Anda di halaman 1dari 28

Mempercepat penelitian dunia.

Beyond Ceremony: Dampak


Kearifan Lokal terhadap Partisipasi
Publik dalam Penganggaran
Pemerintah Daerah
Perlahan Ludigdo

Makalah terkait Muat paket PDF dari makalah terkait terbaik 

PERILAKU PROSOSIAL IN BINGKAI KEARIFAN LOKAL : STUDI KASUS PERILAKU V...


Pengindeksan IJAR

PIDATO ILMIAH "KEARIFAN LOKAL" DALAM PUSARAN MODERNITAS (Studi Kasus: Partisipasi Masyarak…
isa wahyudi

KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETERAMPILAN GEOGRAFI: STUDI KASUS TENTANG T HE KOMUNITAS TENGGER
DI SEKITAR M...
Dwi A N G G A Oktavianto
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)

Beyond Ceremony: Dampak Perkenalan


Kearifan Lokal terhadap
Partisipasi publik adalah partisipasi dalam
Partisipasi Publik dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan
Penganggaran Pemerintah akuntabilitas pembangunan masyarakat
setempat. Achmadi, Muslim, Rusmiyati dan
Daerah Wibisono (2002) dan Sisk (2002)
menjelaskan bahwa partisipasi dan otonomi
Ana Sopanah* adalah kunci keberhasilandalam pelaksanaan
Made Sudarma* setiap proyek lokal karena partisipasi ini
Unti Ludigdo* berkaitan dengan aspek pengawasan dan
Ali Djamhuri* aspirasi masyarakat setempat.

Abstrak Di Indonesia, persyaratan undang-undang


tentang otonomi daerah mensyaratkan
Tulisan ini mengungkapkan bahwa partisipasi partisipasi publik dalam rangka reinfo
publik dalam penganggaran pemerintah pengawasananggaran (Sopanah, 2004). Dalam
daerah dapat dipraktikkan sepenuhnya oleh Undang-Undang tahun 2004 nomor 25
rakyat, dan bukan hanya proses seremonial tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
seperti yang ditunjukkan oleh literatur Nasional, mekanisme keikutsertaan dalam
sebelumnya tentang proses tersebut. penganggaran telah diatur dan diperjelas dalam
Penelitian sebelumnya telah difokuskan pada Keputusan Menteri Dalam Negeri no. 29 tahun
tingkat kabupaten dan menemukan bahwa 2002, yang telah direvisi menjadi Peraturan
partisipasi dalam penganggaran pemerintah Menteri Dalam Negeri tahun 2006 nomor 13.
daerah masih dianggap hanya formalitas, Poin utama dari ketiga peraturan di atas adalah
dilakukan sebagai bagian dari upacara yang adanya mekanisme partisipasi publik dalam
diperlukan untuk memenuhi kewajiban proses penganggaran daerah.
pemerintah daerah tertentu. Namun, di tingkat
komunitas mikro, tulisan ini menunjukkan Literatur tentang partisipasi publik (people)
bahwa partisipasi publik benar-benar holistik, dalam penganggaran menyatakan bahwa,
dan dipraktikkan lebih dari sekadar idealnya, partisipasi tersebut harus pada semua
formalitas seremonial. Penelitian ini tahap siklus penganggaran; dari perencanaan
dilakukanterhadap suku Tenggeresse, sebuah hingga implementasi hingga akuntabilitas dan
komunitas aborigin di Gunung Bromo, Jawa tanggung jawab (Mardiasmo, 2002). Namun,
Timur, Indonesia. Paradigma interpretatif studi lapangan menunjukkan bahwa meskipun
dengan pendekatan etnometodologi partisipasi publik dalam pembangunan dan
digunakan untuk mengungkapkan keberadaan perencanaan anggaran daerah diasumsikan
nilai-nilai lokal Tenggeresse ketika sangat penting, partisipasi publik sejati yang
berpartisipasi dalam penganggaran lokal; sebenarnya sangat rendah (Cooper dan Elliot,
berpusat pada kedamaian dan menjaga 2000, Layzer, 2002, Navaro, 2002, Laurian,
kesejahteraan orang lain. Nilai-nilai kearifan 2004). Misalnya, Laurian (2004) menemukan
lokal ini terinternalisasi dalam aspek kehadiran yang rendah dalam berbagai
perencanaan, pelaksanaan dan tanggung pertemuan publik. Meskipun pertemuan publik
jawab partisipasi publik yang transparan dianggap kurang efektif sebagai alat persuasi
dalam penganggaran pemerintah daerah. yang rasional, mereka tetap berperan dalam
menjaga sistem demokrasi lokal. Hasil
Kata Kunci penelitian Laurian dan Adams (2004) sejalan
dengan yang dibuat oleh Sopanah (2003);
Partisipasi Publik Sopanah, Wahyudi dan Azmi (2004) serta
Penganggaran Sopanah dan Wahyudi (2005a; 2005b).
Daerah Pemerintah Bahkan, Sopanah (2012) menemukan bahwa
Daerah Kearifan partisipasi dalam penganggaran pemerintah
Daerah Musrenbang daerah masih dianggap hanya formalitas,
Etnometodologi dilakukan sebagai bagian dari upacara yang
diperlukan untuk memenuhi kewajiban
*Universitas Brawijaya Malang, Indonesia pemerintah daerah tertentu.
65
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)

Artikel ini sepenuhnya didasarkan pada Disertasi "Partisipasi


Publik

66
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)
dalam Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan nilai lokal Tenggeresse diinternalisasi dalam
Lokal" Universitas Brawijaya Malang, Indonesia.
perencanaan, pengembangan,pelaksanaan dan
Penelitian ini terinspirasi dari Sumarto (2004);
akuntabilitas proses anggaran pemerintah
yang menyatakan bahwa mekanisme
daerah. Hasil penelitian ini menghasilkan
nonformal yang berasal dari inisiatif inovatif
gambaran nyata holistik
publik lebih efektif daripada mekanisme
formal partisipasi publik (disebut Musrenbang
di Indonesia) (lihat Waidl, Sudjito dan
Bahagijo, 2008). Inspirasi penelitian ini juga
berasal dari Muluk (2007) yang
menyimpulkan bahwa mengadopsi
pendekatan system-thinking menghasilkan
keberhasilan partisipasi publik dalam
pemerintahan daerah yang membawa
perbaikan di era reformasi. Namun perbaikan
ini telah mengikuti pola kurva S, artinya ada
perbaikan pada tahap awal reformasi, namun
lambat laun perbaikan melambat dan menjadi
stagnan.

Sopanah (2003), Sopanah, et. al. (2004), dan


Sopanah dan Wahyudi (2005a,b)
menunjukkan bahwa partisipasi publik
dalam penganggaran sangat penting karena
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
proses; namun pada kenyataannya,
partisipasi publik yang sebenarnya masih
sangat rendah.
Sopanah (2008 dan 2009) menemukan bahwa
karena encouragement dari pemerintah dan
LSM, tingkat partisipasi sejati di tingkat
pemerintah daerah meningkat. Namun,
Sopanah (2012) menemukan bahwa partisipasi
dalam penganggaran pemerintah daerah masih
sebatas formalitas, dilakukan sebagai bagian
dari upacara yang diperlukan untuk memenuhi
kewajiban pemerintah daerah tertentu, bukan
partisipasi masyarakat sejati.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk


menggali lebih dalam dan memahami
partisipasi publik dalam proses penganggaran
di tingkat masyarakat lokal (bukan pemerintah
daerah). Di tingkat komunitas mikro,
penelitian ini menyelidiki sistem nilai yang
memungkinkan holistic dan partisipasi penuh
dalam perencanaan, implementasi, dan
akuntabilitas. Penelitian ini dilakukan terhadap
masyarakat lokal Tenggeresse (Aborigin) di
Gunung Bromo, Jawa Timur, Indonesia.
Masyarakat Tenggeresse, khususnya Hindu,
memiliki budaya dan adat istiadat yang
berbeda dengan masyarakat Indonesia lainnya.
Perbedaan ini memungkinkan mereka untuk
mengembangkan proses partisipasi yang
berbeda dengan desa-desa lain di Indonesia.
Penelitian ini menunjukkan bagaimana nilai-

67
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)
dan partisipasi penuh publik dalam proses apakah anggaran harus menjadi laporan
penganggaran daerah di tingkat komunitas birokrasi yang rumit, ekonomi-teknokratis,
mikro. Temuan ini menyajikanpeta iklan ro atau pelaksana hak asasi manusia yang hebat,
tentang bagaimana pemerintah daerah dapat terutama pemenuhan hak-hak sosial-ekonomi
mewujudkan partisipasi nyata dalam proses rakyat. Menurut Wiratraman
penganggaran dengan memanfaatkan nilai-
nilai masyarakat lokal; sehingga bergerak
lebih dari sekadar penganggaran seremonial.

Eksplorasi Teoritis Partisipasi


Publik dalam Penganggaran

Memperoleh Hak atas Kesejahteraan


melalui Anggaran

Anggaran adalah pernyataan tentang tujuan


kinerja yang akan dicapai selama periode
tertentu, sebagaimana dinyatakan dalam
istilah keuangan; sedangkan penganggaran
adalah proses yang dilakukan untuk
menyiapkan anggaran (Mardiasmo, 2002).
Anggaran Pemerintah Daerah adalah rencana
keuangan yang mencerminkan pilihan yang
dibuat Pemerintah atas kebijakannya, baik
ekonomi maupun sosial (Khan dan Hildreth,
2002; Salihu, 2005; Shim dan Siegel, 2005).
Menurut Henley, Likierman, Perrin,
Evans, Lapsley and Whiteoak, J (1992),
tahapan dalam penganggaran baik di sektor
swasta maupun publik relatif sama, terdiri
dari empat tahap, yaitu perencanaan,
ratifikasi, pelaksanaan dan pelaporan
(akuntansi pertanggungjawaban).

Namun, dominasi olehpara pelaksana dan


legislatif dalam penganggaran pemerintah
daerah telah mengakibatkan
ketidakseimbangan kekuasaan, dengan
memberikan prioritas pada level-level ini
dalam alokasi anggaran. Ini menciptakan
peluang untuk merusak anggaran; seperti
halnya di seluruh Kota/Kabupaten di
Indonesia (Sopanah, dkk, 2004). Modus-
modus korupsi yang dilakukan legislatif
antara lain: (1) menambah dan memperlebar
pokok-pokok pengeluaran, (2)
mendistribusikan dana APBD kepada
lembaga/yayasan fiktif, dan (3) memanipulasi
pejabat yang bepergian.
Sementara di lembaga eksekutif, modus
korupsi antara lain: (1) memanfaatkan dana
saldo tanpa prosedur, (2) penyimpangan
dalam prosedur pengusulan dan pengambilan
dana kas daerah, dan
(3) memanipulasi proses procurement
(Sopanah et all, 2004). Seiring dengan kasus-
kasus korupsi anggaran, ada pertanyaan
68
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)

(2004), anggaran pemerintah daerah harus rakyat.


dianggap sebagai hak asasi manusia karena
merupakan komitmen Pemerintah untuk Pandangan bahwa partisipasi harus diperluas
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. ke arena politik berasal dari Habermas yang
menyatakan bahwa otonom
Wiratraman (2004) menyatakan bahwa untuk
meningkatkan kesejahteraan ekonomi, sosial
dan budaya masyarakat, setidaknya ada tiga
unsur yang menjadi kewajiban suatu Negara,
yaitu:

1. Kewajiban Negara untuk


menghormati rakyat
2. Kewajiban Negara untuk
melindungi rakyat
3. Kewajiban Negara untuk memajukan
dan memenuhi kebutuhan rakyat

Berdasarkan ketiga unsur tersebut, Negara


melalui anggaran publiknya dapat memenuhi
kesejahteraan ekonomi, sosial dan budaya
rakyatnya melalui berbagai programs dan
kegiatan yang dibutuhkan rakyat. Oleh karena
itu, untuk mengetahui apa yang dibutuhkan
masyarakat, partisipasi publik sangat
dibutuhkan dalam proses penganggaran.
Orang-orang itu sendiri yang tahu lebih
banyak tentang kebutuhan mereka untuk
pembangunan. Pemikiran dasar tentang
importance partisipasi publik, menurut
Mahardika (2001), adalah bahwa setiap
proyek pembangunan akan menghadapi
ancaman kegagalan jika tidak melibatkan
rakyat baik dalam proses penganggaran
maupun pelaksanaannya. Hal ini juga sejalan
dengan Sopanah (2011) yang
menyatakanbahwa beberapa penolakan
terhadap pembangunan terjadi karena
partisipasi sejati tidak ada.

Pentingnya Partisipasi Publik bagi


Pembangunan

Pentingnya partisipasi juga disorot oleh


Conyers (1991), yang menyatakan bahwa
partisipasi publik pertama-tama adalah alat
untuk mendapatkan informasi tentang kondisi,
kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat,
yang tanpanya program dan proyek
pembangunan apa pun akan gagal. Kedua,
orang akan percaya pada proyek dan program
pembangunan jika mereka terlibat dalam
proses persiapan dan perencanaan anggaran,
karena mereka akan lebih tahu proyek dan
akan memiliki perasaan kepemilikan (ekuitas)
dalam proyek. Ketiga, adalah hak demokratis
jika rakyat terlibat dalam pembangunan
69
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)
ruang publik di luar domain Negara harus
ada (Cornwall, 2002). Negara sebagai aktor Siapa yang paling powerful dalam
dan lembaga politik memiliki menentukan anggaran? Pertanyaan ini sangat
ketelitianuntuk memimpin maksud dan penting untuk menentukan siapa yang
tujuan pembangunan, dengan atau tanpa berkuasa dan siapa yang memainkan peran
melibatkan rakyat. politik dalam menentukan anggaran.
Namun, idealnya, rakyat harus dilibatkan
dalam membuat kebijakan apapun dengan
memanfaatkan ruang publik yang ditawarkan
Habermas dalam bentuk partisipasi politik.
Dengan partisipasi politik, rakyat dapat
mempengaruhi Pemerintah dan meminta
komitmen dan akuntabilitas mereka
(Cornwall dan Gaventa, 2001).

Partisipasi publik tidak terlepas dari


pembangunan itu sendiri, sehingga rakyat
akan mendapatkan persamaan hak dan
kekuasaan untuk menuntut manfaat
pembangunan. Krina dan Lalolo (2003)
menjelaskan bahwa dalam mewujudkan
partisipasi, terdapat beberapa aspek yang
harusdikonsepsikan yaitu: kelembagaan
konstitusional, web masyarakat sipil, budaya
lokal Pemerintah, dan faktor-faktor lain
seperti transparansi, akuntabilitas dan
kejujuran. Salah satu bentuk keterlibatan
publik dalam pembangunan adalah
partisipasi dalam proses bu dgeting lokal
yangterdiri dari tahap perencanaan,
pelaksanaan dan akuntabilitas.

Partisipasi publik di daerah bersifat


kontekstual, dan tergantung pada
karakteristik lingkungan, ekonomi, budaya
dan politik di daerah setempat. Arnstein
(1971) mengusulkanteori v ery terkenal yang
menunjukkan tingkat partisipasi publik, yang
disebut Ladder of Participation. Teori ini
menjelaskan bahwa partisipasi adalah
kekuatan rakyat untuk mempengaruhi setiap
perubahan dalam membuat kebijakan apa
pun. Secara teori, ada tiga tingkatan
participation yang kemudian dirinci menjadi
delapan tangga partisipasi. Tingkat terendah
adalah bahwa tidak ada partisipasi, yang
terdiri dari dua tangga: manipulasi dan terapi.
Setiap kegiatan partisipasi yang terjadi pada
tingkat ini sebenarnya adalah distorsi
partisipasi dan hanya membuat pemegang
kekuasaan untuk mendidik dan menghibur
para peserta. Pandangan yang lebih rinci
tentang tangga partisipasi (Arsntein, 1971)
ditunjukkan pada Tabel Satu.

Partisipasi Publik dalam Proses


Penganggaran
70
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)

Tabel Satu: Delapan Tangga Partisipasi Publik

8 Kontrol oleh Warga Negara


7 Pendelegasian wewenang Partisipasi Penuh
6 Kemitraan Tingkat kekuatan Warga
Negara
5 Konsesi
4 Konsultasi Partisipasi simbolis
3 Penyampaian Informasi (tokenisme)
2 Terapi Tidak ada
1 Manipulasi partisipasi Non
partisipasi
Sumber: Arnstein (1971)

Tapi, tawar-menawar politik juga terjadi penganggaran adalah politik dan sebagian
antara eksekutif dan legislatif; tidak besar politik adalah penganggaran. Anggaran
didasarkan pada apa yang dibutuhkan rakyat, adalah "perjuangan untuk mengumpulkan
tetapi pada kepentingan individu atau kolektif kekuasaan"; yaitu siapa yang berkuasa pada
para eksekutif dan legislatif. Ada berbagai saat itu, orang itu adalah orang itu
jenis permainan politik yang berdampak pada
anggaran dari berbagai daerah. Secara umum,
"posisi tawar" anggaran didasarkan pada siapa
dan apa yang akan menarik bagi proyek.
Selain posisi tawar harga proyek dan area
pelaksanaan proyek, kasus yang hangat dan
dibahas secara publik adalah "broker proyek".
Ada banyak anggota Komisi Anggaran di
House of Parliament yang telah menjadi
'broker proyek'; yang perannya adalah
memfasilitasi program-program yang
diusulkan para eksekutif.

Keberadaan broker-broker ini adalah bukti


bahwa anggaran sebagai instrumen yang
digunakan Pemerintah untuk menggunakan
kekuasaan mereka; dan dalam praktiknya
tidak terlepas dari sejumlah kepentingan yang
harus diakomodasi. Kepentingan pribadi dan
kelompok (biasanya disebut kepentingan
politik) seringkali memiliki bobot yang lebih
tinggi daripada kepentingan orang. Politik
penganggaran yang terjadi baik di Pusat
maupun di berbagai Pemerintah Daerah pada
umumnya merupakanbentuk miniatur dari
rumitnya politik di Indonesia.

Politik penganggaran adalah proses


pengalokasian anggaran atas dasar kehendak
eksekutif. Rubin (2000) dalam bukunya The
Politics of Public Budgeting' menyatakan
bahwa dalam menentukan rentang nilai atau
dana alokasi kepada rakyat, selalu ada
kepentingan politik yang harus diakomodasi
oleh pejabat yang bersangkutan. Wildavsky
(1964) mendukung pendapat bahwa semua
71
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)
Siapa yang akan menentukan nilai anggaran
yang dialokasikan. Berbagai permasalahan
pada politik penganggaran di atas
mengharuskan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proses penganggaran
dalam order untuk memastikan bahwa
anggaran tersebut digunakan dengan baik
untuk pembangunan yang diperlukan dan
tidak ada yang lain (Mariana dan Edi, 2008).
Perencanaan dan penganggaran adalah proses
yang menentukan arah alokasi anggaran
publik; dan apakah itu akan memenuhi
kepentingan people atau kepentingan mereka
yang berkuasa. Setiap anggaran yang
memihak adalah anggaran yang
disfungsional. Setiap peningkatan
kesejahteraan masyarakat akan dibatasi oleh
anggaran yang disfungsional tersebut. Oleh
karena itu, partisipasi publik diperlukan
dalam proses planning dan penganggaran
lokal, agar setiap nilai publik dapat terpancar.

Metodologi

Tipe dan Paradigma

Penelitian tentang akuntansi telah


berkembang dan lebih menekankan pada
aspek manusia, realitas sosial, dan fungsi
utama akuntansi sebagai media simbolik.
Akuntansi dipandang sebagai praktik dengan
konsekuensi yang ditimbulkan oleh manusia
dan konteks sosial di mana ia dioperasikan
dan dengan interaksi antara akuntansi dan
organisasi lain atau fenomena sosial
(Hopwood, 1989; Birnberg dan Shield, 1989;
Burgstahler
dan Sundem, 1989; Caplan, 1989). Selain
itu, para peneliti di bidang interaksi manusia
telah meneliti literatur di daerah tersebut
sehingga badan pengetahuan yang disebut
akuntansi perilaku didirikan (Birnberg dan
Shield, 1989). Badan pengetahuan ini telah
memberi para peneliti dasar interpretasi
dalam pemahaman akuntansi dan juga
menghargai interaksi manusia dan konteks
sosial akuntansi .

72
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)
masyarakat Tenggeresse, dan informan yang
Sebagai bagian dari politik dan ekonomi, mengungkapkan partisipasi publik dalam
kebijakan tentangpenganggaran loca l adalah perencanaan penganggaran seperti kepala desa
realitas sosial yang dipengaruhi oleh perilaku (Petinggi) dan stafnya, kepala kecamatan
individu yang terlibat. Dalam hal beserta jajarannya, pengurus (kepala Badan
penganggaran pemerintah daerah, antara lain Dinas Daerah
pengaruh eksekutif, legislatif, LSM dan
masyarakat yang terdampak anggaran itu
sendiri. Beberapa studi penelitian menyatakan
bahwa selain dipengaruhi oleh mereka yang
terlibat di dalamnya, proses penganggaran
lokal juga dipengaruhi oleh negosiasi,
perubahan kekuasaan dan politik internal
(Siegel dan Marconi, 1989, Covaleski et al.,
1996, Wildavsky, 2004).

Mengikuti dari kajian-kajian di atas, dalam


penelitian ini, para peneliti memiliki tujuan
utama pengungkapan realitas sosial dalam
proses penganggaran lokal berdasarkan
kearifan lokal Tenggerres, sebuah komunitas
mikro masyarakat aborigin Indonesia. Studi ini
menggali lebih dalam untuk memahami nilai-
nilai lokalitas yang ada di Tenggeresse dan
untuk menjelaskan bagaimana nilai-nilai ini
berdampak pada partisipasi dalam proses
perencanaan penganggaran pemerintah daerah.
Paradigma interpretatif dengan
etnomethodologi digunakan untuk melakukan
penelitian ini .
Etnometodologi sebagai pendekatan
penelitian mengumpulkan data yang
dimaksudkan untuk mengungkapkan suatu
fenomena kebutuhan sosial. Informan utama
akan menyuplai data, informasi, pengalaman
dan wawasan lainnya untuk menjawab
permasalahan penelitian. Dari penelitian ini,
diharapkan mendapatkan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) apakah
partisipasi publik dalam penganggaran lebih
dari sekadar formalitas seremonial? (2)
kearifan dan nilai-nilai lokal apa yang ada
dalam kehidupan Tenggeresse? dan (3)
bagaimana dampak wisdo m lokalTenggeresse
dalam bagaimana mereka berpartisipasi dalam
proses penganggaran pemerintah daerah?

Situs Sosial Penelitian dan Informan

Penelitian ini dilakukan di Tenggeresse yang


tinggal di desa Ngadisari, kecamatan
Sukapura, Kabupaten Probolinggo, provinsi
Jav Timur, Indonesia. Informan studi
penelitian etnometodologi ini dibagi menjadi
dua kelompok; yaitu mereka yang
mengungkapkan nilai-nilai lokalitas, yaitu di
antara masyarakat lokal lainnya dan
73
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)
Pembangunan, sekretaris daerah, bupati) ke dalam bentuk tertulis seperti yang terdapat
dan tdia anggota DPRD. dalam kitab adat (primbon), kalender dan
pamflet adalah tangible. Sedangkan kearifan
Metode Pengumpulan dan Analisis Data lokal yang tidak berwujud adalah nasihat
secara lisan
Metode pengumpulan data untuk menggali
dan memahami nilai-nilai lokal adalah
melalui dokumentasi (termasuk foto dan
video), wawancara mendalam dengan
berbagai individuyang melakukan adat
istiadat selama upacara informal atau
tradisional. Metode pengumpulan data untuk
menjelaskan partisipasi publik dalam proses
perencanaan penganggaran adalah melalui
dokumen (termasuk foto dan video),
observasi langsung, wawancara mendalam
dengan tokoh ko, eksekutif, legislatif dan
pemangku kepentingan lainnya.

Dalam prosedur analisis data, digunakan


model analisis data Miles dan Huberman
(2002). Prosedur analisis data adalah reduksi
data, penyajian data dan kesimpulan drawing.
Metode ini diadopsi karena peneliti ingin
mengidentifikasi, menganalisis,
menggambarkan dan menafsirkan fenomena
yang ditemukan. Semua hasil wawancara dan
observasi direkonstruksi berdasarkan memori
menjadi bundel catatan lapangan.
Berdasarkan pengalaman field, para peneliti
melakukan analisis selama dan setelah
pengumpulan data.

Hasil Penelitian

Menggali Kearifan Lokal


Tenggeresse

Gobyah (2003) mengatakan bahwa kearifan


lokal merupakan kebenaran yang sudah
menjadi tradisi di suatu daerah. Kearifan
lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai
spiritual dan berbagai nilai yang ada. Geriya
(2003) menyatakan bahwa secara konseptual,
kearifan lokal dan superioritas adalah
kearifan manusia yang bersandar pada filsafat
nilai, etika, sopan santun dan perilaku yang
secara tradisional bersifat institusional.
Kearifan lokal adalah setiap nilai yang
dianggap baik dan benar sehingga benar-
benar menentukan martabat dan prestise
manusia dalam masyarakat (Geertz, 1992).

Kearifan lokal dapat dikategorikan menjadi


dua aspek: tangible dan intangible. Beberapa
kearifan lokal seperti sistem nilai, sopan
santun, ketentuan khusus yang diekspresikan
74
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)

disampaikan dari satu generasi ke generasi demikian, prosesnya diulang secara formal.
berikutnya yang mungkin dalam bentuk lagu
dan himne yang mengandung nilai-nilai
ajaran tradisional dan nilai-nilai sosial
lainnya.

Menurut Sukari et al. (2004:47-51) nilai-nilai


kearifan lokal di Tenggeresse yang tinggal di
desa Nagdisari didasarkan pada konsep
kehidupan Tenggeresse; yaitu mereka
memiliki hubungan triadik; (1)antara manusia
dengan Tuhannya, (2) manusia dan manusia an
d (3) manusia dan lingkungan alamnya.
Hubungan antara manusia dan Tuhan
diwujudkan dalam kesetiaan untuk berdoa
sejalan dengan agama Hindu dan melakukan
berbagai upacara tradisional Hindu. Sementara
itu hubungan antar manusia ditunjukkan oleh
cara hidupnya dan ketaatannya pada konsep
gotong royong (sayan). Terakhir, hubungan
antara manusia dengan lingkungan alamnya
diwujudkan dengan melakukan berbagai
upacara adat yang berhubungan dengan siklus
alam dan juga menjaga alam.

Selain itu, Tenggeresse juga memiliki cara


hidup (prasaja) yang berarti jujur, tanpa
kepura-puraan; (prayoga) selalu berperilaku
bijak; (pranata) selalu taat kepada Raja, yaitu
pemimpin atau Pemerintah; (prasetya) setia;
dan (prayitna), waspadalah. Nilai-nilai
kearifan lokal yang dapat diidentifikasi dalam
kehidupan Tenggeresse antara lain: ramah
(ramah), setuhu (tunduk), guyub rukun
(harmonis), sanjan-sinanjan (saling
membantu), sayan (gotong royong), dan
prasaja (jujur). Kearifan lokal ini mewarnai
semua kehidupan Tenggeresse. Dalam
penelitian ini, kami berharap dapat
menunjukkan bagaimana nilai-nilai kearifan
lokal ini diinternalisasi dan menghasilkan
partisipasi publik penuh dalam proses
penganggaran.

Nilai-nilai yang terinternalisasidari


kebijaksanaan lo cal dalam proses
penganggaran dapat diidentifikasi menjadi tiga
nilai yaitu ketundukan (setuhu), gotong royong
(sayan) dan kejujuran (prasaja). Nilai-nilai
ketundukan atau setuhune dari Tenggeresse
diwujudkan dengan mengikuti jadwal waktu
dan stages yang telah ditentukan Pemerintah.
Jadwal ini diikuti dengan ketat, kadang-kadang
menyebabkan duplikasi, karena Tenggeresse
mungkin telah melakukan tahap tertentu dari
proses yang diperlukan secara informal
sebelum waktu yang diperlukan. Jika
75
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)
Kearifan lokal gotong royong (sayan) kesepakatan tentang usulan tahun 2011,
diwujudkan dalam melaksanakan proyek- kami tetap melakukan Musrenbang desa
proyek pembangunan yang dianggarkan di sebagaimana ditetapkan oleh Pemerintah (K,
daerah Tenggeresse. Ketika para peneliti 22 Februari 2010)
melakukan pengamatan dan mengunjungi
lapangan, hampir semua perkembangan, baik
yang didanai by anggaran daerah atau orang-
orang Tenggeresse sendiri, sedang dilakukan
oleh masyarakat dengan cara gotong royong.
Kerja sama timbal balik semacam itu
dilakukan oleh semua anggota masyarakat
Tenggeresse, baik pria (terutama pria muda)
yang melakukan pekerjaan fisik dan wanita
(terutama wanita muda) yang menyiapkan
makanan dan minuman. Cara hidup "gotong
royong" benar-benar dibumikan atau
diinternalisasi dalam semua kegiatan
Tenggeresse.

Nilai "kejujuran" kearifan lokal (prasaja)


diwujudkan dalamproses akuntabilitas dan
transparansi dalam menggunakan anggaran
yang dialokasikan. Sebagai bentuk
transparansi, tanggung jawab dan kejujuran,
ketua masyarakat (rembug warga) selalu
dibuat untuk menjelaskan setiap kegiatan
yang telah dibuatnya selama setahun dan
untuk menampung berbagai masukan untuk
kegiatan di tahun berikutnya. Transparansi
dan akuntabilitas tersebut tidak dapat
ditemukan di daerah lain di Indonesia.

Partisipasi Publik Formal dan Informal


dalam Perencanaan Pembangunan

Implementasi Musrenbang desa (partisipasi


masyarakat di tingkat desa) di wilayah
Kabupaten Porbolinggo pada umumnya
hampir sama dengan daerah lain, dan sering
dilakukan sebagai formalitas seremonial
belaka (Sopanah, 2012) Bedanya, selain
melakukan musrenbang desa, Tengggeresse
juga memanfaatkan mekanisme partisipasi
informal lainnya. Partisipasi informal
dilakukan pada bulan Desember, bersamaan
dengan rep pertanggungjawabankepala desa
(petinggi) kepada masyarakat desa Tengger.
Sementara itu, pelaksanaan Musrenbang
kecamatan dinilai sebagai 'formalitas" dalam
rangka pemenuhan mekanisme perencanaan
pembangunan. Hal ini didukung oleh
beberapa informa ntsdi bawah ini:

"Musrenbang Desa menurut saya


merupakan kegiatan silaturahmi antar
anggota Tenggeresse, sehingga meskipun
pada akhir tahun kami telah membuat
76
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)

"Musrenbang di desa Ngadisari dilakukan


pada awal Februari di Balai Desa yang Implementasi musrenbang desa dengan cara
dihadiri oleh perangkat desa. Orang-orang yang diadopsi oleh orang Tengger di
Tengger telah menghadiri pertemuan tahunan
pada akhir Desember dan telah memberikan
beberapa proposal. Kami telah membuat
prioritas pengembangan dalam pertemuan
sebelumnya. Beberapa proyek besar yang
kami usulkan adalah proyek fisik. (S, 22
Februari 2010).

"Desa seperti kami melakukan musrenbang


desa, terbukti dengan dokumen yang diberikan
kepada kantor kecamatan yangberisi
rekapitulasi proposal dari masing-masing
bidang. Selain sebagai bentuk "ketundukan"
kepada Pemerintah, musrenbang desa juga
dibuat oleh desa Tengger yang disebut
"musyawarah desa" yang diadakan pada akhir
tahun sebagai media
pertanggungjawabankemampuan pemimpin
kepada rakyat selama tahun berjalan. Selama
"musyawarah desa", orang-orang
mengusulkan program untuk periode tahun
berikutnya. Mekanisme ini sebenarnya
merupakan partisipasi publik yang nyata di
daerah Tengger (A, 22 Februari 2010)

Hasilinte rviews dengan seorang camat


menjelaskan bahwa mekanisme musrenbang
desa dibuat sebagai realisasi ketundukan
Tenggeresse kepada Pemerintah. Selain
efektivitas atau ketidakefektifan pelaksanaan
musrenbang desa di wilayah Tengger, suku
Tenggeresse jelas telah melakukan sesuatu
yang diyakini masyarakatnya sebagai
kewajiban semua warga negara.
Selain itu, Kepala Bidang Ekonomi Bappeda
(Badan Pembangunan Daerah) Kabupaten
Probolinggo, menyatakan bahwa
fenomenapartisipan dalam proses perencanaan
penganggaran biasanya dilakukan sejalan
dengan mekanisme dan peraturan Pemerintah
dan juga budaya lokal. Pernyataannya adalah
sebagai berikut:

"Partisipasi publik dalam proses perencanaan


penganggaran dilakukan melalui mekanisme
Musrenbang. Musrenbang, dari tingkat desa
hingga kabupaten, telah dibuat sejalan
dengan peraturan yang ada sebagai bentuk
"tunduk" Pemerintah Daerah kepada
Pemerintah Pusat. Di wilayah desa
Tenggeresse, mereka telah melakukan done
desa Musrenbang pada bulan Januari karena
hanya menunjukkan ketundukannya kepada
Pemerintah (GW, 22 Februari 2010)
77
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)
Desa Ngadisari, menurut teori partisipasi anggaran untuk pembangunan banyak
yang dikemukakan oleh Arnstein (1971) dipengaruhi oleh kepentingan pribadi,
dapat dikategorikan dalam tangga ketiga kekuasaan dan politik internal (Hackman
partisipasi, yaitu pada tingkat partisipasi (1985) dalam Covaleski et al (1996) dan
penuh. Tangga ini ditandai dengan kemitraan,
pendelegasian wewenang, dan control oleh
anggota desa. Dalam tangga ini, tampaknya
partisipasi publik di kalangan Tenggeresse
dalam proses perencanaan penganggaran
berbeda dengan desa-desa lain di luar wilayah
Tengger, karena orang Tengger tidak
memperlakukan partisipasi publik sebagai
formalitas seremonial belaka.

Implementasi musrenbang informal dengan


cara yang dilakukan oleh Tenggeresse
merupakan temuan yang menarik, karena
partisipasi informal ini merupakan salah satu
bentuk inovasi yang dilakukan desa dengan
tetap memperhatikannilai-nilai kearifan lokal.
Nilai kearifan lokal "tunduk" (setuhu)
diwujudkan dengan tetap melakukan
mekanisme muesrenbang formal meskipun
semangat partisipasi ada pada musrenbang
informal. Ketaatan terhadap hukum adalah
salah satu values kearifan lokal di kalangan
Tenggeresse; dan tetap dipertahankan dalam
konteks penganggaran yang merupakan
bentuk ketundukan kepada Pemerintah
Daerah atau Pusat .

Gotong Royong dalam


Partisipasi Publik Tenggeresse

Pembangunan dihasilkan dari proses


perubahan terencana yang melibatkan
Pemerintah dan rakyat. Jika pembangunan
hanya melibatkan Pemerintah, maka tujuan
pembangunan tidak akan tercapai melainkan
hanya anggaran yang akan dikeluarkan.
Sebuah studi penelitian oleh Sopanah (2011)
menunjukkan bahwa proyek untuk melakukan
pengeboran sumur menggunakan dana
Rp5000.000 ditolak oleh masyarakat yang
terkena dampak, karena proses penganggaran
tidak partisipatif dan tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.

Berbagai permasalahan dalam pelaksanaan


projects pembangunan telah terjadi di setiap
kota/kabupaten di Indonesia karena persoalan
serupa; yaitu mereka yang berkuasa dominan
dalam menentukan pembangunan sehingga
pembangunan tersebut dianggap sebagai
proyek yang bermanfaat bagi dirinya sendiri.
Beberapa penelitian tentang anggaran
menunjukkan bahwa penentuan alokasi
78
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)

Wildavsky (2004). Colaveski dkk (1996) dan daripada desa-desa lain. Alasan lain adalah
Siegel dan Marconi (1989) juga menjelaskan bahwa orang Tengger sedang melakukan
bahwa budgeting memiliki peran ganda yaitu proyek-proyek yang berdampak langsung pada
untuk berbagi kekuasaan dan juga sebagai pariwisata ke daerah tersebut.
media untuk mendapatkan kekuasaan.
Akibatnya, ada banyak "tawar-menawar
politik" setelah seorang kepala daerah terpilih
dan dilantik. Kemudiandist ribusi "pai
pembangunan" dibuat di antara mereka yang
mendukungnya, yang berarti proyek-proyek
pembangunan dibagikan. Banyak penolakan
terhadap proyek-proyek pembangunan juga
terjadi di negara-negara berkembang lainnya
selain Indonesia, seperti di Bolivia, Rumania,
Filipina, Malaysia dan Vietnam karena tidak
ada mekanisme partisipasi publik di negara-
negara tersebut (McNeish, 2006; Radu, 2009;
Swain dan Chee, 2004). Radu (2009)
menyatakan bahwa dominasi elit yang
berkuasa sangat tinggi di negara berkembang;
Sehingga beberapaperkembangan yang ditolak
adalah karena rakyat tidak puas dengan
kebijakan tersebut.
Sementara itu pembangunan bendungan di
Thailand dan Malaysia tidak diterima oleh
masyarakat di sana karena kurangnya
negosiasi antara Pemerintahdan rakyat.

Seperti di desa-desa lain di Indonesia, usulan


pembangunan yang disampaikan di
Musrenbang desa tidak semuanya didanai oleh
APBD karena kekurangan dana. Dari
mempelajari dokumen yang tersedia tentang
proses perencanaan penganggaran di daerah,
jumlah rata-rata proposal yang diterima hanya
10%-25% tergantung pada periode. Proses
penentuan skala dan prioritas meliputi prinsip-
prinsip pemerataan distribusi untuk setiap
desa.

Setelah musrenbang di desa Ngadisari, jumlah


yang diusulkan dalam APBD 2011 (disebut
APBD) adalah Rp.
536.600.000; tapi hanya Rp. 1.602.890.000
(atau
36%) diterima. Secara rinci, jumlah uang
yang diajukan untuk (1) pembangunan fisik
dan infrastruktur adalah Rp.
855.290.000, tetapi penerimaannya adalah Rp.
256.600.000 atau sekitar 30%; dan (2) untuk
bidang sosial budaya sebesar Rp.
330.000.000, namun penerimaannya sebesar
Rp. 150.000.000 atau 45%. Terlihat bahwa
karena partisipasi publik dilakukan dalam
bentuk aslinya, Pemerintah Kabupaten
Probolinggo memberikan perhatian lebih
terhadap usulan yang dibuat orang Tengger
79
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)
Dua staf Pemerintah Kabupaten (Bappeda) bidang pembangunan, pihak Tenggeresse
di Probolinggo menyatakan: selalu menerapkan nilai-nilai gotong royong
(sayan). Beberapa proyek pembangunan
"Sebagai suku unik yang mempertahankan didanai melalui APBD, dan yang lainnya oleh
nilai-nilai budaya lokal, wajar jika vernment
ProbolinggoGo memberikan anggaran yang
lebih tinggi kepada masyarakat Tengger
dibandingkan daerah lain (H, Januari, 2011).

"Saya setuju jika Pemerintah Probolinggo


memperhatikan Tneggerese dengan
memberikan prioritas anggaran
dibandingkan desa-desa lain, karena mereka
menjadi maskot pariwisata di Indonesia yang
pasti akan menghasilkan devisa (A, Januari
2011).

Selain eksekutif, legislatif juga mendukung


realisasi pembangunan yang diusulkan
Tenggerese. Atas dasar hasil observasi dan
wawancara dengan beberapa anggota DPRD
dari daerah pemilihan di kecamatan tempat
tinggal Tenggeresse (yaitu Kecamatan
Sukapura, Kuripan, Sumber, Wonomerto,
Lumbang, Bantaran, Sumberasih dan
Tongas), tampaknya mereka yang berasal dari
kecamatan tersebut lebih aktif
dalammemandu usulan. Hal ini ditegaskan
dari wawancara dengan dua anggota DPRD
dari Kecamatan Sukapura sebagai berikut:

"Saya mencoba memandu usulan


musrembang di desa-desa tempat tinggal
Tenggeresse. Menurut pendapat saya
proposal itu berdasarkan kebutuhan,
bukan keinginan..............................(M,
3 Februari 2011).

"Tenggeresse adalah suku yang unik dan


terisolasi yang mempertahankan nilai-nilai
lokal, saya selalu menyuarakan ini dalam
audiensi dengan para eksekutif.....mudah-
mudahan,
mereka diberi prioritas ... (J, 3 Februari
2011).

Dari wawancara tersebut dapat disimpulkan


bahwa para anggota DPRD dari daerah
pemilihan Tengger memiliki semangat dan
motivasi yang baik untuk meningkatkan,
memperhatikan kebutuhan dan
menjagakesejahteraan Tenggeresse; dan
mengakui mereka sebagai suku unik yang
tinggal di Kabupaten Probolinggo. Sikap
seperti itu unik di Indonesia.

Dalam pelaksanaan anggaran di berbagai


80
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)

Tenggeresse sendiri. Bukti pemberdayaan 2012).


dan gotong royong diamati dalam bentuk
rembugan atau musyawarah untuk
menentukan suatu keputusan, misalnya,
ketika menentukan prioritas dalam
mengembangkan masalah ekonomi,
keuangan dan juga sosial budaya.

Nilai sayan juga dapat dilihat dalam


perkembangan fisik atau non-fisik di antara
Tenggeresse. Kegiatan non-fisik biasanya
dilakukan oleh mereka yang terlibat dalam
Gedung Kesejahteraan Keluarga (disebut
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga atau
PKK) dengan berbagai seminar dan
pembicaraan lainnya. Nilai-nilai kebersamaan
dan gotong royong berfungsi sebagai bekal
untuk belajar; terutama di bidang kesehatan
(misalnya seorang bidan yang memberikan
ceramah tentang kesehatan diamati). Seperti
yang diungkapkan oleh salah satu anggota
PKKI yang merupakan guru di SMP :

"Setiap bulan, mereka (ibu-ibu) yang terlibat


dalam PKK ada pertemuan di balai desa.
Kegiatan merekabermacam-macam, mulai
dari penjelasan tentang kesehatan oleh bidan,
memasak hingga kerajinan tangan. Beberapa
waktu lalu, di Tengger setiap ibu yang
melahirkan seorang anak dibantu oleh
seorang praktisi medis pribumi (dukun),
tetapi bidanlah yang membantu prosesnya...
(S, 7 Februari , 2011).

Diamati dalam studi penelitian bahwa di desa


Ngadisari di Tenggeresse, nilai tinggi
ditempatkan pada gotong royong dalam
masing-masing proyek pembangunan berikut:
(1) peningkatan jalan kecil, (2) pemberian
aspal ke jalan,d (3) pengembangan bank
masyarakat. Ini menunjukkan bahwa
Tenggeresse memiliki kesadaran yang sangat
tinggi akan tanggung jawab atas
kesejahteraan dan pembangunan mereka
sendiri. Mereka bekerja bahu membahu
dengan tujuan menyelesaikan proyek-proyek
pembangunan. Berikut ini adalah kutipan
wawancara dengan beberapa anggota di
tempat di lokasi proyek pembangunan:

"Proyek pengembangan jalan ini didanai oleh


APBD, sedangkan anggota Tenggeresse
hanya memberikan kontribusi gotong royong
dalam halmanp ower dan makanan. Sehingga
dana yang diberikan Pemerintah hanya untuk
membeli bahan. Swadaya dari rakyat dalam
bentuk dana relatif bernilai. (J, 27 Februari
81
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)
"Dana dari swadaya rakyat dapat merupakan mekanisme dalam sistem
meningkatkan hasil pembangunan, misalnya penyelenggaraan pemerintahan yang
proyek untuk jalan yang seharusnya didanai berhubungan dengan pelaksanaan tugas umum
pembangunan sepanjang 2 km, bisa Pemerintah, pelaksanaan pembangunan dan
menghasilkan 2,5 km. Swadaya dapat pelayanan kepada rakyat selama satu tahun
meningkatkan manfaat pengembangan ... anggaran
(P, 27 Februa2012).

"Gotong royong adalah cara hidup. Hal ini


tidak hanya ditemukan ketika melakukan
proyek pembangunan, tetapi juga ketika
seseorang memiliki perayaan (hajatan)
seperti sunat (sunatan) atau pernikahan
(pernikahan). ........................................"
(S,
28 Februari 2012).

Berdasarkan hasil wawancara dengan


anggota Tenggeresse dan dari pengamatan
yang dilakukan dalam proyek penelitian,
dapat disimpulkan bahwa nilai gotong
royong atau Sayan berdampak secara holistik
terhadap kehidupan Tengreresse.
Tenggeresse memiliki prinsip hidup sebagai
kompas dan panduan sebagai bagaimana
hidup, bagaimana menjadi spiritual,
bagaimana hidup dalam keadaan, dll.

Meskipun modernisasi masuk ke wilayah


Tenggeresse melalui APBD; Gelombang
modernisasi tampaknya tidak mempengaruhi
karakteristik dan nilaikerja sama timbal balik
rakyat. Nilai kearifan lokal (khususnya sayan)
dalam kehidupan sehari-hari diinternalisasi
dan kemudian diterapkan dalam pelaksanaan
proyek-proyek pembangunan dengan
melakukan gotong royong dalam setiap
kegiatan pembangunan di daerah tersebut.

Nilaigotong royong menghasilkan modal


sosial yang sangat baik di kalangan
Tenggeresse. Nilai-nilai seperti itu harus
dipertahankan dalam gelombang
modernisasi. Setiap kebijakan yang
dihasilkan Pemerintah yang memberikan
prioritas di atas kepentingan pribadi atau
kolektif harus diberantasdengan mengadopsi
nilai gotong royong Tenggeresse. Dengan
menginternalisasi nilai-nilai, egoisme atau
kekuasaan pribadi akan berkurang.

Akuntabilitas dalam Mode


"Tengger": Membangun Kejujuran
untuk Kesejahteraan

Penyampaian Laporan Pertanggungjawaban


oleh Bupati Probolinggo di hadapan DPRD
82
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)

masa. Selain mekanisme formal tersebut, ada untuk mendengarkan pertanggungjawaban


juga laporan lain seperti; (1) Undang-undang langsung dari Petinggi. Pertanggungjawaban
tahun 2007 nomor 3 tentang Laporan ini adalah kejujuran seorang pemimpin
Penyelenggaraan Pemerintahan kepada kepada anggotanya untuk meningkatkan
Pemerintah, kesejahteraan mereka ... (P, 3 Februari 2011)
(2) Laporan Pertanggungjawaban Kepala
Pemerintahan Daerah kepada DPRD, dan (3)
Informasi Laporan Pemerintah Daerah
kepada masyarakat. Hal itu diamati dalam
penelitian bagaimana Bupati Probolinggo,
cmenyampaikan pertanggungjawaban
kantornya secara langsung kepada masyarakat
di alun-alun kota (kraksan) pada 20 Februari
2012.

Pertanggungjawaban dengan cara "Tengger"


sebagaimana disampaikan oleh Bupati, juga
dilakukan oleh kepala desa (Petinggi)
Tenggeresse. Atas dasar hasil wawancara
dengan pihak Petinggi , bentuk
pertanggungjawaban ini merupakan bentuk
kejujuran dan transparansi yang harus
dilakukan oleh pemimpin kepada rakyatnya.
Dari sudut pandang Tenggerese, terlihat
bahwa akuntabilitas tersebut adalah kegiatan
yang dilakukan oleh Tengger esse secara
kolektif, dengan total desa dalam konsultasi
(disebut rembug desa) dengan banyak
partisipasi publik; menghasilkan manfaat dari
Pemerintah yang baik, karismatik dan
transparan. Hal ini diungkapkan oleh
narasumber Tenggeresse sebagai berikut:

"Saya sebagaipemimpin Tengger yang telah


dipilih oleh rakyat dan tokoh adat istiadat.
Setiap tahun, saya harus memberikan
laporan pertanggungjawaban atas kegiatan
saya secara langsung kepada orang-orang.
Ini adalah bentuk kejujuran seorang
pemimpin terhadap orang-orang yang
dipimpinnya" (S, 3 Februari 2011).

"Sebagai anggota Tenggeresse, saya merasa


damai. Berbagai kegiatan berjalan dengan
baik dan transparan. Salah satu bentuk
transparansi dalam kegiatan Pemerintah
adalah adanya konsultasi desa (rembug desa).
Semua masyarakat Tenggeresse juga taat
kepada pemimpin, baik pemimpin desa
maupun adat istiadat" (K, 3 Februari 2011)

"Kegiatan partisipasi masyarakat informal


(rembug desa tengger) dalam laporan
pertanggungjawaban Petinggi merupakan
kegiatan rutin tahunan yang sangat baik
sebagai media silaturahmi. Dalam kegiatan
ini, ada banyak anggota Tenggeresse datang
83
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)
Berbagaiungkapan di atas menunjukkan lokal yang diterapkan dalam semua tahapan
bahwa nilai-nilai kearifan lokal seperti proses penganggaran ;
"kejujuran" terinternalisasi dalam yaitu perencanaan; Merencanakan
akuntabilitas pembangunan selama satu implementasi dan akuntansi tanggung
tahun. Laporan pertanggungjawaban yang jawab, yang memungkinkan penuh
dibuat kepala desa Ngadisari, sebagai
Petinggi Tenggeresse, merupakan bentuk
pengasahankepada rakyatnya. Selain motif
politik di balik akuntabilitas kepada rakyat,
ada juga niat baik Bupati sebagai pemimpin
untuk bertanggung jawab langsung kepada
rakyat. Kepala Pemerintahan Daerah harus,
dalam bentuk apapun, menyajikan
akuntabilitaskinerjanya; tetapi terus dengan
cara yang kaku. Platform laporan
pertanggungjawaban dengan "cara ini" di
Kabupaten Probolinggo harus dianggap
sebagai "best practice" bagi kepala Kabupaten
lain, sehingga akuntabilitas mereka akan lebih
transparent dan akan membuat mereka lebih
dekat dengan rakyatnya.
Akuntabilitas semacam ini di tingkat mikro
tidak ditemukan di desa-desa lain di luar
wilayah Tengger, dan merupakan contoh
yang baik dari partisipasi publik yang
melampaui formalitas seremonial belaka
yang ditemukan di tingkat Pemerintah daerah
yang lebih tinggi seperti yang dilaporkan
dalam Sopanah (2012).

Kesimpulan dan Batasan

Berdasarkan uraian dan pembahasan di atas,


dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
musrenbang desa di Kabupaten Probolinggo
secara umum dilakukan sebagai formalitas
seremonial (Sopanah, 2012). Bedanya, pada
tataran micr-ekonomi, tenggeresse yang juga
bagian dari Kabupaten Probolinggo, selain
melakukan musrenang secara formal dengan
partisipasi publik penuh, juga melakukan
mekanisme partisipasi informal yangdisebut
Rembug Desa Tengger. Pelaksanaan
partisipasi informal di desa Ngadisari,
menurut teori partisipasi oleh Arnstein (1971)
dikategorikan berada pada level tertinggi
dalam 'Tangga Partisipasi'; yaitu partisipasi
par penuh(Lihat Tabel Satu). Temuan ini
menarik karena partisipasi penuh jarang
terjadi di daerah lain di Wilayah tersebut.
Bahkan literatur dari penelitian lain
menunjukkan bahwa partisipasi publik penuh
seperti itu hampir tidak pernah terjadi pada
tingkat tangga tertinggi . Oleh karena itu,
temuan ini harus diperhitungkan baik oleh
Pemerintah Daerah atau Pusat karena
merupakan karakteristik lokal dan kearifan
84
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)

partisipasi. Mengikuti dari sistem nilai dan penuh dalam menyampaikan aspirasimengenai
kearifan lokal mereka, Tenggeresse telah program dan kegiatan yang lebih efektif dan
melembagakan bentuk partisipasi informal efisien bagi rakyat. Bagi masyarakat
untuk memungkinkan ' partisipasi penuh' pada Tenggeresse, diharapkan mereka akan menjaga
semua tahap penganggaran ini. nilai-nilai kearifan lokal mereka dalam proses
perencanaan, pelaksanaannya,
Tulisan ini mengungkapkan bahwa partisipasi
penuh publik dalam penganggaran pemerintah
daerah dapat dipraktikkan secara holistik, dan
bukan hanya proses seremonial seperti yang
ditunjukkan oleh literatur sebelumnya tentang
proses tersebut. Penelitian sebelumnya telah
difokuskan pada tingkat kabupaten dan
menemukan bahwa partisipasi dalam
penganggaran pemerintah daerah masih
dianggap hanya formalitas, dilakukan sebagai
bagian dari upacara yang diperlukan untuk
memenuhi kewajiban pemerintah daerah
tertentu. Namun, ditingkat micr o-community,
tulisan ini menunjukkan bahwa partisipasi
publik benar-benar holistik, dan dipraktikkan
lebih dari sekadar formalitas seremonial. Studi
ini mengungkapkan keberadaan nilai-nilai
lokal Tenggeresse ketika berpartisipasi dalam
penganggaran lokal; yaitu bersikap damai
danmenjaga kesejahteraan orang lain. Mereka
memiliki pendekatan triadik terhadap
hubungan: yaitu hubungan antara manusia dan
Tuhan mereka, manusia dan manusia dan
manusia dan lingkungan mereka. Berdasarkan
hubungan tersebut, beberapanilai kearifan
lokal meliputi proses partisipasi publik; yaitu
rukun, ramah dan konsisten, taat hukum,
gotong royong serta jujur dan terbuka. Nilai-
nilai kearifan lokal ini terinternalisasi dalam
aspek perencanaan, pelaksanaandan
pertanggungjawaban yang transparan dalam
partisipasi publik dalam penganggaran
pemerintah daerah.

Kontribusi dari penelitian ini adalah


memperkuat teori-teori tentang bagaimana
membuat partisipasi publik menjadi proses
yang lebih efektif dalam penganggaran daerah
dengan membayaratte ntion terhadap nilai-
nilai lokal dan kearifan lokal; dan dengan
demikian bermanfaat untuk mengembangkan
ilmu penganggaran sektor publik dan audit
pemangku kepentingan. Secara praktis,
penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
seluruh Pemerintah Daerah untuk
meningkatkan partisipasi publikdalam proses
penganggaran, pelaksanaan dan akuntabilitas
proyek-proyek pembangunan. Sementara itu,
bagi masyarakat awam, diharapkan dapat
memberikan beberapa wawasan mengenai
peluang yang terbuka ketika ada partisipasi
85
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)
dan pertanggungjawaban development di
daerah mereka.

Keterbatasan penelitian ini, selain kesulitan


memperoleh informasi yang mendalam dari
aktor utama (yaitu Bupati Probolinggo dan
ketua DPRD); adalah generalisasi hasil dan
aplikasi praktis dari temuan. Apakah
mungkin untuk memiliki partisipasi penuh
dalam komunitas mikro yang tidak
menganut nilai-nilai dan kearifan lokal
Tenggeresse? Para peneliti percaya bahwa
nilai-nilai harmoni, persahabatan,
konsistensicy, dan gotong royong dapat
ditemukan di semua komunitas mikro, yang
tanpanya struktur sosial komunitas akan
runtuh. Dengan demikian, adalah tanggung
jawab pejabat pemerintah daerah untuk
memanfaatkan dan memobilisasi nilai-nilai
dan kebijaksanaan ini dalamkomunitas
mikro dengan menunjukkan manfaat yang
telah diberikan partisipasi penuh kepada
orang-orang Tenggeresse.

Referensi

Achmadi, A., Muslim, M., Rusmiyati, S.,


dan Wibisono, S. (2002). Good governance
and Strengthening Local Institutions",
Indonesian Transparency, Jakarta, Edisi 1,
hlm.74-75.

Adams, B. (2004). "Pertemuan publik dan


proses demokrasi", Tinjauan Administrasi
Publik, Februari, 64 (1): hlm 43-54.

Arnstein, S.R. (1971). "Delapan anak


tangga di tangga partisipasi warga" di
Cahn, E.S. dan Passet. B. A. (Redaksi)
Partisipasi Warga: Mempengaruhi
Perubahan Masyarakat. Penerbit Praeger,
New York.

Birnberg, J. G., dan Shield, J. F. (1989),


"Three decades of behavioral research: a
search for order", Behavioral Research
in Accounting, 1 (1): hlm: 23-74.

Burgstahler, D. dan Sundem, G. L. (1989),


"Evolusi reseach akuntansi perilaku di
Amerika Serikat, 1968-1987", Penelitian
Perilaku dalam Akuntansi, 1 (1); hlm. 75-
108.

Caplan, E. H. (1989), "Behavioral


accounting a personal view", Behavioral
Research dalam Akuntansi, 1(9): 1-20
86
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)

Cornwall, A. (2002). Membuat ruang, AkuntabilitasTransparansi & Partisipasi",


mengubah tempat: menempatkan partisipasi Sekretariat Good Public Governance
dalam pembangunan, Kertas Kerja IDS 170,
Oktober, Institute of Development Studies,
Brighton, Inggris.

Cornwall, A. dan Gaventa, J. (2001). Dari


pengguna dan pemilih hingga pembuat
dan pembentuk: memposisikan ulang
partisipasi dalam kebijakan sosial, Kertas
Kerja IDS 127, Juni, Institute of
Development Studies, Brighton, Inggris.

Covaleski, M.A., Dirsmith, M. dan Samuel, S.


(1996). "Mengelolapenelitian akuntansi:
kontribusi teori organisasi dan sosiologis",
Jurnal Penelitian Akuntansi Manajemen, 8(1);
hlm.1-35

Cooper L. dan Elliot, J. (2000).


"Partisipasi publik dan penerimaan sosial
dalam proce amdal Filipinass", Jurnal
Kebijakan dan Manajemen Penilaian
Lingkungan, 2(3): hlm 339-367.

Geertz, C. (1992), Budaya dan Agama,


Kanisius Press, Yogyakarta, Indonesia.

Geriya, S. S. (2003). Menggali Kearifan


Lokal Untuk Ajeg Bali, on.
www.balispot.co.id. diunduh 17/9/03.

Gobyah, I. K. (2003). Berdasarkan Kearifan


Lokal, pada pos.co.id http://www.bali,
diunduh 17/9/03.

Hackman, JD (1985). Kekuasaan dan


Sentralitas dalam Alokasi Sumber Daya di
Perguruan Tinggi dan, Universitas, Ilmu
Administrasi Triwulanan, 30 (1): hlm 61-77.

Henley, D., Likierman, A., Perrin, J., Evans,


M., Lapsley, I., dan Whiteoak, J. (1992).
Akuntansi Sektor Publik dan Kontrol
Keuangan, Edisi ke-4, Chapman & Hall,
London, Inggris.

Hopwood, A.G. 1989. Akuntansi Perilaku


dalam Retrospeksi dan Prospek, Penelitian
Perilaku dalam Akuntansi, 1(1): hlm: 1-22

Khan, A.dan Hildreth, W.B. (2002). Teori


Anggaran di Sektor Publik, Praeger,
Westport, CT, AS.

Krina P. dan Lalolo, L. (2003). "Indikator &


Prinsip Pengukuran
87
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)
Badan Perencanaan Pembangunan publik Rumania. hlm 76-92. Diakses pada 20
Nasional, Jakarta, Indonesia. Oktober 2011,

Laurian, L. (2004). "Partisipasi Publik dalam


Pengambilan Keputusan Lingkungan:
Temuan dari Masyarakat yang Menghadapi
Pembersihan Limbah Beracun", Jurnal
Asosiasi Perencanaan Amerika, Musim
Dingin, 70 (1), hlm. 53-66.

Layzer, J. A. (2002). "Partisipasi warga


danpilihan go vernment dalam kontroversi
lingkungan lokal". Jurnal Studi Kebijakan,
30 (2):
hlm 193-207

Mardiasmo, (2002). Sektor Publik


Akuntansi, ANDI Yogyakarta, Indonesia.

Mariana and Edi, 2008, Representative


democracy is Minimal Representation,
Courtesy IRE
http://ireyogya.org/id/flamma/flamma-32-
demokrasi-perwakilan-yang-minim
keterwakilan.html;download=58521e4e2bd3
d 4b988cbd17d7365df3c#downloadFile

Mahardika, T. (2001). Politic Education


Empowerment of Village, Practice
Book:, Pustaka Utama LAPERA,
Jogjakarta, Indonesia.

McNeish, J.A. (2006). "Stones on the road:


politik partisipasi dan generasi krisis di
Bolivia", Buletin Penelitian Amerika Latin,
25 (2): hlm. 220–240.

Miles, M. dan Huberman, A.M. (2002).


Pendamping Peneliti Kualitatif. SAGE
Publikasi Inc New Delhi, India.

Muluk, M.R.K. (2007). Kritik Partisipasi


Publik dalam Pemerintahan Daerah: Kajian
Pendekatan System Thinking, Bayu Media-
Published FIA-Unibraw, Malang, Indonesia

Navarro, Z. (2002). "Desentralisasi,


partisipasi, dan kontrol sosial sumber daya
publik: penganggaran partisipatif di Porto
Alegre, Brasil" Partisipasi Warga dalam
Konteks Desentralisasi Fiskal: praktik
terbaik dalam Administrasi Kota Seminar
September, Kobe, Jepang.

Radu, B. (2009). Partisipasi warga negara


dalam proses pengambilan keputusan di
tingkat lokal dan kabupaten di lembaga
88
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)

http://www.rtsa.ro/en/files/TRAS-31E-5- November, Palembang, Indonesia.


HARUTA,%20RADU.pdf

Rubin, I. S., (2000). Politik Penganggaran


Publik: Mendapatkan dan Membelanjakan,
Meminjam dan Menyeimbangkan, Edisi ke-
4Chatham
House, , New York, NY, AS.

Siegel, G. dan Marconi, H.M. (1989),


Akuntansi Perilaku, South Western
Publishing Co. Ohio, AS.

Sisk, T.D. (Penyunting) (2002). "Democracy


at the Local Level: International IDEA
Handbook Regarding Engagement,
Representation, Conflict Management and
Governance", Seri 4, Internasional IDEA,
Jakarta, Indonesia.

Sopanah, A. (2003). "Partisipasi publik dan


transparansi mempengaruhi kebijakan publik
terhadap pengetahuan tentang hubungan
antara anggaran dewan dengan pengawasan
keuangan", Prosiding National Symposium
on Accounting VI, 16-17 Oktober, Surabaya,
Indonesia.

Sopanah, A., Wahyudi, I. dan Azmi, H.


(2004). Strategi Pemberdayaan dalam
Pengawasan dan Pelaksanaan Proses
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
di Malang, MCW dan YAPPIKA, Malang,
Indonesia.

Sopanah, A., dan Wahyudi, I. (2005a).


Memperkuat strategi masyarakat sipil untuk
meminimalkan distorsi penganggaran di
Malang", Prosiding Simposium Penelitian II
ISEI, 23-24 November Surabaya, Indonesia.

Sopanah, A. dan Wahyudi, I. (2005b). Strategi


partisipasi dan pemberdayaan publik untuk
pengawasan pelaksanaan proses anggaran di
Malang", Prosiding Simposium Penelitian II
ISEI, 23-24 November Surabaya, Indonesia.

Sopanah, A. (2008), Model pengembangan


partisipasi publik dalam proses anggaran
daerah di Malang", Junal Akuntansi dan
Keuangan Universitas Muhammadiyah
Surakarta , Surakarta, Indonesia, 7 April(1),
hlm. 50-67.

Sopanah, A. (2009). Kajian fenomenologi:


mengungkapkanipasi partik dalam proses
penganggaran daerah di Malang", Prosiding
Simposium Nasional Akuntansi XII, 4- 6
89
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)
Sopanah, A. (2011). "Penolakan
penganggaran pemerintah daerah: studi kasus
interpretatif", Asia Pacific Journal of
Accounting and Finance, Juni, Departemen
Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia, 1(2): pp. 165-177

Sopanah, A. (2012). "Ceremonial


budgeting: partisipasi publik dalam
perencanaan pembangunan di otoritas
pemerintah daerah Indonesia", Jurnal
Penelitian Akuntansi Manajemen Terapan,
10 (2): hlm. 73-84.

Swain, A. and Chee, A.M., (2004),


Struktur Politik dan Konflik 'Dam':
Membandingkan Kasus di Asia Tenggara.
Diakses tanggal October 20, 2011,
http://www.worldwatercouncil.org/
fileadmin/
wwc/Library/Publications_and_reports/Proce
e
dings_Water_Politics/proceedings_waterpol_
p hal.95-114.pdf.

Sukari, (2004), Kearifan Lokal di


Lingkungan Masyarakat Tengger Pasuruan,
Jawa Timur. Kementerian Kebudayaandan
Pariwisata, Yogyakarta, Indonesia.

Sumarto, H. Sj. (2004). Inovasi


Partisipasi dan dan Inisiatif Tata
Kelola yang Baik di Indonesia,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
Indonesia.

Waidl, A., Sudjito, A., Bahagijo, S.


(Redaksi). (2008). Menempatkan Orang
Miskin (Buku untuk Anggaran Pro Miskin)
Yogyakarta: LKiS-Pelangi Aksara.

Wildavsky, A. (2004). Politik Baru Proses


Anggaran (Edisi ke-5), Pearson Education,
New Jersey, AS.

Wiratraman, R.H.P. (2004), Analisis


Anggaran sebagai Kerja dan Strategi Akar
Rumput, LBH, Surabaya, Indonesia.

90
JAMAR Vol. 11 · [1 Tahun
2013)

Peraturan

Republik Indonesia, Organisasi Pemerintah


dan Pembangunan Daerah 2010,
Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri


No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah

Republik Indonesia, Surat Edaran


Bersama Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) dan
Menteri Dalam Negeri
No.1354/M.PPN/03/2004050/744/SJ
tentang
Pedoman Forum Konsultasi
Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang) dan Bidang
Perencanaan Partisipatif.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor


25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor


32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Republik Indonesia, Undang-Undang


Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat
dan Daerah

Pemerintah Provinsi Probolinggo, Peraturan


Daerah Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Transparansi dan Partisipasi Publik dalam
Pembangunan.

91

Anda mungkin juga menyukai