 4 9.2500
1 4 10.0000
2 4 10.0000
3 4 10.0000
Sig. 1000 1000

Lampiran 4. Analisis ragam hematologi darah ayam petelur umur 43-48 minggu

Sumber
Derajat Jumlah Kuadrat
Paremeter Keragaman F. hit (Sig)
(SK) Bebas (db) Kuadrat (JK) Tengah (KT)

BDM Perlakuan 3 0.171 0.057 0.634 0.607


Galat 12 1.076 0.090
Total 15 1.247
PVC Perlakuan 3 22.044 7.348 1.624 0.236
Galat 12 54.311 4.526
Total 15 76.355
Hb Perlakuan 3 19.149 6.383 1.446 0.283
Galat 12 48.565 4.415
Total 15 67.714
BDP Perlakuan 3 264.770 88.257 2.307 0.128
Galat 12 459.060 38.255
Total 15 723.830
40

Heterofil Perlakuan 3 614.188 204.729 3.638 0.045


Galat 12 675.250 56.271
Total 15 1289.438
limfosit Perlakuan 3 357.500 119.167 2.250 0.135
Galat 12 635.500 52.958
Total 15 993.000
Rasio H/L Perlakuan 3 0.514 0.171 2.733 0.090
Galat 12 0.752 0.063
Total 15 1.266
Monosit Perlakuan 3 14.500 4.833 1.398 0.291
Galat 12 41.500 3.458
Total 15 56.000
Eosinofil Perlakuan 3 7.188 2.396 2.091 0.155
Galat 12 13.750 1.146
Total 15 20.938

Uji lanjut Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap butir darah putih (P<0.05)
Superskrip
Perlakuan N
b a
0 4 8.4000
1 4 14.1500 14.1500
2 4 17.7000 17.7000
3 4 18.8500
Sig. 0.065 0.327

Uji lanjut Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap heterofil (P<0.05)


Superskrip
Perlakuan N
b a
1 4 25.2500
2 4 33.2500 33.2500
3 4 33.5000 33.5000
0 4 42.7500
Sig. 0.164 0.113
41

Uji lanjut Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap limfosit (P<0.05)


Superskrip
Perlakuan N
b a
0 4 52.0000
3 4 58.0000 58.0000
2 4 59.7500 59.7500
1 4 65.2500
Sig. 0.177 0.205

Uji lanjut Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap rasio H/L (P<0.05)


Superskrip
Perlakuan N
b a
1 4 0.3950
2 4 0.5675 0.5675
3 4 0.5850 0.5850
0 4 0.8925
Sig. 0.327 0.105

Lampiran 5. Analisis ragam saluran pencernaan dan reproduksi ayam petelur


umur 43-48 minggu
Parameter Sumber Derajat
Jumlah Kuadrat
Keragaman Bebas F. hit (Sig)
(SK) Kuadrat (JK) Tengah (KT)
(db)
Bobot
hidup Perlakuan 3 24618.75 8206.25 1.43 0.283
akhir
Galat 12 68875.00 5739.58
Total 15 93493.75
Panjang
Perlakuan 3 0.055 0.018 1.01 0.423
Duodenum
Galat 12 0.219 0.018
Total 15 0.274
Berat
Perlakuan 3 0.004 0.001 1.323 0.312
Duodenum
Galat 12 0.013 0.001
Total 15 0.018
42

Panjang
Perlakuan 3 0.678 0.226 1.365 0.300
Jejenum
Galat 12 1.986 0.165
Total 15 2.664
Berat
Perlakuan 3 0.013 0.004 0.358 0.784
jejenum
Galat 12 0.149 0.012
Total 15 0.163
Panjang
Perlakuan 3 0.275 0.092 1.028 0.415
ileum
Galat 12 1.070 0.089
Total 15 1.345
Berat
Perlakuan 3 0.042 0.014 2.048 0.161
ileum
Galat 12 0.082 0.007
Total 15 0.123
Panjang
Perlakuan 3 0.080 0.027 1.366 0.300
sekum
Galat 12 0.236 0.020
Total 15 0.316
Berat
Perlakuan 3 0.002 0.001 0.190 0.901
sekum
Galat 12 0.039 0.003
Total 15 0.041
Panjang
Perlakuan 3 0.015 0.005 0.547 0.660
kolon
Galat 12 0.109 0.009
Total 15 0.124
Berat
Perlakuan 3 0.018 0.006 1.426 0.284
kolon
Galat 12 0.051 0.004
Total 15 0.070
43

Lampiran 6. Analisis ragam organ dalam ayam petelur umur 43-48 minggu
Parameter Sumber Derajat
Jumlah Kuadrat
Keragaman Bebas F. hit (Sig)
(SK) Kuadrat (JK) Tengah (KT)
(db)
Jantung (g) Perlakuan 3 0.909 0.303 0.530 0.670
Galat 12 6.854 0.571
Total 15 7.763
Jantung (%) Perlakuan 3 0.006 0.002 1.581 0.245
Galat 12 0.015 0.001
Total 15 0.021
Hati (g) Perlakuan 3 58.708 19.569 2.154 0.174
Galat 12 109.036 9.086
Total 15 167.744
Hati (%) Perlakuan 3 0.143 0.048 0.835 0.500
Galat 12 0.686 0.057
Total 15 0.829
Empedu (g) Perlakuan 3 0.309 0.103 1.043 0.409
Galat 12 1.184 0.099
Total 15 1.492
Empedu
Perlakuan 3 0.002 0.001 0.935 0.454
(%)
Galat 12 0.007 0.001
Total 15 0.009
Gizzard (g) Perlakuan 3 14.570 4.857 1.945 0.176
Galat 12 29.958 2.497
Total 15 44.529
Gizzard (%) Perlakuan 3 0.058 0.019 1.491 0.267
Galat 12 0.156 0.013
Total 15 0.214
Ginjal (g) Perlakuan 3 8.199 2.733 1.540 0.255
Galat 12 21.298 1.775
Total 15 29.497
Ginjal (%) Perlakuan 3 0.025 0.008 1.308 0.317
Galat 12 0.078 0.006
Total 15 0.103
44

Limpa (g) Perlakuan 3 0.832 0.277 0.647 0.600


Galat 12 5.143 0.429
Total 15 5.975
Limpa (%) Perlakuan 3 0.004 0.001 0.769 0.533
Galat 12 0.023 0.002
Total 15 0.028
Pankreas (g) Perlakuan 3 0.231 0.077 0.450 0.722
Galat 12 2.056 0.171
Total 15 2.287
Pankreas
Perlakuan 3 0.002 0.001 1.082 0.394
(%)
Galat 12 0.009 0.001
Total 15 0.011
45

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 14 Juli 1989 di


Ujunggading, kab. Pasaman Barat, Sumatera Barat.
Penulis merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara
dari pasangan Bapak Firdaus dan Ibu Arjuna. Penulis
menyelesaikan program sarjana pada Mayor Ilmu
peternakan dengan Minor ilmu nutrisi unggas pada
tahun 2008 sampai 2012 di Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Universitas
Andalas Padang. Penulis diterima sebagai mahasiswa
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan pada tahun 2013
melalui program Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (BPPDN-DIKTI) tahun 2013 sebagai Calon Dosen.
Selama mengikuti perkuliahan di Sekolah Pascasarjana penulis aktif dalam
berbagai kegiatan kemahasiswaan. Mengikuti acara training feed formulation
training 2013, islamic science forum (ISF) 2013 dan training pengukuran
parameter hematologi dan metabolit darah pada ternak lokal dari aspek nutrisi
2014.

Anda mungkin juga menyukai