Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peran guru dalam dunia pendidikan sangat berpengaruh dengan sukses atau tidak
terhadap pendidikan tersebut kedepannya. Bagaikan kapal yang sedang berlayar, guru
adalah nahkoda yang mengarahkan, membimbing dan memberi petunjuk ke awak
kapalnya agar kapal tersebut dapat berjalan dengan baik menuju tempat tujuannya. Dalam
pendidikan formal di sekolah, guru memegang kendali penuh terhadap anak didik/peserta
didik dalam kelas. Baik atau tidaknya pembelajaran dalam kelas bergantung pada guru
sebagai ujung tombaknya.
Koswara (2008:2) menyatakan bahwa, “Guru memegang peranan strategis
terutama dalam upaya membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian dan
nilai-nilai yang diinginkan. Dari dimensi tersebut, peranan guru sulit digantikan oleh
yang lain”. Maka dari itu alangkah baiknya dan seharusnya guru memiliki sikap dan sifat
yang baik agar para siswa yang diajarnya dapat meniru dan mencontoh perilaku-perilaku
baik tersebut. Dengan kata lain guru harus memiliki kualitas yang baik untuk menjadikan
pendidikan lebih bermutu.
Guru bukan hanya mampu memberikan pelajaran tentang materi di dalam kelas
namun guru juga harus memiliki kepribadian yang baik untuk diteladani oleh siswanya.
Dengan kepribadian yang baik tersebut nantinya akan memberikan dampak positif
terhadap sikap dan perilaku siswa disekolah. Guru juga harus mampu memilih metode
atau pembelajaran seperti apa yang pas untuk anak didik mereka. Tidak memaksa namun
perlahan membuat anak didik menyukai cara belajar yang diterapkan. Disinilah peran
supervisi diandalkan, untuk dapat mencapai hasil yang maksimal dalam kegiatan belajar
mengajar, baik untuk guru ataupun peserta didiknya.
Supervisi pendidikan atau yang lebih dikenal dengan pengawasan pendidikan
memiliki konsep dasar yang saling berhubungan. Dalam konsep dasar supervisi
pendidikan dijelaskan beberapa dasar-dasar tentang konsep supervisi pendidikan itu
sendiri. Pendidikan berbeda dengan mengajar, pendidikan merupakan suatu proses
pendewasaan yang dilakukan oleh seorang pendidik kepada peserta didik dengan
memberikan stimulus positif yang mencakup kognitif, afektif, dan psikomotor.

1
Sedangkan pengajaran hanya mencakup kognitif saja, artinya pengajaran adalah suatu
proses pentransferan ilmu pengetahuan tanpa membentuk sikap dan kreativitas peserta
didik.
Oleh karena itu, pendidikan haruslah diawasi atau disupervisi oleh supervisor
yang dapat disebut sebagai kepala sekolah dan pengawas lain yang ada di departemen
pendidikan. Pengawasan disini adalah pengawasan yang bertujuan untuk meningkatkan
kinerja para pendidik dan pegawai sekolah lainnya dengan cara memberikan pengarahan-
pengarahan yang baik dan bimbingan serta masukan tentang cara atau metode mendidik
yang baik dan profesional. Dalam perkembangannya, supervisi pendidikan di Indonesia
memberikan sumbangsih pada pendidik untuk memiliki kemampuan mendidik yang
kreatif, aktif, dan inovatif.

1.2 Rumusan Masalah


Dari uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang akan dibahas
dalam penulisan makalah ini adalah:
1.1.1 Bagaimanakah konsep dasar supervisi pendidikan?
1.1.2 Bagaimanakah konsep supervisi untuk mengembangkan keahlian guru?
1.1.3 Bagaimanakah dukungan sekolah untuk mengembangkan keahlian?
1.1.4 Bagaimanakah penerapan supervisi dalam mengembangkan keahlian?

1.3 Tujuan Pembahasan


Tujuan pembahasan dalam makalah ini berisi manfaat yang akan didapat oleh
pembaca melalui penelusuran terhadap masalah-masalah yang dikemukan dalam rumusan
masalah.
1.1.5 Tujuan Fungsional
Melalui tulisan makalah ini, lembaga-lembaga pendidikan dapat memperoleh
landasan atau dasar dalam pengambilan keputusan atau kebijakan berkaitan
dengan paradigma teori dan praktik supervisi pendidikan karena dalam makalah
ini dipaparkan tujuan-tujuan penulisan, antara lain:
1.1.5.1 Untuk mengetahui konsep dasar supervisi pendidikan.
1.1.5.2 Untuk mengetahui konsep supervisi untuk mengembangkan keahlian guru.

2
1.1.5.3 Untuk mengetahui dukungan sekolah untuk mengembangkan keahlian.
1.1.5.4 Untuk mengetahui penerapan supervisi dalam mengembangkan keahlian.
1.3.2 Tujuan Individual
Di samping tujuan fungsional sebagaimana dipaparkan di atas, tulisan makalah ini
juga memberikan manfaat secara individual yaitu menambah ilmu pengetahuan,
mengembangkan wawasan berpikir, dan memberi pengalaman baru terhadap
kajian tentang Supervisi Untuk Mengembangkan Keahlian bagi para pembaca.
Bagi penulis yang tergabung dalam kelompok V, penulisan makalah ini memberi
manfaat pengembangan kaidah wawasan penulis.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Supervisi Pendidikan

2.1.1 Pengertian Supervisi Pendidikan


Supervisi ialah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk
membantu para guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan
secara efektif (Purwanto, 2000). Manullang (2005) menyatakan bahwa supervisi
merupakan proses untuk menerapkan pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan,
menilainya dan bila perlu mengoreksi dengan maksud supaya pelaksanaan
pekerjaan sesuai dengan rencana semula.
Supervisi merupakan usaha memberi pelayanan agar guru menjadi lebih
profesional dalam menjalankan tugas melayani peserta didik. (Donni Juni)
Supervisi merupakan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan teknis edukatif
di sekolah, bukan sekadar pengawasan fisik terhadap fisik material. Supervisi
merupakan pengawasan terhadap kegiatan akademik yang berupa proses belajar
mengajar, pengawasan terhadap guru dalam mengajar, pengawasan terhadap
situasi yang menyababkannya (Dadang Suhardan, 2010).
Supervisi pendidikan menurut Ametembun adalah pembinaan kearah
perbaikan situasi pendidikan atau peningkatan mutu pendidikan (Ametembun,
2010). Supervisi menurut Sahertian telah berkembang dari yang bersifat
tradisional menjadi supervisi yang bersifat ilmiah, sebagai berikut:
a. Sistematis, artinya dilaksanakan secara teratur, berencana, dan secara kontinu.
b. Objek, artinya data yang didapat berdasarkan observasi nyata, bukan
berdasarkan tafsiran pribadi.
c. Menggunakan alat pencatat yang dapat memberikan informasi sebagai umpan
balik untuk mengadakan penilaian terhadap proses pembelajaran di kelas (Piet
Sahertian, 2008).

4
2.1.2 Prinsip-Prinsip Supervisi Pendidikan
Kepala sekolah sebagai supervisor dalam melaksanakan tugasnya harus
memperhatikan prinsip-prinsip supervisi agar dalam pelaksanaan supervisi dapat
berjalan dengan baik dan lancar. Adapun prinsip-prinsip supervisi pendidikan
ialah sebagai berikut:
a. Prinsip Ilmiah
Prinsip ilmiah mengandung ciri-ciri sebagai berikut 1) Kegiatan supervisi
dilaksanakan berdasarkan data objektif yang diperoleh dalam kenyataan
pelaksanaan proses belajar mengajar. 2) Untuk memperoleh data perlu
diterapkan alat perekam data seperti angket, observasi, percakapan pribadi,
dan seterusnya. 3) Setiap kegiatan supervisi dilaksanakan secara sistematis
terencana.
b. Prinsip Demokratis
Bantuan yang diberikan kepada guru berdasarkan hubungan kemanusian yang
akrab dan kehangatan sehingga guru-guru merasa aman untuk
mengembangkan tugasnya. Demokratis mengandung makna menjunjung
tinggi harga diri dan martabat guru, bukan berdasarkan atasan dan bawahan.
c. Prinsip Kerjasama
Mengembangkan usaha bersama atau menurut istilah supervisi “sharing of
idea, sharing of experience” memberi support mendorong, menstimulasi
guru, sehingga mereka merasa tumbuh bersama.
d. Prinsip konstruktif dan kreatif
Setiap guru akan merasa termotivasi dalam mengembangkan potensi
kreativitas kalau supervisi mampu menciptakan suasana kerja yang
menyenangkan, bukan melalui cara-cara menakutkan (Piet Sahertian, 2008).

2.1.3 Tujuan Supervisi Pendidikan


Menurut Piet A. Sahertian dalam bukunya menjelaskan bahwa tujuan
supervisi ialah memberikan layanan dan bantuan untuk meningkatkan kualitas
mengajar guru dikelas yang pada gilirannya untuk meningkatkan kualitas belajar
siswa. Dengan demikian jelas bahwa tujuan supervisi ialah memberikan layanan

5
dan bantuan untuk meningkatkan kualitas belajar siswa, bukan saja memperbaiki
kemampuan mengajar tapi juga mengembangkan potensi kualitas guru.
Pendapat lain dikemukakan oleh Made Pidarta, tujuan supervisi ialah 1)
membantu menciptakan lulusan optimal dalam kuantitas dan kualitas, 2)
membantu mengembangkan pribadi, kompetensi, dan sosialnya, 3) membantu
kepala sekolah mengembangkan program yang sesuai dengan kondisi masyarakat
setempat, 4) ikut meningkatkan kerjasama dengan masyarakat atau komite
sekolah (Pidarta Made, 2009).
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan
diadakannya supervisi adalah untuk mengembangkan situasi belajar mengajar
yang lebih baik dengan cara membantu guru-guru dalam meningkatkan
kinerjanya dalam rangka pembentukan pribadi anak secara maksimal.
Tujuan supervisi salah satunya ialah untuk meningkatan keterampilan
pedagogis guru, dengan tujuan akhir ialah untuk meningkatkan prestasi siswa.
Bahkan sebuah penelitian membuktikan logika yang mendasari prinsip ini. Secara
spesifik, satu fakta yang tidak terbantahkan dalam penelitian tentang kegiatan
pembelajaran sekolah adalah bahwa prestasi siswa di kelas dengan guru yang
sangat terampil lebih baik daripada prestasi siswa di kelas dengan guru yang
kurang terampil.
Tabel 2.1 menggambarkan perolehan persentil yang diharapkan dalam
pencapaian siswa yang dimulai dari persentil ke-50 dalam ruang kelas yang
diajarkan oleh guru dengan berbagai tingkat kompetensi.

Peringkat Persentil Prediksi Perolehan Persentil Peringkat Persentil Yang


Keterampilan Guru Pada Siswa Diprediksi Untuk Siswa
50 0 50
70 8 58
90 18 68
98 27 77
Catatan: Untuk diskusi tentang bagaimana angka-angka ini dihitung, lihat
Marzano dan Waters (2009).

6
Adapun penjelasan table 2.1 ialah sebagai berikut, seorang siswa pada
persentil ke-50 tidak akan diharapkan untuk memperoleh peringkat persentil
(kenaikan) sama sekali di kelas dari seorang guru dengan persentil ke-50 dalam
hal keterampilan pedagogiknya. Namun, seorang siswa pada persentil ke-50 akan
diharapkan untuk maju ke persentil ke-58 di kelas jika diajarkan oleh seorang
guru pada persentil ke-70 dalam hal keterampilan pedagogiknya. Peningkatan
peringkat persentil siswa bahkan lebih besar di ruang kelas guru pada peringkat
persentil ke-90 dan ke-98 dalam hal keterampilan pedagogik mereka. Yang jelas,
semakin terampil guru, semakin besar pula prediksi peningkatan prestasi siswa,
sama halnya dengan implikasi pengawasan. Tujuan utamanya adalah untuk
peningkatan keahlian guru itu sendiri.
Meskipun tidak beralasan mengharapkan semua guru mencapai status
tinggi dari persentil ke-90 atau lebih tinggi terkait keterampilan pedagogik
mereka. Tetapi adalah beralasan juga untuk mengharapkan semua guru
meningkatkan keahlian mereka dari tahun ke tahun. Bahkan peningkatan yang
sedikit saja akan memberikan hasil yang mengesankan. Secara khusus, jika
seorang guru pada persentil ke-50 dalam hal keterampilan pedagogiknya
meningkatkan kompetensinya setiap tahun, pencapaian rata-rata siswanya
diharapkan meningkat delapan poin persentil selama periode 10 tahun. Penulis
percaya bahwa bila dilakukan dengan baik, proses supervisi dapat menjadi
instrumen dalam menghasilkan peningkatan keahlian guru, yang dapat
menghasilkan peningkatan prestasi siswa.

2.1.4 Fungsi Supervisi Pendidikan


Fungsi utama supervisi pendidikan ditujukan pada perbaikan dengan
meningkatkan situasi belajar mengajar. Sehubungan hal tersebut, maka piet A.
Sahertian memberikan 8 fungsi supervisi sebagai berikut: a) Mengkoordinir
semua usaha sekolah. b) Memperlengkap kepemimpinan sekolah. c) Memperluas
pengalaman guru-guru. d) Menstimulasi usaha-usaha yang kreatif. e) Memberi
fasilitas dan penilaian yang terus-menerus. f) Menganalisis situasi belajar-
mengajar. g) Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada setiap anggota

7
staf. h) Memberikan wawasan yang lebih luas dan terintegerasi dalam
merumuskan tujuan-tujuan pendidikan dan meningkatkan kemampuan mengajar
guru-guru.
Dilihat dari fungsi utama supervisi adalah ditujukan pada perbaikan dan
peningkatan kualitas, agar sasaran supervisi terlaksana dalam peningkatan kinerja
secara efektif, maka kemampuan guru perlu ditingkatkan, maka fungsi supervisi
menurut Ametembun terdiri dari:
a. Penelitian
Yaitu fungsi yang harus dapat mencari jalan keluar dari masalah yang
dihadapi.
b. Penilaian
Fungsi penilaian adalah untuk mengukur tingkat kemajuan yang diinginkan,
seberapa besar yang telah dicapai, dan penilaian ini dilakukan dengan
berbagai cara seperti tes, penetapan standar, penilaian kemajuan belajar siswa,
melihat perkembangan hasil penilaian sekolah, serta prosedur lain yang
berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan.
c. Perbaikan
Fungsi perbaikan adalah sebagai usaha untuk mendorong guru baik secara
perseorangan maupun kelompok agar mereka mau melakukan berbagai
perbaikan dalam menjalankan tugas mereka. Perbaikan ini dapat dilakukan
dengan bimbingan, yaitu dengan cara membangkitkan kemauan, memberi
semangat, mengarahkan dan merangsang untuk melakukan percobaan, serta
membantu menerapkan sebuah prosedur mengajar yang baru.
d. Pembinaan
Fungsi pembinaan merupakan salah satu usaha untuk memecahkan masalah
yang sedang dihadapi, yaitu dengan melakukan pembinaan atau pelatihan
kepada guru-guru tentang cara-cara baru dalam melaksanakan suatu proses
pembelajaran, pembinaan ini dapat dilakukan dengan cara demonstrasi
mengajar, workshop, seminar, observasi, konferensi individual dan kelompok,
serta kunjungan sepervisi.

8
2.1.5 Peran Supervisi Pendidikan
Supervisi berfungsi membantu, memberi, mengajak. Dilihat dari
fungsinya, tampak dengan jelas peranan supervisi itu. Seorang supervisor dapat
berperan sebagai:
a. Koordinator
Sebagai koordinator ia dapat mengkoordinasi program belajar mengajar,
tugas-tugas anggota staf berbagai kegiatan berbeda-beda diantara guru-guru.
b. Konsultan
Sebagai konsultan ia dapat memberi bantuan yaitu bersama
mengkonsultasikan masalah yang dialami guru baik secara individual maupun
kelompok.
c. Pemimpin Kelompok
Sebagai pemimpin kelompok ia dapat memimpin sejumlah staf guru dalam
mengembangkan potensi kelompok pada saat mengembangkan kurikulum,
materi pembelajaran dan kebutuhan profesional guru-guru secara bersama.
d. Evaluator
Sebagai evaluator ia dapat membantu guru-guru dalam menilai hasil dan
proses belajar mengajar.
Sehubungan peran supervisor dalam kegiatan supervisi, Ametembun
menyatakan terdapat 4 fungsi supervisor:
1. Supervisor sebagai Peneliti (researcher)
Yaitu meneliti bagaimana keadaan situasi pendidikan yang sebenarnya.
Keadaan situasi pendidikan dapat diketahui dari kesimpulan hasil-hasil
pengolahan yang diperoleh.
2. Supervisor sebagai penilai (evaluator)
Yaitu menilai bagaimana keadaan suatu situasi pendidikan.
3. Supervisor sebagai pemerbaik (improver)
Yaitu mengadakan perbaikan terhadap situasi.
4. Supervisor pengembang (developer)
Yaitu mengembangkan atau meningkatkan situasi, agar keadaan yang sudah
baik menjadi lebih baik.

9
2.1.6 Teknik-Teknik Supervisi Pendidikan
Untuk mempermudah kepala sekolah dalam pelaksanaan kegiatan
supervisi diperlukan teknik-teknik supervisi. Para ahli berbeda-beda dalam
merumuskan tahapan teknik-teknik supervisi akan tetapi pada dasarnya tetap
sama. Secara garis besar teknik supervisi dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Teknik Perseorangan
Yang dimaksud teknik perseorangan ialah supervisi yang dilakukan secara
perseorangan, beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain: Mengadakan
kunjungan kelas (classroom visitation), Kepala sekolah datang ke kelas untuk
mengobservasi bagaimana guru mengajar. Dengan kata lain, untuk melihat
apa kekurangan atau kelemahan yang sekiranya perlu diperbaiki. Mengadakan
kunjungan observasi (observation visits), guru-guru ditugaskan untuk
mengamati seorang guru yang sedang mendemonstrasikan cara-cara mengajar
suatu mata pelajaran tertentu. Kunjungan observasi dapat dilakukan di sekolah
sendiri atau dengan mengadakan kunjungan ke sekolah lain. Membimbing
guru tentang cara-cara mempelajari pribadi siswa atau mengatasi problem
yang dialami siswa. Membimbing guru dalam hal yang berhubungan dengan
pelaksanaan kurikulum sekolah, antara lain: menyusun program semester,
membuat program satuan pelajaran, mengorganisasi kegiatan pengelolaan
kelas, melaksanakan teknik-teknik evaluasi pembelajaran, menggunakan
media dan sumber dalam proses belajar mengajar, dan mengorganisasi
kegiatan siswa dalam bidang ekstrakurikuler. (E & Afriansyah, 2019). Adapun
teknik-teknik supervisi individual ada lima macam yaitu: 1) kunjungan kelas,
2) observasi kelas, 3) pertemuan individual, 4) kunjungan antar kelas, dan 5)
menilai diri sendiri.
2. Teknik Kelompok
Teknik kelompok ialah supervisi yang dilakukan secara kelompok,
beberapa kegiatan yang dapat dilakukan antara lain: Mengadakan pertemuan
atau rapat (meeting), seorang kepala sekolah menjalankan tugasnya
berdasarkan rencana yang telah disusun. Termasuk mengadakan rapat-rapat
secara periodik dengan guru-guru, dalam hal ini rapat-rapat yang diadakan

10
dalam rangka kegiatan supervisi. Mengadakan diskusi kelompok (group
discussions), diskusi kelompok dapat diadakan dengan membentuk kelompok-
kelompok guru bidang studi sejenis.
Di dalam setiap diskusi, supervisor atau kepala sekolah memberikan
pengarahan, bimbingan, nasihat-nasihat dan saran-saran yang diperlukan.
Mengadakan penataran-penataran (inservice-training), teknik ini dilakukan
melalui penataran-penataran, misalnya penataran untuk guru bidang studi
tertentu. Mengingat bahwa penataran pada umumnya diselenggarakan oleh
pusat atau wilayah, maka tugas kepala sekolah adalah mengelola dan
membimbing pelaksanaan tindak lanjut (follow-up) dari hasil penataran.
Menurut Gwynn (1961), ada tiga belas teknik supervisi kelompok
yaitu: 1) kepanitiaan-kepanitiaan, 2) kerja kelompok, 3) laboratorium dan
kurikulum, 4) membaca terpimpin, 5) demonstrasi pembelajaran, 6)
darmawisata, 7) kuliah/studi, 8) diskusi panel, 9) perpustakaan, 10) organisasi
profesional, 11) buletin supervisi, 12) pertemuan dosen atau instruktur, 13)
lokakarya atau konferensi kelompok.

2.2 Sifat Keahlian


Belum lama ini keahlian dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat
dikembangkan. Dalam tinjauannya terhadap literatur sejarah tentang persepsi keahlian,
Murray (1989) menyimpulkan bahwa secara umum diyakini bahwa bakat dianggap
“Hadiah dari para dewa”. Karenanya, bakat yang diberikan oleh para dewa dianggap
sebagai penentu utama keahlian. Seiring waktu, kesalahan dalam perspektif ini
terungkap.
Ericsson dan Charness menjelaskan bahwa “Sungguh mengherankan betapa
sedikit bukti empiris yang mendukung pandangan bakat ahli dan kinerja yang luar biasa”.
Mereka mencatat bahwa selama berabad-abad, hipotesis bakat pasti ditantang setelah
terbukti bahwa individu dapat “Secara dramatis meningkatkan kinerja mereka melalui
pendidikan dan pelatihan jika mereka memiliki dorongan dan motivasi yang diperlukan”.
Hipotesis bakat serupa dengan hipotesis kecerdasan: orang yang sangat cerdas
memiliki kapasitas untuk belajar lebih banyak, lebih cepat. Berdasarkan penelitian

11
tentang keahlian, kami mengusulkan lima kondisi yang harus dipenuhi jika sekolah ingin
mengembangkan keahlian guru secara sistematis, yaitu:

(1) Kompetensi dasar yang dapat diterapkan dengan baik,

(2) Feedback dan praktek,

(3) Observasi dan evaluasi,

(4) Perencanaan dan penilaian,

(5) Pengakuan keahlian.

Kelima elemen ini diperlukan dan didukung oleh kondisi yang memadai untuk
meningkatkan tingkat keahlian guru di suatu sekolah. Dengan kata lain, jika sebuah
sekolah memiliki kelima elemen ini, mereka akan mewujudkan peningkatan keahlian
guru yang akan menghasilkan peningkatan prestasi siswa.

2.2.1 Kompetensi dasar yang dapat diterapkan dengan baik


Kompetensi dasar merupakan prasyarat untuk mengembangkan keahlian
dengan cara yang sistematis dalam domain apa pun. Di semua domain utama telah
ada akumulasi pengetahuan yang stabil tentang metode terbaik untuk mencapai
kinerja tingkat tinggi dan aktivitas praktik terkait yang mengarah ke kinerja ini.
Seperti halnya dengan sektor lainnya, pendidikan telah mengalami
pertumbuhan eksponensial dalam basis pengetahuannya, khususnya mengenai
kompetensi pedagogik yang efektif. Ada banyak upaya untuk menyusun dasar
pengetahuan ini (lihat Hattie, 1992; Hattie, Biggs, & Purdie, 1996; dan Wang,
Haertel, & Walberg, 1993). Basis pengetahuan tersebut dibagi menjadi empat
domain yaitu:
Domain 1: Strategi dan Perilaku Kelas
Domain 2: Perencanaan dan Persiapan
Domain 3: Refleksi Pengajaran
Domain 4: Kolegialitas dan Profesionalisme

12
Domain ini memiliki kemiripan dengan model pengajaran yang sangat
populer yang diusulkan oleh Charlotte Danielson (1996, 2007). Modelnya
mencakup domain berikut:
Domain 1: Perencanaan dan Persiapan
Domain 2: Lingkungan Kelas
Domain 3: Instruksi
Domain 4: Tanggung Jawab Profesional
Meskipun domain tersebut memiliki kemiripan dengan Danielson, terdapat
perbedaan signifikan dalam asumsi hubungan antara domain. Empat domain
menurut Hattie tidak hanya mewakili cara yang layak untuk mengatur penelitian
dan teori tentang pengajaran, tetapi juga mengungkapkan beberapa hubungan
sebab akibat yang penting (lihat peta konsep 2.2).

2.2 Peta Konsep Domain 4: Kolegialitas dan Profesionalisme

Peta konsep 2.2 menunjukkan bahwa strategi dan perilaku kelas (Domain
1) berada di urutan teratas dan memiliki efek langsung pada prestasi siswa.
Dinyatakan secara berbeda, apa yang terjadi di kelas memiliki hubungan kausal
paling langsung dengan prestasi siswa. Di bawah ini strategi dan perilaku kelas
sedang merencanakan dan mempersiapkan (Domain 2). Sesuai dengan namanya,
dimana guru mempersiapkan diri mereka untuk pekerjaan kelas sehari-hari
mereka dengan mengatur konten dalam rencana pembelajarannya.
Tepat di bawah perencanaan dan persiapan adalah Domain 3 yang
merefleksikan pengajaran. Menurut definisi, sebagian besar elemen dalam domain
ini bersifat evaluatif, di mana guru mempertimbangkan wilayah kekuatan dan

13
kelemahan mereka dengan tujuan perbaikan secara keseluruhan. Domain ini
memiliki tautan langsung ke perencanaan dan persiapan. Guru mungkin hanya
akan sedikit meningkatkan kemampuan mereka untuk merencanakan dan
mempersiapkan tanpa secara hati-hati merefleksikan kekuatan dan kelemahan
mereka.
Tanpa pertumbuhan dalam perencanaan dan persiapan, guru akan
mengalami sedikit pertumbuhan dalam strategi dan perilaku kelas yang mereka
terapkan. Akhirnya, sedikit perubahan pada apa yang dilakukan guru di kelas
kemungkinan besar akan menghasilkan sedikit perubahan dalam prestasi siswa.
Domain keempat yaitu kolegialitas dan profesionalisme bukanlah bagian dari
rantai penyebab langsung yang pada akhirnya mengarah pada peningkatan
prestasi siswa. Sebaliknya, ini mewakili budaya profesional di mana domain lain
beroperasi. Domain ini membahas perilaku seperti berbagi praktik efektif dengan
guru lain, membimbing guru lain, dan sejenisnya. Jika domain ini berfungsi
dengan baik, semua pengajar di sekolah menganggap dirinya sebagai bagian dari
tim dengan tanggung jawab kolektif untuk kesejahteraan dan prestasi siswa.

2.2.2 Umpan Balik dan Tindak Lanjut


Unsur kedua yang diperlukan sekolah untuk mengembangkan keahlian
guru secara sistematis adalah umpan balik dan tindak lanjut yang difokuskan.
Tindak lanjut adalah konstruksi yang luas dengan sejumlah elemen penting.
Berkaitan dengan pengembangan keahlian guru, Marzano (2010a) telah mencatat
bahwa tindak lanjut dapat dianggap sebagai konstruksi multifaset. Ericsson et al.
(1993) menjelaskan: “Dengan tidak adanya umpan balik, pembelajaran yang
efisien tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, umpan balik dan tindak lanjut
suatu kegiatan dapat dilakukan untuk mengoptimalkan kembali pembelajaran”.
Penegasan ini cukup konsisten dengan temuan yang dilaporkan oleh Hattie dan
Timperley (2007) dari analisis mereka terhadap 12 meta-analisis yang
menggabungkan 196 studi dan 6.972 ukuran efek. Ukuran efek rata-rata untuk
memberikan umpan balik adalah 0,79, yang mereka catat kira-kira dua kali lipat
ukuran efek rata-rata (0,40) terkait dengan sebagian besar inovasi pendidikan.

14
Agar umpan balik menjadi penting dalam mengembangkan keahlian guru,
umpan balik harus berfokus pada strategi dan perilaku kelas tertentu (Domain 1)
selama interval waktu tertentu. Misalnya, seorang guru tertentu mungkin fokus
pada strategi tertentu atau perilaku dari Domain 1 selama kuartal atau semester
tertentu. Umpan balik kepada guru tersebut selama kuartal atau semester tersebut
akan menjadi strategi atau perilaku spesifik. Gagasan di balik tingkat selektivitas
ini adalah bahwa pengembangan keterampilan membutuhkan fokus. Umpan balik
yang melibatkan terlalu banyak elemen atau terlalu luas memiliki pengaruh yang
kecil.
Dengan umpan balik terfokus pada tempatnya, guru dapat terlibat dalam
praktek terfokus pada elemen penting lainnya dari praktik yang disengaja. Di sini
guru mempraktikkan strategi atau perilaku yang dipilih dengan bereksperimen
dengan variasi kecil dalam teknik untuk menentukan apa yang paling berhasil
dalam situasi khususnya.
Hattie dan Timperley (2007) mengatakan bahwa umpan balik terkait
dengan tindakan atau informasi yang diberikan oleh guru yang memberikan
informasi mengenai aspek kinerja atau pemahaman seseorang. Umpan balik
adalah informasi tentang kesenjangan antara apa yang sudah dipahami dan apa
yang dimaksudkan untuk dipahami, serta bagaimana tindakan selanjutnya yang
harus dilakukan. Umpan balik memiliki banyak fungsi, diantaranya:
meningkatkan keberhasilan, memperbaiki kesalahan, membantu untuk
mengungkap kesalahpahaman, menyarankan perbaikan tertentu, dan memberikan
saran perbaikan untuk masa depan. Semua manfaat tersebut tentunya dalam
berbagai tingkat efektivitas sesuai kondisi. Siapa yang memberikan umpan balik,
apakah itu terkait tugas atau ego, dan bagaimana, serta apakah itu diterima dan
ditindaklanjuti adalah semua faktor dalam efektivitasnya.
Sedangkan, untuk kegiatan tindak lanjut harus ditempuh berdasarkan pada
proses dan hasil belajar siswa. Secara umum kegiatan akhir dan tindak lanjut
pembelajaran yang harus dilakukan oleh guru di antaranya:
1) Menilai hasil proses belajar mengajar.
2) Memberikan tugas/latihan yang dikerjakan di luar jam pelajaran.

15
3) Memberikan motivasi dan bimbingan belajar.
4) Menyampaikan alternatif kegiatan belajar yang dapat di lakukan siswa di luar
jam pelajaran.
5) Berdasarkan hasil penilaian belajar siswa, kemungkinan siswa harus diberikan
program pembelajaran secara perorangan atau kelompok untuk melaksanakan
program pengayaan dan atau perbaikan yang dilakukan di luar jam pelajaran.
Kegiatan tindak lanjut harus dilakukan secara sistematis dan fleksibel,
sehingga dalam prosesnya akan dapat menunjang optimalisasi hasil belajar siswa.

2.2.3 Observasi dan Diskusi


Salah satu aspek yang menarik dari keahlian adalah bahwa keahlian itu
terwujud sebagai perilaku yang bernuansa. Ambady dan Rosenthal (1992, 1993)
menyebut fenomena ini sebagai istilah “irisan tipis perilaku”. Sehubungan dengan
pengajaran, seseorang dapat meningkatkan keahliannya dari waktu ke waktu
mengenai penggunaan strategi-strategi khusus.
Keahlian tidak dapat dengan mudah dijelaskan tetapi dapat diamati dan
dianalisis. Akibatnya, kesempatan untuk mengamati atau observasi dan
mendiskusikan pengajaran yang efektif merupakan bagian penting dari
pengembangan keahlian di antara guru kelas. Jika guru tidak memiliki
kesempatan untuk mengamati dan berinteraksi dengan guru lain, metode mereka
untuk menghasilkan pengetahuan baru tentang mengajar terbatasi.
Adapun observasi kelas adalah mengamati proses pembelajaran secara
teliti di kelas. Tujuannya adalah untuk memperoleh data objektif aspek-aspek
situasi pembelajaran, kesulitan-kesulitan guru dalam usaha memperbaiki proses
pembelajaran. Secara umum, aspek-aspek yang diobservasi yaitu a) usaha-usaha
dan aktivitas guru-siswa dalam proses pembelajaran, b) cara menggunakan media
pengajaran, c) variasi metode, d) ketepatan penggunaan media dengan materi, e)
ketepatan penggunaan metode dengan materi, dan f) reaksi mental para siswa
dalam proses belajar mengajar. Pelaksanaan observasi kelas ini melalui tahap
sebagai berikut persiapan, pelaksanaan, penutupan, penilaian hasil observasi, dan
tindak lanjut.

16
Dalam bukunya A Place Called School, yang merangkum data dari 1.350
guru sekolah dasar dan menengah, Goodlad (1984) melaporkan bahwa “Sekitar
tiga perempat sampel yang kami ketahui bahwa di semua tingkat sekolah
menunjukkan bahwa mereka ingin mengamati guru lain di tempat kerja” (hal.
188). Demikian pula, dalam artikelnya “Isolasi Guru dan Reformasi Baru”,
Flinders (1988) mencatat bahwa meskipun guru bekerja dalam keterbatasan,
mereka mendambakan interaksi profesional dengan guru lain. Interaksi ini
melibatkan mengenai bagaimana mengamati guru lain dan berinteraksi serta
berdiskusi dengan mereka tentang proses belajar mengajar.
Selanjutnya ialah diskusi, tujuan diskusi adalah untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi guru dalam pekerjaannya sehari-hari dan upaya
meningkatkan profesi melalui diskusi. Teknik ini diikuti oleh sejumlah guru dan
satu atau beberapa supervisor. Namun, diharapkan yang terlibat dalam diskusi
adalah para guru, di dalam setiap diskusi, supervisor diharapkan atau kepala
sekolah dapat memberikan pengarahan, bimbingan, nasihat-nasihat, ataupun
saran-saran yang diperlukan.
Adapun ciri-ciri teknik supervisi diskusi:
1. Supervisi bersifat kelompok, yaitu sejumlah guru dan satu atau beberapa
supervisor.
2. Tempat supervisi bisa di sekolah dan bisa juga diluar sekolah.
3. Guru yang disupervisi tidak dalam keadaan mengajar dalam kelas atau
membimbing para siswa belajar.
4. Waktu melaksanakan supervisi bisa mendadak kalau supervisor dan atau guru
menghendaki, atau waktu sudah direncanakan sejak awal.
5. Materi yang didiskusikan adalah masalah-masalah yang bertalian dengan upaya
meningkatkan profesi guru, mencakup proses pembelajaran, kepribadian dan
dedikasi guru, belajar seumur hidup, studi lanjut, hubungan dengan masyarakat,
memanfaatkan objek-objek di masyarakat untuk kepentingan pembelajaran, dan
sejenisnya.

17
6. Proses supervisi didominasi oleh diskusi multiarah dari para peserta baik yang
disupervisi maupun supervisor. Namun diharapkan guru-guru lebih banyak aktif
dibandingkan dengan supervisor.
7. Diskusi beakhir setelah para peserta menemukan jalan keluar sebagai jawaban
terhadap masalah yang dibahas. Berarti supervisi telah selesai.
8. Tindak lanjut diadakan manakala para guru yang menjadi peserta supervisi
sepakat untuk menindak lanjuti hasil supervisi itu.
Intinya sekolah memberikan kesempatan bagi guru untuk mengamati atau
observasi guru ahli di kelas, berkonsultasi dengan guru ahli atau kepala sekolah,
berinteraksi serta berdiskusi dengan teman sebaya atau supervisor untuk
meningkatkan keahlian guru atau mengoptimalkan keberhasilan dari kegiatan
belajar mengajar itu sendiri.

2.2.4 Perencanaan dan Penilaian


Aspek kritis dari praktek adalah kriteria yang jelas untuk sukses. Jelas
sekali, terkait dengan keahlian dalam mengajar, strategi dan perilaku kelas
(Domain 1) harus mencakup kriteria khusus sebagai pengajaran yang efektif. Pada
Bab 3 dalam bukunya Marzano dijelaskan 41 kategori strategi kelas dan perilaku
dalam Domain 1. Untuk masing-masing dari 41 elemen ini, disediakan skala
(yaitu, rubrik) yang menjelaskan penggunaan elemen dari pemula ke ahli. Dengan
menggunakan skala ini, guru dapat melacak perkembangan keahlian pedagogis
mereka pada elemen tertentu selama interval waktu tertentu.
Perencanaan pembelajaran meliputi kegiatan perumusan tujuan yang ingin
dicapai dalam suatu kegiatan pembelajaran, metode yang digunakan untuk
menilai pencapaian tujuan tersebut, bahan materi yang akan disajikan, cara
menyampaikannya, persiapan alat atau media yang digunakan. Perencanaan
pembelajaran menjadikan guru dapat mempersiapkan dan menentukan tindakan
apa yang akan dilakukan saat proses pembelajaran berlangsung agar proses
pembelajaran dapat berlangsung secara efektif.
Adapun penilaian ialah proses untuk mencari dan menginterpretasi bukti
yang dapat digunakan oleh siswa dan guru untuk memutuskan posisi siswa dalam

18
pembelajaran, kemana tujuan yang akan dicapai berikutnya dan bagaimana jalan
terbaik untuk mencapainya.
Efektivitas guru mengenai strategi dan perilaku di Domain 1 harus
menjadi satu-satunya ukuran kinerja guru. Sementara penggunaan yang beralasan
dari strategi dan perilaku kelas tentu merupakan unsur keahlian yang diperlukan,
kriteria akhir untuk kinerja ahli di kelas adalah prestasi siswa. Di Bab 6, dalam
buku Marzano memberikan sejumlah cara untuk mengumpulkan dan
menggunakan data prestasi siswa sebagai bagian dari kriteria untuk
pengajaran yang berhasil. Data pencapaian nilai tambah mengukur seberapa
banyak siswa telah belajar selama interval waktu tertentu. Salah satu jenis
data pencapaian nilai tambah yang dapat digunakan adalah memperoleh
pengetahuan. Misalnya, perbedaan antara nilai pre-test dan post-test akan
menjadi ukuran perolehan pengetahuan untuk setiap siswa. Saat ini,
peningkatan pengetahuan digunakan sebagai kriteria evaluasi guru di
beberapa sekolah.
Dengan kriteria yang jelas untuk strategi dan perilaku kelas di Domain
1 dan pencapaian nilai tambah siswa, guru dapat menyusun rencana
pertumbuhan dan pengembangan profesional. Rencana-rencana ini
mengoperasionalkan praktik yang disengaja karena mereka menjelaskan
bagaimana guru akan memenuhi tujuan mereka dan memungkinkan mereka
untuk memantau kemajuan menuju tujuan mereka.

2.2.5 Pengakuan Keahlian


Salah satu ciri keahlian dalam bidang apapun adalah membutuhkan
waktu yang lama untuk berkembang. Padahal, menurut beberapa peneliti
dan ahli teori, dibutuhkan setidaknya satu dekade-fakta yang telah disebut
sebagai “aturan 10 tahun” (Simon & Chase,1973). Ericsson dkk. (1993) telah
mendemonstrasikan aturan 10 tahun yang berlaku di mana-mana. Terlepas
dari bidangnya, sekitar 10 tahun praktek yang disengaja diperlukan untuk
mencapai status ahli.
Dari perspektif aturan 10 tahun, mudah untuk menyimpulkan bahwa

19
untuk memperoleh status ahli dalam mengajar membutuhkan motivasi
tingkat tinggi. Ericsson et al. (1993) menjelaskan, berdasarkan ribuan tahun
pendidikan, bersama dengan penelitian laboratorium terbaru tentang
pembelajaran dan perolehan keterampilan, sejumlah kondisi untuk pembelajaran
yang optimal dan peningkatan kinerja telah ditemukan. Kondisi yang paling
banyak dikutip menyangkut motivasi subjek untuk mengerjakan tugas dan
menggerakkan upaya untuk meningkatkan kinerjanya.
Mungkin tidak masuk akal mengharapkan semua guru, bahkan sebagian
besar guru, untuk mencapai status ahli. Biasanya, kondisi alamiah manusia
tampaknya menghentikan perkembangan begitu tingkat kinerja yang dapat
diterima telah tercapai. Ericsson dan Charness (1994) menjelaskan “Sebagian
besar pekerja baru dan karyawan menghabiskan sedikit waktu untuk upaya
praktek untuk meningkatkan kinerja mereka setelah mencapai tingkat yang
dapat diterima”.
Secara singkat, kami percaya bahwa pendidik tidak dimotivasi oleh uang
(meskipun tidak ada yang salah dengan menghargai keahlian secara finansial).
Namun, mereka dapat termotivasi oleh adanya pengakuan keahlian dan ide ini
bukanlah hal baru. Albert Shanker, presiden Federasi Guru Amerika,
dikreditkan dengan penjabaran pertama pada tahun 1985 bagaimana pengajaran
dapat lebih diprofesionalkan melalui pembentukan sebuah organisasi yang
mendokumentasikan dan mengakui keunggulan dalam pengajaran.
The Carnegie Corporation of New York mendukung seruan Shanker
dengan membentuk Carnegie Forumon Education dan the Economy's Task
Force on Teaching as a Profession. Pada tahun 1987, Carnegie Corporation
mendanai pembentukan Dewan Nasional Standar Pengajaran Profesional
(NBPTS).
Sejak awal, NBPTS semakin populer. Misalnya, sertifikasi NBPTS yang
diberikan mengalami lonjakan antara 2003 dan 2007, dengan 63.800 diberikan
selama tahun-tahun tersebut (Viadero & Honawar, 2008). Angka terbaru
menunjukkan bahwa total 82.000 guru telah mencapai sertifikasi dewan
nasional atau sertifikasi ulang (Dewan Nasional untuk Standar Pengajaran

20
Profesional, 2010; Estes Park News, 2010). Meskipun ada beberapa tantangan
terkait sejauh mana sertifikasi NBPTS dikaitkan dengan peningkatan prestasi
siswa (See Sawchuck, 2009, 2010; Thirunarayanan, 2004; Viadero &
Honawar, 2008), popularitasnya membuktikan fakta bahwa guru dimotivasi
oleh pengakuan atas keahlian mereka. Faktanya, sertifikasi NBPTS
sebenarnya membebani guru $ 2.500 untuk mendaftar dan menyelesaikan
proses, namun semakin banyak guru yang mencari pengesahan setiap tahun.

2.3 Upaya Sekolah untuk Mengembangkan Keahlian


Linda Darling-Hammond (2009) menegaskan bahwa semua praktisi harus
mendapat dukungan untuk menjadi ahli. Diketahui pula, berdasarkan hasil penelitian
Adams, Hutchinson & Martray 1980 dalam Glickman, (1985:68), di Kentucky Amerika
Serikat, “didapati minat dan prestasi guru-guru hanya muncul pada tiga tahun pertama
mengajar dan merosot setelah beberapa waktu berlalu”. Untuk melaksanakan tugas dan
menjaga kualitas diri, guru memerlukan pembimbing agar dapat mengembangkan
kemampuan profesionalnya terutama dalam mengelola proses pembelajaran, dalam
menjaga proses pembelajaran tetap berjalan dengan baik, untuk itu guru memerlukan
perhatian dari seorang pimpinan. Bimbingan dan perhatian tersebut melalui supervisi
terhadap kinerja dan profesionalisme guru dalam proses pembelajaran. Sergiovani dan
Starrat (Mulyasa, 2003: 111) menyatakan, “Supervisi merupakan suatu proses yang
dirancang secara khusus untuk membantu para guru dalam mempelajari tugas sehari-hari
di sekolah, agar dapat menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk memberikan
layanan yang lebih baik pada peserta didik dan sekolah, serta berupaya menjadikan
sekolah sebagai masyarakat belajar yang lebih efektif”. Kepala sekolah dalam
pelaksanaan supervisi bukan hanya menilai kinerja seorang guru saja tetapi semua
kegiatan yang berhubungan dengan proses pembelajaran.
Menurut Mark, “salah satu faktor ekstrinsik yang berkontribusi secara signifikan
terhadap motivasi kerja, prestasi, dan profesionalisme guru ialah layanan supervisi kepala
sekolah” (Mark, et. Al.; 1991:79). Dapat dikatakan bahwa baik atau buruknya guru dalam
pelaksanaan proses pembelajaran bergantung pada supervisi seorang kepala sekolah,
supervisi dilaksanakan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas diri seorang guru,

21
seperti yang diungkapkan oleh (Peter; 1994:67) rendahnya motivasi, dan prestasi guru
yang mempengaruhi profesi guru tidak terlepas dari rendahnya kontribusi kepala sekolah
dalam membina guru di sekolah melalui kegiatan supervisi”.
Kenyataan di lapangan dalam pelaksanaan supervisi kepala sekolah dan guru
masih kurang terlaksana, hal ini terlihat dari masih banyaknya guru-guru yang enggan
dan tidak bisa meningkatkan kualitas dan prestasi kerja, ini sangat mengganggu proses
pembelajaran di sekolah, guru yang telah disupervisi dapat merencanakan dan
menjalankan proses pembelajaran dengan baik, bila dibandingkan dengan guru yang
belum disupervisi, guru menjalankan proses pembelajaran hanya untuk menyelesaikan
tugas dan tanggung jawabnya sebagai tenaga pendidik walaupun hasilnya tidak sesuai
dengan harapan. Hal ini berbeda dengan guru-guru yang telah disupervisi, guru lebih giat
dan berusaha untuk memberikan kualitas proses pembelajaran yang baik, menghasilkan
mutu pendidikan yang tinggi menjadi prioritas sehingga guru lebih aktif dan inovatif serta
kreatif dalam pelaksanaan proses pembelajaran di sekolah.

2.4 Studi Kasus

2.4.1 Upaya Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kinerja Guru SMP Negeri 1, 5,
dan 8 di Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta
Berdasarkan hasil pra observasi, ditemukan beberapa permasalahan yaitu dari
segi kedisiplinan masih ada guru yang masuk kelas agak terlambat meskipun
jumlahnya hanya sedikit. Sedangkan melihat dari segi kualifikasi serta tugas mengajar
ternyata masih ada guru yang kualifikasinya di bawah S1, selain itu guru juga
mengalami kendala ketika kualifikasi akademiknya berbeda dengan tugas mengajar
yang diberikan. Misalnya saja guru lulusan S1 Sosiologi, tetapi harus mengajar mata
pelajaran IPS secara terpadu. Di samping memiliki tugas utama yaitu mengajar, guru
juga diberikan tugas tambahan sehingga tugas utamanya menjadi sedikit teranggu.
Melihat dari segi kemampuan guru dalam penguasaan IT ternyata masih ada bebrapa
guru yang boleh dikatakan kurang mampu mengoperasikan komputer. Guru tersebut
bukan tidak mampu, tetapi guru tersebut hanya mampu mengoperasikan komputer
pada tingkat dasar.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dikatakan bahwa

22
identifikasi masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Masih ada guru yang disiplinnya rendah.

2. Masih ada guru memiliki banyak tugas tambahan, sehingga tugas utama
menjadi terganggu.

3. Masih ada guru yang belum menguasai IT.

4. Masih ada guru yang belum melaksanakan tugasnya dengan baik.

5. Masih ada guru yang tugas mengajarnya belum sesuai dengan bidang atau
pendidikannya.

6. Masih ada guru yang kualifikasi akademiknya belum sesuai.

Hasil penelitian yang diperoleh dari ketiga SMP Negeri di Kecamatan


Gondokusuman dapat digambarkan sebagai berikut:
Upaya yang dilakukan Kepala Sekolah SMP Negeri di Kecamatan Gondokusuman
Yogyakarta dapat dilihat dari beberapa hal yaitu: a. mengikutsertakan guru dalam
diklat; b. menyediakan fasilitas yang dibutuhkan guru dalam proses pembelajaran
seperti komputer, kertas, printer, LCD, dan layanan internet; c. menghimbau/ meminta
guru saat rapat briefing untuk menggunakan fasilitas tersebut untuk kelancaran proses
pembelajaran; d. memantau guru saat pembelajaran berlangsung dan secara berkala
berkeliling melihat ke kelas; e. memberikan keleluasaan kepada guru untuk memilih
metode yang tepat; f. menyediakan presensi dan mengecek secara berkala; g.
melakukan pengaturan meja guru agar mudah berkomunikasi baik sharing maupun
diskusi sesama guru; h. memberikan motivasi, arahan dan contoh kepada guru; i.
memberikan teguran kepada guru yang kurang disiplin baik secara umum dalam rapat
briefing maupun dengan memanggil guru; j. kepala sekolah terbuka dan memberikan
teladan kepada guru baik dalam hal kedisiplinan maupun dalam berkomunikasi.

2.4.2 Peranan Kepala Sekolah Sebagai Supervisor dalam Pengembangan Staf dan
Kurikulum di SMP Negeri 11 Tangerang, Banten
Dalam penelitian ini yang diteliti, dikaji dan dibahas adalah hal-hal yang
berkaitan dengan pelaksanaan tugas kepala sekolah sebagai supervisor dalam

23
hubungannya dengan pengembangan staf/guru dan pengembangan kurikulum di
SMPN 11 Tangerang. Dengan mengetahui hambatan dalam pelaksanaan tugasnya
masing-masing, diharapkan seluruh staf/guru dan supervisor dapat mencari solusi yang
paling tepat untuk pemecahannya. Semua itu sangat berguna untuk meningkatkan dan
memperbaiki kinerja para pelaksana pendidikan tersebut. Oleh karena itu perlu
diciptakan suasana yang harmonis dan kondusif dalam menjalankan tugas dan
peranannya masing-masing sehingga antara supervisor, staf/guru akan saling
bersinergi dalam bekerja dan mewujudkan pencapaian tujuan pendidikan di SMPN 11
Tangerang.
Berdasarkan uraian yang berkaitan dengan hambatan/kendala serta harapan-
harapan tersebut dapat diidentifikasikan masalah-masalah yang timbul sebagai berikut:
1. Bagaimana peranan kepala sekolah sebagai supervisor dalam pengenbangan
staf dan kurikulum?
2. Faktor penghambat dan pendorong apa yang mempengaruhi pelaksanaan
supervisi kepala sekolah?
3. Bagaimana peranan kepala sekolah sebagai supervisor dalam mengembangkan
profesi guru?
4. Bagaimana peranan kepala sekolah sebagai supervisor dalam melakukan
evaluasi terhadap kurikulum di sekolahnya dengan melibatkan guru?
5. Supervisi yang bagaimana yang banyak diharapkan oleh guru untuk membantu
dalam menjalankan tugasnya mengajar?
6. Apakah ada pengaruh antara pelaksanaan supervisi dalam pengembangan staf
dan kurikulum dengan peningkatan mutu pendidikan?
Berdasarkan hasil penelitian dan dengan memperhatikan proses kegiatan
supervisi (programnya, pelaksanaannya dan evaluasinya), maka model supervisi yang
dilakukan di SMPN 11 Tangerang adalah mendekati model supervisi ilmiah yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut ini: (1) dilaksanakan secara berencana (tetapi belum
kontinu), (2) sistematis dan menggunakan prosedur serta teknik tertentu, (3)
menggunakan instrumen pengumpulan data, dan (4) ada data obyektif yang diperoleh
dari kenyataan nyata.

24
Pelaksanaan supervisi di SMPN 11 Tangerang dilakukan dengan menggunakan
pendekatan direktif, karena tim supervisor sebagai pelaksana supervisi kelas dianggap
oleh kepala sekolah mengetahui banyak hal dan diharapkan mampu memberikan
arahan perbaikan pengajaran secara langsung, yaitu menetapkan standar perbaikan,
penggunaan sarana pengajaran, dan berbagai tuntunan yang harus diikuti oleh guru.
Teknik supervisi yang dilakukan di SMPN 11 Tangerang adalah teknik individual,
karena supervisi kelas yang dilakukan dalam bentuk (a) kunjungan kelas, yaitu kepala
sekolah atau supervisor datang ke kelas untuk melihat cara guru mengajar di kelas,
untuk memperoleh data mengenai keadaan sebenarnya selama guru mengajar, (b)
observasi kelas, melalui kunjungan kelas, kepala sekolah atau supervisor dapat
mengobservasi/mengamati situasi belajar-mengajar yang sebenarnya secara rinci.
Namun ada yang belum dilakukan oleh kepala sekolah atau supervisor adalah
”percakapan pribadi”, yaitu percakapan antara supervisor dengan guru secara pribadi
untuk membicarakan atau memecahkan suatu masalah yang dihadapi oleh guru yang
berhubungan dengan pengajaran.

25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Supervisi pendidikan adalah pembinaan kearah perbaikan situasi pendidikan atau
peningkatan mutu pendidikan agar tujuan pendidikan tercapai. Supervisi pendidikan
memiliki tujuan, fungsi, dan prinsip-prinsip, antara lain:
a. Tujuan supervisi ialah memberikan layanan dan bantuan untuk meningkatkan kualitas
belajar siswa, bukan saja memperbaiki kemampuan mengajar tapi juga
mengembangkan potensi kualitas guru.
b. Fungsi utama supervisi pendidikan ditujukan pada perbaikan dengan meningkatkan
situasi belajar mengajar.
c. Prinsip-prinsip supervisi pendidikan ialah sebagai berikut: prinsip ilmiah, prinsip
demokratis, prinsip kerjasama, prinsip konstruktif dan kreatif.
Berdasarkan penelitian tentang keahlian, terdapat lima kondisi yang harus
dipenuhi jika sekolah ingin mengembangkan keahlian guru secara sistematis, yaitu:
(1) Kompetensi dasar yang dapat diterapkan dengan baik,
(2) Umpan balik dan tindak lanjut,
(3) Observasi dan diskusi,
(4) Perencanaan dan penilaian,
(5) Pengakuan keahlian.
Kelima elemen ini diperlukan dan didukung oleh kondisi yang memadai untuk
meningkatkan tingkat keahlian guru di suatu sekolah. Dengan kata lain, jika sebuah
sekolah memiliki kelima elemen ini, mereka akan mewujudkan peningkatan keahlian
guru yang akan menghasilkan peningkatan prestasi siswa.
Kenyataan di lapangan dalam pelaksanaan supervisi kepala sekolah dan guru
masih kurang terlaksana, hal ini terlihat dari masih banyaknya guru-guru yang enggan
dan tidak bisa meningkatkan kualitas dan prestasi kerja, ini sangat mengganggu proses
pembelajaran di sekolah, guru yang telah disupervisi dapat merencanakan dan
menjalankan proses pembelajaran dengan baik, bila dibandingkan dengan guru yang
belum disupervisi, guru menjalankan proses pembelajaran hanya untuk menyelesaikan
tugas dan tanggung jawabnya sebagai tenaga pendidik walaupun hasilnya tidak sesuai

26
dengan harapan. Hal ini berbeda dengan guru-guru yang telah disupervisi, guru lebih giat
dan berusaha untuk memberikan kualitas proses pembelajaran yang baik, menghasilkan
mutu pendidikan yang tinggi menjadi prioritas sehingga guru lebih aktif dan inovatif serta
kreatif dalam pelaksanaan proses pembelajaran di sekolah.

3.2 Saran
Supervisi haruslah ada pada setiap sekolah dan diberlakukan secara benar, baik
serta tegas agar sekolah dapat berkembang baik dan tujuan sekolah dapat tercapai dengan
baik pula. Kegiatan yang paling penting dan paling utama dari supervisi adalah
pembinaan dan pengembangan keahlian yang diberikan kepada seluruh guru dan pegawai
serta staf sekolah lainnya. Untuk mencapai atau memperoleh kualitas pembelajaran yang
lebih baik maka sangat perlu dilakukannya supervisi. Jika supervisi dapat terlaksana
dengan baik maka akan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Dengan
meningkatnya kualitas pembelajaran diharapkan hasil belajar atau prestasi siswa juga
akan ikut meningkat.
Supervisi pendidikan perlu dilakukan secara teratur, terstruktur dan sesuai
prosedur. Dengan diterapkannya supervisi dengan baik maka guru dapat menunjukkan
performa dan potensi baik dalam dirinya untuk terus tumbuh. Ketika seorang guru dapat
mengajar dengan bahagia maka peserta didik akan mampu menerima pembelajaran
dengan baik sehingga peserta didik kelak mampu merubah dunia karena lahir dari cinta
dan guru pun bahagia.

27
DAFTAR PUSTAKA

Alimah, Nur. “Upaya Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kinerja Guru SMP Negeri 1, 5, dan
8 di Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta”. (2013): 3-16. Print.

Arifin. (2000). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI.

Arikunto, Suharsimi. (2004). Dasar-Dasar Supervisi, Jakarta: PT Rineka Cipta.

Mantja, W. (2007). Profesionalisasi Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan


Supervisi Pengajaran. Malang: Elang Mas

Maralih. (2014). Peranan Supervisi Dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan. Jurnal Qathruna
Vol 1 No 1, 179-192

Mark.et.al.(1991). Handbook of Educational Supervision: A Guide for the Practitioner. Boston:


Allyn and Bacon Inc.

Marzano, Robert J, David Livingston, dan Tony Frontier. (2011). Effective Supervision. United
State: ASDC Publications.

Nana Sudjana. (2002). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.\

Piet. A Sahertian (2000). Konsep Dasar danTteknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta

Piet A. Sahertian. (2008). Konsep Dasar dan Tehnik Supervisi Pendidikan dalam Rangka
Mengembangkan SDM. Jakarta : Rineka Cipta.

28
Priansa, DJ., & Setiana, SS. (2018). Manajemen & Supervisi Pendidikan. Bandung: Pustaka
Setia.

Priansa, DJ., & Somad, R. (2014). Manajemen Supervisi & Kepemimpinan Kepala Sekolah.
Bandung: Alfabeta.

Pujayanti, Ninik. (2006). “Peranan Kepala Sekolah Sebagai Supervisor Dalam Pengembangan
Staf dan Kurikulum”. Skripsi. Pasca Sarjana Manajemen Pendidikan. Universitas Negeri
Semarang, Jawa Tengah.

Sahertian, P. A. (2008). Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Setiyadi, B. (2020). Supervisi dalam Pendidikan. Purwodadi: CV. Sarnu Untung.

29
LAMPIRAN
TERJEMAHAN
Supervisi telah menjadi bagian utama dalam lanskap pendidikan K–12 hampir sejak
awal bersekolah di negara seperti Amerika Serikat dan Kanada. Dibuktikan dalam komentar-
komentar dari dokumen tahun 1709 yang berjudul “Laporan Catatan Komisi Kota Boston”
(dikutip dalam Burke & Krey, 2005, hlm. 411):
[Seharusnya] dibentuk sebuah komite pengawas untuk mengunjungi
sekolahmu dari waktu ke waktu, sesering yang mereka inginkan, bertujuan
untuk membina diri mereka sendiri dari metode yang digunakan, menanyakan
kemahiran mereka, dan hadir saat mereka mempresentasikan.
Dalam tiga abad yang telah berlangsung sejak proklamasi tahun 1709, dunia
pendidikan K–12 telah berubah secara dramatis. Seiring dengan perubahan kurikulum,
pengajaran, dan penilaian telah pula terjadi perubahan perspektif tentang supervisi dan evaluasi.
Di Bab 2, kami menelusuri secara singkat perubahan ini untuk memberikan kerangka acuan yang
dibuat dalam buku ini. Di dalam buku ini, kami menjabarkan pendekatan komprehensif untuk
pengawasan serta membahas implikasi pendekatan untuk praktik evaluasi.
Prinsip Dasar Supervisi
Rekomendasi dalam buku ini didasarkan pada satu prinsip utama yang kami pandang sebagai
dasar dari evolusi pengawasan: tujuan pengawasan harus meningkatkan keterampilan pedagogis
guru, dengan tujuan akhir meningkatkan prestasi siswa. Bahkan sebuah penelitian singkat
membuktikan logika yang mendasari prinsip ini. Secara spesifik, satu fakta yang tidak dapat
disangkal dalam penelitian tentang sekolah adalah bahwa prestasi siswa di kelas dengan guru
yang sangat terampil lebih baik daripada prestasi siswa di kelas dengan guru yang kurang
terampil. Untuk menentukan seberapa jauh lebih baik, perhatikan Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Keahlian Guru dan Prestasi Siswa
Peringkat Persentil Prediksi Perolehan Peringkat Persentil Yang Diprediksi
Keterampilan Guru Persentil Pada Siswa Untuk Siswa
50 0 50
70 8 58
90 18 68
98 27 77

30
Catatan: Untuk diskusi tentang bagaimana angka-angka ini dihitung, lihat Marzano dan Waters
(2009).

Gambar 1.1 menggambarkan perolehan persentil yang diharapkan dalam pencapaian


untuk siswa yang mulai dari persentil ke-50 dalam ruang kelas yang diajarkan oleh guru dengan
berbagai tingkat kompetensi. Seorang siswa pada persentil ke-50 tidak akan diharapkan untuk
memperoleh peringkat persentil sama sekali di kelas dari seorang guru dengan persentil ke-50
dalam hal keterampilan pedagogisnya. Namun, seorang siswa pada persentil ke-50 diharapkan
untuk naik ke persentil ke-58 di kelas jika seorang guru memiliki keterampilan pedagogis pada
persentil ke-70. Peningkatan peringkat persentil siswa bahkan lebih besar di ruang kelas guru
pada peringkat persentil ke-90 dan ke-98 dalam hal keterampilan pedagogis mereka. Siswa
dalam situasi ini diharapkan mencapai persentil ke-68 dan ke-77. Yang jelas, semakin terampil
guru, semakin besar pula prediksi peningkatan prestasi siswa. Yang sama jelasnya adalah
implikasi pengawasan. Tujuan utamanya adalah peningkatan keahlian guru.
Meskipun tidak beralasan mengharapkan semua guru mencapai persentil ke-90 atau
lebih tinggi terkait keterampilan pedagogis mereka, namun wajar untuk mengharapkan semua
guru meningkatkan keahlian mereka dari tahun ke tahun. Bahkan peningkatan yang sedikit saja
akan memberikan hasil yang mengesankan. Secara khusus, jika seorang guru pada persentil ke-
50 dalam hal keterampilan pedagogisnya meningkatkan kompetensinya sebesar dua poin
persentil setiap tahun, pencapaian rata-rata siswanya diharapkan meningkat delapan poin
persentil selama periode 10 tahun. Kami percaya bahwa jika dilakukan dengan baik, proses
supervisi dapat menjadi instrumen dalam menghasilkan peningkatan keahlian guru, yang dapat
menghasilkan peningkatan prestasi siswa. Selain itu, kami yakin bahwa penelitian ini
memberikan panduan yang cukup jelas tentang cara meningkatkan keahlian guru.
Sifat Keahlian
Belum lama ini keahlian dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dikembangkan.
Sebaliknya, keahlian dianggap sebagai produk sampingan alami dari bakat. Dalam tinjauannya
tentang literatur sejarah tentang persepsi keahlian, Murray (1989) menyimpulkan bahwa secara
umum diyakini bahwa bakat dianggap sebagai “hadiah dari para dewa”. Mengenai gagasan ini,
Ericsson dan Charness (1994) mencatat:
Salah satu alasan penting dalam atribusi ini. . . terkait dengan legitimasi langsung
dari berbagai aktivitas yang terkait dengan hadiah. Jika para dewa telah

31
menganugerahi seorang anak dengan hadiah khusus dalam bentuk seni tertentu,
yang berani menentang perkembangannya, dan yang tidak akan memfasilitasi
ekspresinya sehingga semua orang dapat menikmati kreasi indahnya. Pemdapat
ini mungkin tampak aneh hari ini, tetapi sebelum Revolusi Prancis, status
istimewa raja dan bangsawan serta hak kesulungan anak-anak mereka terutama
didasarkan pada klaim semacam itu. (hlm. 726)
Karenanya, bakat yang diberikan oleh para dewa dianggap sebagai penentu utama
keahlian. Seiring waktu, kesalahan dalam perspektif ini terungkap. Ericsson dan Charness
menjelaskan bahwa “sungguh mengherankan betapa sedikit bukti empiris yang mendukung
pandangan bakat ahli dan kinerja yang luar biasa” (hlm. 730). Mereka mencatat bahwa selama
berabad-abad, hipotesis bakat pasti ditantang setelah terbukti bahwa individu dapat “secara
dramatis meningkatkan kinerja mereka melalui pendidikan dan pelatihan jika mereka memiliki
dorongan dan motivasi yang diperlukan” (hlm. 727).
Hipotesis bakat serupa dengan hipotesis kecerdasan: orang yang sangat cerdas memiliki
kapasitas untuk belajar lebih banyak, lebih cepat. Seiring waktu, lintasan ini mengarah pada
keahlian. Ericsson, Krampe, dan Tesch-Romer (1993) mencatat bahwa hipotesis ini memiliki
sedikit dukungan: “Hubungan IQ dengan kinerja agak lemah di banyak domain” (hal. 364).
Jika keahlian bukanlah fungsi dari bakat atau kecerdasan, lalu apa yang menjadi
penentu? Berdasarkan penelitian tentang keahlian, kami mengusulkan lima kondisi yang harus
dipenuhi jika sebuah sekolah ingin mengembangkan keahlian guru secara sistematis: (1) basis
pengetahuan yang diartikulasikan dengan baik untuk pengajaran, (2) umpan balik dan praktik
yang terfokus, (3) peluang untuk mengamati dan mendiskusikan keahlian, (4) kriteria yang jelas
dan rencana untuk sukses, dan (5) pengakuan keahlian. Kami membahas setiap kondisi secara
singkat di sini dan secara mendalam di bab-bab selanjutnya. Kami lebih lanjut menegaskan
bahwa kelima elemen ini diperlukan dan kondisi yang memadai untuk meningkatkan tingkat
keahlian guru di suatu sekolah. Dinyatakan secara berbeda, jika sebuah sekolah menangani lima
elemen ini, mereka akan mewujudkan peningkatan keahlian guru yang akan diterjemahkan ke
dalam peningkatan prestasi siswa.
Basis Pengetahuan yang Diartikulasikan dengan Baik untuk Pengajaran
Basis pengetahuan yang diartikulasikan dengan baik merupakan prasyarat untuk
mengembangkan keahlian dengan cara yang sistematis dalam domain apa pun. Ericsson dkk.

32
(1993) mencatat bahwa basis pengetahuan yang ada telah meningkat dan terus meningkat di
berbagai domain. Akumulasi pengetahuan ini membuat status ahli lebih tersedia bagi lebih
banyak orang:
Karena tingkat kinerja dalam domain tersebut meningkat dalam keterampilan
dan kompleksitas, metode untuk secara eksplisit menginstruksikan dan
melatih individu dikembangkan. Di semua domain utama telah ada akumulasi
pengetahuan yang stabil tentang metode terbaik untuk mencapai kinerja
tingkat tinggi dan aktivitas praktik terkait yang mengarah ke kinerja ini.
(hal.368)
Seperti halnya dengan sebagian besar bidang studi, pendidikan telah mengalami
pertumbuhan eksponensial dalam basis pengetahuannya, khususnya mengenai pedagogi yang
efektif. Ada banyak upaya untuk mengkodifikasi basis pengetahuan ini (lihat Hattie, 1992;
Hattie, Biggs, & Purdie, 1996; dan Wang, Haertel, & Walberg, 1993). Kami telah mengatur basis
pengetahuan itu menjadi empat domain terkait:
Domain 1: Strategi dan Perilaku Kelas
Domain 2: Perencanaan dan Persiapan
Domain 3: Refleksi Pengajaran
Domain 4: Kolegialitas dan Profesionalisme
Domain-domain ini memiliki kemiripan dengan model pengajaran yang sangat populer
yang diusulkan oleh Charlotte Danielson (1996, 2007). Modelnya mencakup domain berikut:
Domain 1: Perencanaan dan Persiapan
Domain 2: Lingkungan Kelas
Domain 3: Instruksi
Domain 4: Tanggung Jawab Profesional
Meskipun domain kami memiliki beberapa kemiripan dengan Danielson, terdapat
perbedaan signifikan dalam asumsi hubungan antara domain dan spesifik dalam domain.
Danielson menjelaskan bahwa domainnya “bukan satu-satunya deskripsi praktik yang mungkin”
(hal. 1). Hal yang sama juga berlaku untuk model kami. Yang dicatat, kami mengusulkan bahwa
empat domain kami tidak hanya mewakili cara yang layak untuk mengatur penelitian dan teori
tentang pengajaran, tetapi juga mengungkapkan beberapa hubungan sebab akibat yang penting
(lihat Gambar 1.2).

33
Gambar 1.2 menunjukkan bahwa strategi dan perilaku kelas (Domain 1) berada di urutan
teratas dan memiliki efek langsung pada prestasi siswa. Dinyatakan secara berbeda, apa yang
terjadi di kelas memiliki hubungan kausal paling langsung dengan prestasi siswa.
Di bawah ini strategi dan perilaku kelas dalam merencanakan dan mempersiapkan
(Domain 2). Sesuai dengan namanya, domain ini membahas cara dan sejauh mana guru
mempersiapkan diri untuk pekerjaan kelas sehari-hari mereka dengan mengatur konten dalam
pelajaran dan pelajaran di dalam unit.
Tepat di bawah perencanaan dan persiapan adalah Domain 3 merefleksikan pengajaran.
Menurut definisi, sebagian besar elemen dalam domain ini bersifat evaluatif, di mana guru
mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan mereka dengan tujuan perbaikan secara
keseluruhan. Domain ini memiliki tautan langsung ke perencanaan dan persiapan. Para guru
mungkin hanya akan sedikit meningkatkan kemampuan mereka untuk merencanakan dan
mempersiapkan tanpa secara hati-hati memikirkan kekuatan dan kelemahan mereka. Tanpa
perencanaan dan persiapan, guru akan mengalami sedikit kesulitan dalam strategi dan perilaku
kelas yang mereka terapkan. Sedikit perubahan pada apa yang dilakukan guru di kelas
kemungkinan besar akan menghasilkan pula sedikit perubahan dalam prestasi siswa.
Domain keempat kolegialitas dan profesionalisme bukanlah bagian dari rantai penyebab
langsung yang pada akhirnya mengarah pada peningkatan prestasi siswa. Sebaliknya, ini
mewakili budaya profesional di mana domain lain beroperasi. Domain ini membahas perilaku
seperti berbagi praktik efektif dengan guru lain, mendampingi guru lain, dan sejenisnya. Jika
domain ini berfungsi dengan baik, semua pengajar di sekolah menganggap dirinya sebagai

34
bagian dari tim dengan tanggung jawab kolektif untuk kesejahteraan dan pencapaian siswa. Di
Bab 3, kami membahas domain ini secara mendalam.
Umpan Balik Terfokus dan Praktik
Unsur kedua yang diperlukan sekolah untuk mengembangkan keahlian guru secara
sistematis adalah umpan balik dan praktik yang difokuskan. Dalam tinjauan komprehensif
mereka terhadap penelitian keahlian, Ericsson dan Charness (1994) mengidentifikasi “praktik
yang disengaja” sebagai sine qua non dari pengembangan pakar. Praktik yang disengaja adalah
konstruksi yang luas dengan sejumlah elemen penting. Berkaitan dengan pengembangan
keahlian guru, Marzano (2010) telah mencatat bahwa praktik yang disengaja dapat dianggap
sebagai konstruksi multifaset. Salah satu ciri utama dari praktik yang disengaja adalah umpan
balik. Sebagai Ericsson et al. (1993) menjelaskan: “Dengan tidak adanya umpan balik,
pembelajaran yang efisien tidak mungkin dan peningkatan hanya minimal bahkan untuk mata
pelajaran yang bermotivasi tinggi. Oleh karena itu, pengulangan suatu kegiatan tidak akan secara
otomatis mengarah pada perbaikan” (hlm. 367). Penegasan ini cukup konsisten dengan temuan
yang dilaporkan oleh Hattie dan Timperley (2007) dari analisis mereka terhadap 12 meta-analisis
yang menggabungkan 196 studi dan 6.972 ukuran efek. Ukuran efek rata-rata untuk memberikan
umpan balik adalah 0,79 yang mereka catat kira-kira dua kali lipat ukuran efek rata-rata (0,40)
terkait dengan sebagian besar inovasi pendidikan.
Agar umpan balik menjadi penting dalam mengembangkan keahlian guru, umpan balik
harus berfokus pada strategi dan perilaku kelas tertentu (Domain 1) selama interval waktu
tertentu. Misalnya, seorang guru tertentu mungkin fokus pada strategi tertentu atau perilaku dari
Domain 1 selama kuartal atau semester tertentu. Umpan balik kepada guru tersebut selama
kuartal atau semester tersebut akan menjadi strategi atau perilaku spesifik. Gagasan di balik
tingkat selektivitas ini adalah bahwa pengembangan keterampilan membutuhkan fokus. Umpan
balik yang melibatkan terlalu banyak elemen atau terlalu luas memiliki pengaruh yang kecil.
Dengan umpan balik terfokus pada tempatnya, guru dapat terlibat dalam praktik yang
terfokus. Di sini guru mempraktikkan strategi atau perilaku yang dipilih dengan bereksperimen
dengan variasi kecil dalam teknik untuk menentukan apa yang paling berhasil dalam situasi
khususnya. Kami membahas pendekatan khusus untuk umpan balik terfokus dan praktik di Bab
4.

35
Peluang untuk Mengamati dan Mendiskusikan Keahlian
Salah satu aspek yang menarik dari keahlian adalah bahwa keahlian itu terwujud sebagai
perilaku yang bernuansa. Ambady dan Rosenthal (1992, 1993) menyebut fenomena ini sebagai
“bagian kecil dari perilaku”. Sehubungan dengan pengajaran, seseorang dapat memikirkan hal
ini sebagai adaptasi dari waktu ke waktu yang dibuat oleh seorang guru mengenai penggunaan
strategi-strategi khusus. Perilaku ini tidak dapat dengan mudah dijelaskan tetapi dapat diamati
dan dianalisis. Akibatnya, kesempatan untuk mengamati dan mendiskusikan pengajaran yang
efektif merupakan bagian penting dari pengembangan keahlian di antara guru kelas. Jika guru
tidak memiliki kesempatan untuk mengamati dan berinteraksi dengan guru lain, metode mereka
untuk menghasilkan pengetahuan baru tentang mengajar terbatas pada kesalahan hasil percobaan
pribadi.
Meskipun peluang untuk mengamati dan mendiskusikan keahlian saat ini tidak umum di
sekolah K-12, tetapi hal itu diinginkan oleh para guru. Dalam bukunya A Place Called School,
yang merangkum data dari 1.350 guru sekolah dasar dan menengah, Goodlad (1984) melaporkan
bahwa “sekitar tiga perempat sampel kami di semua tingkat sekolah menunjukkan bahwa mereka
ingin mengamati guru lain di tempat kerja” (hal. 188). Demikian pula, dalam artikelnya “Isolasi
Guru dan Reformasi Baru”, Flinders (1988) mencatat bahwa meskipun guru bekerja dalam
isolasi, mereka mendambakan interaksi profesional dengan guru lain. Interaksi ini melibatkan
baik mengamati guru lain dan berinteraksi dengan mereka tentang mengajar. Terakhir, bagi guru
untuk mengamati dan mendiskusikan keahlian konsisten dengan diskusi komunitas pembelajaran
profesional (PLC) saat ini. Seperti yang dicatat oleh Louis, Kruse, dan Associates (1995), salah
satu fungsi utama dari gerakan PLC adalah praktik.
Dalam Bab 5, kami membahas cara-cara memberikan kesempatan bagi guru untuk
mengamati dan mendiskusikan keahlian secara mendalam. Namun secara singkat, kami
merekomendasikan agar kabupaten dan sekolah memberikan kesempatan bagi guru untuk
mengamati rekaman video guru lain, untuk mengamati guru ahli di kelas mereka, untuk
berkonsultasi dengan guru ahli tatap muka, dan untuk berinteraksi dengan teman sebaya mereka
secara langsung atau tatap muka serta melalui teknologi.
Kriteria yang Jelas dan Rencana untuk Sukses
Aspek penting dari praktik yang disengaja adalah kriteria yang jelas untuk sukses. Jelas
sekali, terkait dengan keahlian dalam mengajar, strategi dan perilaku kelas (Domain 1) harus

36
mencakup kriteria khusus sebagai pengajaran yang efektif. Pada Bab 3, kami menjelaskan 41
kategori strategi kelas dan perilaku dalam Domain 1. Untuk masing-masing dari 41 elemen ini,
disediakan skala (yaitu, rubrik) yang menjelaskan penggunaan elemen dari pemula ke ahli.
Dengan menggunakan skala ini, guru dapat melacak perkembangan keahlian pedagogis mereka
pada elemen tertentu selama interval waktu tertentu.
Sangat menarik untuk merangkul posisi bahwa efektivitas guru mengenai strategi dan
perilaku di Domain 1 harus menjadi satu-satunya ukuran kinerja guru. Pendekatan ini akan
salah. Sementara penggunaan yang beralasan dari strategi dan perilaku kelas tentu merupakan
unsur keahlian yang diperlukan, kriteria akhir untuk kinerja ahli di kelas adalah prestasi siswa..
Ini digambarkan pada Gambar 1.2. Perhatikan bahwa prestasi siswa berada di puncak hierarki
kausal. Dinyatakan secara berbeda, kriteria akhir untuk pengajaran yang sukses haruslah
pembelajaran siswa.
Di Bab 6, kami memberikan sejumlah cara untuk mengumpulkan dan
menggunakan data prestasi siswa sebagai bagian dari kriteria untuk pengajaran yang
berhasil. Kami membuat kasus bahwa data pencapaian harus memiliki nilai tambah. Data
pencapaian nilai tambah mengukur seberapa banyak siswa telah belajar selama interval
waktu tertentu. Salah satu jenis data pencapaian nilai tambah yang dapat digunakan adalah
memperoleh pengetahuan. Misalnya, perbedaan antara nilai pre-test dan post-test pada
beberapa penilaian umum akan menjadi ukuran perolehan pengetahuan untuk setiap siswa.
Saat ini, peningkatan pengetahuan digunakan sebagai kriteria evaluasi guru di beberapa
sekolah. Indeks lain yang dapat digunakan termasuk skor residual dan laporan diri siswa
tentang perolehan pengetahuan mereka.
Dengan kriteria yang jelas untuk strategi dan perilaku kelas di Domain 1 dan
pencapaian nilai tambah siswa, guru dapat menyusun rencana pertumbuhan dan
pengembangan profesional. Rencana-rencana ini mengoperasionalkan praktik yang
disengaja karena mereka menjelaskan bagaimana guru akan memenuhi tujuan mereka dan
memungkinkan mereka untuk memantau kemajuan menuju tujuan mereka.
Pengakuan Keahlian
Salah satu ciri keahlian dalam bidang apapun adalah membutuhkan waktu yang
lama untuk berkembang. Padahal, menurut beberapa peneliti dan ahli teori, dibutuhkan
setidaknya satu dekade-fakta yang telah disebut sebagai “aturan 10 tahun” (Simon &

37
Chase,1973). Ericsson dkk. (1993) telah mendemonstrasikan aturan 10 tahun yang berlaku
di mana-mana. Terlepas dari bidangnya, sekitar 10 tahun praktik yang disengaja
diperlukan untuk mencapai status ahli.
Dari perspektif aturan 10 tahun, mudah untuk menyimpulkan bahwa untuk
memperoleh status ahli dalam mengajar membutuhkan motivasi tingkat tinggi. Ericsson et
al. (1993) menjelaskan:
Berdasarkan ribuan tahun pendidikan, bersama dengan penelitian laboratorium
terbaru tentang pembelajaran dan perolehan keterampilan, sejumlah kondisi
untuk pembelajaran yang optimal dan peningkatan kinerja telah ditemukan.
Kondisi yang paling banyak dikutip menyangkut motivasi subjek untuk
mengerjakan tugas dan mengerakkan upaya untuk meningkatkan kinerjanya.
(hal.367)

Mungkin tidak masuk akal mengharapkan semua guru, bahkan sebagian besar guru, untuk
mencari status ahli yang tinggi. Memang, kondisi alamiah manusia tampaknya menghentikan
perkembangan begitu tingkat kinerja yang dapat diterima telah tercapai. Ericsson dan Charness
(1994) menjelaskan: “Sebagian besar orang baru dan karyawan menghabiskan sedikit waktu
untuk upaya praktik yang disengaja untuk meningkatkan kinerja mereka setelah mencapai tingkat
yang dapat diterima” (hlm. 730). Lalu, bagaimana sekolah dapat mendorong para guru untuk
terus mengembangkan keahlian mereka?
Kami membahas masalah ini di Bab 7. Secara singkat, kami percaya bahwa pendidik
tidak dimotivasi oleh uang (meskipun tidak ada yang salah dengan menghargai keahlian secara
finansial). Namun, mereka adalah dimotivasi oleh pengakuan keahlian. Ide ini bukanlah hal baru.
Sertifikasi Dewan Nasional dirancang khusus untuk tujuan ini.
Albert Shanker, presiden Federasi Guru Amerika, dikreditkan dengan penjabaran pertama
pada tahun 1985 bagaimana pengajaran dapat lebih diprofesionalkan melalui pembentukan
sebuah organisasi yang mendokumentasikan dan mengakui keunggulan dalam pengajaran. The
Carnegie Corporation of New York mendukung seruan Shanker dengan membentuk Carnegie
Forumon Education dan the Economy's Task Force on Teaching as a Profession. Pada tahun
1987, Carnegie Corporation mendanai pembentukan Dewan Nasional Standar Pengajaran
Profesional (NBPTS).

38
Sejak awal, NBPTS semakin populer. Misalnya, sertifikasi NBPTS yang diberikan
mengalami lonjakan antara 2003 dan 2007, dengan 63.800 diberikan selama tahun-tahun tersebut
(Viadero & Honawar, 2008). Angka terbaru menunjukkan bahwa total 82.000 guru telah
mencapai sertifikasi dewan nasional atau sertifikasi ulang (Dewan Nasional untuk Standar
Pengajaran Profesional, 2010; Estes Park News, 2010). Meskipun ada beberapa tantangan terkait
sejauh mana sertifikasi NBPTS dikaitkan dengan peningkatan prestasi siswa (See Sawchuck,
2009, 2010; Thirunarayanan, 2004; Viadero & Honawar, 2008), popularitasnya membuktikan
fakta bahwa guru dimotivasi oleh pengakuan atas keahlian mereka. Faktanya, sertifikasi
NBPTS sebenarnya membebani guru $ 2.500 untuk mendaftar dan menyelesaikan proses,
namun semakin banyak guru yang mencari pengesahan setiap tahun. Menurut pendapat kami,
pengakuan seperti itu dapat dan harus menjadi aspek rutin dari proses evaluasi guru di
kabupaten dan sekolah. Dalam Bab 7, kami menguraikan proses di mana evaluasi guru tidak
hanya mengenali dan mendokumentasikan tingkat keahlian guru, tetapi juga mendukung
kemajuan mereka melalui tingkat tersebut.
Dukungan Sekolah untuk Mengembangkan Keahlian
Inisiatif-inisiatif yang dijelaskan dalam buku ini tidak mudah dilaksanakan. Mereka
membutuhkan redistribusi sumber daya di tingkat distrik. Mereka juga membutuhkan
kemauan di pihak distrik atau sekolah untuk mengakui keahlian dan kemauan dari pihak
guru ahli untuk berdiri dan diperhitungkan sebagai pemimpin. Meskipun saran kami
ambisius, itu bukanlah hal baru. Misalnya, Linda Darling-Hammond (2009) menegaskan
“bahwa semua praktisi [harus] mendapat dukungan untuk menjadi seorang ahli” (hlm. 64).
Dengan menggunakan terminologi yang berbeda, dia menyerukan pemfokusan ulang energi
dan sumber daya secara besar-besaran di seluruh distrik di Amerika Serikat.
Perlunya upaya tingkat distrik untuk mendukung keahlian guru juga telah disoroti
dalam studi tentang kepemimpinan distrik. Secara khusus, dalam kepemimpinan distrik yang
berfungsi, yang melaporkan meta-analisis penelitian tentang kepemimpinan kabupaten,
Marzano dan Waters (2009) mengidentifikasi lima tanggung jawab administrator distrik
yang memiliki korelasi signifikan dengan prestasi siswa. Salah satu tanggung jawab distrik
ini adalah tujuan pengajaran yang tidak dapat dinegosiasikan. Marzano dan Waters
menegaskan bahwa salah satu tindakan yang lebih kuat yang dapat diambil oleh para

39
pemimpin distrik untuk meningkatkan prestasi siswa adalah dengan mengembangkan sistem
yang mendorong, mendukung, dan mengakui keahlian guru.
Kesimpulan
Bab ini memberikan dasar yang dibuat dalam buku ini. Ini dimulai dengan
generalisasi bahwa keahlian guru secara kausal berkaitan dengan prestasi siswa. Semakin
terampil gurunya, semakin tinggi prestasi siswa. Sifat keahlian dibahas secara singkat,
dengan penekanan pada fakta bahwa keahlian itu dapat dikembangkan dengan praktik yang
disengaja dari waktu ke waktu. Lima kondisi untuk mengembangkan keahlian guru
dijelaskan secara singkat: (1) dasar pengetahuan yang diartikulasikan dengan baik untuk
mengajar, (2) umpan balik dan praktik yang terfokus, (3) kesempatan untuk mengamati dan
mendiskusikan keahlian, (4) kriteria yang jelas dan rencana untuk sukses, dan (5)
memberikan pengakuan atas keahlian. Bab ini diakhiri dengan diskusi tentang pentingnya
penekanan di seluruh distrik atau sekolah pada peningkatan keahlian guru.

40

Anda mungkin juga menyukai