Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Salah satu persoalan mendasar dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa
adalah bagaimana membangun atau menciptakan mekanisme pemerintahan yang
dapat mengemban misinya dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera secara
berkeadilan. Pemerintah harus melaksanakan pembangunan berdasarkan aspirasi
masyarakat, dan memberikan pelayanan publik dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana
dinyatakan oleh (Solekhan, 2012:13) bahwa hakekat keberadaan pemerintahan dan
birokrasi adalah dalam rangka menjalankan tugas memberikan pelayanan sebaik-
baiknya kepada masyarakat.
Pemerintahan desa sebagai unit lembaga pemerintah yang paling berdekatan
dengan masyarakat, posisi dan kedudukan hukumnya seperti yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berimplikasi pada perubahan tata
hubungan desa dengan relasi kekuasaan antar kekuatan politik di level desa.
Perubahan kearah interaksi yang demokratik itu terlihat dari beberapa fenomena,
diantaranya: (1) Dominasi peran birokrasi mengalami pergeseran digantikan dengan
menguatnya peran institusi adat dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-sehari;
(2) Semangat mengadopsi demokrasi delegatif-liberatif cukup besar dalam Undang-
Undang yang baru tentang Badan Permusyawaratan Desa berperan sebagai pengayom
adat-istiadat, membuat Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan desa dan (3) semangat partisipasi masyarakat sengat
ditonjolkan artinya proses politik, pemerintahan dan pembangunan di desa yang tidak
merata.
Partisipasi anggota masyarakat adalah ketertiban anggota masyarakat dalam
pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi)
program/proyek pembangunan yang dikerjakan dalam masyarakat lokal. Pastisipasi
atau peran serta masyarakat dalam pembangunan (pedesaan) merupakan aktualisasi
dari kesediaan dan kemampuan anggota masyarakat berkorban dan berkoordinasi
dalam implemetasi program/proyek yang dilaksanakan.
Dimaklumi bahwa anggaran pembangunan yang tersedia adalah relatif terbatas
sedangkan program/proyek pembangunan yang dibutuhkan (yang telah direncanakan)
jumlahnya relative banyak, maka perlu dilakukan peningkatan pertisipasi masyarakat
untuk menunujang implementasi pembangunan program/proyek di masyarakat.
Anggota masyarakat bukan merupakan proyek pembangunan. Anggota masyarakat
daerah pedesaan sebagian besar terdiri dari petani, yang sebagian besarnya pentani
kecil dan sebagian besarnya merupakan buruh tani. Petani umumnya lemah
kedudukannya karena tingkat pendidikannya dan keterampilannya masih rendah,
kemampuan modal dan pemasaran mereka relative terbatas.
Kabupaten Teluk Bintuni dalam menunjang kegiatan pembangunannya, maka visi
dan misi yang harus dicapai adalah peningkatan kinerja pembangu¬nan daerah. Oleh
karena itulah, dalam menunjang visi dan misi tersebut, maka keterlibatan atau
partisipasi dari masyarakat dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, sampai pada evalu¬asi hasil pembangunan sangat penting utamanya di
tingkat desa.
Namun jika kita melihat ke belakang, bahwa mulai dari tahap perencanaan
pembangunan yang menggunakan pola berjenjang dari bawah ke atas (Bottom-Up)
ternyata tidak banyak menjanjikan as¬¬pirasi murni warga desa didengar. Begitu pun
halnya dalam pelaksanaan proyeknya yang ma¬sih menggunakan sistem tender, di
mana tender yang dimaksud melibatkan para kontraktor sebagai pihak ketiga dalam
pelaksanaan pembangunan daerah yang basisnya tentu berada di desa. Hal tersebut
menun¬jukkan bahwa, ternyata keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan
hanya selesai pada tahap perencanaan yang pada tahap itu pun masih banyak
langkah-langkah yang belum terlaksana dengan baik, sehingga implementasi pola
tersebut dapat dikritisi mengandung banyak kelemahan. Misalnya, partisi¬pasi
masyarakat selaku penerima manfaat sangat le¬mah, hasil dari berbagai forum
koordinasi di tingkat lebih rendah desa kadang tidak digubris oleh pemerintah yang
lebih tinggi, mekanisme peren-canaan mulai dari musrenbang desa hanya bersifat
mencatat daftar kebutuhan masyarakat ketimbang sebagai proses perencanaan yang
partisipatif. Pros¬es tersebut akhirnya menjadi proses birokratis yang sangat panjang
dan lama, sehingga masyarakat tidak mendapat kepastian kapan kebutuhannya akan
ter¬wujud.
Bila demikian adanya, maka realita ini tentu saja dapat menghambat jalannya proses
pembangu¬nan yang melibatkan masyarakat di dalamnya parti¬sipatif. Padahal,
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa macetnya pembangunan partisipatif
akan memunculkan pola-pola pembangunan yang tidak aspiratif. Hal tersebut di atas
kemudian me¬munculkan pertanyaan di Kabupaten Nias Selatan, khususnya di Desa
Hiliamaetaluo bahwa apakah partisisipasi masyarakat di dalam pelaksa¬naan
pembangunan telah terlaksana dengan baik, di mana masyarakat tidak lagi menjadi
objek pemban¬gunan, akan tetapi telah menjadi subyek pembangu¬nan. Dengan
maksud bahwa partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan bukan hanya
seke¬dar dilihat dari antusiasme masyarakat dalam meng¬hadiri Musrenbang, akan
tetapi, bagaimana kepent¬ingan mereka telah direspon oleh pemerintah, serta
bagaimana proses pelibatan mereka baik dalam tahap perencanaan sampai tahap
pelaksanaan proyek pem-bangunannya. Karena antusiasme masyarakat kemu¬dian
lahir ketika substansi dari proses pembangunan itu telah tercipta.
Melalui penelitian awal, ditemukan bahwa meski dalam pelaksanaan pembangunan
yang telah terlaksana di Desa Hiliamaetaluo masih belum mencapai substansi
pembangunan baik itu dalam tahap perencanaan sampai pada tahap pelaksanaan,
namun setelah adanya beberapa program pember¬dayaan masyarakat di desa
tersebut, semangat partisipasi masyarakat masyarakat kembali tumbuh. Be¬berapa
program tersebut telah memunculkan kembali semangat gotong royong masyarakat,
terutama pro¬gram PNPM Mandiri pedesaan. Berdasar pada uraian dalam latar
belakang, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk
menemu¬kan aspek-aspek yang terkait dengan partisipasi ma¬syarakat dalam judul:
“Partisipasi masyarakat di era Otonomi Desa dalam meningkatkan pembangunan
masyarakat di Desa Hiliamaetaluo Kecamatan Kabupaten Nias Selatan”.
1.2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah sangat penting dalam suatu penelitian agar diketahui arah jalan
penelitian tersebut. Arikunto (1993:17) menguraikan bahwa agar penelitian dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka penulis harus merumuskan masalahn¬ya,
sehingga jelas dari mana harus memulai, ke mana harus pergi, dan dengan apa ia
melakukan penelitian.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: “Bagaimana Partisipasi Masyarakat di era Otonomi Desa dalam
Meningkatkan Pembangunan Di Desa Hiliamaetaluo Kecamatan Toma Kabupaten
Teluk Dalam?”
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukkan adanya sesuatu hal
yang diper¬oleh setelah penelitian selesai. Dengan demikian, pada dasarnya tujuan
penelitian memberikan infor¬masi mengenai apa yang akan diperoleh setelah sele¬sai
melakukan penelitian (Hasan, 2002:44). Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini,
yakni: “Un¬tuk Mengetahui Bagaimana Partisipasi Masyarakat di era Otonomi Desa
dalam Meningkatkan Pembangunan di Desa Hiliamaetaluo Kecamatan Toma
Kabupaten Teluk Dalam”.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Secara praktis, yakni memberikan data dan infor¬masi yang berguna bagi semua
kalangan teruta¬ma mereka yang secara serius mengamati jalan¬nya partisipasi
masyarakat, serta memberikan masukan bagi masyarakat khususnya di tempat
penelitian ini dilaksanakan agar dapat terus me¬ningkatkan peran aktifnya dalam
membangun daerahnya.
2. Secara akademis, yakni penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi
baik secara lang¬sung atau tidak bagi kepustakaan jurusan Ilmu pemerintahan dan
bagi kalangan penulis lainya yang tertarik untuk mengeksplorasi kembali kajian tentang
model partisipasi publik dalam proses perencanaan pembangunan di daerah lain.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Partisipasi Masyarakat
Pengertian partisipasi selalu dikaitkan atau bersinonim dengan peran serta. Seorang
ilmuan yang bernama Keith Davis mengemukakan definisinya tentang partisipasi yang
dikutif oleh R.A. Santoso Sastropoetro (1988:13) sebagai berikut: “Partisipasi dapat
didefinisikan sebagai keterlibatan mental atau pikiran atau moral atau perasaan di
dalam situasi ke¬lompok yang mendorong untuk memberikan sum¬bangan kepada
kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha
yang bersangkutan.” Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka partisipasi itu tidak
berdasarkan ket¬erlibatan secara fisik dalam pekerjaannya tetapi me¬nyangkut
keterlibatan diri seseorang sehingga akan menimbulkan tanggung jawab dan
sumbangan yang besar terdapat kelompok.
Sejalan dengan pendapat di atas, Gordon W. Allport (Santoso Sastropoetro,
1988:12) menyatakan bahwa: “Seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami
keterlibatan dirinya/egonya yang sifat¬nya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan
atau tugas saja, dengan keterlibatan dirinya berarti keter¬libatan pikiran dan
perasaannya.” Berdasarkan per¬nyataan tersebut di atas, maka ada tiga buah unsur
penting dalam partisipasi yaitu:
1. Partisipasi merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih dari semata-
mata atau hanya keterlibatan secara jasmaniah.
2. Ketersediaan memberi sesuatu sumbangan kepa¬da usaha mencapai tujuan
kelompok, ini berarti terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk mem¬bantu kelompok.
3. Dalam partisipasi harus ada tanggung jawab, unsur tanggung jawab ini merupakan
segi yang menonjol dari rasa menjadi anggota.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa partisipasi menyangkut keterlibatan diri/ego dan
tidak semata-mata keterlibatan fisik dalam pekerjaan atau tugas saja, dan ketiga unsur
partisipasi tersebut di dalam re¬alitanya tidak akan terpisahkan satu sama lain, tetapi
akan saling menunjang. Dalam realitasnya, terutama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan ber¬negara, istilah partisipasi ini sering dikaitkan dengan usaha di
dalam mendukung program pembangunan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Santoso S. Hamidjoyo (1988:67), bahwa parti¬sipasi mengandung
tiga pengertian, yaitu:
1. Partisipasi berarti turut memikul beban pem¬bangunan.
2. Menerima kembali hasil pembangunan dan ber¬tanggung jawab terhadapnya.
3. Partisipasi berarti terwujudnya kreativitasnya dan oto aktifitas.
Menurut Davis, seperti yang dikutip oleh Sas¬tropoetro (1988:16), mengemukakan
jenis-jenis par¬tisipasi masyarakat, yaitu sebagai berikut:
1. Pikiran (Psychological participation).
2. Tenaga (Physical participation).
3. Pikiran dan tenaga (Psychological dan Physical participation).
4. Keahlian (Participation with skill).
5. Barang (Material participation).
6. Uang (Money participation).
Menurut Sherry R. Arnstein dalam Suryono (2001: 127) memberikan model delapan
anak tangga partisipasi masyarakat (Eight Rungs on Ladder of Citizen Participation).
Hal ini bertujuan untuk men¬gukur sampai sejauh mana tingkat partisipasi ma¬syarakat
di sebuah negara.
Menurut Davis dalam Sastropoetro (1988:16-18) prasyarat untuk dapat melaksanakan
partisipasi secara efektif adalah sebagai berikut:
1. Adanya waktu.
2. Kegiatan partisipasi memerlukan dana perang¬sang secara terbatas.
3. Subyek partisipasi hendaklah berkaitan dengan organisasi dimana individu yang
bersangkutan itu tergabung atau sesuatu yang menjadi perhatian¬nya.
4. Partisipan harus memiliki kemampuan untuk ber¬partisipasi dalam arti kata yang
bersangkutan me¬miliki pemikiran dan pengalaman yang sepadan.
5. Kemampuan untuk melakukan komunikasi tim¬bal balik.
6. Bebas melaksanakan peran serta sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
7. Adanya kebabasan dalam kelompok, tidak adan¬ya pemaksaan atau penekanan.

2.2. Konsep Pembangunan


Todaro (2000:18), menyatakan bahwa pem¬bangunan bukan hanya fenomena
semata, namun pada akhirnya pembangunan tersebut harus melam¬paui sisi materi
dan keuangan dari kehidupan ma¬nusia. Todaro (2000:20), mendefinisikan
pemban¬gunan merupakan suatu proses multidimensial yang meliputi perubahan-
perubahan struktur sosial, sikap masyarakat, lembaga-lembaga nasional, sekaligus
peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan dan pemberantasan
kemiskinan. Menu¬rut Todaro (2000:21), definisi di atas memberikan be¬berapa
implikasi bahwa:
1. Pembangunan bukan hanya diarahkan untuk pen¬ingkatan income, tetapi juga
pemerataan.
2. Pembangunan juga harus memperhatikan aspek kemanusiaan, seperti
peningkatan:
a. Life sustenance : Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
b. Self-Esteem : Kemampuan untuk menjadi orang yang utuh yang memiliki harga diri,
bernilai, dan tidak “diisap” orang lain.
c. Freedom From Survitude : Kemampuan untuk melakukan berbagai pilihan dalam
hidup, yang tentunya tidak merugikan orang lain.
Konsep dasar di atas telah melahirkan beber¬apa arti pembangunan yang sekarang ini
menjadi popular (Todaro, 2000:24), yaitu:
1. Capacity, hal ini menyangkut aspek kemampuan meningkatkan income atau
produktifitas.
2. Equity, hal ini menyangkut pengurangan kesen¬jangan antara berbagai lapisan
masyarakat dan daerah.
3. Empowerment, hal ini menyangkut pemberdayaan masyarakat agar dapat menjadi
aktif dalam mem¬perjuangkan nasibnya dan sesamanya.
4. Suistanable, hal ini menyangkut usaha untuk men¬jaga kelestarian pembangunan.
Menurut Rostow dalam Arief (1996: 29) pengertian pembangunan tidak hanya pada
lebih ban¬yak output yang dihasilkan, tetapi juga lebih banyak jenis output dari pada
yang diproduksi sebelumnya. Dalam perkembangannya, pembangunan melalui
tahapan-tahapan: masyarakat tradisional, prakondisi lepas landas, lepas landas,
gerakan menuju kema¬tangan dan masa konsumsi besar-besaran. Kunci di antara
tahapan ini adalah tahap tinggal landas yang didorong oleh satu sektor atau lebih (Arief,
1996:30). Menurut Gant dalam Suryono (2001:31), tujuan pem¬bangunan ada dua
tahap. Pertama, pada hakikatnya pembangunan bertujuan untuk menghapuskan
ke¬miskinan. Apabila tujuan ini sudah mulai dirasakan hasilnya, maka tahap kedua
adalah menciptakan kesempatan-kesempatan bagi warganya untuk dapat hidup
bahagia dan terpenuhi segala kebutuhannya.
Untuk mencapai keberhasilan pembangunan tersebut, maka banyak aspek atau hal-
hal yang harus diperhatikan, yang di antaranya adalah keterlibatan masyarakat di
dalam pembangunan. Sanit (dalam Suryono, 2001:32) menjelaskan bahwa
pembangu¬nan dimulai dari pelibatan masyarakat. Ada beberapa keuntungan ketika
masyarakat dilibatkan dalam per¬encanaan pembangunan, yaitu, Pertama,
pembangu¬nan akan berjalan sesuai dengan kebutuhan masyara¬kat. Artinya bahwa,
jika masyarakat dilibatkan dalam perencanaan pembangunan, maka akan tercipta
kon¬trol terhadap pembangunan tersebut. Kedua, pem¬bangunan yang berorientasi
pada masyarakat akan menciptakan stabilitas politik. Oleh karena masyara¬kat
berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan, sehingga masyarakat bisa menjadi
kontrol terhadap pembangunan yang sedang terjadi. Pembangunan dapat diartikan
sebagai suatu usaha sadar dalam se¬rangkaian kegiatan untuk mencapai suatu
perubahan dari keadaan yang buruk menuju ke keadaan yang lebih baik yang dilakukan
oleh masyarakat terten¬tu di suatu Negara. Sondang P. Siagian, (1981:21)
mendefinisikan pembangunan adalah: “Suatu usaha atau serangkaian usaha
pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu
bangsa, Negara dan pemerintahan dalam usaha pembinaan bangsa.” Berdasarkan
pendapat tersebut, maka dalam konsep pembangunan terdapat dua syarat yang harus
dipenuhi yakni: harus ada usaha yang di¬lakukan oleh masyarakat dan pemerintahnya,
dilak¬sanakan secara sadar, terarah dan berkesinambungan agar tujuan dari
pembangunan itu dapat tercapai.
2.3. Ciri-ciri dan Prinsip Pembangunan Desa
Pembangunan desa dengan berbagai masalahn¬ya merupakan pembangunan yang
berlangsung me¬nyentuh kepentingan bersama. Dengan demikian desa merupakan
titik sentral dari pembangunan nasi¬onal Indonesia. Oleh karena itu, pembangunan
desa tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh satu pihak saja, tetapi harus melalui
koordinasi dengan pihak lain baik dengan pemerintah maupun masyarakat secara
keseluruhan. Dalam merealisasikan pemban¬gunan desa agar sesuai dengan apa
yang diharapkan perlu memperhatikan beberapa pendekatan dengan ciri-ciri khusus
yang sekaligus merupakan identitas pembangunan desa itu sendiri, seperti yang
dikemu¬kakan oleh C.S.T Kansil, (1983:251) yaitu :
1. Komprehensif multi sektoral yang meliputi berbagai aspek, baik kesejahteraan
maupun as¬pek keamanan dengan mekanisme dan sistem pelaksanaan yang terpadu
antar berbagai keg¬iatan pemerintaha dan masyarakat.
2. Perpaduan sasaran sektoral dengan regional dengan kebutuhan essensial kegiatan
masyara¬kat.
3. Pemerataan dan penyebarluasan pembangunan keseluruhan pedesaan termasuk
desa-desa di wilayah kelurahan.
4. Satu kesatuan pola dengan pembangunan na¬na¬sional dan regional dan daerah
pedesaan dan daerah perkotaan serta antara daerah pengem¬bangan wilayah sedang
dan kecil.
5. Menggerakan partisipasi, prakaras dan swada¬ya gotong royong masyarakat serta
mendina¬misir unsur-unsur kepribadian dengan teknolo¬gi tepat waktu.
Jadi di dalam merealisasikan pembangunan desa itu harus meliputi berbagai aspek,
jangan dari satu aspek saja, agar pembangunan desa itu dapat sesuai dengan apa
yang diinginkan. Pembangunan desa itu harus meliputi berbagai aspek kehidupan dan
penghidupan artinya harus melibatkan semua kom¬ponen yaitu dari pihak masyarakat
dan pemerintah, dan harus langsung secara terus menerus demi ter¬capainya
kebutuhan pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
BAB III
METOE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
dengan meng¬gunakan pendekatan kualitatif, di mana penelitian yang dilakukan
bersifat deskriptif. Narbuko & Ach¬madi (2004:44) memberikan pengertian penelitian
yang berusaha untuk menuturkan pemecahan ma¬salah yang ada sekarang
berdasarkan data-data, jadi ia juga menyajikan data, menganalis dan
menginter¬pretasi, serta juga bisa bersifat komparatif dan ko¬relatif. Hadari Nawawi
(2007:33), mengungkapkan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu pene¬litian
yang dilakukan untuk mengetahui atau meng¬gambarkan kenyataan dari kejadian yang
diteliti atau penelitian yang dilakukan terhadap variabel mandiri atau tunggal, yaitu
tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lain. Selain itu,
penelitian deskriptif juga terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah, keadaan
atau peris¬tiwa sebagaimana adanya, sehingga bersifat sekedar untuk
mengungkapkan fakta dan memberikan gam¬baran secara obyektif tentang keadaan
sebenarnya dari obyek yang diteliti.
3.2. Fokus Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Hiliamaetaluo. Desa ini penulis pilih sebagai lokasi
penelitian karena berdasarkan penelitian awal Desa Hiliamaetaluo merupak¬an salah
satu desa yang memiliki masyarakat yang mempunyai semangat gotong royong yang
baik. Fo¬cus utama penelitian ini adalah partisipasi masyara¬kat dalam pelaksanaan
pembangunan desa.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian
melalui wawancara dengan infor¬man yang berkaitan dengan masalah penelitian, dan
juga melalui observasi atau pengamatan langsung terhadap objek penelitian.
Sedangkan, data sekunder adalah data yang diperoleh baik dalam bentuk an¬gka
maupun uraian. Dalam penelitian ini data-data sekunder yang diperlukan antara lain:
literatur yang relevan dengan judul penelitian, misalnya materi atau dokumen-dokumen
dari kantor Desa Hiliamaetaluo serta karya tulis yang relevan dengan penelitian dalam
penelitian ini.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Tingkat Partisipasi Masyarakat Desa Hiliamaetaluo


Dalam pelaksanaan proyek yang dilaksanakan oleh PNPM-MP di Desa Hiliamaetaluo
Kecamatan Toma, proyek yang akan dilaksanakan tidak langsung diputuskan secara
sepihak saja oleh tim pelaksana kegiatannya ataupun oleh pemerintah desa setempat
melainkan dengan melakukan penggalian gagasan yang mendalam dengan melibatkan
masyarakat se¬cara keseluruhan agar semua kebutuhan masyarakat dapat tertampung
semua.
Untuk menentukan kebutuhan pembangunan digali dari setiap dusun, apakah di satu
dusun itu dilakukan hanya sekali ataukah lebih dari sekali dengan titik lokasi yang
berbeda, bergantung dari kondisi geografis du¬sun tersebut (susah dijangkau karena
medannya yang sulit ataukah factor lainnya) ini supaya semua kebu¬tuhan masyarakat
yang mendesak dapat ter¬cover”
Informasi tersebut menunjukkan bahwa proyek peembangunan di desa harus benar
merupakan proyek yang idenya di¬gali dari masyarakat desa Hiliamaetaluo dan telah
sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dari proses penggalian gagasan
tersebut, maka lahirlah beberapa usulan yang akan mewakili kebutuhan ma-syarakat,
yang selanjutnya akan diranking sesuai dengan skala kebutuhan masyarakat dan
dimusy¬awarahkan dalam musyawarah tingkat desa.
PNPM-MP merupakan program yang mem¬mem¬punyai transparansi yang baik
serta mengupayakan keterlibatan penuhnya masyarakat di dalam proses
pelaksanaannya. Oleh karena itu proyek yang telah didapatkan oleh Desa
Hiliamaetaluo dari adanya program PNPM-MP, kemudian disosialisasikan ke¬pada
masyarakat untuk membahas langkah apa yang sebaiknya dilakukan agar proyek dapat
terlaksana dengan baik dengan memperhatikan kualitas dari proyek tersebut.
Dengan adanya Program Nasional Pemberday¬aan Masyarakat Mandiri Pedesaan
(PNPM-MP) di Desa Hiliamaetaaluo yang mengede¬pankan pemberdayaan
masyarakat, maka tingkat an¬tusiasme masyarakatdesa dalam berpartisipasi dapat
disandingkan, sehingga dapat melahirkan pemban¬gunan desa sesuai dengan yang
menjadi harapan, yakni pembangunan partisipatif yang sesuai dengan apa yang
menjadi cita-cita the founding father negeri ini serta menjadi pembenaran tentang teori
pemban¬gunan yang sifatnya bottom up (dari bawah ke atas). Meskipun demikian
halnya, namun dalam pelaksa¬naan proyek PNPM-MP tersebut masih belum dapat
terlepas dari adanya hambatan. Seperti yang didapat¬kan pada lokasi penelitian di
mana main set dari ma¬syarakat mengenai proyek pembangunan yang masih selalu
berfikir bahwa setiap proyek pembangunan merupakan hal yang mendatangkan untung
bagi tim pelaksananya meski pun tidak demikian adanya, sep¬erti informasi yang
disampaikan oleh tim pelak¬sanan kegitan PNPM-MP bahwa:
“Hanya saja di PNPM kendalanya adalah ma¬syarakat kadang mengira bahwa
pengerjaan PNPM seperti pengerjaan proyek yang biasanya, dalam ar¬tian bahwa
mereka kadang berpikir bahwa pen¬gurus PNPM pasti mendapat banyak untung,
mis¬alnya kalau ada sisa dana pasti kami yang akan mengambil sisa dana tersebut,
padahalkan yang kami dapat hanyalah upah operasional saja”
Munculnya pembahasan proyek pembangunan dari PNPM-MP dalam makalah ini
dikarenakan oleh proyek pembangunan yang dikontrol oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) melalui mekanisme penggalian gagasan
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) ternyata belum berjalan
sesuai dengan yang telah dikonsepkan dan masih terdapat banyak celah teru¬tama
dalam hal pelaksanaan proyeknya yang masih menggunakan pihak ketiga dalam hal ini
kontraktor, sehingga mustahil untuk menghadirkan partisipasi masyarakat.
Dalam proyek pembangunan dari pemerin¬tah daerah yang ditangani oleh
BAPPEDA dengan menggunakan pihak ke-3, jangankan partisipasi masyarakat dalam
bentuk, tenaga, keahlian, barang, atau uang, partisipasi masyarakat dalam bentuk
piki¬ran pun tidak ada. Sangat tidak menarik, hanya saja masyarakat tidak dapat
menolak. Berbeda dengan program pembangunan yang ditangani oleh PNPM Mandiri
pedesaan yang ada di desa ini, masyarakat sangat antusias dalam pelaksanaan
program/proyek pembangunannya, karena betul-betul melibatkan masyarakat, mulai
dari mengumpulkan masyara¬kat dan membicarakan bersama mengenai
program/proyek yang akan dilaksanaan, sehingga masyarakat betul-betul
berpartisipasi, mulai dari pikiran, tenaga, keahlian, barang kalau dibutuhkan, bahkan
uang sek¬alipun.
“Kalau untuk proyek pembangunan yang di¬turunkan dari hasil Musrenbang yang
kemudian pelaksanaannya dikerjakan oleh kontraktor me¬mang partisipasi masyarakat
tidak ada. Bahwa jika proyek dari hasil MUSRENBANG yang akan dijadikan sebagai
unit analisis untuk mengeta¬hui tingkat partisipasi masyarakat, maka akan men¬jadi hal
yang mustahil dilakukan, sehingga dengan demikian mesti ada opsi lain yang dapat
dijadikan sebagai alternatif pengganti, yaitu dengan menja¬dikan salah satu proyek dari
PNPM-MP yang di¬perolah Desa Hiliamaetaluo sebagai tolak ukurnya dalam hal ini
proyek yang dianggarkan untuk tahun 2015, yakni pembangunan jalan setapak yang
menghubungkan desa lain, pelatihan penggunaan alat pertanian, pupuk dan cara
bertani, yang selanjutnya secara kualitatif ditelusuri melalui dimensi- dimensi
sebagaimana dikemukakan oleh Davis yang dikutip oleh Sastropoetro (1988:16), terdiri
atas: partisipasi pikiran; partisipasi tenaga; partisipasi keahlian; partisipasi barang; dan
partisi¬pasi uang.
1. Partisipasi Pikiran
Mengajak masyarakat untuk terlibat dalam pekerjaan proyek PNPM-MP bukanlah hal
mudah. Hal ini karena, masyarakat selalu beranggapan bahwa proyek-proyek PNPM-
MP merupakan proyek pemerintah yang pada dasarnya mempunyai angga¬ran yang
cukup untuk melaksanakan proyek-proyek PNPM-MP tersebut. Olehnya itu, setiap
orang yang terlibat dalam pekerjaan proyek-proyek itu harus mendapat upah. Tidak
terkecuali proyek pembangu¬nan jalan setapak yang menghubangkan antar desa,
pembangunan pertanian yang menunjang pertumbuhan ekonomi desa. Hal ini wajar
karena unsur par¬tisipasi menurut Keith Davis salah satunya adalah keterlibatan mental
dan perasaan, lebih dari pada se¬mata-mata atau hanya keterlibatan secara
jasmaniah. Pada awalnya, masyarakat Desa Hiliamaetaluo cenderung tidak mau
berpartisipasi. Namun setelah mendapat pengarahan dari Kepala Desa beserta
aparatnya, juga tokoh-tokoh maka masyarakat mulai memahami dan sadar akan tugas
dan tanggung jawabnya dalam proses pelaksanaan proyek pembangunan desa.
Partisipasi masyarakat dimaksud merupakan wujud kerjasama antara pemerintah desa
dengan warga de¬sanya.
2. Partisipasi Tenaga
Selain partisipasi dalam bentuk pemikiran, tenaga merupakan salah satu bentuk
partisipasi dari masyarakat desa yang sangat potensial diarahkan dalam proses
pembangunan desa, khususnya dalam pengerjaan proyek-proyek pisik PNPM-MP.
Sejarah telah mencatat bahwa masyarakat Indonesia, teruta¬ma mereka yang tinggal
di pedesaan dapat menyele¬saikan berbagai pekerjaan atas dasar gotong-rotong atau
swadaya. Dengan dana yang terbatas, mereka mampu dan berhasil menyelesaikan
pekerjaan-pe¬kerjaan pisik yang mahal, misalnya rumah ibadah, balai desa, bahkan
sekolah dan lain sebagain¬ya. Kenyataan seperti ini menunjukkan bahwa mengarahkan
masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam pembangunan desanya tidak semata-mata
ter¬gantung pada aspek anggaran. Kepemimpinan juga merupakan salah satu faktor
yang ikut menentukan tingkat partisipasi masyarakat desa. Artinya, Kepala Desa
beserta aparatnya harus mampu menjalankan roda pemerintahan desa secara jujur,
transparan, akuntabel dan religius. Dengan demikian mayarakat yang dipimpin akan
cenderung untuk mengikuti ara¬han pemerintah desa guna menyumbangkan tenaga
mereka dalam pelaksanaan proyek-proyek pemban¬gunan di desanya.
3. Partisipasi Keahlian
Menyelesaikan suatu pekerjaan secara efektif dan efisien serta berkualitas sangat
ditentukan oleh tingkat keahlian (skill) yang dimiliki oleh para pe¬kerjanya. Keahlian
tersebut juga harus ditunjang pula dengan motif dan kondisi kejiwaan dari para pekerja
pada saat mereka bekerja. Hal ini penting dikemu¬kakan mengingat partisipasi adalah
keterlibatan atas dasar kerelaan yang akan mewujudkan hasil seb¬agaimana yang
diharapkan.
“Bila dibandingkan proyek-proyek pembangu¬nan di desa ini yang dilaksanakan oleh
pihak ke-3 dengan proyek pembangunan yang ditangani oleh PNPM Mandiri Pedesaan
yang melibatkan masyara¬kat, akan sangat berbeda. Proyek yang dilaksanakan oleh
pihak ke-3 sudah mulai rusak meski baru be¬berapa lama selesai pengerjaannya
sedangkan yang dilaksanakan oleh PNPM kualitasnya lebih bagus, karena memang
melibatkan tukang terbaik di desa ini yang juga turut berswadaya”.
Informasi ini mengindikasikan bahwa: (a) ter¬dapat partisipasi masyarakat dalam
bentuk keahlian; (b) tanggung jawab terhadap kualitas hasil, lebih tinggi pada proyek
PNPM-MP dibandingkan den¬gan hasil yang ditunjukkan oleh proyek-proyek yang
ditangani oleh pihak ke-3; dan (c) pemelihara¬an pemelihara¬an terhadap proyek
PNPM-MP lebih baik dari pada pemeliharaan terhadap hasil-hasil proyek yang
di¬tangani oleh pihak ketiga. Hal ini dapat dimaklumi, karena proyek PNPM- MP oleh
masyarakat desa dianggap sebagai milik sendiri, sedangkan proyek yang ditangani
pihak ke-3 dianggap sebagai milik negara atau daerah yang harus dijaga dan di¬rawat
oleh negara atau daerah. bagi yang memiliki keahlian sebagai tu¬kang batu, silahkan
kerjakan yang bagian pemasan¬gan batu, lagian tetap diberi upah kerja. Dan sebagai
partisipasi mereka, maka upah yang mereka minta pun tidak seperti jika mereka bekerja
biasanya”.
Ungkapan itu menunjukkan bahwa kerelaan masyarakat untuk menyumbangkan
keahlian mereka dalam pembangunan desanya adalah cukup tinggi. Mereka tetap
bekerja dengan baik, meskipun upah yang mereka terima seadanya saja. Artinya upah
bukanlah faktor utama dalam berpartisipasi, me¬lainkan kesediaan mereka untuk
bekerja sama dalam rangka mewujudkan tujuan bersama. Sebagai pimpinan, maka
seyogyanya Kepala Desa beserta jajarannya melihat potensi keahlian dan ker¬elaan
bekerja ini sebagai suatu kekuatan yang dapat diorganisir dan dimobilisasi secara
efektif sehingga dapat bermanfaat bagi mereka dalam rangka mem¬peroleh
pendapatan yang lebih baik. kaum la¬ki-laki yang berada di desa banyak yang memiliki
keahlian sebagai tukang batu, tukang kayu dan ket-erampilan teknis lainnya yang
mereka peroleh dari pengalaman langsung di lapangan. Banyak diantara mereka tidak
memiliki tingkat pengetahuan yang me¬madai. Dengan keahlian yang mereka miliki,
dapat dimanfaatkan dan diarahkan secara optimal dalam rangka pengerjaan proyek-
proyek PNPM-MP dimasa yang akan datang.
4. Partisipasi Barang
Barang yang dimaksudkan dalam skripsi ini adalah barang-barang yang dimiliki oleh
warga desa yang secara sukarela disumbangkan kepada desa dalam rangka
pelaksanaan proyek-proyek PNPM-MP. Olehnya itu, diharapkan kesediaan warga untuk
dapat menyumbangkan bahan-bahan tertentu yang dibutuhkan dalam rangka pemban-
gunan pisik tersebut. Himbauan ini ternyata mendapat sambutan positif dari bebera¬pa
warga dan tokoh masyarakat. Sambutan positif di¬maksud adalah pemberian secara
sukarela beberapa bahan (kayu, paku, pasir dan lain-lain) yang dibu¬tuhkan pada saat
dibutuhkan dalam pengerjaan pembangunan.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Meskipun masih terdapat hambatan-hambatan kecil dalam membangun dan
mengarahkan partisipasi masyarakat Desa Hiliamaetaluo, namun secara keseluruhan
dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat desa tersebut telah cukup
memadai dalam rangka pelaksa¬naan proyek di desa.
2. Dari lima jenis partisipasi yang dikaji, ternyata bentuk partisipasi tenaga memiliki
sumbangan yang sangat signifikan dalam pengerjaan proyek pembangunan khususnya
pembangunan pada tahun 2011.
3. Kepala Desa Hiliamaetaluo beserta aparatnya cu¬kup aktif dan berhasil menjalankan
fungsi dan perannya dalam mendorong dan mengarahkan partisipasi masyarakanya
sehingga cukup ber¬hasil dalam menyelesaikan salah satu proyek infrastruktur yaitu
pembangunan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat desanya.
5.2. Saran
1. Diharapkan agar Kepala Desa dan aparat¬nya semakin gigih dalam berupaya mem-
perjuangkan aspirasi masyarakat Desa guna mendapatkan proyek-proyek
pembangunan sesuai skala prioritas kebutuhan masyarakat desanya.
2. Agar Kepala Desa beserta jajarannya semakin menjalin hubungan yang baik dengan
tokoh-tokoh masyarakat dan dengan masyarakat desa secara keseluruhan sehingga
pertemuan-per¬temuan yang mereka selenggarakan di masa yang akan datang dapat
melahirkan gagasan-gagasan dan keputusan- keputusan yang lebih baik guna
menyukseskan setiap program dan proyek yang telah berhasil diperjuangkan oleh
Kepala Desa.
3. Agar Kepala Desa dan aparatnya serta to¬koh-tokoh masyarakat Desa Hiliamaetaluo
senan¬tiasa bersinergi menjadi teladan bagi masyara¬kat dalam memelihara dan
merawat hasil-hasil pembangunan yang dicapai.

DAFTAR PUSTAKA
Abe, Alexander. 2005. Perencanaan Daerah Partisi¬patif. Yogyakarta: Pustaka Jogja
Mandiri.
Adi, Isbandia Rukminto. 2001. Pemberdayaa, Pengembangan Masyarakat, dan
Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Arif, Syaiful. 2006. Reformasi Birokrasi dan De¬mokratisasi Kebijaka. Malang: Averroes
Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Arsyad, Lincoln. 2002. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah.
Yogyakarta: BPFE.
Conyers, Diana. 1991. “An Introduction to Social Planning in The Third World”. By Jhon
Wiley & Sons Ltd. 1994. Terjemahan
Nawawi. 2007. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kartasasmita, Ginanjar. 1997. Pembangunan Untuk Rakyat (Memadukan Pertumbuhan
dan Pemer¬ataan). Jakarta: CIDEAS.
Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pemban¬gunan Daerah. Jakarta: Erlangga.
Ndraha, Talizuduhu. 1987. Pembangunan Masyarakat, Mempersiapkan Masyarakat
Tinggal Landas. Jakarta: PT. Bina Aksara.
Santoso R.A. 1988. Partisipasi, Komunilasi, Persuasi, dan Disiplin Dalam
Pembangunan Nasional. Band¬ung: Alumni.
Sugiono. 2004. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suryono, Agus. 2001. Teori dan Isu Pembangunan. Malang: Universitas Malang Press.
Wrihatnolo, Randy R, dan Nugroho, Riant. 2006. Manajemen Pembangunan Indonesia:
Sebuah Pengantar Panduan. Jakarta: Elekx Media Kom¬putindo.

. Desadapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum perdata, memiliki kekayaan,


hartabenda, dan bangunan, serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan. Untuk
itu,musyawarah desa menjadi media bagi Pemerintah Desa, Badan
PermusyawaratanDesa dan unsur masyarakat Desa dalam menentukan
penyelenggaraan Desa yangbersifat strategis (Pasal 54: UU Desa).Salah satu hal yang
bersifat strategis adalah Kerjasama Desa dapat menjadi salah satu alternatif
inovasi/konsep yang didasarkan pada pertimbangan efisiensidan efektivitas, sinergis,
dan saling menguntungkan terutama dalam bidang-bidangyang menyangkut
kepentingan lintas wilayah desa. Kerjasama Desa memberikankeleluasaan kepada
desa untuk mengembangkan potensi
Berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait desa, desa dapat mengadakan
kerjasama antar desa sesuai dengan kepentingannya, untukkepentingan desa masing-
masing, dan kerjasama dengan pihak ketiga dalam bentukperjanjian bersama atau
membentuk peraturan bersama kepala desa yang didalamnya membentuk badan
kerjasama antar-desa, yang dimaksudkan untukkepentingan desa dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sertabertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpanganantar desa yang berorientasi pada
kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalammasyarakat.Kerjasama desa menjadi
penting,
pertama
, karena desa memiliki keterbatasandan munculnya kesenjangan antar desa, sehingga
tidak semua desa memilikikemampuan yang sama dalam mengelola pemerintahan dan
pembangunan.
Kedua
,keterbatasan kabupaten dalam menyelenggarakan pelayanan publik danpembangunan
yang bisa menjangkau semua desa, karena keadaan geografis dansebagainya.
Berdasarkan pada dua hal tersebut, diperlukan semacam ruang antaradalam
menjembatani keterbatasan desa maupun keterbatasan kabupaten. Selamaini, dalam
kerangka regulasi nasional, ruang antara itu dibayangkan berjalan melaluimekanisme
kerjasama antar desa.Kerjasama antar desa bertetangga maupun kerjasama desa
dengan pihakketiga tentu sudah lama dijalankan oleh desa-desa sesuai dengan kondisi
dankebutuhan setempat. Kerjasama antar warga antar desa dalam pengelolaan
barangpublik dan sumber daya air, maupun kegiatan kemasyarakatan itu suda

Salah satu tantangan terbesar dalam pengembangan otonomi desa adalahmencegah


distorsi otonomi dan demokratisasi di tingkat desa. Dorongan untukmenciptakan negara
yang demokratis tentu tidak boleh mengurangi derajatketerlibatan peran negara dalam
melindungi desa dan seluruh sumberdaya yangterkandung di dalamnya. Perubahan
tata kelola sumberdaya alam dan ekonomi saatdihadapkan pada perubahan konfigurasi
ekonomi politik internasional berpeluangmenimbulkan hegemoni pasar internasional.
Hal ini harus diantisipasi agar tidaksemakin meminggirkan masyarakat desa.Kerjasama
desa dengan desa, dan desa dengan pihak ketiga diatur dengantegas berdasarkan
Pasal 91 Undang-Undang No. 06 Tahun 2014 Tentang Desa, yangmana
mengisyaratkan bahwa desa dapat mengadakan kerjasama dengan desa laindan atau
kerjasama dengan pihak ketiga. Kerjasama desa merupakan perbuatanpemerintahan
(bestuurs handeling)
, sedangkan kerjasama desa yang dituangkandalam keputusan bersama merupakan
perbuatan hukum publik dan kerjasama desa
Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asasdesentralisasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikankesempatan dan
keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomidaerah. Karena itu, Pasal
18B UUD Tahun 1945 Amandemen Keempat antara lainmenyatakan bahwa pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan kecildengan bentuk dan susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang.
Dalam penjelasan tersebut, antara lain dikemukakan bahwa “oleh karena negara
Indonesia itu suatu
eenheidsstaat,
maka Indonesia tidak akan mempunyai daerahdalam lingkungannya yang bersifat
staat
juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalamdaerah provinsi dan daerah provinsi akan
dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Didaerah-daerah yang bersifat otonom
(Streek en locale rechtgemeenschappen)
ataubersifat administrasi belaka, semua menurut aturan yang akan ditetapkan
denganundang-
undang”. Begitupun di Desa
akan dibentuk Badan Permusyawaratan Desa.Hal ini menandakan bahwa Desa
bersendikan juga atas permusyawarahan.Kemudian dalam Penjelasan Undang-
Undang No. 06 Tahun 2014 dijelaskan ”....,
mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untukm
engembangkan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama”.
Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) sebagai satuan pemerintahanlokal yang
oleh undang-undang diberikan otonomi, mengandung arti bahwadaerah berhak
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu sebagaiurusan rumah
tangganya sendiri. Kendatipun kepada daerah diberikan haksepenuhnya untuk
membuat ataupun melahirkan produk hukum daerah, namundalam konteks sistem
hukum (perundang-undangan) ada pembatasan ataupunrestriksi yang tidak boleh
dilanggar (Gde, Pantja Astawa, 2006 : 1).Istilah otonomi atau
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain adalahkesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untukmengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempatberdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional
yangdiakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
RepublikIndonesia.Berbeda definisi Desa menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004,
mengartikan desa sebagai berikut: “
Desa atau yang disebut nama lain, selanjutnyadisebut
Desa merupakan bagian terkecil dari pemerintahan di Indonesia meskipunhingar
bingar otonomi daerah dan pelimpahan wewenang di tingkat lokal tidakmempengaruhi
desa.

Perbincangan mengenai UU Desa No. 06 Tahun 2014 dan PP 43 Tahun 2014 dewasa ini tak bisa
dihindari. Dana Rp1,4 miliar yang dimandatkan oleh UU melahirkan dua perspektif di berbagai
kalangan, terutama masyarakat desa. Pertama, apakah dana tersebut secara langsung atau tidak
mengalir ke desa. Kedua, apakah mekanisme pencairannya bertahap atau tidak. Perdebatan ini
menjadi hangat diperbincangkan manakala UU Desa ini akan diterapkan pada tahun 2015.
Oleh karena itu perlu diapresiasi bahwa semangat UU ini merupakan terobosan baru agar stigma
terhadap masyarakat desa bahwa desa menjadi hunian dimana masyarakatnya memiliki SDM
rendah, ketinggalan akses informasi, terbelakang dan kemiskinan, jadi hilang. Itu semua menjadi
potret kelam yang seringkali disematkan kepada masyarakat desa. Tentu penilaian ini di satu sisi
memiliki keabsahan yang tidak bisa dibantah.
Munculnyna gerakan arus urbanisasi mengenai masyarakat desa mengadu nasib ke kota menjadi
contoh yang paling sohih. Bahwa desa tidak mampu memberikan jaminan hidup dan
kesejahteraan hidup bagi sebagian besar yang dialami oleh masyarakat desa. Maka wajar
manakala desa dipandang sebelah mata dan dinilai terbelakang oleh kebanyakan orang yang
dinilai tidak prospek dalam memberikan jaminan kesejahteraan untuk masa depannya.
Merunut dari berbagai definisi ahli bahwa pembangunan desa adalah sebagai upaya serius
pemerintah untuk meningkakan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat desa. Tidak ada alasan apapun yang dibenarkan bahwa kesejahteraan
dan kemandirian desa hanya menjadi komoditas politik yang berimplikasi terhadap stagnasi dan
degradasi tujuan kesejahteraan masyarakat desa.

Kawasan Perdesaan dan Tantangan


Spirit UU Desa dalam melahirkan desa maju dan mandiri tentu tak bisa dilakukan secara parsial.
Jalan terjal membangun desa tentu akan menjadi bagian dari dinamika masyarakat dalam
mengawal perubahan di mana jika sebelumnya desa hanya memikirkan mengenai desanya
sendiri tanpa banyak memikirkan dan melakukan sinergi-koordinasi dan komunikasi dengan
desa-desa lain atau desa tetangga yang secara geografis berdekatan. Pembangunan desa kawasan
adalah ikhtiar baru pemerintah untuk menuju kemandirian desa.

Adalah Mohammad Solekhan dalam bukunya Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis


Partisipasi Masyarakat (2014: 70-71) bahwa pembangunan kawasan perdesaan merupakan
perpaduan pembangunan antardesa dalam satu kabupaten yang meliputi. Pertama, penggunaan
dan pemanfaatan wilayah desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan sesuai dengan
tata ruang kabupaten/kota. Kedua, pelayanan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat perdesaan. Ketiga, pembangunan infrastruktur, peningkatan ekonomi perdesaan dan
pengembagan teknologi tepat guna. Keempat, pemberdayaan masyarakat desa untuk
meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi.
Orientasi pembangunan kawasan perdesaan tersebut adalah mempercepat dan meningkatkan
kualitas pelayanan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa di kawasan perdesaan
melalui pendekatan pembangunan partisipatif. Mandat UU Desa mengenai desa kawasan sebagai
langkah progresif, dimana selama ini pembangunan yang sektoral dan egosentris bisa dieleminir
secara perlahan-lahan. Impian kemandirian desa melalui sinergi dan kolaborasi antardesa dalam
rangka mempercepat kesejahteraan masyarakat desa menjadi kebutuhan yang mendesak dan
mutlak.

Pembangunan pelaksanaan kawasan perdesaan itu dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, pemerintah kabupaten/kota melalui satuan kerja perangkat daerah, pemerintah desa
dan/atau BUMD dengan mengikutsertakan masyarakat desa tentu dalam pelaksanaan teknis di
lapangan bahwa pembangunan kawasan perdesaan wajib mengoptimalkan sumber daya alam
setempat, sumber daya manusia setempat.

Dengan adanya mandat UU bahwa desa kawasan merupakan jangkar ekonomi desa bisa tumbuh
secara kokoh. Pembangunan manusia dari sisi keterampilan dan kemampuan SDM harus
bersenyawa dengan pertumbuhan dan kemandirian ekonomi. Maka dari itu, kegiatan dan
pengembangan ekonomi desa bisa bekerjasaa secara elegan yang bisa dilakukan oleh beberapa
desa. Ketentuan mengenai jumlah desa kawasan memang tidak diatur secara mendetail, akan
tetapi menjadi kebutuhan bersama bagi desa untuk sharingpotensi antardesa, baik potensi
manusia maupun sumberdaya alam. Bahkan pemasaran pun bisa melakukan sharing dan sinergi.
Maka jawaban mengenai desa kawasan seperti yang diamanahkan dalam UU Desa mengenai
kerja sama antardesa atau dengan pihak ketiga. Bentuk kerjasama meliputi: 1) pengembangan
usaha bersama yang dimiliki oleh desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing; 2)
kegiatan kemasyarakatan, pelayanan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat antar desa
dan/atau; 3) bidang keamanan dan ketertiban. Sementara terkait kerja sama pihak ketiga
dimaksutkan untuk mempercepat dan meningkatkan penyelenggaraan pemerintah desa,
pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat
desa.

Dalam hal ini yang lebih memungkinkan dilakukan adalah bahwa pihak ketiga yang dimaksud
adalah bisa saja mengandeng perguruan tinggi yang ahli dan memiliki kualifikasi disiplin
keilmuan mengenai permasalahan sosial, pengembangan masyarakat dan teknis pendampingan
baik mikro, mezzo dan makro. Begitu juga bekerja sama dengan para aktivis LSM yang memiliki
konsen dalam pemberdayaan masyarakat dan pemetaan sosial. Sehingga sinergi pembangunan
desa tidak hanya menjadi domain pemerintah saja tetapi ada pihak luar yang lebih obyektif
dalam melakukan pengembangan pembangunan desa. Semoga mimpi membangun kawasan
perdesaan sebagai ikhtiar progresif dan profetik dalam membangun kesejahteraan masyarakat
desa yang sebenar-benarnya

1. 10. Metodologi yang digunakan : a.Metode RRA / PAR, untuk


mereview dan mengkaji data informasi desa. b.Metode SWOT,
untuk menentukan strategy untuk mencapai tujuan program desa
mandiri. c. Metode Partisipatif, untuk melaksanakan program
bersama masyarakat dan pemerintah desa. d.Metode penyuluhan
untuk mentransfer pengetahuan dan teknologi kepada
masyarakat. e.Metode demoplot untuk memberikan contoh
fragmatis kepada masyarakat dibidang teknologi,
kewirausahaan, dan kelembagaan.
2. 11. 5 (lima) tahapan utama dalam pelaksanaan yaitu: a.
Melakukan kajian awal terhadap data yang tersedia untuk
menentukan lokasi Desa, perumusan variabel, indikator dan
metoda analisis. b. Melakukan survei lapang untuk
mengumpulkan data-data yang akan dijadikan bahan dalam
memetakan potensi dan masalah serta fasilitasi- fasilitasi yang
akan diimplementasikan. c. Melakukan pengkajian melalui
tabulasi dan analisis terhadap data yang terkumpul dengan
menggunakan metoda analisis yang telah ditetapkan. d.
Merumuskan design atau rencana strategis yang berorientasi
pada pemberdayaan masyarakat untuk “mengembangkan desa
mandiri berbasis kawasan pedesaan” berdasarkan kondisi riil di
lapangan. e. Mengimplementasikan design atau rencana
strategis yang telah dihasilkan.
3.
4.
5. 8. a. Terbatasnya ketersediaan sumberdaya manusia yang baik
dan profesional; b. Terbatasnya ketersediaan sumber-sumber
pembiayaan yang memadai, baik yang berasal dari kemampuan
desa itu sendiri (internal) maupun sumber dana dari luar
(eksternal); c. Lemahnya peran kelembagaan sosial-ekonomi di
pedesaan d. Kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat
secara lebih kritis dan rasional. e. Kurangnya jejaring, informasi
dan teknologi pada masyarakat pedesaan. Hal-hal perlu perhatian
:
6. 9. Bahan dasar yang harus dimiliki oleh Desa Mandiri : 1)
Mempunyai potensi sumber daya alam 2) Mempunyai potensi
sumber daya manusia 3) Mempunyai potensi prasarana dan
sarana yang besar 4) Mempunyai spesifikasi produk yang
menonjol didasarkan pada tipologi desa 5) Mampu memenuhi
kebutuhan di dalam desa dan sebagian yang dapat dijual keluar
desa. 6) Terdapat peran serta dan kesadaran masyarakat yang
besar dalam mengoptimalkan potensi desa. 7) Tingkat
kemiskinan penduduk desa di bawah rata-rata 8) Pemberdayaan
wanita di dalam kegiatan sosial ekonomi desa besar. 9) Jumlah
dan jenis kelembagaan banyak 10)Adanya tokoh penggerak /
inovator dan eligimatizer yang memiliki peranan besar dalam
masyarakat 11)Kesadaran terhadap lingkungan hidup tinggi

7. 12. BA C GE F Apakah titik merah ada ditengah-tengah segitiga ?


H
8. 13. BA C GE F H
9. 14.
10. 16. Tujuan yang akan dicapai Desa Mandiri :
Pengembangan desa mandiri berbasis kawasan pedesaan untuk
mewujudkan kemandirian masyarakat pedesaan agar mampu
mendayagunakan dan mengoptimalkan potensi sumber daya
ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup untuk kesejahteraan
masyarakat.
11. 17. Manfaat yang akan dicapai Desa Mandiri : 1.
Berkembangnya potensi desa untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat diwilayahnya melalui penciptaan lapangan kerja. 2.
Meningkatnya kegiatan usaha ekonomi dan budaya berbasis
kearifan lokal di desa. 3. Meningkatnya kemandirian desa dalam
melaksanakan kegiatan pembangunan. 4. Menurunnya disparitas
pembangunan wilayah antara desa dengan kota.
12. 18. Tulis Ciri-ciri Desa Mandiri menurut Bapak/Ibu
sebanyak-banyaknya dalam bentuk forsa kata (contoh :
Masyarakatnya pekerja keras)

Desa Mandiri itu mencerminkan kemauan masyarakat desa yang kuat


untuk maju, dihasilkannya produk/karya desa yang membanggakan dan
kemampuan desa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dalam istilah
lain, desa mandiri bertumpu pada trisakti desa yaitu; karsa, karya,
sembada. Jika Trisakti Desa dapat dicapai maka desa itu disebut
sebagai desa berdikari. Karsa, karya, sembada desa mencakup bidang
ekonomi, budaya dan sosial yang bertumpu pada tiga daya yakni
berkembangnya kegiatan ekonomi desa dan antar desa, makin kuatnya
sistem partisipatif desa, serta terbangunnya masyarakat di desa yang
kuat secara ekonomi dan sosial-budaya serta punya kepedulian tinggi
terhadap pembangunan serta pemberdayaan desa.

3 PilarTiga Daya tersebut selaras dengan Konsep yang disampaikan


Prof.Ahmad Erani Yustika selaku Dirjen PPMD Kemendes PDTT pada
beberapa kesempatan, bahwa membangun desa dalam konteks UU No
6 Tahun 2014 setidaknya mencakup upaya-upaya untuk
mengembangkan keberdayaan dan pembangunan masyarakat desa di
bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan. Konsep tersebut dikenal
dengan istilah “Lumbung Ekonomi Desa, Lingkar Budaya Desa, dan
Jaring Wira Desa”.

Lumbung Ekonomi Desa tidak cukup hanya menyediakan basis


dukungan finansial terhadap rakyat miskin, tetapi juga mendorong
usaha ekonomi desa dalam arti luas. Penciptaan kegiatan-kegiatan
yang membuka akses produksi, distribusi, dan pasar (access to
finance, access to production, access to distribution and access to
market) bagi rakyat desa dalam pengelolaan kolektif dan individu
mesti berkembang dan berlanjut.

Pembangunan dan pemberdayaan desa diharapkan mampu melahirkan


pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan.
Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah konsep mengenai
perkuatan dan kontribusi yang disumbangkan oleh sektor ekonomi riil.
Sektor ekonomi riil yang tumbuh dan berkembang dari bawah karena
dukungan ekonomi rakyat di desa.

Pertumbuhan ekonomi dari bawah bertumpu pada 2 hal pokok yakni


memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pelaku ekonomi lokal
untuk memanfaatkan sumberdaya milik lokal dalam rangka
kesejahteraan bersama dan memperbanyak pelaku ekonomi untuk
mengurangi faktor produksi yang tidak terpakai.
Artikel terkait : Konsep Desa Mandiri

 Menggugat Asas Dekonsentrasi Pendampingan Desa


Versus Tugas PerbantuanMenggugat Asas Dekonsentrasi
Pendampingan Desa Ve ...

 Membangun Dedikasi Pendamping DesaMembangun


Dedikasi Pendamping Desa - Model tata k ...

Karena pasar tidak bisa membentuk bahkan menstimulasi kesempatan


dan pelaku dalam keadaan ketidakseimbangan modal, informasi, dan
akses lain yang dimiliki para pelaku, maka diperlukan campur tangan
pemerintah dalam bentuk fasilitasi dan regulasi. Kurang adanya
intervensi yang pantas dari pemerintah dalam daya ekonomi bawah ini
telah menyebabkan permasalahan antara lain kegagalan pasar,
terjadinya monopoli, misalokasi sumberdaya, dan adanya sumberdaya
yang tidak terpakai.

Pemberian kesempatan yang seluas-luasnya tidak cukup hanya melalui


treatment membuka akses permodalan, akan tetapi juga akses
produksi, akses distribusi dan akses pasar. Akses permodalan dibuka
dan dikembangkan melalui pemberian kredit yang terjangkau dan
fleksible, akses produksi dikembangkan melalui dorongan dan
dukungan sektor industri lokal yang berbasis sumberdaya lokal, dan
akses pasar dikembangkan melalui regulasi dan kebijakan yang
memastikan terbentuk dan berkembangnya kondisi yang optimum dari
perekonomian di perdesaan.

Pertumbuhan ekonomi dari bawah menitikberatkan pada tumbuh dan


berkembangnya sektor usaha dan industri lokal, yang mempunyai
basis produksi bertumpu pada sumberdaya lokal. Bentuk-bentuk usaha
yang telah berkembang seperti kerajian, pertanian, perikanan,
perkebunan, peternakan, industri kecil, makanan olahan sehat, adalah
sektor ekonomi strategis yang harusnya digarap desa dan Kerjasama
Desa.

Lumbung Ekonomi Desa juga harus mengembangkan sektor usaha dan


produksi rakyat yang mendeskripsikan kepemilikan kolektif lebih
konkrit. Bentuk-bentuk yang telah dinaungi peraturan perundangan
semacam BKAD, BUMDes, Koperasi, maupun badan usaha milik
masyarakat lain perlu diprioritaskan. Pilihan-pilihan usaha berbasis
kegiatan yang telah dibentuk dan dikembangkan masyarakat desa
misalnya listrik desa, desa mandiri energi, pasar desa, air bersih,
usaha bersama melalui UEP, lembaga simpan pinjam juga merupakan
prioritas kegiatan dalam rangka pengembangan Lumbung Ekonomi
Desa.

Jaring Wira Desa adalah upaya menumbuhkan kapasitas manusia desa yang
mencerminkan sosok manusia desa yang cerdas, berkarakter dan mandiri. Jaring wira
desa menempatkan manusia sebagai aktor utama sekaligus mampu menggerakkan
dinamika sosial ekonomi serta kebudayaan di desa dengan kesadaran, pengetahuan
serta ketrampilan sehingga desa juga melestarikan keteladanan sebagai soko guru
kearifan lokal.

Lingkar Budaya Desa mengangkat kembali nilai-nilai kolektif desa dan


budaya bangsa mengenai musyawarah mufakat dan gotong royong
serta nilai-nilai manusia (desa) Indonesia yang tekun, bekerja keras,
sederhana, serta punya daya tahan. Selain itu lingkar budaya desa
bertumpu pada bentuk dan pola komunalisme, kearifan lokal,
keswadayaan sosial, teknologi tepat guna, kelestarian lingkungan,
serta ketahanan dan kedaulatan lokal, hal ini mencerminkan
kolektivitas masyarakat di Desa. (Lendy W Wibowo, Pejaten 23
November 2015).
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat
setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah
Kabupaten (Wijaya, 2002:65). Rumusan definisi Desa secara lengkap terdapat dalam
UU No.22/1999 adalah sebagai berikut:
“Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai satu kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa
sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945. Landasan
pemikiran dalam pengaturan Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi,
otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat” (UU Otonomi Daerah,
1999:47).
Dengan adanya pengaturan desa dalam bab XI tersebut diharapkan Pemerintah Desa
bersama masyarakat secara bersama-sama menciptakan kemandirian desa.
Kemandirian tersebut dapat dilihat dari kewenangan yang diberikan yang tertuang
dalam pasal 206, yang menyebutkan bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat.
Menurut Peter Sange (1994), dalam bukunya yang terkenal “The Fifth Discipline“,
diungkapkan bahwa agar organisasi mampu menyikapi perubahan diperlukan adanyan
revitalisasi dan merubah pola pikir dari anggota atau organisasi untuk menguasai 5
disiplin yang di persyaratkan, yaitu:
1. Personal mastery, yaitu kemampuan untuk secara terus menerus dan sabar
memperbaiki wawasan agar obyektif dalam melihat realita dengan pemusatan energi
kepada hal-hal yang strategis.
2 System of thinking, yaitu kemampuan untuk memiliki suatu fondasi berpikir yang
dinamis untuk realita dan proses interelasinya secara holistik sehingga tidak terjebak
pada kemapanan atau melihat permasalahan secara linier dan symptomatis.
3 Mental model, yaitu memiliki suatu framework dan asumsi-asumsi dasar untuk
menyikapi realita yang membuatnya mampu untuk bertindak secara tepat.
4 Building shared version, yaitu komitmen untuk menggali visi bersama tentang masa
depan secara murni tanpa paksaan.
5 Team learning, yaitu kemampuan dan motivasi untuk belajar secara adaptif,
Kelima disiplin tersebut perlu dipadukan secara utuh, dikembangkan dan dihayati oleh
setiap anggota masyarakat dan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Penyiapan
sumber daya manusia atau SDM merupakan kunci keberhasilan pengembangan
pedesaan baik dari segi ekonomi maupun sosial – budaya.
Masyarakat pedesaan kurang mempunyai kemampuan untuk memperoleh akses
terhadap layanan-layanan dari pemerintah maupun swasta yang masyoritas berada
pada pusat-pusat kota. Untuk itulah, Pemerintah perlu memprioritaskan pengembangan
Sumber Daya Manusia (SDM) di wilayah pedesaan atau pedalaman. Masyarakat dari
komunitas pedesaan atau pedalaman yang diharapkan menjadi pelaku utama untuk
pembangunan komunitasnya secara berkelanjutan akan menjadi tanda tanya bagi kita
semua. Pertanyaannya mampukah masyarakat pedesaan atau pedalaman tersebut
bisa menjadi pelaku utama pembangunan jika tidak didukung oleh SDM yang
memadai?
Pengembangan SDM di wilayah pedesaan atau pedalaman merupakan hal yang sangat
prioritas dan merupakan kewajiban pemerintah. Namun, dalam pengembangan itu perlu
disesuaikan dengan kondisi suatu masyarakat. Kekayaan sumber daya alam, dukungan
infrastruktur, kecanggihan kemajuan teknologi, kemampuan pembiayaan yang
dibutuhkan untuk mendukung pembangunan masyarakat tidak akan bisa maksimal
apabila tidak didukung oleh kemampuan SDM itu, elemen pendidikan dan kesehatan
menjadi intrumen yang sangat strategis yang harus dikembangkan untuk terwujudnya
SDM yang memadai.
B. Pengembangan SDM di Pedesaan
SDM yang unggul harus dapat dipertahankan secara berkelanjutan, untuk itu diperlukan
suatu kebiajakan dalam pemberdayaan budaya sebagai aktualisasi kemampuan
mengembangkan setiap individu secara mandiri artinya dengan budaya perusahaan
yang melahirkan kebersamaan pola pikir mendorong kebiasaan SDM yang ungul
memiliki komitmen dalam menjalankan peran yang ditugaskan kepadanya.
Jadi pemberdayaan haruslah dipandang sebagai suatu cara yang amat praktis dan
produktif untuk mendapatkan yang terbaik dari SDM itu sendiri dan pengikut yang selalu
siap dan komitmen atas keinginannya sendiri, sehingga ia tidak merasa diikat oleh
organisasi birokratis.
Untuk menjamin kualitas SDM, dilakukan spesifikasi – spesifikasi SDM yang hendak
dikembangkan harus ditentukan oleh kecenderungan (trend) kebutuhan indutri agar
kompetitif secara global. Penekanan pembinaan SDM ditujukan pada dua jalur: tenaga
kerja inovatif (yang padat pengetahuan) dan tenaga kerja efisien (yang bersertifikasi).
Serta untuk menjamin aspek kuantitas, pembinaan SDM harus memanfaatkan teknologi
sejak dini.
Penyaluran SDM perlu diarahkan kepada kualitas tenaga kerja global. Yang diharapkan
tingkat pengangguran Agar dapat terlaksananya pemanfaatan potensi SDM dalam
kebiasaan produktif, perlu dipikirkan selain selain penguasaan ilmu dari informasi,
pengetahuan dari pengalaman menjadi keterampilan, tetapi juga yang terkait dengan
keinginan bersandarkan jati diri yang bersangkutan sebagai daya dorong, yang dalam
hal ini diperlukan seperangkat keahlian yang perlu dikembangkan secara
berkesinambungan yaitu menyangkut peningkatan keterampilan yang harus di tumbuh
kembangkan melalui pengelaman yang diperoleh dari lingkungan diri sendiri dan atau
pengelaman orang lain sebagai berikut :
1) fleksibilitas dalam berpikir ;
2) keberanian mengambil resiko ;
3) kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan ;
4) seni kepemimpinan.
Kata kunci dalam usaha memanfaatkan potensi SDM yang unggul terletak pada
kemampuan untuk mengorganisir kekuatan dalam “kerja tim“ dan pelaksanaan dari
pelatihan yang berkelanjutan di pedesaan.
Membangun kerja tim di pedesaan, bukan sekedar untuk mengelompokkan orang –
orang berada dalam satu tim, melainkan adanya kesiapan diri dari setiap anggota tim
atas potensi yang dapat diberikannya untuk menjalankan peran dalam tim sebagai
peran driver (mengembangkan gagasan, memberi arah, menemukan hal-hal baru);
planner (menghitung kebutuhan tim, merencanakan strategi kerja, menyusun jadwal);
enable (ahli memecahkan masalah, mengelola sarana atau sumber daya, menyebarkan
gagasan, melakukan negosiasi); exec (mau bekerja menghasilkan output,
mengkoordinir dan memelihara tim) controller (membuat catatan, mengaudit dan
mengevaluasi kemajuan tim)
Pelatihan, merupakan investasi pelatihan dan pendidikan yang berkesinambungan bagi
staf dan manajemen yang harus direncanakan secara menyeluruh dan sistimatis
sebagai usaha peningkatan potensi SDM yang unggul masa keni dan masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Wijaya, HAW. 2002. Pemerintahan Desa/ Marga: Berdasarkan Undang-Undang Nomor


22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah (Suatu Telaah Administrasi Negara).
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai