Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN

KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FEBRIS DI


RUANG INTERNA RS SURYA HUSADA

OLEH:

Ni Putu Mita Ananda Pertiwi,S.Kep

NIM. C1222001

PROGRAM PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

BINA USADA BALI

2022
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
A. Anatomi Fisiologi

Hipotalamus pada daerah dasar atau lunas ventrikel ketiga terdapat


beberapa nukleus tertentu yang memiliki kegiatan fisiologik yang
tertentu juga. Fungsi-fungsi seperti pengaturan suhu tubuh, lapar dan
haus diatur oleh pusat-pusat dalam hipotalamus. Sulkul sentralis atau
fisura rolandi memisahkan lobus frontalis dari lobus parietalis. Lobus
oksipitalis terletak dibelakang lobus frontalis dan bersandar pada
tentonium seregali yaitu sebuah lipatan duramater yang memisahkan fosa
kranialis tengah, fosa kranialis posterior dibawahnya sulkul lateralis atau
fisura dilurus memisahkan lobus temporalis dari lobus frontalis pada
daerah sebelah anterior dan dari lobus parietalis pada sebelah posterior
(Dinarello& Gelfand, 2015).
B. Definisi
Demam adalah peningkatan titik patokan (set point) suhu di hipotalamus
(Elizabeth J. Corwin, 2010). Dikatakan demam jika suhu orang menjadi lebih
dari 37,50C. Demam terjadi karena pelepasan pirogen dari dalam leukosit yang
sebelumnya telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari
mikroorganisme atau merupakan suatu hasil reaksi imunologik yang tidak
berdasarkan suatu infeksi (E. Oswari, 2019).
Demam berarti suhu tubuh diatas batas normal biasa, dapat disebabkan
oleh kelainan dalam otak sendiri atau oleh zat toksik yang mempengaruhi pusat
pengaturan suhu, penyakit-penyakit bakteri, tumor otak atau dehidrasi. Demam
adalah keadaan dimana terjadi kenaikan suhu hingga 38⁰C atau lebih. Ada juga
yang yang mengambil batasan lebih dari 37,8⁰C. Sedangkan bila suhu tubuh
lebih dari 40⁰C disebut demam tinggi (hiperpireksia) (Elizabeth J. Corwin,
2013).
C. Etiologi
Menurut Adha (2015) bahwa etiologi febris, diantaranya:
1. Suhu lingkungan.
2. Adanya infeksi.
3. Pneumonia.
4. Malaria.
5. Otitis media.
6. Imunisasi
Penyebab demam selain infeksi juga dapat disebabkan oleh keadaan
toksemia, keganasan atau reaksi terhadap pemakaian obat, juga pada gangguan
pusat regulasi suhu sentral (misalnya: perdarahan otak, koma). Pada dasarnya
untuk mencapai ketepatan diagnosis penyebab demam diperlukan antara lain:
ketelitian penggambilan riwayat penyakit pasien, pelaksanaan pemeriksaan
fisik, observasi perjalanan penyakit dan evaluasi pemeriksaan
laboratorium.serta penunjang lain secara tepat dan holistik. Beberapa hal
khusus perlu diperhatikan pada demam adalah cara timbul demam, lama
demam, tinggi demam serta keluhan dan gejala lian yang menyertai demam.
Demam belum terdiagnosa adalah suatu keadaan dimana seorang pasien
mengalami demam terus menerus selama 3 minggu dan suhu badan diatas 38,3
derajat celcius dan tetap belum didapat penyebabnya walaupun telah diteliti
selama satu minggu secara intensif dengan menggunakan sarana laboratorium
dan penunjang medis lainnya (Nurarif dan Kusuma, 2016).
D. Manifestasi Klinis
a. Anak rewel (suhu lebih tinggi dari 37,80C – 400C)
b. Kulit kemerahan
c. Hangat pada sentuhan
d. Peningkatan frekuensi pernafasan
e. Menggigil
f. Dehidrasi
g. Kehilangan nafsu makan
(Nurarif dan Kusuma, 2016)
E. Patofisiologi
Demam adalah sebagai mekanisme pertahanan tubuh (respon imun) anak
terhadap infeksi atau zat asing yang masuk ke dalam tubuhnya. Bila ada infeksi
atau zat asing masuk ke tubuh akan merangsang sistem pertahanan tubuh
dengan dilepaskannya pirogen. Pirogen adalah zat penyebab demam, ada yang
berasal dari dalam tubuh (pirogen endogen) dan luar tubuh (pirogen eksogen)
yang bisa berasal dari infeksi oleh mikroorganisme atau merupakan reaksi
imunologik terhadap benda asing (non infeksi). Zat pirogen ini dapat berupa
protein, pecahan protein, dan zat lain, terutama toksin polisakarida, yang
dilepas oleh bakteri toksik yang dihasilkan dari degenerasi jaringan tubuh
menyebabkan demam selama keadaan sakit.
Mekanisme demam dimulai dengan timbulnya reaksi tubuh terhadap
pirogen. Pada mekanisme ini, bakteri atau pecahan jaringan akan difagositosis
oleh leukosit darah, makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh bergranula
besar. Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri ke dalam
cairan tubuh, yang disebut juga zat pirogen leukosit. Pirogen selanjutnya
membawa pesan melalui alat penerima (reseptor) yang terdapat pada tubuh
untuk disampaikan ke pusat pengatur panas di hipotalamus. Dalam hipotalamus
pirogen ini akan dirangsang pelepasan asam arakidonat serta mengakibatkan
peningkatan produksi prostaglandin (PGEZ). Ini akan menimbulkan reaksi
menaikkan suhu tubuh dengan cara menyempitkan pembuluh darah tepi dan
menghambat sekresi kelenjar keringat. Pengeluaran panas menurun, terjadilah
ketidakseimbangan pembentukan dan pengeluaran panas. Inilah yang
menimbulkan demam pada anak. Suhu yang tinggi ini akan merangsang
aktivitas “tentara” tubuh (sel makrofag dan sel limfosit T) untuk memerangi zat
asing tersebut dengan meningkatkan proteolisis yang menghasilkan asam
amino yang berperan dalam pembentukan antibodi atau sistem kekebalan tubuh
(Adha, 2015).
F. Pathway

Rangsang mekanik dan


Infeksi bakteri,
virus dan parasit biokimia

Perubahan konsentrasi
Reaksi inflamasi ion di ruang
ekstraseluler

Proses demam Keseimbangan potensial


membrane ATPASE

Difusi Na+ dan K+

Resiko kejang Kejang Aktivitas otot


berulang meningkat

Kurang informasi Metabolisme


pengobatan meningkat
perawatan: kondisi,
prognosis
Suhu tubuh
meningkat
Kurang Usia 20 bulan
pengetahuan

Hipertermi

kemampuan
indentifikasi
masalah (-)

Risiko jatuh Lingkuangan


yang di rasakan
G. Klasifikasi
Menurut Nurarif dan kusuma, 2016 memiliki klasifikasi sebagai berikut:
1. Demam septic
Suhu badan berangsur naik ketingkat yang tinggi sekali pada malam hari
dan turun kembali ketingkat diatas normal pada pagi hari. Sering disertai
keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun
ketingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.
2. Demam remiten
Suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan
normal. Penyebab suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat
dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat demam septik.
3. Demam intermiten
Suhu badan turun ketingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu
hari. Bila demam seperti ini terjadi dalam dua hari sekali disebut tersiana
dan bila terjadi dua hari terbebas demam diantara dua serangan demam
disebut kuartana.
4. Demam kontinyu
Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada
tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.
5. Demam siklik
Terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh
beberapa periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti
oleh kenaikan suhu seperti semula. Suatu tipe demam kadang-kadang
dikaitkan dengan suatu penyakit tertentu misalnya tipe demam intermiten
untuk malaria. Seorang pasien dengan keluhan demam mungkin dapat
dihubungkan segera dengan suatu sebab yang jelas seperti : abses,
pneumonia, infeksi saluran kencing, malaria, tetapi kadang sama sekali tidak
dapat dihubungkan segera dengan suatu sebab yang jelas. Dalam praktek
90% dari para pasien dengan demam yang baru saja dialami, pada dasarnya
merupakan suatu penyakit yang self-limiting seperti influensa atau penyakit
virus sejenis lainnya. Namun hal ini tidak berarti kita tidak harus tetap
waspada terhadap infeksi bakterial.
Jenis demam Ciri-ciri
Demam septic Malam hari suhu naik sekali, pagi hari turun
hingga diatas normal, sering disertai
menggigil dan berkeringat
Demam remitten Suhu badan dapat turun setiap hari tapi tidak
pernah mencapai normal. Perbedaan suhu
mungkin mencapai 2 derajat namun
perbedaannya tidak sebesar demam septik.
Demam intermiten Suhu badan turun menjadi normal selama
beberapa jam dalam satu hari. Bila demam
terjadi dua hari sekali disebut tertiana dan
apabila terjadi 2 hari bebas demam diantara
2 serangan demam disebut kuartana.
Demam kontinyu Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda
lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam
yang terus menerus tinggi sekali disebut
hiperpireksia

H. Komplikasi
Menurut Nurarif dan Kusuma (2016) komplikasi yang dapat ditimbulka
oleh demam yaitu:
a. Dehidrasi : demam meningkatkan penguapan cairan tubuh
b. Kejang demam : jarang sekali terjadi (1 dari 30 anak demam). Sering terjadi
pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun. Serangan dalam 24 jam pertama
demam dan umumnya sebentar, tidak berulang. Kejang demam ini juga
tidak membahayan otak.
I. Pemeriksaan Penunjang
Sebelum meningkat ke pemeriksaan-pemeriksaan yang mutakhir, yang
siap tersedia untuk digunakan seperti ultrasonografi, endoskopi atau scanning,
masih dapat diperiksa bebrapa uji coba darah, pembiakan kuman dari cairan
tubuh/lesi permukaan atau sinar tembus rutin. Dalam tahap berikutnya dapat
dipikirkan untuk membuat diagnosis dengan lebih pasti melalui biopsy pada
tempat- tempat yang dicurigai. Juga dapat dilakukan pemeriksaan seperti
angiografi, aortografi, atau limfangiografi (Nurarif dan Kusuma, 2016).
J. Penatalaksanaan
Penatalaksaan yang dapat dilakukan pada pasien anak yang mengalami demam
antara lain (Nurarif dan Kusuma, 2016):
a. Secara Fisik
Mengawasi kondisi klien dengan : Pengukuran suhu secara berkala setiap 4-
6 jam. Perhatikan apakah anak tidur gelisah, sering terkejut, atau
mengigau.Perhatikan pula apakah mata anak cenderung melirik ke atas atau
apakah anak mengalami kejang-kejang. Demam yang disertai kejang yang
terlalu lama akan berbahaya bagi perkembangan otak, karena oksigen tidak
mampu mencapai otak. Terputusnya suplai oksigen ke otak akan berakibat
rusaknya sel-sel otak. Dalam keadaan demikian, cacat seumur hidup dapat
terjadi berupa rusaknya fungsi intelektual tertentu.
a) Bukalah pakaian dan selimut yang berlebihan
b) Memperhatikan aliran udara di dalam ruangan
c) Jalan nafas harus terbuka untuk mencegah terputusnya suplai oksigen
ke otak yang akan berakibat rusaknya sel – sel otak.
d) Berikan cairan melalui mulut, minum sebanyak –banyaknyaMinuman
yang diberikan dapat berupa air putih, susu (anak diare menyesuaikan),
air buah atau air teh. Tujuannnya adalah agar cairan tubuh yang
menguap akibat naiknya suhu tubuh memperoleh gantinya.
e) Tidur yang cukup agar metabolisme berkurang
f) Kompres dengan air biasa pada dahi, ketiak,lipat paha. Tujuannya untuk
menurunkan suhu tubuh dipermukaan tubuh anak. Turunnya suhu tubuh
dipermukaan tubuh ini dapat terjadi karena panas tubuh digunakan
untuk menguapkan air pada kain kompres. Jangan menggunakan air es
karena justru akan membuat pembuluh darah menyempit dan panas
tidak dapat keluar. Menggunakan alkohol dapat menyebabkan iritasi
dan intoksikasi (keracunan).
g) Saat ini yang lazim digunakan adalah dengan kompres hangat suam-
suam kuku. Kompres air hangat atau suam-suam kuku maka suhu di
luar terasa hangat dan tubuh akan menginterpretasikan bahwa suhu
diluar cukup panas. Dengan demikian tubuh akan menurunkan kontrol
pengatur suhu di otak supaya tidak meningkatkan pengatur suhu tubuh
lagi. Di samping itu lingkungan luar yang hangat akan membuat
pembuluh darah tepi di kulit melebar atau mengalami vasodilatasi, juga
akan membuat pori-pori kulit terbuka sehingga akan mempermudah
pengeluaran panas dari tubuh
b. Obat-obatan Antipiretik
Antipiretik bekerja secara sentral menurunkan suhu di pusat pengatur suhu
di hipotalamus. Antipiretik berguna untuk mencegah pembentukan
prostaglandin dengan jalan menghambat enzim cyclooxygenase sehinga set
point hipotalamus direndahkan kembali menjadi normal yang mana
diperintah memproduksi panas diatas normal dan mengurangi pengeluaran
panas tidak ada lagi. Petunjuk pemberian antipiretik:
a) Bayi 6 – 12 bulan : ½ – 1 sendok the sirup parasetamol
b) Anak 1 – 6 tahun : ¼ – ½ parasetamol 500 mg atau 1 – 1 ½ sendokteh
sirup parasetamol
c) Anak 6 – 12 tahun : ½ 1 tablet parasetamol 5oo mg atau 2 sendok the
sirup parasetamol. Tablet parasetamol dapat diberikan dengan digerus
lalu dilarutkan dengan air atau teh manis. Obat penurun panas in
diberikan 3 kali sehari.Gunakan sendok takaran obat dengan ukuran 5
ml setiap sendoknya. Pemberian obat antipiretik merupakan pilihan
pertama dalam menurunkan demam dan sangat berguna khususnya pada
pasien berisiko, yaitu anak dengan kelainan kardiopulmonal kronis
kelainan metabolik, penyakit neurologis dan pada anak yang berisiko
kejang demam.Obat-obat anti inflamasi, analgetik dan antipiretik terdiri
dari golongan yang bermacam-macam dan sering berbeda dalam
susunan kimianya tetapi mempunyai kesamaan dalam efek
pengobatannya. Tujuannya menurunkan set point hipotalamus melalui
pencegahan pembentukan prostaglandin dengan jalan menghambat
enzim cyclooxygenase. Asetaminofen merupakan derivat para -
aminofenol yang bekerja menekan pembentukan prostaglandin yang
disintesis dalam susunan saraf pusat. Dosis terapeutik antara 10-15
mgr/kgBB/kali tiap 4 jam maksimal 5 kali sehari. Dosis maksimal 90
mgr/kbBB/hari Pada umumnya dosis ini dapat d itoleransi dengan
baik.Dosis besar jangka lama dapat menyebabkan intoksikasi dan
kerusakkan hepar.Pemberiannya dapat secara per oral maupun
rektal.Turunan asam propionat seperti ibuprofen juga bekerja meneka n
pembentukan prostaglandin.Obat ini bersifat antipiretik, analgetik dan
antiinflamasi.Efek samping yang timbul berupa mual, perut kembung
dan perdarahan, tetapi lebih jarang dibandingkan aspirin.Efek samping
hematologis yang berat meliputi agranulositosis dan anemia
aplastik.Efek terhadap ginjal berupa gagal ginjal akut (terutama bila
dikombinasikan dengan asetaminopen).Dosis terapeutik yaitu 5-10
mgr/kgBB/kali tiap 6 sampai 8 jam. Metamizole (antalgin) bekerja
menekan pembentukkan prostaglandin.Mempunyai efek antipiretik,
analgetik da n antiinflamasi. Efek samping pemberiannya berupa
agranulositosis, anemia aplast ik dan perdara han saluran cerna. Dosis
terap eutik 10 mgr/kgBB/kali tiap 6 -8 jam dan tidak dianjurkan unt uk
anak kurang dari 6 bulan.Pemberiannya secara per oral, intramuskular
atau intravena. Asam mefenamat suatu obat gol ongan fenamat. Khasiat
analgetiknya lebih kuat dibandingkan sebagai antipiretik.Efek
sampingnya berupa dispepsia dan anemia hemolitik.Dosis
pemberiannya 20 mgr/kgBB/hari dibagi 3 dosis. Pemberiannya secara
per oral dan tidak boleh diberikan anak usia kurang dari 6 bulan.
II. KONSEP TUMBUH KEMBANG & HOSPITALISASI
A. Konsep Pertumbuhan Usia
1. Pengertian Pertumbuhan
Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh
dalam arti sebagian atau seluruhnya karena adanya multiflikasi sel-sel
tubuh dan juga karena bertambah besarnya sel yang berarti ada
pertambahan secara kuantitatif seperti bertambahnya ukuran berat
badan, tinggi badan dan lingkar kepala.
Secara umum, pertumbuhan fisik dimulai dari arah kepala ke
kaki.Kematangan pertumbuhan tubuh pada bagian kepala berlangsung
lebih dahulu, kemudian secara berangsur-angsur diikuti oleh tubuh
bagian bawah.Pada masa fetal pertumbuhan kepala lebih cepat
dibandingkan dengan masa setelah lahir, yaitu merupakan 50 % dari
total panjang badan. Selanjutnya, pertumbuhan bagian bawah akan
bertambah secara teratur.
Ada beberapa ahli yang mengemukakan tentang teori-teori
pertumbuhan dan perkembangan anak.
a Kartini Kartono membagi masa perkembangan dan pertumbuhan
anak menjadi 5, yaitu:
1) 0 – 2 tahun adalah masa bayi
2) 1 – 5 tahun adalah masa kanak-kanak
3) 6 – 12 tahun adalah masa anak-anak sekolah dasar
4) 12 – 14 adalah masa remaja
5) 14 – 17 tahun adalah masa pubertas awal
b Aristoteles membagi masa perkembangan dan pertumbuhan anak
menjadi 3, yaitu :
1) 0 – 7 tahun adalah tahap masa anak kecil
2) 7 – 14 tahun adalah masa anak-anak, masa belajar, atau masa
sekolah rendah
3) 14 – 21 tahun adalah masa remaja atau pubertas, masa peralihan
dari anak menjadi dewasa (IDAI, 2018).
2. Ciri-ciri Pertumbuhan
Bahwa seseorang dikatakan mengalami pertumbuhan bila terjadi
perubahan ukuran dalam hal bertambahnya ukuran fisik, seperti berat
badan, tinggi badan/panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan,
lingkar dada, perubahan proporsi yang terlihat pada proporsi fisik atau
organ manusia yang muncul mulai dari masa konsepsi sampai dewasa,
terdapat ciri baru yang secara perlahan mengikuti proses kematangan
seperti adanya rambut pada daerah aksila, pubis atau dada, hilangnya
ciri-ciri lama yang ada selama masa pertumbuhan seperti hilangnya
kelenjar timus, lepasnya gigi susu, atau hilangnya refleks tertentu
(Hidayat, 2008).

Periode Pertumbuhan
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu:
a. Faktor Internal (Genetik)
Faktor internal (genetik) antara lain termasuk berbagai faktor
bawaan yang normal dan patologis, jenis kelamin, obstetrik dan ras
atau suku bangsa. Apabila potensi genetik ini dapat berinteraksi
dengan baik dalam lingkungan maka pertumbuhan optimal akan
tercapai.
b. Faktor Eksternal
Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan
antara lain keluarga, kelompok teman sebaya, pengalaman hidup,
kesehatan lingkungan, kesehatan prenatal, nutrisi, istirahat, tidur dan
olah raga, status kesehatan, serta lingkungan tempat tinggal
(Supariasa, 2011).
B. Konsep Perkembangan Usia
1. Pengertian Perkembangan
Perkembangan adalah pola perubahan yang dimulai sejak pembuahan
dan berlanjut di sepanjang rentang kehidupan individu. Perkembangan
sebagian besar melibatkan pertumbuhan, namun juga melibatkan
kemunduran akibat adanya proses penuaan (Santrock, 2017).
Perkembangan merupakan bertambahnya struktur dan fungsi tubuh
yang lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara
dan bahasa, serta sosialisasi dan kemandirian pada individu (Fida&Maya,
2012).
2. Tahap-Tahap Perkembangan Anak
Hockenberry&Wilson (2019) mengelompokkan anak menurut fase
perkembangannya. Fase perkembanan anak terdiri dari fase prenatal, fase
neonatal, fase infant, fase toddler, fase prasekolah, fase sekolah dan fase
remaja.
Fase prenatal mencakup masa kehamilan sampai anak dilahirkan. Fase
neonatal merupakan masa saat bayi lahir sampai usia 28 hari. Fase infant
adalah fase saat bayi berusia 1 bulan sampai 12 bulan. Fase toddler
merupakan saat anak berusia 1-3 tahun. Setelah fase ini akan memasuki
fase pra sekolah yaitu saat anak memasuki usia 3-6 tahun. Fase sekolah
merupakan fase anak berusia 6-12 tahun, dan terakhir fase remaja yaitu
saat anak memasuki memasuki usia 13-18 tahun (Hockenberry & Wilson
2009).
3. Aspek-Aspek Perkembangan
Ada beberapa aspek perkembangan, yaitu:
a. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik sering dikaitkan dengan perkembangan
motorik sehingga dikenal dengan perkembangan fisik motorik. Tetapi,
antaranya keduanya terdapat berbeda. Perkembangan fisik lebih
menunjukkan kepada perubahan yang terjadi pada fisik secara
keseluruhan atau tubuh dan fisik sebagai bagian-bagian, misalnya
anggota gerak (tangan, kaki) yang semakin besar atau panjang.
Perkembangan motorik merupakan suatu penguasaan pola dan variasi
gerak yang telah bisa dilakukan anak. Perkembangan motorik sebagai
gerakan yang terus bertambah atau meningkat dari yang sederhana ke
arah gerakan yang komplek.
Perkembangan motorik terdiri dari dua macam, yaitu
perkembangan motorik kasar dan motorik halus.
1) Perkembangan Motorik Kasar
Perkembangan motorik kasar adalah kemampuan bergerak
dengan menggunakan otot – otot tubuh khususnya otot besar
seperti otot di kaki dan tangan. Gerakan yang tergolong motorik
kasar, misalnya merayap, merangkak, berjalan, berlari, dan
melompat.
2) Perkembangan Motorik Halus
Perkembangan dalam motorik halus adalah kemampuan bergerak
dengan menggunakan otot kecil, seperti yang ada di jari untuk
melakukan aktivitas, seperti mengambil benda kecil, memegang
sendok, membalikan halaman buku dan memegang pensil atau
krayon.
3) Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah suatu proses pembentukan
kemampuan dan keterampilan menggunakan alat berpikir.
Perkembangan kognitif berkaitan dengan aktivitas berpikir,
membangun pemahaman dan pengetahuan, serta memecahkan
masalah.
4) Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa adalah suatu proses pembentukan
kemampuan dan keterampilan untuk menyampaikan ide, perasaan
dan sikap kepada orang lain. Perkembangan bahasa meliputi
mendengar, berbicara, membaca, dan menulis.
5) Perkembangan Sosial – Emosi
Perkembangan Sosial – Emosional merupakan gabungan dari
perkembangan sosial dan emosi. Perkembangan adalah suatu
proses pembentukan kemampuan dan keterampilan untuk
bersosialisasi. Sedang perkembangan emosi berkaitan dengan
kemampuan memahami hal-hal yang berkaitan dengan perasaan-
perasaan yang ada pada diri sendiri, seperti perasaan senang
ataupun sedih, apa yang dapat ia lakukan, apa yang ingin ia
lakukan, bagaimana ia bereaksi terhadap hal-hal tertentu, hal-hal
yang mana yang perlu dihindari, dan hal-hal yang mana yang
didekati, kemandirian dan mengendalikan diri. Perkembangan
sosial-emosional merupakan proses pem-bentukan kemampuan
dan keterampilan mengendalikan diri dan berhubungan dengan
orang lain (Desmita, 2019).
C. Konsep Hospitalisasi Usia
1. Pengertian
Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit
dan dirawat di rumah sakit.Keadaan ini terjadi karena anak berusaha
untuk beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit,
sehingga kondisi tersebut menjadi faktor stressor bagi anak baik terhadap
anak maupunorang tua dan keluarga (Wong, 2019).
Hospitalisasi adalah suatu proses saat masuknya seseorang penderita
ke dalam suatu rumah sakit dan selama masa dirawat di rumah sakit
(Dorlan, 2012).
Supartini (2014) dalam Jurnal Ilmiah WIDYA menjelaskan bahwa
hospitalisasi merupakan suatu proses dimana karena alasan tertentu atau
darurat mengharuskan anak untuk tinggal di RS, menjalani terapi
perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah (Utami, 2014).
2. Reaksi anak terhadap Hospitalisasi
Hospitalisasi bagi anak dianggap sebagai pengalaman yang
mengancam dan stresor, sehingga anak akan mudah mengalami krisis
karena: (1) mengalami stres akibat perubahan baik terhadap status
kesehatannya maupun lingkungannya dan (2) anak memiliki sejumlah
keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun
kejadian-kejadian yang bersifat menekan (Nursalam, 2018).
Wright (2018) dalam penelitiannya tentang efek hospitalisasi pada
perilaku anak menyebutkan bahwa reaksi anak pada hospitalisasi secara
garis besar adalah sedih, takut dan rasa bersalah karena menghadapi
sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman, rasa
tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang biasa dialami dan
sesuatu yang dirasakan menyakitkan.
Hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan timbulnya kecemasan
pada semua tingkat usia. Wong (2018) mengatakan reaksi anak terhadap
krisis-krisis saat hospitalisasi dipengaruhi oleh usia perkembangan,
pengalaman sebelumnya dengan penyakit, perpisahan, keterampilan
koping yang mereka miliki, keparahan diagnosis, dan sistem pendukung
yang ada. Berikut ini reaksi anak terhadap sakit dan dirawat di rumah
sakit sesuai dengan tahapan perkembangan anak (Wong, 2018):
1) Masa Bayi (0 sampai 1 tahun)
Masalah yang utama terjadi adalah sebagai dampak dari perpisahan
dengan orang tua sehingga ada gangguan pembentukan rasa percaya
dan kasih sayang. Pada anak usia lebih dari enam bulan dapat
mengalami stranger anxiety atau cemas apabila berhadapan dengan
orang yang tidak dikenalnya. Reaksi yang sering muncul pada anak
usia ini adalah menangis, marah, dan banyak melakukan gerakan
sebagai sikap stranger anxiety. Bila ditinggalkan ibunya, bayi akan
merasakan cemas dan ditunjukkan dengan menangis keras.
Munculnya perilaku menangis juga merupakan respon terhadap nyeri
atau adanya perlukaan. Perilaku lain yang dapat diamati adalah
adanya pergerakan tubuh yang banyak dan ekspresi wajah yang tidak
menyenangkan.
2) Masa Toddler (2 sampai 3 tahun)
Anak usia toddler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan
sumber stresnya. Sumber stres yang utama adalah cemas akibat
perpisahan. Respon perilaku anak terdisi dari beberapa tahapann,
yaitu tahap protes, putus asa, dan pengingkaran (denial). Pada tahap
protes, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis kuat, menjerit
memanggil orang tua atau menolak perhatian yang diberikan orang
lain. Pada tahap putus asa, perilaku yang ditunjukkan adalah
menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat
untuk bermain dan makan, sedih, dan apatis. Pada tahap
pengingkaran, perilaku yang ditunjukkan adalah secara samar mulai
menerima perpisahan, membina hubungan secara dangkal dan anak
mulai terlihat menyukai lingkungannya. Anak juga akan kehilangan
kemampuannya untuk mengontrol diri dan anak menjadi tergantung
pada lingkungan oleh karena adanya pembatasan terhadap
pergerakannya. Akhirnya, anak akan kembali mundur pada
kemampuan sebelumnya atau regresi. Reaksi lainnya yang
ditunjukkan anak usia toddler terhadap perlukaan yang dialami atau
nyeri yang dirasakan oleh karena mendapatkan tindakan invasif
seperti injeksi, infus, pengambilan darah dapat berupa meringis,
menggigit bibirnya, memukul, menunjukkan lokasi rasa nyeri dan
mengomunikasikan rasa nyerinya.
3) Masa prasekolah (3 sampai 6 tahun)
Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dari
lingkungan yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang serta
menyenangkan, seperti lingkungan rumah, permainan dan teman
sepermainannya. Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak
usia prasekolah seperti menolak makan, sering bertanya, menangis
walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap petugas
kesehatan. Perawatan di rumah sakit mengharuskan adanya
pembatasan aktivitas sehingga membuat anak kehilangan kontrol
terhadap dirinya dan merasa kehilangan kekuatan diri. Perawatan
yang dijalani sering kali dipersepsikan anak prasekolah sebagai
hukuman sehingga anak akan merasa malu, bersalah, bahkan takut.
Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul karena anak menganggap
tindakan dan prosedur yang dilakukan mengancam integritas
tubuhnya. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan reaksi agresif
dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan
kata–kata marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan
ketergantungan pada orang tua.
4) Masa Sekolah (6 sampai 12 tahun)
Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dengan
lingkungan yang dicintainya, yaitu keluarga dan terutama kelompok
sosialnya. Hal ini dapat menimbulkan kecemasan pada anak usia
sekolah. Kehilangan kontrol juga terjadi akibat dirawat di rumah
sakit karena adanya pembatasan aktivitas. Kehilangan kontrol
tersebut berdampak pada perubahan peran dalam keluarga, anak
kehilangan kelompok sosialnya karena ia biasa melakukan kegiatan
bermain atau pergaulan sosial, perasaan takut mati, dan adanya
kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlukaan atau rasa nyeri akan
ditunjukkan dengan ekspresi baik secara verbal maupun nonverbal
karena anak sudah mampu mengomunikasikannya. Anak usia
sekolah sudah mampu mengontrol perilakunya jika merasa nyeri,
yaitu dengan menggigit bibir dan memegang sesuatu dengan erat.
5) Masa Remaja (12 sampai 18 tahun)
Anak usia remaja mempersepsikan perawatan di rumah sakit
menyebabkan timbulnya perasaan cemas karena harus berpisah
dengan teman sebayanya. Anak akan merasa kehilangan dan timbul
perasaan cemas karena perpisahan tersebut. Pembatasan aktivitas di
rumah sakit membuat anak kehilangan kontrol terhadap dirinya dan
menjadi bergantung pada keluarga atau petugas kesehatan di rumah
sakit. Reaksi yang sering muncul terhadap pembatasan aktivitias ini
adalah dengan menolak perawatan atau tindakan yang dilakukan
padanya, anak tidak mau kooperatif dengan petugas kesehatan atau
menarik diri dari keluarga, sesama pasien, dan petugas kesehatan
(isolasi). Perasaan sakit karena perlukaan atau pembedahan
menimbulkan respons anak bertanya-tanya, menarik diri dari
lingkungan atau menolak kehadiran orang lain.
3. Dampak Hospitalisasi
Anak yang dirawat di rumah sakit akan muncul tantangan-
tantangan yang harus dihadapinya seperti perpisahan, penyesuaian
dengan lingkungan yang asing baginya dan tenaga kesehatan yang
menanganinya, pergaulan dengan anak-anak yang sakit serta pengalaman
mengikuti terapi yang menyakitkan (Wong, 2019).
Proses hospitalisasi dapat menimbulkan trauma atau dukungan,
bergantung pada institusi, sikap keluarga dan teman, respon staf, dan
jenis penerimaan masuk rumah sakit (Stuart, 2017).
Hospitalisasi pada anak banyak menyebabkan pengalaman yang
menimbulkan trauma. Anak yang mengalami hospitalisasi biasanya juga
mengalami stres akibat perubahan terhadap status kesehatan dan
lingkungannya (Wong, 2019). Keadaan stres yang dialami anak akan
menimbulkan reaksi tubuh dalam menghantarkan rangsangan ke otak dan
mempengaruhi hipotalamus. Hipotalamus akan merangsang kelenjar
hipofisis anterior melepaskan Adreno Cortico Tropic Hormone (ACTH)
yang berperan dalam pelepasan kortisol secara cepat yang menyebabkan
rangsangan susunan saraf pusat otak dan berakibat tubuh menjadi
waspada dan sulit tidur (Guyton & Hall, 2018).
4. Pencegahan Dampak Hospitalisasi
a. Menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga
Dampak perpisahan dari keluarga, anak mengalami gangguan
psikologis seperti kecemasan, ketakutan, kurangnya kasih sayang,
gangguan ini akan menghambat proses penyembuhan anak dan dapat
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.
b. Meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan pada
anak
Melalui peningkatan kontrol orang tua pada diri anak diharapkan
anak mampu mandiri dalam kehidupannya. Anak akan selalu berhati-
hati dalam melakukan aktivitas sehari-hari, selalu bersikap waspada
dalam segala hal. Serta pendidikan terhadap kemampuan dan
keterampilan orang tua dalam mengawasi perawatan anak.
c. Mencegah atau mengurangi cedera (injury) dan nyeri (dampak
psikologis)
Mengurangi nyeri merupakan tindakan yang harus dilakukan
dalam keperawatan anak. Proses pengurangan rasa nyeri sering tidak
bisa dihilangkan secara cepat akan tetapi dapat dikurangi melalui
berbagai teknik misalnya distraksi, relaksasi, imaginary.
d. Tidak melakukan kekerasan pada anak
Kekerasan pada anak akan menimbulkan gangguan psikologis
yang sangat berarti dalam kehidupan anak. Apabila ini terjadi pada saat
anak dalam proses tumbuh kembang maka kemungkinan pencapaian
kematangan akan terhambat, dengan demikian tindakan kekerasan pada
anak sangat tidak dianjurkan karena akan memperberat kondisi anak.
e. Modifikasi Lingkungan Fisik
Melalui modifikasi lingkungan fisik yang bernuansa anak dapat
meningkatkan keceriaan, perasaan aman, dan nyaman bagi lingkungan
anak sehingga anak selalu berkembang dan merasa nyaman di
lingkungannya (Supartini, 2017).
III. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. Pengkajian
a. Identitas : umur untuk menentukan jumlah cairan yang diperlukan
b. Riwayat kesehatan
c. Keluhan utama (keluhan yang dirasakan pasien saat pengkajian) : panas.
d. Riwayat kesehatan sekarang (riwayat penyakit yang diderita pasien saat
masuk rumah sakit): sejak kapan timbul demam, sifat demam, gejala lain
yang menyertai demam (misalnya: mual, muntah, nafsu makn, eliminasi,
nyeri otot dan sendi dll), apakah menggigil, gelisah.
e. Riwayat kesehatan yang lalu (riwayat penyakit yang sama atau penyakit
lain yang pernah diderita oleh pasien).
f. Riwayat kesehatan keluarga (riwayat penyakit yang sama atau penyakit
lain yang pernah diderita oleh anggota keluarga yang lain baik bersifat
genetik atau tidak).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
1. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
2. Resiko jatuh berhubungan dengan faktor penyakit
3. Defesiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi
D. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati
dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi
dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga
kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya tujuam dan
kriteria hasil, klien bisa keluar dari siklus proses keperawatan. Jika
sebaliknya, klien akan masuk kembbali ke dalam siklus tersebut mulai dari
pengkajian ulang (reassesment). Secara umum, evaluasi ditujukan untuk:
1) Melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan
2) Menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum
3) Mengkaji peneyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai
(Asmadi, 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Adha, N, K. 2015. Pengaruh Pemberian Minyak Kelapa Dengan Air Jeruk Nipis
Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Pada Anak Usia 1-3 Tahun Dengan
Indikasi Febris Di Desa Salamet Kabupaten Turen. Universitas Tribhuwana
Tunggadewi Malang

Asmadi. 2018. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2013. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi 3. Jakarta:


PenerbitBuku Kedokteran EGC.

Desmita, R. 2019. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakary

Doenges, M.E, Marry F. MandAlice, C.G. 2015. Rencana Asuhan


Keperawatan:Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta:EGC.

NANDA International. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-


2014. Jakarta: EGC.

NIC. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC), Edisi Keenam. Indonesia:


ELSEVIER.

NOC. 2013. Pengukuran Outcomes Kesehatan (NOC), Edisi Kelima. Indonesia:


ELSEVIER.

Nurarif, a. h., & Kusuma, h. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan


Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus. Jogjakarta:
Mediaction.

Supartini. 2017. Buku ajar konsep dasar keperawatan anak. Jakarta. EGC

Wong.2019. Buku ajaran keperawatan pediatric. Jakarta : ECG

Anda mungkin juga menyukai