Anda di halaman 1dari 4

1

Tafsir Naratif Kejadian 1-11 (Yahwis)

KAIN, LAMEKH, DAN HAWA


Kejadian 4.17-26

Rudolfus Antonius

Kain pergi dari hadapan Yahweh (4.16a). Ia bermukim atau tinggal (yâshâb) di Tanah Nod, di
sebelah timur Eden (4.16b). Dengan itu ia tidak lagi menjadi nâʽ wânâd (gelandangan dan
pengembara, 4.12, 14; TB-LAI: “pelarian dan pengembara”). Ia telah merubah nasibnya. Di
sana, seperti sang manusia (ayahnya) “mengenal” Hawa (ibunya, 4.1), Kain “mengenal” (yâdaʽ)
isterinya (4.17a; TB-LAI: Kain bersetubuh dengan isterinya; Sang Pencerita tidak memberitahu
kita nama isteri Kain). Istri Kain kemudian hamil dan melahirkan Henokh, seorang anak laki-laki
(4.17b).

Menurut Kitab Yobel-yobel (yang ditulis sekitar 160-150 SM), Kain memperisteri
’Âwân, saudara perempuannya. Menurut kitab Gua Harta Karun (Syriac Me`ârath Gazzê,
Arabic Maghârat al-Kanûz, Ethiopic Ba`âta Mazâgebet), yang ditulis pada akhir abad
ke-6 M atau pada awal abad ke-7 M, Hawa melahirkan Kain dan Lebhûdhâ serta Habel
dan Kelîmath. Adam memerintahkan Kain memperistri Kelîmath, dan Habel memperistri
Lebhûdhâ. Kain ingin memperistri Lebhudha yang cantik itu. Adam tidak mengizinkan,
sebab Lebhudha lahir bersama dengan Kain. Setelah membunuh Habel, Kain
memperisteri Lebhudha, saudari kembarnya sendiri, dan tinggal di suatu bagian dari
hutan Nod. Sedangkan menurut Serat Paramayoga (pertengahan abad ke-19), Sayyid
Kabil menikah dengan Dyah Alimah.

Lantas bagaimana? Bila kita menerima kisah-kisah yang ditenun dari Tradisi Yahwis
dalam Kitab Kejadian sebagai penuturan sejarah yang terbilang lengkap tentang asal-
muasal manusia, secara tidak terelakkan kita menyimpulkan bahwa Kain menikah dengan
saudara perempuannya, salah seorang puteri sang manusia dan Hawa, isterinya. Kita
dapat membayangkan bahwa sang manusia dan isterinya memiliki banyak anak, baik
laki-laki maupun perempuan. Berkenaan dengan itu meski kita menolak hubungan incest,
kita mesti menerima perkawinan Kain dan saudara perempuannya sebagai suatu
keharusan. Tapi, bila kita memandang bahwa pada awalnya kisah-kisah tersebut
merupakan kisah-kisah tentang kelompok-kelompok masyarakat petani (yang
mengusahakan tanah) dan pengembara (yang menggembalakan kambing-domba), sangat
mungkin pernikahan antara laki-laki dari kelompok yang satu dan perempuan dari
kelompok yang lain sering terjadi. Dalam bentuk dan redaksinya yang sekarang (yang
ditenun dari berbagai benang tradisi oleh para ahli Kitab yang kita yakni diilhami Roh
Allah pada abad kelima sebelum Kristus), kisah tentang Kain (yang bersambung dengan
kisah tentang Lamekh) mengilustrasikan tentang betapa seriusnya efek dosa dalam
kehidupan manusia.

Sekarang, mari kita kembali kepada kisah Kain. Dalam pada itu, agaknya Kain sudah tidak lagi
menjadi petani atau pengolah tanah (lihat 4.2: ʽobed ʼadâmâh). Tentu masih segar dalam
ingatannya firman Yahweh, Sang Tuan Tanah, setelah ia membunuh Habel, adiknya.
2

terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk
menerima darah adikmu itu dari tanganmu. Apabila engkau mengusahakan tanah itu,
maka tanah itu tidak akan memberikan hasil sepenuhnya lagi kepadamu; engkau menjadi
seorang pelarian dan pengembara di bumi (4.11b-12).

Entah apa pekerjaan Kain kemudian, yang jelas setelah kelahiran Henokh ia menjadi seorang
pembangun sebuah kota (wayǝhi boneh ʽîr, 4.17c). Bila dulu ayahnya, sang manusia, menamai
ibunya, sang perempuan, “Hawa” (khawâh, 3.20), sekarang Kain menamai kota itu Henokh,
“seperti nama puteranya” (kǝshem bǝnò, 4.17d). Sang manusia memberi nama kepada yang telah
dibangun oleh Yahweh, Kain memberi nama kepada yang telah dibangun olehnya sendiri.

Klausa wayyiwâled lakhanok ʼet-ʽirâd (4.18a) sangat menarik. TB-LAI menerjemahkannya


“Bagi Henokh lahirlah Irad.” Berdasarkan tata bahasa kita bisa juga menerjemahkannya “dan ia
[m] memperanakkan Irad bagi Henokh.” Kita bisa bertanya: siapakah yang dimaksud dengan
“ia” [m]? Apakah Kain? Apakah Henokh mandul?

Selanjutnya Irad memperanakkan Mehuyael, lalu Mehuyael memperanakkan Metusael, dan


Metusael memperanakkan Lamekh (4.18b).

Beda dengan Kain dan sang manusia, Lamekh “mengambil bagi dirinya dua orang isteri”
(wayyiqqakh-lô lemek shǝttey nâsîm, 4.19). Nama yang pertama (shem hâʼakhat) Ada, dan nama
yang kedua (wǝshem hashenît) Zila. Tersirat, perempuan bukan lagi “penolong yang benar-benar
tepat” (ʽezer neged) bagi laki-laki (bdk. 2.18, 20).

Ada melahirkan Yabal dan Yubal. Yabal menjadi “bapa penghuni kemah dan ternak” (ʼavi
yoshev ʼohel ûmiqneh, 4.20). Bila leluhurnya, Kain, berhenti dari nâʽ wânâd lalu tinggal di
Tanah Nod dan membangun kota, Yobel justru sebaliknya. Ia menempuh kehidupan nomaden,
yakni diam di tenda dan memelihara ternak. Adiknya, Yubal, menjadi “bapa semua orang yang
memegang kecapi dan suling” (ʼavi kâl-topes kinnôr wǝʽûgâv, 4.21). TB-LAI
menerjemahkannya: “bapa semua orang yang memainkan kecapi dan suling.” Patriakh para
pemusik.

“Dan Zila, ia juga, melahirkan Tubal-Kain” (wǝtsillâh gam-hûʼ yâldâh ʼet-tûval qayin, 4.22a),
kata Sang Pencerita. Ada nama Kain di sana. Entah apa artinya, yang jelas ia adalah “penempa
semua perkakas dari perunggu dan besi” (lotesh kâl-khoresh nǝkhoshet ûbarzel, 4.22b). Ia
seorang pandai logam. Saudara perempuannya adalah Naʽamâh (4.22c). Tidak ada keterangan
tentang puteri Zila ini. Sepertinya ia dianggap tidak sepenting abangnya Tubal-Kain, tidak juga
sepenting Yabal dan Yubal.

Syahdan, berkatalah Lamekh kepada isteri-isterinya (lǝnâshâyw):

Ada dan Zila, dengarkanlah suaraku1

1
Dari teks Ibrani kita membaca: ʽâdâh wǝtsillâh shǝmaʽan qôlî.
3

Isteri-isteri Lamekh, simaklah perkataanku2:3


Seorang laki-laki telah kubunuh karena [telah] membuatku memar4
Seorang muda karena telah membuatku luka.5

Memang tujuh kali Kain dibalaskan6


Tapi Lamekh tujuh kali tujuh7 (4.23-24)

Seperti sang manusia, leluhurnya yang pertama, Lamekh bersyair. Bedanya, sang manusia
menyairkan puisi cinta (karena berjumpa dengan sang perempuan [ʼishshâh]), sedangkan
Lamekh menyajakkan pembunuhan (yang baru saja ia lakukan kepada seorang laki-laki [ʼîsh]
yang masih belia [yeled]).

Seperti Kain, leluhurnya yang kedua, Lamekh melakukan pembunuhan (hârag, 4.8). Kain
membunuh Habel, adiknya sendiri, karena marah persembahannya tidak diindahkan Yahweh
(sementara persembahan Habel diindahkan-Nya). Lamekh membunuh laki-laki muda itu karena
orang itu membuatnya memar. Kekerasan yang dimulai oleh Kain dilanjutkan oleh Lamekh.
Tapi, sementara Kain takut dibunuh oleh siapapun yang menjumpainya (kâl-motsʼî, 4.14),
Lamekh malah sesumbar di hadapan isteri-isterinya. Mengklaim berhak menuntut pembalasan
lebih tujuh kali lebih berat daripada Kain, ia merasa layak membunuh laki-laki belia yang telah
membuatnya memar terluka. Dengan demikian ia merasa lebih berhak menentukan dan menuntut
pembalasan daripada Yahweh.

Dalam pada itu, dengan meminta isteri-isterinya mendengarkan/menyimak suara/perkataannya,


agaknya Lamekh berusaha menggarisbawahi keperkasaannya. Ia tidak hanya perkasa dalam arti
“mengambil dua orang isteri,” tetapi juga membunuh laki-laki lain (yang masih belia!) yang
telah mencederainya! Seakan ia ingin mengukuhkan dengan cara yang pongah bahwa ia memang
berhak untuk berkuasa (mâshal) atas kaum perempuan (lihat 3.16).

Di lain pihak, sang manusia (hâʼâdâm), yang kini disebut dengan nama Adam (ʼâdâm),
“mengenal” isterinya (TB-LAI: Adam bersetubuh pula dengan isterinya). Sang isteri melahirkan
seorang anak laki-laki. Ia, perempuan itu, “memanggil namanya Set” (watiqrâʼ ʼet-shǝmô
Sheth), Ia sebab katanya: "Allah telah menaruh padaku keturunan yang lain sebagai ganti Habel;
sebab Kain telah membunuhnya" (shâth-lî ʼelohîm zeraʽ akher takhat hebel kî harâgô qâyin,
TB-LAI: Allah telah mengaruniakan kepadaku anak yang lain sebagai ganti Habel, sebab Kain
telah membunuhnya). Terasa betul kesedihan Hawa atas kematian Habel dan penyesalannya
karena dulu pernah mengabaikan anak itu.

Arti kata sheth sendiri terbilang ambivalen: pusat dari tubuh (hati; Yesaya 19.10), bokong
(lihat 2Samuel 10.4; Yesaya 20.4), atau fondasi (Mazmur 11.3). Dalam konteks ini
agaknya kata sheth lebih tepat diartikan “hati.” Kesedihan Hawa begitu mendalam atas
kematian Habel, tapi terhiburkan dengan kelahiran Seth.
2
Dari teks Ibrani kita membaca: nǝshey lemek haʼzennâh ʼimrâtî.
3
Dari teks Ibrani kita membaca: kî.
4
Dari teks Ibrani kita membaca: ʼîsh hâragtî lǝphitsʽi.
5
Dari teks Ibrani kita membaca: wǝyeled lǝkhaburâtî.
6
Dari teks Ibrani kita membaca: kî shivʽâtayim yuqqam-qâyin.
7
Dari teks Ibrani kita membaca: wǝlemek shivʽîm wǝshivʽâm.
4

Dulu, saat menamai Kain ia berujar. Ia tidak melakukannya saat menamai Habel. Sekarang, ia
kembali berujar saat menamai Set, sang pengganti Habel. Kita teringat sepenggal syair dari lagu
Rhoma Irama, “Kehilangan”:

Kalau sudah tiada baru terasa


bahwa kehadirannya sungguh berharga
Sungguh berat aku rasa kehilangan dirinya

Bagi Seth juga telah lahir seorang anak laki-laki. Seth “memanggil namanya Enosh” (wayyiqrâʼ
et-shǝmô ʼenôsh). Kata ʼenôsh berarti manusia. selanjutnya dikatakan “waktu itu mulai berseru
kepada nama Yahweh” (ʼâz hûkhal liqroʼ bǝshem Yǝhwâh). TB-LAI menerjemahkannya “Waktu
itulah orang mulai memanggil nama TUHAN.” Boleh jadi, TB-LAI melihat dengan nama
ʼenôsh, putera Seth itu mewakili atau bahkan memimpin orang-orang untuk memanggil nama
Yahweh. Ini sekaligus menjadi kontras yang menarik dengan 4.16: “Dan pergilah Kain dari
hadapan Yahweh.” Dalam keadaan pergi dari hadapan Yahweh itu, Kain membangun kota dan
menurunkan generasi yang turut mengembangkan peradaban manusia (Yabal, Yubal, dan Tubal-
Kain) dan yang melumuri peradaban itu dengan darah (Lamek, ayan mereka!). Bagaimana
dengan orang (-orang) yang memanggil nama Yahweh?

Dalam pada itu, baik dari jalur Kain maupun jalur Set, nampaknya laki-laki memosisikan diri
sebagai yang pertama dan menyisihkan perempuan yang sejatinya merupakan “penolong yang
benar-benar tepat” baginya. ***

Lemah Abang, 7 April 2020

Anda mungkin juga menyukai