Anda di halaman 1dari 7

PARADOKS RELASI NEGARA DANA AGAMA DALAM PEMERINTAHAN JOKO WIDODO

1. LATAR BELAKANG
Tidak ada lagi ungkapan yang pas untuk mendeskripsikan relasi negara dan agama
dewasa ini, kecuali paradox. Hal ini terlihat dari keambiguan kebijakan pemerintah,
terhadap kelopok Islam sepanjang masa pemerintahan Joko Widodo. Pertama, UU
Pesantren (Sari 2019), Keputusan Presiden No 22 Tahun 2015, tentang penetapan tanggal
22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, penyediaan Balai Latihan Kerja untuk Santri
(Akuntono 2015), penetapan program moderasi beragama dalam Rancangan
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) (Fachrudin 2019). Yang terkesan
akomodatif terhadap kelompok Islam tradisonal, seperti NU.
Kedua, Pengesahan Perppu No 2 Tahun 2017 menjadi UU Ormas (Maulidar 2017),
pencabutan satatus dan badan hokum HTI berdasarkan Surat Keputusan Mentri Hukum
dan HAM, No: AHU-30.AH.01.08, Tahun 2017 (Movanita 2017). Kemudian, integrase
rumusan moderasi beragama dalam RPJMN (Rancangan Pembangunan Jangka Menegah
Nasional) 2020-2024, yang dengan nyata bertujuan untuk memberantas paham Islam
radikal (Kementrian Agama Repoblik Indonesia 2019). Dan hal ini, adalah sebagaian kecil
dari gambaran Joko Widodo sebagai presdien yang penuh kontradiktif.
Sejauh ini, pembahasan mengenai relasi negara dan agama, cenderung bertemakan
politik ( (Burhani, 2016); (Sholikin , 2018); (Djamra, 2011); (Chaidar , 2013); (Fata, 2018);
(Fernandes , 2018); (Saputro , 2018); (Gunawan , 2017); (Zaprulkhan, 2014)), HAM (Hadi ,
2018), ideologi politik ( (Dahlan, 2014); (Widayati, 2009); (Gunawan , 2017); (Zaprulkhan,
2014); (Supriadi , 2015)), sejarah ( (Alkaf , 2011); (Firdaus , 2014); (Darojat , 2019)),
pemikiran politik ( (Nasaruddin, 2009); (Zulkifli, 2014); (Abdillah , 2013); (Ridwan, 2018);
(Kamsi, 2012 ); (Abdullah, 2014)), dan politik identitas ( (Ghozali , 2020 ); (Paralihan ,
2019); (Herdiansah, Junaidi, & Ismiati, 2017); (Supriadi Y. , 2016); (Pamungkas,
Widiyantoro, & Wicaksono , 2020); (Salahudin, et al., 2020)). Sepanjang fakta literatur yang
telah dikumpulkan tersebut, sejauh ini, belum ada satupun yang menguraikan paradoks
relasi negara dan agama dalam priode pemerintahan Joko Widodo.
Untuk mengisi kekuarangan fakta literature yang ada, maka pembahasan ini akan
memberikan jawaban terhadap bagaimana bentuk relasi negara dan agama dalam periode
pemerintahan Joko Widodo? Pertanyaan tersebut akan dijawab, dengan mendiskusikan
kebijakan pemrintahan Presiden Joko Widodo, dan konfigurasi politik yang terjadi
sepanjang masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, negara dan Islam, terjebak dalam
hubungan yang paradok. Hal ini berhulu pada kebijakan pemerintah yang terkesan ambigu.
Dan Presiden Joko Widod, adalah sorang pemimpin yang kontradiksi. Ia adalah presiden
yang bersih, dan menyatakan perang terhadap korupsi, namun kebijakanya melemahkan
KPK, ia menolak untuk membangun dinasti politik, namun menyetujui putra dan
menantunya terjun ke dunia politik. Ia juga menyatakan perang terhadap kelompok Islam
konserfatif dan radikal, namun ia hadir dan memuji demonstras aksi 212 (Bland 2020).
2. Metode
Pembahasan ini, adalalah pemebahasan kepustakaan. Artinya pembahasan ini,
adalah pembahasan yang akan mengamati, data-data tertulis. Data tersebut, bersumber
dari media informasi berbasis internet, yaitunya portal berita online tempo.co, detik.com,
dan kompas.com, serta group facebook “teman jokowi (2019 Jokwi Lagi)” dan “Prabowo-
Sandi 2019 menuju istana Negara”. Dan data-data tersebut, berupa berita online dan meme
politik yang menguat dan berkembang sepanjang Pilpres 2019. Setelah it, data-data
tersebut, baik itu berita atau meme politik anakan dianalisis, dengan cara
pengelompokkan. Berita online, akan dikelompokkan beradasarkan isu dan motif isu.
Sedangkan meme politik akan dikelompokkan berdasarkan isu dan symbol. Sehingga,
pembahasan ini adalah pembahasan kepustakan dengan model kualitatif.
Memilih, berita online, dan memepolitik yang dimuat di grup pemenangan Capres-
Cawapres, selama Pilpres 2019. Berpijak di atas alasan, bahwa isu ke-Islaman dan
kebangsaan seperti pro-Islam atau anti-Islam (Idris 2019), ke-Islaman Capres (Fadhil
2018), (Rosana 2018), memilih Capres tertentu masuk surga (Florentin 2018), (Putri
2018), (Siddiq 2018), (Nurita 2018), keterlibatan Capres/Cawapres dengan kelompok
radikal (Anggiriawan 2019), (Nurita 2019), memadati ruang media informasi online dan
media sosial. Hal ini, menyebabkan terjadi perpecahan kubu yang tidak rasional dalam
Pilpres 2019 (Sidik 2019). Hal ini, sekali lagi menunjukkan efektifitas media informasi
berbasis internet dalam kontestasi politik, sekaligus memperkuat pandangan
konstrusionis. Dalam pandangan konstruksionis melihat komunikasi sebagai proses
penyebaran makna, yang dapat mengkontruksi sebuah relaitas dan fakta (Erianto 2018,
47). Sehingga media online baik itu berupa berita, maupun meme politik menjadi layak
untuk diamati, untuk dapat melihat reliatas dan fakta relasi negara dan agama yang
tumbuh ditengah masyarakat.
3. Relasi Negara dan Agama di Indonesia
Pengalaman Indonesia, relasi negara dan agama terjebak dalam bentuk antagonistic
dan akomodatif (Effendy 2011). Relasi antagonistic, mengisyaratkan bentuk relasi antara
negara dan agama yang dipenuhi keteganagan. Sperti yang jamak dikethai, semenjak
persiapan kemerdekaan Indonesia, kelompok nasionalis Islam, sangat berhasrat untuk
mendirikan Indonesia sebagai negara Islam. Namun, harapan itu tidak terkabul sehingga
pada masa Orde Lama, terjadi pemberontakan oleh kelompok Islam, seperti DI/TII, Kahar
Muzakkar, Daud Beureueh (Putra 2008, 187). Sehingga, ikut berperan untuk mengulingkan
kekuasaan sah Orde Lama, yang dicurigai telah terpengaruh oleh PKI, yang merupakan
salah satu lawan politik kelompok Islam.
Dua pertiga awal pemerintahan Orde Baru, negara sangat antagonis terhadap Islam.
Orde Baru beriskap sangat represif dana quasi-represif terhadap kekeuatan politik Islam
(Effendi 2003, 93). Sikap represif Orde Baru terhadap Islam, dapat dilihat dalam kebijakan
fusi pertain politik, melalui UU No.3 Tahun 1975, UU No. 3 Tahun 1985, tentang penetapan
Pancasila sebagai Asas tunggal (Fatkhan 2010, 150), dan PP No.052/C/Kep.D.82 tangal 17
Maret 1982, yang merupakan larangan memakai jilbab di sekolah negeri (Darojat 2019,
86). Keadaan yang demikian, memperlihatkan ketidak berdayaan kekuatan pilitik Islam
melawan Orde Baru. Oleh karena itu, antagonis negara terhadap elompok Islam, bertujuan
untuk melindungi kekuasaan Orde Baru.
Pasca pembaharuan pemikiran politik Islam, yang dimulai pada tahun 1970-an,
negara terlihat akomodatif terhadap Islam. Karena pada tahun itu, koalisi Soeharto mulai
melemah dan keropos. Hal ini dapat dilihat dari perpecahan Abri (Abri Merah vs Abri
Hijau), dan perpecahan dalam partai politik pendukung Soeharto (Legowo, Krisnadi and
Sumartono 2013). Akomodatif negara terhadap Islam, terdiri dari akomodatif structural
dan akomodatif legislative. Akomodatif structural terlihat dengan masuknya tokoh-tokoh
pemikir Islam, kedalam birokrasi pemerintahan Orde Baru. Sedangkan akomodatif
legislative terlihat dari kemunculan UU Pendidikan Nasional, UU Pengadilan Agama,
penghapusan kebijakan pelarangan memakai jilbab di sekolah, Pembentukan Bazis (No.
4/Juli 1968) dan Baitul Mal, sebuah badan wakaf Islam (No. 5/Oktober 1968).
Penghapusan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) (Effendy 2011).
Dengan demikian, dapat dilihat akomodatif negara terhadap Islam tersebtu, tidak terlepas
dari kepentingan politik Soeharto untuk mempertahan kekuasaanya. Dan wajah antagonis
dan akomodatif relasi negara dan agama ini, memperlihatkan bahwa relasi negara dan
agama di Indonesia, sangat dipengaruhi oleh dinamika politik.
Bentuk relasi negara dan agama di Indonesia dengan dinamika politik terikat oleh
hukum klausalitas. Di mana, antagonistic, selain mendeskripsikan antagonisnya negara
terhadap agama, juga mendeskripsikan, bagaimana pemerintah mengunkan kekuatanya
untuk menekan agama sebagai kekuatan politik yang dapat membahayakan kekuasaan.
Sedangkan, akomodatif, mendeskripsikan bahwa pemerintah mengunakan kekuasaanya
sebagai alat untuk merangkul agama sebagai kekuatan politik untuk mendukung dan
mengamankan kekuasaanya. Sehingga relasi negara dan agama pun menjadi sangat
dinamis, dan semakin berkembang.
4. Negara dan Agama dalam Isu dan Simbo dalam Pilpres 2019
Dari isu dan simbol yang menguat dalam Pilpres 2019, dapat dilihat bentuk
kontestasi politik antara kelompok Islam. Isu dan simbol tersebut, memperlihatkan usaha
masing-masing kelompok Islam dalam mendukung kandidat Capres-Cawapres yang
bersaing dalam Pilpres 2019. Selain itu dari isu dan simbol yang menguat dalam Pilpres
2019, juga memperlihatkan pertarungan antara Presiden Joko Widodo dan kelompok Islam
fundamentalis, belum usai. Dan bagaimana kelompok Islam fundamentalis, mengingikan
pemerintahan Presiden Joko Widodo segera berakhir. Selain itu, dari isu-dan simbol
tersebuat juga dapat dilihat, bagaimana kelompok Islam tradisonal, berupaya untuk
memenangkan Capres Joko Widodo, supaya kelompok fundametalis, yang merupakan
pesaing ideologinya dapat kembali terpojok. Sehingga, isu dan simbol politik dalam Pilpres
2019 cenderung bermotif informatif dan propaganada.
Dua motif isu terseut dapat dilihat dalam berita politik dengan isu-isu Pemilu,
agama, dan pemimpin. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam chart berikut:
50%
45%
40%
35%
30%
25%
20%
15%
10%
5%
0%
Pemimpin Pemilu Agama
Chart 1, 1: Gamabaran Isu dengan Motifnya dalam Pilpres 2019

Dari chart tersebut, dapat dilihat bahwa, isu pemimpin, cenderung bermotif
informatif. Hal ini menunjukkan bahwa cenderung isu-isu pemimpin cenderung
mebgambarkan menegenai kedekatan kadnidat Capres dengan tokoh-tokoh Islam baik itu
dari kelompok tradisional dan kelompok fundamentalis, kesolehan, dan perhatian Capres
terhadap umat Islam. Dalam berita terkait kecurangan pemilu, isu pemilu cenderung
bermotif propaganda. Hal ini terlihat dari saling tuding kedua kubu Capres-Cawapres
tentang kecurangan Pemilu, dimana isu tersebut didasari ide pokok untuk mengubah
anggapan atau kepercayaan pablik terhadap lawan politik. Ormas Islam pedungkung
Prabwo gecar menguliskan isu bahwa kubu Jokowi telah melakukan kecurangn pemilu
secara terstruktus, sitematis dan masif (BBCNEWSIndonesia.com 2019), dan burtal
(CNNIndonesia.com 2019). Sedangkan isu agama, yang cenderung bemotif propaganada,
terlihat dalam berita-berita yang cenderung menonjolkan kesolehan, perhatian dan
kedekatan Jokowi dengan tokoh-tokoh NU. Hal ini pun bertujuan untuk mengubah
pandangan pablik terhadap Jokowi yang sering diisukan sebagai Capres yang anti Islam.
Sedangkan simbol, yang sering muncul dalam meme politik sepanjang pilpres 2019,
adalh simbol Islam dan simbol yang identik dengan pasangan Capres-Cawapre. Simbol
Islam yang sering diperguanakan , cenderung dalam bentuk gamabar tokoh kelompok
Islam, lambang ormas Islam. Sedangkan simbol yang dentik dengan capres-cawapres
cenderung muncul dalam bentuk gambar capres, nomor urut, dan sibmol jari yang identik
dengan nomor urut masing-masing Capres. Simbol-simbol yang identik dengan Capres
Jokowi, sering disandingakan dengan simbol-simbol Islam yang identik dengan kelompok
NU. Sedangakan simbol Capres Prabowo, sering disandingkan dengan simbol Islam, seperti
gamis putih, peci putih dan janggut, serta gambar Habib Rizie dan tulisan "FPI".
5. Pilpres 2019, Polarisasi Kekuatan Politik Islam
Pilres 2019, Jokowi dan Prabow adalah kandidat Capres dengan elekteblitas
tertinggi berdasarkan temuan berbagai lembaga survei (Sukirno 2018). Hal ini,
berimplikasi terhadap terjadinya polarisasi kelompok Islam (Partai dan Ormas)
taradisonal, modern, ataupun fundamentalis. Kelompok Islam tradisonal seperti NU, PKB,
PBB dan PPP, dalam Pilpres 2019 mendukung pasangan Capres-Cawapres Jokowi-Ma`ruf.
Dan kelompok Islam fundamentalis, seperti FPI, HTI, GNPF Ulama, dan PA 212, memilih
untuk mendunkung Capres-Cawapres Prabowo-Sandi. Sedangkan Kelompo Islam modern
dalam Pilpres 2019, seperti Muhammadiyah dan PAN terlihat tidak kompak,
terbelah(Mursid 2019), disatusisi, warga Muhammadiyah ada yang mendukung Jokowi-
Ma`ruf (Wicaksono 2019), dan disisi Lain ada yang mendukung Prabowo-Sandi
(Salahuddin, et al. 2020, 660). Dengan demikian, Pilpres 2019, keterlibatan kelompok
ideology Islam dalam Pilpres 2019.
Di Pilpres 2019, adalah kali pertama NU mendukung Joko Widodo sebagai Capres.
Di Pilpres 2014, NU adalah salah satu ormas Islam yang mendukung Prabowo.
Berpalingnya NU dari Prabowo, di Pilpres 2019 tidak terlepas dari tiga alasan (Fachrudin
2019). Pertama, alasan yang bersifat ideologis. Keberasdaan kelompok Islam
fundamentalis seperti FPI, HTI, GNPF Ulama, dan PA 212, dikubu Prabowo, dipandang NU
sebagai ancaman serius bagi paham al-Ahlussunnah wa al-Jama`ah yang di anut oleh NU.
Kedua, superioritas Kiai. Kebijakan Pemerintah semasa periode Pertama Jokowi yang
menguntungkan Pesantren, telah mampu meluluhkan hati para Kiai NU untuk memberikan
dukungan politik kepada Jokowi. Ketiga, secara ekonomi. Program pemberdayaan
pesantren, dengan dana dari Baznas difasilitasi OJK, dan lembaga keuangan mikro Syariah,
yang didirikan di 10 pesantren di Jawa pada akhir 2017. Selain itu, PBNU juga telah
ditunjuk sebagi mantra mentri pertanian dalam program produksi jagung dan menerima
bantuan sekitar 1,5 trilliun dari kementrian keuangan.
Di sisi lain Pilpres 2019, menjadi puncak perlawanan kelompok Islam fundamentalis
terhadap pemarjinalan yang dilakukan oleh pemerintah selama periode pertama
pemerintahan Jokowi. Terhitung semenjak pasca reformasi, kelompok Islam fundamentalis
terlihat lebih dominan dibandingkan Negara. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aksi
kekerasan yang terjadi, yang mempertemukan kelompok FPI dan Negara pasca reformasi,
seperit kasis Ambon, Poso, pelanggaran kebebasan beragan (Hasani 2009), (Halili and
Naipospos 2013), belum lagi aksi kekerasan dan pengerusakan yang dilakukan FPI
terhadap tempat hiburan malam, sepanjang bulan Ramadhan dan politik identitas di Pilgub
DKI Jakarta 2012. Namun, semenjak pemerintahan Jokowi, Negara justru telrihat dominan,
ketimbang kelompok Islam fundamentalis tersebut. Dapat dilihat dari pelantikan Ahok
sebagai gubernur DKI Jakarta, kemudian kerusuhan demonstrasi 411, dan 22 Mei 2019,
Perppu Ormas, dan pembubaran HTI.
6. Bentuk dukungan politik terhadap Capres-Cawapres
Dalam Pilpres 2019, terdapat banyak bentuk dukungan dari kelompok Islam
ideology terhadap masing-masing kandidat Capres-Cawapres, sperti bergabung dalam
koalisi partai pendukung, maupun deklarasi dukungan secara langsung. PKS dan PAN,
misalnya, yang merupakan partai politik Islam fundamentalis dan moderat, yang
bergabung dalam partai koalisi pengusung Capres Prabowo. Dan partai politik Islam PPP,
PKB, dan PBB yang merupakan partai politik Islam dengan ideology tradisional, bergabung
dalam partai koalisi pengusung Capres Joko Widodo. Keadaan ini, memeperlihatkan
terbelahnya kekuatan politik formal Islam dalam Polpres 2019.
Selain, bergabung dalam koalisi partai politik, dukungan politik terhadap kandidat
Capres juga hadir dalam bentuk deklarasi dukungan seperti ijtimak ulama (A. Mardiastuti
2018), reuni aksi 212 (Habibie 2018), atau gerakan ganti presiden (tim detik.com 2018),
yang menujukkan dukungan politik kelompok Islam fundamentalis kepada Prabowo.
Sedangkan dukungan politik dari kelompok Islam tradisonal, kepada Joko Widodo, hadir
dalam bentuk deklarasi dunkungan tokoh dari kelompok Ulama NU, dan kelompok
Muhammadiyah (Zamani 2019) (K 2019). Hal ini, memeperlihatkan memperlihatkan
keterbelahan kekuatan politik Islam tidak semata terjadi pada kekuatan politik formal,
namuan juga terjadi pada kekuatan politik non formal.
Keterbelahan kekuatan politik Islam dalam Pilpres 2019, memunculkan budaya
politik emosinal dalam Pilpres 2019. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya pertarungan
dua narasi Islam, antara Islam yang disimbolkan oleh Kiai H. Ma`ruf Amin, dan Islam yang
disimbolkan oleh kelompok ijma` ulama yang merekomendasikan Prabowo sebagai Capres.
Selain itu, isu ke-Islaman dan kebangsaan seperti pro-Islam atau anti-Islam (Idris 2019),
ke-Islaman Capres (Fadhil 2018), (Rosana 2018), memilih Capres tertentu masuk surga
(Florentin dan Persada 2018), (Putri 2018), (Taufiq Siddiq 2018), (Nurita dan Hartono
2018), keterlibatan Capres/Cawapres dengan kelompok radikal (Anggiriawan dan
Wijanarko 2019), (Nurita dan Kurnawati 2019), memadati ruang media informasi online
dan media sosial. Hal ini, menyebabkan terjadi perpecahan kubu yang tidak rasional,
munculnya label-label kolompok anti Islam, bela ulama, hingga bela pancasila (Sidik 2019).
Dan keadaan ini memeperliatkan, bahwa dalam Pikpres 2019, budaya politik emosional ini,
semakin memeprtegas keberadaan politik identitas yang meperlihatkan keterbelahan
anatara kelompok tradisonal dan kelompok fundamentalis.
7. Pasca Pilpres 2019
Pada tanggal 21 April 2019, KPU mengumumkan kemenagan telak Capares Joko
Widodo, atas pesainganya Prabowo Subianto, dengan total perolehan suara 55,50%, di 21
provinsi (bbc.com 2019). Kemenangan tersebut, menadap protes dari kelompok-kelompok
Islam pendukung Prabowo Subianto (Kurniawati 2019). Kelompok tersebut, yang
mendaulat diri sebagai kelompok people power, yang memandang aksi mereka sebagai
jihat (CNNIndonesia.com 2019). Gerakan people power tersebut, berujung ricuh. Dalam
kerusuhan tersebut, kepolisian sebagai alat negara bersikap represif, dan kelompok Islam
yang terlibat pun membalasi sikap represif tersebut dangan perlawanan fisik. Sehingga
jatuhnya korban tidak dapat dihindarkan. Dalam kontek ini, hubungan negara dengan
kelompok Islam pendukung Prabowo pun, semakin menegang.
Selain itu, ketegangan antara negara dengan kelompok Islam pendukung Prabowo
pun, juga terlihat dari isu pembubaran FPI. Setali tiga uang dengan HTI, pasca Pilpres 2019,
pada 10 Juni 2019, media social twitter diramaikan oleh topok #BubarkanFPI. Di sisi lain,
petisi yang mendukung pencabutan izin Ormas FPI pun tembus 400 ribu
(CNNIndonesia.com 2019), pembicaraan ini muncul kepermukaan, disebabkan oleh
beredarnya kabar soal izin FPI sebagai Ormas akan berakhir pada 20 Juni 2019, di
Kemendagri. Presiden Jokowi, kemungkinan tidak memperpanjang izin organisasi garis
keras Front Pembela Islam (FPI) (Gatra.com 2019). Jokowi mengatakan kepada media
asing The Associateed Press (AP) bahwa “sepenuhnya memungkinkan” baginya untuk
melarang Front Pembela Islam (FPI) yang berhaluan keras dalam masa jabatan
limatahunya yang kedua (Piring 2019). Selain itu Jokowi juga menekankan pelarangan FPI
ini akan dilakukan jia FPI tidak sejalan dengan ideologi bangsa dan mengancam keamanan
NKRI (detik.com 2019). Dengan demikian, dapat dilihat, bahw adalam pemerintahan Joko
Widodo, negara terlihat semakin keras terhadap kelompok Islam pendukung Prabowo.
8. Relasi Antara Negara dan Agama
Dalam pandangan Bahtiar Effendi (Effendy 2011), relasi negara dan Islam, di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi politik. Sehingga Effendi, menyimpulkan dua
bentuk relasi negara dan agama di Indonesia, yaitu antagonistic dan akomodatif. Bentuk
antagonistic adalah bentuk di mana, pemerintaha terlihat dominan, dan melakukan
pembantasan ruang gerak kekuatan politik Islam, untuk melanggengkan kekuasaan Orde
Baru. Sementara bentuk relasi akomodatif terjadi di sepertiga akhir kekuasaan
pemerintahan Orde Baru. Dimana, pada saat itu, pemerintah mengakomodasi kepentingan
kelompok Islam. Dan tindakan tersebut, terbapaksa diambil oleh Soeharto untuk
mempertahankan kekasaanya, pasalnya, Golkar dan TNI sudah mulai enggan untuk
mendukung melanggegkan kekuasaan Soeharto. Sehingga, relasi negara dan Islam pada
saat itu, sangat dipengaruhi oleh kehendak Soeharto untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaannya.
Sikap politik, Soeharto kala itu, telah jelas tidak ambigu sama sekali. Sehingga relasi
negara dan agama sangat amat mudah untuk dibaca, dan diberinama. Sementara, paca
revormasi, di mana kelompok Islam fundamentalis mulai bermunculan, menunjukkan
eksistensi mereka, dan pengaruh politik mereka, bentuk relasi negara dan agama, mulai
sukar untuk di ungkapkan dengan akomodatif atau antagonistic, terlebih semenjak Joko
Widodo mejadi Presiden Indonesia. Semenjak pemerintahan Joko Widodo, kebijakan
negara terhadap Islam terlihat ambigu. Kebijakan-kebijakan pemerintah, di satu sisis
memihak kepada kelompok Islam tradisonal, dan di sisi lain menyudutkan kelompok Islam
fundamental, semakin mempertegas persebrangan antara kelompok Islam tradisonal dan
fundamental. Oleh karena keambiguan sikap pemerintah terhadap Islam ini, membuat
relasi negara dan agama menjadi sebuah hubungan yang paradiks.

Anda mungkin juga menyukai