Jurnal 4 - Penyakit Tanaman (F-RCNN)
Jurnal 4 - Penyakit Tanaman (F-RCNN)
TESIS
Disusun oleh:
Alfita Rakhmandasari
NIM: 166150100111017
TESIS
Disusun oleh :
Alfita Rakhmandasari
NIM : 166150100111017
Tesis ini,
Telah diperiksa dan disetujui oleh :
Wayan Firdaus Mahmudy, S.Si., M.T., Ph.D. Ir. Titiek Yulianti, M.Agr.Sc., Ph.D.
NIP. 19720919 199702 1 001 NIP. 19610720 198503 2 002
Mengetahui
Ketua Jurusan Teknik Informatika
2
PERNYATAAN ORISINALITAS TESIS
3
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
karunia dan ridho-Nya, sehingga tesis dengan judul “Deteksi Hama dan Penyakit pada
Tanaman Kenaf Berdasarkan Citra Daun menggunakan Metode Faster Regional Based
Convolutional Neural Network” ini dapat diselesaikan.
Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister Ilmu
Komputer/Informatika (M.Kom) dalam bidang keahlian Sistem Cerdas pada program studi
Magister Ilmu Komputer Universitas Brawijaya.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Wayan Firdaus Mahmudy, S.Si., M.T., Ph.D selaku Pembimbing I yang telah
memberikan pengarahan, kritik, dan saran selama penyusunan tesis ini.
2. Ibu Ir. Titiek Yulianti, M.Agr.Sc., Ph.D selaku Pembimbing II yang telah memberikan
pengarahan, kritik, dan saran selama penyusunan tesis ini.
3. Seluruh dosen dan staf administrasi Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya
Malang yang telah membantu selama proses perkuliahan hingga kelancaran
penyelesaian tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis
alfitarakhmandasari@gmail.com
4
ABSTRAK
Tanaman kenaf merupakan tanaman serat diambil kulit batangnya dan digunakan
sebagai bahan baku pembuatan geo-tekstil, pulp, fiber drain, papan partikel, papan serat, dan
kertas kualitas tinggi. Hal yang mempengaruhi menurunnya perkembangan adalah
produksinya yang rendah dikarenakan lahan yang tepat untuk perkembangan terbatas,
munculnya bahan plastik, harga sarana untuk produksi tinggi, harga serat relatif rendah, serta
gangguan dari hama dan penyakit. Di Indonesia, hama dan penyakit yang saat ini banyak
ditemukan adalah hawar daun, sundapteryx, dan tungau. Oleh karena itu perlu dilakukan
pendeteksian dini untuk serangan hama dan penyakit agar bisa dikendalikan dengan baik.
Sistem deteksi dini bisa dilakukan dengan menggunakan metode object detection. Pada
penelitian ini, Faster Regional Based Convolutional Neural Network (Faster RCNN) digunakan
untuk membantu pendeteksian hama dan penyakit pada tanaman kenaf. Model pengujian
terbaik mendapat akurasi deteksi sebesar 77.5% dan akurasi bounding box sebesar 96.74%.
5
ABSTRACT
Kenaf plant is a source of natural fiber taken from its bark and used as raw material for
the manufacture of geo-textile, pulp, fiber drain, particle board, fiber board, and highquality
paper. The low production of kenaf due to limited land suitable for development; the
emergence of plastic materials; high cost of the production input; relatively low fiber prices;
pests and diseases. Sundapteryx, mites and leaf blight are the most prominent Kenaf pests
and disease in Indonesia. To get proper control of these pests and disease, it is necessary to
early detect them. The early detection system coud be done using the object detection
method. In this study, Faster Regional Based Convolutional Neural Network (Faster RCNN) was
used to help detect pests and diseases in kenaf plant. The best test model had a detection
accuracy of 77.5% and a bounding box accuracy of 96.74%.
6
DAFTAR ISI
PENGESAHAN.............................................................................................................................. 2
ABSTRAK ..................................................................................................................................... 5
ABSTRACT ................................................................................................................................... 6
2.2.3. Deteksi Penyakit Tanaman menggunakan Metode Bayes dan SVM Classifier .. 23
2.2.4. Deteksi Penyakit Tanaman menggunakan Metode SOM Neural Network ........ 23
7
2.2.5. Deteksi Penyakit Tanaman menggunakan Metode Convolutional Neural Network
24
5.1.2. Data untuk Train dan Test Berjumlah Sama setiap Kelas ................................... 50
8
6.2. SARAN ........................................................................................................................ 59
LAMPIRAN................................................................................................................................. 63
5. Evaluasi Visual Data 80%-20% Label Penuh dari Kamera Handphone .......................... 80
6. Evaluasi Visual Data 80%-20% Label Per Jari dari Kamera Handphone ........................ 84
7. Evaluasi Visual Data 80%-20% Label Penuh dari Kamera Pocket .................................. 88
8. Evaluasi Visual Data 80%-20% Label Per Jari dari Kamera Pocket ................................ 92
9
DAFTAR TABEL
Tabel 5.3. Hasil Evaluasi Visual Data Seragam per Kelas .......................................................... 51
Tabel 5.4. Hasil Evaluasi Visual Data dari Kamera Handphone ................................................ 52
Tabel 5.3. Hasil Evaluasi Visual Data dari Kamera Pocket ........................................................ 52
10
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.3. Interior Mobil yang terbuat dari Serat Tanaman Kenaf ...................................... 19
Gambar 3.2. Proses pengambilan gambar menggunakan digital pocket(a) dan handphone(b)
.................................................................................................................................................. 36
Gambar 4.2. Hasil Scan (a), Hasil kamera pocket (b), dan Hasil kamera handphone (c) ......... 40
11
Gambar 4.5. Konversi xml to csv .............................................................................................. 41
12
BAB 1 PENDAHULUAN
13
dan hama yang sedang marak menyerang tanaman Kenaf adalah hama Sundapteryx dan
tungau serta penyakit hawar daun.
Gejala pada hama dan penyakit ini muncul di bagian daun dan batang yang
diidentifikasikan oleh pakar atau petani secara manual. Umumnya petani tidak memiliki
kemampuan dalam mendeteksi penyakit sehingga membutuhkan pakar untuk
mengidentifikasinya dengan membawa sampel tanaman ke institusi yang memiliki keahlian di
bidang tersebut, seperti Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat. Sistem ini
membutuhkan waktu lebih lama karena petani harus datang ke laboratorium untuk
mengetahui jenis penyakit dan untuk mengetahui obat yang harus digunakan. Pada penelitian
ini, penulis akan mengidentifikasi hama dan penyakit tanaman Kenaf berdasarkan gambar
gejala yang muncul pada bagian daun. Identifikasi ini untuk mempermudah peneliti maupun
petani tanaman kenaf dalam mengidentifikasi suatu penyakit dengan cepat dan tepat.
Pembangunan sistem berbasis pengolahan citra digital dapat mempermudah dan
mempercepat kinerja pakar dan petani dalam mendeteksi hama dan penyakit tanaman.
Pengolahan citra digital merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mewakili
pakar dalam mengambil keputusan dan dapat diterapkan diberbagai bidang seperti
kesehatan, pertanian, peternakan, dan lainnya. Pada bidang pertanian, pengolahan citra
dapat digunakan untuk mendeteksi hama dan penyakit tanaman dengan cara mendeteksi
gejala yang muncul pada tanaman tersebut. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian
menggunakan metode klasifikasi untuk mendeteksi penyakit berdasarkan gambar seperti
Anthonys dan Wickramarachchf (2009) yang melakukan klasifikasi menggunakan metode
Nearest Neighbor Classification dan akurasi yang diperoleh sebesar 70%, Joshi dan Jadhav
(2016) menggunakan metode Minimum Distance Classifier (MDC) dan mendapat akurasi
89.23% yang dibandingkan dengan metode k-Nearest Neighbor (K-NN) dan mendapatkan
akurasi sebesar 87.02%, Phadikar, Sil, dan Das (2012) menggunakan metode Bayes dan
memperoleh akurasi sebesar 79.5% yang dibandingkan dengan SVM Classifier dan
memperoleh hasil akurasi sebesar 68.1%, Phadikar dan Sil (2008) menggunakan metode SOM
Neural Network dan akurasi yang diperoleh sebesar 82%, dan Pawar, Turkar, dan Patil (2016)
menggunakan metode Artificial Neural Network memperoleh akurasi sebesar 80.45% dan
Sladojevic, Arsenovic, Anderla, Culibrk, dan Stefanovic (2016) menggunakan metode
Convolutional Neural Network memperoleh akurasi 96.3%.
Dari beberapa metode yang telah dibandingkan sebelumnya, metode CNN memiliki
akurasi tertinggi dalam pendeteksian penyakit. Namun karena metode CNN masih dianggap
14
lama dalam prosesnya, maka metode ini dikembangkan menjadi Region Convolutional Neural
Network (RCNN) dengan menambahkan metode selective search untuk menemukan wilayah
objek. Kemudian pengembangan dari RCNN yaitu Fast Region Convolutional Neural Network
(Fast RCNN) dengan mengubah klasifikasi RCNN yang semula SVM menjadi menggunakan ROI
Pooling untuk klasifikasinya. Kedua metode tersebut dikembangkan kembali agar komputasi
menjadi lebih cepat yaitu menjadi Faster Region Convolutional Neural Network (Faster RCNN)
yang mengganti selective search menjadi Regional Proposal Network (RPN). Pada penelitian
Chaudhari (2018) pada kasus deteksi kanker payudara berdasarkan gambar MRI, ketiga
metode tersebut dibandingkan kecepatan prosesnya dan metode RCNN dapat mendeteksi
suatu objek dalam waktu 49 detik, Fast RCNN 2.3 detik, dan Faster RCNN 0.2 detik. Selain
metode-metode tersebut, yang memperhatikan waktu proses cepat dan mendapatkan hasil
yang efisien terdapat pada metode SSDMobileNet. Namun pada penelitian Ghoury, Sungur,
dan Durdu (2019) yang membandingkan metode Faster RCNN dan SSDMobileNet, Faster
RCNN dapat mendeteksi lebih baik dengan mendapatkan akurasi 95.57%.
Berdasarkan penjelasan tersebut, pada kesempatan ini penulisakan melakukan
penelitian mengenai penggunaan metode Faster Regional Based Convolutional Neural
Network (Faster RCNN) untuk mendeteksi hama dan penyakit tanaman kenaf berdasarkan
gambar gejala yang diambil pada bagian daun guna membantu kinerja petani kenaf dalam
mendeteksi gejala hama dan penyakit tanaman kenaf.
1.3. TUJUAN
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah dapat mendeteksi hama dan
penyakit tanaman Kenaf menggunakan metode Faster Regional Based Convolutional Neural
15
Network (Faster RCNN) dan mendapatkan nilai akurasi yang tinggi serta proses yang relative
cepat.
1.4. MANFAAT
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain:
1. Petani dan pakar dari tanaman kenaf mendapatkan kemudahan dan efisiensi waktu
dalam mendeteksi hama dan penyakit yang dialami oleh tanaman.
2. Pakar dapat menyimpan ilmu atau informasi mengenai hama dan penyakit kenaf ke
dalam database sistem.
3. Peneliti dapat menerapkan metode Faster RCNN untuk pendeteksian hama dan
penyakit tanaman.
4. Peneliti mendapatkan hasil akurasi dari metode yang diteliti.
16
1.6. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penulisan penelitian ini berisi gambaran pembahasan dari isi laporan yang
dibagi menjadi beberapa tahapan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Menjabarkan latar belakang dari masalah yang diambil, rumusan masalah penelitian,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan.
BAB VI PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan dan saran untuk
penelitian berikutnya.
17
BAB 2 LANDASAN KEPUSTAKAAN
Tanaman Kenaf yang ada di Indonesia berasal dari India sejak tahun 1904. Sekitar
tahun 1978/1979 tanaman ini mulai dikembangkan untuk tujuan komersiil sebagai bahan
18
baku pembuatan karung goni untuk mengemas hasil-hasil pertanian seperti kopi, gula, kakao,
dan lain sebagainya (Sudjindro et al., 1999). Pengembangan kenaf secara besar besaran terjadi
sekitar tahun 1986/1987 dengan luas areal sekitar 26.000 ha. Namun saat ini areal yang
digunakan untuk pengembangan tanaman tersisa hanya ± 3.000 ha karena adanya persaingan
dengan kemasan plastik yang membuat pemanfaatan serat kenaf menurun. Untuk
menyeimbangkan antara produksi plastik dan serat kenaf seharusnya dihasilkan 2.0 ton/ha.
Namun, pencapaian produksi tanaman Kenaf yang dihasilkan rata-rata 1.7 ton/ha (Sudjindro
dkk., 1999)
Seiring berkembangnya zaman, pemanfaatan tanaman kenaf semakin bervariasi dan
tidak hanya sebagai bahan baku karung goni yaitu digunakan sebagai interior mobil yang
membuat mobil tersebut menjadi ramah lingkungan. Interior mobil yang dibuat menggunakan
serat tanaman kenaf antara lain doortrim, cover ban serep, sun visor, dash silencer, dan karpet
dasar pada mobil dengan ilustrasi yang ditunjukkan pada Gambar 2.3 (Hassan, Zulkifli, Ghazali,
& Azhari, 2017). Perusahaan yang telah menggunakan serat tanaman kenaf untuk interior
mobil yaitu PT. Toyota Astra Motor (TAM) dan Mercedes-Benz.
Gambar 2.3. Interior Mobil yang terbuat dari Serat Tanaman Kenaf
Sumber : (Hassan et al., 2017)
Dengan meningkatnya pemanfaatan serat kenaf untuk berbagai industri, maka
kebutuhan juga meningkat. Kebutuhan akan serat kenaf saat ini sekitar 7000 ton dan baru bisa
terpenuhi sebesar 60% saja. Ketersedian setiap tahun hanya 3000-4000 ton sehingga perlu
19
impor sebesar 3000-4000 ton dari Vietnam, India, dan Bangladesh untuk memenuhi
kebutuhan (Perkebunannews.com, 2019).
Hama dan penyakit merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan produksi
serat kenaf, sehingga penanganan dini terhadap hama dan penyakit akan sangat membantu
dalam mengendalikan hama dan penyakit ini sehingga target produksi dapat terpenuhi.
Beberapa penyakit yang dapat menyerang tanaman Kenaf antara lain penyakit layu bakteri
yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum, puru akar oleh Meloidogyne spp., hawar daun
oleh Phoma sabdariffae, busuk akar oleh Rhizoctonia, Sclerotium rolfsii, layu Fusarium oleh
Fusarium spp., dan antraknosa oleh Gloeosporium sp (Singh et al., 2013); (Singh et al., 2013),
(Swart & Tesfaendrias, 2003) (Zhang & Noe, 1996). Penyakit-penyakit tersebut memiliki gejala
yang terlihat pada daun, batang, dan atau akar. Beberapa penyakit yang ditemui pada
tanaman kenaf dirinci pada Tabel 2.1.
20
- Daun mengerut karena hifa
jamur menyebar pada jari-jari
daun.
9 Becak daun Penyakit menyebar cepat - Daun diselimuti miselia hitam
Cylindrosporium yang menyebabkan
kerontokan daun terjadi
pada kondisi lembab.
10 Layu Bakteri Ralstonia Layu mendadak atau layu - Akar busuk dan berwarna hitam
solanacearum satu sisi
Sumber : (Yulianti & Supriyono, 2009)
Sedangkan hama yang dapat menyerang daun tanaman Kenaf antara lain Amrasca
biguttula (Ishida) atau yang sekarang disebut Sundapteryx, Spodoptera litura, Ferrisia virgata,
Aphis sp., Anomis (Cosmophla) flava F., Euproctis spp., Nisotra sp., dan Tetranychus urticae
(Tungau) (Sunarto et al., 2009), dengan gejala seperti pada Tabel 2.2.
21
a b c
22
2.2.2. Deteksi Penyakit Tanaman menggunakan Metode Minimum Distance Classifier dan
k-Nearest Neighbor
Penelitian yang dilakukan oleh Joshi dan Jadhav (2016) mengenai identifikasi dan
klasifikasi penyakit tanaman padi dengan lahan yang berada di India. Beberapa data gambar
diambil di lahan Station, Lonavala, Maharashtra, dan yang lainnya diambil di Internet dengan
perbedaan ukuran dan kualitas gambar. Data yang digunakan sebanyak 115 gambar yang
terbagi menjadi 4 jenis penyakit dan 70% gambar digunakan untuk data latih dan 30%
digunakan untuk data uji. Untuk input image pada pengolahan citra, gambar memiliki format
JPEG (.jpg) dan ukuran diubah menjadi 200 x 200 pixel. Tahapan pengolahan citra dari pre-
processing, segmentation, feature extraction, dan classification. Terdapat 4 penyakit yang
dikelompokkan antara lain rice bacterial blight, rice brown spot, rice sheath rot, dan rice blast.
Klasifikasi penyakit dilakukan menggunakan metode Minimum Distance Classifier (MDC) dan
k-Nearest Neighbor (kNN) dengan data yang sama dihasilkan akurasi masing-masing sebesar
89.23 % dan 87.02 % (Joshi & Jadhav, 2016).
2.2.3. Deteksi Penyakit Tanaman menggunakan Metode Bayes dan SVM Classifier
Penelitian Phadikar, Sil dan Das (2012) mengenai klasifikasi penyakit tanaman padi di
India membagi class untuk klasifikasi menjadi 3 bagian yaitu 1 class tanaman sehat dan dua
class jenis penyakit tanaman padi, leaf brown spot dan leaf blast, dengan total gambar
seluruhnya sebanyak 1000 gambar. Gambar hanya diambil di bagiann area yang berbeda dari
EastMidnapur, persawahan terbesar di Bengal Selatan, India menggunakan kamera digital
dengan mode macro. Klasifikasi untuk penyakit tanaman padi menggunakan metode Bayes
dan SVM Classifier yang memiliki akurasi masing-masing sebesar 79.5 % dan 68.1 % (S Phadikar
et al., 2012).
2.2.4. Deteksi Penyakit Tanaman menggunakan Metode SOM Neural Network
Penelitian dari Phadikar dan Sil (2008) mengenai identifikasi penyakit padi hanya
menggunakan dua jenis penyakit yaitu leaf blast dan brown spot pada area persawahan di
North East India yaitu di East Midnapur, area persawahan terbesar di South Bengal, India.
Gambar diambil menggunakan kamera digital dalam mode macro sejumlah 300 gambar.
Gambar saat digunakan sebagai input image telah dinormalisasi menjadi 100 x 80 pixel.
Klasifikasi dilakukan menggunakan metode SOM neural network yang menggunakan data latih
sebanyak 300 dan 50 epoch untuk melatih network. Setelah dilakukan pelatihan, kemudian
300 data diuji dengan beberapa kasus yang berbeda. Terdapat 4 kasus yang diberikan antara
23
lain menggunakan RGB pada spot untuk klasifikasi, menggunakan Fourier transform pada spot,
menggunakan Arbitrary rotation pada 50% spot, dan menggunakan Fourier transform pada
50% rotating spots. Masing-masing kasus klasifikasi memiliki akurasi sebesar 92%, 84%, 82%,
dan 70% (Santanu Phadikar & Sil, 2008).
24
Gambar 2.5. Arsitektur MLP
Sumber : (Suartika et al., 2016)
Masukan pada neural network dilambangkan oleh In = [i1, i2, i3, … , in] yang masuk ke
dalam jaringan melalui neuron yang ada di input layer. Masukan tersebut kemudian dikalikan
dengan bobot yang dilambangkan dengan Wij. Data masukan diteruskan ke neuron di dalam
hidden layer dengan proses seperti yang ditunjukkan pada persamaan (2-1).
𝑦 = ∑(𝑊𝑖𝑗𝑇 𝑥 𝑖𝑖 ) + 𝑏 (2-1)
Simbol Wij menunjukkan bobot dari input layer ke-i menuju hidden layer ke-j.
Sedangkan b merupakan nilai bias dengan masukan tetap yaitu 1. Nilai bias merupakan suatu
nilai yang digunakan sebagai nilai pelengkap dari variable input yang ditetapkan guna untuk
mengetahui apakah terdapat variable yang berpengaruh terhadap output namun belum
ditetapkan sebagai variable masukan (Qayyum, Kamal, Zafar, & Mathavan, 2016).
2.3.1. Arsitektur Convolutional Neural Network
Metode CNN biasa diterapkan pada kasus-kasus pendeteksian suatu objek yang
berasal dari data gambar. Neuron pada CNN memiliki bobot, bias, dan fungsi aktivasi seperti
pada neural network umumnya. Yang membedakan adalah arsitektur dari metode CNN.
Arsitektur merupakan sebuah sistem besar yang di dalamnya terdiri dari beberapa komponen
yang saling berhubungan. Komponen tersebut terbagi menjadi 2 bagian yaitu Feature
Learning yang berisi Convolution Layer dan Pooling, sedangkan bagian Classification berisi
Fully Connected Layer seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6.
25
a. Feature Learning
Pada bagian ini dilakukan proses konversi dari suatu gambar menjadi fitur dalam
bentuk angka yang merepresentasikan gambar tersebut. Dalam feature learning ini terbagi
lagi menjadi 2 bagian yaitu :
1. Convolutional Layer
Convolutional layer memiliki neuron yang tersusun dari lebar, tinggi, dan kedalaman.
Utamanya dalam layer ini adalah jumlah dan ukuran filter yang digunakan. Filter-filter tersebut
akan bergeser ke semua bagian gambar dengan jumlah stride tertentu sehingga memberikan
hasil output yang disebut feature map atau activation map (Wang, Scott, Xu, & Clausi, 2016)
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.7. Stride merupakan parameter yang menunjukkan
jumlah pergeseran suatu filter. Jumlah stride yang semakin kecil memiliki kemungkinan besar
menghasilkan informasi semakin detail namun waktu komputasi lebih besar.
2. Pooling layer
Dalam Pooling layer terdapat filter yang memiliki ukuran dan stride yang telah
ditentukan dan bergeser ke seluruh area activation map seperti pada prinsip convolution
layer. Tujuan dari pooling layer untuk down sampling atau pengurangan dimensi feature map
agar komputasi lebih cepat (Prasetya & Bachtiar, 2017). Pooling layer dilakukan setelah proses
filter pada convolution layer dengan metode MaxPooling atau Average Pooling. Untuk Max
Pooling, angka tertinggi dalam suatu filter digunakan untuk hasil output. Sedangkan Average
Pooling, rata-rata angka dalam satu filter yang digunakan untuk hasil output.
26
b. Classification
Pada bagian ini akan dilakukan klasifikasi citra berdasarkan data yang diperoleh dari
bagian feature learning. Hasil akhir dari feature learning berupa array multidimensi yang harus
diubah atau flatten dari feature map menjadi vector supaya dapat digunakan sebagai masukan
pada fully-connected layer (FC Layer). FC Layer yang digunakan berupa MLP yang memiliki
hidden layer, fungsi aktivasi, output layer, serta loss function.
Loss function merupakan proses perhitungan nilai error pada setiap output yang
dihasilkan disetiap jaringan. Perhitungan nilai error menggunakan cross entropy loss yang
ditunjukkan pada persamaan (2-2).
𝐸𝑡 (𝑦𝑡 , 𝑦 ′ 𝑡 ) = −𝑦𝑡 𝑙𝑜𝑔𝑦′𝑡 (2-2)
yt menunjukkan output yang telah ditentukan pada langkah ke-t, sedangkan y’t
menunjukkan output hasil prediksi.
27
Metode RCNN mengalami peningkatan hasil yang cukup signifikan dibandingkan
dengan CNN. Namun untuk proses trainingnya memiliki waktu yang cukup lama karena setiap
proses CNN dan SVM pada satu gambar harus melewati proses training. Oleh karena itu, Ross
Girshick dkk (2014) mengembangkan kembali menjadi Fast RCNN. Fast RCNN hanya memiliki
satu proses CNN untuk menghasilkan feature map yang kemudian hasilnya akan dicocokkan
dengan Region of Interest (ROI) yang diperoleh dari metode region based selective search.
Klasifikasi tidak lagi menggunakan metode classifier SVM namun menggunakan ROI pooling
dan fully connected layers. Arsitektur Fast RCNN ditunjukkan pada Gambar 2.10.
28
Gambar 2.11. Arsitektur Faster RCNN
Sumber : (Alamsyah & Fachrurrozi, 2019)
Model arsitektur dari Faster RCNN bermacam-macam dan salah satunya adalah Faster
RCNN inception V2. Model tersebut adalah pengembangan dari Googlenet inception yang
dikembangkan oleh Google untuk ektraksi ciri pada gambar. Googlenet inception dibentuk
karena keterbatasan yang dimiliki oleh CNN yaitu rentan overfitting, kompleksitas tinggi, dan
penggunaan memori besar. Namun Googlenet inception dianggap masih memiliki kekurangan
yaitu dimensi input mengalami perubahan secara drastic dan adanya kompleksitas komputasi.
Google mengembangkan googlenet inception menjadi inception v2 dengan kelebihan
dapat mengurangi bottleneck dengan tidak adanya perubahan secara drastis untuk dimensi
input. Pengekstrasian ciri pada gambar dapat dilakukan lebih cepat dengan menerapkan
faktorisasi konvolusi dari modul googlenet inception. Modul googlenet inception ditunjukkan
pada Gambara 2.12.
29
Googlenet inception v2 memiliki 3 modul antara lain modul pertama yang
menggantikan konvolusi 5x5 menjadi dua kali 3x3 seperti yang ditunjukkan pada Gambar
2.13a, modul kedua adalah faktorisasi konvolusi dari modul pertama seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 2.13b, dan modul ketiga adalah perubahan bentuk jaringan dari modul kedua
menjadi melebar, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.13c, guna mengurangi
kompleksitas convolutional network dan meningkatkannya hingga 2.78 kali.
30
(c) Modul ketiga inception v2
Gambar 2.13. Modul inception v2
Sumber : (Szegedy et al., 2016)
Anchor box pada Faster RCNN terbagi menjadi 9 buah box dengan ukuran yang
berbeda yaitu skala 128x128, 256x256, dan 512x512 dengan aspek rasio 1:1, 1:2, 2:1 seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.15.
31
Gambar 2.15. Ilustrasi 9 anchor box
NIlai anchor box didapat dengan memanfaatkan keberadaan ground truth dan nilai
overlap (IoU). Jika nilai IoU tinggi dan terdapat ground truth maka anchor box dilabeli sebagai
foreground dengan threshold yang digunakan adalah 0.6. Untuk mendapatkan nilai IoU
dengan membandingkan area True Bounding Box (tbb) dan Predicted Bounding Box (pbb)
(Karlita et al., 2019).Persamaan untuk mencari nilai IoU ditunjukkan pada persamaa (2-2) dan
ilustrasinya ditunjukkan pada Gambar 2.16.
𝑎𝑟𝑒𝑎 (𝑡𝑏𝑏ꓵ𝑝𝑏𝑏)
𝐼𝑜𝑈 = > 0.6 (2-2)
𝑎𝑟𝑒𝑎 (𝑡𝑏𝑏ꓴ𝑝𝑏𝑏)
32
2.6. REGION OF INTEREST (ROI) POOLING
Output dari RPN berupa region proposal yang memiliki ukuran berbeda dan untuk
proses klasifikasi dibutuhkan ukuran yang sama. Region of Interest (ROI) Pooling menghasilkan
feature maps dengan ukuran yang tetap dari masukan yang memiliki ukuran beragam dengan
melakukan max pooling pada input. Ilustrasi proses ROI Pooling ditunjukkan pada Gambar
2.17.
33
Berikut penjelasan mengenai istilah dalam Gambar 2.18:
a. True Positive (TP) : data positif yang diprediksi benar oleh sistem
b. True Negative (TN) : data negatif yang diprediksi benar oleh sistem
c. False Positive (FP) : data positif yang diprediksi salah oleh sistem
d. False Negative (FN) : data negative yang diprediksi salah oleh sistem
Dari nilai data yang diperoleh maka dapat dilakukan perhitungan nilai akurasi,
precision, recall, dan F1 score.
a. Akurasi : Menggambarkan keakuratan dari sistem dalam memprediksi
dengan tepat antara benar dan salah berdasarkan data aktual dari
keseluruhan data. Persamaan akurasi ditunjukkan pada (2-5)
𝑇𝑃+𝑇𝑁
𝑎𝑐𝑐𝑢𝑟𝑎𝑐𝑦 = (2-5)
𝑇𝑃+𝑇𝑁+𝐹𝑃+𝐹𝑁
34
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
Studi Literatur
Pengumpulan Data
Gambar
Pengolahan Data
Perancangan
Arsitektur
35
gambar serta jarak pengambilan gambar sekitar 20-25 cm untuk digital pocket dan handphone
seperti Gambar 3.2. Berikut spesifikasi alat yang digunakan untuk pengambilan data :
a. Kamera handphone yang digunakan bermerek Samsung tipe SM-A300H dengan
dimensi 3264x2448, ISO speed ISO-64, F-stop f/2.4, Exposure Time 1/100 sec, Focal
Length 3mm, dan Max Aperture 2.53.
b. Kamera Digital Pocket bermerek Samsung dengan tipe WB250F dengan dimensi
4320x3240, ISO speed ISO-100, F-stop f/3.2, Exposure Time 1/90 sec, Focal Length
4mm, dan Max Aperture 3.35.
c. Scanner yang digunakan bermerek Canon dengan tipe MP280 dengan dimensi
2548x2664.
36
Mulai
Gambar Asli
Pelabelan Citra
Generate Data
Hasil
preprocessing
Deteksi penyakit
Faster RCNN
Selesai
Berdasarkan diagram alir pada Gambar 3.2 menjelaskan bahwa data gambar asli akan
diolah ke dalam proses resize 600 x 800 agar ukuran gambar menjadi lebih kecil dan seragam.
Karena ukuran gambar yang besar menyebabkan lamanya komputasi dan ukuran yang
beragam menyebabkan proses training tidak berjalan. Setelah resize maka dilakukan
pelabelan menggunakan Module LabelImg. Pelabelan digunakan untuk pemberian informasi
mengenai letak objek pada gambar dengan memberikan bounding box pada objek. Hasil
pelabelan ini tersimpan dalam format xml.
Setelah pelabelan, dilakukan record data dengan mengubah file xml menjadi file
dengan format csv. Data tersebut terbagi menjadi data training dan testing. File tersebut
kemudian di-generate menggunakan library Tensorflow menjadi train.record dan test.record.
Kedua file inilah yang akan digunakan sebagai data dalam pelatihan sistem.
37
3.5. SKENARIO PENGUJIAN
Pengujian dilakukan agar sistem mendapatkan skenario yang sesuai dengan
kebutuhan dan mendapatkan akurasi yang baik. Berikut skenario pengujian yang akan
dilakukan :
1. Pengujian untuk menentukan pembagian jumlah data training dan data testing yang
tepat untuk mendapatkan akurasi yang baik dengan prosentase pembagian sebagai
berikut :
- Train: 80% danTest: 20% dari total data 664 data. Masing-masing kelas terbagi
menjadi :
Hawar Daun : 70 data training dan 20 data testing
Sehat : 31 data training dan 6 data testing
Sundapteryx : 93 data training dan 23 data testing
Tungau : 336 data training dan 85 data testing
- Menyamakan jumlah data setiap kelas sehingga terbagi menjadi 58 data training
dan 15 data testing untuk masing-masing kelas
- Pembagian data berdasarkan perbedaan penggunaan kamera. Dengan total data
yang digunakan sebanyak 105 data yang masing terbagi menjadi :
Hawar Daun : 25 data training dan 6 data testing
Sehat : 11 data training dan 3 data testing
Sundapteryx : 25 data training dan 5 data testing
Tungau : 23 data training dan 7 data testing
2. Pengujian ground thruth dengan label penuh 1 daun dan label detail tiap 1 jari daun.
3. Data yang digunakan untuk test model setelah selasai proses training dan validasi
sebanyak 20 data dengan masing-masing kelas sebanyak 5 data.
38
BAB 4 PERANCANGAN DAN IMPLEMENTASI
Pada Bab ini menjelaskan menganai alur penelitian mulai dari pengambilan data
gambar, tahapan pengolahan data, hingga hasil pelatihan. Metode yang dipilih untuk
menyelesaikan kasus deteksi hama dan penyakit tanaman Kenaf berdasarkan daun adalah
metode Faster RCNN dengan arsitektur inception V2 melalui framework Tensorflow Object
Detection API. Tahapan proses pada penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 4.1.
39
a b c
Gambar 4.2. Hasil Scan (a), Hasil kamera pocket (b), dan Hasil kamera handphone (c)
3.2. Preprocessing
Pada tahap ini dilakukan setelah sampel telah berbentuk data digital. Hasil gambar
daun memiliki ukuran dimensi yang beragam dan tinggi yaitu scan 2548x2664, kamera
handphone 3264x2448, dan kamera pocket 4320x3240. Gambar dengan ukuran tersebut
menyebabkan proses berjalan terlalu lama sehingga dibutuhkan proses resize agar proses
komputasi berjalan lebih cepat dan ringan. Ukuran dimensi gambar setelah dilakukan resizing
menjadi 600x800.
Gambar yang telah diperkecil ukurannya akan dilakukan pelabelan data menggunakan
modul LabelImg dengan memberikan bounding box pada objek yang dituju dan informasi
nama kelas di setiap bounding box-nya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.3. Hasil
pelabelan berupa file dengan format xml yang berisi informasi mengenai nama kelas dan
bounding box pada tiap objek. Kumpulan data yang telah dilakukan pelabelan seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 4.4.
40
Gambar 4.4. Kumpulan data setelah proses pelabelan
File hasil pelabelan dengan format xml kemudian dikonversi menjadi file dengan
format csv seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.5 untuk dilakukan record data. Sebelum
dikonversi, file-file tersebut dibagi menjadi data training dan data testing. File hasil konversi
“test_labels.csv” dan “train_labels.csv” kemudian dilakukan generate data menjadi
”test.record” dan “train.record” menggunakan library Tensorflow.
41
Labelmap.pbtxt memberikan informasi bahwa kelas yang digunakan ada 4 yaitu hawar daun,
sehat, sundapteryx, dan tungau. Isi dari labelmap.pbtxt ditunjukkan pada Gambar 4.6.
3.3. Training
Proses training dilakukan menggunakan algoritma Faster RCNN dengan model
arsitektur Inception V2. Algoritma tersebut dijalankan di Tensorflow versi 1.15 dengan bahasa
pemrograman Python pada Google Colaboratory yang setara dengan komputer berspesifikasi
GPU Tesla, RAM 12 GB, Disk 300 GB. Proses training menggunakan Faster RCNN ditunjukkan
pada Gambar 4.7.
Total data yang dimiliki sejumlah 664 data gambar. Pembagian data untuk training dan
testing antara lain :
- Train: 80% danTest: 20% dari total data 664 data. Masing-masing kelas terbagi menjadi :
Hawar Daun : 70 data training dan 20 data testing
Sehat : 31 data training dan 6 data testing
Sundapteryx : 93 data training dan 23 data testing
Tungau : 336 data training dan 85 data testing
- Menyamakan jumlah data setiap kelas sehingga terbagi menjadi 58 data training dan 15
data testing untuk masing-masing kelas
- Pembagian data berdasarkan perbedaan penggunaan kamera. Dengan total data yang
digunakan sebanyak 105 data yang masing terbagi menjadi :
Hawar Daun : 25 data training dan 6 data testing
Sehat : 11 data training dan 3 data testing
Sundapteryx : 25 data training dan 5 data testing
Tungau : 23 data training dan 7 data testing
42
CNN
Anchors/Box
Ground-truth
Bounding box
Region Proposal Layer
Kumpulan
Region
Klasifikasi
Bounding box
Foreground/
Regressor
Background
Region
Non Max
Suppresion
ROI Pooling
Classifier Regressor
Bounding box
Deteksi kelas Regression
43
Pada Gambar 4.7 menggambarkan alur dari proses training yang diawali dengan
masukan data gambar yang telah dilakukan resize menjadi 600x800. Kemudian dari data
gambar tersebut diproses menggunakan metode Convolutional Neural Network. Kemudian
feature map dari convolution layer dilakukan pemetakan anchor box yang akan dilabeli
berdasarkan ground thruth yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil pelabelan background
atau foreground ditetapkan berdasarkan nilai IoU yang memiliki threshold 0.6. Dari proses
tersebut, dihasilkan kumpulan region dengan label foreground yang kemudian dilakukan
proses non max suppression agar region yang dihasilkan lebih sederhana dan tidak bertumpuk.
Kumpulan region dengan berbagai ukuran dari feature map yang telah dihasilkan tersebut
kemudian diproses ke dalam ROI pooling untuk direduksi menjadi ukuran yang sama. Hasil
dari ROI pooling tersebut berupa objek proposal yang kemudian diberikan nilai probabilitas
untuk menetukan kelas dan menentukan bounding box untuk tiap wilayah objek. Hasil
akhirnya berupa gambar dengan bounding box yang terdapat objek di dalamnya serta nama
kelas dari objek tersebut. Gambar 4.8 menunjukkan proses training pada Google Colaboratory
yang menampilkan waktu komputasi dan nilai loss setiap step iterasi.
Loss Function yang terjadi selama proses training semakin menurun ketika semakin
banyak iterasi yang dijalankan. Dan di akhir iterasi mendapatkan loss terendah sebesar 0.09
dengan waktu komputasi rata-rata per iterasi 1.4 detik. Grafik loss function ditunjukkan pada
grafik Gambar 4.9.
44
Grafik Loss Function
1.5
Nilai loss
1
0.5
0
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5 8 8.5 9 9.5 10
Iterasi (ribu)
Loss
45
berdasarkan batasan yang dibutuhkan. Pada
second_stage_localization_loss_weight dan
second_stage_classification_loss_weight merupakan bobot yang digunakan
untuk perhitungan loss lokasi bounding box dan loss klasifikasi.
model {
faster_rcnn {
num_classes: 4
image_resizer {
keep_aspect_ratio_resizer {
min_dimension: 600
max_dimension: 1024
}
}
feature_extractor {
type: 'faster_rcnn_inception_v2'
first_stage_features_stride: 16
}
first_stage_anchor_generator {
grid_anchor_generator {
scales: [0.25, 0.5, 1.0, 2.0]
aspect_ratios: [0.5, 1.0, 2.0]
height_stride: 16
width_stride: 16
}
}
first_stage_box_predictor_conv_hyperparams {
op: CONV
regularizer {
l2_regularizer {
weight: 0.0
}
}
initializer {
truncated_normal_initializer {
stddev: 0.01
}
}
}
first_stage_nms_score_threshold: 0.0
first_stage_nms_iou_threshold: 0.6
first_stage_max_proposals: 300
first_stage_localization_loss_weight: 2.0
first_stage_objectness_loss_weight: 1.0
initial_crop_size: 14
maxpool_kernel_size: 2
maxpool_stride: 2
second_stage_box_predictor {
mask_rcnn_box_predictor {
use_dropout: false
dropout_keep_probability: 1.0
fc_hyperparams {
op: FC
regularizer {
l2_regularizer {
weight: 0.0
}
}
initializer {
variance_scaling_initializer {
46
factor: 1.0
uniform: true
mode: FAN_AVG
}
}
}
}
}
second_stage_post_processing {
batch_non_max_suppression {
score_threshold: 0.0
iou_threshold: 0.6
max_detections_per_class: 100
max_total_detections: 300
}
score_converter: SOFTMAX
}
second_stage_localization_loss_weight: 2.0
second_stage_classification_loss_weight: 1.0
}
}
Gambar 4.10. File config Faster RCNN inception v2
Pada Gambar 4.11 merupakan bagian dari file config Faster RCNN inception v2 yang
menunjukkan lokasi penyimpanan file ground truth dan label_map yang digunakan untuk
validasi suatu model setelah proses training.
train_input_reader: {
tf_record_input_reader {
input_path: "D:/Tensorflow Object Detection API/Object
Detection/data/train.record"
}
label_map_path: "D:/Tensorflow Object Detection API/Object
Detection/data/label_map.pbtxt"
}
eval_config: {
num_examples: 81
# Note: The below line limits the evaluation process to 10 evaluations.
# Remove the below line to evaluate indefinitely.
max_evals: 10
}
eval_input_reader: {
tf_record_input_reader {
input_path: "D:/Tensorflow Object Detection API/Object
Detection/data/test.record"
}
label_map_path: "D:/Tensorflow Object Detection API/Object
Detection/data/label_map.pbtxt"
shuffle: false
num_readers: 1
}
Gambar 4.11. Evaluasi Pre-trained Model
47
BAB 5 PENGUJIAN DAN ANALISA
Pelabelan yang digunakan untuk ground truth ada 2 jenis yaitu pelabelan data penuh
1 daun dan pelabelan data per jari. Pelabelan penuh dilakukan untuk melihat kemampuan
sistem dalam mendeteksi penyakit yang mendominasi pada daun dan melihat kemampuan
sistem dalam mendeteksi penyakit jika gejala yang dimiliki sangat kecil. Pelabelan per jari
dilakukan agar sistem dapat mendeteksi penyakit secara detail pada daun karena setiap daun
bisa memiliki lebih dari 1 penyakit. Pelabelan dapat ditunjukkan pada Gambar 5.1 dan 5.2.
48
Gambar 5.1. Ground Truth 1 label penuh
Akurasi deteksi untuk melihat keberhasilan sistem dalam mendeteksi suatu kelas dan
akurasi bounding box untuk melihat ketepatan bounding box dalam menentukan lokasi
deteksi. Akurasi deteksi didapatkan dengan membandingkan jumlah penyakit yang terdeteksi
49
benar dan jumlah seluruh penyakit yang diuji. Sedangkan akurasi bounding box didapatkan
dengan membandingkan letak bounding box yang tepat (BB) dan jumlah penyakit yang
terdeteksi. Hasil dari evaluasi visual dijabarkan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Hasil Evaluasi Visual Data 80%-20%
Label Kelas Akurasi Deteksi (%) Akurasi Bounding Box (%)
1.83 1.83
Hawar Daun 𝑥100% = 36.67% 𝑥100% = 100%
5 1.83
2 2
Sehat 𝑥100% = 40% 𝑥100% = 100%
5 2
Penuh
4 3
Sundapteryx 𝑥100% = 80% 𝑥100% = 75%
5 4
5 3
Tungau 𝑥100% = 100% 𝑥100% = 60%
5 5
Rata-Rata 64.16% 83.75%
1 1
Hawar Daun 𝑥100% = 11.11% 𝑥100% = 100%
9 1
33 32
Sehat 𝑥100% = 94.28% 𝑥100% = 96.96%
35 33
Per Jari
29 29
Sundapteryx 𝑥100% = 85.29% 𝑥100% = 100%
34 29
20 18
Tungau 𝑥100% = 62.5% 𝑥100% = 90%
32 20
Rata-Rata 63.29% 96.74%
Dari hasil evaluasi visual yang ditunjukkan pada Tabel 5.2 menunjukkan bahwa
pelabelan penuh mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pelabelan per jari
daun. Hal ini juga dipengaruhi oleh jumlah data untuk pelatihan yang tidak seragam setiap
kelasnya. Sehingga perlu dilakukan pelatihan menggunakan data yang seragam jumlahnya
untuk perbandingan hasil.
5.1.2. Data untuk Train dan Test Berjumlah Sama setiap Kelas
Pada pengujian ini menggunakan data sebanyak 70 data per kelas, untuk train 58 data
dan untuk test 15 data. Pengujian ini dilakukan karena jumlah keseluruhan data
pembagiannya tidak seragam tiap kelasnya. Ada beberapa penyakit yang mendominasi jumlah
datanya dan adapula yang terlalu sedikit jumlah datanya. Dari total 668 data, hawar daun
memiliki 187 data, sehat 73 data, sundapteryx 190 data, dan tungau 216 data. Oleh karena
50
itu, dilakukan pengujian penyamaan jumlah data untuk melihat pengaruh dari hasil deteksi.
Pengujian ini juga menggunakan 2 jenis pelabelan yaitu pelabelan penuh dan pelabelan per
jari.
Evaluasi visual juga dilakukan untuk melihat kinerja sistem yang dilihat pada 20 sampel
gambar yang masing-masing kelas terdiri dari 5 gambar. Evaluasi visual menghasilkan akurasi
deteksi dan akurasi bounding box yang dihitung menggunakan persamaan (5-1) dan (5-2).
Hasil evaluasi visual ditunjukkan pada Tabel 5.3.
Dari evaluasi visual yang ditunjukkan pada Tabel 5.3, label penuh mendapatkan akurasi
deteksi yang lebih baik dibandingkan dengan label detail per jari namun peletakan bounding
box mendapatkan hasil lebih rendah. Hal tersebut juga bisa dipengaruhi oleh jumlah data
pelatihan yang terlalu sedikit atau jumlah iterasi yang kurang banyak.
51
5.1.3. Data diambil menggunakan Kamera HP dan Pocket
Pengambilan gambar yang digunakan untuk database deteksi penyakit diambil
menggunakan 3 alat yaitu scanner, kamera handphoe, dan kamera pocket. Pada pengujian kali
ini akan membanding hasil dari pengambilan gambar menggunakan kamera yang berbeda.
Kumpulan data tersebut dibagi menjadi 80% data training dan 20% data testing di setiap jenis
kamera. Masing-masing gambar dari jenis kamera juga diuji berdasarkan ground truth yang
berbeda, pelabelan penuh 1 daun dan pelabelan per jari daun. Hasil evaluasi visual
ditunjukkan pada Tabel 5.4 dan 5.5.
52
2 0
Sundapteryx 𝑥100% = 40% 𝑥100% = 0%
5 2
0 0
Tungau 𝑥100% = 0% 𝑥100% = 0%
5 0
Rata-Rata 10% 0%
0 0
Hawar Daun 𝑥100% = 0% 𝑥100% = 0%
9 0
13 10
Sehat 𝑥100% = 37.14% 𝑥100% = 76.92%
35 13
Per Jari
0 0
Sundapteryx 𝑥100% = 0% 𝑥100% = 0%
34 0
5 4
Tungau 𝑥100% = 15.62% 𝑥100% = 80%
32 5
Rata-Rata 13.19% 39.23%
Dari hasil akurasi deteksi dan bounding box yang ditunjukkan pada Gambar 5.4 dan 5.5
menunjukkan bahwa setelah data dari keseluruhan dipisah berdasarkan jenis kamera dan
dilakukan proses training sendiri ternyata hasil yang didapatkan tidak bagus. Hal ini bisa
disebabkan karena jumlah data yang digunakan untuk pelatihan dan pengujian sangat sedikit
sehingga sistem kurang bisa berlatih mengenali setiap ciri-cirinya. Selain itu, perlu diberikan
tambahan mekanisme preprocessing agar setiap jenis gambar yang diambil menggunakan
jenis kamera yang berbeda mendapatkan fitur input yang relatif sama.
Pada beberapa objek dapat terdeteksi dengan benar dan dengan posisi bounding box
yang tepat. Banyak juga yang terdeteksi benar namun posisi bounding box tidak tepat bahkan
untuk 1 deteksi bisa menghasilkan banyak bounding box. Hal tersebut membuat hasil keluaran
berantakan dan sulit terbaca terutama untuk jenis pelabelan per jari. Banyaknya bounding box
yang keluar disebabkan karena proses non-max suppression tidak memperoleh nilai yang
tepat untuk menghasilkan 1 bounding box. Selain sebab tersebut, dapat pula disebabkan oleh
proses non-max suppression dalam suatu library yang tidak berfungsi. Penjabaran mengenai
berbagai jenis hasil keluaran ditunjukkan pada Tabel 5.4.
Bentuk daun dan ciri-ciri setiap penyakit sangat mirip. Jika data yang digunakan untuk
pelatihan terbatas maka sistem pun juga akan sulit mengenali setiap penyakitnya. Selain itu,
perbedaan alat yang digunakan untuk mengambil gambar juga membuat ciri yang baru pada
daun seperti perbedaan warna. Karena tidak melewati pre-processing terlebih dahulu, maka
gambar yang memiliki perbedaan warna juga sulit untuk terdeteksi.
53
Tabel 5.4. Berbagai jenis hasil keluaran
Output Keterangan
Hasil keluaran dengan deteksi yang benar
dan letak bounding box yang tepat
54
5.2. Perbandingan Nilai
Pada proses training menyajikan informasi nilai loss, precision (mAP), dan recall pada
bounding box yang terprediksi pada suatu kelas. Grafik nilai-nilai tersebut disajikan pada
Gambar 5.3. NIlai loss untuk semua skenario sama-sama semakin menurun dengan
bertambahnya iterasi. Namun untuk skenario dengan pelabelan penuh memiliki nilai loss yang
lebih rendah dibandingkan dengan pelabelan per jari.
Bounding box yang dikeluarkan oleh sistem merupakan prediksi batas terhadap
koordinat ground truth dan IoU yang digunakan untuk menyetel batas ini berdasarkan ambang
batas yang ditentukan. Pada model penelitian ini mempertimbangkan semua ambang batas
dalam satu metrik dengan menggunakan mAP. Kurva mAP merupakan kurva yang
menggambarkan precision-recall dalam satu angka. Pada grafik yang ditunjukkan pada
Gambar 5.3 bagian mAP menunjukkan bahwa semakin bertambahnya iterasi maka nilai mAP
juga semakin tinggi dan skenario dengan pelabelan penuh memiliki nilai mAP lebih tinggi
dibandingkan dengan pelabelan per jari namun pelabelan per jari pergerakannya lebih stabil
antar iterasi.
Average recall (AR)@1 merupakan rata-rata recall disemua gambar, semua kelas, dan
semua ambang IoU dengan paling banyak 1 deteksi. Grafik AR@1 menunjukkan kenaikan nilai
di setiap bertambahnya iterasi. Untuk data dengan pelabelan penuh memiliki nilai AR lebih
tinggi dibandingkan dengan pelabelan jari. Namun pergerakan nilainya lebih stabil untuk yang
pelabelan per jari.
Loss
12
10
8
NILAI LOSS
0
0
9
0.3
0.6
0.9
1.2
1.5
1.8
2.1
2.4
2.7
3.3
3.6
3.9
4.2
4.5
4.8
5.1
5.4
5.7
6.3
6.6
6.9
7.2
7.5
7.8
8.1
8.4
8.7
9.3
9.6
9.9
ITERASI (RIBU)
A B C D E F G H
55
Mean Average Precision (mAP)
0.5
0.45
0.4
0.35
0.3
MAP
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5 8 8.5 9 9.5 10
ITERASI (RIBU)
A B C D E F G H
0.7
0.6
0.5
AR@1
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5 8 8.5 9 9.5 10
ITERASI (RIBU)
A B C D E F G H
Keterangan :
A = Data 80%-20% dengan label penuh
B = Data 80%-20% dengan label detail per jari
C = Jumlah data sama tiap kelas (58-15) dengan label penuh
D = Jumlah data sama tiap kelas (58-15) dengan label detail per jari
E = Data dari kamera handphone dengan label penuh
F = Data dari kamera handphone dengan label detail per jari
56
G = Data dari kamera pocket dengan label penuh
H = Data dari kamera pocket dengan label detail per jari
Ketika skenario pengujian dengan akurasi deteksi terbaik yaitu pembagian data
seragam, diuji ke dalam metode Convolutional Neural Network ternyata membutuhkan waktu
yang cukup lama ketika proses training. Perbandingannya dengan Faster RCNN yaitu selama 3
jam metode ini dapat menyelesaikan 10000 langkah. Sedangkan CNN hanya mendapatkan 100
epoch dengan ukuran batch 32 pada waktu tersebut. Namun nilai loss yang didapatkan pun
juga cenderung menurun disetiap pertambahan epoch seperti yang ditunjukkan pada Gambar
5.4
2.5
Loss/Accuracy
1.5
Train acc
1 Train loss
0.5
0
129
1
17
33
49
65
81
97
113
145
161
177
193
Epoch
57
BAB 6 PENUTUP
6.1. KESIMPULAN
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan pada penelitian ini dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Hasil akurasi yang didapatkan pada deteksi tanaman kenaf dari pengujian yang telah
dilakukan berbeda setiap skenario pengujian. Hasil akurasi deteksi terbaik yaitu 77.502%
dari skenario pengujian data dengan jumlah seragam tiap kelasnya dan menggunakan
pelabelan penuh 1 daun. Sedangkan untuk akurasi bounding box terbaik yaitu 96.74% dari
skenario pengujian dengan pembagian data 80%-20% dan menggunakan pelabelan per jari
daun.
2. Pengaruh dari perbedaan jumlah data tiap kelas yang digunakan saat pelatihan bisa
berpengaruh terhadap hasil akurasi. Dari skenario pengujian antara penggunaan data
seragam jumlahnya dengan data yang tidak seragam namun jumlah data yang digunakan
lebih banyak, rata-rata akurasi deteksi lebih baik yang memiliki jumlah data yang seragam
yaitu 64.886% dan yang tidak seragam jumlahnya namun jumlah data lebih banyak yaitu
63.725%.
3. Pengaruh dari pelabelan data terhadap data yang digunakan pelatihan juga dapat
mempengaruhi hasil akurasi deteksi dan akurasi bounding box. Akurasi deteksi untuk
pelabelan penuh rata-rata 70.831% dan pelabelan per jari rata-rata 57.78%. Namun untuk
akurasi bounding box rata-rata untuk pelabelan penuh 78.305% dan pelabelan per jari
95.62%. Jadi setiap deteksi yang diberikan pada data yang berlabel benar juga terdapat
bounding box dengan posisi yang tepat pula. Dan yang membuat akurasi deteksi rendah
bisa juga dikarenakan oleh perhitungan yang setiap jarinya harus terdeteksi. Padahal dari
beberapa gambar, ada yang tidak terdeteksi semua jarinya namun sudah cukup mewakili
deteksi kelasnya.
4. Pengaruh dari perbedaan jenis kamera untuk pengambilan gambar tidak terlalu terlihat
dan memberikan hasil akurasi yang kurang baik. Karena jumlah data ketika diambil per
jenis kamera menjadi sangat sedikit untuk pelatihannya sehingga banyak gambar yang
tidak terdeteksi dengan benar bahkan banyak pula gambar yang tidak terdeteksi sama
sekali.
5. Dari beberapa skenario yang diuji, nilai loss semakin menurun seiring bertambahnya
iterasi. Loss yang lebih rendah dimiliki oleh skenario-skenario yang berlabel penuh. Begitu
58
pula dengan nilai mAP dan recall yang lebih tinggi dimiliki oleh skenario-skenario berlabel
penuh. Untuk akurasi deteksi dan akurasi bounding box tertinggi dimiliki oleh skenario
dengan jumlah data yang seragam dan data yang digunakan diambil menggunakan 3 jenis
alat yaitu kamera handphone, pocket dan scanner. Perbedaan jenis alat pengambilan
gambar bisa menjadi variasi dalam pelatihan sehingga bisa mendeteksi data dari berbagai
kondisi pencahayaan. Maka dari itu, untuk pengoptimalan model yang telah diuji, perlu
ditambahkan jumlah data dan diseragamkan jumlahnya agar bisa mendapatkan hasil
akurasi yang lebih baik.
6.2. SARAN
Untuk meningkatkan hasil akurasi deteksi dan bounding box dapat menggunakan cara
pelabelan per jari dan meningkatkan jumlah iterasi. Data yang digunakan adalah data 80%-
20% namun jumlah data diperbanyak dan jumlah antar kelasnya tidak berbeda jauh atau sama
agar lebih seimbang dan dapat mendeteksi kelas dengan baik. Selain itu, sistem juga bisa
ditambahkan pengenalan daun kenaf atau bukan serta penambahan mekanisme
preprocessing agar mendapatkan nilai yang relative sama untuk input dari segala jenis kamera
yang digunakan. Sehingga untuk penelitian berikutnya dapat dilanjutkan dengan deteksi hama
dan penyakit tanaman kenaf secara real time tanpa background putih pada daun. Untuk hasil
optimal pada bounding box harus diperbaiki kembali pada proses non-max suppression nya.
59
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, D., & Fachrurrozi, M. (2019). Faster R-CNN with Inception V2 for Fingertip Detection
in Homogenous Background Image. Journal of Physics : Conference Series, International
Conference on Information System, Computer Science and Engineering, 1196.
https://doi.org/10.1088/1742-6596/1196/1/012017
Anthonys, G., & Wickramarachchf, N. (2009). An Image Recognition System for Crop Disease
Identification of Paddy fields in Sri Lanka. In Fourth International Conference on Industrial
and Information Systems (pp. 403–407).
Chaudhari, K. G. (2018). Comparitive analysis of CNN models to diagnose Breast Cancer.
International Journal of Innovative Research in Science, 7(10), 8180–8187.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3729056
Corporation, T. B. (2012). Toyota Boshoku Develops New Automobile Interior Parts Utilizing
Plant-based Kenaf Material. Retrieved from https://www.toyota-
boshoku.com/global/news/release/detail.php?id=1951
Dalai, R., & Senapati, K. K. (2017). Comparison of Various RCNN techniques for Classification
of Object from Image. International Research Journal of Engineering and Technology
(IRJET), 4(7), 3147–3150.
Dempsey, J. M. (1975). Fibre Crops. USA: The University Presses of Florida, Gainesville.
Ghoury, S., Sungur, C., & Durdu, A. (2019). Real-Time Diseases Detection of Grape and Grape
Leaves using Faster R-CNN and SSD MobileNet Architectures. In International Conference
on Advanced Technologies, Computer Engineering and Science (ICATCES 2019) (pp. 39–
44). Alanya, Turkey.
Girshick, R., Donahue, J., Darrell, T., Malik, J., & Berkeley, U. C. (2014). Rich feature hierarchies
for accurate object detection and semantic segmentation. IEEE Conference on Computer
Vision and Pattern Recognition (CVPR).
Grel, T. (2017). Region of Interest Pooling Explained.
Hassan, F., Zulkifli, R., Ghazali, M. J., & Azhari, C. H. (2017). Kenaf Fiber Composite in
Automotive Industry : An Overview, 7(1), 315–321.
Huda, A. H. N., Ramlah, M. T., Zakiah, A., Aisyah, G. S., & Suhaila, S. E. (2014). Reclamation of
Nutrient from Kenaf Retted Wastewater using Newly Designed Ultrafiltration Membrane.
In 5th Brunei International Conference on Engineering and Technology (pp. 1–6). Bandar
Seri Begawan, Brunei: IET. https://doi.org/10.1049/cp.2014.1063
Joshi, A. A., & Jadhav, B. D. (2016). Monitoring and Controlling Rice Diseases Using Image
60
Processing Techniques. In International Conference on Computing, Analytics and Security
Trends (pp. 471–476).
Karlita, T., Sunarya, I. M. G., Priambodo, J., Rokhana, R., Yuniarno, E. M., Purnama, I. K. E., &
Purnomo, M. H. (2019). Deteksi Region of Interest Tulang pada Citra B-mode secara
Otomatis Menggunakan Region Proposal Networks. Jurnal Nasional Teknik Elektro Dan
Teknologi Informasi, 8(1), 68–76.
Narkhede, S. (2018). Understanding Confusion Matrix. Retrieved from
https://towardsdatascience.com/understanding-confusion-matrix-a9ad42dcfd62
Pawar, P., Turkar, V., & Patil, P. (2016). Cucumber Disease Detection Using Artificial Neural
Network. International Conference on Inventive Computation Technologies (ICICT), 3, 1–
5.
Perkebunannews.com. (2019). Permasalahan Pengembangan Kenaf. Retrieved March 31,
2021, from https://mediaperkebunan.id/permasalahan-pengembangan-kenaf/
Phadikar, S., & Sil, J. (2008). Rice Disease Identification using Pattern Recognition Techniques.
In 11th International Conference on Computer and Information Technology (pp. 420–
423).
Phadikar, S., Sil, J., & Das, A. K. (2012). Classification of Rice Leaf Diseases Based on
Morphological Changes. International Journal of Information and Electronics Engineering,
2(3), 460–463.
Prasetya, R. P., & Bachtiar, F. A. (2017). Indonesian Food Items Labeling for Tourism
Information Using Convolution Neural Network. In Sustainable Information Engineering
and Technology.
Qayyum, R., Kamal, K., Zafar, T., & Mathavan, S. (2016). Wood Defects Classification Using
GLCM Based Features And PSO Trained Neural Network. In 22nd International
Conference on Automation and Computing (pp. 3–7).
Ren, S., He, K., Girshick, R., & Sun, J. (2015). Faster R-CNN : Towards Real-Time Object
Detection with Region Proposal Networks. Neural Information Processing Systems (NIPS),
1–14.
Shianto, K. A., Gunadi, K., & Setyati, E. (2019). Deteksi Jenis Mobil Menggunakan Metode YOLO
Dan Faster R-CNN. Jurnal Infra, 7(1). Retrieved from https://deepsense.ai/region-of-
interest-pooling-explained/
Singh, R. K., Dubey, S. R., & Srivastava, R. K. (2013). Status of Kenaf (Hibiscus Cannabinus L)
Diseases in the Districts of North Eastern Plain Zone of Uttar Pradesh. Global Journal of
61
Biology, Agriculture, and Health Sciences, 2(1), 72–73. https://doi.org/10.1094/PHP-
2007-0508-01-RS.Sellers
Sladojevic, S., Arsenovic, M., Anderla, A., Culibrk, D., & Stefanovic, D. (2016). Deep Neural
Networks Based Recognition of Plant Diseases by Leaf Image Classification.
Computational Intelligence and Neuroscience, 2016, 11.
https://doi.org/https://doi.org/10.1155/2016/3289801
Suartika, I. W., Wijaya, A. Y., & Soelaiman, R. (2016). Klasifikasi Citra Menggunakan
Convolutional Neural Network ( Cnn ) pada Caltech 101. Jurnal Teknik ITS, 5(1).
Sudjindro, Heliyanto, B., Purwati, R. D., & Marjani. (1999). Perbaikan Varietas Kenaf, Rosela,
dan Yute. Warta Litbang Tanaman Industri, 4(4), 2–4.
Sunarto, D. A., Soetopo, D., & Sujak. (2009). Hama Tanaman Kenaf dan Pengendaliannya. In
Kenaf (Hibiscus cannabicus L.( (pp. 69–92).
Swart, W. J., & Tesfaendrias, M. T. (2003). First report of Sclerotia rolfsii on Kenaf in South
Africa. Plant Disease APS Journal, 87, 874.
Szegedy, C., Vanhoucke, V., Loffe, S., Shlens, J., & Wojna, Z. (2016). Rethinking the Inception
Architecture for Computer Vision. Conference: Computer Vision and Pattern Recognition.
Wang, L., Scott, K. A., Xu, L., & Clausi, D. A. (2016). Sea Ice Concentration Estimation During
Melt From Dual-Pol SAR Scenes Using Deep Convolutional Neural Networks : A Case
Study. IEEE Transaction on Geoscience and Remote Sensing, 54(8), 1–10.
Wen, L., Li, X., Gao, L., & Zhang, Y. (2018). A New Convolutional Neural Network Based Data-
Driven Fault Diagnosis Method. IEEE Transactions on Industrial Electronics, 65(7), 5990–
5998. https://doi.org/10.1109/TIE.2017.2774777
Yulianti, T., & Supriyono. (2009). Penyakit Tanaman Kenaf dan Pengendaliannya. In Kenaf
(Hibiscus cannabicus L.( (pp. 93–106).
Zhang, F., & Noe, J. P. (1996). Damage Potential and Reproduction of Meloidogyne incognita
Race 3 and M . arenaria Race 1 on Kenaf. Supplement to Journal of Nematology, 28, 668–
675.
62
LAMPIRAN
63
Sehat 1 Sehat 1
Sehat 0 Tungau 0
Sehat 0 Tungau 0
Sehat 0 Tungau 0
Sehat 1 Sehat 1
64
Sundapteryx ½ Sundapteryx dan 0
0 Tungau
Sundapteryx 1 Sundapteryx 1
Sundapteryx 1 Sundapteryx 1
Sundapteryx 1 Sundapteryx 1
65
Tungau 1 Tungau 1
Tungau 1 Tungau 0
Tungau 1 Tungau 0
Tungau 1 Tungau 1
Tungau 1 Tungau 1
66
2. Evaluasi Visual Data 80%-20% Label Per Jari
Deteksi Hasil Sebenarnya Keluaran Sistem TP Bounding Box
(Dari Kiri) (Dari Kiri)
1 Hawar Daun 1 Hawar Daun 1 Hawar Daun
67
1 Sehat 1 Sehat 6 Sehat
2 Sehat 2 Sehat
3 Sehat 3 Sehat
4 Sehat 4 Sehat
5 Sehat 5 Sehat
6 Sehat 6 Sehat
7 Sehat 7 Sehat
1 Sehat 1 Sehat 3 Sehat
2 Sehat 2 Sehat
3 Sehat 3 Sehat
68
1 Sundapteryx 1 Sundapteryx 6 Sundapteryx
2 Sundapteryx 2 Sundapteryx
3 Sundapteryx 3 Sundapteryx
4 Sundapteryx 4 Tidak terdeteksi
5 Sundapteryx 5 Sundapteryx
6 Sundapteryx 6 Sundapteryx
7 Sundapteryx 7 Sundapteryx
1 Sundapteryx 1 Sundapteryx 7 Sundapteryx
2 Sundapteryx 2 Sundapteryx
3 Sundapteryx 3 Sundapteryx
4 Sundapteryx 4 Sundapteryx
5 Sundapteryx 5 Sundapteryx
6 Sundapteryx 6 Sundapteryx
7 Sundapteryx 7 Sundapteryx
1 Sundapteryx 1 Tidak terdeteksi 2 Sundapteryx
2 Sundapteryx 2 Tidak terdeteksi
3 Sundapteryx 3 Sundapteryx
4 Sundapteryx 4 Tidak terdeteksi
5 Sundapteryx 5 Tidak terdeteksi
6 Sundapteryx 6 Sundapteryx
69
1 Sundapteryx 1 Sundapteryx 7 Sundapteryx
2 Sundapteryx 2 Sundapteryx
3 Sundapteryx 3 Sundapteryx
4 Sundapteryx 4 Sundapteryx
5 Sundapteryx 5 Sundapteryx
6 Sundapteryx 6 Sundapteryx
7 Sundapteryx 7 Sundapteryx
1 Tungau 1 Tungau 5 Tungau
2 Tungau 2 Tungau
3 Tungau 3 Tungau
4 Tungau 4 Tungau
5 Tungau 5 Tungau
70
7 Tungau 7 Tungau
1 Tungau 1 Tidak terdeteksi 3 Tungau
2 Tungau 2 Tungau
3 Tungau 3 Tungau
4 Tungau 4 Tungau
5 Tungau 5 Tidak terdeteksi
71
Hawar Daun ½ Hawar Daun dan ½
0 Sehat
Sehat 1 Sehat 1
Sehat 1 Sehat 0
72
Sehat 1 Sehat 1
Sundapteryx 1 Sundapteryx 1
73
Sundapteryx 1 Sundapteryx 1
Tungau 1 Tungau 1
Tungau 1 Tungau 0
74
Tungau 1 Tungau 1
Tungau 1 Tungau 1
75
1 Sehat 1 Sehat 3 Sehat
2 Sehat 2 Sehat
3 Hawar Daun 3 Tidak terdeteksi
4 Sehat 4 Sehat
5 Hawar Daun 5 Sehat
76
1 Sehat 1 Sehat 3 Sehat
2 Sehat 2 Sehat
3 Sehat 3 Sehat
77
1 Sundapteryx 1 Tidak terdeteksi 0
2 Sundapteryx 2 Tungau
3 Sundapteryx 3 Tungau
4 Sundapteryx 4 Tungau
5 Sundapteryx 5 Tidak terdeteksi
6 Sundapteryx 6 Tidak terdeteksi
7 Sundapteryx 7 Tidak terdeteksi
1 Sundapteryx 1 Tidak terdeteksi 1 Sundapteryx
2 Sundapteryx 2 Tidak terdeteksi
3 Sundapteryx 3 Sundapteryx
4 Sundapteryx 4 Tidak terdeteksi
5 Sundapteryx 5 Sehat
6 Sundapteryx 6 Tidak terdeteksi
78
1 Tungau 1 Tungau 5 Tungau
2 Tungau 2 Tungau
3 Tungau 3 Tungau
4 Tungau 4 Tungau
5 Tungau 5 Tungau
79
5. Evaluasi Visual Data 80%-20% Label Penuh dari Kamera Handphone
Deteksi Hasil Sebenarnya Keluaran Sistem TP Bounding Box
Hawar Daun 0 Tidak terdeteksi 0
80
Sehat 0 Hawar Daun dan 0
½ Sehat
Sehat 1 Sehat 1
81
Sundapteryx 0 Tidak terdeteksi 0
Sundapteryx 0 Sehat 0
82
Tungau 0 Tidak terdeteksi 0
83
6. Evaluasi Visual Data 80%-20% Label Per Jari dari Kamera Handphone
Deteksi Hasil Sebenarnya Keluaran Sistem TP Bounding Box
(Dari Kiri) (Dari Kiri)
1 Hawar Daun 1 Tidak terdeteksi 0
84
1 Hawar Daun 1 Tidak terdeteksi 0
2 Tungau 2 Tidak terdeteksi
3 Tungau 3 Tidak terdeteksi
4 Tungau 4 Tidak terdeteksi
5 Hawar Daun 5 Tidak terdeteksi
85
1 Sehat 1 Sehat 3 Sehat
2 Sehat 2 Tidak terdeteksi
3 Sehat 3 Sehat
4 Sehat 4 Sehat
5 Sehat 5 Sehat
6 Sehat 6 Sehat
7 Sehat 7 Sehat
1 Sundapteryx 1 Tidak terdeteksi ½ Sundapteryx
2 Sundapteryx 2 Tidak terdeteksi
3 Sundapteryx 3 Tungau
4 Sundapteryx 4 Tidak terdeteksi
5 Sundapteryx 5 Tungau
6 Sundapteryx 6 Tungau
7 Sundapteryx 7 0 Tungau dan ½
Sundapteryx
1 Sundapteryx 1 Tidak terdeteksi 0
2 Sundapteryx 2 Sundateryx
3 Sundapteryx 3 Tungau
4 Sundapteryx 4 Tungau
5 Sundapteryx 5 Tungau
6 Sundapteryx 6 Tungau
7 Sundapteryx 7 Tidak terdeteksi
1 Sundapteryx 1 Tidak terdeteksi 0
2 Sundapteryx 2 Sehat
3 Sundapteryx 3 Sehat
4 Sundapteryx 4 Tidak terdeteksi
5 Sundapteryx 5 Sehat
6 Sundapteryx 6 Tungau
86
1 Sundapteryx 1 Tidak terdeteksi 0
2 Sundapteryx 2 Tidak terdeteksi
3 Sundapteryx 3 Tidak terdeteksi
4 Sundapteryx 4 Tungau
5 Sundapteryx 5 Tidak terdeteksi
6 Sundapteryx 6 Tungau
7 Sundapteryx 7 Tidak terdeteksi
1 Sundapteryx 1 Tidak terdeteksi 0
2 Sundapteryx 2 Tungau
3 Sundapteryx 3 Tidak terdeteksi
4 Sundapteryx 4 Tungau
5 Sundapteryx 5 Tidak terdeteksi
6 Sundapteryx 6 Tidak terdeteksi
7 Sundapteryx 7 Tidak terdeteksi
1 Tungau 1 Tungau 1 Tungau
2 Tungau 2 Tidak terdeteksi
3 Tungau 3 Tidak terdeteksi
4 Tungau 4 Tidak terdeteksi
5 Tungau 5 Tidak terdeteksi
1 Tungau 1 Sehat 0
2 Tungau 2 Sehat
3 Tungau 3 Tidak terdeteksi
4 Tungau 4 Tidak terdeteksi
5 Tungau 5 Tidak terdeteksi
6 Tungau 6 Sehat
87
7 Tungau 7 Sehat
1 Tungau 1 Tidak terdeteksi 3 Tungau
2 Tungau 2 Tungau
3 Tungau 3 Tungau
4 Tungau 4 Tidak terdeteksi
5 Tungau 5 Tungau
6 Tungau 6 Tidak terdeteksi
7 Tungau 7 Tidak terdeteksi
1 Tungau 1 Tidak terdeteksi 0
2 Tungau 2 Sundapteryx
3 Tungau 3 Sundapteryx
4 Tungau 4 Tidak terdeteksi
5 Tungau 5 Tidak terdeteksi
88
Hawar Daun 0 Sundapteryx 0
Sehat 0 Sundapteryx 0
89
Sehat 0 Tidak terdeteksi 0
Sehat 0 Sundapteryx 1
90
Sundapteryx 1 Sundapteryx 0
Sundapteryx 1 Sundapteryx 0
91
Tungau 0 Sundapteryx 0
8. Evaluasi Visual Data 80%-20% Label Per Jari dari Kamera Pocket
Deteksi Hasil Sebenarnya Keluaran Sistem TP Bounding Box
(Dari Kiri) (Dari Kiri)
1 Hawar Daun 1 Tidak terdeteksi 0
92
1 Sehat 1 Sehat 2 Sehat
2 Sehat 2 Sehat
3 Hawar Daun 3 Tidak terdeteksi
4 Sehat 4 Tidak terdeteksi
5 Hawar Daun 5 Tidak terdeteksi
93
1 Sehat 1 Tidak terdeteksi 0
2 Sehat 2 Tidak terdeteksi
3 Sehat 3 Tidak terdeteksi
94
1 Sundapteryx 1 Tidak terdeteksi 0
2 Sundapteryx 2 Tidak terdeteksi
3 Sundapteryx 3 Tidak terdeteksi
4 Sundapteryx 4 Tidak terdeteksi
5 Sundapteryx 5 Tidak terdeteksi
6 Sundapteryx 6 Tidak terdeteksi
7 Sundapteryx 7 Tidak terdeteksi
1 Sundapteryx 1 Sehat 0
2 Sundapteryx 2 Sehat
3 Sundapteryx 3 Sehat
4 Sundapteryx 4 Sehat
5 Sundapteryx 5 Tidak terdeteksi
6 Sundapteryx 6 Tidak terdeteksi
95
1 Tungau 1 Tungau 1 Tungau
2 Tungau 2 Tungau
3 Tungau 3 Tungau
4 Tungau 4 Tidak terdeteksi
5 Tungau 5 Tidak terdeteksi
96
97