“ARTIKEL KASUS”
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3
(2021-2022)
ARTIKEL KASUS SISTEM POLITIK DAN
KETATANEGARAAN INDONESIA
Sejauh ini demam pemilu meski menghangat tetapi masih wajar. Dinamika
politik yang kontributif jadi modal awal menggembirakan menapak 2022. Ada
beberapa fenomena politik sebagai modal memantapkan stabilitas politik. Bagi
negara demokrasi, ritual eskalasi suhu politik merayakan pesta kedaulatan rakyat
menjelang pemilu sudah lazim.
Janji AS
Setiap negara wajib memiliki hukum dasar yang dijadikan pedoman suatu
negara dalam penyelenggaraan negara tersebut. Hukum dasar tersebut diamakan
konstitusi, konstitusi juga dapat disebut sebagai hukum tertinggi dalam suatu
negara. Konstitusi dalam suatu negaa memuat landasan dan aturan-aturan, jika
suatu negara tidak memiliki konstitusi sudah dipastikan negara tersebut tidak
memiliki aturan dan landasan yang otomatis negara tersebut akan berantakan
karena masyarakat bertindak sesuai kehendaknya masing-masing tanpa dilandasi
aturan.
Nah, perkembangan ini sangat penting untuk kita cermati karena hal ini
juga akan mempengaruhi suprastruktur dan insfrastruktur politik yang ada
diberbagai negara di dunia termasuk di Indonesia. Di Indonesia sendiri sebenarnya
efek dari perubahan 30 tahun yang lalu itu sudah terasa sekitar 10 tahun setelah
perubahan itu terjadi atau kira-kira 20 tahun dari sekarang. Dimana ketika proses
reformasi politik terjadi masyrakat terutama kalangan mahasiswa itu banyak
menyuarakan tentang perlunya penghormatan terhadap HAM. Sejak saat itu
banyak sekali peraturan perundang-undangan yang diterbitkan baik secara
langsung maupun tidak langsung mengatur HAM itu mengandung prinsip-prinsip
HAM baik yang sifatnya nasional maupun internasional. Hal-hal yang dulu hanya
menjadi perdebatan kemudian bisa terwujud di dalam peraturan perundang-
undangan nasional. Kemudian dari sisi praktek banyak terjadi perubahan2 sikap
dari semula cenderung terjadi banyak pelanggaran ham terutama pelanggaran ham
berat kemudian ada upaya menghindari terjadinya perubahan-perubahan itu.
Serta UUD 1945 Pasal 28C ayat (1) yaitu "Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia". Apa yang terjadi dari pembatasan diskusi tersebut dinilai bertentangan
dengan HAM dan nilai demokrasi.
Sidang yang awalnya dijadwalkan tanggal 8 Oktober itu pun dimajukan jadi
tanggal 5 Oktober 2020 tanpa alasan yang crystal clear yang diungkapkan ke
publik. Bahkan proses pengesahan pun diwarnai dengan adanya aksi walk out
oleh sejumlah anggota Fraksi Partai Demokrat, lantaran pimpinan sidang yang
tidak akomodatif terhadap interupsi koleganya sendiri. Apalagi ditambah dengan
kenyataan bahwa tidak ada satu anggota DPR pun, termasuk anggota Badan
Legislasi (Baleg), yang merasa memegang versi mutakhir dari RUU yang
mengulas perubahan dari 79 UU ini. Kini, rakyat kembali disuguhi dengan fakta
bahwa paling kurang ada 5 versi RUU yang bertebaran di media sosial, sebagai
sarana yang saat ini paling dipercaya oleh masyarakat.
Dalam proses pembahasan anggota Dewan yang terhormat ini juga terkesan
bermain petak umpet sepanjang proses pembahasan pada Pembicaraan tingkat 1.
Rajinnya anggota dewan yang menggelar 64 kali rapat yang dilakukan nonstop
Senin-Minggu, pagi hingga malam dan bahkan juga di masa reses, ini juga patut
dicurigai. Karena terkesan tidak ingin diketahui publik, sehingga partisipasi
masyarakat yang dikehendaki oleh UU P3 pun tercederai. Padahal, resesnya
anggota Dewan adalah masa yang seharusnya digunakan untuk melaksanakan
fungsi representasi dengan mengadakan pertemuan dengan konstituen masing-
masing. Dan lagi-lagi akibatnya, aspirasi masyarakat yang seharusnya bisa
terakomodasi dengan baik melalui kegiatan anggota Dewan di masa reses ini pun
kembali menjadi korbannya.
Rapat paripurna untuk mengesahkan RUU yang sangat kontroversial ini, juga
terkesan terburu-buru. Karena awalnya rapat paripurna terjadwal pada tanggal 8
Oktober 2020. Namun tanpa ada penjelasan, tiba-tiba last minute rapat dimajukan
menjadi tanggal 5 Oktober 2020. Yang paling menyedihkan, tak satu pun anggota
Dewan yang pegang naskah final RUU Cipta Kerja. Alasannya, kabarnya karena
naskahnya masih dalam perbaikan. Lalu apa yang diketuk untuk disahkan saat
sidang paripurna itu? Sepanjang Republik ini berdiri, rasanya baru kali ini terjadi
praktik dimana anggota Dewan celingukan pada saat Sidang Paripurna
pengesahan RUU menjadi UU, lantaran tidak pegang naskah final dari suatu
RUU.
Puncak dari segala kontroversi ini adalah adanya beberapa versi naskah yang
justru mencuat setelah RUU tersebut katanya dinyatakan telah disahkan dalam
rapat paripurna 5 Oktober 2020. Setidaknya ada beberapa versi, yakni 1.028, 905,
1.052, 1.035 dan 812 halaman. Dalam hal ini, maka sangat tidak berdasar
manakala Polri menjadikan beberapa aktivis sebagai tersangka penyebaran hoaks.
Karena tak ada satu pun warga yang mengetahui secara pasti versi yang mana
yang dianggap sebagai the final version dari RUU dimaksud. Karena itu, sangat
beralasan apabila ada yang terpikir bahwa penangkapan sejumlah aktivis itu tak
lain adalah semacam presidential prank.
Terakhir, menurut penuturan Aziz Syamsudin (Wakil Ketua DPR RI), draft
final yang akan dikirim ke Presiden adalah yang versi 812 halaman, termasuk
penjelasan batang tubuhnya. Berdasarkan hasil penelusuran PSHTN FHUI, jika
dibandingkan antara naskah RUU versi 812 halaman (filenya berjudul “ruu-cipta-
kerja-12-oktober-2020-final”) dengan versi 1035 halaman (filenya berjudul “RUU
Cipta Kerja – KIRIM KE PRESIDEN”), terdapat beberapa penambahan substansi
baru yakni di antara Bab VIA, Bab VI, dan Bab VII. Bab ini mengatur
tentang Kebijakan Fiskal Nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi.
Jika benar ini yang terjadi, maka ini sudah luar biasa pelanggarannya. Bahkan
perubahan titik-koma saja sudah bisa merubah makna dari suatu norma
pengaturan, apatah lagi penambahan beberapa norma baru setelah sidang
paripurna pengesahan.
Mengecam segala bentuk aksi anarkis yang dilakukan oleh oknum anggota
masyarakat maupun tindakan represif yang dilakukan oleh oknum anggota POLRI
dengan menggunakan kekerasan yang di luar kewajaran, baik terhadap para
demonstran, maupun terhadap para jurnalis yang sedang menjalankan amanah
sesuai profesinya. Kepolisian seharusnya bisa memberi keteladanan dan menahan
diri untuk tidak bertindak represif dan menghindari jatuhnya korban.
12) Sidang Uji Materi, Ahli Singgung soal Kuorum Rapat Revisi UU KPK
di DPR
"Selain itu forum konsultasi publik merupakan refleksi dari pelaksanaan hak
untuk didengar," kata Susi.
Untuk diketahui, sejak disahkan oleh DPR pada September 2019 lalu, UU KPK
hasil revisi digugat oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu
gugatan diajukan oleh pimpinan KPK masa jabatan 2015-2019. Mereka adalah
Agus Rahardjo, Laode M Syarief, dan Saut Situmorang.
Selain ketiga nama itu, gugatan juga dimohonkan sepuluh pegiat anti korupsi,
antara lain eks pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan Mochamad Jasin
serta beberapa nama lain, yaitu Betty Alisjahbana, Ismid Hadad, dan Tini H.