Anda di halaman 1dari 12

PANCASILA

“ARTIKEL KASUS”

“SISTEM POLITIK DAN KETATANEGARAAN INDONESIA”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 3

ALDA SASMITHA (BT2101031)

ERRINA SULISTIAWATI (BT2101091)

MARIA ULVA (BT2101041)

RISMA PRATIWI R ( BT2101052 )

NIDIA LESTARI (BT2101048)

AKADEMI KEPERAWATAN BATARITOJA BONE

Jln. Majang No.17 Watampone

(2021-2022)
ARTIKEL KASUS SISTEM POLITIK DAN
KETATANEGARAAN INDONESIA

1) Tahun 2022: Memantapkan Stabilitas Politik

Sejauh ini demam pemilu meski menghangat tetapi masih wajar. Dinamika
politik yang kontributif jadi modal awal menggembirakan menapak 2022. Ada
beberapa fenomena politik sebagai modal memantapkan stabilitas politik. Bagi
negara demokrasi, ritual eskalasi suhu politik merayakan pesta kedaulatan rakyat
menjelang pemilu sudah lazim.

Riuh rendah festival rakyat mulai dirasakan intensitasnya melalui media


sosial terkait wacana dukungan calon presiden dan wakil presiden serta main
tebak pasangan mereka;  juga  dengan pemasangan ribuan baliho raksasa  capres
dan cawapres 2024 di berbagai pelosok Tanah Air. Gairah tersebut hampir
dipastikan  meningkat sejalan makin dekatnya pesta akbar demokrasi 2024.
Sejauh ini demam pemilu meski menghangat, tetapi  masih wajar. Dinamika
politik yang kontributif merupakan modal awal menggembirakan menapak tahun
2022.

2) Janji Blinken Menata Keamanan Indo-Pasifik?

Pertemuan Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS), Anthony


Blinken, dengan Presiden Joko Widodo menjadi peristiwa menarik. Pertemuan itu
merupakan simbol bahwa AS ingin hadir (kembali) di kawasan Indo-Pasifik ini.
Kunjungan Blinken ke Asia Tenggara tak ayal menunjukkan peningkatan
signifikan dari urgensi kawasan ini bagi AS di masa pemerintahan Presiden Joe
Biden.

Jika lawatan Wakil Presiden AS Kamala Harris merupakan tanda awal


kembalinya AS, maka kedatangan Blinken menempatkan Indo-Pasifik sebagai
kawasan penting bagi geopolitik AS. Dalam tur geopolitiknya, Blinken
menempatkan Indonesia sebagai negara pertama yang dikunjungi. Kunjungan
Blinken ini adalah kunjungan pertamanya ke Asia Tenggara sejak Presiden AS
Joe Biden dilantik pada Januari 2021.

Tujuan utama Menlu Blinken mengunjungi kawasan itu adalah


mempertontonkan komitment dan strategi AS menghadapi China. Dengan tujuan
itu, Blinken menekankan prioritas utama kebijakan luar negeri AS, yaitu
menentang China yang semakin asertif dan mengkritik China telah melakukan
tindakan intimidatif dan tekanan regional, terutama di Laut China Selatan.

Sebagai bagian penting dari kawasan Indo-Pasifik, Asia Tenggara


tampaknya menjadi salah satu panggung global dalam persaingan antara AS dan
China. Selain itu, posisi AS dan China sebagai dua ekonomi terbesar dunia juga
menimbulkan dinamika geo-ekonomi dunia.

Dengan alasan itu, kunjungan Menlu Blinken hendak mewujudkan


kebijakan Biden, yaitu meningkatkan keterlibatan AS dengan 10 negara anggota
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Janji AS

Dalam pidatonya di Indonesia pada Selasa (14/12/2021), Blinken menjelaskan dua


janji AS bagi stabilitas keamanan di kawasan Indo-Pasifik. Pertama adalah janji
Washington bekerja sama dengan sekutu dan mitranya untuk mempertahankan
tatanan berbasis aturan. AS ingin memastikan kebebasan navigasi di Laut China
Selatan dan menegaskan bahwa tindakan Beijing di LCS telah mengancam
pergerakan perdagangan senilai lebih dari 3 triliun dollar AS setiap tahun.

3) Di Kepemimpinan AHY, Partai Demokrat Serius Memperjuangkan


Kesejahteraan Guru Honorer, Buruh, dan Tani

Kongres Partai Demokrat ke V pada tahun 2020 lalu menjadikan AHY


sebagai Ketua Umum Partai berlambang mercy tersebut. AHY mendapatkan
dukungan penuh dari seluruh DPD dan DPC yang ada di Indonesia dan membuat
dirinya terpilih secara aklamasi. Semenjak kepemimpinannya, Banyak legislator
yang bersuara lantang di parlemen untuk menyuarakan apa yang menjadi
keinginan rakyat. Fraksi Partai Demokrat semakin lebih garang untuk membela
rakyat dan memberikan program-program nyata yang terasa oleh rakyat, terutama
di bidang pendidikan, perburuhan, dan pertanian.

4) Menilik Kepemimpinan Politik Dinasti di Kabupaten Klaten Politik


Dinasti Klaten

Hubungan kekerabatan atau keluarga dekat dalam dunia politik dikenal


dengan sebutan politik dinasti atau kepemimpinan dinasti. Politik dinasti
merupakan fenomena politik di mana calon dari kepala pemerintahan yang akan
berkuasa, berasal dari keluarga yang sama atau ada hubungan kekerabatan dengan
penguasa sebelumnya.
Park (2008) mengartikan politik dinasti sebagai praktik keluarga politik
tradisional yang mendominasi kekuasaan politik dan jabatan publik secara turun
menurun. Politik dinasti adalah lawan dari demokrasi. Sebab di dalam demokrasi
pemimpin atau kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Maka, sejatinya
praktik politik dinasti ini negara demokrasi adalah tidak ada, apalagi di Indonesia
yang mengakui adanya kepemilikan negara oleh rakyat, bukan keluarga atau
kelompok tertentu saja.

5) Uang Jajan' Cuma Diberi Rp 639 Juta, Partai Politik di Bontang


Mengeluh

Pemerintah Kota (Pemkot) Bontang menyalurkan dana hibah bantuan ke


partai politik (Parpol) tahun ini sebesar Rp 639.380.000. Uang jajan alias dana
bantuan parpol itu diterima sesuai hasil rekapitulasi Pemilu Legislatif  (Pileg) di
2019 lalu.

Setiap partai yang memperoleh kursi di parlemen Bontang, akan menerima


bantuan ini. Ada 9 parpol yang berada di DPRD Bontang menerima bantuan
hibah, setiap perolehan suara dihitung Rp 7.500. 

Kepala Bidang Politik Dalam Negeri dan Organisasi Kemasyarakatan,


Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Marwati mengatakan, dana
tersebut sebenarnya diperuntukkan untuk pendidikan politik dan operasional
sekretariat.  Secara penggunaan anggaran yang dialokasikan harus 51 persen
untuk pendidikan politik dan 49 persen khusus operasional sekretariat. 

Menyikapi alokasi anggaran tersebut, Ketua Partai Dewan Pimpinan


Daerah (DPD) Golkar Andi Faizal Sofyan Hasdam mengatakan, nilai tersebut
tidak cukup untuk membiayai pendidikan politik partai dan operasional
Sekretariat. Pasalnya, ongkos dunia perpolitikan di Indonesia masih cukup besar.

6) Pilpres 2024 Dprediksi Ada 3 Kubu Koalisi Parpol, Pengamat:


Peluang saat Ini Masih Sama

Pemilihan Presiden di tahun 2024 nanti diprediksi akan diramaikan oleh 3


poros koalisi partai politik (parpol). Masing-masing poros disebut akan terdiri dari
2-4 partai politik yang berkoalisi.

Melansir Wartaekonomi.co.id -- jaringan Suara.com, Direktur Eksekutif


Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto menilai bahwa ada tiga poros
koalisi yang akan terbentuk di Pilpres 2024.
Hari menyebut, poros pertama akan dihuni oleh dua parpol besar yaitu
PDIP dan Partai Gerindra. Koalisi kedua diisi oleh Partai Golkar, Nasdem, dan
PKB. Sedangkan kubu ketiga merupakan koalisi Partai Demokrat, PPP, PKS, dan
PAN.

7) Sistem Penyelenggaraan Negara Sebelum dan Sesudah Amandemen


UUD 1945

Indonesia merupakan negara hukum, seperti tercantum dalam pasal 1 ayat


(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berisi
tentang negara Indonesia merupakan negara hukum yang mengandung pengertian
bahwa segala tatanan dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara
didasarkan atas hukum yang berlaku. Hukum yang berlaku memiliki sifat
memaksa dan mengatur, dimana setiap masyarakat diwajibkan untuk taat pada
aturan atau hukum yang berlaku, dan apabila melanggar akan dikenakan sanksi.

Setiap negara wajib memiliki hukum dasar yang dijadikan pedoman suatu
negara dalam penyelenggaraan negara tersebut. Hukum dasar tersebut diamakan
konstitusi, konstitusi juga dapat disebut sebagai hukum tertinggi dalam suatu
negara. Konstitusi dalam suatu negaa memuat landasan dan aturan-aturan, jika
suatu negara tidak memiliki konstitusi sudah dipastikan negara tersebut tidak
memiliki aturan dan landasan yang otomatis negara tersebut akan berantakan
karena masyarakat bertindak sesuai kehendaknya masing-masing tanpa dilandasi
aturan.

Konstitusi di Indonesia ialah Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 yang di resmikan pertama kali pada tanggal 18 Agustus
2018, yang berisi nilai-nilai luhur bangsa. Semua tatanan kenegaraan di Indonesia
dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selama 76 tahun Indonesia merdeka,
UUD 1945 telah mengalami amandemen sebanyak 4 kali. Amandemen pertama
disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999, amandemen kedua ditetapkan pada
tanggal 18 Agustus 2000, amandemen ketiga ditetapkan pada tanggal 9 November
2001, dan amandemen keempat ditetapkan pada tanggal 9 November 2002.

8) Perkembangan HAM dalam Kaitan Geopolitik dan Ketatanegaraan


di Dunia Internasional serta Efeknya bagi Indonesia

Sebagaimana kita ketahui 30 tahun terakhir ini, banyak sekali


perkembangan yang terjadi secara geopolitik di dunia internasional. Beberapa
negara yang semula merupakan negara yang tergolong totaliter atau undemocracy
state itu kemudian berubah menjadi negara-negara yang demokratis. Sehingga
secara otomatis hal itu menimbukan penghormatan terhadap berbagai aspek
ketatanegaraan termasuk aspek HAM. Hal ini terjadi dari selatan Afrika sampai ke
beberapa benua di dunia ini temasuk Indonesia. Perkembangan itu paling tidak
memberikan pengaruh kedalam tiga aspek, yaitu adalah aspek akademis,
perkembangan ketatanegaraan itu sendiri dan terkait aspek seni.

Dari sisi akademik sebagaimana kita ketahui di berbagai Universitas atau


pusat studi di berbagai belahan dunia muncul kajian-kajian dan mata-mata kuliah
baru di bidang HAM baik yang sifatnya lokal maupun internasional. Kemudian
dibidang praktek ketatanegaraan terjadi berbagai perubahan konstitusi dan
peraturan perundang-undangan yang mengarah kepada mewujudkan suatu negara
yang menghormati hak asasi manusia (HAM). Dari sisi seni juga muncul karya-
karya seni yang menggambarkan bagaimana pristiwa transisi politik itu terjadi
misalnya kita melihat ada satu lagi dari kelompok musik scorpion yang berjudul
line of jeans yang juga menceritakan proses perubahan politik yang terjadi di Uni
Soviet dan berbagai negara eropa lainnya.

Nah, perkembangan ini sangat penting untuk kita cermati karena hal ini
juga akan mempengaruhi suprastruktur dan insfrastruktur politik yang ada
diberbagai negara di dunia termasuk di Indonesia. Di Indonesia sendiri sebenarnya
efek dari perubahan 30 tahun yang lalu itu sudah terasa sekitar 10 tahun setelah
perubahan itu terjadi atau kira-kira 20 tahun dari sekarang. Dimana ketika proses
reformasi politik terjadi masyrakat terutama kalangan mahasiswa itu banyak
menyuarakan tentang perlunya penghormatan terhadap HAM. Sejak saat itu
banyak sekali peraturan perundang-undangan yang diterbitkan baik secara
langsung maupun tidak langsung mengatur HAM itu mengandung prinsip-prinsip
HAM baik yang sifatnya nasional maupun internasional. Hal-hal yang dulu hanya
menjadi perdebatan kemudian bisa terwujud di dalam peraturan perundang-
undangan nasional. Kemudian dari sisi praktek banyak terjadi perubahan2 sikap
dari semula cenderung terjadi banyak pelanggaran ham terutama pelanggaran ham
berat kemudian ada upaya menghindari terjadinya perubahan-perubahan itu.

9) Kasus CLS FH UGM, Mekanisme Pemberhentian Presiden dan


Kemungkinannya

Media sosial sedang ramai mengenai diskusi "Persoalan pemecatan


presiden di tengah pandemic ditinjau dari system ketatanegaraan" yang diadakan
oleh Constitutional Law Society (CLS) FH UGM yang dianggap gerakan makar.
Namun di sisi lain hal tersebut menjadi sebuah pembatasan kebebasan akademik.
Padahal UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) menjelaskan bahwa "Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat".

Serta UUD 1945 Pasal 28C ayat (1) yaitu "Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia". Apa yang terjadi dari pembatasan diskusi tersebut dinilai bertentangan
dengan HAM dan nilai demokrasi.

Diskusi yang dilakukan CLS FH UGM dapat memberi pencerdasan kepada


publik bahwa pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden haruslah
memenuhi syarat dan ketentuan hukum yang sudah diatur di UUD 1945.

Syarat pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden menurut UUD


1945 Pasal 7A menjelaskan bahwa "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas
usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden".

10) Cara berpolitik Melalui Suprastruktur Dan Infrastruktur Politik

Yang termasuk dalam Suprastruktur politik adalah emu lembaga-lembaga


negara yangtersbut di dalam konstitusi negara = termasuk ungsi legislati!
eksekuti! danyudikati.)alam $enyusunan keputusan-keputusan kebijaksanaan
diperlukan adanyakekuatan yang seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik
antara suprastruktur dan rastruktur politik sehingga memudahkan terwujjudnya
cita-cita dan tujuan-tujuanmasyarakat Negara. Dalam hal ini yang dimaksud
suprastruktur politik adalah lembaga-lembaga Negara. Lembaga-lembaga tersebut
di indonesia diatur dalam UDD) yakni MPR, DPD, DPR! Presiden dan Wakil
Presiden Mahkamah Agung! Mahkamah Konstitusi Komisi Yudisial.Cembaga-
lembaga ini yang akan membuat keputusan-keputusan yang berkaitan
dengankepentingan umum. dan yang ada di masyarakat seperti Satpo mas media
massa dan Kelompok kepentingan (Interest Group), Kelompok penekan Sresure
group AlatMedia Komunikasi solitik Tokoh pllitik solitical figure, dan pranata
politik lainnya adalahmerupakan infrastruktur politik, melalui badan-badan inilah
masyarakat dapat menyalurkanaspirasinya. Tuntutan dan dukungan sebagai input
dalam proses pembuatan keputusan.)engan adanya partisipasi masyarakt
diharapkan keputusan yang dibuat pemerintah sesuaidengan aspirasi dan
kehendak rakyat.

11) RUU Cipta Kerja: Proses Legislasi Yang Ugal-Ugalan

Berdasarkan UU No. 12 tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU


No. 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU
P3), terdapat 5 tahapan proses legislasi. Yakni, tahap perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan dan pengundangan. Sejak mulai dari proses
perencanaan, Presiden Jokowi telah menyampaikan akan menerbitkan omnibus
law pada saat pidato presiden di hadapan MPR saat pelantikan untuk periode
kedua. Sejak saat itu, presiden dengan bangganya mempromosikan metode ini di
hadapan beberapa tamu negara sahabat.

Kemudian, memasuki tahap penyusunan yang juga diawali dengan terbitnya


Surpres (Surat Presiden) per tanggal 7 Februari 2020. Pembahasan pun nyaris
luput perhatian publik lantaran rapat-rapat lebih sering diselenggarakan di hotel.
Sementara warga sedang fokus dengan pandemi, dan kebalikannya anggota
Dewan juga seakan tak peduli dengan Covid-19. Lalu sekonyong-konyong Dewan
merasa sudah cukup dengan proses pembahasan dan beranjak pada proses
selanjutnya yakni tahap pengesahan di sidang paripurna

Sidang yang awalnya dijadwalkan tanggal 8 Oktober itu pun dimajukan jadi
tanggal 5 Oktober 2020 tanpa alasan yang crystal clear yang diungkapkan ke
publik. Bahkan proses pengesahan pun diwarnai dengan adanya aksi walk out
oleh sejumlah anggota Fraksi Partai Demokrat, lantaran pimpinan sidang yang
tidak akomodatif terhadap interupsi koleganya sendiri. Apalagi ditambah dengan
kenyataan bahwa tidak ada satu anggota DPR pun, termasuk anggota Badan
Legislasi (Baleg), yang merasa memegang versi mutakhir dari RUU yang
mengulas perubahan dari 79 UU ini. Kini, rakyat kembali disuguhi dengan fakta
bahwa paling kurang ada 5 versi RUU yang bertebaran di media sosial, sebagai
sarana yang saat ini paling dipercaya oleh masyarakat.

PSHTN FHUI menilai bahwa proses pembentukan undang-undang saat ini


bukan lagi kotor, namun sudah sangat jorok. Adapun hal ini disebabkan karena

Perumusan UU dengan metode omnibus, tidak dikenal dalam UU tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Padahal pada tahun 2019,
pembentuk UU sempat melakukan amandemen UU P3 dimaksud. Namun
sayangnya momentum tersebut tidak digunakan untuk merancang metode
omnibus, agar terbentuk payung hukum bagi metode yang sama sekali baru dalam
sejarah perundang-undangan di negeri ini.

Adanya Satgas Omnibus Law yang dituangkan dalam Keputusan Menteri


Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 378 Tahun 2019. Satgas ini bertugas
untuk melakukan konsultasi publik Omnibus Law Penciptaan Lapangan Kerja dan
Perpajakan serta melakukan inventarisasi masalah dan memberikan masukan
dalam rangka penyempurnaan regulasi hasil konsultasi publik. Problemnya, satgas
ini dipimpin oleh Ketua Umum KADIN (Kamar Dagang dan Industri) dan
melibatkan sejumlah pengusaha. Maka tak heran jika kemudian publik mencurigai
adanya konflik kepentingan dari para pengusaha tersebut untuk terlibat
mempengaruhi substansi dalam materi pengaturan RUU dimaksud.

Dalam proses pembahasan anggota Dewan yang terhormat ini juga terkesan
bermain petak umpet sepanjang proses pembahasan pada Pembicaraan tingkat 1.
Rajinnya anggota dewan yang menggelar 64 kali rapat yang dilakukan nonstop
Senin-Minggu, pagi hingga malam dan bahkan juga di masa reses, ini juga patut
dicurigai. Karena terkesan tidak ingin diketahui publik, sehingga partisipasi
masyarakat yang dikehendaki oleh UU P3 pun tercederai. Padahal, resesnya
anggota Dewan adalah masa yang seharusnya digunakan untuk melaksanakan
fungsi representasi dengan mengadakan pertemuan dengan konstituen masing-
masing. Dan lagi-lagi akibatnya, aspirasi masyarakat yang seharusnya bisa
terakomodasi dengan baik melalui kegiatan anggota Dewan di masa reses ini pun
kembali menjadi korbannya.

Rapat paripurna untuk mengesahkan RUU yang sangat kontroversial ini, juga
terkesan terburu-buru. Karena awalnya rapat paripurna terjadwal pada tanggal 8
Oktober 2020. Namun tanpa ada penjelasan, tiba-tiba last minute rapat dimajukan
menjadi tanggal 5 Oktober 2020. Yang paling menyedihkan, tak satu pun anggota
Dewan yang pegang naskah final RUU Cipta Kerja. Alasannya, kabarnya karena
naskahnya masih dalam perbaikan. Lalu apa yang diketuk untuk disahkan saat
sidang paripurna itu? Sepanjang Republik ini berdiri, rasanya baru kali ini terjadi
praktik dimana anggota Dewan celingukan pada saat Sidang Paripurna
pengesahan RUU menjadi UU, lantaran tidak pegang naskah final dari suatu
RUU.

Puncak dari segala kontroversi ini adalah adanya beberapa versi naskah yang
justru mencuat setelah RUU tersebut katanya dinyatakan telah disahkan dalam
rapat paripurna 5 Oktober 2020. Setidaknya ada beberapa versi, yakni 1.028, 905,
1.052, 1.035 dan 812 halaman. Dalam hal ini, maka sangat tidak berdasar
manakala Polri menjadikan beberapa aktivis sebagai tersangka penyebaran hoaks.
Karena tak ada satu pun warga yang mengetahui secara pasti versi yang mana
yang dianggap sebagai the final version dari RUU dimaksud. Karena itu, sangat
beralasan apabila ada yang terpikir bahwa penangkapan sejumlah aktivis itu tak
lain adalah semacam presidential prank.

Terakhir, menurut penuturan Aziz Syamsudin (Wakil Ketua DPR RI), draft
final yang akan dikirim ke Presiden adalah yang versi 812 halaman, termasuk
penjelasan batang tubuhnya. Berdasarkan hasil penelusuran PSHTN FHUI, jika
dibandingkan antara naskah RUU versi 812 halaman (filenya berjudul “ruu-cipta-
kerja-12-oktober-2020-final”) dengan versi 1035 halaman (filenya berjudul “RUU
Cipta Kerja – KIRIM KE PRESIDEN”), terdapat beberapa penambahan substansi
baru yakni di antara Bab VIA, Bab VI, dan Bab VII. Bab ini mengatur
tentang Kebijakan Fiskal Nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi.
Jika benar ini yang terjadi, maka ini sudah luar biasa pelanggarannya. Bahkan
perubahan titik-koma saja sudah bisa merubah makna dari suatu norma
pengaturan, apatah lagi penambahan beberapa norma baru setelah sidang
paripurna pengesahan.

Menanggapi hal tersebut diatas, PSHTN FHUI menyatakan sikap sebagai


berikut:

Mendesak Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perppu yang mencabut UU


Cipta Kerja, segera setelah RUU tersebut resmi menjadi UU. Seraya memastikan
agar partai koalisi pendukung pemerintah yang ada di DPR RI untuk tidak lagi
melakukan proses legislasi yang ugal-ugalan macam saat ini, di masa yang akan
datang.

Mendukung penuh setiap penyampaian aspirasi dari berbagai elemen


masyarakat dalam bentuk apapun sebagai perwujudan dari kebebasan berekspresi
dan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan, dengan tetap memperhatikan
koridor hukum.

Manakala Presiden enggan untuk menerbitkan Perppu pencabutan UU Cipta


Kerja, maka PSHTN FHUI menyerukan kepada warga masyarakat untuk bersiap-
siap untuk menempuh jalur konstitusional dengan menjadi pemohon dalam
pengujian formiil maupun materiil terhadap UU Cipta Kerja ke Mahkamah
Konstitusi, serta tetap menjaga akal sehat untuk senantiasa bersikap kritis terhadap
setiap kejanggalan yang dilakukan oleh pemerintah maupun DPR RI.

Mengecam segala bentuk aksi anarkis yang dilakukan oleh oknum anggota
masyarakat maupun tindakan represif yang dilakukan oleh oknum anggota POLRI
dengan menggunakan kekerasan yang di luar kewajaran, baik terhadap para
demonstran, maupun terhadap para jurnalis yang sedang menjalankan amanah
sesuai profesinya. Kepolisian seharusnya bisa memberi keteladanan dan menahan
diri untuk tidak bertindak represif dan menghindari jatuhnya korban.

Mendesak KAPOLRI sebagai pimpinan tertinggi di bawah Presiden yang


bertanggung jawab pada sektor keamanan negara, untuk melepas semua aktivis
yang dituding menyebarkan hoaks karena pikiran tidak bisa dikriminalkan.
Apalagi dasar tudingan penyebaran kebohongannya itu pun ada banyak versi.
Seiring dengan itu, juga mendesak agar pimpinan POLRI untuk memproses
hukum semua oknum POLRI yang menggunakan kekerasan terhadap aksi warga
negara yang telah dijamin dalam konstitusi republik ini. Keadilan harus
ditegakkan terutama kepada mereka yang telah melakukan pelanggaran HAM
terhadap warga negara dan melakukan tindak kekerasan terhadap mahasiswa,
pelajar, tim medis serta para jurnalis.

Meminta KAPOLRI untuk menggunakan golden momentum ini untuk


mereformasi institusinya dengan tata kelola yang jauh lebih profesional.
Dukungan Anggaran yang meningkat tajam selama satu periode ini, akan
memberi kesempatan yang luar biasa kepada KAPOLRI untuk melakukan banyak
hal demi terwujudnya kepolisian yang profesional dan imparsial.

12) Sidang Uji Materi, Ahli Singgung soal Kuorum Rapat Revisi UU KPK
di DPR

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Susi Dwi Harijanti


hadir memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian Undang-
undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam sidang tersebut, Susi menyampaikan pentingnya pembuat undang-


undang untuk mematuhi prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan.
Prosedur pembentukan perundang-undangan sendiri antara lain diatur dalam tata
tertib DPR.

"Apabila tata tertib tersebut dikualifikasi sebagai konvensi ketatanegaraan,


maka saya berpendapat tidak dibenarkan konvensi ataupun praktik
penyelenggaraan negara yang justru bertentangan dengan sendi-sendi konstitusi,"
kata Susi dalam persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu
(4/3/2020).
Susi mengatakan, ada sejumlah praktik pembentukan undang-undang yang
bisa disebut inkonstitusional. Misalnya, kuorum rapat paripurna yang hanya
didasarkan pada tanda tangan anggota DPR, tanpa kehadiran fisik. Hal itu,
menurut Susi, bertentangan dengan asas kedaulatan rakyat yang telah diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945.

"Tidak dapat dibenarkan sebagai kebiasaan ketatanegaraan karena


bertentangan dengan sendi demokrasi yang diatur UUD Pasal 1 Ayat (2)," ujar
dia.

Menurut Susi, pembentukan sebuah undang-undang merupakan salah satu


cara rakyat mengatur dirinya. Oleh karena itu, prosesnya harus merepresentasikan
dan tidak boleh bertentangan dengan kehendak rakyat. Ia mengatakan,
pembentukan undang-undang juga harus memperhatikan kedaulatan rakyat.
Dalam hal ini, keterlibatan rakyat menjadi hal yang tak dapat dipisahkan.

"Selain itu forum konsultasi publik merupakan refleksi dari pelaksanaan hak
untuk didengar," kata Susi.

Untuk diketahui, sejak disahkan oleh DPR pada September 2019 lalu, UU KPK
hasil revisi digugat oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu
gugatan diajukan oleh pimpinan KPK masa jabatan 2015-2019. Mereka adalah
Agus Rahardjo, Laode M Syarief, dan Saut Situmorang.

Selain ketiga nama itu, gugatan juga dimohonkan sepuluh pegiat anti korupsi,
antara lain eks pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan Mochamad Jasin
serta beberapa nama lain, yaitu Betty Alisjahbana, Ismid Hadad, dan Tini H.

Anda mungkin juga menyukai