UMUL HABIYAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ii
iii
Umul Habiyah
D251130251
iv
RINGKASAN
Kata kunci: ayam petelur, biji ketumbar, kualitas telur, hematologi darah,
performa
v
SUMMARY
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vii
UMUL HABIYAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
viii
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian adalah pangan organik yang dilaksanakan sejak bulan
September 2014 sampai Januari 2015 ini ialah dengan judul Suplementasi Biji
Ketumbar (Coriandrum sativum Linn) Terhadap Produktifitas, Hematologi Darah
dan Organ Dalam Ayam Petelur. Karya ilmiah yang merupakan bagian tesis ini
sedang dalam proses penerbitan pada Media Peternakan–Journal of Animal
Science and Technology dengan judul “The effect of coriander seeds (Coriandrum
sativum Linn) on performa and egg quality of laying hens”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Rita Mutia, M. Agr dan Dr Sri
Suharti, S. Pt, M. Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi waktu
bimbingan, saran, dan motivasi sehingga penelitian dan tesis ini dapat
diselesaikan. Kepada Ibu Dr Ir Dwierra Evvyernie A, MS MSc dan Ibu Prof Dr Ir
Yuli retnani, MSc sebagai ketua dan wakil program studi Ilmu Nutrisi dan Pakan
Pascasarjana IPB, dan kepada Dr Ir. Ibnu Katsir Amrullah, MS sebagai dosen penguji
luar komisi. Terima kasih juga kepada Pak Supri dan Bu Ade serta seluruh staff dan
pegawai Pascasarjana khususnya Departemen Ilmu Nutris dan Pakan atas segala
bantuan dan bimbingannya. Terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi melalui program
Beasiswa Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) 2013.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ibunda dan
Ayahanda tercinta serta keluarga besar atas segala doa, kepercayaan, keikhlasan,
kasih sayang yang tiada henti selalu menguatkan dan memotivasi penulis selama
menuntut ilmu. Kakak dan adik (kutih Eman, Uni Emnadia, angah Eniminda SPd,
candah Enisda, ketek Eli, abang Askir, adik super Iqbal ST, abang Sastra, abang
Erizon, abang Tanwir, abang Idrus), Penulis juga mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada Opung (Gunung tua) do’a, nasehat, saran dan motivasi
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi dengan baik. Teman-teman
Pascasarjana INP 2013 (Iin, Mba Ina, Dea, Kak Dipa, Mas Hilmi, teman-teman
Unand Padang) dan kos Nabila (leni dan ira) terima kasih atas motivasi, kenangan
manis, dan kebersamaan singkat yang telah terjalin namun begitu bermakna. Kepada
Bu Lanjarsih dan Bapak Ucup yang telah banyak membantu selama penelitian.
Terimakasih atas bantuan dari semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu. Semoga Allah selalu membalas amal baiknya dan semoga karya ilmiah ini
bermanfaat. Aamiin.
Umul Habiyah
D251130251
xii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
2 METODE 3
Waktu dan Tempat Penelitian 3
Bahan dan Alat 3
Prosedur Penelitian 3
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Suhu Kandang Penelitian 12
Kandungan Nutrien Biji Ketumbar 12
Pengaruh Perlakuan Terhadap Performa Ayam Petelur 13
Pengaruh Perlakuan Terhadap Kualitas Telur Ayam Petelur 15
Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Nutrien Ayam Petelur 19
Pengaruh Perlakuan Terhadap Hematologi Darah Ayam Petelur 19
Pengaruh Perlakuan Terhadap Saluran Pencernaan Ayam Petelur 23
Pengaruh Perlakuan Terhadap Organ Dalam Ayam Petelur 25
Pengaruh Perlakuan Terhadap Income Over Feed Cost Ayam Petelur 26
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 Biji ketumbar 5
2 Ransum perlakuan 5
3 Pemeliharaan ayam petelur 6
4 Pengujian kualitas telur dan organ dalam ayam petelur 6
5 Rataan produksi telur henday ayam petelur 14
6 Rataan konversi pakan ayam petelur selama pemeliharaan 6 minggu 15
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil analisa dan uji lanjut pengaruh perlakuan terhadap performa 35
2 Hasil analisa dan uji lanjut pengaruh perlakuan terhadap konsumsi nutrien 36
3 Hasil analisa dan uji lanjut pengaruh perlakuan terhadap kualitas telur 37
4 Hasil analisa dan uji lanjut pengaruh perlakuan terhadap hematologi darah 39
5 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap saluran pencernaan dan reproduksi 41
6 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap organ dalam 43
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ayam ras petelur adalah salah satu jenis ternak unggas yang sangat popular
dikembangkan dikalangan masyarakat, baik dalam skala kecil yang dikelola oleh
keluarga atau sekelompok masyarakat peternak maupun dalam bentuk industri
peternakan dalam skala usaha yang cukup besar. Permintaan terhadap telur ayam
ras terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan permintaan
tersebut tentunya harus diiringi dengan kuantitas dan kualitas telur yang optimal
untuk konsumen. Telur ayam merupakan sumber protein hewani yang bernilai
gizi tinggi dan umummya disukai oleh banyak orang. Perkembangan populasi
ayam ras petelur di Indonesia pada tahun 2013 menurut Direktorat Jenderal
Peternakan sebesar 146.622.000 ekor, sedangkan jumlah produksi telur yang
dihasilkan adalah sebesar 1.224.402 ton. Tahun 2014 (Angka sementara)
Populasi dan Produksi Peternakan ayam ras di Indonesia adalah 154.657.000 ekor
dan 1.299.199 ton (BPS 2015).
Saat ini, minat untuk mencari alternatif non-sintetik antibiotik semakin
meningkat. Pakan additif seperti bumbu dan rempah-rempah yang biasa
dimasukkan ke dalam pakan ternak untuk meningkatkan rasa dan kelezatan,
sehingga meningkatkan kinerja performa (Windisch et al. 2008). Efek
menguntungkan dari sebagian besar herbal, rempah-rempah dan senyawa bioaktif
telah diakui sejak zaman kuno dan efek dari herbal tersebut telah banyak
dilaporkan sebagai imbuhan pakan fitogenik dalam makanan hewan percobaan.
Ketumbar (Coriandrum sativum L.) terutama bijinya yang digunakan sebagai agen
penyedap dalam industri makanan atau sebagai bumbu roti, ikan dan daging,
tetapi juga memiliki sejarah panjang sebagai obat tradisional. Biji ketumbar
mengandung minyak atsiri hingga 1%, komponen utama adalah linalool, yang
memiliki potensi antibakteri (Silva 2011; Matasyoh et al. 2008), insektisida
(Khani dan Rahdari 2012), antibiotik (Hosseinzadeh et al. 2014) dan antimikroba
(Begnami et al. 2010; Burdock dan Carabin 2008) merupakan efek dari minyak
esensial (atsiri) ketumbar. Minyak atsiri juga memberikan efek selera dan
stimulasi dalam proses pencernaan (Rajeshwari dan Andallu 2011).
Ketumbar juga terkenal dengan antioksidannya, anti-diabetes, anti-
mutagenik, anti-ansietas dan menyeimbangkan hormon. Jika penggunaannya
dalam makanan akan bermanfaat bagi kesehatan dan efek perlindungan makanan
untuk waktu yang lebih lama (Bhat et al. 2014). Tanaman aromatik, ekstrak dan
minyak esensial mengandung berbagai senyawa bioaktif fungsional, metode
alternatif untuk meningkatkan kinerja yang dapat dikembangkan karena dapat
memuaskan tuntutan konsumen untuk makanan alami, aman dan berkualitas
tinggi (Christaki et al. 2012). Senyawa utama dalam minyak esensial adalah
linalool (67.70%); α-pinene (10.5%); γ-terpinene (9.0%); geranyl asetat (4.0%);
kamper (3.0%); dan geraniol (1.9%) Khani dan Rahdari (2012). Kadar minyak
esensial yang terkandung pada biji ketumbar berjumlah sekitar 0.5%−1% mampu
menjadi antimikroba atau antibakteri, dan spesifik terhadap spesies Salmonella,
sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh dari serangan penyakit (Isao et al.
2004). Minyak esensial (atsiri) yang dikandungnya berkhasiat sebagai stimulan,
2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) untuk menganalisis komponen nutrien
biji ketumbar (2) mendapatkan jumlah pemberian tepung ketumbar di dalam
pakan ayam petelur di lingkungan tropis terhadap produktivitas ayam petelur, (3)
mengamati jumlah pemberian ketumbar sehingga memberikan hematologi berada
pada kisaran normal sehingga dapat meningkatkan status kesehatan ayam petelur.
Manfaat Penelitian
2 METODE
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain timbangan digital,
kandang individual cage, tempat pakan dan minum, lampu, thermometer, skop,
gerobak, sapu lidi, ember.
Bahan
Prosedur penelitian
Pesiapan kandang penelitian
Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang kandang
individual cage (35cm x 36cm x 42cm) yang tidak ditutup tirai sepenuhnya
sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran udara, kandang yang digunakan
kemudian dibersihkan dengan desinfektan.
4
Ransum perlakuan
Ransum yang sudah diaduk kemudian dicampurkan dengan biji ketumbar
sesuai dengan perlakuan.
Pengambilan sampel
Kualitas telur : Pengambilan sampel dilakukan setiap minggu selama penelitian
yaitu pada minggu ke-1 sampai ke-6. Pada setiap ulangan masing-masing diambil
2 telur untuk dianalisa kualitas fisik dan kimia telur.
Profil darah : Sampel darah diambil pada akhir penelitian. Pengambilan darah
dilakukan melalui vena branchialis menggunakan spuit 3 mL sebanyak 1−2 mL
darah ayam petelur. Darah yang sudah terkoleksi langsung dimasukkan ke dalam
tabung reaksi yang telah dilapisi antikoagulan EDTA. Tabung tersebut ditutup
menggunakan sumbat dan diberi label sesuai dengan perlakuan. Kemudian,
tabung dimasukkan ke dalam kotak pendingin dan dibawa ke Laboratorium
Fisiologi untuk pemeriksaan darah.
Organ dalam ayam petelur : pengukuran organ dalam ayam petelur dilakukan
pada akhir penelitian masing-masing 2 ekor ayam pada setiap ulangan.
Kualitas telur
Kualitas fisik telur :
Pengambilan sampel telur dilakukan setiap minggu yaitu sebanyak 6 kali untuk di
pecah dan dilakukan pengujian kualitas telur.
1. Berat telur (g butir -1)
Berat telur diukur dengan menimbang telur.
2. Berat kuning telur (yolk)
Berat kuning telur diukur dengan menimbang kuning telur (g)
Ratio kuning telur = berat kuning telur (g) x 100
berat telur (g)
3. Berat kerabang telur (g butir -1)
Berat kerabang telur diukur dengan menimbang kerabang telur.
Ratio kerabang telur = berat kerabang (g) x 100
berat telur (g)
4. Berat putih telur (albumen)
Berat putih diperoleh melalui penimbangan (g)
Ratio albumen = berat albumen( g) x 100
berat telur (g)
5. Indeks telur
Indeks telur diukur dengan menggunakan alat jangka sorong untuk
mengukur panjang dan lebar telur.
6. Haugh unit
Haugh unit merupakan nilai untuk menentukan kualitas putih telur yang
diperoleh dari hubungan antara bobot telur (gram) dengan tinggi putih telur
(mm).Telur ditimbang kemudian diberi label sesuai dengan beratnya. Telur
dipecahkan di atas bidang datar dan licin (kaca). Tinggi putih telur diukur dengan
8
menggunakan alat jangka sorong. Hasil pengamatan Haugh Unit dicatat pada
tabel hasil pemeriksaan. Rumus Haugh Unit menurut (Doyon et al. 1986).
Bobot contoh
= mg 100 g-1
Jumlah Leukosit
Menurut Sastradipradja et al. (1989) pengambilan darah dilakukan
menggunakan pipet eritrosit dengan bantuan alat pengisap (aspirator) sampai
batas angka 1.0. Ujung pipet dibersihkan dengan tissu. Larutan pengencer Rees
and Ecker diisap sampai tanda 101 yang tertera pada pipet eritrosit, kemudian
pipa aspirator dilepaskan. Kedua ujung pipet ditutup dengan ibu jari dan jari
telunjuk tangan kanan, Isi pipet dikocok dengan membentuk gerakan angka 8, dan
cairan yang tidak ikut terkocok dibuang. Setetes cairan dimasukkan ke dalam
kamar hitung dan dibiarkan butir-butir yang ada di dalam kamar hitung
mengendap. Butir darah putih dihitung dengan mikroskop pada pembesaran 400
kali. Untuk menghitung leukosit dalam hemocytometer neubauer, digunakan
kotak leukosit yang berjumlah 5 buah dari 9 kotak utama dengan mengambil
bagian sebagai berikut : satu kotak pojok kanan atas, satu kotak pojok kiri atas,
satu kotak di tengah, satu kotak pojok kanan bawah dan satu kotak pojok kiri
bawah. Jumlah leukosit yang didapat dari hasil perhitungan dengan mikroskop (b)
10
dikalikan 200 untuk mengetahui jumlah leukosit setiap 1 mm3 darah. Angka 200
diperoleh dengan cara mengalikan 5 kotak ruang hitung, panjang 1 mm, lebar 1
mm, dan tebal 1/10 mm kemudian dijadikan 1 mm3 setelah itu dikali faktor
pengencer sebesar 100. Jumlah leukosit dapat dihitung dengan rumus dibawah ini.
Hematokrit.
Menurut Sastradipradja et al. (1989) nilai hematokrit ditentukan dengan
metode mikrohematokrit. Darah dari tabung ditempelkan dengan ujung
mikrokapiler yang bertanda (merah atau biru). Darah dibiarkan mengalir sampai
4/5 bagian pipa kapiler terisi kemudian ujung pipa kapiler disumbat dengan
crestaseal (penyumbat). Pipa kapiler tersebut ditempatkan di microcentrifuge
selama lima menit dengan kecepatan 12.000 rpm, kemudian terbentuk lapisan
plasma, lapisan putih abu, dan lapisan merah. Nilai hematokrit ditentukan dengan
mengukur % volume eritrosit (lapisan merah) dari darah dengan menggunakan
alat baca mikrohematokrit (microcapillary hematokrit reader).
Diferensiasi leukosit
Darah dibuat preparat ulas ±2 cm dari ujung gelas objek. Preparat ulas
difiksasi dengan metanol 75% selama 5 menit kemudian diangkat sampai kering
udara. Ulasan darah direndam dengan larutan giemsa selama 30 menit, diangkat
dan dicuci dengan menggunakan air kran yang mengalir untuk menghilangkan zat
warna yang berlebihan, kemudian dikeringkan dengan kertas isap. Preparat ulas
diletakkandibawah mikroskop pembesaran 1000 kali dan ditambahkan minyak
emersi kemudian dihitung limfosit, heterofil, monosit, basofil, dan eosinofil
dengan pembesaran 1000 kali sampai jumlah total 100 butir leukosit
(Sastradipradja et al. 1989).
Rancangan Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Setiap unit percobaan menggunakan 6
ekor ayam yang dipelihara selama 6 minggu.
Keterangan:
Yij = Hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
i = Perlakuan (1, 2, 3, dan 4)
j = Ulangan (1, 2, 3, 4)
μ = Nilai tengah umum
τi = Pengaruh Perlakuan ke-i
έίј = Pengaruh Sisa (Galat) pada ulangan ke-j yang mendapat perlakuan ke i.
Analisis Data
Data dianalisa secara statistik menggunakan analisis ragam (ANOVA).
Apabila terdapat perbedaan nyata diantara perlakuan maka dilakukan uji lanjut
DUNCAN (Matjik dan Sumertajaya 2006). Analisis data menggunakan software
statistik SPSS 16.
12
Rataan temperatur kandang penelitian pada pagi hari pukul 07.00 WIB
24±0.51˚C, siang hari pukul 12.00 WIB 32±0.96˚C dan sore hari pukul 16.00
WIB 26±0.66˚C. Kisaran temperatur tersebut relatif lebih tinggi dari yang
direkomendasikan Leeson dan Summers (2001) untuk lingkungan pemeliharaan
ayam yang optimum berkisar antara 18−24˚C.
Konsumsi ransum
Rataan konsumsi pada penelitian ini adalah 102.65 g ekor-1 hari-1.
Pemberian ketumbar 2−3% dalam ransum menyebabkan konsumsi ransum nyata
(P<0.05) lebih rendah (R2 dan R3) jika dibandingkan dengan ransum (R0) pada
Tabel 4. Konsumsi ransum yang lebih rendah pada perlakuan R2 dan R3
dibandingkan dengan kontrol disebabkan oleh sudah tercukupi kebutuhan
energinya. Konsumsi ransum antara perlakuan (R1, R2, dan R3) yang diberi
13
tepung biji ketumbar memberikan hasil tidak signifikan. Hal ini berarti ransum
yang mengandung ketumbar dalam ransum dapat menstimulan sistem organ
pencernaan sehingga berfungsi secara optimal.
Penelitian Rajeshwari dan Andallu (2011) menyatakan bahwa minyak
esensial ketumbar adalah merangsang dan membantu dalam sekresi enzim dan
cairan pencernaan dalam perut, sehingga merangsang pencernaan dan gerak
peristaltik yang pada gilirannya akan menurunkan konversi ransum.
Tabel 4. Rataan berat telur, produksi henday, massa telur, konsumsi, konversi
ransum dari ayam petelur selama 6 minggu
Perlakuan
Parameter
R0 R1 R2 R3
Konsumsi
komulatif
(g ekor-1 hari-1) 4386.67±44.76a 4311.67±38.39ab 4297.92±60.16b 4249.00±64.60b
Konsumsi harian
(g ekor-1 hari-1) 104.44±1.07a 102.66±0.09ab 102.33±1.43b 101.17±1.54b
Produksi henday
(%) 76.69±1.99 76.14±2.75 80.06±2.62 80.46±3.56
Massa telur
(g ekor-1) 1827.72±41.80 1825.24±62.88 1917.37±49.87 1905.88±69.83
Konversi ransum 2.40±0.07a 2.36±0.07a 2.24±0.07b 2.23±0.09b
Berat telur (g ) 57.56±1.32 58.11±0.38 57.70±1.04 57.30±1.69
Mortalitas (%) 0 0 0 0
Keterangan: R0= Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1= ketumbar 1%; R2= ketumbar
2%; R3= ketumbar 3%. Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda
nyata (P<0.05).
Hasil ini tidak jauh berbeda pada penelitian Chen and Balnave (2001)
melaporkan bahwa konsumsi pakan ayam petelur adalah 108 g ekor-1 hari-1.
Penelitian Guler et al. (2005) mengatakan bahwa biji ketumbar bisa dianggap
sebagai promotor pertumbuhan alami yang potensial untuk unggas, dan
menunjukkan respon terbaik pada tingkat 2% dalam ransum puyuh. Hernandez et
al. (2004) menyatakan minyak esensial (atsiri) yang dikandungnya berkhasiat
sebagai stimulan, penguat organ pencernaan, merangsang enzim pencernaan, dan
meningkatan fungsi hati. Kadar minyak esensial yang terkandung pada biji
ketumbar berjumlah sekitar 0.5%−1% mampu menjadi antimikroba atau
antibakteri, dan spesifik terhadap spesies Salmonella, sehingga dapat
meningkatkan daya tahan tubuh dari serangan penyakit (Isao et al. 2004).
Menurut Abou-Elkhair et al. (2014) menyatakan bahwa suplementasi pakan
dengan lada hitam dan ketumbar atau kombinasi keduanya dapat meningkatkan
kinerja dan status kesehatan ayam broiler dapat dijadikan sebagai suplemen
makanan sebagai promotor pertumbuhan alami.
Berat telur
Berdasarkan Tabel 4, rataan dari berat telur pada penelitian ini adalah
57.66 g. Pemberian ketumbar dalam ransum tidak memberikan hasil yang
signifikan terhadap berat telur. Suplementasi ketumbar sampai level 3% dalam
ransum belum mampu mempengaruhi berat telur yang dihasilkan. Hasil ini lebih
14
rendah jika dibandingkan dengan penelitian Cayan dan Erener (2015) yang
melaporkan bahwa berat telur ayam Lohmann brown yang dipelihara selama 8
minggu adalah 59.62 g. Bobot telur yang diperoleh pada penelitian ini 57.66 g
tidak jauh berbeda dengan penelitian Chen and Balnave (2001) adalah 57.20 g.
Berdasarkan Leeson dan Summers (2005) menyatakan bahwa protein atau asam
amino (spesifik methionin) merupakan nutrisi yang berperan penting dalam
menggontrol berat telur.
Produksi telur
Suplementasi biji ketumbar dalam ransum tidak memberikan hasil yang
signifikan terhadap produksi telur. Rataan produksi telur selama penelitian adalah
76.14−80.46%. Hasil ini tidak jauh berbeda pada penelitian Chen and Balnave
(2001) melaporkan bahwa produksi telur ayam petelur adalah 83%. Suplementasi
ketumbar sampai level 3% belum mampu meningkatkan produksi telur yang
dihasilkan seperti terlihat pada gambar 5. Produksi massa telur yang rendah akan
berkorelasi positif dengan menurunya produksi telur sedangkan produksi massa
telur merupakan hasil kali produksi telur dengan berat telur sehingga akan
berkorelasi positif (Sh et al. 2013). Lebih lanjut Vercese et al. (2012) menjelaskan
bahwa massa telur dipengaruhi oleh berat telur, produksi telur dan heat stress.
Gambar 5. Rataan produksi telur henday dari ayam petelur Lohmann brown selama 6 minggu
penelitian. R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1 = ketumbar 1%;
R2 = ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%.
Konversi ransum
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa penambahan ketumbar 2−3% dalam
ransum nyata (P<0.05) menurunkan konversi ransum jika dibandingkan dengan
ransum kontrol (R0). Hal ini menunjukkan bahwa ayam lebih efisien dalam
pemanfaatan ransum sehingga mampu memproduksi telur lebih tinggi jika
dibandingkan dengan ransum kontrol (R0). Konversi ransum perlakuan dengan
penambahan 2-3% ketumbar lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan
lainnya. Hal ini disebabkan ransum yang dikonsumsi lebih rendah diikuti bobot
telur yang dihasilkan lebih tinggi. Nilai konversi ransum erat kaitannya dengan
15
konsumsi ransum dan kemampuan ternak dalam merubah ransum menjadi daging
dan telur. Semakin rendah angka konversi ransum semakin efisien penggunaan
ransum tersebut, karena semakin sedikit jumlah ransum yang digunakan seperti
yang terlihat pada gambar 6. Menurut Leeson dan Summers (2005), faktor yang
mempengaruhi konversi ransum adalah produksi telur, kandungan nutrisi ransum,
berat telur dan temperatur (suhu). Penelitian Cayan dan Erener (2015) melaporkan
bahwa konversi ransum ayam Lohmann brown umur 22 minggu yang diberi
tepung daun zaitun adalah 2.05−2.07. Sedangkan penelitian Bidura et al. (2014)
menyatakan bahwa konversi ransum ayam Lohmann brown umur 42−50 minggu
adalah 3.01. Menurut Ahammed et al. (2014) menyatakan bahwa konversi ransum
Lohmann Brown umur 41−60 minggu adalah 2.21.
Gambar 6. Rataan konversi ransum dari ayam petelur Lohmann Brown selama 6 minggu
penelitian. R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1 = ketumbar 1%;
R2 = ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%.
Haugh unit
Haugh unit merupakan suatu nilai yang menentukan keadaan kualitas
kesegaran telur. Nilai haugh unit yang tinggi menunjukkan kualitas telur tersebut
juga tinggi (Hardianto et al. 2012). Rataan haugh unit dari penelitian adalah
97.25. nilai haugh unit tersebut dikategorikan sebagai telur yang berkualitas AA.
16
Tabel 5. Rataan kualitas fisik telur dan kimia kuning telur ayam petelur Lohmann
brown
Parameter Perlakuan
R0 R1 R2 R3
Berat telur (g) 59.06±1.20 59.04±1.41 58.63±1.79 59.22±1.16
Haugh unit 97.75±0.52 96.74±1.07 97.40±0.42 97.10±0.52
Berat putih telur (g) 37.82±1.97 37.38±1.22 36.83±1.61 37.39±0.88
(%) 63.98±2.11 63.27±0.81 62.75±0.83 63.07±0.43
Berat kuning telur (g) 13.95±0.81 14.65±0.21 14.51±0.03 14.47±0.23
(%) 23.63±1.85 24.85±0.60 24.80±0.70 24.47±0.21
Skor kuning telur 9.00±0.50b 10.00±0.00a 10.00±0.00a 10.00±0.00a
Berat kerabang (g) 7.30±0.28 7.13±0.05 7.29±0.19 7.36±0.21
(%) 12.39±0.49 11.89±0.41 12.44±0.22 12.47±0.31
Tebal kerabang (mm) 0.35±0.01 0.35±0.00 0.35±0.01 0.35±0.00
Skor kerabang telur 9±0.00 9±0.58 9±0.50 9±0.50
Malondialdehide (µg g-1) 7.02±1.71 6.60±1.64 5.28±2.48 6.13±1.13
lemak (%) 23.80±1.47 22.31±1.34 22.25±0.67 22.37±0.31
Kolesterol (mg g-1) 5.47±0.38 5.61±0.29 5.46±0.52 5.65±0.16
Keterangan: R0= Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1= ketumbar 1%; R2= ketumbar
2%; R3= ketumbar 3%. Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda
nyata (P<0.05).
Putih telur
Berdasarkan Tabel 5. Rataan berat putih telur yang dihasilkan tidak berbeda
nyata antar perlakuan. Rataan berat putih telur pada penelitian ini adalah 37.50 g
(63.27%). Berat putih telur umumnya dipengaruhi oleh berat telur (Rajkumar et
al. 2009). Rata-rata berat putih telur dalam penelitian ini lebih rendah dari yang
dilaporkan oleh Cayan dan Erener (2015) yaitu 38.70−40.30 g (63.10−64.60%).
Kuning telur
Perlakuan tidak mempengaruhi berat kuning telur. Rataan berat kuning telur
penelitian adalah 14.4 g (24.44%). Penelitian Cayan dan Erener (2015)
menyatakan berat kuning telur yang ditambahkan tepung zaitun sampai 3% dalam
17
Kerabang telur
Kerabang telur tersusun oleh lapisan kutikula, lapisan calcite (kalsium
karbonat) dan dua lapisan membran (Li-chan dan Kim 2008). Rataan kerabang
berat telur penelitian ini adalah 7.27g (12.30%). Menurut Cayan dan Erener
(2015), berat kerabang telur adalah 6.63 g (11.00%). Hu et al. (2011) bahwa berat
cangkang telur adalah 14.60 g (24.30%). Menurut Kebreab et al. (2009),
kandungan Ca dalam pakan dapat mempengaruhi berat kerabang telur dan
ketebalan kerabang. Kualitas kerabang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor
termasuk gizi mineral. Kalsium, fosfor dan magnesium adalah anorganik utama
untuk kerabang telur (King'ori 2011).
Tebal kerabang
Rataan tebal kerabang yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara
0.35 mm. Menurut Leeson dan Summers (2005), bahwa zat nutrisi utama yang
18
mempengaruhi tebal kerabang telur adalah kalsium, fosfor dan vitamin D3. Pada
penelitian ini berat kerabang menunjukkan hasil yang tidak berbeda sehingga
menghasilkan tebal kerabang yang tidak berbeda pula. Menurut Anggorodi (1994)
kualitas kerabang telur ditentukan oleh ketebalan dan struktur kerabang.
Kandungan Ca dan P dalam ransum berperan terhadap kualitas kerabang telur
karena dalam pembentukan kerabang telur diperlukan adanya ion-ion karbonat
dan ion-ion Ca yang cukup untuk membentuk CaCO3 kerabang telur. Menurut
Clunies et al. (1992), semakin tinggi konsumsi kalsium maka kualitas kerabang
telur semakin baik.
Jumlah konsumsi ransum pada penelitian ini tidak berbeda jauh dengan
penelitian Djayati (2014) konsumsi ransum ayam petelur umur 46−51 minggu
adalah 99.90−101.59 g ekor1 hari1. Konsumsi ransum berkaitan dengan penilaian
sensori ternak pada ransum. Bentuk, warna, rasa, bau merupakan beberapa faktor
yang mempengaruhi tingkat palatabilitas ransum (McDonald et al. 2010).
Konsumsi nutrien (Tabel 6) menunjukkan bahwa pemberian biji ketumbar dalam
ransum nyata menurunkan konsumsi energi, protein, lemak dan serat kasar
(P<0.05). Penurunan konsumsi ransum pada perlakuan yang ditambahkan biji
ketumbar 2% dan 3% adalah karena ayam sudah tercukupi kebutuhan energinya.
Akbarillah et al. (2011) melaporkan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh
umur dan kondisi fisiologis ternak seperti pertumbuhan, reproduksi dan produksi.
Faktor yang berpengaruh dominan adalah kandungan energi pakan dan suhu
lingkungan. Faktor yang berpengaruh minor adalah strain unggas, berat tubuh,
bobot telur harian, pertumbuhan bulu, derajat stress dan aktivitas (North dan Bell
1990).
masing-masing yang bersirkulasi dalam pembuluh darah. Ternak yang sehat akan
memiliki hematologi yang normal. Peubah sel darah merupakan salah satu metode
yang berguna untuk mendiagnosis penyakit, memberi gambaran keadaan
patologis, dan fisiologis (Guyton dan Hall, 2010). Hematologi ternak akan
mengalami perubahan seiring dengan perubahan fisiologisnya secara internal dan
eksternal. Perubahan secara internal dapat disebabkan oleh pertambahan umur,
status gizi, kesehatan, panas tubuh, serta stres. Perubahan secara eksternal dapat
disebabkan penyakit mikroorganisme dan perubahan suhu lingkungan (Guyton
dan Hall, 2010).
Tabel 7. Rataan profil darah ayam petelur Lohmann brown umur 48 minggu
Perlakuan
Parameter
R0 R1 R2 R3 Standar*
BDM (juta
mm3 -1) 2.446±0.32 2.535±0.34 2.484±0.23 2.261±0.29 1.3-4.5
PCV (%) 22.18±2.88 22.60±1.88 22.21±1.44 25.60±2.05 22-55
Hb (g %) 14.68±0.95 16.90±2.56 13.98±2.94 14.69±0.28 7-18
BDP (ribu
mm3 -1) 8.40±2.50b 14.15±9.36ab 17.70±7.15ab 18.85±2.83a 0.9-3.2
Heterofil
(%) 42.75±11.95a 25.25±3.50b 33.25±6.65ab 33.50±5.07ab 15-50
Limfosit
(%) 52.00±11.46b 65.25±5.32a 59.75±5.91ab 58.00±4.16ab 29-84
Rasio H/L
(%) 0.89±0.45a 0.40±0.08b 0.57±0.16ab 0.59±0.13ab 0.45-0.5
Monosit
(%) 4.25±0.96 6.75±2.99 5.00±0.82 6.00±1.83 0-7
Eosinofil
(%) 1.00±1.41 0.96±0.96 2.00±0.82 2.50±1.00 0-16
Keterangan: R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1 = ketumbar 1%; R2 =
ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%. Huruf berbeda pada baris yang sama
menunjukkan berbeda nyata (P<0.05). BDM = Butir darah merah; PVC = Packet
cell volume; Hb = Hemoglobin; BDP = Butir darah putih. *Campbell et al. (2012)
Hematokrit
Berdasarkan hasil analisis ragam (Tabel 7), bahwa suplementasi biji ketumbar
dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap hematokrit ayam petelur. Proporsi
komponen darah dalam volume darah yang terdiri dari sel darah merah,
dinamakan hematokrit atau packed cell volume (PCV). Hematokrit dinyatakan
dalam persentase(%). Hematokrit dapat digunakan untuk mendiagnosa kondisi
normal, anemia, maupun polisetamia. Nilai hematokrit menggambarkan jumlah sel
eritrosit terhadap total dalam darah, sehingga menjadi salah satu indikator penentuan
kemampuan darah dalam mengangkut oksigen (O2) yang biasa dikenal dengan istilah
Oxygen Carrying Capacity. Pada saat bertelur, nilai hematokrit cenderung mengalami
penurunan yang merupakan dampak tubuh ayam dalam mempertahankan
homeostatis. Nilai hematokrit yang rendah pada saat bertelur diakibatkan oleh
peningkatan volume plasma darah yang disebut proses Haemodilusi. Namun,
konsentrasi plasma kembali normal ketika folikel terakhir telah mengalami ovulasi
(Challenger et al. 2001; Vézina et al. 2003). Volume plasma yang meningkat
berakibat menurunnya kapasitas pengangkutan oksigen (O2) dalam darah meskipun
pada dasarnya jumlah eritrosit tidak berkurang (Wagner et al. 2008).
Hemoglobin
Hasil penelitian menunjukkan penggunaan biji ketumbar dalam ransum
sampai taraf 3% tidak memberikan pengaruh nyata terhadap hemoglobin ayam
petelur. Hemoglobin ayam petelur umur 48 minggu yang diberi δ-aminolevulinic
acid (ALA) dalam ransum adalah 9.7−11.2 (Chen et al. 2008). Hemoglobin
merupakan petunjuk kecukupan oksigen. Hemoglobin berfungsi sebagai distributor
oksigen (O2) bagi jaringan, dan membawa karbon dioksida (CO2) dari jaringan ke
paru-paru (Guyton dan Hall 2008). Terpenuhinya kebutuhan protein dalam ransum
memperlancar pembentukan hemoglobin darah, karena protein pakan tersedia untuk
bersenyawa dengan zat besi untuk membentuk hemoglobin. Hemoglobin merupakan
suatu senyawa organik yang komplek terdiri dari empat pigmen porfirin merah
(heme), masing-masing mengandung atom besi ditambah globin, yang merupakan
protein globular Frandson (1992). Asam pantothenat berperan dalam mensintesis
porphyrin untuk pembentukan hemoglobin (Piliang dan Djojosoebagio 2006).
Pembentukan hemoglobin dimulai dari succinyl-co A yang dibentuk dalam siklus
kreb yang berikatan dengan asam amino glisin untuk membentuk molekul pirol.
Empat pirol bergabung membentuk protoporfirin IX dan bergabung dengan besi
membentuk molekul heme. Heme bergabung dengan protein globin membentuk
rantai hemoglobin (Guyton dan Hall 1997).
tubuh. Leukosit merupakan unit yang aktif untuk menyediakan pertahanan yang
cepat dan kuat terhadap setiap bahan penyebab infeksi (Guyton dan Hall 1997).
Usus Halus
Ketumbar yang diberikan sebagai bahan pakan memiliki khasiat dalam
stimulasi pencernaan. Efek stimulasi ini berpengaruh terhadap kinerja enzim pada
proses pencernaan. Proses metabolisme secara enzimatis di dalamnya mampu
memecah partikel nutrien kompleks seperti karbohidrat, protein, dan lemak
menjadi lebih sederhana. Beberapa enzim yang terdapat pada usus halus terdiri
dari enzim protease (peptidase), maltase, laktase dan sukrease (Pilliang dan
Djojosoebagio 2000). Luas permukaan usus dapat meningkat seiring dengan
bertambahnya jumlah vili usus yang berfungsi untuk penyerapan zat-zat makanan
(Frandson 1992).
Sekum
Sekum adalah bagian atas usus besar yang merupakan suatu kantung buntu
(Frandson, 1992). Suprijatna et al. (2005) menyatakan bahwa pada usus buntu
tidak ada bukti mengenai peran serta dalam pencernaan, hanya sedikit air diserap,
sedikit karbohidrat dan protein dicerna berkat bantuan beberapa bakteri.
Kolon
Panjang usus antara ileocecal dan kloaka disebut dengan rektum, dan
dikenal dengan kolon. Rektum atau kolon memiliki ukuran dan diameter yang
lebih kecil dibandingkan dengan duodenum dan hanya 4% dari total panjang usus
halus (Klasing 1999). Usus besar terdiri atas sekum yang merupakan suatu
kantung buntu dan kolon yang terdiri atas bagian-bagian yang naik, mendatar dan
24
turun (Frandson, 1992). Panjang usus besar pada ayam dewasa berkisar 8−10 cm
(Suprijatna et al. 2005).
Tabel 8. Rataan Panjang, Berat Pencernaan dan Saluran Reproduksi Ayam Petelur
Lohmann brown
Perlakuan
Peubah
R0 R1 R2 R3
Bobot Hidup Akhir
(g ekor-1) 1582.50±91.42 1650.00±82.87 1540.00±77.03 1590.00±42.43
Duodenum
Panjang Relatif (cm
100g-1 BB) 1.99±0.14 1.85±0.22 1.94±0.06 1.86±0.04
Berat (%) 0.40±0.02 0.42±0.04 0.43±0.04 0.39±0.02
Jejenum
Panjang Relatif (cm
100g-1 BB) 4.70±0.46 4.32±0.59 4.60±0.27 4.20±0.17
Berat (%) 0.84±0.12 0.80±0.14 0.80±0.03 0.80±0.07
Ileum
Panjang Relatif (cm
100g-1 BB) 4.23±0.49 3.93±0.19 4.26±0.28 4.08±0.05
Berat (%) 0.78±0.11 0.65±0.03 0.67±0.06 0.74±0.11
Sekum
Panjang Relatif (cm
100g-1 BB) 1.23±0.14 1.08±0.20 1.19±0.11 1.06±0.06
Berat (%) 0.42±0.02 0.41±0.06 0.44±0.07 0.42±0.06
Kolon
Panjang Relatif (cm
100g-1 BB) 0.75±0.08 0.70±0.14 0.70±0.08 0.67±0.05
Berat (%) 0.25±0.09 0.33±0.10 0.27±0.02 0.25±0.01
Saluran reproduksi
Panjang relatif (cm
100g-1 BB) 4.22±0.14 4.19±0.12 4.38±0.22 4.19±0.19
Berat (%)
4.61±1.18 4.24±0.08 4.85±0.77 5.09±0.42
Keterangan: R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum Kontrol); R1 = ketumbar 1%; R2 =
ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%.
Saluran Reproduksi
Letak ovarium dan oviduk ada di dalam rongga abdomen di bagian kiri
berdekatan dengan ventral aorta dan ginjal bagian depan yang bertautan dengan
dinding perut oleh ligamentum mesoovarium. Proses pembentukan telur
memerlukan waktu 23-26 jam dari tahap pembentukan kuning telur (yolk)
sehingga telur yang siap untuk dikeluarkan. Pembentukan telur akan terganggu
jika ada gangguan paga ayam betina seperti stres, infeksi penyakit, atau pakan
yang tidak cukup baik kualitas maupun kuantitasnya. Ovarium ini merupakan
tempat sintesis hormon steroid seksual, gametogenesis dan perkembangan dan
pemasakan kuning telur (folikel). Pada unggas hanya oviduk kiri yang
berkembang dan berfungsi, sedangkan pada bagian kanan mengalami ridimenter.
Oviduk adalah tempat menerima kuning telur masak, sekresi putih telur, dan
pembentukan kerabang telur (Yuanta, 2010; Fadilah dan Polana, 2011).
25
Tabel 9. Rataan Bobot dan Persentase Organ Dalam Ayam Petelur Lohmann
brown
Peubah Perlakuan
R0 R1 R2 R3
Bobot Hidup Akhir
(g ekor-1) 1582.50±91.42 1650.00±82.87 1540.00±77.03 1590.00±42.43
Jantung
(g) 6.93±1.00 6.46±0.58 6.66±0.45 6.98±0.74
(%) 0.44±0.04 0.39±0.04 0.43±0.02 0.44±0.05
Hati
(g) 30.75±2.21 30.79±5.35 26.63±1.22 27.31±1.15
(%) 1.95±0.25 1.88±0.38 1.74±0.13 1.73±0.10
Empedu
(g) 1.21±0.30 0.98±0.30 1.04±0.44 0.83±0.13
(%) 0.08±0.02 0.06±0.02 0.07±0.03 0.05±0.01
Gizzard
(g) 20.78±1.58 23.11±2.49 22.34±0.40 21.04±1.06
(%) 1.32±0.09 1.41±0.17 1.46±0.08 1.33±0.08
Ginjal
(g) 8.44±0.25 9.28±1.83 8.24±1.35 10.04±1.36
(%) 0.54±0.04 0.56±0.10 0.54±0.09 0.63±0.08
Limpa
(g) 3.49±1.15 3.06±0.27 3.26±0.13 2.88±0.56
(%) 0.22±0.07 0.19±0.02 0.21±0.02 0.18±0.04
Pankreas
(g) 3.30±0.31 3.06±0.55 3.26±0.32 3.03±0.43
(%) 0.21±0.01 0.19±0.04 0.22±0.03 0.19±0.03
Keterangan: R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum Kontrol); R1 = ketumbar 1%; R2 =
ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%.
Jantung
Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang bentuknya
menyerupai kerucut. Dinding jantung terdiri atas tiga lapis yaitu suatu selimut
serosa luar yang disebut epikardium, suatu lapis endotelial dalam yang disebut
dengan endokardium, dan suatu lapis muskular tebal yang disebut dengan
miokardium (Frandson, 1992). Menurut Akoso (2003) jantung adalah organ otot
yang memegang peranan penting didalam peredaran darah.
Hati
Berat hati ayam petelur umur 32 minggu yang diberi biji africana adalah
1.48-1.86 g 100g-1 berat badan (Apata 2004). Klasing (1999) menyatakan bahwa
hati mempunyai dua lobus primer, hati merupakan tempat utama dalam proses
absorbsi nutrien dan produksi dari asam empedu dan garam empedu. Fungsi hati
26
adalah mensekresikan cairan empedu, menetralkan kondisi asam dari saluran usus
dan mengawali pencernaan lemak dengan membentuk emulsi.
Empedu
Empedu merupakan organ pencernaan tambahan yang volume atau beratnya
dipengaruhi oleh status nutrisi unggas, tipe pakan yang dikonsumsi, alian darah
dan sirkulasi empedu enterohepatic (Suprijatna et al. 2005). Menurut Pilliang dan
Djojosoebagio (2002) komposisi cairan empedu adalah garam-garam empedu,
pigmen empedu, kolesterol, lesitin, lemak dan garam organik. Empedu memiliki
fungsi dalam proses penyerapan lemak pakan dan ekskresi limbah produk, seperti
kolesterol dan hasil sampingan degradasi hemoglobin (Suprijatna et al. 2005).
Gizzard
gizzard merupakan organ pencernaan yang mengandung material bersifat
menggiling seperti grit, karang, dan batu kerikil. Partikel pakan yang masuk
kedalam pencernaan segera digiling menjadi partikel kecil yang mampu melalui
usus halus. Material usus halus akan masuk rempela kemudian akan keluar lagi
dalam beberapa menit, sedangkan material kasar akan tinggal di rempela untuk
beberapa jam (Suprijatna et al. 2005).
Tabel 10. Perhitungan Ekonomi Nilai Income Over Feed Cost Ayam Petelur
Strain Lohmann Brown Selama 6 Minggu
Uraian Keterangan R0 R1 R2 R3
Konsumsi Pakan (kg
Ekor-1 ) a 4.387 4.312 4.298 4.249
Harga Pakan (Rp kg-1) b 6456 6756 7056 7356
Biaya Pakan (Rp Ekor-
1
) (axb)= A 28320.28 29129.72 30268.10 31253.52
Produksi Telur Massa
1.82772 1.82523 1.91737 1.90588
kg Ekor) -1 c
Harga Telur (Rp kg-1) d 20000 21000 21000 21000
Pendapatan (Rp Ekor-1) (cxd) = B 36554.40 38329.83 40264.77 40023.48
IOFC (Rp Ekor-1 6
Minggu-1) B─A 8234.12 9200.11 9940.23 8769.96
Keterangan: R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum Kontrol); R1 = ketumbar 1%; R2 =
ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%.
Secara garis besarnya dapat dilihat pada Tabel 10 bahwa untuk menghasilkan 1 kg
telur, biaya pakan yang diperlukan sebanyak Rp 6456 dengan produksi massa
1.83 kg ekor-1 untuk ransum kontrol (R0). Biaya pakan Rp 6756 dengan produksi
massa 1.83 kg ekor-1 untuk ransum R1, Biaya pakan Rp 7056 dengan produksi
massa 1.92 kg ekor-1 untuk ransum R2 dan Biaya pakan Rp 7356 dengan produksi
massa 1.91 kg ekor-1 untuk ransum R3. Sehingga IOFC yang diperoleh/kg telur
ayam yang disuplementasi ketumbar 0% lebih rendah (Rp 8234.12) jika
dibandingkan dengan IOFC ransum dengan suplementasi ketumbar 1-3%
berturut-turut adalah (Rp 9200.11; 9940.23; 8769.96). Sedangkan pada ransum
yang disuplementasi ketumbar 2% IOFC (Rp 9940.23) lebih tinggi daripada
ransum yang disuplementasi ketumbar sebanyak 3% (Rp 8769.96). Hasil
perhitungan IOFC yang lebih tinggi adalah ransum R2 tetapi tidak berbeda jauh
dengan ransum R1. Sedangkan pemberian suplementasi ketumbar 3% adalah lebih
tinggi jika dibandingkan dengan tanpa suplementasi ketumbar (R0).
Meningkatnya produksi akan berkorelasi positif dengan meningkatnya pendapatan
khususnya pada suplementasi ketumbar 2%. Menurut (Muslim et al. 2012),
menurunnya nilai IOFC dipengaruhi oleh peningkatan konsumsi ransum dan
penurunan produksi telur dan massa telur.
28
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Burke RW, Diamondstone BI, Velapoldi RA, Menis O. 1974. Mechanisms of the
Liebermann- Burchard and Zak Color Reactions for Cholesterol. Clin.
Chem. 20: 794-801.
Campbell TW., Mary AT, Glade W. 2012. 19. Veterinary Hematology and
clinical chemistry. 2nd ed. Fort Collins, Colorado, USA.
Cayan H, Erener G. 2015. Effect of Olive Leaf (Olea europaea) Powder on
Laying Hens Performance, Egg Quality and Egg Yolk Cholesterol
Levels. Asian-Aust J Anim Sci. 28(4):538-543.
Challenger WO, Williams TD, Christians JK, Vezina F. 2001. Follicular
development and plasma yolk precursor dynamics through the laying
cycle in the European starling (Sturnus vulgaris). J Physiol Biochem
Zool. 74:356-365.
Chen J, Balnave D, (2001). The influence of drinking water containing sodium
chloride on performance and eggshell quality of a modern, colored layer
strain. Int J Poult Sci. 80:91-94.
Chen YJ, Cho JH, Yoo JS, Wang Y, Huang Y and Kim IH. 2008. Evaluation of
δ-Aminolevulinic Acid on Serum Iron Status, Blood Characteristics, Egg
Performance and Quality in Laying Hens. Asian-Aust J Anim Sci. Vol.
21, No. 9 : 1355 – 1360.
Clunies M, Parks D, Leeson S. 1992. Calcium and phosphorus metabolism and
eggshell thickness in laying hens producing thick or thin shells. J Poul
sci. 71: 490 – 498.
Christaki E, Eleftherios Bonos, Ilias Giannenas & Panagiota Florou-Paneri. 2012.
Aromatic Plants as a Source of Bioactive Compounds. J Agri 2, 228-
243.
Christaki E, Bonos E, Florou-Paneri P. 2011a. Effect of dietary supplementation
of olive leaves and/or tocopheryl acetate on performance and egg quality
of laying Japanese quail (Coturnix japonica). Asian J Anim Vet Adv.
6:1241-1248.
Dellman HD, EM Brown. 1992. Histologi Veteriner: R Hartono penerjemah.
Universitas Indonesia, Jakarta.
Doyon GM, Bernier C, Hamilton RMG, Eastaigns F, Ramdald CT. 1986. Egg
quality 2: Albumen quality of egg from five commercial strains of White
Leghorn hens during one year of lay. J Poult Sci. 65:63–66.
Fadilah R, Polana A. 2011. Mengatasi 71 Penyakit Pada Ayam. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi Ke-4 Terjemahan: B.
Srigandono dan Koen Praseno. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Guler T, Ertas ON, Ciftci M, Dalkhe B. 2005. The effect of coriander seed
(Coriandrum sativum L.) as diet ingredient on the performance of
Japanese quail. South-African J Anim Sci. 35: 260-266.
Guyton AC. 1983. Fisiologi Kedokteran. Ed. Ke-5. CV. EGC. Penerbit Buku
Kedokteran, Jakarta.
Guyton AC, Hall JE. 1997. Sel Darah Merah, Anemia, dan Polisitimia. Didalam
Fisiologi Kedokteran. Penerjemah; Irawati, Tengadi LMA, Santoso A.
Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.
31
Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. Ke-11.
Penerjemah; Irawati et al, 2006. Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Jakarta.
Hammershoj M, Kidmose U, Steenfeldt S. 2010. Deposition of carotenoids in egg
yolk by short-term supplement of coloured carrot (Daucus carota)
varieties as forage material for egg-laying hens. J Sci Food Agric
90(7):1163-1171.
Hardianto, Suarjana IGK, Rudyanto MD. 2012. Pengaruh suhu dan lama
penyimpanan terhadap kualitas telur ayam kampung ditinjau dari angka
lempeng total bakteri. Indon medic veter 1(1): 71-84 ISSN: 2301-7848.
Hermana W, Toharmat T, Sumiati, Manalu W. 2014. Performances and egg
quality of quail offered feed containing sterol from katuk (Sauropus
androgynus) and mulberry (morus alba) leaf meal. IJPS 3:168-172.
Hernandez F, Madrid J, Garcia V, Orengo Jand, Megias MD. 2004. Influence of
two plant extract on broiler performance, digestibility and digestive
organ size. Int J Poult Sci. 83:169-174.
Hosseinzadeh H. Ali AAQ, Alireza S, David N, David B. 2014. Effects of
Different Levels of Coriander (Coriandrum sativum) Seed Powder and
Extract on Serum Biochemical Parameters, Microbiota, andImmunity in
Broiler Chicks. J Scientific world. 11:628979.
Hu CH, Zuo AY, Wang DG, Pan HY, Zheng WB, Qian ZC, Zou XT. 2011.
Effects of broccoli stems and leaves meal on production performance and
egg quality of laying hens. J Anim Feed Sci Tech. 170 (2011) 117–121.
Isao K, Ken-Ichi F, Aya K, Ken-Ichi N, Tetsuya A. 2004. Antimicrobial activity
of coriander volatile compound against Salmonella choleraesuits. J Agric
Food Chem. 52: 3329-3332.
Kebreab E, France J, Kwakkel RP, Leeson S, Kuhi HD, Dijkstra J. 2009.
Development and evaluation of a dynamic model of calcium and
phosphorus flows in layer. Int J Poult Sci. 88:60–68.
Khani, Tahere R. 2012. Chemical Composition and Insecticidal Activity of
Essential Oil fromCoriandrum sativum Seeds against Tribolium
confusum and Callosobruchus maculatus. International Scholarly
Research Network ISRN Pharmaceutics.
King’ori AM. 2011. A review of the uses of poultry eggshells and shell
membranes. Int J Poult Sci. 10: 908-912.
Klasing, K. C. 1999. Comparative Avian Nutrition. CABI Publishing, Wallingford,
UK.
Lesson S, Summers J. 2001. Nutrition of the Chicken.4th Ed. Departement of
Animal and Poultry Science, University Guelp.University Books,
Canada. CA.
Leeson S, Summers J. 2005. Commercial Poultry Nutrition.3rd Ed. Departement
of Animal and Poultry Science, University Guelp.University Books,
Canada. CA.
Li-Chan ECY, Kim HO. 2007. Structure and Chemical Compositions of Eggs.
Egg Bioscience and Biotechnology: Di dalam: editor, John Wiley &
Sons, Inc.: 1-95.
Li H, Liji J, Feifei W, Philip T, Xiaoyu L, Jianson Y, Sizhao L, Shuying L,
Yongping X. 2012. Effect of Red Pepper (Capsicum frutescens) Powder
32
Wagner CE, Prevolsek JS, Wynne KE, Williams TD. 2008. Hematological
changes associated with egg production: estrogen dependence and
repeatibility. J Exp Biol. 211: 400-408.
Windisch W, Schedle K, Plitzner C, Kroismayr A. 2008. Use of phytogenic
products as feed additives for swine and poultry. J Anim Sci. 86:140–148.
Yılmaz I. 2010. Carotenoids. J. Inonu Uni. Med. Fac. 17:223-231.
Yuwanta T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Yuwanta T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Kanisius. Yogyakarta.
Zangeneh S, Torki M. 2011. Effects of b-mannanase supplementing of olive pulp
included diet on performance of laying hens, egg quality characteristics,
humoral and cellular immune response and blood parameters. Global Vet.
7:391-398.
Zulkifli I, Norma MTC, Chong CH, Loh TC. 2000. Heterophil to lymphocyte
ratio and tonic immobility reactions to preslaughter handling in broiler
chickens treated with ascorbic acid. J Poult Sci. 79: 401-406.
35
LAMPIRAN
Lampiran 2. Analisis ragam konsumsi nutrien ayam petelur umur 43-48 minggu
Parameter Sumber
Derajat Jumlah Kuadrat
Keragaman F. hit (Sig)
(SK) Bebas (db) Kuadrat (JK) Tengah (KT)
Lampiran 3. Analisis ragam kualitas fisik dan kimia telur ayam petelur
Sumber
Derajat Jumlah Kuadrat
Parameter Keragaman F. hit (Sig)
(SK) Bebas (db) Kuadrat (JK) Tengah (KT)
Haugh unit Perlakuan 3 2.201 0.734 1.567 0.249
Galat 12 5.620 0.468
Total 15 7.822
Berat putih
Perlakuan 3 1.994 0.665 0.305 0.822
telur (g)
Galat 12 26.184 2.182
Total 15 28.178
38
Berat putih
Perlakuan 3 3.248 1.083 0.724 0.557
telur (%)
Galat 12 17.931 1.494
Total 15 21.179
Berat
kuning Perlakuan 3 1.153 0.384 2.029 0.164
telur (g)
Galat 12 2.273 0.189
Total 15 3.426
Berat
kuning Perlakuan 3 3.786 1.262 1.173 0.361
telur (%)
Galat 12 12.911 1.076
Total 15 16.697
Skor
kuning Perlakuan 3 1.688 0.562 9.000 0.002
telur
Galat 12 0.750 0.062
Total 15 2.438
berat
kerabang Perlakuan 3 0.116 0.039 0.963 0.442
(g)
Galat 12 0.483 0.040
Total 15 0.600
berat
kerabang Perlakuan 3 0.673 0.224 1.438 0.280
(%)
Galat 12 1.871 0.154
Total 15 2.543
Tebal
Perlakuan 3 0.000 0.000 0.158 0.923
kerabang
Galat 12 0.000 0.000
Total 15 0.000
Warna
Perlakuan 3 0.500 0.167 0.80 0.517
kerabang
Galat 12 2.50 0.208
Total 15 3.00
Lemak Perlakuan 3 6.637 2.212 1.976 0.171
39
Uji lanjut Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap skor kuning telur (P<0.05)
Superskrip
Perlakuan N
b a
0 4 9.2500
1 4 10.0000
2 4 10.0000
3 4 10.0000
Sig. 1000 1000
Lampiran 4. Analisis ragam hematologi darah ayam petelur umur 43-48 minggu
Sumber
Derajat Jumlah Kuadrat
Paremeter Keragaman F. hit (Sig)
(SK) Bebas (db) Kuadrat (JK) Tengah (KT)
Uji lanjut Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap butir darah putih (P<0.05)
Superskrip
Perlakuan N
b a
0 4 8.4000
1 4 14.1500 14.1500
2 4 17.7000 17.7000
3 4 18.8500
Sig. 0.065 0.327
Panjang
Perlakuan 3 0.678 0.226 1.365 0.300
Jejenum
Galat 12 1.986 0.165
Total 15 2.664
Berat
Perlakuan 3 0.013 0.004 0.358 0.784
jejenum
Galat 12 0.149 0.012
Total 15 0.163
Panjang
Perlakuan 3 0.275 0.092 1.028 0.415
ileum
Galat 12 1.070 0.089
Total 15 1.345
Berat
Perlakuan 3 0.042 0.014 2.048 0.161
ileum
Galat 12 0.082 0.007
Total 15 0.123
Panjang
Perlakuan 3 0.080 0.027 1.366 0.300
sekum
Galat 12 0.236 0.020
Total 15 0.316
Berat
Perlakuan 3 0.002 0.001 0.190 0.901
sekum
Galat 12 0.039 0.003
Total 15 0.041
Panjang
Perlakuan 3 0.015 0.005 0.547 0.660
kolon
Galat 12 0.109 0.009
Total 15 0.124
Berat
Perlakuan 3 0.018 0.006 1.426 0.284
kolon
Galat 12 0.051 0.004
Total 15 0.070
43
Lampiran 6. Analisis ragam organ dalam ayam petelur umur 43-48 minggu
Parameter Sumber Derajat
Jumlah Kuadrat
Keragaman Bebas F. hit (Sig)
(SK) Kuadrat (JK) Tengah (KT)
(db)
Jantung (g) Perlakuan 3 0.909 0.303 0.530 0.670
Galat 12 6.854 0.571
Total 15 7.763
Jantung (%) Perlakuan 3 0.006 0.002 1.581 0.245
Galat 12 0.015 0.001
Total 15 0.021
Hati (g) Perlakuan 3 58.708 19.569 2.154 0.174
Galat 12 109.036 9.086
Total 15 167.744
Hati (%) Perlakuan 3 0.143 0.048 0.835 0.500
Galat 12 0.686 0.057
Total 15 0.829
Empedu (g) Perlakuan 3 0.309 0.103 1.043 0.409
Galat 12 1.184 0.099
Total 15 1.492
Empedu
Perlakuan 3 0.002 0.001 0.935 0.454
(%)
Galat 12 0.007 0.001
Total 15 0.009
Gizzard (g) Perlakuan 3 14.570 4.857 1.945 0.176
Galat 12 29.958 2.497
Total 15 44.529
Gizzard (%) Perlakuan 3 0.058 0.019 1.491 0.267
Galat 12 0.156 0.013
Total 15 0.214
Ginjal (g) Perlakuan 3 8.199 2.733 1.540 0.255
Galat 12 21.298 1.775
Total 15 29.497
Ginjal (%) Perlakuan 3 0.025 0.008 1.308 0.317
Galat 12 0.078 0.006
Total 15 0.103
44
RIWAYAT HIDUP