Anda di halaman 1dari 2

Nama : Muhammad Aidil Akbar Arsyad

Nim : 220607501019

Kelas : Administrasi Bisnis (A)

1. Kehidupan Beragama Pada Masa Kerajaan Majapahit


Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa
itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (pertirtan) dan gua-
gua pertapaan. Bangunan-bangunan survei ini kebanyakan bersifat agama siwa, dan sedikit yang
bersifat agama Buddha, antara lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung yang dapat
diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang ditinggalkan, relief candi, dan data tekstual,
misalnya kakawin Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, dan sedikit berita prasasti.
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran
Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha
Mahayana. Walau begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan
hingga akhir tahun 1447.

Pembaruan/pertemuan agama Siwa dan agama Buddha pertama kali terjadi pada masa
pemerintahan Raja Kertanagara, raja terakhir Singasari. Apa maksudnya belum jelas, mungkin di
samping sifat toleransinya yang sangat besar, juga terdapat alasan lain yang lebih bersifat politik,
yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi musuh dari Cina, Kubilai Khan. Untuk
mempertemukan kedua agama itu, Kertanagara membuat candi Siwa-Buddha, yaitu Candi Jawi
di Prigen dan Candi Singasari di dekat Kota Malang.

Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit, antara lain, terlihat pada cara
mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada dua candi yang berbeda sifat
keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa, yang
didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud siwa (Siwawimbha) dan di
Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu Raja Jayabaya yang didharmakan di
Shila Ptak (red. Sila Petak) sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini
memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun
Buddha tidak berbeda.
2. Kehidupan Beragama Pada Masa Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram Kuno berdiri pada sekitar abad ke-8 hingga abad ke-11. Kerajaan
bercorak Hindu-Buddha ini sempat beberapa kali mengalami perpindahan pusat pemerintahan,
dari Jawa Tengah hingga akhirnya ke Jawa Timur. Meski bercorak Hindu-Buddha, masyarakat
Mataram Kuno tetap memegang teguh toleransi antarumat beragama.

Masyarakat Kerajaan Mataram kuno terdiri atas agama Hindu dan agama Buddha. Namun,
mereka tetap hidup rukun dan saling bertoleransi. Hal itu dibuktikan dalam pembangunan Candi
Plaosan di Kabupaten Klaten, yang merupakan wujud akulturasi budaya Hindu dan Buddha.
Selain itu, Rakai Pikatan dan Pramodawardhani juga mendukung pembangunan candi bercorak
Hindu maupun Buddha. Pada 842, mereka meresmikan Candi Borobudur (Buddha) yang
dibangun sejak era pemerintahan Samaratungga.

Karena Rakai Pikatan beragama Hindu, ia memerintahkan untuk membangun candi Siwa,
yaitu percandian Roro Jonggrang di Prambanan. Di saat yang sama, Raja menunjukkan bahwa
dirinya tidak mengabaikan candi kerajaan yang dibangun oleh Rakai Panangkaran, yaitu Candi
Plaosan Lor, dan tetap menjaga perasaan permaisurinya yang beragama Buddha. Buktinya, Rakai
Pikatan menambahkan sekurang-kurangnya dua candi perwara berupa bangunan stupa pada
percandian itu. Hal ini dapat dilihat dari tulisan pada dua bangunan stupa di kanan dan kiri jalan
masuk ke candi induk sebelah utara. Dengan demikian, pernikahan Rakai Pikatan dan
Pramodawardhani memang memberi dampak positif bagi toleransi antarumat beragama Hindu
dan Buddha di Mataram Kuno. Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang berupa candi Hindu
dan Buddha pun banyak yang didirikan secara berdampingan.

Anda mungkin juga menyukai