Anda di halaman 1dari 14

8

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Landasan Teori

1. Belajar dan Pembelajaran

a. Belajar

Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakukan melalui

pengalaman (Learning is defined as the modification or strengthening of behavior

through experience) (Hamalik, 1995:36). Menurut pengertian tersebut, belajar

merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar

bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas daripada itu, yakni mengalami.

Menurut Hintzman “Belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam

diri organisme (manusia atau hewan) disebabkan oleh pengalaman yang dapat

mempengaruhi tingkah laku organisme” (Syah,1995:90). Sedangkan menurut

Wittig “Belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala

macam atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengamatan”

(Nasution, 1995:35).

Dari beberapa definisi belajar di atas, maka pengertian belajar yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh

seseorang dengan maksud agar terjadi perubahan tingkah laku pada dirinya,

sehingga ada perbedaan dengan keadaan sebelum belajar. Dalam proses belajar

terdapat proses pengulangan dan latihan, selain itu keberhasilan seseorang dalam

belajar didukung oleh timbul atau tidaknya perasaan senang atau puas ketika dan

setelah belajar. Perasaan tidak senang bisa ditiadakan, bila ada usaha tertentu

untuk menciptakan kondisi yang membuat seseorang mau belajar. Disinilah

8
9

peranan para pendidik diperlukan dalam membantu siswa agar lebih tertarik untuk

belajar.

b. Pembelajaran

Hamalik (1995:57) mendefinisikan “Pembelajaran adalah suatu kombinasi

yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan,

dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Hamalik

(1995:65) juga menyebutkan tiga ciri khas yang terkandung dalam sistem

pembelajaran yaitu sebagai berikut.

1) Rencana, ialah penataan ketenangan, material, dan prosedur, yang merupakan

unsur-unsur sistem pembelajaran dalam suatu rencana khusus.

2) Kesaling tergantungan (interdepence), antara unsur-unsur sistem pembelajaran

yang serasi dalam suatu keseluruhan. Tiap unsur bersifat esensial, dan masing-

masing memberikan sumbangannya kepada sistem pembelajaran.

3) Tujuan, sistem pembelajaran mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai.

Tujuan utama sistem pembelajaran adalah agar siswa belajar.

Briggs menjelaskan bahwa pembelajaran adalah seperangkat peristiwa

yang mempengaruhi si belajar sedemikian rupa sehingga si belajar itu

memperoleh kemudahan dalam berinteraksi berikutnya dengan lingkungan

(Sugandi & Haryanto, 2004:9).

Menurut Mendigers dalam Sugandi & Haryanto (2004:9) terdapat enam

prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran agar anak mudah dan berhasil

dalam belajar, enam prinsip tersebut dijelaskan sebagai berikut.


10

1) Prinsip aktifitas mental

Belajar adalah aktifitas mental, oleh karena itu pembelajaran hendaknya dapat

menimbulkan aktifitas mental. Tidak hanya mendengar, mencamkan dan

sebagainya tetapi lebih menyeluruh baik aspek kognitif, afektif, maupun

psikomotorik.

2) Prinsip penyesuaian perkembangan anak

Anak akan lebih tertarik perhatiannya bila bahan pelajaran disesuaikan dengan

perkembangan subyek belajar.

3) Prinsip Appesepsi

Prinsip ini memberikan petunjuk bahwa saat guru mengajar hendaknya

mengaitkan materi yang akan dipelajari dengan apa yang sudah diketahui.

Dengan cara tersebut subyek belajar akan lebih tertarik sehingga bahan

pelajaran mudah diserap. Pelajaran lebih bermakna bila guru menghubungkan

materi pelajaran dengan penyajian “advance organizer”, yaitu

menghubungkan materi pelajaran pokok dengan konteks yang lebih luas dan

bermakna.

4) Prinsip peragaan

Prinsip peragaan memberikan pedoman bahwa dalam mengajar hendaknya

didunakan alat peraga. Dengan alat peraga proses belajar mengajar tidak

verbalistis.

5) Prinsip aktifitas motorik

Belajar yang dapat menimbulkan aktifitas motorik para subyek belajar seperti

menulis, menggambar, melakukan percobaan, mengerjakan tugas latihan, akan

menimbulkan kesan dan hasil belajar yang lebih mendalam.


11

6) Prinsip motivasi

Motifasi memegang peranan penting dalam belajar. Makin kuat motifasi

seseorang dalam belajar maka akan makin optimal dalam melakukan aktifitas

belajar. Dengan kata lain intensitas proses pembelajaran sangat ditentukan

oleh motivasi.

2. Kurikulum Berbasis Kompetensi

a. Pengertian

Kurikulum berbasis kompetensi adalah seperangkat rencana dan

pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa,

penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan

dalam pengembangan kurikulum sekolah (Nurhadi, 2004:16).

b. Ciri Utama

Kurikulum berbasis kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

1) Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual

maupun klasikal.

2) Berorientasi hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.

3) Penyampaian pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang

bervariasi.

4) Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang

memenuhi unsur edukatif.

5) Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan

atau pencapaian suatu kompetensi. (Nurhadi, 2004:16)


12

c. Penilaian Hasil Belajar

Penilaian kelas merupakan bagian integral dari kegiatan pembelajaran

yang di lakukan oleh guru. Penilaian kelas dalam kurikulum berbasis kompetensi

memiliki orientasi sebagai berikut :

1) Acuan/Patokan

Semua kompetensi perlu dinilai menggunakan acuan kriteria berdasarkan pada

indikator hasil belajar. Sekolah dan madrasah menetapkan kriteria sesuai

dengan kondisi dan kebutuhannya.

2) Ketuntasan Belajar

Pencapaian hasil belajar ditetapkan dengan ukuran dan tingkat pencapaian

kompetensi yang memadai dan dapat dipertanggung jawabkan sebagai

prasyarat penguasaan kompetensi lebih lanjut.

3) Multi Alat dan Cara Penilaian

Penilaian mengguanakan berbagai alat dan cara, yaitu tes dan non-tes untuk

memantau kemajuan dan hasil belajar peserta didik.

4) Kriteria Penilaian

Penilaian memberikan informasi yang akurat tentang pencapaian kompetensi

dasar peserta didik, adil terhadap semua peserta didik, terbuka bagi semua

pihak, dan dilaksanakan secara terencana, bertahap, dan terus-menerus untuk

memperoleh gambaran tentang perkembangan belajar peserta didik.

d. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Analisis perbandingan kurikulum yang dilakukan pada awal tahun ajaran

2006/2007 terhadap dokumen kurikulum 2004 (Kerangka Dasar Kurikulum,

Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Indikator dan Materi Pokok serta


13

berbagai pedoman untuk mendukung kegiatan pembelajaran) dengan dokumen

KTSP produk BNSP (Standar isi, Standar Kompetensi Lulusan, dan panduan

penyusunan KTSP) menunjukkan tidak ada perubahan drastis dari Kurikulum

2004 untuk menjadi KTSP (Manthovani, 2007:3). Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan pada dasarnya merupakan kurikulum yang berbasis kompetensi,

perbedaannya terletak pada pembuatnya, jika Kurikulum 2004 disusun oleh pusat,

maka KTSP disusun oleh sekolah (Baedhowi, 2007:7).

3. Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning

Vernon Harword menyatakan “Knowledge is obtained from study, from books

and lectures, from asking questions, and from attentive observation. But knowing is

quite a different thing. It is the inward experiencing of acquire knowledge”

(Gunawan, 2003:175). Menanggapi pernyataan tersebut, pemahaman tentang

pengetahuan baru akan diperoleh siswa setelah mereka memiliki pengalaman atas

pengetahuan yang diperoleh. Dalam proses belajar mengajar di kelas, pengalaman

tersebut dapat diperoleh dengan menghadirkan sebagian kecil permasalahan dalam

kehidupan nyata yang disimulasikan dalam proses pembelajaran yang berlangsung

alamiah dalam bentuk kegiatan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan transfer

pengetahuan dari guru ke siswa. Widiastono (2004:128) menuliskan, berdasarkan

teori konstruksivisme yang menekankan bahwa pengetahuan merupakan bentukan

siswa, peran guru lebih ditekankan sebagai fasilitator yang membantu dan

memfasilitasi siswa agar belajar sendiri membangun pengetahuan mereka. Sebagai

fasilitator, diharapkan guru bersikap dialogis, mendengarkan, memberikan

kesempatan kepada siswa untuk lebih aktif belajar, menggali, dan mengungkapkan

gagasan dan ide mereka, sehingga mampu meningkatkan ketrampilan berpikir siswa.
14

Dalam konteks saat ini, guru berperan sebagai pendamping siswa dalam pencapaian

kompetensi yang diharapkan.

Model pembelajaran CTL merupakan model pembelajaran yang melandaskan

diri pada prinsip konstruktivisme, artinya CTL memenuhi kriteria yang disebutkan di

atas.

a. Pengertian

Contextual Teaching and Learning adalah suatu konsep belajar di mana

guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa

membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya

dalam kehidupan mereka sehari-hari, sementara siswa memperoleh pengetahuan

dan ketrampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses

mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal memecahkan masalah dalam kehidupannya

sebagai anggota masyarakat (Nurhadi dkk., 2004:13).

b. Komponen Utama Pembelajaran CTL

Pembelajaran dengan menerapkan model CTL melibatkan tujuh komponen

utama yang dijelaskan sebagai berikut.

1) Konstruktivisme (Constructivism)

Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran CTL,

yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang

hasilnya diperoleh melalui konteks yang terbatas (sempit) bukan secara tiba-

tiba. Dengan dasar tersebut, pembelajaran harus dikemas menjadi proses

mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Demikian halnya dalam proses

pembelajaran matematika, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka


15

melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar, siswa yang menjadi

pusat kegiatan, bukan guru.

2) Menemukan (Inquiry)

Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis

kontekstual, dimana pengetahuan dan ketampilan yang diperoleh siswa bukan

hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil menemukan sendiri. Guru

diharapkan merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan,

apapun materi yang diajarkan.

3) Bertanya (Questioning)

Questioning merupakan strategi utama pembelajaran kontekstual. Guru

menggunakan pertanyaan untuk menuntun siswa berpikir, bukannya

penjejalan berbagai informasi penting yang harus dipelajari siswa. Bertanya

adalah suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk

menganalisis dan mengeksplorasi gagasan-gagasan. Pertanyaan-pertanyaan

spontan yang diajukan siswa dapat digunakan untuk merangsang siswa

berpikir, berdiskusi, dan berspekulasi.

4) Masyarakat Belajar (Learning Comunity)

Konsep “Masyarakat Belajar” menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh

dari kerja sama dengan orang lain, sharing antara teman, antar kelompok, dan

antara yang tahu dengan yang belum tahu. Dalam masyarakat belajar terjadi

proses komunikasi dua arah, dua kelompok belajar (atau lebih) yang terlibat

dalam komunikasi pembelajaran.

5) Pemodelan (Modeling)

Pemodelan pada dasarnya membahasakan gagasan yang dipikirkan,

mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan para siswanya untuk


16

belajar, dan melakukan apa yang guru inginkan agar siswa-siswanya

melakukan. Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi, pemberian contoh

tentang konsep atau aktivitas belajar. Dalam pembelajaran kontekstual, guru

bukan satu-satunya model, model dapat dirancang dengan melibatkan siswa.

6) Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke

belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Siswa

mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang

baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.

7) Penilaian yang Sebenarnya (Authentic assessment)

Authentic assesment adalah prosedur penilaian dalam pembelajaran

kontekstual. Dengan authentic assesment, siswa dinilai kemampuannya

dengan berbagai cara. Prinsip utama asesmen dalam pembelajaran kontekstual

tidak hanya menilai apa yang diketahui siswa, tetapi juga menilai apa yang

dapat dilakukan siswa. Penilaian itu mengutamakan penilaian kualitas hasil

kerja siswa dalam menyelesaikan suatu tugas.

Pada penelitian ini ketujuh komponen utama pembelajaran kontekstual

menjadi dasar dalam setiap proses pembelajaran di kelas.

4. Tinjauan Lembar Kerja Siswa (LKS)

LKS adalah media cetak yang berupa lembaran kertas yang berisi informasi

soal atau pertanyaan yang harus dijawab siswa. LKS ini sangat baik dipakai untuk

dapat melibatkan siswa dalam belajar, baik dipakai dalam strategi heuristik maupun

strategi ekspositorik. Dalam strategi heuristik, LKS dipakai dalam metode penemuan

terbimbing, sedang strategi ekspositorik, LKS dipakai untuk memberikan latihan


17

pengembangan. LKS sebaiknya dirancang sendiri oleh guru sesuai dengan pokok

bahasan dan tujuan pembelajarannya (Suyitno, 1997:7).

LKS dalam kegiatan belajar mengajar dapat dimanfaatkan pada tahap

penanaman konsep (menyampaikan konsep baru) atau pada tahap pemahaman konsep

(tahap lanjutan dari penanaman konsep). Pada tahap pemahaman konsep, LKS

dimanfaatkan untuk mempelajari suatu topik dengan maksud memperdalam

pengetahuan tentang topik yang telah dipelajari sebelumnya yaitu pada penanaman

konsep.

B. Sistim peralatan dan perlengkapan hidup manusia atau sistim teknologi.

Teknologi adalah semua cara atau alat yang dipergunakan manusia untuk
memenuhi kebutuhannya yang meliputi alat-alat produksi, distribusi dan transportasi,
wadah dan tempat untuk menyimpan makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan,
tempat berlindung dan perumahan serta senjata.
Lewis Henry Morgan (1963) tentang perubahan teknologi manusia sebagai
berikut :
1. Zaman liar bawah (lower savagery), yaitu sejak manusia ada dipermukaan bumi
sampai ia mengenal bahasa.
2. Zaman liar tengah (middle savagery), yaitu ditandai dengan adanya kemampuan
membuat api dan berakhir dengan adanya kemampuan manusia membuat busur dan
panah.
3. Zaman liar atas (apper savagery) dari mulai membuat busur dan panas sampai
menemukan peralatan tembikar.
4. Zaman beradab bawah (lower barbarisan) mulai dari kemampuan membuat tembikar
sampai mengenal budidaya tumbuhan dan pemeliharaan binatang ternak.
5. Zaman beradab tengah (middle barbarisan) mulai dari pengenalan budidaya tanaman
dan hewan sampai kemampuan bertani secara menetap dan mengenal sistim irigasi.
6. Zaman beradab atas (upper barbarisan) mulai dari kemampuan membuat irigasi yang
berarti pula sudah mengenal pengolanan besi sampai mengenal sistim alpabet.
7. Zaman peradaban (civilization) ditandai dengan penggunaan bahasa, tulisan dan
percetakan sampai sekarang.
18

1. Sejarah Pendidikan Teknologi Pertanian.

Bidang teknologi pertanian secara keilmuan merupakan hibrida dari ilmu teknik
dan ilmu pertanian. Sejarah lahirnya ilmu-ilmu dalam lingkup teknologi pertanian dipicu
oleh kebutuhan untuk pemenuhan pembukaan dan pengerjaan lahan pertanian secara luas
di Amerika Serikat maupun eropa pada pertengahan abad ke-18. Perkembangan
pendidikan tinggi teknologi pertanian di Indonesia yang dimulai awal tahun 1960-an
tidak terlepas dari perkembangan pendidikan tinggi teknik dan dan pertanian sejak
zaman pendudukan Belanda yang memang secara historis meletakkan dasarnya di
Indonesia. Perang dunia I yang terjadi di Eropa telah menyebabkan gangguan hubungan
internasional antara lain, armada sulit untuk masuk ke Samudra Hindia sehingga tenaga-
tenaga ahli yang sebelumnya banyak didatangkan dari Eropa mengalami kesulitan.
Pencetakan tenaga ahli teknik menengah dan tinggi (baik untuk bidang teknik dan
pertanian) menjadi kebutuhan oleh pemerintah Hindia Belanda pada waktu pendudukan
di Indonesia. Untuk mencukupi kebutuhan tenaga terampil bidang pertanian, peternakan
dan perkebunan yang secara intensif dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda di Jawa
dan Sumatra dalam program cultur stelseels pada awal abad ke-19. Untuk pemenuhan
kebutuhan tersebut, maka di Bogor (Buitenzorg) didirikan beberapa lembaga pendidikan
menengah untuk bidang pertanian dan kedokteran hewan, yakni Middlebare Landbouw
Schooll, Middlebare Bosbouw Schooll dan Nederlandssch Indische Veerleeen Schooll.

2. Teknik Pertanian

Teknik pertanian merupakan pendekatan teknik (engineering) secara luas dalam


bidang pertanian yang sangat dibutuhkan untuk melakukan transformasi sumberdaya
alam secara efisien dan efektif untuk pemanfaatannya oleh manusia. Dengan demikian
dalam sistematika keilmuan, bidang teknik pertanian tetap bertumpu pada bidang ilmu
teknik untuk memcahkan berbagai permasalahan di bidang pertanian. Terminologi teknik
pertanian sebagai padanan Agricultural Engineering diperkenalkan di Indonesia pada
paruh 1990-an. Sebelumnya terminologi yang digunakan lebih sempit, yaitu mekanisasi
pertanian yang diadopsi dari Agricultural Mechanization, sejak awal 1990-an bersamaan
dengan pengenalan dan penggunaan traktor untuk program intensifikasi pertanian.
19

Bidang cakupan teknik pertanian antara lain adalah sebagai berikut : Alat dan
mesin budidaya pertanian, mempelajari penggunaan, pemeliharaan dan pengembangan
alat dan mesin budidaya pertanian. Teknik tanah dan air, menelaah persoalan yang
berhubungan dengan irigasi, pengawetan dan pelestarian sumberdaya tanah dan air.
Energi dan Elektrifikasi Pertanian, mencakup prinsip-prinsip teknologi energi dan daya
serta penerapannya dalam kegiatan pertanian. Lingkugan dan bangunan pertanian,
mencakup masalah yang berkaitan dengan perencanaan dan konstruksi bangunan khusus
untuk keperluan pertanian, termasuk unit penyimpanan tanaman dan peralatan, pusat
pengolahan dan sistem pengendalian iklim serta sesuai keadaan lingkungan. Teknik
pengolahan pangan dan hasil pertanian, penggunaan mesin untuk menyiapkan hasil
pertanian, baik untuk disimpan atau digunakan sebagai bahan pangan atau penggunan
lainnya.
Perkembangan ilmu sistem pada tahun 1980-an memberikan imbas pada bidang
teknik pertanian, dengan berkembangnya ranah sistem dan manajemen mekanisasi
pertanian, yang merupakan penerapan manajamen dan analisis sistem untuk penerapan
mekanisasi pertanian. Perkembangan berikutnya, pada abad ke-20 menuju abad ke-21
berkaitan denga ilmu komputasi, teknologi pembantu otak dan otot lewat sistem kontrol,
sistem pakar, kecerdasan buatan berupa penerapan robot pada sistem pertanian,
menjadikan teknik pertanian berkembang menjadi sistem teknik pertanian (Agricultural
System Engineering). Objek formal yang berupa kegiatan reproduksi flora dan fauna
serta biota akuatik didekati lebih luas lagi sebagai sistem hayati/biologis dengan orientasi
pemecahan masalah pertanian secara holistic. Dalam pendekatan ini sumberdaya hayati
berupa mikroba/mikroorganisme turut dijadikan objek formal dalam produksi dan
peningkatan biomassa. Di beberapa perguruan tinggi di Amerika dan Jepang, program
studi atau departemen yang dulu bernama Teknik Pertanian, kini berganti dengan nama
Teknik Sistem Biologis (Biological System Engineering).
( id.wikipedia.org/wiki/Teknologi_pertanian ).

3. Sistem mata pencaharian hidup atau sistim ekonomi.

Sistim ekonomi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang


paling mendasar, yaitu meliputi berburu dan meramu, perikanan, bercocok tanam,
peternakan, serta perdagangann tetapi berdasarkan tingkat teknologi yang dipergunakan
sistim ekonomi dibagi atas.
20

1. Masyarakat pemburu dan meramu (hunter and gathering)


Ciri-cirinya : hidup berpindah-pindah tempat, ketergantungan terhadap alam tinggi,
hidup dalam kelompok kecil, peralatan yang dipergunakan sederhana, perbedaan
sosial berdasarkan jenis kelamin dan usia, pemilikan barang bersama (komunal) dan
biasanya bersifat eksagamus (perkawinan dengan anggota diluar kelompoknya)
2. Pertanian berpindah-pindah atau berladang (primitive farming)
Mereka sudah mengenal pembudidayaan tumbuhan walau masih hujan sebagai
sumber pengairan, belum mengenal pupuk atau pemilihan benih, lahan pertanian
dipilih hutan-hutan asli dekat sumber air, tumbuhan hutan ditebang ranting dan
daunnya dibakar, tanah langsung ditanami tanpa diolah terlebih dahulu, peralatan
sederhana, penggunaan lahan relatif pendek, yaitu 2 atau 3 kali panen, lalu
ditinggalkan mencai lahan hutan baru, hasil produksi untuk memenuhi kebutuhan
sendiri.
3. Pertanian intensif (intensice farming)
Hidup menetap (sedenter), sudah mempergunakan alat bantu hewan, sudah mengenal
pemeliharaan tanaman, irigasi, usaha peningkatan kesuburan lahan, dan pemilihan
benih.
4. Industri (manufacturing)

4. Usaha mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi.
Industri didirikan dengan penggunaan mesih-mesin mulai yang sederhana sampai
modern.

Dalam perindustrian barang-barang atau hasil produksi ada tiga macam cara, yaitu :

1) Barter atau tukar menukat barang


Sistim ini biasanya terdapat pada masyarakat yang masih sederhana, dimana sistim
uang belum dikenal misal : seseorang yang punyai singkong ditukar dengan S1 B
yang punya daging. Dalam pertukaran ini tidak dilihat nilai barangnya, yang penting
kebutuhan terpenuhi. Dalam, antropologi disebut seciprocity, yaitu pemberian yang
mengharapkan balasan dalam bentuk barang yang berbeda atau sama.
21

2) Redistribusi.
Barang-barang produksi kumoulkan oleh seseorang atau sekelompok orang
berwenang, kemudian dibagikan lagi. Hal ini terjadi pula pada masyarakat moden
misalnya pajak. Uang dikumpulkan oleh badan tertentu, kemudian disalurkan kembali
ke masyarakat dalam bentuk jalan, pembangunan sekolah, jembatan dan sebagainya
sama dengan zakat dalam agama islam.
3) Sistim Pasar
Yaitu proses menjual dan membeli barang disuatu tempat dengan mempergunakan
alat tukar yakni uang. Sistim pasar diduga mulai timbul pada masyarakat bertani
menetap. Pada masa pertanian menetap, sudah mengenal adanya surplus atau
kelebihan hasil produksi.

Anda mungkin juga menyukai