Anda di halaman 1dari 12

1

PELANGI DI TAMAN HATI


Memaknai Kisah Banjir Bandang Menurut Tradisi Padri

Oleh: Pdt. Rudiyanto, MTh

Inilah riwayat Nuh: Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh
itu hidup bergaul dengan Allah. Nuh memperanakkan tiga orang laki-laki: Sem, Ham dan Yafet. Adapun bumi itu
telah rusak di hadapan Allah dan penuh dengan kekerasan. Allah menilik bumi itu dan sungguhlah rusak benar,
sebab semua manusia menjalankan hidup yang rusak di bumi.

Berfirmanlah Allah kepada Nuh:


"Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh
mereka, jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi. Buatlah bagimu sebuah bahtera dari kayu
gofir; bahtera itu harus kaubuat berpetak-petak dan harus kaututup dengan pakal dari luar dan dari dalam. Beginilah
engkau harus membuat bahtera itu: tiga ratus hasta panjangnya, lima puluh hasta lebarnya dan tiga puluh hasta
tingginya. Buatlah atap pada bahtera itu dan selesaikanlah bahtera itu sampai sehasta dari atas, dan pasanglah
pintunya pada lambungnya; buatlah bahtera itu bertingkat bawah, tengah dan atas. Sebab sesungguhnya Aku akan
mendatangkan air bah meliputi bumi untuk memusnahkan segala yang hidup dan bernyawa di kolong langit; segala
yang ada di bumi akan mati binasa. Tetapi dengan engkau Aku akan mengadakan perjanjian-Ku, dan engkau akan
masuk ke dalam bahtera itu: engkau bersama-sama dengan anak-anakmu dan isterimu dan isteri anak-anakmu. Dan
dari segala yang hidup, dari segala makhluk, dari semuanya haruslah engkau bawa satu pasang ke dalam bahtera itu,
supaya terpelihara hidupnya bersama-sama dengan engkau; jantan dan betina harus kaubawa. Dari segala jenis
burung dan dari segala jenis hewan, dari segala jenis binatang melata di muka bumi, dari semuanya itu harus datang
satu pasang kepadamu, supaya terpelihara hidupnya. Dan engkau, bawalah bagimu segala apa yang dapat dimakan;
kumpulkanlah itu padamu untuk menjadi makanan bagimu dan bagi mereka."

Lalu Nuh melakukan semuanya itu; tepat seperti yang diperintahkan Allah kepadanya, demikianlah dilakukannya.
Dari binatang yang tidak haram dan yang haram, dari burung-burung dan dari segala yang merayap di muka bumi,
datanglah sepasang mendapatkan Nuh ke dalam bahtera itu, jantan dan betina, seperti yang diperintahkan Allah
kepada Nuh.

Setelah tujuh hari datanglah air bah meliputi bumi. Pada waktu umur Nuh enam ratus tahun, pada bulan yang kedua,
pada hari yang ketujuh belas bulan itu, pada hari itulah terbelah segala mata air samudera raya yang dahsyat dan
terbukalah tingkap-tingkap di langit. Pada hari itu juga masuklah Nuh serta Sem, Ham dan Yafet, anak-anak Nuh,
dan isteri Nuh, dan ketiga isteri anak-anaknya bersama-sama dengan dia, ke dalam bahtera itu, mereka itu dan segala
jenis binatang liar dan segala jenis ternak dan segala jenis binatang melata yang merayap di bumi dan segala jenis
burung, yakni segala yang berbulu bersayap; dari segala yang hidup dan bernyawa datanglah sepasang mendapatkan
Nuh ke dalam bahtera itu. Dan yang masuk itu adalah jantan dan betina dari segala yang hidup, seperti yang
diperintahkan Allah kepada Nuh. Lalu mati binasalah segala yang hidup, yang bergerak di bumi, burung-burung,
ternak dan binatang liar dan segala binatang merayap, yang berkeriapan di bumi, serta semua manusia. Dan
berkuasalah air itu di atas bumi seratus lima puluh hari lamanya.

Maka Allah mengingat Nuh dan segala binatang liar dan segala ternak, yang bersama-sama dengan dia dalam
bahtera itu, dan Allah membuat angin menghembus melalui bumi, sehingga air itu turun. Ditutuplah mata-mata air
samudera raya serta tingkap-tingkap di langit. Demikianlah berkurang air itu sesudah seratus lima puluh hari. Dalam
bulan yang ketujuh, pada hari yang ketujuh belas bulan itu, terkandaslah bahtera itu pada pegunungan Ararat.
Sampai bulan yang kesepuluh makin berkuranglah air itu; dalam bulan yang kesepuluh, pada tanggal satu bulan itu,
tampaklah puncak-puncak gunung. Lalu ia melepaskan seekor burung gagak; dan burung itu terbang pulang pergi,
sampai air itu menjadi kering dari atas bumi. Dalam tahun keenam ratus satu, dalam bulan pertama, pada tanggal
satu bulan itu, sudahlah kering air itu dari atas bumi. Dalam bulan kedua, pada hari yang kedua puluh tujuh bulan
itu, bumi telah kering.

Lalu berfirmanlah Allah kepada Nuh:


2

"Keluarlah dari bahtera itu, engkau bersama-sama dengan isterimu serta anak-anakmu dan isteri anak-anakmu;
segala binatang yang bersama-sama dengan engkau, segala yang hidup: burung-burung, hewan dan segala binatang
melata yang merayap di bumi, suruhlah keluar bersama-sama dengan engkau, supaya semuanya itu berkeriapan di
bumi serta berkembang biak dan bertambah banyak di bumi."

Lalu keluarlah Nuh bersama-sama dengan anak-anaknya dan isterinya dan isteri anak-anaknya. Segala binatang liar,
segala binatang melata dan segala burung, semuanya yang bergerak di bumi, masing-masing menurut jenisnya,
keluarlah juga dari bahtera itu.

Lalu Allah memberkati Nuh dan anak-anaknya serta berfirman kepada mereka:
"Beranakcuculah dan bertambah banyaklah serta penuhilah bumi. Akan takut dan akan gentar kepadamu segala
binatang di bumi dan segala burung di udara, segala yang bergerak di muka bumi dan segala ikan di laut; ke dalam
tanganmulah semuanya itu diserahkan. Segala yang bergerak, yang hidup, akan menjadi makananmu. Aku telah
memberikan semuanya itu kepadamu seperti juga tumbuh-tumbuhan hijau. Hanya daging yang masih ada nyawanya,
yakni darahnya, janganlah kamu makan. Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut
balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama
manusia. Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat
manusia itu menurut gambar-Nya sendiri. Dan kamu, beranakcuculah dan bertambah banyak, sehingga tak terbilang
jumlahmu di atas bumi, ya, bertambah banyaklah di atasnya."

Berfirmanlah Allah kepada Nuh dan kepada anak-anaknya yang bersama-sama dengan dia:
"Sesungguhnya Aku mengadakan perjanjian-Ku dengan kamu dan dengan keturunanmu, dan dengan segala
makhluk hidup yang bersama-sama dengan kamu: burung-burung, ternak dan binatang-binatang liar di bumi yang
bersama-sama dengan kamu, segala yang keluar dari bahtera itu, segala binatang di bumi. Maka Kuadakan
perjanjian-Ku dengan kamu, bahwa sejak ini tidak ada yang hidup yang akan dilenyapkan oleh air bah lagi, dan
tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi."

Dan Allah berfirman:


"Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, yang bersama-sama
dengan kamu, turun-temurun, untuk selama-lamanya: Busur-Ku Kutaruh di awan, supaya itu menjadi tanda
perjanjian antara Aku dan bumi. Apabila kemudian Kudatangkan awan di atas bumi dan busur itu tampak di awan,
maka Aku akan mengingat perjanjian-Ku yang telah ada antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup,
segala yang bernyawa, sehingga segenap air tidak lagi menjadi air bah untuk memusnahkan segala yang hidup. Jika
busur itu ada di awan, maka Aku akan melihatnya, sehingga Aku mengingat perjanjian-Ku yang kekal antara Allah
dan segala makhluk yang hidup, segala makhluk yang ada di bumi." Berfirmanlah Allah kepada Nuh: "Inilah tanda
perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan segala makhluk yang ada di bumi."

(Kisah Penciptaan menurut Tradisi Padri/Imamat, Kej 6-9)1

Sore itu kuhidupkan pesawat televisi. Setelah bergonta-ganti channel, dari yang menayangkan
infotainment gossip selebritis, sinetron asal jadi, guyonan Sule-Azis-Andre-Parto, berita kelabu

1
Kisah Air Bah dalam Kej 6-9 terajut dari dua cerita. Satu cerita merupakan buah karya Kaum “Yahwist”
(Y), yang bekerja pada masa Salomo (Abad X SM). Satunya lagi adalah buah karya Kaum “Padri” (P), yang berkarya
semasa periode Persia (jelang akhir Abad V dan awal Abad IV SM). Meski dalam bentuk finalnya (seperti yang kita
miliki sekarang) Kisah Air Bah merupakan satu rangkaian cerita, toh kita masih dapat “melacak” kedua cerita
sumber tersebut dengan mencermati perbedaan-perbedaan dalam kosakata dan gaya penulisannya. Lihat Gerald
A. Larue, Old Testament Life and Literature (1968, 1997),
http://www.infidels.org/library/modern/gerald_larue/otll/chap13.html dan
http://www.infidels.org/library/modern/gerald_larue/otll/chap26.html, juga B. Davie Napier, From Faith to Faith –
Essays on Old Testament Literature, http://www.religion-online.org/showchapter.asp?title=799&C=1037 Tulisan
ini berupaya memahami cerita Air Bah dalam karya Kaum Padri (P).
3

di sebuah negeri jajahan di Khatulistiwa, sampai lelucon-lelucon sinikal Sentilan-Sentilun,


akhirnya tibalah hamba pada sebuah channel unik yang lain daripada yang sama…

Prajna Paramitha (seorang presenter yang Ka-Ce-Ce [Kritis Cerdas dan Cantik]):
“Pemirsa budiwati dan budiman, tentu kita tidak merasa asing dengan Kisah Banjir
Bandang atau Kisah Air Bah dalam Kejadian 6-9. Cerita tentang banjir mahadahsyat
yang menenggelamkan dunia dengan korban jiwa tak terbilang itu barangkali sudah kita
kenal semasa kita masih mengikuti Sekolah Minggu di gereja kita masing-masing. Tapi
bagaimana pemahaman kita tentang kisah tersebut? Apa maknanya bagi kita yang hidup
di tengah kerusakan alam yang semakin parah saat ini? Berikut ini kami mengajak
pemirsa budiwati dan budiman untuk mengikuti wawancara eksklusif presenter kami
Baskoro Utomo Joko Waluyo dengan Romo Padri dan Bung Sastro Mufassir. Romo
Padri adalah salah seorang penulis alkitabiah terkemuka, yang karyanya menjadi salah
satu benang yang terajut dalam Kisah Banjir Bandang dalam Kejadian 6-9. Bung Sastro
Mufassir adalah seorang sarjana Alkitab yang mengajar di sebuah seminari terkemuka di
Batas Kota.”

Wah, menarik ini! Dengaren. Tumben. Biasanya obrolan di seputar dunia politik yang sarat
dengan “hura-hura para binatang” (meminjam istilah Iwan Fals). Kali ini tentang salah satu kisah
dalam Alkitab. Maka segeralah kuambil Alkitab dan alat tulis, serta kukerahkan segenap
konsentrasiku untuk menyimak acara yang tak biasa ini.

Baskoro Utomo (BU):


Syahdan, pada suatu ketika di masa silam segala mata air samudera raya yang dahsyat
terbelah dan tingkap-tingkap di langit terbuka (Kej 7.11). Coba Pemirsa bayangkan.
Mengerikan, bukan? Sangat-sangat mengerikan!

Dalam benakku terlintas, bumi ditenggelamkan oleh air yang dalam volume sangat-sangat besar
melanda dari atas dan bawah. Air yang di atas langit tumpah-ruah melanda bumi, sementara air
yang di bawah langit menyeruak dan meluap ke seluruh bumi. Kubah langit alias cakrawala,
yang menjadi pembatas “alam atas”, menganga. Pada saat yang sama batas-batas kekuasaan
samuderaya raya di bawah bumi terbuka lebar-lebar. Bila Penciptaan (Kej 1.1-2.4a) digambarkan
sebagai tindakan ilahi yang memberikan batasan-batasan kepada kekuasaan air (Kej 1.6-10),
maka kali ini batasan-batasan itu dilangkahi. Banjir Bandang seakan mengembalikan bumi pada
keadaan sebelum Penciptaan (lihat Kej 1.2). Banjir Bandang adalah Kontra-Penciptaan.2

Romo Padri (RP):


“Itu terjadi ketika Ki Ageng Nuh berumur 600 tahun. Tepatnya, genap 2 bulan 17 hari
setelah ulang tahunnya yang keenam ratus.”
2
Sarjana Perjanjian Lama David Clines, yang mendekati Kisah Banjir Bandang ini sebagai sebuah cerita
yang utuh, meminjam ungkapan Joseph Blenkinsopp “uncreation” untuk menamai tragedi Banjir Bandang itu.
Blenkinsopp, sebagaimana dikutip Clines, menjelaskan uncreation sebagai berikut: “Dunia yang di dalamnya
tatanan pertama kali muncul dari suatu chaos baruna mahapurba, sekarang diredusir menjadi chaos baruna yang
daripadanya ia muncul – chaos-datang-kembali.” Lihat David Clines, “Noah’s Flood I: The Theology of the Flood
Narrative,” Faith and Thought 100.2 (1972-3): 137. Dengan pengertian yang sama, saya memilih istilah “Kontra-
Ciptaan.” Pemilihan ini didasarkan pada pertimbangan sukarnya menerjemahkan istilah “uncreation” ke dalam
bahasa Indonesia.
4

BU:
“Bagaimana Banjir Bandang bisa sampai terjadi, Romo? Bukankah itu Kontra-
Penciptaan? Kok bisa ada Penciptaan dan Kontra-Penciptaan?”

Aku jadi penasaran. Kulihat Romo Padri tersenyum penuh arti. Tidak segera ia menjawab. BU
segera memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan retorik.

BU:
“Bukankah padamulanya Allah telah menciptakan langit dan bumi (1.1)? Dialah yang
menciptakan binatang-binatang laut yang besar dan segala jenis makhluk hidup yang
bergerak, yang berkeriapan dalam air, dan segala jenis burung yang bersayap (1.21)?
Allah juga memberkati mereka (1.22). Dialah yang menjadikan segala jenis binatang
liar dan segala jenis ternak dan segala jenis binatang melata di muka bumi (1.25).
Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, menurut gambar-Nya (1.27). Dia
juga memberkati mereka (1.28). Bahkan, setelah semuanya rampung, Allah melihat
segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik (1.31). Bagaimana mungkin Sang
Pencipta menjadi Sang Pembinasa?”

Hai, cerewet betul BU ini. Tapi tajam juga pengamatannya. Dan ketika ia melontarkan
pertanyaan yang terakhir (“Bagaimana mungkin Sang Pencipta menjadi Sang Pembinasa?”),
sosok Brahma Sang Dewa Pencipta muncul bersama dengan Syiwa Sang Dewa Pembinasa
dalam benakku.

RP:
“Anda benar, Mas Bas. Tapi simaklah perjalanan sang kala. Tokoh-tokoh Purba yang
berumur sangat panjang muncul silih berganti. Satu demi satu berakhir dengan kematian.
Kecuali Henokh, yang hidup bergaul dengan Allah, tentunya. Dalam rentang waktu
tersebut, bumi itu telah rusak3 di hadapan Allah dan penuh dengan kekerasan. Allah
menilik bumi itu, dan sungguhlah rusak4 benar. Sebab, segala makhluk (Kol-BäSär)5
telah merusak6 jalan-Nya di atas bumi (6.11-12).”7

Sastro Mufassir (SM):


3
Teks Ibrani: waTTiššäHët (txeîV'Tiw:), berkatadasar šHt (tx;v'). Katadasarnya sendiri berarti merusak
atau memusnahkan.
4
Teks Ibrani: nišHäºtâ (ht'x'_v.n), berkatadasar , šHt (tx;v'). Dalam bentuk nifalnya (nišHäºtâ) berarti
“rusak”, sebagaimana diterjemahkan TB-LAI.
5
TB-LAI menerjemahkannya Kol-BäSär dalam 6.12 dengan “semua manusia.” Frase yang sama muncul
dalam ayat 13 diterjemahkan dengan “segala makhluk.”
6
Teks Ibraninya hišHît (tyxióv.hi), berkatadasar šHt (tx;v'). Dalam bentuk hifilnya berarti “telah merusak”
atau “telah memusnahkan.”
7
Teks Ibraninya: Kî|-hišHît Kol-BäSär ´et-DarKô `al-hä´äºrec (#r,a'(h'-l[; AKßr>D;-ta, rf"±B'-lK'
tyxióv.hi-yKi(). Bila diterjemahkan secara harafiah “karena segala makhluk telah merusak jalannya di atas bumi.”
Saya menafsirkan “jalannya” dengan “jalan-Nya.” Suffix maskulin tunggal yang berfungsi sebagai kata ganti milik
(possessive pronoun) pada kata yang diterjemahkan dengan “jalan”, secara tatabahasa kiranya tidak cocok bila
merujuk pada “segala makhluk” (mungkin seharusnya: “jalan mereka”). Bila diterjemahkan dengan “jalannya”,
seturut konteksnya nampaknya merujuk pada Allah. Karena itu, saya menafsirkan “jalannya” dengan “jalan-Nya.”
5

“Maaf Romo, bolehkah saya membahasakannya begini. Segala makhluk merusak jalan
Allah di muka bumi.8 Mereka melakukan kekerasan. Kekerasan itu sedemikian masifnya,
hingga bumi penuh dengan kekerasan dan menjadi rusak karenanya.”

RP:
“Penyimpulan yang baik, Mas Sastro. Dengan jalan itu agaknya Anda mulai dapat
memahami mengapa ada Kontra-Penciptaan.”

BU:
“Sebentar, Romo. Tadi dikatakan ‘di hadapan Allah’ dan ‘Allah menilik.’ Kekerasan
segala makhluk yang membuat bumi menjadi rusak rupanya tidak lepas dari pemantauan
Allah. Lantas, bagaimana Allah menyikapinya?”

RP:
“Allah berfirman (saat mengatakan itu kulihat wajah Romo Padri nampak penuh misteri):
‘akhir dari segala makhluk sudah sampai ke wajah-Ku’ (qëc Kol-BäSär Bä´ lüpänay).”9

“Sebuah keputusan final?” tanyaku spontan. Tentu saja tidak kedengaran oleh Baskoro Utomo,
Romo Padri, dan Sastro Mufassir.

Romo Padri:
“Karena bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka, jadi Aku akan
memusnahkan10 mereka bersama-sama dengan bumi’ (6.13).

Aku merenung. Kata kerja yang sama terus berulang. Dengan kekerasan, segala makhluk telah
merusak bumi. Bumi telah rusak. Sekarang Allah memutuskan untuk merusak atau
memusnahkan para perusak bumi. Sepertinya, Allah menuntut balas atas bumi. Bumi telah rusak
karena kekerasan segala makhluk, biarlah sekarang segala makhluk musnah bersama dengan
bumi yang telah mereka rusak. Rusaklah bumi, musnahlah segala makhluk. Kekerasan dengan
dampaknya yang merusak bumi pada gilirannya akan menggiring segala makhluk ke tepi jurang
kerusakan dan menjerumuskannya ke dalam jurang kemusnahan. Kekerasan terhadap bumi
berarti kekerasan terhadap “jalan Allah”, yakni batasan-batasan yang telah ditetapkan-Nya pada
saat Penciptaan. Kekerasaan terhadap tatanan Penciptaan bermuara pada Kontra-Penciptaan.
Betapa eratnya hubungan segala makhluk dengan bumi dan Allah!

BU:
“Kalau begitu, Romo, seakan ada batas toleransi yang dimiliki Allah sehubungan dengan
aksi pengrusakan yang dilakukan segala makhluk terhadap bumi dan batasan-batasan
yang telah ditetapkan-Nya saat Penciptaan. Ketika pengrusakan itu sudah masif sehingga

8
Clines (1972-73: 134) memberikan pengamatan yang menarik. Di antaranya: “Kendati penekanannya
terletak terutama pada dosa manusia, patut dicatat bahwa 6:12 menggambarkan suatu dunia di mana hukum-
hukum alam telah dilanggar oleh semua level makhluk-makhluk ciptaan, dan di mana konsekuensinya karya
penataan dari penciptaan atau kosmos telah dibubarkan.”
9
TBI-LAI menerjemahkannya dengan “Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk.”
10
Teks Ibraninya: mašHîtäm (~t'Þyxiv.m;), berkatadasar šHt (tx;v'). Dalam bentuk partisip hifil dengan
suffix kata ganti obyek orang ketiga jamak berarti “yang memusnahkan mereka” atau “yang merusak mereka.”
6

bumi penuh dengan kekerasan, berakhirlah toleransi tersebut. Maka Allah melakukan
Kontra-Penciptaan. Banjir Bandang di Dunia Purba.”

Lho, sepertinya jalan pikiran Baskoro kok sama dengan jalan pikiranku… Wah, Romo Padri
tidak menjawab. Tapi kulihat ia mengangguk-anggukkan kepala. Mungkin ia setuju dengan
pendapat Baskoro Utomo.

SM:
“Dalam hal ini, Allah tidak merusak, tidak memusnahkan bumi. Dia memusnahkan
segala makhluk yang telah merusak bumi. Kontra-Penciptaan mengembalikan bumi pada
keadaan sebelum Penciptaan. Dengan jalan itu Dia membersihkan bumi.”

RP:
“Tapi tidak sekadar itu, Nak. Allah tidak sekadar membersihkan bumi. Dia juga ingin
memulai suatu awal yang baru. Suatu Kontra Kontra-Penciptaan. Suatu new ordering,
penataan baru. Suatu re-ordering, penataan ulang. Suatu Penciptaan kembali.”

Aku terpana di depan layar kaca. Suatu Kontra Kontra-Penciptaan, suatu Penciptaan Kembali?
Kulihat Baskoro mengangguk-angguk. Sastro bergumam, “Penciptaan Kembali…”

RP:
“Ya, tapi Penciptaan Kembali ini melibatkan sebagian dari segala makhluk.”

BU:
“Maksud Romo, tidak semua dari segala makhluk mati binasa?”

RP:
“Ya. Ada yang terluput di antara manusia. Demikian pula dari dari segala jenis burung,
dari segala jenis hewan, dan dari segala jenis binatang melata di muka bumi. Manusia itu
adalah Ki Ageng Nuh, ketiga puteranya Mas Sem, Mas Ham, dan Mas Yafet, serta istri
dan ketiga menantunya.”

Ki Ageng Nuh? Segera kubaca Kej 6.9: “Nuh adalah seorang laki-laki yang adil-benar tak
bercela (´îš caDDîq Tämîm) di antara orang-orang sezamannya.” Sebagaimana Henokh, Nuh
hidup bergaul dengan Allah.

RP:
Melalui Ki Ageng Nuh-lah Allah akan meluputkan sejumlah manusia dan binatang.
Melalui Ki Ageng Nuh pula Allah akan memulai sesuatu yang baru, Penciptaan Kembali.
Itulah sebabnya Allah berfirman kepadanya, waháqìmötî ´et-Bürîtî ´iTTäk’. Yang artinya:
“… dengan engkau Aku akan mendirikan/menegakkan perjanjian-Ku.”

BU:
“Jadi Ki Ageng Nuh berposisi sebagai Sang Manusia (hä|´ädäm) yang Baru setelah
Banjir Bandang, Romo Padri?”
7

RP:
“Ya, melalui seorang ´îš caDDîq Tämîm, yakni Ki Ageng Nuh, Allah akan menggelar
Kontra Kontra-Penciptaan.”

BU:
“Lantas bagaimana Kontra Kontra-Penciptaan itu dilakukan?”

RP:
“Pertama, Allah menutup kembali mata-mata air samudera raya tingkap-tingkap di
langit. Air Bah dari atas dan bawah bumi tidak lagi membanjiri bumi. Kemudian Allah
membuat angin (rûªH) menghembus melalui bumi, sehingga air itu turun. Ingat tentang
Penciptaan, kan? Sebelum Penciptaan, bumi tidak berbentuk dan kosong, sementara Roh
(rûªH) Allah melayang-layang di atas permukaan air. Dengan Penciptaan, Allah
memisahkan air itu menjadi dua bagian: yang di atas bumi dan yang di bawah bumi. Dia
membendungnya. Dalam Kontra-Penciptaan, batas atau bendungan itu dibuka, dan air
membanjiri. Sekarang, dalam Kontra Kontra-Penciptaan atau Penciptaan Kembali, batas
atau bendungan itu dipulihkan. Angin atau Roh Allah pun bertiup untuk mengeringkan
air itu,” papar Romo Padri.

BU:
“Bumi pun kering pada hari yang keduapuluh tujuh bulan pertama setelah Ki Ageng Nuh
berulangtahun yang ke-601.”

Kulihat Romo Padri mengangguk, mengiyakannya, lalu meneguk minuman segar yang mengisi
sebuah gelas cantik di meja di hadapannya.

RP:
“Kedua, setelah Ki Ageng Nuh dan semua yang bersama dengannya keluar dari bahtera
dan menjejakkan lagi kaki mereka di atas bumi, Allah memberkati Nuh dan anak-
anaknya. Dia berfirman kepada mereka: Beranakcuculah dan bertambah banyaklah
serta penuhilah bumi. Kau tentu ingat firman-Nya kepada kedua manusia pertama (Kej
1.28). Ditekankan-Nya itu dengan mengatakan: Beranakcuculah dan bertambah
banyak, sehingga tak terbilang jumlahmu di atas bumi. Ya, bertambah banyaklah di
atasnya. Titah itu menjadi bingkai dari perintah-perintah baru bagi kehidupan dalam
Penciptaan yang Baru.”

BU:
“Romo Padri, perintah-perintah baru itu nampaknya sinambung sekaligus beda dengan
perintah-perintah yang lama, bukan?”

Romo Padri mengiyakan.

RP:
“Barangkali Mas Sastro Mufassir bisa membantu dengan memaparkan analisis tentang
perintah-perintah baru tersebut? Mangga…”
8

SM:
“Terimakasih, Romo. Perbedaan pertama: sehubungan dengan ‘beranakcuculah dan
bertambahbanyaklah’ pasca Banjir Bandang, tak ada perintah untuk menaklukkan
bumi. Agaknya perintah untuk menaklukkan bumi telah dijalankan manusia secara
kebablasan. Manusia malah merusak bumi. Karena itu, pasca Banjir Bandang perintah
untuk menaklukkan bumi ditiadakan.

Perbedaan kedua: sehubungan dengan ‘berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-
burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.’ Tapi sekarang
ditetapkan bahwa ketakutan dan kegentaran akan ada pada segala binatang di bumi dan
segala burung di udara, segala yang bergerak di muka bumi dan segala ikan di laut.
Agaknya ketakutan dan kegentaran berkaitan dengan ketetapan ke dalam tanganmulah
semuanya itu diserahkan. Ungkapan-ungkapannya menyiratkan adanya konflik bahkan
peperangan antara manusia dan binatang. Dalam konflik atau peperangan itu, Allah
memenangkan manusia atas binatang.11

Pergeseran ini menimbulkan pertanyaan: Apakah dalam kurun waktu pasca Penciptaan
dan menjelang Banjir Bandang manusia gagal berkuasa12 atas binatang-binatang? Apakah
telah terjadi konflik antara manusia dan binatang, yakni di antara yang (bertugas)
menguasai dan yang harus (tapi menolak) dikuasai? Suatu konflik di mana di satu pihak
manusia menjalankan perintah Allah dan di pihak lain binatang menolak ketetapan
Allah? Apakah konflik itu sedemikian hebat dan berkepanjangan sehingga bumi, yang
menjadi arena konflik tersebut, menjadi rusak karenanya? Sebuah bellum omnium contra
omnes (perang semua lawan semua) yang merusak bumi?

Perbedaan ketiga: sehubungan dengan makanan manusia. Dalam perintah yang mula-
mula, Allah memberikan kepada manusia tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh
bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji untuk menjadi makanannya.
Dalam perintah yang baru, Allah memberikan kepada manusia segala yang bergerak,
yang hidup dan tumbuh-tumbuhan hijau untuk menjadi makanannya. Dengan demikian,
makanan manusia meliputi baik binatang maupun makanan binatang.13 Pengecualiannya,
daging yang masih ada nyawanya, yakni darahnya, tidak boleh dimakan. Mungkin
maksudnya, manusia tetap harus menaruh hormat kepada kehidupan.

Pergeseran ini pun menimbulkan pertanyaan: Mengapa dalam tatanan pasca Banjir
Bandang binatang dan makanan binatang diberikan Allah kepada manusia untuk menjadi
makanannya? Bila pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sehubungan dengan pergeseran
pertama dijawab dengan afirmasi (‘ya’), maka pergeseran kedua mungkin merupakan
implikasi dari perintah yang pertama. Maksudnya: Binatang pernah menolak kekuasaan
11
Bandingkan ungkapan “ke dalam tangan kalian telah kuserahkan” (Büyedkem niTTäºnû) dalam Kej 9.2
ini dengan ungkapan senada dalam Hak 3.10, 38; 4.7, 9, 14; juga Dan 1.2.
12
Kata yang dipakai untuk “dan berkuasalah” dalam Kej 1.28 adalah ûrüdû, sedangkan “dan biarlah
mereka berkuasa” dalam Kej 1.26 adalah wüyirDû. Kata dasar keduanya sama, yakni rdh (hd'r), yang berarti
mengontrol atau memerintah.
13
Simak Kej 1.30. Sehubungan dengan binatang-binatang, dalam perintah yang mula-mula, Allah
memberikan kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi,
yang bernyawa, tumbuh-tumbuhaan hijau untuk menjadi makanannya.
9

manusia atasnya. Terjadilah konflik antara manusia dan binatang. Allah memenangkan
manusia atas binatang. Sebagai konsekuensi dari kemenangan manusia (dan kekalahan
binatang), atau sebagai hukuman atas pembangkangan binatang terhadap ketetapan Allah
dalam tatanan Penciptaan yang mula-mula, sekarang binatang dan makanannya menjadi
makanan manusia.

Perbedaan keempat adalah adanya pemberian ketetapan yang sama sekali baru: Allah
akan menuntut balas atas darah atau nyawa manusia. Dengan kata lain, Allah akan
menuntut balas baik kepada manusia maupun binatang bila membunuh manusia.
Penumpahan darah akan dibalas setimpal dengan penumpahan darah. Pembalasan itu
akan dilaksanakan oleh manusia pula. Dengan kata lain manusia menjadi pelaksana
tuntutan keadilan Allah. Baik pembalasan maupun pelaksananya didasarkan pada
“kebenaran transendental” tentang manusia, yakni bahwa Allah membuat sang manusia
(hä´ädäm) dalam gambar-Nya.

Pergeseran ini juga menimbulkan pertanyaan. Ada apa sebenarnya dengan hubungan
antara manusia dan binatang serta hubungan antara manusia dan sesamanya dalam kurun
waktu pasca Penciptaan sampai jelang Banjir Bandang? Bila pertanyaan-pertanyaan yang
kita ajukan dalam pergeseran yang kedua mendapatkan jawaban afirmatif (‘ya’),
pertanyaan tentang hubungan antara manusia dan sesamanya sudah terjawab: konflik,
kekerasan, bahkan bellum omnium contra omnes. Hubungan antara manusia dan
sesamanya nampaknya juga tidak lebih baik daripada hubungan antara manusia dan
binatang. Konflik, kekerasan, bahkan mungkin juga bellum omnium contra omnes.
Mungkin itulah sebabnya dikatakan bahwa segala segala makhluk (Kol-BäSär) telah
merusak jalan-Nya di atas bumi (6.11-12), “akhir dari segala makhluk sudah sampai ke
wajah-Ku” (qëc Kol-BäSär Bä´ lüpänay), dan “karena bumi telah penuh dengan
kekerasan oleh mereka, jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan
bumi’ (6.13).

Sekarang, Allah mengulangi apa yang pernah dinyatakan-Nya tatkala menciptakan


manusia: Dia membuat manusia dalam gambar-Nya. Dengan jalan itu Allah menegaskan
nilai manusia dan menolak percederaan atas manusia. Sehubungan dengan pembalasan,
agaknya Allah bermaksud membatasi kekerasan. Yang bersalah, yakni yang
menumpahkan darah manusia, dialah yang harus dihukum setimpal. Jadi, 1-1. Sudah.
Selesai. Tidak boleh berlanjut menjadi pembunuhan antarkeluarga, antarkaum,
antargenerasi, apalagi bellum omnium contra omnes. Demikian analisis saya Romo Padri,
Bung Bas, dan pemirsa budiman-budiwati.”

Wah, tajam pula analisis Sastro Mufassir. Aku sangat-sangat tertarik. Kulihat Baskoro
mendengarkan dengan penuh minat, sementara Romo Padri mengangguk-anggukkan kepala.

RP:
“Baik. Sekarang Romo lanjutkan sedikit. Ketiga, Allah mengadakan atau mendirikan
perjanjian-Nya dengan Nuh dan keturunannya serta binatang-binatang yang bersama-
sama dengan Nuh (9.9-10), bahkan dengan keturunan-keturunan mereka – selamanya
(9.12). Sebuah perjanjian yang kekal (Bürît `ôläm). Disebut-Nya mereka segala makhluk
10

yang hidup (9.12, Kol-neºpeš Hayyâ), atau segala makhluk (Bükol-BäSär) yang ada di
bumi. Perjanjian itu juga diadakannya dengan bumi (9.13).

Isi Perjanjian itu: Sehubungan dengan segala makhluk (Kol-BäSär), tidak akan
dilenyapkan lagi oleh Air Banjir Bandang. Sehubungan dengan bumi, tidak akan ada lagi
Banjir Bandang untuk memusnahkan14 bumi. Dengan kata lain, tidak akan ada Kontra
Penciptaan lagi.”

SM:
“Tanda Perjanjian itu: ‘Busur-Ku (qašTî) Kutaruh di awan.’ Busur (qešeT). Senjata,
untuk berburu, atau bertempur. Seakan setelah bertempur dengan segala makhluk dan
menggempur mereka dengan anak-anak panah Banjir Bandang, sekarang Allah
meletakkan senjata-Nya dan mengumumkan perdamaian dengan segala makhluk.15
Sebuah perdamaian yang abadi! Setiap kali, busur di atas awan itu akan mengingatkan
Allah akan Perjanjian Kekal yang telah diadakan-Nya dengan bumi dan segala makhluk,
atau dengan bumi, manusia, dan binatang. Busur itu tidak akan digunakan-Nya lagi untuk
selama-lamanya. Tidak akan ada lagi Kontra Penciptaan. Tidak berlebihan bila kita
menyebut busur di atas awan itu Pelangi Perdamaian.”

RP:
“Itulah Kontra Kontra-Penciptaan alias Penciptaan yang Baru, Nak. Dengan Roh atau
angin-Nya Allah mengeringkan bumi, sehingga Nuh dan semua yang terluput bersama
dengannya dapat menjejakkan kaki mereka lagi di muka bumi. Allah memberikan berkat
serta ketetapan-ketetapan baru, terutama bagi manusia, tetapi juga bagi binatang. Allah
juga mengadakan perjanjian damai yang kekal dengan segala makhluk.”

Sekarang aku dapat menyimpulkan. Dalam Kisah Banjir Bandang menurut Romo Padri, Banjir
Bandang merupakan Kontra Penciptaan. Itu terjadi karena segala makhluk (Kol-BäSär) telah
merusak jalan Allah dengan kekerasan yang masif di antara mereka, yang pada gilirannya
merusak bumi. Kontra Penciptaan itu, yang “membersihkan bumi” dari para pelaku kekerasan
atau para perusak. Tapi Allah mengadakan Penciptaan Kembali atau Kontra Kontra Penciptaan.
Dia sudah mengantisipasinya dengan meluputkan beberapa orang dan sejumlah binatang dalam
keterkaitan mereka dengan Nuh, seorang yang adil-benar tak bercela. Nuh ini, jika kita
menyimak pemaparan Romo Padri, berposisi sebagai Adam yang Kedua. Untuk
mengimplementasikan Penciptaan Kembali atau Kontra Kontra-Penciptaan, Allah menutup
kembali tingkap-tingkap langit dan mata-mata air samudera raya dan melalui Roh atau angin-
Nya mengeringkan bumi, memberikan ketetapan-ketetapan yang meski sinambung tapi berbeda
kepada manusia, dan mengadakan perjanjian damai dengan bumi dan segala makhluk.

BU:
“Lantas apa kiranya makna Kisah Banjir Bandang bagi kita masa kini? Monggo Mas
Sastro Mufass…”

14
Teks Ibrani: lüšaHët (txeîv;l.), berkatadasar šHt (tx;v'). Bentuk piel ifc-nya diterjemahkan TB-LAI “untuk
memusnahkan.” Lagi kita menemukan bentukan kata šHt.
15
Ide ini saya pinjam dan kembangkan dari David Atkinson, Kejadian 1-11: Kejadian Mendukung
Bertumbuhnya Sains Modern (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, t.t.), hlm. 205.
11

Pet!!

Belum lagi Baskoro menyelesaikan kalimatnya, mendadak sontak televisi mati dan gelap gulita
meliputi kamarku. Mati listrik. Tunggu punya tunggu, tak kunjung menyala lagi. Dengan
mangkel aku meraba dalam gelap, mencari lilin dan geretan zippo milik Syaiful temanku aktivis
buruh yang kadang mengungsi dan nginep di kamar kos-ku (karena sering “dicari” oleh intel?).

Refleksi

Dalam remang cahaya lilin aku merenung. Dalam perspektif eco-justice, agaknya Kisah Banjir
Bandang versi Romo Padri menampilkan keprihatinan yang mendalam terhadap kelestarian bumi
dan hidup harmoni di antara sesama makhluk hidup (Kol-neºpeš Hayyâ), ya, segala makhluk
(Kol-BäSär). Keprihatinan itulah rupanya yang mendorong Allah untuk menempuh tindakan
drastis memusnahkan para pelaku kekerasan dari muka bumi.

Tapi Allah tidak mau bumi menjadi bumi tanpa manusia dan tanpa binatang. Bukankah bila
bumi pernah menjadi sebuah rumah bagi manusia dan binatang, apa artinya bila kelak rumah itu
tak berpenghuni lagi? Karena itu Dia meluputkan beberapa manusia dan sejumlah binatang untuk
kelak hidup dalam harmoni satu dengan yang lain, juga dengan bumi. Hidup tanpa kekerasan
satu dengan yang lain, hidup tanpa kekerasan terhadap bumi. Bukankah seharusnya bumi benar-
benar menjadi rumah bagi semua penghuninya, baik manusia dan binatang, yang hidup harmonis
laksana keluarga? Tak heran bila pasca Banjir Bandang Allah menggelar perjanjian damai
dengan bumi, manusia, dan binatang. Nampaknya Ia ingin selalu menaungi bumi, manusia, dan
binatang dengan rahmat agar harmoni itu benar-benar dapat diwujudkan. Dalam arti inilah Busur
Allah menjadi “Pelangi di Taman Hati.”

Namun demikian, tersirat juga sebentuk realisme: Allah mengantisipasi tetap hadirnya kekerasan
dalam hubungan di antara segala makhluk di muka bumi. Sehubungan dengan itu Dia
menetapkan pembatasan-pembatasan supaya kekerasan jangan sampai menjadi masif merajalela
dan merusak bumi dan segala makhluk.

Dalam pada itu barangkali tak berlebihan bila kita bertanya: mengapa ada di antara ketetapan-
ketetapan tersebut yang menempatkan binatang-binatang dalam posisi yang rentan (ketakutan
dan kegentaran binatang kepada manusia, binatang diserahkan ke dalam tangan manusia, bahkan
binatang dan makanannya menjadi makanan manusia) dan dengan demikian sewaktu-waku bisa
punah karena manusia? Mengapa manusia pasca Banjir Bandang, yang tidak lagi diperintahkan
untuk menaklukkan bumi sekarang diberi perintah yang memungkinkannya berlaku sewenang-
wenang terhadap binatang?

Pertanyaan-pertanyaan ini sukar dijawab. Sejauh ini, melalui penggalian terhadap saur sepuh
Romo Padri, saya belum menemukan jawabannya. Atau mungkin Romo Padri memang tidak
berpikir ke sana dan dengan demikian tidak berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan etis
tersebut. Yang jelas, karena kepada manusialah Allah berfirman, maka manusia harus
bertanggungjawab baik atas penggunaan kuasa yang diberikan kepadanya, maupun atas
penggunaan kuasa yang tidak diberikan kepadanya. Kian rusaknya bumi saat ini, dan makin
12

banyaknya binatang (bahkan tumbuhan) yang punah karena tatanan ekonomi-politik yang
kapitalistik (yang secara masif menghisap, menindas, dan mengalienasi, yang diciptakan oleh
manusia namun sekaligus membentuk manusia seturut dengan citranya), harus
dipertanggungjawabkan manusia kepada Allah.

Mungkin Kontra Penciptaan ala Romo Padri tidak akan terjadi lagi. Tapi sangat boleh jadi
bentuk lain dari Kontra Penciptaan, yang mungkin jauh lebih dahsyat dan mengerikan, kelak
akan datang menyapu bersih bumi dan segala makhluk tanpa sisa tanpa kecuali. Bukan
bermaksud menakut-nakuti. Bila melihat kondisi masa kini dalam perspektif eco-justice, jangan-
jangan itu benar-benar akan terjadi sebelum Pemerintahan Allah terwujud sepenuhnya di muka
bumi… Pelangi di Taman Hati menjadi Busur Panah di Dunia yang Tak Berhati.

Bukit Kelam, Maret 2012

Disampaikan dalam Seminar Menikmati Perjanjian Lama, STT Abdiel Ungaran, Senin, 2 April 2012. Pdt.
Rudiyanto, MTh adalah Pendeta Tugas Khusus GKMI Yogyakarta yang diutus sebagai staf pengajar di STT Abdiel,
Ungaran-Semarang, dan Pendeta Konsulen GKMI Batam. Ia dapat dijumpai melalui
rudolfus_antonius@yahoo.com dan www.riro-theologiapublica.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai